Anda di halaman 1dari 101

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/284442954

PERSOALAN FILSAFAT ILMU

Research · November 2015


DOI: 10.13140/RG.2.1.4539.0169

CITATIONS READS

7 48,567

1 author:

Ade Hidayat
Universitas Mathla'ul Anwar Banten
13 PUBLICATIONS   23 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ade Hidayat on 23 November 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

PERSOALAN FILSAFAT ILMU

Ade Hidayat

0
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

PENDAHULUAN

APA ITU FILSAFAT?


Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, berasal dari bahasa
Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philein
(persahabatan, tertarik kepada) dan shopia atau shopos (hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, atau pengalaman praktis
inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau
kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filsuf) dalam
pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan serapan dari
bahasa Arab yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang
dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah
manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki
jiwa yang independen dan bersifat spiritual.
Dengan pemahaman serupa ini, paling tidak sudah ada sedikit
pemahaman akan pengertian pertama dari filsafat. Namun demikian, kenapa
ini disebut pengertian pertama? Ya, ini memang pengertian pertama. Sebab,
kalau kita sudah membuka kamus atau buku bertema filsafat, pengertian
filsafat akan sesuai dengan pengertian penulisnya. Beberapa penulis mungkin
akan mencapai kata sepakat tentang pengertian ini, sedangkan banyak yang
lainnya malah berdebat seumur hidup tentang apa itu filsafat.
Walaupun begitu, kita juga dapat memahami apa itu filsafat dengan cara
sederhana. Misalnya, kita dapat mendefinisikan filsafat sebagai “sejarah
pemikiran”. Ini karena kalau kita membaca teks-teks filsafat yang utama, maka
kita akan dihadapkan pada rangkaian pemikiran yang dimulai dari semenjak
masa Yunani Kuno hingga masa sekarang ini. Namun, orang boleh saja
mengatakan bahwa awal mula filsafat berkembang semenjak masa India Kuno
ataupun Cina Kuno. Ini bisa dibuktikan secara historis, walaupun lagi-lagi
muncul suatu perdebatan karenanya.
Contoh lain, kita dapat membuat definisi yang baru bahwa filsafat itu
adalah cara untuk memahami sesuatu (a method to understanding). Alasan
ketika memilih pengertian ini adalah karena pada saat mempelajari filsafat,
kita dituntut untuk memahami apa pun. Baik pemahaman tentang sesuatu
yang sudah ada maupun pemahaman akan sesuatu yang mungkin dapat kita

1
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

pikirkan. Jadi, saking luasnya materi pemahaman filsafat, orang dapat saja
tersesat ketika mencoba untuk memahami filsafat.

PENGERTIAN UMUM FILSAFAT MENURUT PARA AHLI


Al Farabi
Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang alam maujud bagaimana hakikat
yang sebenarnya.
Plato (428 -348 SM)
Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada. Filsafat adalah
pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli.
Aristoteles (384 – 322 SM)
Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda.
Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan
tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu. Filsafat adalah
ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya
ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Cicero (106 – 43 SM)
Filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni (the mother of all the arts)” ia juga
mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan).
Johann Gotlich Fichte (1762-1814)
Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu), yakni ilmu umum,
yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis
kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu
mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
Paul Nartorp (1854 – 1924)
Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar) yang hendak menentukan
kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama,
yang memikul sekaliannya.
Imanuel Kant (1724 – 1804)
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi pokok dan pangkal dari
segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
Apakah yang dapat kita kerjakan ? (jawabannya Metafisika)
Apakah yang seharusnya kita kerjakan? (jawabannya Etika)

2
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Sampai dimanakah harapan kita ? (jawabannya Agama)


Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi)
Bertrand Russel
Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains.
Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai
masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu
jauh, tidak bisa dipastikan; namun, seperti sains, filsafat lebih menarik
perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu.
Notonegoro
Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang
mutlak, yang tetap tidak berubah, yang disebut hakekat.
Driyakarya
Filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya
ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya
sampai “mengapa yang penghabisan“.
Sidi Gazalba
Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran, tentang
segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan
universal.
Harold H. Titus (1979)
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan
alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses
kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi;
Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan;
Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan
pengertian (konsep); Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat
perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli filsafat.
Hasbullah Bakry
Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam
mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya
setelah mencapai pengetahuan itu.
Muhammad Yamin
Filsafat ialah pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya

3
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

seraya didalam kepribadiannya itu dialaminya kesungguhan.


Ismaun
Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan
qalbunya secara sungguh-sungguh, yakni secara kritis sistematis,
fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan
menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau
kebenaran yang sejati.

BERFILSAFAT ITU BERPIKIR


Filsafat, bukan sekedar merupakan mata kuliah. Filsafat adalah suatu
tindakan, suatu aktivitas. Filsafat adalah aktivitas untuk berpikir secara
mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup manusia (apa
tujuan hidup, apakah Tuhan ada, bagaimana menata organisasi dan
masyarakat, serta bagaimana hidup yang baik), dan mencoba menjawabnya
secara rasional, kritis, dan sistematis.
Untuk catatan, filsafat sudah ada lebih dari 2000 tahun, dan belum bisa
(tidak akan pernah bisa) memberikan jawaban yang pasti dan mutlak, karena
filsafat tidak memberikan jawaban mutlak, melainkan menawarkan alternatif
cara berpikir.
Ketika belajar filsafat, kita akan berjumpa dengan pemikiran para filsuf
besar sepanjang sejarah manusia. Sebut saja nama-nama pemikir besar itu,
seperti Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Al-Ghazali, Thomas Aquinas, Kuhn,
Jacques Derrida, dan filsuf-filsuf lainnya. Pemikiran mereka telah membentuk
dunia, sebagaimana kita pahami sekarang ini.
Beberapa mata kuliah yang diajarkan adalah filsafat moral, filsafat ilmu
pengetahuan, filsafat budaya, filsafat politik, filsafat sejarah, logika,
eksistensialisme, dan sebagainya. kita juga akan diajak memikirkan soal
keadilan global, teori-teori demokrasi, dan etika biomedis. Untuk para
profesional, filsafat juga amat berguna untuk memperluas wawasan berpikir.
Dengan belajar filsafat, maka akan mendapatkan beberapa keterampilan
berikut; memikirkan suatu masalah secara mendalam dan kritis, membentuk
argumen dalam bentuk lisan maupun tulisan secara sistematis dan kritis,
mengkomunikasikan ide secara efektif, dan mampu berpikir secara logis dalam
menangani masalah-masalah kehidupan yang selalu tak terduga.
Dengan belajar filsafat, seseorang dilatih menjadi manusia yang utuh,
yakni yang mampu berpikir mendalam, rasional, komunikatif. Apapun profesi

4
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

anda, kemampuan-kemampuan ini amat dibutuhkan. Di sisi lain, dengan


belajar filsafat, juga akan memiliki pengetahuan luas, yang merentang lebih
dari 2000 tahun sejarah manusia.
Kemampuan berpikir logis dan abstrak, kemampuan untuk membentuk
argumen secara rasional dan kritis, serta kemampuan untuk menyampaikan
ide secara efektif, kritis, dan rasional, akan membuat seseorang mampu
berkarya di berbagai bidang, mulai dari bidang informasi-komunikasi,
jurnalistik, penerbitan, konsultan, pendidikan, agamawan, ataupun menjadi
wirausaha.
Para pengacara, praktisi hukum, praktisi pendidikan, pemuka agama,
maupun praktisi bisnis akan mendapatkan wawasan amat luas, yang berguna
untuk mengembangkan diri dan profesi mereka. Jika sungguh ingin mendalami
filsafat, seseorang bisa melanjutkan studi sampai pada level master dan
doktoral, dan kemudian mengajar di bidang filsafat.
Seseorang dengan belajar filsafat, akan mampu melihat masalah dari
berbagai sisi, berpikir kreatif, kritis, dan independen, mampu mengatur waktu
dan diri, serta mampu berpikir fleksibel di dalam menata hidup yang terus
berubah.
Filsafat mengajak untuk memahami dan mempertanyakan ide-ide
tentang kehidupan, tentang nilai-nilai hidup, dan tentang pengalaman sebagai
manusia. Berbagai konsep yang akrab dengan kehidupan, seperti tentang
kebenaran, akal budi, dan keberadaan manusia, juga dibahas dengan kritis,
rasional, serta mendalam.
Filsafat itu bersifat terbuka. Sekali lagi, filsafat tidak memberikan
jawaban mutlak yang berlaku sepanjang masa. Filsafat menggugat,
mempertanyakan, dan mengubah dirinya sendiri. Ini semua sesuai dengan
semangat pendidikan yang sejati.
Filsafat mengajarkan untuk melakukan analisis, dan mengemukakan ide
dengan jelas serta rasional. Filsafat mengarahkan seseorang untuk
mengembangkan serta mempertahankan pendapat secara sehat, bukan
dengan kekuatan otot, atau kekuatan otoritas kekuasaan semata.
Filsafat adalah komponen penting kepemimpinan. Dengan belajar
berpikir secara logis, seimbang, kritis, sistematis, dan komunikatif, seseorang
akan menjadi seorang pemimpin ideal, yang amat dibutuhkan oleh berbagai
bidang di Indonesia sekarang ini.

5
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

MENGAPA BELAJAR FILSAFAT?


Filsafat ternyata mengajarkan kita untuk bertanya terlebih dahulu
sebelum sampai di wilayah filsafat itu sendiri. Kalau kita sudah membuat satu
pertanyaan penting dalam hidup kita, maka kita akan berjalan menuju wilayah
filsafat dengan pasti. Jadi, sudahkah Anda membuat pertanyaan itu?
Misalnya begini. Apakah yang dinamakan blog itu? Secara sederhana
tentu kita dapat menjawab bahwa blog adalah “satu tempat di mana kita dapat
berekspresi secara bebas di dunia digital”. Atau, mungkin Anda punya jawaban
ini, blog adalah “diari elektronik”.
Nah, dari pertanyaan sederhana tentang blog saja, kita sudah mendapat
dua jawaban yang berbeda. Jawaban pertama sepertinya terlalu formal, dan
jawaban yang kedua lebih mudah kita ingat. Ini sudah menimbulkan sedikit
masalah sebenarnya, karena kita mungkin bingung untuk memilih jawaban
yang pertama apa jawaban kedua. Atau, malah Anda punya jawaban lain?
Bertambahnya jawaban, walaupun hanya satu, menandakan bahwa
pikiran yang bingung mulai berkembang untuk mengatasi masalah tersebut.
Ada jawaban A, B, hingga Z mungkin. Oleh karenanya, dibutuhkan kemauan
dan kesanggupan kita untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam konteks ini,
filsafat sebenarnya membantu kita untuk menata persoalan. Dalam kasus di
atas, kalau kita memiliki jawaban lain yang mengatakan bahwa blog itu adalah
“cara baru untuk bertegur sapa”, kenapa tidak kita coba aja
membandingkannya dengan jawaban di atas.
A : Blog adalah “satu tempat di mana kita dapat berekspresi secara bebas di
dunia digital”.
B : Blog adalah “diari elektronik”.
C : Blog adalah “cara baru untuk bertegur sapa”.
Tiga pengertian di atas kalau diambil benang merahnya akan terdiri dari
beberapa istilah penting, yaitu: “tempat”, “ekspresi”, “bebas”, “dunia digital”,
“diari”, “elektronik”, “cara”, dan “tegur sapa”. Istilah-istilah ini bisa dirangkai
lagi menjadi pengertian baru menjadi:
Blog adalah “cara berekspresi di dunia digital atau diari yang kita buat
secara elektronik dan menjadi tempat untuk bertegur sapa dengan
bebas”.
Berdasarkan definisi di atas, maka muncul jawaban baru yang
merangkum semua jawaban. Inilah gambaran sederhana bagaimana
berfilsafat. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, filsafat itu adalah “cara

6
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

untuk memahami sesuatu”. Itu sudah diterapkan pada langkah-langkah kita


untuk mensarikan jawaban baru untuk pengertian blog dari tiga jawaban
sebelumnya.
Jadi, inilah salah satu alasan kenapa seseorang belajar filsafat, yaitu
butuh satu cara untuk lebih memahami masalah-masalahnya; memahami
keluarga, saudara, kerabat, sahabat, teman, kolega, orang asing, dan macam-
macam orang yang sejenis dengan “manusia”, juga yang terpenting memahami
tujuan hidupnya sendiri.
Pada tingkat yang lebih jauh, dengan belajar filsafat atau tepatnya belajar
memahami secara lebih baik, seseorang tidak akan menjadi egois alias
mengaku yang paling benar. Kalau ada seseorang yang suka menyalahkan
orang, berarti dia belum belajar filsafat. Dia hanya “belajar teori filsafat”.

BELAJAR FILSAFAT ATAU BERFILSAFAT?


Dalam mempelajari filsafat, sebenarnya ada dua model yang mungkin
dapat digunakan sebagai pilihan. Pertama, mempelajari filsafat secara teoretis,
dan yang kedua, mempelajari filsafat secara praktis. Pada pilihan yang
pertama, kita dihadapkan pada keharusan untuk belajar filsafat secara teknis
dari buku-buku, seminar, kursus, ataupun melalui perkuliahan di pendidikan
tinggi. Apa yang kita pelajari di sini adalah “pikiran orang lain tentang filsafat”.
Ini sama artinya kita dituntut untuk memahami orang lain dalam kerangka
sejarah berpikir umat manusia.
Dalam model yang kedua, ketika kita mempelajari filsafat secara praktis,
maka kita akan belajar filsafat melalui hal-hal yang sederhana. Jalan ini
sebenarnya sudah dipraktekkan jauh-jauh hari sebelum abad masehi oleh
Thales dari Miletos, Yunani. Beliau mempelajari alam sekitarnya untuk
mendapatkan kesimpulan bahwa hakikat segala sesuatu terletak pada air
sebagai zat yang paling mendasar. Jadi, melalui pemahaman Thales akan dunia
sekitarnya, filsafat dipraktekkan sebagai jalan untuk memahami sesuatu. Pada
konteks ini, sesuatu yang ingin dipahami Thales adalah dunia.
Nah, sehubungan dengan dua model belajar filsafat ini, maka kita dapat
saja memilih salah satunya. Bila jalan pertama yang ditempuh, pada tingkatan
yang lebih lanjut, seseorang akan terarah menjadi seorang “ahli filsafat”.
Sedangkan bila jalan kedua yang ditempuh, maka akan terarah menjadi
“filsuf”. Lalu, apa bedanya ahli filsafat dengan filsuf?

7
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Ahli filsafat sebenarnya lebih banyak menguasai teori yang diungkapkan


oleh para filsuf tentang hakikat sesuatu. Dia ini bekerja untuk menguji benar
tidaknya teori-teori filsafat secara akademis. Bila seorang ahli filsafat mampu
mengkritik dan membangun suatu pandangan baru dari teori filsafat yang
diujinya, maka ahli filsafat statusnya bergeser menjadi filsuf.
Khusus untuk filsuf, dia ini sebenarnya adalah orang yang
mempraktikkan filsafat baik secara langsung ataupun tidak langsung, hingga
dia mendapatkan kesimpulan atas hakikat sesuatu hal yang berbeda dari
pandangan kebanyakan orang umumnya. Pandangannya atas sesuatu hal
biasanya sangat khas dan merupakan pandangan yang baru untuk sesuatu
halnya itu. Filsuf tidak mesti berasal dari ahli filsafat karena mungkin saja
seseorang punya suatu teori filsafat tanpa harus belajar filsafat secara teknis.
Namun, seseorang akan disebut filsuf bila ia diakui telah menelurkan teori
filsafat yang dapat diuji secara akademis.
Dengan demikian, belajar filsafat dapat memiliki beberapa maksud. Ada
maksud hanya ingin mengetahui filsafat itu seperti apa. Ada yang belajar
filsafat karena tertarik dengan apa yang dipelajarinya, ada yang karena ingin
menjadi seorang ahli filsafat atau filsuf, atau belajar filsafat karena suatu
kebutuhan.

MULAI DARI MANA?


Nah, setelah kita mempelajari beberapa tulisan pengantar mengenai
filsafat, tentu muncul lagi pertanyaan dalam benak kita. Pertanyaan itu tidak
lain daripada “Kita harus mulai belajar filsafatnya darimana?” Kalau ini
memang pertanyaan Anda, maka pertanyaan ini kira-kira akan memiliki
jawaban sebagai berikut.
Belajar filsafat sebenarnya dapat dimulai dari pertanyaan yang paling
disukai atau paling membuat bingung. Kenapa demikian? Ini karena
pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang akan memberikan energi kreatif
untuk belajar filsafat. Untuk lebih jelasnya, kita akan bahas dalam contoh di
bawah ini.
Kabayan punya satu pertanyaan dalam hidup yang mungkin ia sukai.
Pertanyaan itu adalah “Kenapa kucing disebut dengan kata ‘kucing’ atau gajah
disebut dengan kata ‘gajah’?”. Atas pertanyaan ini, Kabayan juga sering
membuat lelucon pada temannya dengan pertanyaan “Kenapa kucing tidak
disebut dengan ‘gajah’ atau gajah kenapa gak dibilang saja ‘kucing’?”.

8
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Pertanyaan Kabayan ini, walaupun hanya bercanda, tetapi punya akibat


yang cukup jauh kalau dipikirkan lebih jauh. Ini berkaitan dengan asal-usul
kata. Asal-usul kata atau etimologi, sebenarnya berkaitan dengan pengetahuan
kita sebagai manusia. Dalam kata yang kita pergunakan sehari-hari, itulah inti
dari pengetahuan kita. Misalnya, ketika kita menggunakan kata ‘globalisasi’,
maka semestinya kita sudah memahami arti kata ini sebelum memakainya.
Jadi, pengetahuan atas globalisasi akan mewarnai cara kita menggunakan kata
tersebut. Kalau pengetahuan kita tidak terlalu baik mengenai globalisasi, maka
kita akan jarang menggunakan kata ini. Begitupun sebaliknya.
Kembali pada pertanyaan Kabayan, seekor kucing disebut dengan
‘kucing’ atau gajah disebut dengan ‘gajah’ ini karena kesepakatan. Walaupun
ada banyak alternatif kata untuk kucing, seperti ‘meong’ atau ‘puspus’, tetapi
kata ‘kucing’ lah yang dipilih oleh masyarakat sebagai istilah untuk hewan
yang diberi nama kucing. Kalau masyarakat sepakat dengan kata ‘gajah’ untuk
nama yang ditujukan bagi hewan yang sebenarnya bernama kucing, maka
jadilah ‘gajah’ ini kata baru untuk hewan yang bernama kucing.
Dengan pertanyaan yang Kabayan ajukan, kita secara tidak langsung
sebenarnya dibawa masuk pada ranah atau wilayah filsafat yang disebut
dengan epistemologi dan sekaligus filsafat bahasa. Epistemologi adalah suatu
cabang kajian utama dalam filsafat yang mempelajari bagaimana pengetahuan
itu diperoleh, dibentuk, dan dipergunakan oleh manusia. Sedangkan filsafat
bahasa, ini adalah cabang lain dari filsafat yang secara khusus mempelajari apa
itu bahasa dan seluk-beluknya.
Oleh karena itu, pertanyaan mulai dari manakah kita harusnya belajar
filsafat ditentukan oleh pertanyaan awal yang kita buat. Sebab, melalui
pertanyaan yang kita buat akan menentukan arah kita belajar filsafat
selanjutnya. Kita harus belajar apa dan mau ke mana kita menuju, semuanya
kembali pada pertanyaan awal kita yang mendasar. Inilah yang mungkin
dimaksud dengan directions in philosophy. So, buatlah satu pertanyaan terlebih
dahulu yang paling menarik sebelum belajar lagi filsafat lebih lanjut.

BELAJAR FILSAFAT DENGAN MUDAH DAN SEDERHANA


Mudah dengan arti kita dapat mempelajari filsafat tanpa kepayahan, dan
sederhana yang berarti kita akan dapat belajar filsafat tanpa harus
dipusingkan oleh teori-teori filsafat yang njelimet, susah dicerna. Walaupun
demikian, gagasan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena mungkin
ada banyak orang yang sudah menerapkan gagasan ini lebih baik dari penulis.

9
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Contohnya adalah Jostein Gaarder, seorang pengajar filsafat dari Oslo,


Norwegia, yang mengarang buku “Sofies verden” (Sophie’s World) sebagai
wahana baru untuk menjelaskan sejarah filsafat melalui novel. Versi Indonesia
untuk buku ini telah diterjemahkan oleh penerbit Mizan dengan judul Dunia
Sophie. Gaarder memberikan contoh untuk mempelajari filsafat dengan enak
dan renyah.
Belajar filsafat seringkali dipandang sebagai sesuatu yang mahal dan
mewah. Itu karena dalam pikiran orang awam, filsuf itu dibayar hanya untuk
“melamun”. Oleh karena itu, kita sebaiknya memilih cara belajar yang lain.
Cara belajar lainnya yang mungkin dapat kita lakukan ada dua macam, yaitu
(1) learn by experience dan (2) learn by guidance. Cara belajar pertama
difokuskan pada bagaimana caranya kita mempelajari sesuatu dengan
berdasarkan pada pengalaman yang kita miliki. Sedangkan pada yang kedua,
cara belajarnya terfokus pada petunjuk yang akan mengarahkan kita pada
tujuan pembelajaran.
Pada cara belajar yang pertama, belajar filsafat akan menjadi lebih mudah
dipahami bila masalah filsafatnya dikaitkan dan dijelaskan dengan apa yang
kita alami sehari-hari. Contoh untuk uraian ini telah dijelaskan dalam kenapa
kita harus belajar filsafat dalam tulisan Mengapa Belajar Filsafat? dan tulisan
yang berjudul Mulai dari Mana? yang menjelaskan arah kita dalam berfilsafat.
Sedangkan pada cara belajar yang kedua, inilah yang ditempuh ketika
seseorang belajar filsafat di perguruan tinggi. Namun, model belajar filsafat di
perguruan tinggi menjadi tidak efektif ketika dilaksanakan dalam kelas yang
besar dan terdiri dari banyak orang. Belajar filsafat dengan model learn by
guidance hanya akan berlaku efektif bila diterapkan pada hubungan Guru dan
Murid satu-satu. Artinya, murid ini dibimbing khusus secara pribadi oleh
seorang Guru. Ini mirip ketika seorang mahasiswa mengajukan skripsi sebagai
syarat untuk ujian akhir yang dibantu oleh Dosen Pembimbing.
Dengan memperhatikan model-model belajar yang telah disebutkan,
memang masing-masing cara belajar memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Namun, yang terpenting sekarang ini, bagaimana menggunakan tiga model
belajar tersebut secara komplementer (saling melengkapi) ketika kita belajar
filsafat. Oleh karena kita menginginkan belajar filsafat dengan mudah dan
sederhana, maka tentu saja ada cara yang efektif dalam menggunakannya.
Berikut ini, ada beberapa tip yang bisa digunakan.
Untuk tema-tema yang pokok dan mungkin relatif sulit dicerna,
khususnya yang berkaitan dengan tema Filsafat Sistematis dan Filsafat
Regional, Kita sebaiknya menggunakan cara belajar belajar filsafat dengan

10
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

model learn by guidance. Sebab, cabang filsafat seperti Logika, Ontologi,


Aksiologi, serta Epistemologi tidak setiap orang suka dan menguasainya.
Apalagi cabang yang sangat khusus dan berhubungan dengan ilmu lain,
misalnya Filsafat Hukum dan Filsafat Matematika, orang yang belajar ini
sedikitnya dituntut untuk menguasai masalah hukum dan matematika. Terus,
berkaitan dengan Filsafat Regional, learn by guidance akan sangat membantu
ketika Anda harus membaca teks-teks orisinal dalam bahasa-bahasa asing
(seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Arab, Hindi, Cina), maupun bahasa-
bahasa nusantara (seperti bahasa Melayu, Batak, Sunda, Jawa, dan bahasa
lainnya).
Pertama, untuk tema Filsafat Historis, bisa menggunakan model learn by
try karena ini relatif mudah dicerna dan dapat dilakukan secara otodidak. Hal
ini dapat terlaksana karena teks sejarah biasanya ditulis dalam gaya naratif
atau cerita. Referensi yang paling baik untuk ini adalah buku Jostein Gaarder
berjudul Dunia Sophie.
Kedua, untuk berfilsafat secara mandiri, model yang paling cocok adalah
model learn by experience. Di sini, usahakan untuk menemukan kaitan yang
paling dekat antara suatu masalah filsafat dengan pengalaman sehari-hari.

