Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi SSP merupakan masalah kesehatan serius yang perlu segera diketahui dan diobati untuk
meminimalkan gejala sisa neurologis yang serius dan memastikan keselamatan pasien, salah satunya
adalah meningitis. Meningitis adalah infeksi pada selaput pelindung yang mengelilingi otak dan
sumsum tulang belakang (meninges). Selaput pelindung otak adalah selaput duramater, araknoid dan
piamater. Selain selaput, infeksi ini juga melibatkan cairan serebrospinal yang mengelilingi otak dan
sumsum tulang belakang. Meningitis dapat menjadi serius bila tidak ditangani dengan cepat. Hal ini
menyebabkan kerusakan permanen pada saraf dan otak. Meningitis disebabkan oleh bakteri, virus

atau jamur.1 Infeksi pada meninges menunjukkan gejala kaku kuduk, sakit kepala, demam,
sedangkan bila parenkim otak yang terkena akan memperlihatkan penurunan tingkat kesadaran,
kejang, defisit neurologis fokal, dan kenaikan tekanan intrakranial. Meningitis dapat menyerang

siapa saja, tetapi paling sering terjadi pada bayi, anak - anak, remaja dan dewasa muda.2
Meningitis tuberkulosis merupakan manifestasi tuberkulosis yang paling ditakuti, dan
merupakan infeksi sistem saraf pusat (SSP) yang umum terjadi khususnya di negara-negara
berkembang seperti Indonesia di mana tuberkulosis masih cukup endemis. Insidensi sesuai dengan
tuberkulosis paru yang mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.4
Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer.
Secara histologi meningitis tuberkulosis merupakan meningoensefalitis (tuberkulosis) dengan
invasi ke selaput dan jaringan susunan saraf pusat.3
Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Pada jaringan tubuh kuman
ini berbentuk batang halus berukuran 3 x 0,5 µm, dapat juga terlihat seperti berbiji-biji).2,9
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui anatomi serta untuk mengetahui
manifestasi meningitis TB mulai dari definisi, etiologi, diagnosis, manifestasi klinis, dan
penatalaksanaannya.
1.3 Manfaat
Makalah ini adalah bermanfaat bagi para pembaca, khususnya yang terlibat dalam bidang
medis dan masyarakat secara umumnya. Diharapkan dengan makalah ini pembaca dapat lebih
mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai meningitis TB sehingga penanganan yang
lebih cepat dan tepat dapat dilakukan untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Meningitis


Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk duramater, arachnoid dan
piamater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat disebabkan oleh beberapa etiologi dan

dapat diidentifikasi oleh peningkatan kadar leukosit dalam liquor cerebrospinal (LCS).3
2.2 Anatomi Fisiologis
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti oleh meninges yang berasal dari mesodermal.
Fungsinya yang melindungi struktur saraf, membawa pembuluh darah dengan sekresi sejenis cairan
yaitu cairan serebrospinal. Tiga lapisan meninges dari yang terluar ke dalam :
1. Duramater
Lapisan paling luar, kuat dan keras dan disebut juga “pachymeninx” (membran yang kuat)
Araknoid Membran avaskular yang tipis dan rapuh yang memisahkan duramater piamater.
Membran ini disebut juga dengan “leptomeninges” (membran yang tipis,rapuh
Ruangan antara araknoid dan piamater (ruangan subaraknoid) berisi cairan serebrospinal.
2. Piamater.
Terdiri dari lapisan – lapisan tipis mesodermal yang menyerupai

