Anda di halaman 1dari 5

"MAKALAH"

DOGMATIKA 1

Dosen Pengampu:

Di
S
U
S
U
N
Oleh:
Nama : 1. Adelsi Kase
2. Alesri Kmio
3. Katrina Kaka Ndaha
NIM : 0213-1-01-19
Prodi : PAK

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI MORIAH TANGERANG BANTEN


TAHUN AJARAN 2020/2021
Allah dan Dosa ( Kejatuhan Manusia)
Pendahuluan

Kejadian 1:26-27 berbicara tentang manusia (termasuk laki-laki dan perempuan) yang
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. “Gambar” (Ibr. Tselem) digunakan untuk patung dan
model kerja. Secara tidak langsung dikatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat pencerminan
sesuatu yang berkaitan dengan sifat dasar Allah. “Rupa” (Ibr. Demuth) digunakan untuk pola,
bentuk, atau ukuran yang adalah sesuatu seperti Allah pada diri mereka. Kata ini menyatakan
secara tidak langsung ada sesuatu seperti Allah pada diri kita. Kedua kata ibrani itu menyetakan
secara tak langsung bahwa perkembangan lebih jauh umat manusia adalah mungkin. Dengan
kata lain, Adam dan Hawa tidak langsung diciptakan sesuai dengan potensi yang ada dalam diri
mereka. Sekalipun ada kesempurnaan dalam penciptaan mereka, itulah kesempurnaan sebuah
kuntum, bukan kesempurnaan bunga atau buah. Akan tetapi, kita tidak akan sama seperti Allah,
karena kita selalu akan merupakan makluk yang terbatas, yang bergantung kepada Allah. Yesus
menyatakan dalam Yohanes 5:26, “sebab sama seperti Bapa mempunyai hidup dalam dirinya
sendiri, demikian juga diberikannya Anak mempunyai hidup dalam dirinya sendiri”,yaitu,
menurut hak dan sifatnya.

Gambar Allah di dalam diri kita terdiri atas gambar alamiah dan moral bukan fisik.
Tubuh kita terbuat dari debu tanah. Yesus tidak mempunyai rupa seperti manusia sebelum ia
dijelmakan (Filipi 2:5-7). Allah memperingatkan bangsa Israel untuk tidak membuat patung oleh
karena sifat dasarnya tidak mempunyai bentuk yang dapat dijadikan patung (Ul 4:15-19).
Akibatnya tidak ada patung yang bisa serupa dengan Allah, dan menyembah patung apa saja
adalah menyembah sesuatu yang bukan Allah.

Gambar moral mencakup kehendak dan lingkungan kebebasan yang dalamnya kita dapat
menjalankan kemampuan-kemampuan kita untuk menentukan nasib sendiri. Ini merupakan
bagian dari gambar yang memungkinkan adanya persekutuan dengan Allah dan komunikasi
dengan-Nya. Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8), dan kita sanggup untuk mengasihi serta wajib
menunjukan kasih, pertama-tama kepada Allah (Ul 6:5), membalas kasih-Nya (1 Yoh 4:19), dan
kemudian kepada sesama kita, termasuk orang asing (Im 19:18,33:34; Ul 10:19; Mat 5:43-44;
Luk 10:27-32).Intelek kita memberi informasi kepada kehendak kita, dan untuk hal ini juga, kita
bertanggung jawab. Gambar moral dalam umat manusia juga merupakan sifat kepribadian kita
yang berhubungan dengan benarnya dan salahnya penggunaan kemampuan kita. Hal ini
memberikan sifat moral kepada kita dan menyediakan potensi yang dahsyat bagi kejahatan yang
hebat atau untuk kebaikan, kebenaran, dan kesician yang sejati. Pada mulanya Adam dan Hawa
diciptakan dengan hati yang benar-benar suci, bukan sekedar keadaan yang tidak berdosa.
Mereka mempunyai kecenderungan yang sungguh-sungguh kepada Allah dan ingin berjalan
serta berbicara dengan Dia. Setelah mereka jatuh, kecenderungan kepada Allah menjadi rusak,
berubah menjadi rasa benci yang kuat. Tetapi mengetahui Kristus, Allah telah menyediakan bagi
kita “manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah dalam kebenaran dan
kekudusan yang sesungguhnya” (Ef 4:24).
Pembahasaan