RANAH KAJIAN FILSAFAT


Sekarang ini, mungkin sudah saatnya kita mempelajari apa yang disebut
dengan ranah atau wilayah kajian filsafat. Ini menjadi penting dipelajari agar
kita memiliki suatu gambaran yang cukup tentang apa-apa yang akan
dipelajari dalam filsafat. Ya, ini mirip dengan peta jalan yang kita gunakan
sebagai panduan untuk bepergian agar kita sampai pada tujuan dengan cepat
dan selamat. Dalam konteks belajar kita, memahami ranah kajian filsafat akan
memberikan suatu arah yang pasti untuk dapat memilih cabang filsafat yang
sesuai, atau siapa filsuf yang cocok, atau gaya filosofi apa yang disukai oleh kita
secara pribadi.
Secara sederhana, ranah kajian filsafat dapat dipilah menjadi tiga wilayah
pokok kajian. Pertama mengenai “dunia” di mana kita tinggal. Setelah itu,
pemahaman atas “diri” manusia sendiri. Yang terakhir, ini adalah pemahaman
mengenai wilayah “transenden” (transcendence).
Dunia yang kita tinggali menjadi objek pertama perhatian renungan
filosofis itu karena kita biasanya selalu punya perhatian yang lebih atas
sesuatu yang ada di luar kita. Misalnya, ada ungkapan yang mengatakan bahwa
“rumput tetangga itu lebih hijau daripada rumput yang ada di halaman rumah

11
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

kita”. Hal ini terjadi atas dasar pengaruh rasa kagum akan sesuatu yang kita
lihat, dengar, dan rasakan. Namun demikian, setelah kita sadar dengan apa
yang kita miliki atau sadar akan diri kita sendiri, biasanya kita akan mencoba
untuk instropeksi atau meninjau diri kita sendiri. Pertanyaan seperti apakah
kita dan secara umum pertanyaan siapa manusia itu akan terbersit.
Ketika pertanyaan serupa ini muncul, pertanyaan tentang masalah
“penciptaan” akan menghampiri. Karena ada dunia dan manusia, tentu ada
yang menciptakannya. Inilah yang disebut sebagai masalah transenden dalam
filsafat. Kenapa disebut dengan transenden? Ya, ini sebenarnya karena sesuatu
yang berhubungan dengan penciptaan dunia dan manusia itu adalah sesuatu
yang berada di luar pengetahuan manusia. Sementara itu, masalah yang
berhubungan dengan manusia dan dunia seringkali dinamakan dengan
“immanen” (immanence), serta dilawankan dengan pengertian transenden.
Disebut immanen karena ini berhubungan langsung dengan pengalaman
manusia itu sendiri.
Lalu, bagaimana masalah immanen dan transenden ini harus dipahami
dalam kaitannya dengan cabang kajian filsafat?
Dari pemahaman mengenai dunia, kita sebenarnya sedang bergerak
memasuki cabang filsafat yang disebut dengan Kosmologi (Cosmology).
Berasal dari kata Yunani, kosmos (yang berarti dunia atau juga teratur),
Kosmologi adalah cabang filsafat yang mengkaji masalah asal muasal alam
semesta beserta proses terciptanya. Berdasar pada kajian mengenai dunia
inilah juga lahir ilmu-ilmu kealaman, yaitu: Astronomi, Geologi, Fisika, Kimia,
dan Biologi.
Pada kajian mengenai manusia, kita akan menemukan hubungan dengan
berbagai macam cabang filsafat. Ada kajian Filsafat Manusia (Philosophical
Antropology), Filsafat Pengetahuan (Epistemology), Filsafat Nilai (Axiology),
Filsafat Moral atau Etika (Ethics), Filsafat Sosial (Social Philosophy), Filsafat
Akal (Philosophy of Mind), Logika (Logics), Filsafat Ilmu (Philosophy of
Sciences), hingga Filsafat Bahasa (Philosophy of Language). Dari kajian
mengenai manusia pula lahir ilmu-ilmu kemanusiaan (humanity sciences) dan
ilmu-ilmu sosial (social sciences).
Sedangkan pada kajian atas masalah transendensi, ini secara khusus
dikaji dalam cabang filsafat yang disebut dengan Metafisika (Metaphysics).
Namun demikian, kita jangan salah paham dulu dengan istilah Metafisika.
Walaupun Metafisika itu mengkaji sesuatu yang berada di luar wilayah fisik
atau melampaui wilayah fisik, ini tidak kemudian mengandaikan bahwa
Metafisika berurusan dengan klenik ataupun magis. Sebab, Metafisika itu

12
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

memiliki fokus pembicaraan tentang masalah-masalah “ada” (being) dan


“kenyataan” (reality). Selain Metafisika, masih dalam masalah transenden, ada
cabang filsafat yang mengkaji tentang masalah Pencipta atau Tuhan, yaitu
dalam Filsafat Ketuhanan (Theological Philosophy).
Ternyata, dari tiga wilayah pokok kajian ini, kita dapat melihat bahwa
sedemikian luasnya kajian filsafat itu. Oleh karenanya, sebagian besar filsuf
mengatakan bahwa pokok kajian filsafat hanya dibatasi oleh masalah “tiada”
(nothing). “Segala sesuatu yang ada” itu adalah pokok kajian utama dari
filsafat. Namun, secara khusus, cabang filsafat yang mengkaji masalah “ada”
dan “tiada” pun telah muncul. Inilah yang disebut dengan Ontologi (Ontology).

CABANG UTAMA FILSAFAT


Seperti sudah dijelaskan kalau wilayah penelaahan filsafat dapat dibagi
menjadi tiga (3) bagian. Hal ini meliputi kajian tentang Dunia, Manusia, dan
Tuhan. Dari tiga subjek ini, filsafat dapat dipilah menjadi beberapa cabang
seperti telah diuraikan pada tulisan tersebut. Namun demikian, kali ini akan
membahas cabang kajian filsafat dengan rumusan yang agak berbeda dengan
yang telah dijelaskan.
Dalam mempelajari filsafat, para ahli biasanya mengatakan bahwa
cabang utama kajian filsafat (main branches of philosophy) itu terdiri dari
Logika, Metafisika, Etika, Epistemologi, Estetika, Theologia, maupun Filsafat
Ilmu. Ada juga yang mengatakan cabang lainnya, tergantung pada sisi mana
mereka memberikan titik tekannya. Bagi pakar filsafat yang memiliki
kecenderungan untuk menekuni masalah-masalah kemanusiaan, Etika dan
Filsafat Politik menjadi cabang yang disorot secara khusus. Ketika titik tekan
itu bergeser pada masalah-masalah kealaman atau keilmuan, maka giliran
Epistemologi, Filsafat Ilmu, ataupun Metodologi Filosofis yang menjadi
tumpuan. Sedangkan bila kajian yang sifatnya transendental menjadi
perhatian utama, maka cabang Theologia, Ontologi, dan Metafisika yang
mendapat giliran.
Filsafat itu selalu bersifat “filsafat tentang” sesuatu yang tertentu karena
filsafat bertanya tentang seluruh kenyataan. Contohnya filsafat tentang
manusia, filsafat alam, filsafat kebudayaan, filsafat seni, filsafat agama, filsafat
bahasa, filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat pengetahuan dan seterusnya.
Seluruh jenis filsafat tersebut dapat dikembalikan lagi kepada empat bidang
induk, seperti dalam skema ini.

13
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Tabel 1.1. Skema Kajian Filsafat

Epistemologi : pengetahuan tentang pengetahuan


Logika : menyelidiki aturan-aturan yang harus diperhatikan
supaya berpikir sehat
Kritik ilmu-ilmu : menyelidiki titik pangkal, metode dan objek dari
ilmu-ilmu
Ontologi : pengetahuan tentang “semua pengada sejauh
mereka ada”
Teologi metafisik : (disebut juga teodise atau filsafat ketuhanan)
berbicara tentang pertanyaan apakah Tuhan ada
dan nama-nama tentang Ilahi
Antropologi : berbicara tentang manusia
Kosmologi : (disebut juga filsafat alam) berbicara tentang alam,
kosmos
Etika : (disebut juga filsafat moral) berbicara tentang
tindakan manusia
Estetika : (disebut juga filsafat seni) menyelidiki mengapa
sesuatu dialami sebagai indah
Sejarah filsafat : mengajarkan apa jawaban pemikir-pemikir
sepanjang zaman

14
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Tidak semua ahli filsafat setuju dengan pembagian seperti yang


diuraikan di atas. Ada filsuf yang menyangkal kemungkinan ontologi atau
seluruh metafisika. Namun pembagian ini adalah skema yang paling klasik dan
paling umum diterima.
Oleh karena beragamnya titik tekan dalam memilah-milah cabang filsafat
tersebut, tentu saja hal ini akan membuat filsafat menjadi sangat sukar dikaji.
Sebab, ketika misalnya kita membaca filsuf yang sangat perhatian dengan
masalah-masalah kemanusiaan, maka kita akan kehilangan arahan tentang
kajian masalah kealaman dan juga masalah transendental. Begitupun juga
ketika membaca filsuf yang memiliki titik tekan pada masalah lainnya.
Hal ini biasa terjadi dan itu memang sewajarnya. Ini terjadi karena setiap
filsuf memiliki spesialisasi atau kekhususan pikiran dalam corak filsafatnya.
Akan tetapi, bagi seseorang yang baru belajar filsafat atau orang yang ingin
belajar filsafat secara mudah, ini menjadi masalah yang cukup mengganjal.
Sebab, dengan tiadanya kesepakatan di antara para filsuf, cabang utama kajian
filsafat hingga kini tidak pernah ditetapkan. Akibatnya, orang itu akan
“tersesat” di belantara filsafat yang cukup luas.
Karena masalah-masalah di atas, kita dapat memutuskan untuk
menetapkan secara sederhana saja apa yang dimaksud dengan cabang utama
kajian filsafat itu. Kriteria untuk ini adalah cabang tersebut dapat dipakai
sebagai dasar untuk mengkaji semua masalah yang telah disebutkan tanpa
harus terjatuh pada satu titik penekanan. Dengan demikian, orang yang ingin
belajar filsafat dengan mudah akan lebih fokus mempelajari masalah-masalah
tersebut tanpa harus bergelut dengan kebimbangan.
Dari sekian banyak cabang filsafat, sebenarnya ada empat cabang yang
bisa dijadikan dasar untuk memahami cabang lainnya. Cabang ini pun dapat
mewadahi berbagai masalah yang ada. Empat cabang filsafat yang dimaksud
adalah: Logika, Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi. Cabang filsafat ini dapat
dipelajari berurutan. Berikut adalah penjelasan kenapa cabang filsafat ini
dapat dipelajari secara bertahap.
Berpikir, secara umum, adalah kegiatan yang biasa dilakukan manusia.
Tanpa ini, manusia tidak akan bisa bertahan dalam lingkungannya ataupun
menyesuaikan diri dengan yang lainnya. Namun, berpikir saja tidak cukup. Ada
cara-cara berpikir yang baik dan itu menjadi pedoman baginya agar tidak
berpikir secara gegabah, sembrono, semaunya, sampai pada pikiran yang
sesat. Cara inilah yang disediakan Logika. Selanjutnya, dengan berpikir,
manusia bisa mengetahui sesuatu (= Epistemologi), yang juga merupakan
kunci pemahaman atas sesuatu yang ada, sesuatu yang mungkin adanya, dan

15
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

sesuatu yang tidak ada (= Ontologi). Baru setelah itu, kita dapat melakukan
sesuatu penilaian atas apa yang kita pahami atau memahami nilai dari apa yang
kita pahami (= Aksiologi).
Nah, dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa empat cabang itu
cukup netral dan bisa dipakai untuk mengkaji masalah-masalah yang
berkaitan dengan dunia, manusia, ataupun Tuhan. Oleh karena itu, empat
cabang filsafat inilah yang bisanya dijadikan dasar untuk masuk dalam cabang-
cabang filsafat lainnya.
Misalnya, “Apakah Nazi-isme (berkaitan dengan partai politik Nazi yang
didirikan oleh Adolf Hitler di Jerman) itu pola pikirnya keliru apa tidak?”
Dalam masalah ini, kita masuk dalam pembahasan Filsafat Politik melalui
Logika.
Contoh lain: “Apakah kita dapat mengetahui awal terciptanya jagat raya?”
Pada soal ini, aspek Epistemologis menjadi dasar untuk memahami Kosmologi.
Begitupun dengan masalah-masalah lain dalam filsafat. Semuanya dapat
dipahami dengan baik asalkan seseorang benar-benar memahami empat
cabang filsafat tersebut.

16
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

LOGIKA

Sebagai salah satu pilar pemahaman kajian filsafat, Logika menjadi


cabang yang sebaiknya dipelajari pertama kali. Walaupun begitu, orang yang
mempelajari Logika seringkali mengalami hambatan. Ini terutama
dikarenakan ia atau orang di sekitar sudah punya pikiran yang kurang baik
mengenai Logika. Ada yang mengatakan sukar, hanya main-main saja, ataupun
tidak diperlukan karena merasa “saya sudah pandai”.
Padahal, kalau dikatakan sulit, Logika itu sendiri dipikirkan dan dibuat
oleh manusia, maka semestinya manusia sendiri menghadiri dan mempelajari
logikanya. Sebab, tanpa permainan yang baik dan juga Logika yang cukup,
seorang Lewis Carroll (1832-1898) tidak akan dapat membuat cerita Alice in
Wonderland (Alice di Negeri yang Indah). Begitupun dengan ungkapan “tidak
perlu”, ini harus dihilangkan baik-baik dari pikiran. Sebab, kalau seseorang
memang benar-benar pandai, ia akan berhenti belajar.
Bukan apa-apa, mempelajari Logika sebenarnya akan memberikan
manfaat yang besar kalau kita bisa memahaminya dengan baik. Salah satunya
akan membuat kita tidak salah paham dalam menilai pendapat seseorang
hingga harus terjadi pertengkaran. Perang sekalipun akan dapat kita hindari
kalau kita mampu berpikir logis. Kecuali kita bersikap egois dan hanya
berpikir “mau menang sendiri”.
Setelah membaca penjelasan di atas, mungkin ada pertanyaan seperti ini:
Apa sih yang dikaji dalam Logika sampai kita harus mempelajarinya?
Ini adalah pertanyaan yang bagus dan cukup tepat untuk kita bahas. Pada
cabang Logika, kita akan mempelajari tiga materi yang pokok, yaitu: (1)
sejarah dan perkembangan pemikiran logika beserta aliran-alirannya, (2)
persoalan istilah beserta pengolahannya, dan (3) persoalan pernyataan
beserta pengolahannya. Selebihnya, materi-materi yang khusus dapat
ditambahkan. Namun, hal ini tidak akan keluar dari tiga materi pokok yang
telah disebutkan.
Sampai di sini, mungkin lagi-lagi ada orang yang mencibir. Mungkin
begini komentarnya: “Materi yang begitu kok dibela-belain harus dipelajari.
Itu kan pelajaran bahasa Indonesia. Dari SD pun sudah dipelajari. Kenapa
harus dipelajari lagi? Buang-buang waktu saja.”

17
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Komentar ini tidak salah. Sebagian besar yang dipelajari Logika memang
sudah diajarkan dalam pelajaran bahasa. Tetapi, pelajaran bahasa tidak
mengajarkan pada kita untuk menelaah masalah-masalah istilah ataupun
pernyataan dengan pengertian filosofis. Artinya, sesuatu istilah dapat saja
memiliki beragam arti sesuai dengan pandangan orang yang
mendefinisikannya. Untuk lebih jelasnya, kita akan coba bahas istilah “ya”
dalam bahasa Indonesia dari sudut pandang bahasa maupun logika.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1984) yang disusun oleh W.J.S.
Poerwadarminta, istilah “ya” dapat berarti:
(1) kata untuk menyatakan setuju; contoh: Ya, baiklah.
(2) wahai; contoh: Ya tuanku!
(3) bukan; contoh: Ia orang kaya, ya?
(4) gerangan; contoh: Siapa ya yang tadi memanggil namaku?
(5) penguat; contoh: Besok jangan lupa datang ya!
Berdasarkan kelima contoh ini, sebenarnya sudah disebutkan beberapa
alternatif yang cukup luas untuk pengertian istilah “ya”. Walaupun demikian,
kita juga dapat saja menambahkan konteks baru dalam pengertian istilah “ya”.
Misalnya, dalam kalimat:
(6) “Ya, kalau dia setuju. Kalau tidak, bagaimana?”
Di dalam kalimat ini, istilah “ya” mengandung pengertian ‘persetujuan
yang bersyarat’. Artinya, istilah “ya” pada kalimat (6) berbeda pengertiannya
dengan kalimat (1) yang dikutipkan di atas karena persetujuannya tidak
langsung terpenuhi dengan hanya mengatakan “ya”.
Memahami uraian yang menggunakan contoh-contoh di atas, nampak
bahwa apa yang diuraikan oleh Poerwadarminta atas pengertian istilah “ya”
dari segi bahasa tidak dapat merangkum seluruh pengertian istilah “ya” yang
mungkin akan muncul. Termasuk penjelasan yang sebaiknya diberikan untuk
pengertian istilah “ya” dalam pengertian nomor (3). Kenapa istilah “ya” dalam
bahasa Indonesia juga mengandung istilah negatif (‘bukan’)? Padahal, dalam
bahasa Inggris, kita tidak menemukan istilah “yes” yang mengandung istilah
negatif.
Pertanyaan serupa di atas pun tidak akan muncul kalau kita tidak
menggunakan Logika sebagai dasar penalarannya. Oleh karena itu, kita dapat
mengatakan bahwa pada uraian-uraian di muka, Logika mengajarkan kita
memahami suatu istilah dalam berbagai konteks dan situasi. Ini dimungkinkan

18
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

kalau kita dibiasakan untuk berpikir dengan beragam pandangan. Sehingga,


pikiran kita tidak hanya tertuju pada satu pengertian saja dan akhirnya bisa
terjatuh pada pikiran yang sempit. Apa yang ditulis dalam sebuah kamus
dalam pelajaran bahasa tidak dapat dijadikan patokan dasar, walaupun dapat
dijadikan acuan resmi untuk satu istilah.
Demikian, kita sudah melihat sedikit saja bagaimana Logika dipakai
untuk memahami suatu istilah. Mungkin akan lebih baik lagi bagi kita dalam
memahaminya bila kita juga lihat bagaimana Logika dipakai untuk menelaah
pernyataan.

LOGIKA FORMAL, MATERIAL, DAN DEDUKSI


Logika, memiliki materi yang sederhana tapi juga mendasar. Walaupun
telaah lanjutannya dapat menghasilkan suatu pengkajian yang rumit, tetapi
kita sebenarnya tidak membutuhkan model kajian yang serupa itu. Kalau
dapat dibuat mudah, kenapa tidak? Ini yang akan kita pelajari dalam
pembahasan kali ini. Supaya hal ini terlaksana, kita akan bahas kasus yang
dialami oleh kita dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kita punya kasus
seperti ini:
Kabayan adalah seorang petani. Ia bekerja membanting tulang setiap
hari. Selepas Subuh, ia langsung berangkat ke sawah untuk memulai pekerjaan
sebagai seorang penggarap. Dari mulai mencangkul lahan, membenihkan padi,
menanam bibit, memupuknya, menyiangi rumput yang ikut tumbuh,
membenarkan galangan sawah yang bolong-bolong oleh ketam atau rusak
diterjang anak-anak, mengatur air agar selalu menggenang, mengusir burung
yang hinggap saat padi hendak matang, hingga memanen padi, menimbang,
lalu menjualnya ke pasar. Semua pekerjaan ia lakukan sendiri.
Suatu saat, ia mengeluh karena merasa capai dengan semua
pekerjaannya itu. Ia mengeluh pada istrinya. Kata Kabayan, “Bu, coba aku
sekolahnya bisa sampai tamat SD. Atau, kayak si Kemod itu lho! Sarjana, punya
titel, kerja kantoran, gak kepanasan, juga dapat gaji tiap bulan. Gak kayak aku
ini. Sehari-hari ya cuma dapat pas-pasan. Kadang cukup, kadang nggak.”
Istrinya menjawab: “Ya sudah. Bapak terima nasib aja. Yang penting, anak-
anak kita gak kayak bapaknya.”
Sekarang, coba analisis kasus di atas dengan menggunakan logika.
Jawaban seperti apa yang bisa dihasilkan oleh Logika atas kasus di atas? Satu-
satunya jawaban yang dapat diberikan oleh Logika Formal untuk kasus di atas
adalah bahwa dalam kasus ini Kabayan menggunakan pola pikir Induktif.