endotelium. Piamater menyelipkan dirinya ke dalam sulkus otak.4,5

Gambar 1. Selaput Otak


2.3 Klasifikasi dan Etiologi
Berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu:
 Meningitis serosa
Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan
serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah Mycobacterium
tuberculosa. Penyebab lainnya Toxoplasma gondii dan Ricketsia7
 Meningitis purulenta
Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan
menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus.
Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumonia (pneumokokus), Neisseria meningitis
(meningokokus), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus
influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.4
Berdasarkan mikroorganisme penyebab:
Penyebab tersering dari meningitis adalah mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit dan
jamur. Mikroorganisme ini menginfeksi lapisan otak, darah dan liquor serebrospinal. Meningitis juga
dapat disebabkan oleh penyebab non-infeksi, seperti pada penyakit AIDS, keganasan, diabetes
mellitus, cedera fisik atau obat – obatan tertentu yang dapat melemahkan sistem imun (imunosupresif).
Meningitis dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus, bakteri, jamur maupun parasit :
 Virus :
Meningitis virus tidak melibatkan jaringan otak pada proses peradangannya. Gejalanya
ringan sehingga diagnosis meningitis virus luput dibuat. Tetapi pada lumbal pungsi
ditemukan pleitosis limfositer. Enterovirus merupakan penyebab utama meningitis viral
sedangkan sebagian dari enterovirus mengakibatkan ensefalitis. Maka meningitis virus yang
paling berat selalu merupakan komponen meningoencephalitis. Gejala – gejala beratnya sakit
kepala dan nyeri kuduk . Infeksi virus lain yang dapat menyebabkan meningitis, yakni :
Virus Mumps Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr virus, herpes simplexs, varicella-zoster,
Measles, and Influenza Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya
(Arboviruses)5

