BST HMD
BST HMD
Oleh
Hendra Amalfi, S. Ked
Husnul Verdian, S. Ked
Preseptor
Dr. Rahmiyetti, Sp. A
I. Definisi
Penyakit membran hialin (PMH) merupakan salah satu penyebab gangguan
pernafasan yang sering dijumpai pada bayi prematur. 1 Gangguan nafas ini merupakan
sindrom yang terdiri dari satu atau lebih gejala sebagai berikut: pernafasan cepat >60 x/menit,
retraksi dinding dada, merintih dengan atau tanpa sianosis pada udara kamar.2
Menurut European Consensus Guidelines on the Management of Neonatal
Respiratory Distress Syndrome in Preterm Infants – 2010 Update, sindrom gawat nafas ini
biasanya terjadi 4 jam setelah kelahiran dan memburuk sampai dengan 24 – 48 jam
kehidupan, yang mana gejala akan membaik 1 – 2 hari berikutnya, umumnya timbul
berbarengan dengan peningkatan diuresis.3,4
Menurut buku Pedoman pelayanan medis IDAI, gejala gawat nafas pada PMH
memburuk dalam 48 – 96 jam. 2 PMH ditemukan pada ± 50% bayi yang lahir dengan berat
lahir 500-1500 gram (<34 minggu usia gestasi). Insidens PMH berbanding terbalik dengan
masa gestasi.2
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Kelainan yang
terjadi dianggap karena faktor pertumbuhan atau karena pematangan paru yang belum
sempurna.1 Penyakit ini biasanya mengenai bayi prematur,dan dapat ditemukan bila ibu
menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu yang menderita
diabetes mellitus, hipotiroidisme, toksemia gravidarum, hipotensi, seksio sesaria, dan
perdarahan antepartum.1,3 Kelainan ini merupakan penyebab utama kematian bayi prematur
(50- 70%).1
II. Patofisiologi
Berbagai teori telah dikemukakan sebagai penyebab kelainan ini. Pembentukan
substansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru, merupakan salah satu teori yang
banyak dianut. Surfaktan ialah zat yang memegang peranan dalam pengembangan paru dan
merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama
zat tersebut ialah lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22 – 24 minggu dan
mencapai maksimum pada minggu ke-35.
Gambar 1. Timeline Pembentukan surfaktan pada fetus3
Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan membuat stabil
alveoli dan mencegahnya dari kolaps pada saat ekspirasi dengan mengurangi tegangan.
Dipalmitoylphophatidyl choline (DPPC) merupakan komposisi utama dalam surfaktan yang
mengurangi surface tension. Surfaktan memiliki 4 surfactant-associated proteins yaitu SP -
A, SP - B, SP – C, dan SP – D. Surfaktan disintesis oleh sel alveolar tipe II dengan proses
multi-step dan mensekresi lamellar bodies, yang memiliki kandungan fosfolipid yang tinggi.
Lamellar bodies ini berikutnya diubah menjadi lattice structure yang dinamakan tubular
myelin. Penyebaran dan adsorpi dari surfaktan merupakan karakteristik yang penting dalam
pembentukan monolayer yang stabil dalam alveolus. 5
Gambar 2. Fisiologi pembentukan surfaktan5
Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga
tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsionil pada akhir ekspirasi.
Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit membrane hialin menyebabkan
kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali
kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan
negatif intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru
ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan
asidosis.
Hipoksia akan menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi
metabolism anaerobic dengan penimbunan asam laktat dan asan organic lainnya yang
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel kapiler dan
epitel duktus alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan
terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin.
Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke
jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.1
Bagan 1. Patofisiologi PMH
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang
terdiri dari: atelektasis hipoksia asidosis transudasi penurunan aliran darah paru
hambatan pembentukan substansi surfaktan atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus
sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi.1
Imaturitas dari paru janin dapat dilihat dari analisa cairan amnion, dari rasio lecithin –
sphingomyelin (L/S ratio <2:1), phosphatidylglycerol, atau lamellar bodies.4
Gambar 7 dan 8. PMH dengan gambaran batas jantung-paru kabur (kiri) dan white lung
appearance (kanan)
Selama perawatan, diperlukan foto toraks serial dengan interval sesuai indikasi. Pada
pasien dapat ditemukan pneumotoraks sekunder karena pemakaian ventilator, atau terjadi
bronchopulmonary Displasia (BPD) setelah pemakaian ventilator jangka lama.