19
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Kenapa demikian? Ini karena Kabayan menyimpulkan sesuatunya


berdasarkan pada banyak pekerjaan yang ia lakukan. Akan tetapi, kalau
menggunakan format Logika Material, kasus di atas menyimpan masalah
tentang fakta yang tak diungkapkan. Misalnya, apakah ketika panen padi
Kabayan tidak dibantu oleh satu orang pun? Berapakah luas sawah yang
digarap oleh Kabayan sehingga ia dapat melaksanakan semua pekerjaannya
itu sendirian? Nah, dengan jawaban ini kita sudah masuk dalam pembahasan
istilah baru dari kajian Logika.
Logika Formal dan Logika Material adalah salah satu model dari
pembagian Logika. Formal di sini dimaksud sebagai suatu pengertian yang
mengacu pada bentuk baku yang telah ditetapkan untuk suatu hal
berdasarkan kaidah-kaidah logika. Sedangkan Material, ini dimengerti sebagai
isi dari suatu hal yang dapat dibuktikan atau dapat diverifikasi (diuji)
kesahihannya berdasarkan pada kenyataannya di dunia. Contoh di bawah ini
akan lebih menjelaskan.
(Contoh 1) Misal, kita punya dua pernyataan:
(1) Semua manusia itu akan mati
(2) Kabayan itu manusia
Kesimpulannya akan menjadi:
(3) Kabayan itu akan mati
Contoh di atas ini merupakan suatu pola pikir Deduktif yang lolos dari
ujian Logika Formal maupun Material. Kenapa? Ini karena tiga pernyataan di
atas sudah memenuhi syarat baku dalam kaidah Formal, maupun benar secara
isi seperti yang dikehendaki dalam syarat Material. Berikut kaidah Formal
dalam logika yang dimaksud.
(1.1) A is B
(2.1) C is A
------------------------------------
(3.1) C is B
Keterangan:
Pernyataan 1.1 disebut dengan Premis Mayor (Pernyataan Umum).
Pernyataan 2.1 disebut dengan Premis Minor (Pernyataan Khusus).
Pernyataan 3.1 disebut dengan Konklusi (Kesimpulan).

20
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Kata “is” ini disebut dengan Kopula (atau mirip dengan lambang “=“ dalam
Matematika).
Kata “itu”, “ini”, atau “adalah” biasa digunakan sebagai Kopula untuk
pernyataan logis dalam bahasa Indonesia.
Lalu bagaimana dengan syarat Materialnya? Bagaimana penjelasannya? Kita
berikan satu contoh lagi di bawah ini agar dapat dibandingkan.
(Contoh 2)
(1.2) Semua manusia itu berumur panjang
(2.2) Kabayan itu manusia
------------------------------------
(3.2) Kabayan itu berumur panjang
Pada contoh terakhir, walaupun sudah memenuhi syarat sesuai dengan
kaidah Formal di atas, kita bisa mengetahui bahwa kesimpulannya keliru.
Contoh 2 ini menyimpulkan bahwa Kabayan itu akan memiliki umur yang
panjang. Padahal, mungkin saja kalau Kabayan ini berumur pendek. Jadi, untuk
contoh 2, kita dapat mengatakan bahwa contoh ini valid/sahih secara formal
tetapi keliru secara material.
Terakhir, mungkin kita masih penasaran dengan dua istilah ini, yaitu:
Induktif dan Deduktif. Untuk istilah Deduktif, sudah diberikan contohnya
dalam contoh 1. Begitulah yang disebut pola pikir Deduktif. Sedangkan untuk
Induktif, inilah contohnya:
(Contoh 3)
(1.3) Kabayan itu akan mati
(2.3) Kabayan itu manusia
------------------------------------
(3.3) Semua manusia itu akan mati
Jadi, kita bisa bandingkan contoh 1 dan contoh 3, semua pernyataannya
sama persis. Hanya saja, dalam contoh 1, pernyataan 3.3 ada dan berlaku
sebagai Premis Mayor. Sedangkan pada contoh di sini, pernyataan tersebut
malah menjadi Konklusi.
Sekarang, mudah-mudahan Anda dapat mempelajarinya dengan baik dan
memahami serba sedikit dari pembahasan Logika beserta model
penerapannya dalam menganalisis kehidupan sehari-hari. Sebagai tambahan
informasi, kaidah Formal yang dimaksud di atas dalam kajian Logika

21
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

dinamakan dengan Silogisme. Penemunya adalah filsuf masyhur yang pernah


menjadi guru Alexander Agung (356-323 SM), yakni Aristoteles (384-322 SM)
atau sang Father of Logics.

DEDUKSI, INDUKSI, DAN ABDUKSI


Di dalam tulisan sebelumnya, kita sudah sedikit banyak mengenal istilah
logika maupun materi-materinya. Ada yang disebut Logika Formal dan Logika
Material, juga ada yang disebut Deduktif dan Induktif. Tetapi, apa yang bisa
dimanfaatkan dari materi itu kalau kita terapkan dalam kehidupan sehari-
hari?
Kalau dilihat secara sepintas, kita mungkin tidak akan banyak dapat
menggunakan analisis seperti yang telah dilakukan pada tulisan sebelumnya.
Tapi, sebenarnya kita justru seringkali menggunakan pola pikir tersebut. Cuma
kadangkala, kita tidak menerapkannya dengan baik. Ada beberapa persoalan
tentang hal ini yang menjadi sebab kenapa kita tidak dapat menggunakan
logika secara praktis dan nyata.
Pertama, kita selalu menganggap apa yang kita pikir itu benar.
Kedua, kita selalu menganggap apa yang dipikir orang lain salah bila bertolak
belakang dengan pola pikir kita.
Ini awal dari banyak kesalahan berpikir logika. Bahkan filsuf sekaliber
Bertrand Arthur William Russell (1872-1970) pun pernah mengalami
kesalahan ini. Oleh karena itu, hindarilah dua dasar pikiran yang telah
dikutipkan di atas. Sebab, apapun yang kita pikirkan, ucapkan, maupun yang
dinyatakan secara kukuh tetap memiliki kesalahan logis yang bersifat internal
(terkandung di dalamnya) atau internal logical fallacy.
Walaupun demikian, terlepas dari kasus kesalahan logis yang internal,
dua dasar pikiran di atas itu sendiri sebenarnya dapat kita sebut sebagai satu
jenis pola pikir baru yang berhasil dikenali dalam kajian logika. Adalah Charles
Sanders Peirce (1839-1914) yang pertama kali mengenalkan cara
menganalisis jenis pola pikir tersebut. Pola pikir ini bersifat “menduga”
(speculation) dan diberi nama dengan Abduktif. Lalu bagaimana kira-kira pola
pikir ini dianalisis?
Ternyata, apa yang disebut Abduktif tidak jauh berbeda dengan dua pola
pikir yang telah disebutkan. Kalau kita bandingkan secara langsung antara
Deduktif, Induktif, dan Abduktif, maka kita cuma melihat perbedaan yang tipis
saja dan hanya bertukar posisi untuk pernyataan-pernyataannya. Berikut

22
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

adalah contoh perbandingannya.

Deduksi:
(1.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(1.2) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
------------------------------------
(1.3) Buncis ini (adalah) putih

Induksi:
(2.1) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(2.2) Buncis ini (adalah) putih
------------------------------------
(2.3) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih

Abduksi
(3.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(3.2) Buncis ini (adalah) putih
------------------------------------
(3.3) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu

catatan: kata (adalah) ini digunakan untuk menerjemahkan kata ‘is’.


Bila diperhatikan dengan baik, ternyata pola Deduksi, Induksi, maupun
Abduksi menggunakan tiga pernyataan yang sama. Ini menunjukkan bahwa
antara tiga pola pikir ini terdapat hubungan yang saling melengkapi.

DIALEKTIKA ZENO
Bila dilihat dari sejarahnya, Dialektika ini sebenarnya berasal dari kata
dialegestai (Yunani) yang berarti “percakapan”. Para filsuf sebelum Sokrates
dari Athena (± 469-399 SM), seperti Zeno dari Elea (± 490-430 SM), sudah
menggunakan istilah ini sebagai suatu nama untuk metode berpikir. Ini
dipakai, terutama, ketika Zeno dari Elea berusaha untuk mempertahankan
pandangan sang guru, Parmenides (± 515-440 SM) yang menyatakan bahwa
“alam semesta itu satu adanya dan tidak ada perubahan di dalamnya”.
Pandangan yang demikian ini dikenal sebagai suatu jenis pandangan yang
monistik tentang semesta.

23
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Sehubungan dengan pikiran Zeno, ada beberapa uraian menarik yang


diberikan olehnya ketika ia sedang berdialektika. Misalnya, saat ia mengajukan
masalah pelik yang membingungkan banyak orang. Berikut adalah salah satu
contoh masalah yang dikemukakannya.
Achilles tidak dapat memenangi lomba lari melawan kura-kura

Membaca masalah di atas, mungkin kita akan sedikit heran, atau malah
bingung. Kok bisa ya filsuf mengemukakan masalah yang ganjil serupa ini? Ya,
saat Achilles dinyatakan tidak bisa menang melawan kura-kura dalam lomba
lari, mungkin ini seperti bualan. Tetapi, kalau boleh disebut, ini bualan yang
paling argumentatif. Sebagai orang Yunani masa itu, Zeno tahu kalau Achilles
adalah seorang pelari yang handal. Bahkan, dalam mitologi Yunani, Achilles
adalah seorang pahlawan pada Perang Troya. Jadi, kalau Achilles harus
bertarung lari dengan seekor kura-kura yang sangat lambat, maka “sungguh
mustahil sekali” kalau kura-kura bisa menang.
Akan tetapi, di balik masalah yang Zeno kemukakan, sebenarnya ada
suatu persoalan pelik yang hanya bisa dipahami menggunakan pendekatan
fisika maupun matematika untuk mengatakan pandangan Zeno itu benar.
Walalupun demikian, ada syarat tertentu yang diandaikan oleh pernyataan ini.
Syarat ini tiada lain adalah kura-kura harus memulai lari lebih dahulu daripada
Achilles. Kenapa harus seperti itu?
Syarat di atas dibutuhkan dalam memahami pernyataan Zeno dari sisi
fisika maupun matematika. Dari segi fisika, pernyataan Zeno mendapatkan
pembenaran kalau hal ini dikaitkan dengan analisis mengenai waktu. Misalnya
Achilles (A) dan kura-kura (K) memulai lomba pada waktu 00.00. Saat lomba
dilaksanakan, K memulainya terlebih dahulu pada 00.01 dan A membiarkannya
sampai K itu melaju cukup jauh. Dengan kecepatan lari yang dimilikinya, A
berlari mengejar K hingga melampauinya dan menunggu K menghampirinya
kembali.
Menilik cerita lomba di atas, tentunya A lebih unggul secara kemampuan
dan dapat dipastikan siapa pemenangnya. Namun, dalam kaitannya dengan
waktu, justru K yang lebih dahulu memimpin. Ini karena K memulai lomba
pada 00.01. Saat kita memahami ini semua dalam kerangka waktu, maka A-lah
yang akan mengalami kekalahan. Ini karena waktu A memulai lomba misalnya
pada 30.00, setelah menunggu K berjalan cukup jauh. Dalam teori mengenai
waktu, tidak ada sesuatu apapun yang dapat melampaui atau mendahului
waktu. Tidak juga kecepatan cahaya.

24
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Nah, memahami pernyataan Zeno dalam kaitannya dengan kerangka


waktu justru akan dapat membuat kita sadar bahwa pendapat Zeno ini
ternyata ada benarnya.
Cara lain untuk memahami pernyataan Zeno adalah memahaminya dari
sisi matematika atau fisika. Berikut ini adalah uraiannya.
Saat A dan K berlomba, dengan K yang memulainya terlebih dahulu, K ini
sebenarnya sedang mengambil suatu posisi terhadap A. Maksudnya membuat
suatu posisi di sini adalah K membuat jarak dengan A dan membuat suatu titik
acuan relatif terhadap A. Ketika K bergerak, maka posisi itu pun sudah pasti
akan berubah. Nah, saat A bergerak mendekati posisi K atau malah
melampauinya, sudah pasti jarak antara A dengan K akan berkurang, sama,
atau malah menjauh. Pada saat ini terjadi, posisi A bisa berada di belakang,
sama, atau malah di depan K.
Kalau kita menggunakan pola pikir yang biasa dipakai sebagai dasar
analisis, artinya hanya mempertimbangkan jarak sebagai ukuran pokok dalam
memahami persoalan di atas, maka kita akan keliru memahami pernyataan
Zeno. Sebab, Zeno tidak sedang mempertimbangkan jarak sebagai ukuran
pokok. Yang ia pikirkan, mungkin, adalah posisi K yang tidak pernah bisa
dijangkau oleh A. Artinya, saat K mencapai posisi tertentu, ini tidak akan dapat
dijangkau oleh A karena posisi K selalu berubah secara relatif terhadap A.
Tentu saja posisi yang relatif ini masih berlaku saat jarak antara A dan K adalah
0 alias A = K atau jarak antara A dan K adalah A > K. Dengan ini, kita tidak dapat
mengatakan A itu menang atas K berdasarkan posisinya.
Masih bingung? Kalau bingung, ada cara alternatif lainnya untuk
memahami ini. Zeno itu benar kalau Zeno memang berpikir “curang”. Ya,
seandainya Zeno berpikir demikian, ini juga bukan sesuatu yang mustahil.
Pikiran curang ini adalah dengan membayangkan kalau Achilles ternyata
bukan hanya melawan seekor kura-kura, tapi melawan 1.000 ekor kura-kura
yang bekerja sama dan mirip satu sama lain. Ini mirip cerita rakyat, lomba lari
kancil melawan siput. Sang kancil yang jago lari ternyata dikalahkan oleh siput
yang lambat. Ya karena siput yang “cerdik” meminta bantuan teman-teman dan
kerabatnya yang sama dan identik untuk berjejer di sepanjang garis lomba.

SOKRATES DAN PERCAKAPAN DIALEKTIK


Kali ini kita akan membahas model Dialektika yang diungkapkan masih
oleh salah satu filsuf terkenal dari masa Yunani Kuno, yaitu Sokrates dari
Athena. Sokrates terkenal memang bukan karena metode Dialektika. Ia

25
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

menjadi sangat terkenal karena ia memilih minum racun untuk


mempertahankan prinsipnya dalam pengadilan kota Athena. Namun,
sebenarnya, peristiwa ini terjadi justru sebagai akibat langsung dari metode
Dialektika yang ia pakai. Kenapa demikian?
Metode Dialektika Sokrates agak sedikit berbeda dengan pola yang
dipakai oleh Zeno. Ini karena Sokrates memang memaksudkan Dialektika
justru pada asal katanya, yaitu bercakap-cakap atau berdialog. Ya, Sokrates
memang adalah orang yang senang bercakap dengan orang lain yang bertemu
dengannya di sepanjang jalan kota Athena. Ia selalu mengajak mereka diskusi
untuk sesuatu yang ia anggap penting.
Tapi, tentu saja percakapan model diskusi yang dilakukan oleh Sokrates
memang tidak selamanya disambut hangat. Apalagi bila dipandang dari
kacamata kaum Sofis. Mereka ini adalah rival Sokrates. Ini karena kaum Sofis
adalah sekelompok orang yang justru mengambil keuntungan dari masyarakat
melalui kecakapannya berorasi atau berpidato. Nah, seringkali kaum Sofis ini
dibuat jengkel oleh Sokrates karena mereka merasa dipermalukan di depan
banyak orang dengan metode Dialektika. Lalu, seperti apa yang sebenarnya
telah dilakukan oleh Sokrates dengan Dialektika ini?
Berikut adalah ilustrasi yang dibuat untuk memberikan gambaran
seperti apa kiranya metode Dialektika yang dipergunakan oleh Sokrates.
Suatu hari, Sokrates bertemu dengan Meno, sahabat lamanya, di kios ikan
pasar Athena. Begitu senangnya, sehingga mereka lama berpelukan.
Sokrates kemudian mengajak Meno untuk rehat di sebuah emperan rumah
dekat pasar sambil sekaligus berteduh.
“Apa yang sedang kau lakukan saat ini, wahai Meno saudaraku?”
“Aku sedang menjajaki untuk membuka kios usaha di Megara, Sokrates.
Makanya aku berkunjung ke Athena untuk melihat bagaimana mereka
mengelola kiosnya dan barang-barang apa saja yang dapat ku ambil dari
sini.”
“Oh begitu. Bukankah engkau sudah punya ladang gandum yang begitu luas
dari ayahmu? Apa itu tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhanmu?”
“Tidak Sokrates. Itu belum cukup bagiku. Aku ingin lebih dari ayahku. Ingin
seperti Kranos, saudagar terkaya di Megara. Dia hidup sangat senang dengan
semua kemewahan yang ia punya.”
“Hidup sangat senang? Bisa kau berikan keterangan yang lebih jelas lagi

26
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

wahai Meno?”
“Kau memang tidak tahu apa artinya hidup mewah Sokrates. Kranos itu
punya segala-galanya. Budak yang ia punya lebih dari 40 orang. Perempuan
pun suka padanya. Tidak kurang dari belasan perempuan hilir mudik datang
ke rumah Kranos tiap harinya. Merayu untuk menjadi istrinya. Rumah itu
amat megah. Berdiri kokoh dengan tiang granit dan lantai batu pualam.
Tidak cukup sampai di situ, ia, Kranos, juga memiliki 4 kereta dan 10 ekor
kuda. Itu hebat Sokrates. Itu baru namanya hidup.”
“Terus, apa hubungannya antara hidup sangat senang dan hebat? Apakah
kalau kita hidup dengan hebat maka akan hidup dengan sangat senang?”
“Itu betul Sokrates. Kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan
hebat. Makanya aku datang jauh-jauh ke Athena agar bisa belajar dan
mendapatkan pengetahuan yang lebih daripada Kranos. Aku akan menjadi
lebih hebat dari Kranos tentunya.”
Di tengah percakapan ini, seorang anak kecil bersama ibunya lewat di depan
mereka. Anak itu sangat senang sekali karena ibunya membelikan ia permen
gula. Ia jalan berjingkat-jingkat kecil dengan satu tangan menggenggam
permen gula dan tangan lainnya memegang tangan si ibu.
“Kau lihat anak kecil itu wahai Meno?”
“Ya Sokrates. Memangnya ada apa?”
“Tadi anak kecil itu begitu senangnya. Tidakkah itu juga hebat Meno?”
“Hebat apanya Sokrates? Menurutku, itu wajar saja. Setiap anak yang diberi
permen gula tentu akan merasa sangat senang.”
“Jadi, kau menganggap kalau hebat itu tidak identik dengan rasa senang?”
“Maksudmu apa Sokrates?”
“Tadi kau mengatakan kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup
dengan hebat.
Bukankah itu sama dengan mengatakan bahwa rasa senang itu identik
dengan hebat? Artinya, kalau kita hidup dengan hebat, itu akan membuat
kita hidup senang. Bukankah begitu wahai Meno sahabatku?”
Meno bingung dengan pertanyaan dan kata-kata Sokrates. Ia mulai
kehilangan kata-kata.
“Iya, mungkin, Sokrates.”
“Kenapa mungkin? Kalau rasa senang itu identik dengan hebat, maka anak

27
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

kecil yang tadi mendapat permen gula itu pun bisa kita bilang hebat Meno.
Hanya dengan sebuah permen gula yang kecil, ia bisa merasa sangat senang.”
Meno akhirnya tak mampu berkata-kata. Ia merasa terpojok dengan ucapan
Sokrates. Hanya dengan contoh kecil saja, Sokrates telah membuat
lamunannya yang ia bangun selama bertahun-tahun menjadi sia-sia.
“Aku tidak melarangmu menjadi hebat atau melebihi kehebatannya Kranos,
wahai Meno. Aku ingin kamu menentukan tujuan hidupmu menjadi hebat
bukan semata-mata karena melihat orang lain.”
Setelah itu, Sokrates menepuk pundak Meno, lalu mengajaknya pergi
bertandang ke rumahnya untuk sekadar bersantap ala kadarnya. Meno
mencari temannya terlebih dahulu, dan mereka bertiga menuju rumah
Sokrates.

Nah, dalam dialog Sokrates dengan Meno di atas, kita dapat melihat
bahwa Sokrates menggunakan Dialektika sebagai satu cara untuk
menyadarkan orang lain itu akan pengertian yang sesungguhnya tentang
makna suatu kata. Dengan contoh-contoh sederhana, Sokrates mampu
mengurai retorika menjadi suatu pembicaraan tanpa isi. Melalui cara inilah ia
dikenal sebagai pembicara ulung dan menjadi sangat disegani di seantero
Athena. Tetapi, ia pun sekaligus menjadi orang yang paling menjengkelkan dan
paling dimusuhi oleh orang-orang yang tidak menyukainya.
Cara seperti ini yang diberi nama oleh Sokrates sebagai maieutike tekhne
(seni kebidanan). Ini karena Sokrates selalu mengganggap dirinya seibarat
“bidan” yang membantu melahirkan pengertian yang benar dalam pikiran
orang lain. Dalam hal ini, ia sangat terinspirasi oleh ibunda yang memang
adalah seorang bidan.

MODEL DIALEKTIKA HEGELIAN


Bahasan kita kali ini adalah satu model dialektika yang diperkenalkan
oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Beliau ini adalah salah satu
filsuf Jerman yang paling masyhur dan menjadi banyak rujukan dari pemikiran
Idealisme pada masa sekarang ini. Idealisme yang dimaksud adalah salah satu
jenis pemikiran yang mengutamakan ide atau gagasan sebagai sumber
kebenaran. Biasanya, Idealisme dilawankan dengan Empirisisme atau jenis
pemikiran yang mengutamakan pengalaman atas kenyataan sebagai sumber
kebenarannya.