 Bakterial :
Bakteri meningitidis sangat serius dan dapat mematikan. Kematian dapat terjadi hanya
dalam beberapa jam. Namun banyak juga pasien meningitis yang sembuh, cacat permanen
seperti hilangnya pendengaran, kerusakan otak dan ketidakmampuan belajar akibat dari
infeksinya. Meningitis bakterial akut selalu bersifat purulenta. Meningitis purulenta dapat
menjadi komplikasi dari otitis media. Ada beberapa jenis bakteri yang dapat menyebabkan
meningitis, seperti Streptococcus pneumoniae, grup B Streptococcus, Neisseria meningitidis,
Haemophilus influenzae, dan Listeria monocytogenes. Sebagian besar kasus meningitis pada
periode neonatus disebabkan oleh flora dalam saluran genitalia ibu. Streptococcus grup B
berkapsul dan Escherichia coli, khususnya merupakan patogen penting bagi kelompok usia ini.
Pada anak usia 6 bulan atau lebih. Haemophilus influenzae dahulu merupakan penyebab
sebagian meningitis. 6
 Jamur :
Jamur yang menginfeksi manusia terdiri dari 2 kelompok yaitu, jamur patogenik dan
opportunistik. Jamur patogenik adalah beberapa jenis spesies yang dapat menginfeksi
manusia normal setelah inhalasi atau inflantasi spora. Secara alamiah, manusia dengan
penyakit kronis atau keadaan gangguan imunitas lainnya lebih rentan terserang infeksi
jamur dibandingkan manusia normal. Jamur patogenik menyebabkan histoplasmosis,
blastomycosis, coccidiodomycosis dan paracoccidiodomycosis. Kelompok kedua adalah
kelompok jamur apportunistik. Kelompok ini tidak menginfeksi orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang normal, tetapi dapat menyerang orang dengan sistem kekebalan tubuh yang
buruk. Penyakit yang termasuk disini adalah aspergilosis, candidiasis, cryptococcosis,
mucormycosis (phycomycosis) dan nocardiosis.Infeksi jamur pada susunan saraf pusat dapat
menyebabkan meningitis akut, subakut dan kronik. Biasanya sering pada anak dengan
imunosupresif terutama anak dengan leukemia dan asidosis. Dapat juga pada pasien yang
imunokompeten. Cryptococcusneoformans dan Coccidioides immitis adalah penyebab
utama meningitis jamur pada pasien imunokompeten. Meningitis Kriptikokus Meningitis yang
disebabkan oleh jamur kriptokokus. Jamur ini bisa masuk ke tubuh kita saat kita menghirup debu
atau tahi burung yang kering. Kriptokokus ini dapat menginfeksikan kulit, paru, dan bagian
tubuh lain. Meningitis Kriptokokus ini paling sering terjadi pada orang dengan CD4 di bawah
100. Diagnosis : Darah atau cairan sumsum tulang belakang dapat dites untuk kriptokokus
dengan dua cara. Tes yang disebut ‘CRAG’ mencari antigen (sebuah protein).2
2.3 Epidemiologi
Menurut WHO (2003), diperkirakan 8 juta orang terjangkit TBC setiap tahun dan 2 juta meninggal.
Pada tahun 1997 diperkirakan TBC menyebabkan kematian lebih dari 1 juta penduduk di negara-
negara Asia. Riggs (1956) menyatakan bahwa antara 5-10% penderita TBC akan meninggal, dan
25% akan berlanjut menjadi infeksi. Meningitis tuberkulosis lebih sering pada anak terutama anak
usia 0-4 tahun di daerah dengan prevalensi TBC tinggi. Sebaliknya di daerah dengan prevalensi
TBC rendah, meningitis tuberkulosis lebih sering dijumpai pada orang dewasa.3
Di Amerika Serikat meningitis tuberkulosis ditemukan pada 32% kasus meningitis dan
menurun drastis kurang dari 8% dalam 25 tahun kemudian, sedangkan di India pada tahun yang
sama, 60% kasus terjadi pada anak usia 9 bulan - 5 tahun.3
Berdasarkan data di Departemen Neurologi RS Cipto Mangunkusumo, pasien yang dirawat
pada tahun 1996 terdapat penderita dengan kasus meningitis dengan kematian 40%. Tahun 1997,
13 kasus dengan kematian 50,85% dan tahun 1998 dengan kematian 46,15%. Dari 13 pasien
dibagian Ilmu Penyakit Saraf DR. M. Djamil Padang, selama tahun 2007 didapatkan kasus
meningitis tuberkulosis sebanyak 9 penderita dan tahun 2008 dengan 7 orang penderita.5
Meningitis tuberkulosis merupakan meningitis yang paling banyak menyebabkan kematian
atau kecacatan, dibanding dengan meningitis bakterialis akut, perjalanan penyakit meningitis
tuberkulosis lebih lama dan perubahan atau kelainan dalam cairan serebrospinal (CSS) tidak begitu
hebat.6
2.4 Patofisiologi
Perkembangan meningitis tuberkulosis terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, basil
Mycobacterium tuberculosis masuk ke tubuh pejamu melalui inhalasi droplet, dimulai dengan
infeksi di sel makrofag alveolus paru-paru. Infeksi meluas ke dalam paru-paru bersama dengan