Gambaran laboratorium
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya ialah:
- Pemeriksaan darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%,
prognosis lebih buruk. Kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi
normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan
berkurangnya oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar
PCO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat
atelektasis paru. pH darah menurun dan deficit basa meningkat akibat adanya asidosis
respiratorik dan metabolik dalam tubuh.
Bila fasilitas tersedia dapat dilakukan pemeriksaan analisis gas darah yang biasanya
memberi hasil: hipoksia, asidosis metabolik, respiratorik atau kombinasi, dan saturasi
oksigen yang tidak normal.1,2
Uji Kematangan paru
Tes tersebut diklasifikasikan sebagai tes biokimia dan biofisika
- Tes biokimia (Rasio lecithin – sphingomyelin)
Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam
cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan
paru, dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan
amnion. Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan
salah satu test yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan
dengan tes yang lain.
Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan
komponen non spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk
kehamilan normal adalah < 0.5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara
bertahap. Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris
disebutkan bahwa Neonatal RDS sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S > 2.8
Dengan rasio 1.5 – 1.9, ada kemungkinan bahwa 50% bayi dapat berlanjut ke PMH.
<1.5 resiko meningkat sampai 73%.11 Adanya mekonium dapat mempengaruhi hasil
interpretasi dari tes ini.8
Gambar 9. Grafik perbandingan L/S dengan usia gestasi3
- Tes biofisika (Shake test)
Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini
bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga agar
gelembung tetap stabil.8 Pada janin, cairan paru biasanya ditelan sehingga aspirasi
dari cairan lambung dalam 30 menit setelah lahir sebagian besar terdiri dari cairan
paru yang ditelan atau cairan amnion. Oleh karena itu, aspirasi dari cairan lambung
dapat digunakan untuk evaluasi apabila surfaktan terdapat pada paru – paru janin
sewaktu lahir.12
Dengan mengocok cairan aspirat lambung 0.5 cc, NaCl 0.9% 0.5 cc dan alkohol 1 cc
lalu dikocok dengan keras dan didiamkan selama 15 menit. Dengan mengocok cairan
amnion dengan alkohol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur
yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas.
Pada alkohol dengan konsentrasi 47.5%, stable bubble yang dibentuk oleh karena
pengocokan akan menetap oleh karena adanya lechitin.
Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion :
alkohol)/ hasil positive gelembung (+), maka merupakan indikasi maturitas paru
janin.8
Gambar 10. Cara melakukan Shake test8
Gambar 11. Hubungan hasil shake test dengan insidiens terjadinya PMH13
Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik. Frekuensi pernafasan
yang meninggi pada penyakit ini akan memperlihatkan pula perubahan pada fungsi paru
lainnya seperti tidal volume menurun, lung compliance berkurang, functional residual
capacity merendah disertai vital capacity yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan
perfusi paru akan terganggu.1
Pemeriksaan Fungsi Kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan beberapa perubahan dalam
fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke kanan atau pirau
kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan
sistemik.1
Gambaran Patologi/ Histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran
hialin di dalam alveolus atau duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian paru yang
mengalami emfisema. Membrane hialin yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik
yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang nekrotik.1
V. Diagnosis
Anamnesis
- Riwayat kelahiran kurang bulan, ibu dengan Diabetes Mellitus.
- Riwayat persalinan yang mengaalami asfiksia perinatal (gawat janin).
- Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit membrane hialin.2
Pemeriksaan Fisik
- Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan.