28
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Nah, kembali pada model dialektika Hegel, model dialektikanya


merupakan salah satu yang tersulit dipahami dalam sejarah filsafat modern.
Ini dikarenakan Hegel berbicara dalam tingkatan yang sangat teoretis dan
tidak membicarakan hal-hal yang bersifat praktis. Apalagi, filsafat Hegel
memiliki dasar pemikiran pada sesuatu yang sangat abstrak, yaitu filsafat
“roh”. Walaupun demikian, kita tidak perlu panjang lebar membicarakan dasar
filsafatnya ini. Sebab, ini belum waktunya kita masuk dalam pembahasan
filsafat yang rumit tersebut. Model dialektika Hegel ini adalah yang lazim
dikenal sebagai:
Tesis – Antitesis – Sintesis
Tesis secara sederhana dipahami sebagai “suatu pernyataan atau
pendapat yang diungkapkan untuk sesuatu keadaan tertentu”. Misalnya:
“Tanah ini basah karena hujan”.
Antitesis adalah “pernyataan lain yang menyanggah pernyataan atau
pendapat tersebut”. Misalnya: “Hari ini tidak hujan”.
Sintesis adalah “rangkuman yang menggabungkan dua pernyataan
berlawanan tersebut sehingga muncul rumusan pernyataan atau pendapat
yang baru”. Misalnya: “Oleh karena hari ini tidak hujan, tanah ini tidak basah
karena hujan.”
Model dialektika di atas ini mungkin penyederhanaan atas apa yang
dibicarakan Hegel. Tapi, kira-kira seperti inilah pola dialektika secara umum.
Model dialektika ini sebenarnya sudah banyak dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari. Pikiran yang satu disanggah dengan pikiran yang lainnya. Namun,
rumusan ilmiah atas itu memang baru dibuat secara “hebat” dan mulai
terkenal dalam pemikiran filsafat semenjak diperkenalkan Hegel untuk
menopang pandangan filsafatnya.
Akan tetapi, membaca pikiran Hegel itu tidak mudah. Sebab, membaca
Hegel, sama dengan membaca pikiran tiga orang filsuf sebelumnya, yaitu:
Immanuel Kant (1724-1804), Johan Gottlieb Fichte (1762-1814), Friedrich
Wilhelm Joseph Schelling (1775-1854). Pada dua orang terakhir ini, Hegel
mengambil saripati pikiran yang dikembangkan sebagai model dialektika.
Sebagai gambaran sederhana, berikut sedikit ringkasan pandangan bagaimana
Hegel itu sendiri “berdialektika” dengan Ficthe dan Schelling di bawah ini.
Pendapat Fichte yang terutama terletak pada pemahaman atas diri yang
disebut “Aku” atau “Ego”. Menurutnya, Aku ini merupakan unsur terpenting
dalam diri manusia. Itu karena Aku adalah pribadi yang dapat melakukan
permenungan. Ini seibarat pendapat Rene Descartes (1596-1650) yang

29
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

mengatakan bahwa: Aku berpikir, maka Aku ada (bahasa latinnya, yaitu:
Cogito ergo sum). Namun, dalam pikiran Fichte, Aku ini tidaklah sendiri. Aku
ini menjadi sadar karena ada sesuatu yang di luar Aku. Dalam konteks ini,
sesuatu yang di luar Aku dapat berupa Aku yang lain ataupun alam. Sehingga,
dengan pergumulan Aku yang lain ini-lah, Aku menjadi sadar kalau dirinya
terbatas. Begitupun sebaliknya dengan Aku yang lainnya itu. Bahasa
sederhananya, ketika kita menyadari kehadiran orang lain, kita menjadi sadar
kalau kita tidak sendiri. Dengan menyadari ketidaksendirian itu, kita pun
menjadi sadar kalau kita dibatasi ataupun membatasi orang lain. Kita maupun
orang lain menjadi tidak bebas.
Dalam model dialektika, pola pikir Fichte terumus demikian: Aku ini
sadar (tesis) – Ada Aku lain (antitesis) – Aku dan Aku lain saling membatasi
(sintesis). Sedangkan pikiran Schelling, hal ini terungkap dalam kaitannya
dengan permasalahan identitas. Schelling menolak Fichte yang
mengutamakan Aku atas alam. Menurutnya, identitas Aku itu tidaklah bersifat
subjektif (berciri “roh”) ataupun objektif (berciri “materi”). Aku mengatasi
keduanya. Oleh karena itu, Aku berciri mutlak atau absolut. Maksudnya, secara
sederhana, andaikan saja Aku ini bukan pribadi. Maka, Aku akan mendapatkan
ciri yang sangat abstrak. Sebab, ketika tadi dipahami bahwa alam adalah Aku
yang lain, alam yang bukan pribadi mendapatkan status yang sama dengan
manusia yang pribadi. Jadi, tidak ada bedanya antara manusia dan alam karena
keduanya dapat dipandang sebagai Aku.
Dalam model dialektika, pola pikir Schelling terumus demikian: Aku yang
lain atau alam (tesis) – Aku individu atau manusia (antitesis) – Aku yang bukan
materi dan roh (sintesis).
Berusaha mengatasi perdebatan antara Fichte dan Schelling, Hegel lalu
merumuskan sesuatu yang “sederhana” dibandingkan dua pendapat filsuf itu.
Pada satu sisi, ia mengkritik pandangan Fichte yang tidak menyelesaikan
masalah pertentangan antara Aku dengan Aku yang lain. Sementara pada sisi
yang lain, walaupun kagum dengan filsafatnya Schelling, Hegel mengatakan
bahwa pendapat Schelling memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan apa
yang dimaksud dengan Aku absolut itu sendiri. Hegel lalu merumuskan
pemahamannya atas masalah ini menjadi: Idea (tesis), Alam (antitesis), dan
Roh (sintesis)

KATA DAN ISTILAH, KALIMAT DAN PERNYATAAN


Kata dalam bahasa Indonesia memang bisa dipahami sebagai sesuatu

30
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

yang menjadi unsur pembentuk bahasa. Misalnya, ada kata: “miskin”. Kata ini
akan berarti, hanya jika kata ini digabungkan dengan kata lain atau dengan
tanda bahasa yang mendukung. Misalnya, “Oohh... , miskin ya?” atau,
“Miskin...?”
Pada kalimat pertama, kata miskin bisa berarti dua hal. Hal ini
menunjukkan ungkapan ketidaktahuan seseorang tentang keadaan
sebelumnya yang bersangkutan dengan pengertian “miskin” itu sendiri. Kedua,
ungkapan yang bernada merendahkan dapat menjadi ungkapan seseorang
yang berhadapan dengan keadaan seseorang yang memang “miskin”.
Untuk kalimat kedua, kita akan mengerti kalau kata “miskin” di situ akan
berarti pertanyaan. Juga bisa berarti ungkapan ketidakpercayaan.
Demikianlah, cara kita memahami “miskin” sebagai sebuah kata.
Walaupun begitu, “miskin” juga bisa berarti istilah. Artinya, “miskin”
diberikan pengertian yang bersifat khusus dan akan dipahami secara berbeda
dalam bidang tertentu. Misalnya, dalam Islam, ada ungkapan: “Kemiskinan itu
akan mendekatkan seseorang pada penolakan beragama”. Demikian juga
dalam agama Kristiani, khususnya kaum Protestan, memiliki keyakinan:
“Kemiskinan itu harus ditolak, karena kalau kita kaya di dunia ini, maka kita
akan kaya pula di Surga”. Tetapi tidak begitu dalam Budha. Ini tersirat dalam
keyakinan: “Dengan menjadi pengemis, maka seseorang akan mengerti makna
kehidupan yang sebenarnya”.
Masuk pada bidang sosial, politik, ekonomi, maupun budaya, “miskin”
memiliki satu pengertian yang kompleks atau amat luas. Istilah ini dapat
diartikan macam-macam, sesuai dengan “maksud”, “tujuan”, atau
“kepentingan” yang ada dalam penggunaan “miskin” itu. Misalnya, ketika
ditetapkan Millenium Development Goals oleh masyarakat dunia, khususnya
oleh PBB, “kemiskinan itu harus dapat diatasi pada tahun 2015” adalah slogan
yang membawa dampak politis yang luar biasa. Masing-masing negara,
tentunya akan membuat kebijakan ekonomi yang mengarah pada tujuan
tersebut. Begitu juga para politisi akan memakai ini sebagai bagian dari
kampanye.
Selain itu, hal ini juga beraspek budaya, karena “miskin” lalu dikaitkan
dengan sikap hidup manusianya. Pun berhubungan dengan sosial, karena
“miskin” tidak mungkin berada di luar konteks bermasyarakat.
Nah, dengan penjelasan sederhana tersebut, kita mungkin dapat
membayangkan seperti apa bedanya kata dan istilah. Hal ini sebenarnya
terletak pada bagaimana kita mengartikannya, atau bagaimana kita

31
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

mendefinisikannya. Semakin teknis suatu kata didefinisikan, maka kata itu


secara langsung akan menjadi istilah.
Lalu, terkait dengan apa yang disebut dengan kalimat dan pernyataan,
kita dapat membedakannya secara mudah sebenarnya. Misalnya dalam contoh
di bawah ini.
1. “Adik makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah.”
2. “Adik itu makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah.”
Contoh 1 ini merupakan kalimat lengkap, karena ada S+P+O+K (“Adik” =
Subjek + “makan” = Predikat + “nasi goreng” = Objek + “sebelum berangkat
sekolah” = Keterangan).
Contoh 2 ini merupakan pernyataan, serta terdiri dari S+K+P (“Adik” =
Subjek + “itu” = Kopula + “makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah” =
Predikat).
Dengan memperhatikan contoh tersebut, kita dapat mengenali bahwa
kalimat dan pernyataan hanya berbeda tipis saja, yaitu dibedakan dengan kata
“itu”. Dalam bahasa Inggris, kata “itu” yang dimaksud sebenarnya adalah kata
“is”, yang artinya “adalah” itu sendiri. Secara lebih jauh, ciri yang membuat
pernyataan itu dibedakan dari kalimat adalah sisi pengujiannya. Kalimat (1) di
atas, tidaklah perlu diuji isinya benar ataupun tidak karena sudah memenuhi
syarat kalimat lengkap. Sedangkan dalam pernyataan (2), hal ini perlu
dibuktikan kembali apakah isinya benar atau salah, khususnya untuk fakta
yang ada pada Predikat dari pernyataannya tersebut.
Jadi, kalau kita boleh mengambil kesimpulan secara singkat, kalimat yang
benar hanya membutuhkan sisi pengujian atas susunannya, sedangkan
pernyataan yang benar hanya akan benar bila teruji sisi susunannya (formal)
maupun sisi isi yang terkandung di dalamnya (material).

ISTILAH DAN DEFINISI


Kembali ke soal logika, melanjutkan pembahasan terdahulu, kali ini kita
menelisik lebih jauh pada materi mengenai istilah dan pengolahannya. Istilah
juga perlu diolah dengan baik, karena dunia filsafat ataupun dunia ilmu,
bertumpu pada pengolahan istilah yang semakin lama semakin kompleks
pengertiannya.
Misalnya saja, kata globe (dunia) dalam bahasa Inggris mendapatkan
pengertian yang sangat kompleks ketika berubah menjadi istilah globalization

32
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

(mendunia atau globalisasi). Bagi yang paham benar dengan pengertian istilah
tersebut, pastilah ia akan memahami kompleksitas pengertiannya. Sebab, ini
bukan hanya menyangkut pada semakin banyaknya orang yang berkunjung
antar negara, tetapi juga berhubungan dengan kasus penyelundupan obat-
obatan terlarang, masalah perusahaan multinasional, hubungan diplomatik,
ataupun kompetisi internasional di bidang pendidikan, tenaga profesional,
hingga teknologi militer.
Ya, globalisasi mengandaikan semuanya itu, dan juga soal-soal yang
belum disebutkan. Kita tidak dapat mereduksi atau memangkas pengertian
istilah ini sebagai sesuatu yang sederhana seperti terkandung dalam
pengertian “mendunia”. Oleh karenanya, menjadi penting bila suatu istilah itu
dipahami dengan baik. Supaya istilah ini dipahami dengan baik, kita harus
mengolahnya dengan baik pula. Lalu, bagaimana caranya suatu istilah itu dapat
diolah dengan baik?
Pengolahan istilah yang baik sebenarnya dilaksanakan dengan cara
“membatasi pengertiannya”. Atau, nama lain untuk pembatasan pengertian
suatu istilah tiada lain daripada yang disebut definition (definisi). Dalam
logika, pemberian definisi suatu istilah dipenuhi oleh dua unsur, yaitu
definiendum (istilah yang hendak dibatasi pengertiannya) dan definiens
(uraian tentang batasan untuk istilah yang dimaksud). Selain dua unsur yang
telah disebutkan, suatu definisi harus memenuhi syarat-syarat seperti terurai
di bawah ini.
1. Suatu definisi tidak boleh lebih atau kurang daripada pengertian dasar
istilah yang didefinisikan.
Misalnya: Manusia adalah hewan.
Definisi istilah manusia ini menjadi salah karena pengertian hewan
melebihi pengertian manusia. Sebab, kata hewan dipakai juga untuk
menyebut jenis yang lainnya dan bukan hanya manusia.
2. Definisi tidak boleh dinyatakan dalam bahasa yang samar-samar.
Misalnya: Anjing adalah yang berkaki empat.
Definisi istilah anjing di atas masih terlalu samar pengertiannya dan dapat
tertukar dengan pengertian kucing atau kuda yang sama-sama memiliki
empat kaki.
3. Definisi tidak boleh diberi istilah yang didefinisikan atau sinonimnya.
Misalnya: Binatang adalah hewan.

33
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Istilah binatang merupakan kata lain yang sepadan (atau sinonim) untuk
istilah hewan. Jadi, tidak dapat digunakan untuk membuat pengertian
batasan yang dibutuhkan untuk istilah binatang.
4. Definisi tidak boleh dinyatakan dalam bentuk negatif apabila masih
mungkin dinyatakan dalam bentuk positif.
Misalnya: Salah adalah tidak benar.
Dalam definisi istilah salah, pengertian tidak benar merupakan pengertian
yang tidak menjelaskan pengertian salah itu sendiri. Kita sudah
mengetahui bila salah akan berarti tidak benar. Jadi, definisi ini merupakan
suatu definisi yang buruk karena tidak memberikan pengertian yang baik
tentang istilah salah.
Catatan: Referensi untuk syarat definisi diambil dari buku Partap Sing Mehra
dan Jazir Burhan, 2001, Pengantar Logika Tradisional, cet. VII, Putra A. Bardin,
Bandung, hal. 27-8.
Apabila suatu definisi memenuhi dua unsur dan keempat syarat yang
telah disebutkan, maka istilah yang didefinisikan menjadi sah dalam pengujian
logika. Untuk memahami lebih jauh penerapannya, kita akan menerapkan
aturan definisi ini dalam membuat suatu pengertian yang baik untuk istilah
globalisasi.
Definiendum Definiens
Globalisasi Proses interaksi antar negara maupun warga negaranya
yang mengakibatkan perubahan mendasar pada budaya
dan orang-orang yang ada pada masing-masing wilayah
negara yang berinteraksi.

Pada kasus pendefinisian istilah globalisasi di atas ini, kita mendapati


bahwa uraian tentang istilah itu mengambil titik tekan pada interaksi antar
negara dan juga antar warga negara. Namun, pengertian istilah ini menjadi
semakin jelas ketika ada efek yang dihasilkan dari jenis interaksi tersebut yang
berpengaruh pada budaya maupun orang-orang yang hidup di negara yang
melakukan interaksi tersebut. Jika diperhatikan, definisi ini memenuhi semua
syarat yang diajukan di atas. Sebab, pengertian globalisasi menjadi proses
interaksi antar negara maupun warga negara secara umum tidak melebihi
pengertian globalisasi yang dasar, uraian tentang istilah globalisasi dalam
definiens tidak samar, tidak ada pengulangan istilah globalisasi dalam definiens,
dan definisi di atas tidak dinyatakan dalam bentuk negatif.

34
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Walaupun demikian, mungkin ada orang yang berkeberatan mengenai isi


dari pengertian globalisasi di atas. Atas keberatan yang serupa ini, sebenarnya
tidak terlalu penting untuk dipertimbangkan dalam konteks logika. Sebab,
suatu definisi dapat saja memiliki pengertian yang berbeda sesuai titik tekan
yang dipilihnya. Masalah utama dan yang paling mendasar sebenarnya terletak
pada apakah definisi yang dibuat sudah memenuhi syarat-syarat yang sudah
ditentukan atau belum dan bukan pada isi definiens yang dapat berisi
penguraian yang bermacam-macam pengertiannya sesuai dengan keinginan si
pembuat definisi.
Demikian pembahasan untuk istilah dan pengolahannya melalui definisi.
Pada tulisan yang selanjutnya, masih akan membahas bagaimana definisi ini
dibuat dengan mempertimbangkan unsur-unsur lain dalam apa yang disebut
predikat.

DEFINISI DENGAN PREDICABLE


Melanjutkan pembahasan istilah yang disebut dengan definisi pada
tulisan sebelumnya, kita dapat membuat definisi dengan cara yang lebih rinci
daripada yang sudah dijelaskan. Ini diperoleh dengan memahami apa yang
disebut dengan predikat secara lebih jauh.
Predikat ini seperti diuraikan sebelumnya, adalah bagian penjelasan yang
terletak setelah kopula dalam suatu pernyataan. Jika dibandingkan dengan
uraian yang ada pada definisi, maka kita dapat mengatakan bahwa predikat ini
akan sama dengan yang disebut definiens. Nah, definiens ini sendiri dapat
dibagi menjadi beberapa unsur pembentuk definiens. Unsur-unsur inilah yang
nantinya diberi nama predicable.
Predicable itu sendiri tidak lain daripada predikat yang diterapkan untuk
memahami subjek yang hendak diuraikan. Subjek tersebut dalam definisi
adalah yang disebut definiendum. Ada banyak predikat yang dapat diterapkan
untuk membuat subjek lebih dapat dipahami. Aristoteles memiliki pembagian
yang cukup lengkap mengenai predikat apa saja yang harus ada dalam
mengurai penjelasan atas suatu subjek.
Dalam karyanya Topica, Aristoteles telah membagi jenis predikat
menjadi 5 macam, yaitu: definisi (Yunani, horos), genus (Yunani, genos),
diferensia (Yunani, diaphora), properti (Yunani, idion), dan aksiden (Yunani,
sumbebekos). (Baca juga artikel mengenai predicable ini dalam Wikipedia) Ia
kemudian mengatakan kalau definisi itu adalah predikat yang berupa “esensi”
atau hakikat dasar dari subjek yang dibicarakan. (Topica: 101b; 35-40)

35
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Misalnya, hakikat dasar manusia adalah berpikir. Maka berpikir adalah definisi
dari manusia.
Selanjutnya, beralih pada istilah genus. Istilah ini memiliki pengertian
sebagai predikat dari sejumlah subjek yang dapat menghadirkan perbedaan
dalam beragam macamnya untuk subjek tersebut. Misalnya, ketika subjeknya
itu adalah manusia, maka genus-nya adalah binatang. (Topica, 102a; 30-5)
Pada konteks ini, binatang menjadi genus manusia serta sekaligus dapat
menjadi genus untuk kera. Ini karena manusia dan kera adalah sama-sama
“subjek”. Namun, manusia dan kera sama-sama menjadi subjek pada konteks
ini adalah karena kita dapat melihat persamaan yang ada di antara keduanya.
Jadi, secara sederhana, genus adalah predikat yang dapat mencakup beberapa
hal dengan melihat kesamaan yang ada di antara beberapa halnya itu.
Pada contoh genus, kita sudah dapat melihat bahwa manusia dan kera
dipertautkan di bawah genus binatang. Kini, menjadi penting untuk
diperhatikan bahwa perbedaan perlu diberikan sebagai predikat yang dapat
memisahkan antara manusia dan kera. Oleh karena itu, diferensia sebagai
suatu predikat, perlu diterapkan dan ditambahkan pada genus (Topica, 101b;
15-20). Ini persis seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa genus dapat
menghadirkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud tiada lain daripada
diferensia. Dalam hubungannya dengan contoh yang diberikan untuk konteks
genus, yaitu binatang, diferensia yang dapat ditambahkan untuk genus
binatang dengan subjek manusia dan subjek kera jelas akan memiliki
kekhususan untuk masing-masingnya. Pada subjek manusia, diferensia yang
dapat ditambahkan adalah “dapat menyusun pengetahuannya secara
sistematis”. Sedangkan untuk subjek kera, diferensianya adalah “dapat
memperoleh pengetahuan melalui naluri, percobaan, dan juga pengalaman”.
Dalam diferensia untuk kera, kita dapat membaca bahwa keterangan yang
serupa ini nampak mendekati pengertian diferensia yang diberikan untuk
manusia. Bedanya itu hanya tipis saja. Pada manusia, diferensia yang diberikan
tekanannya terletak pada istilah “sistematis”. Sedangkan pada kera, titik tekan
diferensia-nya adalah istilah “naluri”. Ini menjadi penting karena manusia
dapat mengembangkan suatu ilmu dengan pengetahuannya yang sistematis,
sedangkan kera tidak dapat mengembangkan pengetahuannya secara lebih
jauh.
Apabila perbedaan yang diberikan masih kurang jelas, masih dapat
diberikan predikat tambahan yang dapat melengkapi keterangan diferensia-
nya. Dengan properti, predikat ini akan dapat melengkapi keterangan secara
lebih jauh. Misalnya, manusia itu “memiliki kemampuan untuk belajar tata