penyebaran ke limfonodus regional membentuk kompleks primer. Pada tahap ini terjadi bakteremia
singkat tapi signifikan dapat menyebarkan basil tuberkel ke organ lain di dalam tubuh. Pada
penderita yang mengalami meningitis tuberkulosis basil menyebar ke meninges atau parenkim otak,
membentuk fokus subpial atau sub-ependimal kecil. Yang disebut fokus Rich. Pada sekitar 10%
kasus, terutama pada anak-anak, kompleks primer tidak sembuh tetapi menjadi progresif.
Pneumonia tuberkulosis berkembang lebih berat dan terjadi bakteremia tuberkulosis yang lebih
lama. Penyebaran ke sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada tuberkulosis milier.7
Tahap kedua perkembangan meningitis tuberkulosis yaitu pecahnya fokus Rich ke ruang
subarakhnoid. Hal ini menyebabkan meningitis yang jika tidak diobati, akan terjadi kerusakan otak
yang parah dan irreversible. Pada 75% anak-anak, onset meningitis tuberkulosis terjadi kurang
dari 12 bulan setelah infeksi primer.7
Keadaan patologi terjadi melalui tiga proses : pembentukan adhesi, vaskulitis, dan encefalitis.
Adhesi terjadi karena eksudat meningeal di basal otak yang kental yang terjadi karena inokulasi
basil ke dalam ruang subarakhnoid. Eksudat berisi limfosit, sel plasma, dan makrofag, serta fibrin
yang banyak. Adhesi yang terjadi pada sisterna basalis menyebabkan obstruksi saluran CSS dan
hidrosefalus. Adhesi di sekitar fossa interpendicular dan struktur di sekitarnya dapat menyebabkan
kelainan nervus kranial, terutama nervus kranial II, IV, dan VI, dan arteri karotis interna. Vaskulitis
pada pembuluh darah yang besar dan kecil sehingga menyebabkan infark dan sindrom stroke.
Biasanya terjadi di daerah karotis interna, arteri serebri media proksimal dan permbuluh darah yang
menuju ke ganglia basalis. Peningkatan proses inflamasi di basal dapat meluas ke parenkim otak
menyebabkan ensefalitis. Edema terjadi sebagai konsekuensi dari ensefalitis yang dapat terjadi
pada kedua hemisfer. Ini akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan defisit neurologi
global.6
2.5 Gejala Klinis
Gambaran klinis meningitis tuberkulosis bervariasi dan tidak spesifik. Selama dua sampai
delapan minggu dapat ditemukan malaise, anoreksia, demam, nyeri kepala yang semakin
memburuk, perubahan mental, penurunan kesadaran, kejang, kelumpuhan nervus kranial (II, III,
IV, VI, VII, VIII) dan hemiparese. Pemeriksaan funduskopi kadang-kadang memperlihatkan
tuberkel pada koroid, dan edema papil menandakan adanya peninggian tekanan intracranial.3
Perjalanan klinis meningitis tuberkulosa dapat dibagi dalam tiga tahapan, sebagaimana
didefinisikan oleh British Medical Research Council. Tahap pertama, merefleksikan inflamasi
meningeal, terdiri dari perubahan kepribadian, iritabilitas, anoreksi, lesu, dan demam. Gejala non-
spesifik ini dapat dianggap disebabkan oleh meningitis tuberkulosis hanya pada penelitian
retrospektif. Setelah 1-2 minggu, penyakit memasuki tahap kedua. Di sini, tanda dan gejala
peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan serebral muncul, termasuk mengantuk, kaku
kuduk, kelumpuhan nervus kranial (terutama nervus kranial III, VI, dan VII), anisokor, muntah,
dan kejang fokal atau umum. Pada anak yang lebih tua dan orang dewasa, sakit kepala dan muntah
merupakan gejala utama tahap kedua, dan sakit kepala pada pasien dengan tuberkulosis milier
sangat berhubungan dengan keterlibatan meningeal. Kadang-kadang makrosefali dapat diamati
pada bayi. Sebanyak 10% pasien tidak mengalami demam.6
Tahap ketiga dari meningitis tuberkulosis ditandai dengan defisit neurologi yang berat,
termasuk koma, instabilitas otonom, dan demam yang meningkat. Hemiplegia dapat terjadi selama
onset penyakit atau pada tahap selanjutnya, tapi biasanya berhubungan dengan infark di daerah
arteri serebri media. Monoplegia, bukan gejala yang umum terjadi, terjadi akibat lesi vaskuler pada
tahap awal dari penyakit. Quadriplegia disebabkan oleh infark bilateral atau edema yang hebat,
terjadi hanya pada kasus yang lebih lanjut.6
Terjadinya meningitis tuberkulosa pada anak seringkali bertahap, terjadi selama 1-3 minggu,
dan tampaknya di beberapa kasus dipicu oleh infeksi virus, jatuh, atau benturan di kepala. Kadang
timbulnya gejala tiba-tiba dan ditandai dengan kejang atau perkembangan defisit neurologi yang
cepat.6
Berikut adalah tabel ciri-ciri klinis meningitis tuberkulosis pada anak-anak dan orang dewasa.

