Laporan Pendahuluan Ca Recti
Laporan Pendahuluan Ca Recti
CA RECTI
Oleh Hilda Fauziyyah, 1306377884
Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
Usus besar atau Intestinum mayor panjangnya ± 1,5 m, lebarnya 5-6 cm.
Banyak bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa
bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri ini juga penting untuk
fungsi normal dari usus. Fungsi usus besar, terdiri dari :Menyerap air dari
makanan, tempat tinggal bakteri E.Coli, tempat feses. Usus besar (kolon), terdiri
atas:
a. Sekum
Sekum (bahasa latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah
suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon
menanjak dari usus besar. Di bawah sekum terdapat appendiks vermiformis
yang berbentuk seperti cacing sehingga disebut juga umbai cacing,
panjangnya ± 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh peritoneum mudah bergerak
walaupun tidak mempunyai mesentrium dan dapat diraba melalui dinding
abdomen pada orang yang masih hidup.
b. Kolon Asendens
Kolon assendens mempunyai panjang 13 cm, terletak di abdomen
bawah sebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah
hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatica, dilanjutkan
sebagai kolon transversum.
c. Kolon Transversum
Panjangnya ±38 cm membujur dari kolon asendens sampai ke kolon
desendens berada di bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura
hepatica dan sebelah kiri terdapaat fleksura lienalis.
d. Kolon Desendens
Panjangnya ±25 cm terletak di abdomen bawah bagian kiri membujur
dari atas ke bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri,
bersambung dengan kolon sigmoid.
e. Kolon Sigmoid
Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak
miring dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai S, ujung
bawahnya berhubungan dengan rektum
f. Rektum
Rektum (Bahasa Latin: regere, "meluruskan, mengatur") adalah sebuah
ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan
berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara
feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih
tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja
masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar
(BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di
dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk
melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan.
Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan
pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa
menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami
kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.
Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai
Klasifikasi Ca Rekti
Metode penahapan kanker yang digunakan adalah klasifikasi duke sebagai
berikut (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010):
1. Duke
Stadium 0 (carcinoma in situ)
Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum.
Stadium I
Kanker telah menembus membran basal hingga lapisan kedua atau ketiga
(submukosa/ muskularis propria) dari lapisan dinding kolon/ rektum tetapi
belum menyebar keluar dari dinding kolon/rektum (Duke A).
Stadium II
Kanker telah menembus jaringan serosa dan menyebar keluar dari dinding
usus kolon/rektum dan ke jaringan sekitar tetapi belum menyebar pada
kelenjar getah bening (Duke B).
Stadium III
Kanker telah menyebar pada kelenjar getah bening terdekat tetapi belum
pada organ tubuh lainnya (Duke C).
Stadium IV
Kanker telah menyebar pada organ tubuh lainnya (Duke D).
2. Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)
Stadium T N M Duke
0 Tis N0 M0 -
I T1 N0 M0 A
T2 N0 M0
II A T3 N0 M0 B
II B T4 N0 M0
III A T1-T2 N1 M0 C
III B T3-T4 N1 M0
III C Any T N2 M0
IV Any T Any N M1 D
Keterangan
T : Tumor primer
Tx : Tumor primer tidak dapat di nilai
T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis : Carcinoma in situ, terbatas pada intraepitelial atau terjadi invasi pada
lamina propria
T1 : Tumor menyebar pada submukosa
T2 : Tumor menyebar pada muskularis propria
T3 : Tumor menyebar menembus muskularis propria ke dalam subserosa atau
ke dalam jaringan sekitar kolon atau rektum tapi belum mengenai
peritoneal.
T4 : Tumor menyebar pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan perforasi
peritoneum viseral.
N : Kelenjar getah bening regional/node
Nx : Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai
N0 : Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening
N1 : Telah terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional
N2 : Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4 kelenjar getah bening
M : Metastasis
Mx : Metastasis tidak dapat di nilai
M0 : Tidak terdapat metastasis
M1 : Terdapat metastasis
V. Pengkajian
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan atau keletihan.