36
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

bahasa”. Di sini, keterangannya dapat dibalik menjadi yang memiliki


kemampuan untuk mempelajari tata bahasa adalah manusia. Melalui contoh
ini, kita dapat mengatakan bahwa properti adalah predikat tambahan yang
hanya dimiliki oleh subjek yang hendak diuraikan dan tidak dimiliki oleh
subjek lainnya (Topica, 102a; 15-25). Kalau misalnya ada predikat tambahan
yang dimiliki pula oleh subjek lainnya, maka ini dapat disebut dengan properti
sementara (Topica, 102a; 25-30). Misalnya, mengantuk adalah properti yang
dapat dimiliki oleh manusia dan juga kera, serta binatang yang lainnya. Oleh
karenanya, mengantuk adalah jenis dari properti sementara.
Selanjutnya, pada tingkatan yang lebih jauh, kalau properti masih belum
dianggap cukup dalam melengkapi keterangan untuk keterangan genus
beserta diferensia-nya, maka ada yang disebut dengan aksiden. Aksiden ini
berasal dari kata accidit yang berarti “apa yang terjadi”. Penjelasan yang
diberikan Aristoteles untuk aksiden ini kurang begitu jelas, kecuali ia
mengatakan bahwa aksiden itu adalah sesuatu yang bukan genus, diferensia,
maupun properti, namun masih merupakan predikat dari sesuatu yang hendak
dijelaskan. (Topica, 102b; 01-10) Misalnya, dalam contoh properti di atas, kita
mendapati contoh kalau manusia itu memiliki properti “dapat mempelajari
tata bahasa”. Pada contoh properti ini, anggaplah kalau mempelajari tata
bahasa itu masih kurang jelas maksudnya. Oleh karenanya, kita dapat
menambahkan uraian mengenai cara-cara mempelajari tata bahasa sebagai
contoh dari aksiden yang akan melengkapi properti ini. Salah satu cara yang
digunakan manusia untuk mempelajari tata bahasa adalah menyusun kata-
kata ke dalam sistem kebahasaan dengan pola-pola penandaan yang khusus.
Dalam uraian kalimat yang terakhir, penyusunan kata-kata ke dalam sistem
kebahasaan dengan pola-pola penandaan yang khusus dapat menjadi aksiden
yang tepat untuk properti yang telah disebutkan.
Demikian, kalau kita ringkaskan uraian dari Aristoteles ini, maka kita
akan dapati penjelasan untuk mendefinisikan manusia sebagai berikut.
Definisi Berpikir
Genus Hewan
Diferensia Menyusun pengetahuan secara sistematis
Properti Dapat mempelajari tata bahasa
Aksiden Penyusunan kata-kata ke dalam sistem kebahasaan dengan
pola-pola penandaan yang khusus

37
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Pada tabel di atas ini, kita memang dapat melihat sedikit lebih baik apa
yang sudah disampaikan oleh Aristoteles secara ringkas. Namun, kita juga
masih dibingungkan dengan hubungan antar predikat ini. Bagaimanakah
caranya menggunakan kelima predikat ini dalam membuat suatu definisi yang
baik?
Jawaban atas soal ini diberikan secara sangat baik oleh Porphyrius dari
Tyre (234-305 M). Ia mengadopsi pikiran yang telah dikembangkan madzhab
Peripatetis dalam karyanya yang berjudul Isagoge dan melengkapi apa yang
sudah disampaikan oleh Aristoteles di atas dengan satu predikat tambahan,
yaitu: Species. Ia mengatakan bahwa species adalah predikat yang ada di bawah
atau menjadi anggota dari genus. (Isagoge, P.4-15) Pada contoh sebelumnya,
telah disebutkan bahwa genus untuk manusia adalah hewan. Dalam kaitannya
dengan ini, kita dapat menyebutkan bahwa manusia adalah species dari genus
hewan.
Dengan tambahan satu predikat ini, sebenarnya kita sudah dapat
menyusun pola pendefinisian berdasarkan pada predikat yang telah
dijelaskan. Berikut adalah rumusan definisi dengan menggunakan elemen-
elemen predikat yang dimaksud.
Species Genus Diferensia Properti Aksiden
Manusia Hewan yang dapat menyusun dan melalui pola-pola
pengetahuannya bertata penandaan yang
secara sistematis bahasa khusus

Inilah cara pembuatan definisi dengan menggunakan elemen-elemen


yang disebut predicable. Pada cara yang sangat sederhana, definisi yang dibuat
dengan menggunakan predicable hanya akan terdiri dari species, genus, dan
diferensia. Sedangkan dua elemen lainnya hanya diperlukan untuk melengkapi
keterangan yang dirasa kurang jelas pada penjelasan diferensia-nya.

TIGA PRINSIP DASAR PENGOLAHAN ISTILAH DAN PERNYATAAN


Logika mempunyai fokus kepada dua pokok masalah, yaitu: istilah dan
pernyataan. Ini karena dua objek tersebut mewakili pengetahuan seseorang
atas sesuatu hal (berkaitan dengan istilah dan definisinya) dan sikap seseorang
atas sesuatu hal (bersangkutan dengan pernyataan dan kesimpulannya).
Sebab, bila seseorang dapat membuat suatu definisi yang baik dari suatu
istilah, dapat dipastikan bahwa ia memiliki pengetahuan yang cukup mengenai

38
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

apa yang dimaksud oleh istilah tersebut. Sedangkan berkenaan dengan sikap
seseorang, ini akan dapat dilihat dalam apa yang diungkapkan melalui
pernyataannya tersebut. Misalnya, ketika seseorang, sebutlah Nita dan Toto
berdiskusi mengenai apa yang disebut dengan katak, maka keduanya akan
melakukan diskusinya kira-kira seperti ini:
Nita : To, apa sih bedanya katak sama kodok? Tahu gak? Aku bingung nih kalo
harus bedain.
Toto : Apa ya bedanya? (Sambil garuk-garuk kepala gak jelas) Mungkin, kalo
katak tuch yang badannya kurus, sedangkan kodok badannya gemuk.
Memang kenapa Nit?
Nita : Ini, lagi ada tugas untuk mendeskripsikan katak dan kodok untuk
pelajaran biologi. Hmmm ... mungkin bener juga ya? Tapi apa sih
perbedaan lainnya?
Toto : Kalo kodok, aku tahunya cuma kulitnya itu totol, agak kasar, terus warna
kulitnya agak gelap. Sedangkan katak, kulitnya licin dan warna kulitnya
agak terang.
Nita : Oh ... begitu ya? Berarti kodok tuh mirip Toto dong. Kan ... kulitnya gelap
gitu. Hihi ...
Toto : Aduh, mentang-mentang aku kulitnya item, kamu samain aku sama
kodok. Awas ya, ta cubit nih ...!
Toto mengejar Nita yang sudah kabur duluan sebelum Toto sempat
mencubitnya.
Ilustrasi di atas ini memperlihatkan beberapa hal yang dapat dikenali
oleh kita sebagai istilah dan juga pernyataan. “Katak” dan “kodok” adalah dua
istilah yang menjadi pokok pembicaraan dalam diskusi di atas. Sedangkan
pernyataannya, dapat dibaca dalam:
 Aku bingung nih kalo harus bedain.
 Katak tuch yang badannya kurus, sedangkan kodok badannya gemuk.
 Hmmm ... mungkin bener juga.
 Aku tahunya cuma kulitnya itu totol, agak kasar, terus warna kulitnya agak
gelap.
 Kulitnya licin dan warna kulitnya agak terang.
 Berarti kodok tuh mirip Toto dong.
Pernyataan-pernyataan di atas dapat disebut sebagai pernyataan

39
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

informal atau tidak baku. Sebab, kalau kita mencoba untuk


mengkategorikannya dalam format pernyataan yang sudah dibahas dalam
bagian sebelumnya, tidak ada satu pernyataan di atas yang memenuhi pola
pernyataannya. Apalagi dalam pernyataan terakhir, bagaimana mungkin Nita
mengambil kesimpulan kalo Toto itu mirip dengan kodok? Ini adalah sebuah
fallacy atau sesat pikir kalo kita menggunakan pola pikir yang logis. Namun,
karena kita paham bahwa ini adalah suatu bentuk percandaan, maka kita tidak
akan mempermasalahkannya dan hanya akan tersenyum saat membacanya.
Dari cerita ini pula, kita sebenarnya dapat mengenali pula prinsip-prinsip
dasar yang digunakan dalam proses pengolahan istilah selain definisi.
Meskipun begitu, prinsip-prinsip ini sebenarnya juga dipakai dalam
pembuatan definisi. Sehingga, dapat dikatakan, ini adalah prinsip-prinsip
dasar yang menjadi landasan dalam proses pengolahan istilah secara umum.
Lalu, kira-kira, apa saja sih prinsip dasar yang dimaksud?
Prinsip dasar pertama adalah persamaan. Sesuatu hal dapat dikenali
memiliki kemiripan dengan sesuatu yang lainnya karena ada persamaan di
antara keduanya. Dalam contoh pembuatan definisi dengan predicable, kita
telah mengetahui bahwa manusia dan kera memiliki persamaan di antara
keduanya. Manusia dan kera sama-sama melahirkan dalam proses akhir
perkembangbiakannya dan juga sama-sama menyusui dalam proses
pembesaran anak-anaknya. Bila mengambil contoh pada cerita di atas, katak
dan kodok juga memiliki persamaan. Di antara persamaan yang ada, katak dan
kodok sama-sama memiliki kaki dengan selaput di antaranya, mampu hidup di
dua alam (amfibia), dan memiliki lidah yang lentur untuk menangkap
mangsanya.
Setelah prinsip dasar pertama ini, prinsip dasar kedua yang dipakai
adalah prinsip perbedaan. Apa yang berbeda dari yang dimiliki manusia dan
kera seperti dibahas dalam definisi dengan predicable jelas merupakan contoh
penerapan yang paling jelas dari prinsip ini. Hal yang sama juga dapat ditemui
dalam contoh cerita di atas. Apa yang dibicarakan Nita dan Toto adalah
perbedaan yang dapat dikenali oleh mereka berdua sehingga mereka dapat
“memilah” katak dan kodok dengan baik.
Untuk yang terakhir, prinsip dasarnya adalah prinsip keberhubungan.
Sesuatu hal akan dapat diketahui dengan baik kalau kita dapat
membandingkannya dengan hal lain. Tentunya, akan lebih baik lagi bila kita
juga dapat mengenali hubungan antara sesuatu hal tersebut dengan sesuatu
hal lainnya yang kita bandingkan itu. Kira-kira, contohnya bagaimana ya?
Misalnya, dalam contoh definisi dengan predicable, kita telah

40
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

memperbandingkan manusia dan kera. Kita juga telah dapat mengenali


persamaan dan perbedaannya. Lalu, apa yang dapat menghubungkan dua
subjek ini? Dalam kondisi yang praktis, kita sering menggunakan persamaan
untuk melihat hubungan di antara kedua hal yang sedang diperbandingkan,
sebagaimana telah dilakukan dalam memperbandingkan manusia dan kera.
Dari hal ini, kita akan mengatakan bahwa sesuatu itu “berhubungan” dengan
sesuatu yang lainnya karena banyaknya persamaan yang keduanya miliki.
Kalau kita mengenali perbedaannya terlalu jauh, kita seringkali mengatakan
bahwa kedua hal tersebut tidak “berhubungan”. Tetapi, apakah benar seperti
itu?
Dalam banyak hal, kita ternyata tidak hanya memakai persamaan dalam
menentukan hubungan sesuatu. Ini kita peroleh dalam contoh, hubungan
antara kertas dan logam. Kertas dan logam tentu saja memiliki karakteristik
yang berbeda dan cukup jauh untuk dipertautkan. Namun, ketika keduanya
difungsikan sebagai “uang”, maka keduanya dapat dianggap sama, walaupun
sangat berbeda dari jenis materi dan karakteristiknya.
Pada akhirnya, secara umum, kita akan dapat memahami kalau tiga
prinsip dasar ini saling mengisi satu sama lain atau saling melengkapi dalam
membantu pemahaman kita atas berbagai hal. Pengetahuan manusia terutama
bertumpu pada penggunaan tiga prinsip dasar ini dan terungkap melalui
istilah dan pernyataan. Apa yang kita tahu tergambar dalam penjelasan kita
terhadap sesuatu istilah dan sikap kita atas sesuatu tercermin dalam
pernyataan yang kita buat seperti terdapat dalam contoh-contoh yang telah
dikemukakan. Inilah elemen-elemen terpenting dari pengetahuan manusia.

41
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

ONTOLOGI ILMU

PENGERTIAN SINGKAT
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan
kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari
persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het
zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme,
Paham dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham
ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita
masing masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana
manifestasi kebenaran yang kita cari.
Obyek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat
diuji oleh panca indera manusia, seperti batua-batuan, binatang, tumbuhan,
atau manusia itu sendiri; berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai
manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka
ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Inilah yang merupakan
salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap dunia empiris.
Pengetahuan keilmuan mengenai obyek-obyek empiris ini pada dasarnya
merupakan abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu, sebab
kejadian alam yang sesungguhnya begitu kompleks, dengan sampel dari
berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Ilmu tidak bermaksud “memotret”
atau “memproduksikan” suatu kejadian tertentu dan mengabstraksikan dalam
bahasa keilmuan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan
berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat
konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis
dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan
orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Ontologi ini
pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris.
Ontologi merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang
menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being),
baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah)
selain itu Ontologi merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat
kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah tidak

42
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

terlepas dari persepektif filsafat tentang apa yang dikaji atau hakikat realitas
yang ada yang memiliki sifat universal.
Ontologi dalam bahasa Inggris “ontology”; dari bahasa Yunani on, ontos
(ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang). Setidaknya ada lima
pengertian dasar mengenai apa itu “ontologi”.
Pertama, ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial” dari Yang
Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada
secara khusus. Dalam mempelajari ‘yang ada’ dalam bentuknya yang sangat
abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti “Apa itu Ada dalam
dirinya sendiri?”
Kedua, ontologi juga bisa mengandung pengertian sebuah cabang filsafat
yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang
menggunakan kategori-kategori seperti: ada dan menjadi, aktualitas dan
potensialitas, esensi, keniscayaan dasar, yang ada sebagai yang ada.
Ketiga, ontologi bisa juga merupakan cabang filsafat yang mencoba
melukiskan hakikat Ada yang terakhir, ini menunjukan bahwa segala hal
tergantung padanya bagii eksistensinya.
Keempat, Ontologi juga mengandung pengertian sebagai cabang filsafat
yang melontarkan pertanyaan, apa arti Ada dan Berada dan juga menganalisis
bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan Ada.
Kelima, Ontologi bisa juga mengandung pengertian sebuah cabang
filsafat a) menyelidiki status realitas suatu hal misalnya “apakah objek
pencerapan atau persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)? “apakah
bilangan itu nyata?” “apakah pikiran itu nyata?” b) menyelidiki apakah jenis
realitas yang dimiliki hal-hal (misalnya, “Apa jenis realitas yang dimiliki
bilangan, persepsi, dan pikiran?” dan c) yang menyelidiki realitas yang
menentukan apa yang kita sebut realitas. Dari beberapa pengertian dasar
tersebut bisa disimpulkan bahwa ontologi mengandung pengertian
“pengetahuan tentang yang ada”.
Istilah ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu
ungkapan filsafat mengenai yang ada (philosophia entis) digunakan untuk hal
yang sama. Menurut akar kata Yunani, ontologi berarti “teori mengenai ada
yang berada”. Oleh sebab itu, orang biasa menyebut ontologi dengan filsafat
pertama-nya Aristoteles, yang kemudian disebut sebagai metafisika. Namun
pada kenyataannya, ontologi hanya merupakan bagian pertama metafisika,
yakni teori mengenai yang ada, yang berada secara terbatas sebagaimana
adanya dan apa yang secara hakiki dan secara langsung termasuk ada tersebut.

43
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Beberapa ahli filsafat memang banyak hal mempunyai pengertian yang


berbeda satu sama lain. Namun jika ditarik dalam garis benang yang saling
berkaitan maka ada beberapa hubungan yang hampir sama bahwa ontologi
adalah ilmu tentang yang ada sebagai bagian cabang filsafat yang sama.
Baumgarten mendefinisikan ontologi sebagai studi tentang predikat-predikat
yang paling umum atau abstrak dari semua hal pada umumnya. Ia sering
menggunakan istilah “metafisika universal” dan “filsafat pertama” sebagai
sinonim ontologi. Heidegger memahami ontologi sebagai analisis konstitusi
“yang ada dari eksistensi”, ontologi menemukan keterbatasan eksistensi, dan
bertujuan menemukan apa yang memungkinkan eksistensi.
Ontologi merupakan ‘ilmu pengetahuan’ yang paling universal dan paling
menyeluruh. Penyelidikannya meliputi segala pertanyaan dan penelitian
lainnya yang lebih bersifat ‘bagian’. Ia merupakan konteks untuk semua
konteks lainnya, cakrawala yang merangkum semua cakrawala lainnya,
pendirian yang meliputi segala pendirian lainnya. Sebagai tugasnya memang
‘ontologi’ selalu mengajukan pertanyaan tentang bagaimana proses ‘mengada’
ini muncul. Pertanyaannya selalu berangkat dari situasi kongkrit. Dengan
demikian ontologi menanyakan sesuatu yang tidakserba tidak terkenal.
Andaikata memang sesuatu tidak terkenal maka mustahil pernah akan dapat
ditanyakan. Dalam ruang kerjanya ‘ontologi’ bergerak di antara dua kutub,
yaitu antara pengalaman akan kenyataan kongkrit dan prapengertian
‘mengada’ yang paling umum. Dalam refleksi ontologis kedua kutub ini saling
menjelaskan. Pengalaman tentang kenyataan akan semakin disadari
dieksplisitkan arti dan hakikat ‘mengada’. Sebaliknya juga, pra-pemahaman
tentang cakrawala ‘mengada’ akan semakin menyoroti pengalaman kongkrit
dan membuatnya terpahami sungguh-sungguh.

ASUMSI-ASUMSI ILMU
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada
dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika.
Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam
konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal,
menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti
yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus;
menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

44
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan


kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan
menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme,
idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya
itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis
lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang
hylomorphisme diketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De
Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya dipahami sebagai upaya
mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme
dari mental.
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi,
yaitu: abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi
fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi
bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang
sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi
dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah
abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di
bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih
dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari
kebenaran kesimpulan.
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada
sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas
yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris
disusun dengan tata silogistik.
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang
a priori diberangkatkan dari term tengah dihubungkan dengan predikat dan
term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a
posteriori diberangkatkan dari term tengah dihubungkan dengan subjek, term
tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
Anton Bakker (1992) menyebut ontologi merupakan ilmu pengetahuan
yang paling universal dan paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi gejala
pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih bersifat bagian. Ontologi
berusaha memahami keseluruhan kenyataan, segala sesuatu yang mengada
segenapnya.
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada.

45
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologis mempertanyakan tentang objek


yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan
keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman
manusia.
Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup, maka dalam
menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan
upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat
manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan.
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan
dua macam sudut pandang: 1) Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan
apakah kenyataan itu tunggal atau jamak. 2) Kualitatif, yaitu dengan
mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas
tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar
yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang
mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Beberapa aliran
dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.

BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU


Dasar ontologi ilmu sebenarnya ingin berbicara pada sebuah pertanyaan
dasar yaitu : apakah yang ingin diketahui ilmu ? Atau bisa dirumuskan secara
eksplisit menjadi : apakaj yang menjadi bidang telaah ilmu ? Berbeda dengan
agama atau bentuk pengetahuan yang lainnya, maka ilmu membatasi diri
hanya kepada bkejadian yang bersifat empiris. Secara sederhana objek kajian
ilmu ada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek kajian ilmu mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pacaindera manusia. Dalam
batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti batu-
batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan , hewan atau manusia itu sendiri.
Berdasarkan hal itu maka ilmu ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan
empiris, di mana objek-objek yang berbeda di luar jangkaun manusia tidak
termasuk di dalam bidang penelaahan keilmuan tersebut.
Untuk mendapatkan pengetahuan ini, ilmu membuat beberapa asumsi
mengenai objek-objek empiris. Sebuah pengetahuan baru dianggap benar
selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. Secara lebih
terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi yang dasar. Asumsi pertama,
menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain,
umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Asumsi kedua,

46
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

ilmu menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam


jangka waktu tertentu . Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku
suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Asumsi ketiga, ilmu menganggap
bahwa tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan.
Tiap gejala mempunyai suatu hubungan pola-pola tertentu yang bersifat tetap
dengan urutan kejadian yang sama. Dalam penegartian ini ilmu mempunyai
sifat deterministik. Namun demikian dalam determinisme dalam pengertian
ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).

KARAKTERSITIK FILSAFAT ILMU


Ilmu sebagai salah satu bidang dalam filsafat, di abad modern ini memang
mendapat tempat dan porsi terbesar, Perkembangan ilmu saat ini banyak
mendorong terjadinya perubahan-perubahan peradaban, Abad modern
memang sangat didorong oleh kemunculan rasionalitas ilmu sebagai dasar
dominan rasionalitas modern. Ilmu sebagai sebuah konsep memang
mengandung pengertian yang cukup komplek. Ilmu dalam bahasa inggris
‘science’, dari bahasa Latin ‘scientia’ (pengetahuan). Sinonim yang paling akurat
dalam bahasa Yunani adalah ‘episteme’. Pada prinsipnya ‘ilmu’ merupakan
cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara
metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu sosial dan ilmu alam , karena
permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu
sering dibagi menjadi ‘filsafat ilmu alam’ dan filsafat ilmu sosial’.
Karakteristik ilmu yang paling kentara adalah bahwa cara kerjanya
ditentukan oleh sebuah metode. Metode berarti bahwa penyelidikan
berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Tekanan ilmu terletak pada
bagaimana sebuah metode dibangun. Ilmu yang dalam perkembangannya
memakai metode ilmiah di dalam hukum-hukumnya mempunyai bahasa-
bahasa ilmiah yang berbeda dengan bahasa keseharian yang lain. Karakteristik
yang nampak dalam bahasa ini adalah bahwa bahasa ilmiah selalu
menekankan unsur “bebas nilai”. Karakteristik yang kedua adalah bahwa
bahasa ilmu sifatnya tertutup dan memakai cara kerja sistem sendiri. Ada
banyak model dan cara kerja ilmu yagn berkembang sesuai dengan
perkembangan filsafat manusia. Jika kita lihat di sana akan ditemukan
pengertian-pengertian Rasionalisme, Empirisme, Positivisme, Rasionalitas
Kritis, Konstruktivisme. Masing-masing mempunyai metodologi yang khas
tetapi masih dalam kesatuan ciri khas kerja sebuah ilmu.
Filsafat ilmu pada prinsipnya bertugas meneliti dan menggali sebab-
musabab pertama dari gejala ilmu pengetahuan, di antaranya paham tentang

47
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

kepastian, kebenaran dan objektivitas. Cara kerja filsafat ilmu pengetahuan


pada prinsipnya adalah sebuah penelitian tentang apa yang memungkinkan
ilmu-ilmu tersebut terjadi dan berkembang.