Tabel 1 Ciri-Ciri Klinis Meningitis Tuberkulosis pada


Anak-Anak dan Orang Dewasa.8
Frekuensi
Gejala
Sakit Kepala 50 – 80 %
Demam 60 – 95 %
Muntah 30 – 60%
Fotofobia 5 – 10 %
Anoreksia / Penurunan Berat Badan 60 – 80%

Tanda Klinis
Kaku Kuduk 40 – 80%
Kebingungan 10 – 30%
Koma 30 – 60%
Kelumpuhan Nervus Kranial 30 – 50%
VI 30 – 40 %
III 5 – 15%
VII 10 – 20%
Hemiparesis 10 – 20%
Paraparesis 5 – 10%
Kejang
Anak-Anak 50%
Dewasa 5%

Cairan Serebrospinal
Kejernihan 80 – 90%
Tekanan > 25 cm H2O 50%
Hitung Leukosit (x 103/ml) 5 – 1000
Netrofil 10 – 70%
Limfosit 30 – 90%
Protein (g/l) 0,45 – 3,0*
Laktat (mmol/l) 5,0 – 10,0
Glukosa CSS ; Glukosa darah < 0,5 95%
* Protein Serebrospinal dapat > 10 g/l dengan sumbatan medulla spinal

2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologi dan
pemeriksaan penunjang.3
1. Pemeriksaan Laboratorium
Laju endap darah yang meningkat lebih dari 80% pada kasus meningitis tuberkulosis, tapi
ini bukan nilai diagnostik. Sebagian besar anak dengan meningitis tuberkulosis memiliki
nilai hitung darah lengkap yang normal, sementara anemia lebih umum, leukopenia dan
trombositopenia jarang dengan tidak adanya penyebaran menigitis tuberkulosis.6
2. Tes Tuberkulin
Penempelan tes kulit intradermal Mantoux, meskipun cukup sederhana dan rutin pada orang
dewasa yang kooperatif, dapat lebih sulit dilakukan pada anak-anak. Tes ini dinilai setelah
48-72 jam penempelan dengan pengukuran dan pencatatan jumlah indurasi (bukan eritma).
Jumlah indurasi dianggap sebagai tes kulit positif tergantung pada risiko infeksi
tuberkulosis dan risiko infeksi tuberkulosis berkembang menjadi penyakit tuberkulosis.
Secara umum, indurasi yang lebih dari 5 mm dianggap positif untuk orang dengan tanda
klinis atau radiografi dengan tanda-tanda penyakit tuberkulosis.6
3. Pemeriksaan Cairan Serebrospinalis
Pungsi lumbal pada meningitis tuberkulosis biasanya menunjukkan peningkatan opening
pressure dan jernih, serta tidak berwarna. Kebanyakan pasien memiliki tingkat pleositosis
moderat, biasanya kurang dari 500 sel/mm 3. Leukosit CSS lebih besar dari 1000 sel/mm 3
jarang pada meningitis tuberkulosis. Walaupun sel PMN lebih banyak pada awal perjalanan
penyakit. Namun pada saat dilakukan pungsi lumbal tampak limfositosis.6
Rentang tingkat protein CSS biasanya berada pada 100 sampai 500 mg/dl, protein
meningkat selama perjalanan penyakit dan sangat meningkat bila terjadi obstruksi CSS,
kadar glukosa jarang turun di bawah 20 mg/dl sehingga kadar glukosa yang rendah ini dapat
membedakan meningitis tuberkulosis dengan penyebab lain, kecuali penyebab bakteri.
4. Pemeriksaan Radiologi
Pada penelitian oleh Etlik Ö et al (2004). Pada 16 pasien meningitis tuberkulosis
menemukan bahwa hanya ditemukan 2 pasien (12,5%) yang memiliki kelainan pada
rontgen toraks seperti TBC milier, limfadenopati, konsolidasi pada paru-paru sebelah
kanan. CT scan dan MRI tidak dapat menegakkan diagnosis mikobakterium tuberkulosis
tetapi dapat membantu menyingkirkan gangguan SSP dan dapat memberi petunjuk
mengenai tuberkulosis SSP (Starke RJ, 2010). Sebagian besar pasien yang diperiksa dengan
MRI ditemukan hasil radiologi abnormal yang sesuai dengan meningitis tuberkulosis
termasuk hidrosefalus (25%), enhancement sisterna basalis (18%), dan infark bilateral pada
ganglia basalis (43%). Sebaliknya, sebagian besar pasien yang diperiksa dengan CT scan