- Dijumpai sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan gejala:
o Takipnea (frekuensi nafas >60x/menit)
o Grunting atau nafas merintih
o Retraksi dinding dada
o Kadang dijumpai sianosis (pada udara ruangan)
- Perhatikan tanda prematuritas.
- Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru.
- Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya bayi, adanya
infeksi dan derajat dari pirau PDA.
- Penyakit dapat menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam2.
Diagnosis dari PMH dapat dikonfirmasi dengan foto Rontgen toraks dengan
gambaran khas/klasik yaitu ground glass appearance dan air bronchograms. Menurut
Vermont Oxford Neonatal Network definisi dari PMH selain gambaran khas dari Rontgen
Toraks memerlukan bahwa si bayi mempunyai PaO2<50 mmHg pada udara ruangan,
cyanosis sentral pada udara ruangan atau keadaan dimana si bayi memerlukan suplimentasi
oksigen tambahan untuk mempertahankan PaO2 >50 mmHg.3,4
Gambar 13 dan 14. Pneumotoraks pada paru sisi kanan dan penggunaan kateter pigtail.3
Tabel 1. Penyebab sindrom gawat nafas pada bayi kurang bulan3
Tabel 2. Diagnosis banding paling umum dari Penyakit Membran Hialin14
VII. Pencegahan
Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini ialah pertumbuhan paru yang belum
sempurna. Karena itu salah satu cara untuk menghindarkaan penyakit ini ialah mencegah
kelahiran bayi yang maturitas parunya belum sempurna. Maturitas paru dapat dikatakan
sempurna apabila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik. Gluck (1971)
memperkenalkan cara untuk mengetahui maturitas paru dengan menghtung perbandingan
antara lesitin dan sfingomielin dalam cairan amnion.
Bila perbandingan lesitin/ sfingomielin sama atau lebih dari 2, bayi yang akan lahir
tidak akan menderita penyakit membrane hialin, sedangkan bila perbandingan tadi kurang
dari 2 berarti paru bayi belum matang dan akan mengalami penyakit membrane hialin.1
VIII. Tatalaksana
Penatalaksanaan umum
Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis sebaik-
baiknya,agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat
mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya.1
Tindakan yang perlu dikerjakan ialah:
- Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar
tetap dalam batas normal (36,5 – 37C) dengan meletakkan bayi di dalam inkubator.
Humiditas ruangan juga harus adekuat (70 – 80%).1,3
- Pemberian oksigen harus berhati-hati.
Prinsip: Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang baru lahir.
Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang tidak
diinginkan seperti fibrosis paru (bronchopulmonary dysplasia (BPD)), kerusakan
retina (fibroplasi retrolental / retinopathy of prematurity (ROP)) dan lain-lain.1 Untuk
mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan
pemeriksaan saturasi oksigen, sebaiknya diantara 85 – 93% dan tidak melebihi 95%
untuk mengurangi terjadinya ROP dan BPD.4
Terapi Oksigen sesuai dengan kondisi:
o Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang cukup
untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50 – 70 mmHg untuk
distres pernafasan ringan.1,3
o Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi
oksigen inspirasi 60% atau lebih, penggunaan NCPAP (Nasal Continuous
Positive Airway Pressure) terindikasi.1,3 NCPAP merupakan metode ventilasi
yang non-invasif.3 Penggunaan NCPAP sedini mungkin (early NCPAP) untuk
stabilisasi bayi dengan berat lahir sangat rendah (1000 – 1500gram) di ruang
persalinan juga direkomendasikan untuk mencegah kolaps alveoli.1
o Penggunaan humidified high flow nasal cannula therapy (HHFNC) sebagai
pengganti NCPAP sedang digalakkan di beberapa negara karena memiliki
keefektivitasan yang sama dengan NCPAP serta dapat digunakan untuk bayi
dengan semua usia gestasi.3
Gambar 15 dan 16. Nasal CPAP dan HHFNC 5
Surfaktan
Surfaktan diberikan dalam 24 jam pertama jika bayi terbukti mengalami penyakit
membran hialin, diberikan dalam bentuk dosis berulang melalui pipa endotrakea setiap 6 – 12
jam untuk total 2 - 4 dosis, tergantung jenis preparat yang dipergunakan.2
- Pemberian surfaktan profilaksis versus surfaktan rescue.