BATAS-BATAS KERJA ILMU


Jika kita mempertanyakan apa batas kerja ilmu atau batas penjelajahan
ilmu maka bisa dijelaskan bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada
pengalaman manusia dan dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu
tidak mempelajari sesuatu yang bukan dari pengalaman manusia, maka ilmu
tidak bekerja di luar batas kerjanya seperti keyakinan surga dan neraka. Pada
prinsipnya ilmu sendiri dalam kehidupan manusia sebagai alat pembantu
untuk bisa membongkar berbagai problem manusia dalam batas
pengalamannya.
Ilmu membatasi lingkup penjelajahan pada batas pengalaman manusia.
Metode yang dipergunakan dalam menyusun ilmu telah teruji kebenarannya
secara empiris. Dalam perkembangannya kemudian maka muncul banyak
cabang ilmu yang diakibatkan karena proses kemajuan dan penjelajahan ilmu
yang tidak pernah berhenti. Dari sinilah kemudian lahir konsep “kemajuan”
dan “modernisme” sebagai anak kandung dari cara kerja berpikir keilmuan.
Ahli ontologi menggunakan beberapa pertanyaan mendasar tentang
keberadaan sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang paling
ideal. Pertanyaan-pertanyaan utama dalam ontologi adalah:
• Atas dasar apakah “sesuatu” itu dikatakan sebagai “ada”?
• Jika “sesuatu” itu dikatakan “ada”, bagaimana cara mengelompokkannya?
Kedua pertanyaan tersebut telah mendorong dilakukannya upaya untuk
membagi entitas-entitas yang melekat pada “sesuatu” menjadi kelompok atau
kategori. Karena jumlah entitas sangat banyak, maka daftar kategori yang
dibuat juga beragam. Untuk mempermudah kita menemukan kategori yang
diinginkan, kategori-kategori yang ada disusun dan dihubungkan dalam
bentuk skema. Aplikasi dari kategorisasi entitas dapat dilihat dalam ilmu
perpustakaan dan teknologi informasi (IT).
Pengembangan dari dua pertanyaan mendasar dalam ontologi telah
mendorong ahli filsafat untuk berpikir lebih keras dan memacu perkembangan
ontologi dan aplikasinya dalam berbagai bidang. Berikut ini adalah beberapa
contoh pertanyaan dalam ontologi:
• Apa yang dimaksud dengan “ada”?

48
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

• Apakah “ada” memiliki sesuatu atau properti?


• Jika “sesuatu” tersusun atas entitas, maka entitas manakah yang
fundamental?
• Bagaimana properti dari sebuah obyek dapat berhubungan dengan obyek
tersebut?
• Apa ciri yang paling penting dari sebuah obyek?
• Jika “ada” memiliki tingkatan (level), berapa jumlah level yang dimiliki oleh
sebuah “ada”?
• Apa yang dimaksud dengan obyek fisik?
• Apakah bukti yang dapat menyatakan bahwa suatu obyek fisik itu
dikatakan sebagai “ada”?
• Apakah bukti yang dapat menyatakan bahwa suatu obyek fisik memiliki
entitas atau unsur non-fisik?

KONSEP ONTOLOGI
Konsep-konsep yang berkembang dalam ontologi dapat dirangkum
menjadi 5 konsep utama, yaitu: 1) Umum dan tertentu; 2) Kesengajaan
(substance) dan ketidaksengajaan (accident); 3) Abstrak dan kongkrit; 4)
Esensi dan eksistensi; 5) Determinisme dan indeterminisme
1. Umum (universal) dan Tertentu (particular)
Umum (universal) adalah sesuatu yang pada umumnya dimiliki oleh
sesuatu, misalnya: karakteristik dan kualitas. “Umum” dapat dipisahkan atau
disederhanakan melalui cara-cara tertentu. Sebagai contoh, ada dua buah kursi
yang masing-masing berwarna hijau, maka kedua kursi ini berbagi kualitas
“berwarna hijau” atau “menjadi hijau”.
Tertentu (particular) adalah entitas nyata yang terdapat pada ruang dan
waktu. Contohnya, Socrates (guru dari Plato) adalah tertentu (particular),
seseorang tidak dapat membuat tiruan atau kloning dari Socrates tanpa
menambahkan sesuatu yang baru pada tiruannya.
2. Substansi (substance) dan Ikutan (accident)
Substansi adalah petunjuk yang dapat menggambarkan sebuah obyek,
atau properti yang melekat secara tetap pada sebuah obyek. Jika tanpa
properti tersebut, maka obyek tidak ada lagi.

49
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Ikutan (accident) dalam filsafat adalah atribut yang mungkin atau tidak
mungkin dimiliki oleh sebuah obyek. Menurut Aristoteles, “ikutan” adalah
kualitas yang dapat digambarkan dari sebuah obyek. Misalnya: warna, tekstur,
ukuran, bentuk dan sebagainya.
3. Abstrak dan Kongkrit
Abstrak adalah obyek yang “tidak ada” dalam ruang dan waktu tertentu,
tetapi “ada” pada sesuatu yang tertentu, contohnya: ide, permainan tenis
(permainan adalah abstrak, sedang pemain tenis adalah kongkrit).
Kongkrit adalah obyek yang “ada” pada ruang tertentu dan mempunyai
orientasi untuk waktu tertentu. Misalnya: awan, badan manusia.
4. Esensi dan eksistensi
Esensi adalah adalah atribut atau beberapa atribut yang menjadi dasar
keberadaan sebuah obyek. Atribut tersebut merupakan penguat dari obyek,
jika atribut hilang maka obyek akan kehilangan identitas. Eksistensi (existere:
tampak, muncul. Bahasa Latin) adalah kenyataan akan adanya suatu obyek
yang dapat dirasakan oleh indera.
5. Determinisme dan indeterminisme
Determinisme adalah pandangan bahwa setiap kejadian (termasuk
perilaku manusia, pengambilan keputusan dan tindakan) adalah merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian kejadian-kejadian sebelumnya.
Indeterminisme merupakan perlawanan terhadap determinisme.
Para penganut indeterminisme mengatakan bahwa tidak semua kejadian
merupakan rangkaian dari kejadian masa lalu, tetapi ada faktor kesempatan
(chance) dan kegigihan (necessity). Kesempatan (chance) merupakan faktor
yang dapat mendorong terjadinya perubahan, sedangkan kegigihan (necessity)
dapat membuat sesuatu itu akan berubah atau dipertahankan sesuai asalnya.

50
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

EPISTEMOLOGI

MENGENAL EPISTEMOLOGI
Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F.
Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri”
pemaknaan yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup
menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang
berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang
berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya
memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya
juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu
diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna
mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal
iini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep
selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-
persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi
belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa
menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar,
hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan
sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan
“jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang
dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi mempunyai banyak sekali
pemaknaan atau pengertian yang kadang sulit untuk dipahami. Dalam
memberikan pemaknaan terhadap epistemologi, para ahli memiliki sudut
pandang yang berbeda, sehingga memberikan pemaknaan yang berbeda
ketika mengungkapkannya (Qomar, 2005: 2).
Untuk lebih mudah dalam memahami epistemologi, maka perlu
mengetahui pengertian dasarnya terlebih. Secara etimologi, epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran,
percakapan atau ilmu). Ada juga yang mengatakan kalau logos berarti
teori. Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan
tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan

51
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya


pengetahuan itu.
Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi epistemologi
adalah Hardono Hadi (dalam Qomar, 2005: 3). Menurutnya epistemologi
adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan
skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta
pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemologi adalah D.W
Hamlyin (dalam Qomar, 2005: 3), mengatakan bahwa epistemologi sebagai
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
dasar dan pengandaian-pengandaian serta secara umum hal itu
dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Aristoteles mengartikan episteme sebagai suatu kumpulan yang teratur
dari pengetahuan rasional dengan obyeknya sendiri yang tepat (The Liang Gie,
1991: 1). Jadi filsafat dan llmu tergolong sebagai pengetahuan rasional, yakni
pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia.
Dagobert D. Runes memaparkan bahwa epistemologi adalah cabang
filsafat yang membahas, sumber, struktur, metode-metode, dan validitas
pengetahuan. Sedangkan menurut Azyumardi Azra, beliau menambahkan
bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas keaslian, pengertian,
struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Walaupun dari kedua
pemaparan di atas terdapat sedikit perbedaan, namun keduanya memberikan
pengertian yang sederhana dan relatif mudah di pahami.
Am Syaifudin (dalam Qomar, 2005: 4) menyebutkan bahwa epistemologi
mencakup pertanyaan dasar, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa
sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan
benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang
dapat kita ketahui, dan sampai manakah batasannya. Semua pertanyaan itu
dapat diringkas menjadi dua masalah pokok, 1) masalah sumber ilmu dan 2)
masalah benarnya ilmu.
Masalah pengetahuan termasuk masalah kebenaran juga menjadi salah
satu masalah utama filsafat. Apakah hakekat pengetahuan itu? Bagaimana kita
(umat manusia) dapat memperoleh pengetahuan? Pandangan epistemologis
antara lain akan menjawab bahwa pengetahuan manusia diperoleh lewat
kerjasama antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui.
Pengetahuan manusia tidak mungkin ada tanpa salah satunya, sehingga
pengetahuan manusia selalu subyektif-obyektif atau obyektif-subyektif. Di sini

52
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

terjadi kemanunggalan antara subyek dan obyek. Subyek dapat mengetahui


obyeknya, karena dalam dirinya memiliki kemampuan-kemampuan,
khususnya kemampuan akali dan inderawinya.
Dalam kenyataan, manusia dapat memperoleh pengetahuan lewat
berbagai sumber atau sarana seperti: pengalaman inderawi dan pengalaman
batin (external sense experience and internal sense experience); nalar (reason),
baik melalui penalaran deduktif maupun induktif (deductive and inductive
reasoning); intuisi (intuition); wahyu (revelation); keyakinan (faith), otoritas
(authority), yaitu orang yang ahli dalam bidangnya; dan lewat tradisi dan
pendapat umum (tradition and common-sense). (Thiroux, 1985: 478-483).
Meskipun manusia dengan segala kemampuannya telah dan akan
berupaya terus untuk mengetahui obyeknya secara total dan utuh, tetapi
dalam kenyataan, manusia tidak mampu untuk merengkuh obyeknya secara
total dan utuh. Apa yang diketahui manusia selalu saja ada yang tersisa. Dalam
istilah ini, “ada segi tak terungkap dan pengetahuan manusia”, dengan kata
lain, manusia hanya mampu mengetahui yang fenomenal saja, dan tidak
mampu menjangkau yang noumenal. Hal inilah yang memicu munculnya
anggapan bahwa pengetahuan manusia itu relatif. Relativitas pengetahuan
manusia itu disebabkan sekurang-kurangnya karena keterbatasan
kemampuan manusia sebagai subyek yang mengetahui, dan juga karena
kompleksitas obyek yang diketahui.

MENGAPA EPISTEMOLOGI
Epistemologi merupakan ilmu yang mempelajari dasar-dasar dan
batasan pengetahuan. Oleh karena itu, jika pertarungan terjadi pada tataran
epistemologi, maka bisa dipastikan aman-aman saja. Sebab pada tataran ini
perdebatan masih di sekitar teori pengetahuan Namun, perkembangan kian
rawan apabila dari epistemologi yang kemudian beranjak pada pandangan
tentang alam ini melahirkan berbagai bentuk ideologi. Dan pada tataran
ideologi inilah terjadinya puncak kerawanan, sebab ideologi menyangkut
eksekusi atas deretan perintah dan larangan yang, sudah pasti, berbeda
bahkan bertentangan antara satu ideologi dengan ideologi lainnya. Yang
menjadi pertanyaan, mengapa mesti terjadi perdebatan, mengapa mesti
terjadi perbedaan ideologi? Dan apakah ideologi yang dianut sudah
berpangkal pada epistemologi yang benar? Murthada Muthaharri berupaya
mengupas habis jawaban atas pertanyaan tersebut dan pertanyaan-
pertanyaan filosofis lainnya. Beliau merambah belantara epistemologi dengan
menguraikan berbagai pandangan filsafat dari filosof Barat maupun Islam.

53
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Nilai dan pentingnya epistemologi menjadi kajian awal yang kemudian


dilanjutkan dengan masalah ontologi. Lalu, kita diajak untuk memfungsikan
alat-alat epistemologi berupa panca indera dan rasio, yang apabila satu indera
saja tidak berfungsi maka hilanglah satu bentuk epistemologi, atau
sebagaimana kata Aristoteles “hilanglah satu ilmu”. Puncak kajian yang
teramat penting adalah melalui paparan epistemologinya ini, terbukti betapa
rapuhnya ideologi-ideologi dunia saat ini dan betapa kokohnya ideologi yang
lahir dari epistemologi Islam dan pandangan Islam tentang alam. Akhirnya,
buku ini terasa lengkap karena disertai dalil dari Al-Qur'an dan hadis yang
merupakan sumber kebenaran dari epistemologi, pandangan alam dan
ideologi.
Perdebatan tentang epistemologi adalah sesuatu yang diperdebatkan
sepanjang sejarah karena epistemologi adalah hal yang sangat substansil
dalam melakukan penilaian terhadap sesuatu, ada hal yang mendasar dalam
diskusi-diskusi tentang epistemologi, yaitu perdebatan tentang apakah
epistemologi yang lebih dulu ada dari ontologi ataukah ontologilah yang lebih
dulu ada dari epistemologi.
Para filosof yang bermazhab empirisme dalam membuktikan tentang
kelebih-dahuluan epistemologi dari ontologi mengatakan bahwa
epistemologilah yang yang lebih dulu ada, karena dia membuktikan lewat
sebuah analisa pengetahuan yang sifatnya emperikal sementara filosof yang
lain mengatakan bahwa ontologilah yang lebih dulu ada, dua hal ini kemudian
yang memetakan antara aliran pemikiran yang bersifat materialistis dan aliran
pemikiran yang bersifat metafisika, pada umumnya tokoh-tokoh filosof dibarat
seperti, John Look, Thomas Hobbes, karl Marx dan David Home, mereka
mengatakan bahwa epitemologilah yang lebih dulu ada dari pada ontologi,
namun ada pertanyaan yang bisa diajukan kepada mereka:
1. Bagaimana caranya mereka bisa mengetahui sesuatu itu ada tanpa adanya
realitas.
2. Apakah keberadaan sesuatu itu karena kita memberikan konsepsi kepada
sesuatu itu, ataukah memang dia mempunyai keberadaan tanpa kita
memberikan penilaian bahwa dia itu mempunyai keberadaan.
Jawaban dari pertanyaan di atas akan memberikan gambaran kepada kita
bahwa apakah realitas itu ada tanpa kita memberikan penilaian keberadaan
terhadap keberadaannya. Mazhab berpikir empirisme mengatakan bahwa
untuk membuktikan sesuatu itu ada maka kita memerlukan pengetahuan atau
epistemologi sebagai sumber dari pengetahuan kita sehingga kita bisa
mengatakan dia ada atau tidak ada karena kita punya pengetahuan tentangnya,

54
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

namun pertanyaan kemudian yang diajukan kepada kaum emperik adalah dari
mana pengetahuan itu bisa ada kalau tidak ada realitas yang lebih dulu ada, ini
adalah menjadi problem dalam sebuah sains atau pengetahuan yang berdiri di
atas pijakan yang empirisme terutama yang dibangun di Eropa terutama pasca
Fransisco Bacon.
Mazhab Metafisika mencoba menjawab, bahwa ontologilah yang lebih
dulu mempunyai keberadaan, karena tanpa realitas maka mustahil kita bisa
mengetahui sesuatu, dan sesuatu itu akan tetap mempunyai keberadaan tanpa
kita secara subyektif memberikan penilaian tentang keberadaannya, seperti
keberadaan bulan dan bintang adalah sesuatu yang niscaya adanya tanpa kita
memberikan penilaian bahwa dia ada atau tidak, karena memang pada
kenyataannya dia memang sudah mempunyai keberadaan.
Dalam Epistemologi terdiri dari beberapa mazhab pemikiran
diantaranya:
1. Mazhab Empirisme
Adapun doktrin dan landasan penilaiannya adalah sesuai dengan
pengalaman, bahwa sesuatu hanya dikatakan benar ketika dia bersifat material
sehingga keberadaan Tuhan dan yang bersifat non emperik mereka tolak,
tokoh-tokohnya antara lain seperti karl Marx, David Home dan John Look,
mereka mengatakan bahwa ukuran kebenaran adanya sesuatu harus bisa
dibuktikan secara empirik lewat penelitian dan bisa dibuktikan secara ilmiah,
padahal kerangka berpikir yang seperti ini akan membawa kita kepada
paradigma yang meniadakan keberadaan sesuatu yang bersifat non emperik
yang tidak bisa diinderai, dan sebuah konsekwensi logis bila kita memakai
prinsip berpikir seperti ini (kerangka berpikir ilmiah), maka kita akan
meniadakan Tuhan dan hal-hal yang bersifat metafisika. Ada beberapa
pertanyaan yang penulis ingin ajukan kepada kaum emperikal yaitu:
1) kalau memang hanya dengan pengalaman kita bisa mengetahui sesuatu
maka bagaimana kita bisa meyakini bahwa segi tiga tidak sama dengan segi
empat, sedangkan kita tidak mempunyai pengalaman akan hal itu dan
belum pernah melihat secara inderawi.
2. Apakah dengan pengalaman bisa membawa kita kepada sebuah prinsip
yang niscaya kebenarannya yang tidak perlu dibuktikan lagi dengan
pengalaman.
Dari dua pertanyaan di atas penulis mengira cukup mewakili untuk
menguji validitas kebenaran mazhab berpikir emperikal tanpa merasa untuk
menghakimi kaum empirisme, namun penulis hanya ingin mengatakan bahwa

55
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

empirisme bukanlah landasan penilaian dalam menilai sesuatu tapi dia lebih
cenderung hanya sebagai methodologi dalam mengumpulkan data-data dalam
mengambil keputusan yang bersifat emperikal tanpa harus meniadakan
bahwa hal yang sifatnya tidak material juga mempunyai keberadaan hanya saja
keterbatasan indera dalam melihat realitas tersebut.
Jika kaum empirisme menjawab pertanyaan pertama bahwa itu
berdasarkan pengalaman, maka itu akan membawa mereka kepada kesalahan
yang fatal, dan ketika mereka menjawab karena itu rasional, maka dengan
sendirinya mereka telah menggugurkan prinsip berpikir mereka, karena
ukuran kebenaran dan rasional bukan karena berdasarkan inderawi saja tapi
ukuran kebenaran dan rasional sesuatu karena memang dia rasional dan
mempunyai nilai kebenaran itu sendiri sebagaimana tersebut di atas bahwa
kita tidak pernah melihat segi tiga tidak sama dengan segi empat, akan tetapi
kita bisa memberikan penilaian tanpa harus didahului pengalam inderawi
untuk melihat hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang sifatnya niscaya
lagi rasional, bahwa sesuatu hanya sama dengan dirinya dan tidak mungkin
sesuatu itu menjadi bukan dirinya karena dia mustahil keluar dari kediriannya,
dalam artian bahwa sesuatu itu terbatas dalam wujud kediriannya.
Pertanyaan yang kedua adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh
orang yang mempunyai landasan penilaian yang bedasarkan empirisme
karena bagaimanapun pengalaman sifatnya terbatas oleh ruang dan waktu,
dan jika seandainya mereka menjawab bahwa pengalamanlah yang akan
menentukan penilaian kebenaran dan bisa membawa kita kepada suatu
kebenaran yang sifatnya niscaya, maka ini adalah sesuatu yang kontradiksi dari
prinsip mereka sendiri, dimana mereka mengatakan bahwa pengalaman
adalah ukuran dalam menilai sesuatu, sementara kebenaran yang berdasarkan
pada pengalaman akan selalu mengalami perubahan dan tidak menutup
kemungkinan mengandung kesalahan didalam mengambil kesimpulan,
dimana kesimpulannya kemunginan benar, dan mungkin juga salah, yang
menjadi masalah adalah apakah manusia mempunyai keinginan untuk
mengambil suatu keyakinan yang sifatnya relatif, ini adalah sesuatu yang
mustahil karena manusia selalu merindukan kebenaran yang sifatnya pasti
apalagi berkaitan dengan keyakinan dan prinsip hidup. Ini adalah beberapa
kelemahan dalam Mazhab Empirisme (Kerangka berpikir ilmiah), akan tetapi,
tidak bermaksud menghilangkan metode berpikir ilmiah, hanya menempatkan
pada wilayah yang proporsional, bahwa doktrin empirisme dan pengalaman
lebih cenderung pada wilayah metodologi penelitian dalam pengumpulan
data-data yang bersifat empirik, bukan menjadi suatu landasan penilaian yang
akan membawa pada pemahaman yang sifatnya niscaya lagi rasional, karena

56
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

pengalaman sendiri masih perlu diuji oleh pengalaman berikutnya, begitulah


seterusnya pengalaman menguji pengalaman dan akan menghasilkan
kebenaran relatif.
2. Mazhab Skriptualisme
Mazhab berpikir skriptualisme mempunyai landasan penilaian berdasarkan
teks atau wahyu (kitab suci), bahwa hanya dengan wahyu-lah kita bisa
memberikan penilaian terhadap sebuah realitas dan dengan wahyu pulalah
kita bisa mengatakan bahwa sesuatu itu benar dan salah, tanpa wahyu maka
mustahil kita bisa memberikan sebuah penilaian.

SUMBER PENGETAHUAN
Baik logika deduktif maupun induktif, dalam proses penalarannya tentu
menggunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya
benar. Kenyataan ini membawa kita kepada sebuah pernyataan
“bagaimanakah caranya kita mendapatkan pengetahuan yang benar?”. Pada
dasarnya ada dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar, yakni dengan mendasarkan diri kepada rasio
(rasionalisme) dan mendasarkan diri kepada pengalaman/fakta/empiri
(empirisme).
Seorang filsuf yang dikenal sebagai “bapak filsafat modern”, Cartesius
alias Rene Descartes (1596-1650), pernah mengatakan “De omnibus
dubitandum!” (Segala sesuatu itu harus diragukan). Namun segala yang ada
dalam hidup ini, biasanya dimulai dengan meragukan sesuatu.
Bahkan Hamlet, si peragu, yang berseru kepada Ophelia :
Doubt thou the stars are fire,
Doubt the sun doth move,
Doubt truth to be a liar,
But never doubt I love.
--------------------------------------
Ragukan bahwa bintang-bintang itu api,
Ragukan bahwa matahari itu bergerak,
Ragukan bahwa kebenaran itu dusta,
Tapi jangan ragukan cintaku!