tidak ditemukan hasil radiologi yang abnormal kecuali hidrosefalus. Pada pemeriksaan CT
scan sering ditemukan ventrikel melebar, eksudat, dan meninges yang menebal terutama di
daerah basilar otak.2
2.6 Diagnosis Banding
Ada beberapa yang dapat menjadi diagnosis banding dari meningitis tuberkulosis antara lain6:
 Infeksi bakteri disebabkan oleh meningitis yang tidak diobati atau diobati secara setengah-
setengah, abses otak (brain abscess), leptospirosis, brucellosis.
 Infeksi virus disebabkan oleh herpes simplex, mumps.
 Infeksi jamur disebabkan oleh cryptococcosis, histoplasmosis.
 Infeksi protozoa disebabkan oleh toxoplasmosis.
Vascular disebabkan oleh emboli, infeksi endokarditis, sinus thrombosis, stroke, systemic
vasculitis syndromes.
2.7 Tatalaksana
Saat ini telah tersedia berbagai macam tuberkulostatika, pada umumnya tuberkulostatika
diberikan dalam bentuk kombinasi, dikenal sebagai triple drugs, ialah kombinasi antara INH
dengan dua jenis tuberkulostatika lainnya. Kita harus kritis untuk menilai efektivitas masing-
masing obat terutama dalam hal timbulnya resistensi.2,3
Berikut ini adalah beberapa contoh tuberkulostatika yang dapat diperoleh di Indonesia3 :
1. Isoniazid (INH), diberikan dengan dosis 10 – 20 mg/kgBB/hari pada anak) dan pada orang
dewasa dengan dosis 400 mg/hari. Efek samping berupa neuropati, gejala-gejala psikis.
2. Rifampisin, diberikan dengan dosis 10 – 20 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Efek
samping sering ditemukan pada anak di bawah 5 tahun dapat menyebabkan neuritis optika,
muntah, kelainan darah perifer, gangguan hepar, dan flu-like-symptom.
3. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB/hari – 150 mg/hari. Efek samping dapat
menimbulkan neuritis optika.
4. PAS diberikan dengan dosis 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis dapat diberikan
sampai 12 g/hari. Efek samping dapat menyebabkan gangguan nafsu makan.
5. Streptomisin, diberikan intramuskuler selama lebih kurang 3 bulan. Dosisnya adalah 30 –
50 mg/kgBB/hari. Oleh karena bersifat ototoksik maka harus diberikan dengan hati-hati.
Bila perlu pemberian streptomisin dapat diteruskan 2 kali seminggu selama 2 – 3 bulan
sampai CSS menjadi normal.
6. Kotikosteroid, biasanya dipergunakan prednisone dengan dosis 2 – 5 mg/kgBB/hari (dosis
normal) 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis selama 2 – 4 minggu kemudian diteruskan dengan
dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 – 2 minggu. Pemberian kortikosteroid seluruhnya adalah
lebih kurang 3 bulan, apabila diberi deksametason maka obat ini diberikan secara intravena
dengan dosis 10 mg setiap 4 – 6 jam. Pemberian deksametason ini terutama bila ada edema
otak. Apabila keadaan membaik maka dosis dapat diturunkan secara bertahap sampai 4 mg
setiap 6 jam secara intravena.
7. Pemberian kortikosteroid efektif untuk mengurangi inflamasi, terutama di ruang
subarakhnoid, mengurangi edema otak dan tekanan intrakranial, dan mengurangi inflamasi
pembuluh darah kecil dengan demikian mengurangi kerusakan aliran darah sampai jaringan
otak. Namun, kortikosteroid dapat juga menyebabkan penekanan sistem imun. Yaitu
menekan gejala infeksi tuberkulosis juga meningkatkan pertumbuhan bakteri, mengurangi
inflamasi meninges yang akan mengurangi kemampuan obat sampai ke ruang subarakhnoid,
