Anda di halaman 1dari 12

MINI RISET

“Studi Literasi : Pancasilais dan Budaya Masyarakat Minang”

Dosen Pengampu :

PRAYETNO, S.IP., M.Si

Disusun Oleh:

Kelompok I
Dewan Dinata Tarigan (4193250004) Miftahul Janna Tunnisa Lubis (4193550030)

Erika Nia Devina Br Purba (4193250001) Muhammad Fachrur Razi (4193550036)


Khusnul Arifin (4192250002) Yosua Yosephine Tarigan (4193550015)

Nurul Adawiyah Putri (4193250006)

ILMU KOMPUTER A 2019

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Mini Riset tentang “Studi Literasi : Pancasilais dan Budaya Masyarakat Minang”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Pendidikan Pancasila. Oleh karena itu
kami berharap dari pembaca bisa memahami isi makalah ini.

Adapun kekurangan dalam penulisan ataupun ada kata-kata yang tidak patut
disampaikan, mohon diberi maaf. Melihat ini adalah suatu pembelajaran dan harap dimaklumi.
Dan kami sangat mengharapkan saran dan pendapat dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Medan, Desember 2020

Kelompok I

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN...........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................1
1.3 Tujuan ...............................................................................................................................2
BAB II. TINJAUAN TEORI .......................................................................................................3
BAB III. METODE PENELITIAN ..............................................................................................5
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................................6
BAB V. PENUTUP .....................................................................................................................8
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan falsafah Pancasila, manusia Indonesia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang
mempunyai naluri, akhlak, daya pikir, dan sadar akan keberadaannya yang serba terhubung
dengan sesamanya, lingkungannya, alam semesta, dan penciptanya. Kesadaran ini
menumbuhkan cipta, karsa, dan karya untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan
hidupnya dari generasi ke generasi (Sumarsono dkk 2007).

Pancasila merupakan dasar Negara bagi Negara kita. Sebagai dasar Negara, Pancasila
lahir berdasarkan nilai-nilai budaya yang terkandung sejak zaman nenek moyang kita dahulu.
Nilai-nilai tersebut lahir dan melekat secara tidak sengaja pada nenek moyang kita. Pancasila itu
terdiri dari Panca dan Sila. Nama Panca diusulkan oleh Ir. Soekarno sedangkan nama Sila
diusulkan oleh salah seorang ahli bahasa. Pancasila dirasakan sudah sempurna dan mencakup
segala aspek pada Bangsa Indonesia.

Setelah puluhan tahun lahirnya Pancasila dari tahun 1945 hingga saat ini, Negara di dunia
mengalami pengembangan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan. Seperti diketahui, saat
memberikan rekomendasi PDI Perjuangan bagi bakal calon gubernur dan wakil gubernur
Sumatera Barat, Mulyadi-Ali Mukhni, Puan Maharani menyatakan "Semoga Sumatera Barat
menjadi Provinsi yang Memang Mendukung Negara Pancasila." Masyarakat Minangkabau, suku
asli Sumbar pun bereaksi, baik di tanah kelahiran maupun di perantauan. Mengenai hal tersebut,
kami menyampaikan hasil analisis terkait ‘Studi Literasi : Pancasilais dan Budaya Masyarakat
Minang'.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana tingkat pancasilais masyarakat minang?

2. Bagaimana hubungan kearifan lokal masyarakat minang dengan nilai pancasila?

3. Apakah ada kecocokan antara nilai kearifan lokal dengan pancasila?

4. Siapakah tokoh-tokoh minang yang pancasilais?


1
1.3 Tujuan

Menganalisa tingkat Pancasilais masyarakat minang dengan studi literasi dari permasalahan
sebelumnya.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