 Asal Usul Dosa


Suatu soal yang telah dipikirkan dan diperbincangkan oleh para filsuf sejak zaman
orang Yunani kuno adalah bagaimana menerangkan masuknya dosa ke dalam dunia.
Berbagai dugaan yang non-alkitabiah telah dikemukakan selama bertahun-tahun. Salah satu
pandangan disebut dualisme. Pandangan yang dianut oleh para penganut Zoroastrianisme
kuno, kemudian oleh kaum Gnostik (yang menggangu gereja mula-mula), dan kaum bidat
yang disebut aliran Manikheisme mempunyai sejarah yang panjang. Paham dualisme
berpendapat bahwa ada prinsip kekal kejahatan yang tak henti-hentinya menentang kebaikan.
Biasanya pandangan ini memandang zat atau alam semesta yang fisik, sebagai bersifat jahat.
Sebagai akibatnya, dianggap bahwa tubuh ini pada dasarnya jahat, dan hasilnaya ialah alah
satu: menindas keinginan-keinginan tubuh atau memperturutkan semua keinginannya.
Konsekwensinya bagi teologi berat juga, karena paham ini tidak menganggap Allah sebagai
Yang Maha Kuasa dan Maha tinggi, atau mereka membayangkan ada dua allah, yang satu
baik dan yang lain jahat.
Konsep lain mengenai asal-usul kejahatan adalah bahwa kejahatan merupakan bagian
dari keterbatasan manusia. Dosa hanyalah “pengingkaran kebenaran”. Kepercayaan ini
cenderung kepada panteisme, karena keberadaan dan moralitas dikacaukan. Apabila keadaan
menjadi mahkluk secara otomatis disertai konsep berbuat dosa, maka tanggung jawab moral
diangkat dari umat manusia. Dengan demikian dosa menjadi semata-mata akibat
ketidaktahuan dan kelemahan, dan lingkungan harus lebih disalahkan daripada orang itu
sendiri. Sejak kejatuhan, manusia telah berusaha untuk mengalihkan kesalahan karena dosa
mereka (kej. 3:12-13).
Pandangan Alkitab adalah bahwa dosa mulai dari penyalahgunaan kebebasan yang
diberikan kepada mahkluk manusia yang dilengkapi dengan kehendak. Allah tidak
menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah soal hubungan, bukan benda. Pada dasarnya,
kejahatan mengabaikan kemuliaan Allah, kehendak Allah, dan Firman Allah. Kejahatan
memisahkan diri dari hubungan ketaatan dan iman kepada Allah dan mengambil keputusan
untuk meninggalkan Dia. Akan tetapi karena alasan-alasan yang diketahui-Nya, Allah
mengizinkan kemungkinan terjadinya kegagalan moral. Hal yang menakjubkan adlah bahwa
pada waktu yang sama Allah menyediakan penangkal untuk orang-orang yang jatuh dalam
kegagalan moral tersebut.
Dosa dimulai dari pilihan yang bebas dari mahkluk-mahkluk ciptaan Allah. Ketika
ular mencobai Hawa, ia mulai dengan sebuah pertanyaan, “Tentulah Allah berfirman, ‘semua
pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?’” Ia menyatakan secara tidak
langsung, “Dapatkah Allah yang baik mencegah sesuatu darimu yang engkau inginkan?”
Kemudian ia mengikuti pertanyaan itu dengan penyangkalan, “Sekali-kali kamu tidak akan
mati, tetapi Allah mengetahui bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka,
dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” Iblis sedang
menyatakan di sini bahwa Allah berfirman Ia telah menciptakan kamu menurut gambar-Nya
dan Ia ingin kamu menjadi seperti Dia; tetapi Ia telah melarang satu-satunya hal yang akan
menjadikan kamu seperti Dia. Maka, demi membiarkan iblis memusatkan perhatian Hawa
kepada hal yang terlarang itu, Hawa mulai memikirkan bahwa buah itu akan baik baginya.