57
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Secara umum ada empat cara mendasar bagi manusia dalam


mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu: 1) mendasarkan diri kepada
rasio. 2) mendasarkan diri kepada pengalaman/empiri, 3) intuisi (intuition),
dan 4) dan wahyu (revelation). Kendatipun sampai sejauh ini pengetahuan
yang didapatkan manusia secara rasional dan maupun secara empiris,
keduanya juga merupakan induk produk dari sebuah rangkaian penalaran.
Paham yang mendasarkan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur
pengetahuan adalah rasionalisme. Pengetahuan dicari dengan akal,
temuannya diukur dengan akal pula. Dicari dengan akal itulah dicari dengan
berfikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau
tidak. Bila logis benar; bila tidak salah. Dengan akal inilah aturan untuk
manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber
pada akal (Tafsir, 2004: 30-31).
Teori rasionalis adalah teori para filosof Eropa seperti Descartes (1596-
1650) dan Immanuel Kant (1724-1804) dan lain-lain. Teori-teori tersebut
terangkum dalam kepercayaan adanya dua sumber bagi konsepsi. Pertama,
penginderaan (sensasi). Kita mengkonsepsikan panas, cahaya, rasa, dan suara
karena penginderaan kita terhadap semua itu. Kedua, fitriah, dalam arti bahwa
akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang
tidak muncul dari indera. Tetapi ia sudah ada (tetap) dalam lubuk fitriah. Jiwa
menggali gagasan tertentu dari dirinya sendiri (Baqir Ash-Shadr, Muhammad,
1994: 28-29).
Menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr (1994: 31) ada penafsiran lain
tentang teori rasionalisme adalah bahwa gagasan-gagasan fitri itu ada dalam
jiwa secara potensial. Ia mendapatkan sifat fitri bukan bersumber dari indera.
Tetapi ia dikandung oleh jiwa tanpa disadarinya. Meskipun demikian, dengan
integrasi jiwa, ia menjadi pengetahuan dan informasi yang kita ingat kembali,
lantas bangkit secara baru sama sekali, setelah sebelumnya ia tersembunyi dan
ada secara potensial. Selanjutnya Muhammad Baqir Ash-Shadr (1994: 37)
mengatakan dalam pandangan kaum rasionalis, pengetahuan manusia terbagi
menjadi dua , pertama, pengetahuan yang mesti, yaitu bahwa akal mesti
mengakui suatu proporsi tertentu tanpa mencari dalil atau bukti
kebenarannya. Akal, secara alami mesti mencarinya, tanpa bukti dan
penetapan apapun, kedua, informasi dari pengetahuan teoritis, akal tidak akan
mempercayainya kebenaran beberapa proporsi, kecuali dengan pengetahuan-
pengetahuan pendahulu.
Dalam menyusun pengetahuannya, kaum rasionalis menggunakan
metode deduktif. Premis yang dipakai dalam penalarannya, didapatkan dari

58
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

ide-ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide-ide ini
menurut mereka bukanlah ciptaan pemikiran manusia. Prinsip itu sendiri jauh
sudah ada sebalum manusia memikirkannya. Akhirnya paham semacam ini
kita kenal sebagai paham Idealisme.
Bagi mereka, fungsi pikiran manusia itu hanyalah mengenai prinsip-
prinsip tersebut, yang kemudian menjadi dasar pengetahuannya. Prinsip itu
sendiri sudah ada dan bersifat apriori, dan dapat diketahui oleh manusia lewat
kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman/empiri tidaklah membuahkan
prinsip. Dan justru malah sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang
didapatkan lewat penalaran rasional itulah, maka kita dapat mengerti
kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat, dapat
dikatakan bahwa ide-ide dalam kaum rasionalis ini adalah bersifat apriori. dan
pra-pengalaman yang didapatkan manusia melalui penalaran rasional.
Masalah utama yang timbul dari cara berpikir seperti ini adalah
mengenai “kriteria” untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang
menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Ide yang satu bagi si A
mungkin bersifat jelas dan dapat dipercaya, namun hal itu belum tentu bagi si
B. Mungkin saja si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali tidak
sama dengan sistem pengatahuan si A, karena si B menggunakan ide lain, yang
mungkin bagi si B memang merupakan prinsip yang jelas dan dapat dipercaya.
Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis ini adalah “evaluasi”
dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif.
Sebab premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang
bersifat abstrak dan terhindar dari pengalaman (empiris), maka evaluasi
semacam ini tak dapat dilakukan.
Oleh sebab itu, maka melalui penalaran rasional akan didapatkan
berbagai macam pengetahuan mengenai suatu obyek tertentu, tanpa adanya
suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini, maka
pemikiran rasional itu cenderung untuk bersifat subyektif dan solipsistik
(hanya benar menurut kerangka pemikiran tertentu dalam benak orang yang
berpikir tersebut).
Berbeda dengan kaum rasionalis, kaum empiris menggunakan metode
induktif dalam menyusun pengetahuannya. Mereka berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang
bersifat abstrak, tetapi lewat fakta/pengalaman yang konkrit. Gejala-gejala
alamiah menurut kaum empiris ini, adalah bersifat konkrit dan dapat
dinyatakan lewat tangkapan panca-indera manusia. Empiris berasal dari kata
Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Apabila bila dikembalikan kepada kata

59
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Yunaninya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi. Manusia


tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya.
Tokoh-tokoh pengusung empirisme yang terkenal adalah John Locke (1632-
1704), George Barkeley(1685-1753) dan David Hume.
Gejala-gejala tersebut kalau kita telaah lebih dalam, mempunyai
beberapa karakteristik tertentu, misalnya saja: terdapat pola yang teratur
mengenai suatu kejadian tertentu; suatu benda padat akan memanjang kalau
dipanaskan; langit mendung diikuti turunnya air hujan. Demikian seterusnya,
dimana pengamatan kita akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai
gejala yang mengikuti pola-pola tertentu.
Di samping itu, kita melihat adanya karakteristik lain, yakni adanya
“kesamaan” dan “pengulangan”, misalnya : bermacam-macam logam kalau kita
panaskan maka akan memanjang. Hal ini memungkinkan kita untuk dapat
melakukan suatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan
menggunakan metode induktif, maka dapat disusun pengetahuan yang
berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang
bersifat individual (survival).
Teori empirikal mengatakan bahwa penginderaan adalah satu-satunya
yang membekali akal manusia dengan konsepsi-konsepsi dan gagasan-
gagasan dan (bahwa potensi mental akal budi) adalah potensi yang tercermin
dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi, ketika kita mengindera sesuatu, kita
dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya -yakni menangkap form dari
sesuatu itu dalam akal-budi kita. Adapun gagasan yang tidak terjangkau oleh
indera, tidak dapat diciptakan oleh jiwa, tak pula dapat dibangunnya secara
esensial dan dalam bentuk yang berdiri sendiri (Baqir Ash-Shadr, 1994: 32).
Selanjutnya Muhammad Baqir Ash-Shadr (1994: 32), mengatakan akal
budi, berdasarkan teori ini, hanyalah mengelola konsepsi-konsepsi gagasan
inderawi. Hal itu dilakukannya dengan menyusun konsepsi-konsepsi tersebut
atau membaginya. Dengan begitu ia mengkonsepsikan sebungkah gunung
emas atau membagi-bagi pohon kepada potongan-potongan dan bagian-
bagian atau dengan abstraksi dan universalisasi. Misalnya dengan
memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan mengabstraksikan bentuk itu dari
sifat-sifatnya yang tertentu agar darinya akal dapat membentuk suatu gagasan
universal. Jadi, langkah pertama dalam proses mendapat pengetahuan adalah
hubungan primer dengan lingkungan luar—inilah tahap penginderaan.
Langkah kedua, adalah akumulasi –yakni pengurutan dan pengorganisasian—
semua pengetahuan yang telah kita dapatkan persepsi-persepsi inderawi
(Baqir Ash-Shadr, 1994: 33).

60
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara


empiris ini, adalah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung
untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu
bersifat konsisten, dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat
kontradiktif. Suatu kumpulan mengenai fakta, atau kaitan mengenai berbagai
fakta, belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang
sistematis. Seperti dikatakan Harold A. Larrabee dalam bukunya, Reliable
Knowledge, “....kecuali kalau dia hanya seorang kolektor barang-barang serba
aneka....”. Lebih jauh Albert Einstein dalam bukunya, Physic and
Reality mengingatkan bahwa ”tak ada metode induktif yang memungkinkan
berkembangnya konsep dasar suatu ilmu...”. Kaum empiris menganggap bahwa
dunia fisik adalah nyata, karena merupakan gejala yang tertangkap oleh
pancaindera manusia.
Di samping Rasionalisme dan Empirisme, masih ada cara lain untuk
mendapatkan pengetahuan. Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan
wahyu. Kendatipun sampai sejauh ini pengetahuan yang didapatkan manusia
secara rasional dan maupun secara empiris, keduanya juga merupakan induk
produk dari sebuah rangkaian penalaran.
Intuisi merupakan salah satu sumber pengetahuan yang didapatkan
tanpa melalui proses penalaran tertentu. Misalnya, seseorang yang sedang
terpusat pemikirannya pada suatu masalah, tiba-tiba saja menemukan
jawaban atas permasalahannya tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang
berliku-liku, tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Jawaban atas
permasalahan yang sedang dipikikannya, muncul dalam benaknya, bagaikan
kebenaran yang menemukan pintu.
Atau bisa juga dikatakan, intuisi ini bekerja dalam suatu keadaan yang
tidak sepenuhnya sadar (tetapi bukan mabuk). Artinya, jawaban atas suatu
permasalahan ditemukan tidak ada waktu orang tersebut secara sadar sedang
menggelutinya. Suatu masalah yang sedang kita pikirkan, yang kemudian kita
tunda (pending) karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul dalam benak
kita yang lengkap dengan jawabannya. Lalu kita merasa yakin bahwa itulah
jawaban yang sedang kita cari, namun kita tidak bisa (belum bisa) menjelaskan
bagaiman caranya kita sampai ke sana.
Intuisi biasanya bersifat personal dan tidak bisa diramalkan atau direka-
reka. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, maka intuisi
ini tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Namun pengetahuan intuitif ini bisa juga
digunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan
benar atau tidaknya pernyataan-pernyataan yang telah kita kemukakan. Bagi

61
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Maslow intuisi merupakan pengalaman puncak (peak experience) sedangkan


bagi Nietzchen intuisi merupakan inteligensi yang paling tinggi.
Menurut Henry Bergson (dalam A. Tafsir, 2004: 27) intuisi adalah hasil
dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting,
tetapi berbeda dengan dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini
(intuisi) memerlukan suatu usaha. Kemampuan inilah yang dapat memahami
kebenaran yang utuh, yang tetap, yang unique. Instuisi ini menangkap objek
secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi, akal dan indera hanya mampu
menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangka instuisi dapat
menghasilkan pengetahuan yang utuh, tetap.
Ada sebuah aliran yang mengedepankan intuisi dalam pandangannya,
yaitu ilumirasionisme. Aliran ini berkembang dikalangan tokoh agama, yang
didalam agama Islam disebut Ma’rifah, yaitu pengetahuan yang datang dari
Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Pengetahuan tersebut akan
dieroleh oleh orang yang hatinya telah bersih, telah siap, dan telah sanggup
menerima pengetahuan tersebut. Selanjutnya menurut Amsal Bakhtiar (2005:
108-109) kemampuan menerima secara langsung itu diperoleh dengan cara
latihan (riyadhah). Metode ini secara umum dipakai dalam Thariqat dan
Tasawuf. Konon kemampuan orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan,
berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka dan alam ghaib lainnya. Dari
kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai
pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan
itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati.
Adapun perbedaan antara intuisis dengan ma’rifat dalam filsafat Barat
dalam Islam adalah kalau intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran
yang konsisten, sedangkan dalam Islam ma’rifat diperoleh lewat perenungan
dan penyinaran (Baharuddin Salam, 2000: 132).
Pengetahuan dan pencerahan ini dapat dianggap sebagai sumber
pengetahuan. Sebab, jika pengetahuan korespondensi melibatkan objek diluar
dirinya, maka pengetahuan dengan pencerahan menyadarkan bahwa
pengetahuan yang luas harus didahului dengan pengetahuan tentang dirinya
sendiri (H.A Mustafa, 1997: 106).
Wahyu merupakan salah satu sumber pengetahuan yang disampaikan
Tuhan kepada manusia melalui makhluk-makhluk pilihan-Nya (para nabi dan
rasul). Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa
susah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan
mereka terjadi atas kehendak Tuhan.

62
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal


inilah yang membedakan mereka dengan manusia-manusia lainnya. Akal
meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan
karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu
mengusahakannya, karena hal itu memang diluar kemampuan manusia. Bagi
manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan membenarkan yang berasal
dari nabi (Mustafa, 1997: 106).
Agama merupakan sumber pengetahuan yang bukan saja mengenai
kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman (empiris), namun juga
mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar belakang
penciptaan manusia, tentang kehidupan kemudian di akhirat nanti, dan
sebagainya.. Pengetahuan semacam ini, mutlak didasarkan kepada
kepercayaan kita terhadap hal-hal yang bersifat ghaib (supernatural).
Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan,
keselamatan, ketenangan jiwa, dan sebagainya. Kepercayaan terhadap wahyu
sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan
ini.
Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan itu
biasanya harus dipercaya dulu untuk dapat diterima, pernyataan ini bisa saja
selanjutnya dikaji dengan metode lain. Misalnya: Secara rasional dapat dikaji
apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya
bersifat konsisten atau tidak. Di pihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan
fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Dengan kata lain,
agama dimulai dengan rasa percaya, dan dengan melalui pengkajian
selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat (bertambah) atau bahkan
menurun (berkurang).

PROSES MEMPEROLEH PENGETAHUAN


Proses terjadinya pengetahuan adalah masalah yang amat penting dalam
epistemologi karena jawaban terhadap terjadinya pengetahuan akan membuat
seseorang paham filsafatnya. Terjadinya pengetahuan dapat bersifat: 1) a
priori, yang berarti pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui
pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman batin; 2) a
posteriori, yakni pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman.
Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif.
Ada enam hal yang merupakan alat untuk mengetahui proses terjadinya
pengetahuan menurut John Hospes, yaitu:

63
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

a. Pengalaman Indera (Sense Experience)


Dalam filsafat, paham yang menekankan pada kenyataan disebut realisme,
yaitu paham yang berpendapat bahwa semua yang dapat diketahui adalah
hanya kenyataan. Jadi ilmu berawal mula dari kenyataan yang dalam diserap
oleh indera. Aristoteles adalah tokoh yang pertama mengemukakan
pandangan ini, yang berpendapat bahwa ilmu terjadi bila subjek diubah
dibawah pengaruh objek. Objek masuk dalam diri subjek melalui persepsi
indera (sensasi).
b. Nalar (Reason)
Nalar adalah salah satu corak berpikir dengan menggabungkan dua
pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan
baru.
c. Otoritas (Authority)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui
oleh kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber ilmu karena
kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang memiliki
kewibawaan dalam pengetahuannya. Jadi ilmu pengetahuan yang terjadi
karena adanya otoritas adalah ilmu yang terjadi melalui wibawa seseorang
hingga orang lain mempunyai pengetahuan.
d. Intuisi (Intuition)
Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang berupa proses
kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus yang mampu membuat
pernyataan yang berupa ilmu. Karena ilmu yang diperoleh melalui intuisi
muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu, maka tidak dapat
dibuktikan seketika atau melalui kenyataan.
e. Wahyu (Revelation)
Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada nabi-Nya untuk
kepentingan umatnya. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui
wahyu secara dogmatik akan melaksanakan dengan baik. Wahyu dapat
dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan, karena manusia
mengenal sesuatu melalui kepercayaannya.
f. Keyakinan (Faith)
Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang
diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya antara wahyu dan keyakinan
hampir tidak dapat dibedakan karena keduanya menggunakan

64
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

kepercayaan, perbedaannya adalah bahwa keyakinan terhadap wahyu yang


secara dogmatic diikutinya adalah peraturan berupa agama, sedang
keyakinan adalah kemampuan jiwa manusia yang merupakan pematangan
(maturation) dari kepercayaan.

JENIS-JENIS PENGETAHUAN
Menurut Burhanuddin Salam (1983), pengetahuan dibagi menjadi
empat, yaitu: 1) Pengetahuan biasa (common sense). 2) Pengetahuan ilmiah
atau ilmu. 3) Pengetahuan filsafat. 4) Pengetahuan agama.
Pengetahuan biasa merupakan pengetahuan yang digunakan terutama
untuk kehidupan sehari-hari, tanpa mengetahui seluk beluk yang sedalam-
dalamnya dan seluas-luasnya. Contoh, seseorang yang dulunya belum tahu
tentang cara belajar melalui e-learning, dan setelah melalui suatu proses
seseorang tahu tentang e-learning, maka orang tersebut disebut memiliki
pengetahuan biasa. Dalam bahasa lain disebut sebagai pengetahuan yang
dimiliki dengan kadar sekedar tahu. Memenuhi faktor ketidaktahuannya.
Pengetahuan ilmiah atau Ilmu, diperoleh dengan cara khusus, bukan
hanya untuk digunakan saja tetapi ingin mengetahui lebih dalam dan luas
mengetahui kebenarannya, tetapi masih berkisar pada pengalaman.
Pengetahuan ilmiah atau il\mu (science) pada dasarnya merupakan usaha
untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu
pengetahuan sehari-hari yang dilanjutkan dengan suatu pemikiran cermat dan
seksama dengan menggunakan berbagai metode.
Dari pengetahuan tentang e-learning pendidikan yang sekedar tahu,
kemudian menggunakan beberapa langkah dan metode yang jelas untuk
mengetahui lebih dari sekedar tahu, dan dilakukan secara sistematis maka
orang yang mengetahui dan memahami secara mendalam tentang e-learning
pendidikan disebut sebagai pengetahuan ilmiah tentang e-learning.
Dalam batasan ini, seseorang yang memiliki pengetahuan ilmiah atau
ilmu pengetahuan, maka semua proses yang dilewatinya jika dilakukan oleh
orang lain akan memiliki pengetahuan yang sama dengan yang dimilikinya
(syarat ilmiah). Sebagian yang mendefinisikan pengetahuan sebagai sebuah
ilmu. Ilmu merupakan suatu metode berfikir secara objektif yang bertujuan
untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap gejala dan fakta melalui
observasi, eksperimen dan klasifikasi. Ilmu harus bersifat objektif, karena
dimulai dari fakta, menyampingkan sifat kedirian, mengutamakan pemikiran
logik dan netral.

65
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Pengetahuan filsafat, pengetahuan yang tidak mengenal batas, sehingga


yang dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan hakiki sampai di luar
dan mengatasi pengalaman biasa. Pengetahuan Filsafat biasanya berkenaan
dengan hakikat sesuatu (transenden) sehingga kadang perbincangannya
seputar hal-hal yang abstrak terhadap bangunan sebuah pengetahuan. Objek
pembahasannya selalu mengedepankan aspek logika, ontologi, epistimologi
dan aksiologi.
Pengetahuan agama, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari Tuhan lewat
rasul-Nya dan diyakini kebenarannya.
Menurut Soemargono (1983), pengetahuan dibagi menjadi:
1) Pengetahuan non ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan cara-
cara yang tidak termasuk ilmiah. Biasanya berupa pengetahuan yang
diperoleh dari alat panca indera, atau pengembangan dari pemikiran, atau
dari intuisi.
2) Pengetahuan ilmiah, biasanya disebut ilmu yang merupakan hasil
pemahaman manusia dengan menggunakan metode ilmiah.
Sedangkan Aristoteles membagi pengetahuan menjadi tiga yaitu: 1)
Pengetahuan produksi (seni). 2) Pengetahuan praktis (etika, ekonomi, politik),
dan 3) Pengetahuan teoritis (fisika, matematika dan metafisika).

KEBENARAN PENGETAHUAN
Istilah “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang
konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya
adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang
dikandung dalam suatu pernyataan atau statement (Mintaredja, 1983: 135).
Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia
(subyek yang mengetahui) mengenai obyek. Jadi, kebenran ada pada seberapa
jauh subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan
pengetahuan bersal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian
sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran (Susanto, 2011: 85).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang ditulis oleh Purwadarminta
menjelaskan bahwa kebenaran itu adalah:
- Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan
yang sesungguhnya. Misalnya: kebenaran berita ini masih saya ragukan,
kita harus berani membela kebenaran dan keadilan.