Surfaktan profilaksis, atau preventif, merupakan pemberian surfaktan secara
intratrakeal pada bayi dengan risiko tinggi untuk terjadinya gawat nafas setelah
resusitasi dini tetapi di dalam 10 – 30 menit setelah kelahiran. Pemberian surfaktan
rescue dibagi lagi menjadi 2 yaitu, rescue dini yaitu pemberian surfaktan dalam 1 – 2
jam setelah kelahiran dan rescue lambat yaitu pemberian lebih dari 2 jam setelah
kelahiran. Bayi yang lahir dengan usia gestasi <30 minggu memberikan perbaikan
setelah diberikan surfaktan profilaksis dan rescue. Akan tetapi, bayi prematur yang
diterapi dengan surfaktan profilaksis terbukti memiliki insidensi yang lebih rendah
dalam terjadinya sindrom gawat nafas.7
- Dosis
Survanta (bovine surfactant) diberikan dengan dosis total 4mL/kgbb intratrakea
(masing-masing 1mL/kgbb untuk lapangan paru depan kiri dan kanan serta paru
belakang kiri dan kanan), terbagi dalam beberapa kali pemberian, biasanya 4 kali
(masing-masing ¼ dosis total atau 1 ml/kg). Dosis total 4ml/kgbb dapat diberikan
dalam jangka waktu 48 jam pertama kehidupan dengan interval minimal 6 jam antara
pemberian. Bayi tidak perlu dimiringkan ke kanan dan ke kiri setelah pemberian
surfaktan, karena surfaktan akan menyebar sendiri melalui pipa endotrakeal. Selama
pemberian surfaktan dapat terjadi obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh
viskositas obat. Efek samping dapat berupa perdarahan dan infeksi paru.2
Gambar 18. Rontgen toraks pada bayi dengan RDS (kiri) Tontgen toraks 6 jam setelah pemberian
surfaktan (kanan)10
Bagan 2. Algoritma untuk penanganan distres pernafasan pada bayi kurang bulan 3
IX. Prognosis
Penyakit membrane hialin prognosisnya tergantung dari tingkat prematuritas dan
beratnya penyakit. Prognosis jangka panjang untuk semua bayi yang pernah menderita
penyakit ini sukar ditentukan. Mortalitas diperkirakan antara 20 – 40%.
Beberapa penyelidik lain melaporkan bahwa dengan perawatan yang baik, bayi yang
hidup masih mempunyai kepandaian dan keadaan neurologis yang sama dibandingkan
dengan bayi premature lain yang masa gestasinya sama pula. Kelainan pada paru dan saraf
mungkin disebabkan karena penyakitnya sendiri yang berat atau kurang sempurnanya
perawatan, di antaranya karena pemberian kadar O2 tinggi secara terus-menerus. Kelainan
paru sebagai dysplasia bronkopulmoner umumnya disebabkan tekanan positif yang terus
menerus. Komplikasi lain yang mungkin terjadi pada waktu perawatan ialah kelainan pada
retina (fibroplasi retrolental) sebagai akibat pemberian O2 yang tidak semestinya.
Pneumotoraks walaupun jarang terjadi dapat disebabkan oleh komplikasi pengobatan dengan
‘continuous negative external pressure’ (CNP) dan tindakan bantuan pernafasan dengan
respirator lain.
LAPORAN KASUS
Keluhan Utama
Neonatus baru lahir, jenis kelamin laki-laki, dirawat di bagian Perinatologi RSAM
Bukittingi sejak tanggal 19 November 2012, dengan keluhan utama sesak nafas sejak lahir.
Riwayat Persalinan
- Lahir secara SC atas indikasi PEB (Pre-Eklampsia Berat) dan Bekas SC 1 kali.
- Berat badan lahir 4150 gram, panjang badan 50 cm, Apgar Score 5/6.