Sirkulasi
Gejala : Palpitasi, nyeri dada pada pengerahan kerja.
Tanda : Perubahan pada TD.
Integritas Ego
Gejala : Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak
mampu, tidak bermakna, rasa bersalah, kehilangan kontrol, depresi.
Tanda : Menyangkal, menarik diri, marah.
Eliminasi
Gejala : Perubahan pada pola defekasi, darah pada feses, nyeri pada
defekasi. Perubahan eliminasi urinarius, nyeri saat berkemih, hematuria,
sering berkemih.
Tanda : Perubahan pada bising usus, distensi abdomen.
Makanan/Cairan
Gejala : Kebiasaan diet buruk (rendah serat, tinggi lemak). Anoreksia,
mual/muntah. Intoleransi makanan. Perubahan pada berat badan,
berkurangnya massa otot.
Tanda : Perubahan pada kelembaban/turgor kulit, edema.
Neurosensori
Gejala : Pusing.
Pernapasan
Gejala : Merokok (hidup dengan seseorang yang merokok). Pemajanan
abses.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri bervariasi.
Keamanan
Gejala : Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen. Pemajanan matahari
yang lama.
Tanda : Demam, ruam kulit, ulserasi.
Seksualitas
Gejala : Masalah seksual, dampak pada hubungan, perubahan tingkat
kepuasan.
Interaksi Sosial
Gejala : Ketidakadekuatan/kelemahan sistim pendukung.
Riwayat perkawinan, masalah tentang fungsi/tanggung jawab peran.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Riwayat kanker pada keluarga.
Riwayat pengobatan: pengobatan sebelumnya dan pengobatan yang
diberikan.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Fecal occult blood test, pemeriksaan darah samar feses di bawah mikroskop
2. Colok dubur (rectal toucher) ditemukan darah dan lendir, tonus sfingter ani
keras/lembek, mukosa kasar, kaku biasanya dapat digeser, ampula rectum
kolaps/kembung terisi feses atau tumor yang dapat teraba atau tidak.
3. Barium enema, pemeriksaan serial sinar x pada saluran cerna bagian bawah,
sebelumnya pasien diberikan cairan barium ke dalam rektum
4. Endoskopi (protoskopi, sigmoidoscopy atau colonoscopy), dengan
menggunakan teropong, melihat gambaran rektum dan sigmoid adanya polip
atau daerah abnormal lainnya dalam layar monitor. Protoskopi untuk
mendeteksi kelainan 8-10 cm dari anus (polip rekti, hemoroid, karsinoma
rektum). Sigmoidoskopi atau kolonoskopi adalah test diagnostik utama
digunakan untuk mendeteksi dan melihat tumor dan biopsy jaringan.
Sigmoidoskopi fleksibel dapat mendeteksi 50 % sampai 65 % (20-25 cm dari
anus) dari kanker kolorektal. Pemeriksaan enndoskopi dari kolonoskopi
direkomendasikan untuk mengetahui lokasi dan biopsy lesi pada klien dengan
perdarahan rektum. Bila kolonoskopi dilakukan dan visualisasi sekum, barium
enema mungkin tidak dibutuhkan. Tumor dapat tampak membesar, merah,
ulseratif sentral, seperti penyakit divertikula, ulseratif kolitis
5. Biopsi, tindakan pengambilan sel atau jaringan abnormal dan dilakukan
pemeriksaan di bawah mikroskop untuk mengidentifikasi matastase dan
menilai reseklabilitas.
6. Jumlah sel-sel darah untuk evaluasi anemia. Anemia mikrositik, ditandai
dengan sel-sel darah merah yang kecil, tanpa terlihat penyebab adalah indikasi
umum untuk test diagnostik selanjutnya untuk menemukan kepastian kanker
kolorektal.
7. Test Guaiac pada feces untuk mendeteksi bekuan darah di dalam feces,
karena semua kanker kolorektal mengalami perdarahan intermitten.