Indonesia adalah negara dengan beragam kebudayaan. Zulyani Hidayah (2005)


menyebutkan bahwa tidak kurang 600 suku bangsa di Indonesia. Catatan lain menyebutkan
bahwa terdapat 707 bahasa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara
(http://www.ethnologue.com). Jika dikelola dengan baik keragaman budaya tersebut pada
hakekatnya merupakan bangsa ini.Setidakya terdapat dua alasan mengapa keragaman budaya
dapat dipandang sebagai kekayaan bangsa. Pertama, budaya sejatinya merupakan “kendaraan”
untuk meningkatkan stabilitas dan kohesi sosial, melestarikan lingkungan, serta mendorong
masyarakat untuk menjadi inovatif dan kreatif dalam menghadapi tantangan zaman. Jadi,
semakin beragam budaya yang kita miliki semakin besar pula modal sosial yang dimiliki bangsa
ini. Kedua, keragaman budaya tersebut seringkali juga menghadirkan potensi ekonomi. Di
Australia, pada tahun 2008 kawasan warisan budaya menyumbangkan lebih dari AU 12 miliar
dan menyediakan lebih dari 40.000 lapangan pekerjaan. Sementara itu, di Inggris wisata warisan
budaya juga menghasilkan GDP lebih dari 20 miliar (tahun 2010). Hal ini berarti bahwa jika
potensi yang sama juga mampu dimanfaatkan dengan baik di Indonesia, tentu saja keragaman
budaya ini dapat berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.Perhatian untuk
memajukan kebudayaan di Indonesia semakin menguat seiring dengan disahkannya Undang-
Undang No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam undang-undang tersebut,
kebudayaan nasional Indonesia dimaknai sebagai keseluruhan proses dan hasil interaksi antar
kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia. Sementara pemajuan kebudayaan
dipahami sebagai upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di
tengah peradaban dunia melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan
kebudayaan.

Dalam upaya pemajuan kebudayaan tersebut ketersediaan data budaya merupakan syarat
mutlak. Hanya dengan ketersediaan data kebudayaan inilah perencanaan, monitoring, dan
evaluasi kebijakan pemajuan kebudayaan dapat dijalankan dengan baik. Atas dasar pertimbangan
inilah studi mengenai kekayaan dan keragaman budaya daerah di Indonesia dipandang sangat
penting.
3
Dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan, kebudayaan
dipandang sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, dan karsa, dan hasil karya
masyarakat. Mengambil insprirasi dari definisi tersebut, dalam dokumen ini, kebudayaan
dipandang sebagai keseluruhan gagasan, perilaku, dan hasil karya manusia dan/atau kelompok
manusia yang dikembangkan melalui proses belajar dan adaptasi terhadap lingkungannya yang
berfungsi sebagai pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Definisi
di atas memberi penekanan pada beberapa hal. Pertama, kebudayaan itu melingkupi tiga wujud,
yaitu: gagasan/ idea; tindakan/ perilaku; hasil karya/ artefak.

Kedua kebudayaan itu berkembang melalui proses belajar, kebudayaan yang tampak hari
ini sesungguhnya berakar dari generasi-generasi sebelumnya. Proses belajar ini juga bisa
dilakukan antara satu komunitas pada komunitas yang lainnya. Proses inilah yang disebut difusi
kebudayaan. Ketiga bahwa kebudayaan itu selalu memliki arti fungsional bagi komunitas
pendukungnya. Berdasar definisi tersebut, data kekayaan dan keragaman budaya di Provinsi
Sumatera Barat mencakup dua kategori besar, yaitu kekayaan dan keragaman budaya benda serta
kekayaan dan keragaman budaya.