- Ibu baik, ketuban jernih.
- Taksiran Maturitas 36-38 minggu.
- Mekonium sudah keluar, BAK ada.
- Injeksi Vitamin K sudah diberikan.
- Kelainan kongenital tidak ada.
- Jejas persalinan tidak ada.
Riwayat Kehamilan
- Anak pertama, abortus
- Anak kedua, lahir secara SC a.i PEB, Berat Lahir 3700 gram, cukup bulan.
- Pada kehamilan sekarang diketahui tekanan darah ibu 160/100 mmHg, kadargula
darah tidak diketahui.
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Gerak : Kurang Aktif
Nadi : 152 kali/ menit
Nafas : 62 kali/ menit
Suhu : 35,8 0C
Tinggi Badan : 50 cm
Berat Badan : 4150 gram
Anemis : Tidak ada
Sianosis : Ada (Ujung jari tangan dan kaki, daerah sekitar bibir)
Pemeriksaan Fisik
Kulit:
- Ikterik tidak ada
- Turgor kulit baik
Kepala:
- Bentuk bulat, simetris, ubun-ubun besar datar
- Lingkar kepala 37 cm (Normocephal)
Mata:
- Konjungtiva tidak anemis
- Sklera tidak ikterik
- Pupil isokor, diameter pupil 2 mm/ 2 mm, reflek cahaya +/ + normal
Telinga, Hidung, dan Tenggorok:
- Nafas cuping hidung (+)
Leher:
- Tidak ada kelainan
Dada: Paru:
- Inspeksi : Normochest, simetris kiri dan kanan, retraksi (+)
- Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung:
- Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
- Auskultasi : Bunyi jantung murni, irama regular
Abdomen:
- Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit, tali pusat tidak hiperemis
- Palpasi : Supel, distensi tidak ada, hepar dan liaen tidak teraba
Punggung:
- Tidak ada kelainan
Alat Kelamin:
- Kedua testis teraba
Anus:
- Anus ada
Ekstremitas:
- Akral dingin, perfusi jelek, edema tidak ada
- Kebiruan ada
Pemeriksaan Laboratorium
Darah
- Hb : 16,2 g/dl
- Leukosit : 16.010 /mm3
- Diff. Count : 0/ 2/ 3/ 60/ 33/ 2
- Hematokrit : 45,9 %
- Trombosit : 8.000/mm3
Rencana
- Periksa darah lengkap
- Cek gula darah random
- Foto Thoraks AP-Lateral
DISKUSI KASUS
Telah dirawat neonatus yang dicurigai menderita hyaline membrane disease. Pasien
dirawat di bagian perinatology RSAM Bukittinggi dengan keluahan utama sesak nafas sejak
lahir. Dari riwayat persalinan didapatkan anak lahir dengan berat badan 4150 gram dan
panjang badan 50 cm. Anak lahir cukup bulan, lahir secara SC atas indikasi PEB dan bekas
SC 1 kali.
Dari riwayat kehamilan diketahui bahwa anak merupakan anak ke-3. Kehamilan
pertama terjadi abortus. Anak kedua lahir dengan cara SC a.i PEB dengan berat ahir 3.700
gram, cukup bulan. Pada kehamilan sekarang diketahui tekanan drah ibu adalah 160/100
mmHg. Ibu pasien diketahui menderita hipertensi dan diabetes mellitus namun tidak
diketahui sejak kapan penyakit ini diderita oleh ibu pasien.
HMD sering terjadi pada neonates dengan berat badan lahir rendah atau premature.
Pada kasus ini ditemukan HMD diderita oleh neonates dengan berat badan lahir besar dan
cukup bulan yang lahir dari ibu dengn diabetes mellitus. Dari litertur didapatkan bahwa HMD
pada neonates berat badan lahir besar dari ibu dengan dibetes mellitus dalah karena
hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia mengakibatkan terhambatnya maturitas dan pembentukan
surfaktan. Insulin menghambat pembentukan dan pematangan surfaktan dari kortisol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief Abdul dr., Napitupulu Partogi M dr., Pudjiadi Antonius dr., Ghazali Vinci
Muhammad dr, Putra Tulus Sukman dr, “Penyakit Membran hialin”, buku Ilmu
Kesehatan Anak jilid 3 FKUI hal. 1083 – 1087.