8. CEA (carcinoembryogenic antigen) adalah ditemukannya glikoprotein di
membran sel pada banyak jaringan, termasuk kanker kolorektal. Antigen ini
dapat dideteksi oleh radioimmunoassay dari serum atau cairan tubuh lainnya
dan sekresi. Test ini tidak spesifik bagi kanker kolorektal dan positif pada
lebih dari separuh klien dengan lokalisasi penyakit, ini tidak termasuk dalam
skreening atau test diagnostik dalam pengobatan penyakit. CEA digunakan
sebagai prediktor pada prognsis postoperative dan untuk deteksi kekambuhan
mengikuti pemotongan pembedahan.
9. Digital rectal examination (DRE)
Dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining awal .Kurang lebih 75%
karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal. Pemeriksaan
digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor
akan teraba keras dan menggaung.
10. Pemeriksaan kimia darah alkaline phosphatase dan kadar bilirubin dapat
meninggi, indikasi telah mengenai hepar. Test laboratorium lainnya meliputi
serum protein, kalsium, dan kreatinin.
11. Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau konfirmasi ada tidaknya
dan lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium dimasukkan kedalam
usus bagian bawah, kanker tampak sebagai massa mengisi lumen usus,
konstriksi, atau gangguan pengisian. Dinding usus terfiksir oleh tumor, dan
pola mukosa normal hilang. Meskipun pemeriksaan ini berguna untuk tumor
kolon, sinar-X tidak nyata dalam mendeteksi rektum
12. X-ray dada untuk deteksi metastase tumor ke paru-paru
13. CT (computed tomography) scan, magnetic resonance imaging (MRI), atau
pemeriksaan ultrasonic dapat digunakan untuk mengkaji apakah sudah
mengenai organ lain melalui perluasan langsung atau dari metastase tumor.
14. Whole-body PET Scan Imaging. Sementara ini adalah pemeriksaan
diagnostik yang paling akurat untuk mendeteksi kanker kolorektal rekuren
(yang timbul kembali).
15. Pemeriksaan DNA Tinja.
Identifikasi bau
yang ditimbulkan
oleh makanan Mengidentifikasi
(mis., kol, ikan, kekurangan/kebutuh
kacang-kacangan) an untuk membantu
dan sementara memilih intervensi.
batasi diet.
Kembalinya fungsi
usus menunjukkan
Anjurkan pasien kesiapan untuk
meningkatkan memulai makan lagi.
penggunaan
yogurt dan Menurunkan insiden
mentega susu. kram abdomen,
mual.
Diskusikan
mekanisme Sensitivitas terhadap
menelan udara makanan tertentu
sebagai factor tidak umum setelah
pembentukan bedah usus. Pasien
flatus. dapat mencoba
berbagai makanan
sebelum
menentukan apakah
ini membuat
masalah.
Minum melalui
Tingkatkan diet sedotan, mengorok,
dari cairan sampai ansietas, merokok,
makanan rendah sakit gigi, dan
residu bila meneguk makanan
masukan oral meningkatkan
dimulai. produksi flatus.
Terlalu banyak
flatus dapat menjadi
Berikan makanan factor penyebab
enteral/ parenteral kebocoran dari
bila diindikasikan. banyaknya tekanan
dalam kantong.
Melindungi kulit
Berikan sprei dari perekat
aerosol kantong,
kortikosteroid dan meningkatkan
bedak nistatin perekat kantong dan
sesuai indikasi. memudahkan
pengangkatan
kantong bila perlu.
Penggantian kantong
yang sering
mengiritasi kulit dan
harus dihindari.
Mencegah iritasi
jaringan/kerusakan
sehubungan dengan
“penarikan”
kantong.
Indikasi kebocoran
feses dengan iritasi
periostomal, atau
kemungkinan infeksi
kandida yang
memerlukan
intervensi.
Membantu
pemilihan produk
yang tepat untuk
kebutuhan
penyembuhan
pasien, termasuk
tipe ostomi, status
fisik/mental dan
sumber finansial.
Membantu
penyembuhan bila
terjadi iritasi
peristomal/infeksi
jamur.
Daftar Pustaka