Oleh karena itu, iblis tidak perlu memetik buah itu atau memaksa Hawa untuk menerimanya.
Hawa terus memperhatikan buah pohon itu dan ia menentukan pilihan. Ia memetiknya,
memakannya, dan memberikannya juga kepada suaminya, mungkin memakai alas an-alasan
yang sama yang menyebabkan dia berbuat dosa.
Jadi, Adam dan Hawa yang mendatangkan atas diri mereka sendiri akibat-akibat dosa
itu (Kej. 3:16-19). Dan lagi, seluruh umat manusia ditulari dosa. Sejak itu, semua anak yang
dilahirkan ke dalam dunia ini dengan sendirinya dirusakkan oleh kecenderungan utnuk
berbuat dosa. Pengaruh dosa Adam pada umat manusia sering kali disebut dosa warisan.
Walaupun dosa warisan bukanlah merupakan alas an orang-orang berdosa dihukum oleh
Allah, namun dosa itu mengakibatkan orang melakukan dosa pribadi yang nyata, sehingga
Rasul Paulus berkata dengan sedih, “semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan
kemuliaan Allah” (Roma. 3:23). Jadi, karena dosa Adam, lenyaplah keadaan tidak bersalah,
gambar dan rupa Allah dalam umat manusia menjadi rusak dan lemah, dan dosa
memperbudak manusia (Roma. 6), dan perbantahan serta kematian memasuki dunia.
Akibat yang jelas dari dosa adalah retaknya hubungan-hubungan yang ada di Taman
Eden. Pertama-tama, Adam dan Hawa dijauhkan dari Allah. Hati nurani mereka tidak
menolong mereka, malah menyebabkan mereka bersembunyi dari Allah diantara pohon-
pohon di Taman itu dan menutup diri mereka dengan daun-daun pohon ara. Lalu, ketika
Allah memperhadapkan mereka dengan dosa mereka, mereka mencoba untuk mengalihkan
kesalahan itu (yang sering dilakukan orang-orang sampai sekarang ini). Tetapi Allah
menolak hal itu. Ia meletakan tanggung jawab itu kembali kepada mereka. Maka dosa,
bermula dari pilihan bebas mahkluk ciptaan Allah. Mereka tidak percaya dan berharap
kepada Allah, menaggapi kasih-Nya yang ajaib dan ketetapan-Nya, malah mereka
menurunkan-Nya dari takhta dan meninggikan diri mereka sendiri. Maka hakikat dosa adalah
mengganti tujuan yang asli dan tertinggi dalam hidup ini, yaitu mencari Allah dan kebenaran-
Nya dengan pemuasan diri sendiri. Akibatnya adalah berjenis-jenis dosa, kecemaran dan
perbuatan yang tak wajar.
Secara negatif, dosa boleh digambarkan sebagai pelanggaran terhadap hukum-hukum
Allah (1 Yoh 3:4). Kata Ibrani yang paling umum untuk dosa adalah chatta’th, yang pada
dasarnya berarti “tidak mengena tanda sasaran” entah dengan sengaja gagal atau dengan
sengaja menyimpang ke sisi yang satu ke sisi yang lain (Yes 53:6; Roma 3:9-12,23). Kata
lain adalah resha’ digunakan untuk menjadi marah kepada Allah. Pesha’ adalah
pendurhakaan yang disengaja dan direncanakan sebelum nya.
 Jatuhnya Manusia
Sejarah jatuhnya manusia yang berdosa adalah nyata. kenyataan yang lanjutannya
kenyataan bagi kita sekarang. Datangnya dosa yang dilanjutkan oleh dosa kita, hukuman
Tuhan yang masih menghukum kita sekarang. Akan tetapi pernyataan jatuhnya manusia
adalah permulaan dari keselamatan kita. Pengakuan tentang keadaan dosa yang real (nyata)
menjadi jalan untuk mencari kelepasan dari dosa. Oleh sebab itu Tuhan memberi pernyataan
tentang jatuhnya manusia dalam dosa.
 Hakikat Dosa
Rasul Yohanes menyatakan bahwa dosa itu kehilangan hukum: a-nomia. Jadi hakekat
dosa:

Anda mungkin juga menyukai