dan menyebabkan hemoragi gastrointestinal, ketidakseimbangan elektrolit, hiperglikemia,
dan infeksi jamur (Prasad K, Singh MB, 2009).
Tabel 2 Beberapa Regimen yang dianjurkan untuk
pengobatan meningitis tuberkulosis3
Obat Dosis Frekuensi Lamanya
Kemungkinan resistensi obat yang rendah
A INH 300 mg Setiap hari 6 bulan
RIF 600 mg Setiap hari 6 bulan
PRZ 15 – 30 Setiap hari 2 bulan
mg/kg
B INH Setiap hari 9 bulan
RIF 300 mg Setiap hari 9 bulan
Etambutol 600 mg Setiap hari 2 bulan
atau streptomisin 25 mg/kgBB Setiap hari 2 bulan
1g
C INH Setiap hari 1 bulan
300 mg 2 x 8 bulan
RIF 900 mg seminggu 1 bulan
600 mg Setiap hari 8 bulan
600 mg 2 x
seminggu
Kemungkinan resistensi obat yang tinggi
A INH 300 mg Setiap hari 1 tahun
RIF 600 mg Setiap hari 1 tahun
Kasus dengan resistensi obat, diberikan setelah tes resistensi
2.8 Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosis ditentukan oleh stadiumnya, makin lanjut stadiumnya
prognosanya makin jelek.3,4
Beberapa indikator prognosis yang buruk seperti – usia yang terlalu tua, stadium lanjut
penyakit, TB ekstrameningeal yang terjadi bersamaan, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Penelitian menunjukkan bahwa variabel yang signifikan untuk memprediksi hasil meningitis
tuberkulosis adalah usia, stadium penyakit, kelemahan fokal, kelumpuhan nervus kranial, dan
hidrosefalus.7,8
Prognosis meningitis tuberkulosis secara langsung berhubungan dengan derajat penyakit
yang muncul dan awal pengobatan. Sebagian besar pasien yang diterapi pada derajat I memiliki
hasil luaran (outcome) yang baik. Sebaliknya, sebagian besar pasien yang didiagnosis pada derajat
III akan meninggal atau cacat. Beberapa pasien yang didiagnosis pada derajat II memiliki hasil
yang baik, sedangkan yang lain memiliki defisit neurologi yang persisten. Angka kematian pada
meningitis tuberkulosis dengan terapi yang adekuat adalah 10 – 20% di negara maju, tapi dapat
lebih tinggi sebesar 30 – 40% di negara berkembang. Secara umum prognosis yang buruk terjadi
pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi, dan pasien dengan penyakit yang menular atau dengan
peningkatan tekanan intracranial.6
Kerusakan penglihatan dan pendengaran merupakan perjalanan yang secara umum lambat.
Kerusakan penglihatan biasanya karena tekanan edema pada nervus optik atau kiasma, tapi kadang
secara sekunder akibat peningkatan tekanan intrakranial. Kehilangan pendengaran dihasilkan dari
kerusakan nervus yang disebabkan oleh eksudat basalis.6
Defisit motorik setelah meningitis tuberkulosis lebih umum terjadi pada anak-anak dari pada
orang dewasa, telah dilaporkan pada 10 – 25% orang yang selamat hidup. Endokrinopati dapat
menjadi jelas setelah beberapa bulan atau tahun membaik dari meningitis tuberkulosis.6,9
2.9 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang akan terjadi pada meningitis tuberkulosis dijelaskan pada tabel di
bawah ini.
Tabel 3 Frekuensi komplikasi pada 104 pasien meningitis tuberkulosis1
N (%)
Hyponatraemia 51 49
Hydrocephalus 44 42
Stroke 34 33
Cranial nerve palsies 30 29
Epileptic seizures 29 28
Diabetes insipidus 6 6
Tuberculoma 3 3
Myeloradiculopathy 3 3
Hypothalamic syndrome 3 3
Addison’s disease 1 1
Syringomyelia 1 1
Cavernous sinus syndrome 1 1
Acute tubular necrosis 1 1
Severe metabolic acidosis
BAB III
KESIMPULAN