4
BAB III

METODE PENELITIAN

Kita terfokus di Provinsi Sumatera Barat. Provinsi yang identik sebagai wilayah budaya
suku bangsa Minangkabau ini memiliki arti yang penting di Indonesia. Sudah jamak diketahui
bahwa diaspora etnis Minangkabau ini telah tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Belajar dari
Budaya Minangkabau dengan demikian adalah budaya yang inklusif, yang dapat diterima
dimana saja. Nilai-nilai yang memungkinkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
inklusif ini penting untuk pelajari terutama seiring menguatnya sekat-sekat antar kelompok
masyarakat di Indonesia saat ini. Data kekayaan dan keragaman budaya dalam laporan ini
diperoleh dari tujuh kotamadya dan dua belas kabupaten di wilayah Provinsi Sumatera Barat.
Kotamadya dan Kabupaten tersebut meliputi: Kota Padang, Kota Solok, Kota Sawahlunto, Kota
Padang Panjang, Kota Bukit Tinggi, Kota Payakumbuh, Kota Pariaman, Kabupatan Pasaman
Barat, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Kepulauan Mentawai,
Kabupaten Pasaman, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Agam, Kabupaten Padang
Pariaman, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Solok, Kabupaten Pesisir
Selatan.Sebagaimana daerahdaerah lain di Indonesia, secara umum masing masing kotamadya
dan kabupaten di Sumatera Barat juga memiliki data keragaman budaya di masing-masing
wilayah. Sayangnya, usaha untuk menyatukan data keragaman budaya di masing-masing wilayah
itu tidak mudah karena kerangka data yang dimiliki masing-masing wilayah tidak sama.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literasi, yang mana penulis
menganalisis permasalahan melalui temuan sebelumnya.

5
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kearifan lokal Minang, bila dicocok-cocokkan, sangat cocok dengan Pancasila. Adat
basandi sarak, sarak basandi kitabullah sejalan dengan Ketuhanan yang Maha Esa. Saitiak
saayam, sasakik sasanan, sahino samalu, ma nan ado samo dimakan, nan indak samo dicari,
cocok dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Di mano bumi dipijak, di sinan langik
dijunjuang setara dengan nasionalisme, kebangsaan, sila Persatuan Indonesia. Randah tak dapek
dilangkah, tinggi tak dapek awak panjek sesuai dengan prinsip musyawarah mufakat dalam sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Rumah gadang sebagai rumah bersama cocok dengan prinsip sosialisme Indonesia dalam sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Namun, apakah itu semua menjadi ukuran orang
Minang sangat Pancasilais? Jangan-jangan kecocokan itu cuma kebetulan karena nilai-nilai yang
ada dalam kearifan lokal Minang dan Pancasila bersifat relatif universal? Falsafah Jawa sangkan
paraning dumadi bahwa asal dan tujuan hidup ialah Tuhan, misalnya, sejalan dengan sila
Ketuhanan yang Maha Esa. Pun prinsip tauhid dalam Islam sejalan dengan sila pertama
Pancasila. Lalu, konsep kasih dalam Kristen cocok dengan prinsip kemanusiaan dalam Pancasila.
Jangan lupa, ide kesetaraan dalam Marxisme juga sebanding dengan prinsip keadilan sosial
dalam Pancasila.

Bahkan, organisasi yang menjadikan Pancasila sebagai dasar pembentukannya belum


tentu Pancasilais. Dasar pembentukan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia ialah Pancasila.
Namun, kita meragukan HTI Pancasilais karena dia dicurigai memperjuangkan khilafahisme
yang bertentangan dengan Pancasila sehingga negara membubarkannya. Namun, kita tidak
meragukan Partai Persatuan Pembangunan sebagai Pancasilais meski Islam menjadi ideologinya.
Kita tidak meragukan tokoh-tokoh Minang, seperti Mohammad Yamin, Mohammad Hatta, atau
Haji Agus Salim, yang berkontribusi pada kemerdekaan sebagai Pancasilais. Namun, secara post
factum, kita mengecap tokoh-tokoh komunis semacam Aidit atau Wikana sebagai tidak
Pancasilais, meski mereka berkontribusi bagi kemerdekaan Indonesia. HTI, bila dilihat dari dasar
pembentukan organisasi bisa dikatakan Pancasilais, tetapi bila dilihat dari berbagai kegiatannya,
banyak yang dinilai bertentangan dengan Pancasila. PPP bila dilihat dari ideologinya tidak
6
Pancasilais, tetapi bila dilihat dari kegiatan politik yang dilakoninya sangat Pancasilais. Bila
melihat kontribusi Aidit pada kemerdekaan, kita boleh menyebutnya Pancasilais, tetapi ketika
kita melihat pemberontakan yang dipimpinnya pascakemerdekaan, kita mengecapnya
antiPancasila. Kearifan lokal Minang seperti disebut di atas sangat Pancasilais, tetapi sejumlah
kasus intoleransi yang terjadi di sana tidak Pancasilais.