2. Pudjiadi Antonius dr., Hegar Badriul dr, Handryastuti Setyo dr, Idris Salamia Nikmah
dr, Gandaputra Ellen P dr, Harmoniati Eva Devita dr, “Penyakit Membran Hialin”,
buku Pedoman Pelayanan Medis IDAI jilid 1 hal.238 – 242.
3. Miall Lawrence, Wallis Sam, “The management of respiratory distress in the
moderately preterm newborn infant”, Neonatal Intensive Care Unit, Leeds Teaching
Hospitals NHS Trust, Leeds, UK. Dipublikasi pada tanggal 28 Februari 2011.
4. Sweet David G, Carnielli Virgilio, Greisen Gorm, dkk, “European Consensus
Guidelines on the Management of Neonatal Respiratory Distress Syndrome in
Preterm Infants – 2010 Update”. Dipublikasi pada tanggal 10 Juni 2010.
5. Oommen P. Mathew, “Chapter 10: Respiratory Distress Syndrome: Impact of
Surfactant Therapy and Antenatal Steroid”, buku Innovations in Neonatal-perinatal
Medicine Innovative Technologies and Therapies That Have Fundamentally Changed
the Way We Deliver Care for the Fetus and the Neonate. Dipublikasi tahun 2011.
6. Surg Cdr SS Mathai, Col. U Raju, Col. M Kanitkar, Management of Respiratory
Distress in the Newborn. Dipublikasi tahun 2006.
7. William A. Engle, MD, and the Committee on Fetus and Newborn,”Clinical report:
Surfactant-Replacement Therapy for Respiratory Distress in the Preterm and Term
Neonate”. Dipublikasi tahun 2007.
8. Nur .A, Risa Etika, Sylviati M.Damanik , Fatimah Indarso., Agus Harianto.
Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory Distress Syndrome,
SMF Ilmu Kesehatan Anak FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo. Dipublikasi pada tahun
2006.
9. Brownfoot FC, Crowther CA, Middleton P, ”The Cochrane Collaboration: Different
corticosteroids and regimens for accelerating fetal lung maturation for women at risk
of preterm birth (Review)”. Dipublikasi tahun 2008.
10. Geoffrey A. Agrons, MD, Sherry E. Courtney, MD, J. Thomas Stocker, COL, MC,
USA, Richard I. Markowitz, MD. From the Archives of the AFIP Lung Disease in
Premature Neonates: Radiologic-Pathologic Correlation, dipublikasikan 2005.
11. Dr. Ashraf Fawzy Nabhan Assistant Professor of Obstetrics & Gynecology Ain
Shams University, Cairo, Egypt Assessment of Fetal Lung Maturity. Dipublikasi
tahun 2005.
12. Dr D H Greenfield, Ms H H Louw, Prof G B Theron, Prof H A van Coeverden de
Groot, Prof D L Woods, Gastric aspirate shake test, International Association for
Maternal and Neonatal Health (IAMANEH), ditinjau tanggal 28 November 2012.
Dapat ditinjau di : http://www.gfmer.ch/PEP/NCM_Contents.htm
13. Keith Tanswell, Elizabeth Sherwin, and Barry T. Smith Single-Step Gastric Aspirate
Shake Test, From the Neonatal Intensive Care Unit, Kingston General Hospital,
Division of Neonatology, Queens University, Kingston, Ontario, Canada. Dipublikasi
1976.
14. Christian L. Hermansen, MD, and Kevin N. Lorah, MD, Lancaster General Hospital,
Lancaster, Pennsylvania,Respiratory Distress in the Newborn, American Academy of
Family Physicians, ditinjau tanggal 28 November 2012. Dapat ditinjau di :
http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p987.html