Meningitis tuberkululosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang memiliki angka


morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Selain itu memiliki insidensi yang tinggi terutama di negara-
negara berkembang.
Meningitis merupakan peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk
duramater, arachnoid dan piamater yang melapisi otak dan medulla spinalis. Meningitis terjadi karena
berbagai penyebab pada umumnya karena infeksi berbagai macam mikroorganisme, dimana penyebab
infeksi terbanyak adalah virus dan bakteri serta jamur. Gejalanya mayoritas serupa. Keluhan pertama
biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku,
kesadaran menurun. Tanda Kernig’s dan Brudzinky positif. demam yang tinggi, pilek, mual, muntah,
kejang. Setelah itu biasanya penderita merasa sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan
kesadaran serta penglihatan menjadi kurang jelas. Meningitis akibat virus biasanya dapat sembuh
sendirinya, sementara meningitis karena bakteri dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi,
morbiditas yang lama akibat gejala sisa neurologis atau bahkan menyebabkan kematian. Diagnosis
yang segera dan manajemen terapi yang sesuai dapat menghentikan perjalanan penyakit dan
mencegah timbulnya komplikasi. Prognosis meningitis tergantung pada umur penderita, jenis kuman
penyebab, berat ringan infeksi, lama sakit sebelum mendapat pengobatan, kepekaan kuman terhadap
antibiotic yang diberikan, dan penanganan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson NE, 2010. Neurological and systemic complications of tuberculous meningitis


and its treatment at Auckland City Hospital, New Zealand. in : Journal of Clinical
Neuroscience. Elsevier. Pp. 1018 – 1022.
2. Etlik Ö et al, 2004. Radiologic and Clinical Findings in Tuberculous Meningitis. Eur. in :
J. Gen. Med. Pp. 19 – 24.
3. Frida M, 2011. Meningitis Tuberkulosis. dalam : Infeksi pada Sistem Saraf Kelompok
Studi Neuro Infeksi. hal. 13 – 19. Airlangga University Press, Surabaya.
4. Pasco PW, 2012. Diagnostic Features of Tuberculous Meningitis : a Cross-Sectional
Study. Pasco BMC Research Notes, 5:49.
5. Prasad K, Singh MB, 2009. Corticosteroid for Managing Tuberculosis Meningitis.
6. Starke RJ, 2010. Mycobacterial Infections. in : Handbook of Clinical Neurology, Vol 96
(3rd series) Bacterial infections. Elsevier B.V., Pp. 159 – 177.
7. Thwaites G et al, 2000. Tuberculous Meningitis. in : J. Neural Neurosurg Psychiatry. Pp.
289 – 299.
8. Thwaites G et al, 2009. British Infection Society guidelines for the diagnosis and
treatment of tuberculosis of the central nervous system in adults and children. in : Journal
of Infection,vol. 59,. Elsevier B.V., Pp. 167 – 187.
9. Utji R, Harun H, 2010. Kuman Tahan Asam. dalam : Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran,
edisi revisi, hal. 227 – 236. Binarupa Aksara Publisher, Jakarta
ix
1
1

Anda mungkin juga menyukai