Oleh karena itu, persoalan sesungguhnya bukanlah apakah kita Pancasilais atau tidak
Pancasilais, melainkan seberapa Pancasilais kita. Pernyataan Ketua DPP PDIP Puan Maharani
yang menyebutkan semoga Sumbar memang mendukung negara Pancasila semestinya kita
letakkan dalam konteks itu.

7
BAB V

PENUTUP

Puan tidak sedang meragukan ‘Pancasialisme’ orang Minang. Puan tidak sedang
sesumbar dia paling Pancasilais. Puan sedang mendorong, mendoakan, mengharapkan, Sumbar
makin Pancasilais, betulbetul Pancasilais, Pancasilaismenya mendekati sempurna. Yang
namanya doa pastilah mengharapkan kebaikan. Mengapa kita berprasangka buruk pada doa
berharap kebaikan? Pada dasarnya tidak ada ukuran eksak atau standar objektif untuk
mengatakan seseorang atau sekelompok orang tidak Pancasilais atau Pancasilais. Kecilnya suara
PDIP atau kekalahan Jokowi dalam dua pilpres di Sumbar tidak bisa dijadikan ukuran Sumbar
tidak Pancasilais atau Pancasilais. Pun, Puan sama sekali tidak mengatakan itu. Tafsir politisi
atau pengamat yang menduga-duga kekalahan PDIP dan Jokowi menjadi dasar pernyataan Puan.
Karena tak ada ukuran eksak Pancasilais atau tidak Pancasilais, pembubaran HTI pun
diperkarakan ke pengadilan. Satu anggota DPR mempertanyakan apa ukurannya HTI tidak
Pancasilais sehingga dibubarkan, padahal dasar pembentukan organisasi tersebut Pancasila.
Namun, pengadilan mengukuhkan pembubaran HTI. Meski begitu, pembubaran HTI sesekali
muncul sebagai polemik karena, ya itu tadi, tidak ada ukuran pasti Pancasilais atau tidak
Pancasilais. Ada satu masa penerapan nilai-nilai Pancasila kendur, tetapi di waktu lain kencang.
Ada wilayah yang konsisten toleran atau Pancasilais, tetapi wilayah lain toleransi atau penerapan
nilainilai Pancasilanya kendur. Sesekali bahkan sering kali muncul gangguan bagi pelaksanaan
nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, membumikan Pancasila menjadi kegiatan tanpa henti,
proses pantang menyerah. Sekali lagi, berprasangka baik saja bahwa pernyataan Puan merupakan
upaya untuk makin membumikan Pancasila di Sumbar.

8
DAFTAR ISI

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2012. Budaya Bangsa Peran Untuk Jatidiri dan Integrasi makalah
disampaikan dalam seminar nasional Peran Sejarah dan Budaya dalam Pembinaan Jatidiri
Bangsa. Yogyakarta: Naskah tidak diterbitkan.

Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat. 2017. Kebijakan Umum Dinas Kebudayaan
Provinsi Sumatera Barat dan Urgensi Data. Paparan pada workshop Kekayaan dan
Keragaman Budaya Sumatera Barat 2017.

UNESCO. 2005. The Power of Culture for Development. Naskah dapat diunduh:
http://www.unesco.or.kr/eng/front/programmes/links/5_PowerofCultureforDevelopme
nt.pd

iii

Anda mungkin juga menyukai