66
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

- Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul hal demikian


halnya, dan sebagainya). Misalnya: kebenaran-kebenaran yang diajarkan
agama.
- Kejujuran, kelurusan hati, misalnya: tidak ada seorangpun sanksi akan
kebaikan dan kebenaran hatimu.
- Selalu izin, perkenaan, misalnya: dengan kebenaran yang dipertuan.
- Jalan kebetulan, misalnya: penjahat itu dapat dibekuk dengan secara
kebenaran saja.
Terdapat bermacam kategori atau tingkatan dalam arti kebenaran ini,
maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki
pengetahuan akan memilki persepsi dan pengetahuan yang amat berbeda satu
dengan yang lainnya.
Pertama, Kebenaran yang berkaitan dengan kualitas pengetahuan.
Artinya semua pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui
sesuatu objek dititik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Dengan demikian
tingkatan pengetahuan adalah:
1. Pengetahuan yang memiliki sifat subjektif, artinya sangat terikat pada
subjek yang mengenal.
2. Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang
khas atau spesifik dengan menerapkan atau hampiran metodologi yang
khas pula.
3. Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui
metodologi pemikiran filsafati.
4. Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama.
Kedua, Kebenaran yang berkaitan dengan sifat atau karakteristik dari
bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun
pengetahuannya itu. Apakah ia membangunnya dengan penginderaan
atau sense experience, atau akal pikir atau rasio, intuisi, atau keyakinan. Jenis
pengetahuan menurut ini terdiri atas: 1) Pengetahuan indrawi; 2)
Pengetahuan akal budi; 3) Pengetahuan intuitif; dan 4) Pengetahuan
kepercayaan atau pengetahuan otoritatif.
Ketiga, kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan
terjadinya pengetahuan itu, artinya bagaimana relasi atau hubungan antara
subjek dan objek, Jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu
mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif. Atau jika objek sangat

67
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

berperan, maka sifatnya menjadi objektif (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2007:
137).
Selanjutnya, berkaitan dengan kebenaran perlu juga dikemukakan bahwa
ukuran kebenaran dalam filsafat bersifat logis tidak empiris atau logis dan
logis saja, maka ukuran kebenarannya adalah logis tidaknya penegtahuan itu.
Bila logis maka dia pandang benar, dan bila tidak logis maka salah. Sementara
itu dalam ilmu bersifat logis empiris

TEORI KEBENARAN
Dalam perkembangan pemikiran filsafat, perbincangan tentang
kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh
Aritoteles. Sebagaimana dikemukakan oleh filsuf abad XX Jaspers sebagaimana
yang dikutip oleh Hamersma (1985) mengemukakan bahwa sebenarnya para
pemikir sekarang ini hanya melengkapi dan menyempurnakan filsafat Plato
dan Aritoteles (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2007: 138). Teori kebenaran itu
selalu pararel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya. Teori-teori
pengetahuan itu terdiri atas:
1. Teori Korespondensi (Theory of Corespondence)
Teori Korespondensi berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah
benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di
alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu
keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud
oleh suatu pendapat dengan fakta. Kebenaran ini seutuhya berpangkal dari
keadaan/kenyataan alam yang ada yang dapat dibuktikan secara inderawi
oleh responden.
Berdasarkan teori ini, suatu pengetahuan dianggap benar jika pengetahuan
tersebut mempunyai hubungan dengan suatu kenyataan yang memang
benar. Teori ini didasarkan pada fakta empiris sehingga pengetahuan
tersebut benar apabila ada fakta-fakta yang mendukung bahwa
pengetahuan tersebut benar. Dengan demikian kebenaran di sini
didasarkan pada kesimpulan induktif.
Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal,
sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena
sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan
harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Hal ini dapat diartikan
bahwa teori yang diterapkan atau dikemukakan tidak boleh

68
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

bersimpangan/berseberangan dengan kenyataan yang menjadi objek.


Teori ini juga dapat diartikan, bahwa kebenaran itu adalah kesesuaian
dengan fakta, keselarasan dengan realitas, dan keserasian dengan situasi
aktual. Sebagai contoh, jika seorang menyatakan bahwa “Jakarta adalah Ibu
Kota Negara Indonesia”, pernyataan itu benar karena pernyataan tersebut
berkoresponden , memang menjadi Ibu Kota Negara Indonesia. Sekiranya
ada orang yang menyatakan bahwa “Ibu Kota Indonesia adalah Garut”,
maka pernyataan itu tidak benar, karena objeknya tidak berkoresponden
dengan pernyataan tersebut.
Dalam teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang
non-empiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu
adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta
yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang
benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
Dalam teori ini terdapat tiga kesulitan dalam menentukan kebenaran yang
disebabkan karena:
a. Teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan
yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu
kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang
dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari
suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing.
b. Teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur
suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu persatu,
apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau
tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya?
Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan.
c. Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan
karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi
sehingga apa yang dijadikan sebagai sebuah kebenaran tidak sesuai
dengan apa yang ada di alam.
Sebuah ketelitian dan kesigapan dalam menentukan sebuah kebenaran
dalam menentukan teori kebenaran koresponensi sangat diutamakan,
sebab untuk menghindari kesalahan yang terjadi atas tiga hal tersebut.
Maka faktor inderawi yang menjadi alat untuk mengungkap kenyataan
alam harus dapat menyatakan yang sebenarnya, mengetahui/menguasai
realitas yang ada dan cermat.

69
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

2. Teori Koherensi (Theory of Coherence)


Teori Koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz,
Spinoza, Hegel, dan Bradley.
Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy “...suatu
proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling
berhubungan dengan prosisi-prosisi lain yang benar, ata jika makna yang
dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman
kita”.
Teori kebenaran koherensi ini biasa disebut juga dengan teori konsistensi.
Pengertian dari teori kebenaran koherensi ini adalah teori kebenaran
yang mendasarkan suatu kebenaran pada adanya kesesuaian suatu
pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih
dahulu diketahui, diterima dan diakui kebenarannya.
Teori ini juga dapat diartikan, sebagai suatu pernyataan yang dianggap
benar kalau pernyataan tersebut koheran dan konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya. Jadi, suatu pernyataan dianggap
benar apabila pernyataan tersebut dalam keadaan saling berhubungan
dengan pernyataan-pernyataan lain yang benar, atau jika makna yang
dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman
kita. Dengan kata lain, suatu proposisi itu benar jika mempunyai hubungan
dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada dan benar adanya. Contohnya,
bila kita beranggapan bahwa semua manusia akan mati adalah pernyataan
yang selama ini memang benar adanya (Susanto, 2011: 86). Jika Kabayan
adalah manusia, maka pernyataan bahwa Kabayan pasti akan mati,
merupakan pernyataan yang benar pula. Sebab pernyataan yang kedua
konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Teori kebenaran koherensi ini digunakan sebagai sebuah pesan/penarik
kepada umum supaya perhatiannya tertuju pada satu titik atau dengar arti
lain, teori kebenaran koherensi merupakan teori kebenaran yang
didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan
disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-
pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini
mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain.
Berdasarkan teori ini, suatu pengetahuan dianggap benar apabila
pengetahuan tersebut kohoren dengan pengetahuan yang ada sebelumnya
dan sudah dibuktikan kebenarannya. Di dalam pembelajaran matematika
hal ini biasanya disebut dengan sifat deduktif.

70
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

A.C Ewing (1951: 62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan


bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat
dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut
jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik,
dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap
pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa
berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita
menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut,
dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang
angka apa saja.
Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya,
astrologi (nujum/perbintangan) mempunyai sistem yang sangat koheren,
tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya
terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga
hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain,
suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-
pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui
kebenarannya.
Dua masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah:
a. Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara
otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan
yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran.
Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak
pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah
sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran,
jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi,
seseorang yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak
pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten
dengan kepercayaan saya.
b. Sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan
dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada
koherensi diantara semua pernyataan yang benar.
Dua masalah ini lahir karena adanya pertentangan keyakinan, moral
maupun ketidak sanggupan untuk mengecek sebuah pernyataan yang
sudah dilontarkan dengan keadaan lapangan atau hal yang dialami
sehingga tingkat konsistensinya rendah bahkan berat untuk
dipertanggungjawabkan.

71
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

3. Teori Pragmatis (Theory of Pragmatism)


Istilah Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma, artinya yang
dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan.
Paham pragmatik sesungguhnya merupakan pandangan filsafat
kontemporer karena paham ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan
awal abad XX oleh tiga filsuf Amerika yaitu C.S Pierce, Wiliam James, dan
John Dewey. Menurut paham ini White (1978) lebih lanjut menyatakan
bahwa:
“... an idea –a term used loosly by these philosophers to cover any "opinion,
belif, statement, or what not"--is an instrument with a paticuler function. A
true ideas is one which fulfills its function, which works; a false ideas is one
does not.”
Pragmatik atau Pragmatisme adalah ajaran mengenai pengertian, a theory
of meaning, ajaran mengenai pengertian, secara pragmatik di definisikan
sebagai berikut:
“Jika saya bertindak pada objek A, Tindakan itu dilaksanakan dengan cara
X, Maka panca indera saya akan mengalami Y.”
Jika kita terapkan definisi di atas, dengan menyebut objek A dalam bentuk
istilah atau nama, katakanlah “pohon”. Maka rumus itu akan menjadi:
“Jika saya memegang batang pohon, maka saya akan merasakan sesuatu
yang kasar atau keras”.
Andaikata peristiwa terjadi pada cuaca panas:
“Jika saya berdiri di bawah pohon, maka saya akan merasakan keteduhan”.
Maka pragmatisme merupakan ajaran tentang pengertian, ialah pengertian
suatu istilah yang terjadi oleh karena sikap dan pengalaman (Bawingan,
1981: 101).
Ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatik yaitu: 1) Menolak segala
intelektualisme; 2) Aktualisme; dan 3) Meremehkan logika formal. Jadi
menurut pandangan teori ini bahwa suatu proposisi bernilai benar bila
proposisi ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi praktis seperti yang
terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri. Karena setiap
pernyataan selalu selalu terikat pada hal-hal yang bersifat praktis, maka
tiada kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat
tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal, sebab
pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam
perkembangannya pengalaman itu senatiasa berubah. Hal itu karena

72
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

dalam praktiknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh


pengalaman berikutnya. Atau dengan kata lain bahwa suatu pengertian itu
tak pernah benar melainkan hanya dapat menjadi benar kalau saja dapat
dimanfaatkan praktis.
Menurut teori ini, pengetahuan dikatakan benar apabila pengetahuan
tersebut terlihat secara praktis benar atau memiliki sifat kepraktisan yang
benar. Pengikut teori ini berpendapat bahwa pengetahuan itu benar
apabila mempunyai kegunaan yang praktis.
Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat
dari realisasi proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada
konsekuensi, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis,
sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk
menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat
atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna
(useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless).
Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar,
teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.
4. Teori Kebenaran Struktural Paradigmatik
Teori ini banyak dikembangkan oleh beberapa ilmuwan antaranya adalah
Thomas Kuhn. Khun menampilkan konsep rekontruksi rasional. Khun
mensinyalir kebanyakan ilmuwan hanya menampilkan ilmu pada dataran
mozaik saja, belum menjangkau dataran rekontruksi rasional menjadi
suatu pradigma.
Menurut teori struktular paradigmatik ini, bahwa suatu teori dinyatakan
benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu
dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma
tersebut.
Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa
serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh
kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang
realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut.
Pandangan apriori ini disebut paradigma oleh Kuhn atau dalam istilah
Sardar disebut world view. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh
anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat
sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.

73
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

5. Teori kebenaran Performatik


Teori ini dianut oleh filsuf Frank Ramsey, John Austin dan Peter Strawson.
Para filsuf ini hendak menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah”
adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu. Proposisi yang benar
berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang dianggap
benar. Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika ia
menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan
yang mengungkapkan realitas, tetapi justru dengan pernyataan itu tercipta
realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Sederhananya teori kebenaran performatif adalah mereka melawan teori
klasik bahwa benar dan salah adalah ungkapan deskriptif jika suatu
pernyatan benar kalau ia menerapkan realitas.
Menurut teori ini, suatu pernyataan kebenaran bukanah kualitas atau sifat
sesuatu, tetapi sebuah tindakan (performatik). Untuk menyatakan suatu
itu benar, maka cukup melakukan tindakan konsesi (setuju, menerima, atau
membenarkan) terhadap gagasan yang telah dinyatakan. Dengan demikian,
tindakan performatik tidak berhubungan dengan diskripsi benar atau
salah dari sebuah keadaan faktual. Jadi, sesuatu itu dianggap benar jika
memang dapat diaktualisasikan dalam tindakan.
6. Teori Kebenaran Proposisi
Diantara tokoh dari teori ini adalah Pranaka (1987) yang mengelompokkan
kebenaran ini kedalam tiga jenis kebenaran, yaitu; 1) kebenaran
epistemologikal 2) kebenaran ontologikal 3) kebenaran yang dalam
Lincoln & Guba (1985) mengungkapkan empat jenis kebenaran yang
berbeda, yaitu: 1) kebenaran empiris 2) kebenaran logis 3) kebenaran etis
4) kebenaran metafisis.
Proposisi merupakan kalimat logika yang mana pernyataan tentang
hubungan antara dua atau beberapa hal yang dapat dinilai benar atau
salah. Ada yang mengartikan proposisi sebagai ekspresi verbal dari
putusan yang berisi pengakuan atau penginkaran sesuatu (predikat)
terhadap sesuatu yang lain (subjek) yang dapat dinilai benar atau salah.
Unsur-unsur Proposisi:
- Term subjek; hal yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran ditujukan.
Term subjek dalam sebuah proposisi disebut subjek logis. Ada perbedaan
antara subjek logis dengan subjek dalam sebuah kalimat. Tentang subjek
logis harus ada penegasan/ pengingkaran sesuatu tentangnya.

74
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

- Term predikat; isi pengakuan atau pengingkaran.


- Kopula; menghubungkan term subjek dan term predikat.
Terdapat beberapa jenis Proposisi, yaitu:
- Proposisi Berdasarkan Bentuknya, yaitu 1) proposisi tunggal yang terdiri
atas satu subjek dan satu predikat. 2) proposisi majemuk yang terdiri atas
satu subjek dan lebih dari satu predikat.
- Proposisi berdasarkan sifatnya, yaitu proposisi yang hubungan subjek dan
predikatnya tidak memerlukan syarat apapun.
- Proposisi berdasarkan kualitasnya, yaitu 1) Proposisi Positif, atau
Afirmatif, merupakan proposisi yang predikatnya membenarkan subjek. 2)
Proposisi Negatif, merupakan proposisi yang predikatnya tidak
mendukung/ membenarkan subjek.
- Proposisi berdasarkan Kuantitasnya, yaitu 1) Proposisi Umum (universal),
adalah proposisi dimana predikat mendukung atau mengingkari semua
subjek. 2) Proposisi Khusus (partikular), adalah proposisi dimana
pernyataan khusus mengiyakan yang sebagian subjek merupakan bagian
dari predikat.
Menurut teori ini, sesuatu bisa dianggap benar apabila sesuai dengan
persyaratan materilnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi,
dalam sumber lain ada juga yang menambahkan dengan bentuk kebenaran
lain yang disebut dengan kebenaran sintaksis.

HAKEKAT PENGETAHUAN
Maksud dari pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang hadir dan
terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi,
persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya.
Pengetahuan ini meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi, akidah, dan
pikiran-pikiran. Ada dua teori yang digunakan untuk mengetahui hakekat
pengetahuan:
1. Realisme, teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam.
Pengetahuan adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada dalam
alam nyata.
2. Idealisme, teori ini menerangkan bahwa pengetahuan adalah proses-
proses mental/psikologis yang bersifat subjektif. Pengetahuan merupakan
gambaran subjektif tentang sesuatu yang ada dalam alam menurut
pendapat atau penglihatan orang yang mengalami dan mengetahuinya.

75
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

KARAKTERISTIK ILMU PENGETAHUAN


Seperti pada pembahasan sebelumnya bahwa ilmu pengetahuan berasal
dari rasa ingin tahu yang kemudian dibuktikan dan diuji oleh orang lain.
Namun, tidak semua pengetahuan dinamakan ilmu. Pengetahuan yang
diangkat sebagai ilmu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut.
1. Rasional
Ilmu pengetahuan didasarkan atas kegiatan berpikir secara logis dengan
menggunakan rasa (nalar) dan hasilnya dapat diterima oleh nalar manusia.
2. Objektif
Kebenaran yang dihasilkan suatu ilmu merupakan kebenaran pengetahuan
yang jujur, apa adanya sesuai dengan kenyataan objeknya, serta tidak
tergantung pada suasana hati, prasangka, atau pertimbangan nilai pribadi.
Objek dan metode ilmu tersebut dapat dipelajari dan diikuti secara umum.
Kebenaran itu dapat diselidiki dan dibenarkan oleh ahli lain dalam bidang
ilmu tersebut melalui pengujian secara terbuka yang dilakukan dari
pengamatan dan penalaran fenomena.
3. Akumulatif
Ilmu dibentuk dengan dasar teori lama yang disempurnakan, ditambah,
dan diperbaiki sehingga semakin sempurna. Ilmu yang dikenal sekarang
merupakan kelanjutan dari ilmu yang dikembangkan sebelumnya. Oleh
karenanya, ilmu pengetahuan bersifat relatif dan temporal, tidak pernah
mutlak dan final. Dengan demikian, ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan
terbuka.
4. Empiris
Kesimpulan yang diambil harus dapat dibuktikan melalui pemeriksaan dan
pembuktian empiris (inderawi), serta dapat diuji kebenarannya dengan
fakta. Hal ini yang membedakan antara ilmu pengetahuan dengan agama.
5. Andal dan Dirancang
Ilmu pengetahuan dapat diuji kembali secara terbuka menurut
persyaratan dengan hasil yang dapat diandalkan. Selain itu, ilmu
pengetahuan dikembangkan menurut suatu rancangan yang menerapkan
metode ilmiah.

76
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

EPISTEMOLOGI DAN PROBLEM KETERPISAHAN SUBJEK-OBJEK


Salah satu pertanyaan epistemologi yang amat penting adalah: “Apakah
manusia mampuh mengetahui sesuatu sebagaimana adanya”? Pertanyaan ini
telah melahirkan ragam pendapat dalam perdebat epistemologi. Diantaranya,
Immanuel Kant (1714-1804). salah seorang filosof asal Jerman berpandangan
bahwa manusia sebagai subjek pengetahuan tidak mungkin mengetahui
sesuatu sebagaimana adanya. Bagi Kant, pengetahuan hanya dapat diperoleh
dengan sintesis antara indera dan dua belas kategori dalam pikiran manusia.
Ketidakmampuan subjek untuk mengetahui sesuatu sebagaimana
adanya dikarenakan manusia selalu berada dalam ruang kesadaran
(keakuannnya) sehingga untuk menjadi sesuatu adalah hal yang tidak
mungkin, demikian pandangan Immanuel Kant. Kant kemudian bekesimpulan
bahwa das Ding an sich, tidak terjangkau oleh akal murni, hanya bisa diterima
dengan akal praktis. Keyakinan filosofis yang demikian, telah menjadi model
epistemologi dominant. Terutama dalam pentas filsafat Eropa/Barat
Keyakinan yang demikian ini bisa dipandang sebagai bentuk ketidaktahuan.
Karena pengetahuan itu sendiri tidak hanya berkaitan dengan dimensi rasio
kognitif saja, melainkan juga terkait dengan dimensi intuisi. Pernyataan ini
bukanlah klaim yang tidak berdasar, akan tetapi muncul dari penyelidikan
filosofis yang mendalam terhadap kemungkinan adanya univikasi eksistensial
antara subjek dan objek yang berpijak pada hati sebagai salah satu instrument
pengetahuan. Lantas bagimana kita menelusuri kemungkinan tersebut?
Esensi-Eksistensi
Shadr Al-Din Syirazi (1572-1640) atau lebih dikenal dengan Mullah Sadra
adalah salah seorang filosof muslim yang bisa dipandang telah menelurkan
sebuah basis filsafat untuk menjawab kompleksistas problem epistemologi di
atas. Konstruksi filosofis yang dibangun Sadra bermula dari cara pandang
terhadap realitas eksistensi (being/wujud) dengan meyakini segala sesuatu
sebagai eksistensi yang tunggal. Keberdaan bagi Sadra, Wujud merupakan
realitas satu-satunya yang mendahului esensi (ke-apa-an). Bahkan Mullah
Sadra meyakini bahwa esensi bukanlah realitas utama. Esensilah hanya
menjadikan segala sesuatu yang ada terkesan berbeda dan dibedakan. Ketika
kita menginderai sesuatu, yang ditangkap oleh pikiran kita adalah esensi atau
batasan sesuatu, sehingga kitapun berkeyakinan bahwa Kursi misalnya,
tidaklah sama dengan Pensil, disebabkan Kursi tersebut memiliki ciri atau
bentuk tertentu yang tidak sama dengan Pensil. Menurut Mullah Sadra,
mestilah disimpulkan bahwa kemampuan untuk menangkap esensi tersebut
hanya bisa karena adanya Wujud (keberadaan/eksistensi) yang mendasarinya.

77
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Singkatnya, kita tidak bisa membayangkan esensi itu sendiri jika kursi itu tidak
ada!
Telah kita ketahui bahwa eksistenisilah satu-satunya realitas yang
fundamental dan bersifat tunggal yang mendasari semua benda objektif. Pada
nokta ini sebagian filosof mengatakan bahwa wujud hanya berlaku bagi Tuhan,
sedangkan selainnya (langit, bumi dan segala isinya) bukanlah wujud.
Menanggapi hal ini, Sadra memberikan sebuah jawaban, bahwa karena wujud
(ADA) merupakan realitas satu-satunya yang real, maka negasi atau lawan dari
wujud itu sendiri adalah tidak ada (not being). Oleh sebab itu, bila segala
sesuatu selain Tuhan itu bukanlah wujud, maka tentulah segala sesuatu itu
tidak mungkin ada. Jelaslah bahwa ini adalah sebuah kontardiksi yang nyata.
(baca Non-Kontradiksi).
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa esensilah yang membuat segala
sesuatunya berbeda. Namun bagi Sadra, perbedaan itu merupakan akibat dari
status ontologis wujud yang bertingkat-tingkat. Keberadaan sesuatu sangat
ditentukan oleh satatus ontologisnya manusia misalnya, untuk mengada
membutuhkan banyak syarat. Berbeda dengan Tuhan, keberadaan-Nya adalah
puncak eksistensi yang tidak bergantung pada sesuatu apapun selain diri-Nya
sendiri. Meskipun demikian, wujud itu sendiri tidaklah berada dalam keadaan
yang statis, melainkan senantisa bergerak (berubah) secara evolutif tanpa
jeda. Gerak yang terdapat dalam tatanan wujud itu sendiri disebabkan oleh
adanya perubahan substansi dari setiap sesuatu. Berbeda dengan sebagian
besar filsuf yang memandang perubahan itu hanya terjadi pada aksiden wujud
saja, Sadra justru meyakini bahwa perubahan pada aksiden atau penampakan
wujud itu tidak mungkin terjadi jika substansinya tidak berubah. Jika kita
mengurai benda material, maka akan ditemukan inti terdalam yang mendasari
sesuatu itu. Oleh karena itu, sesuatu tersebut barulah berubah jika substansi
atau inti keberadaannya juga berubah. Perubahan substansi bukanlah tidak
bertujuan, melainkan selalu mengarah pada derajat wujud yang lebih tinggi,
dimana merupakan sebab final dari gerakan yang terjadi. Jika segala sesuatu
selain manusia berubah secara alamiah, maka tidak demikian dengan manusia.
Perubahan yang terjadi dalam diri manusia selalu memiliki dua makna, yakni
gerak menyempurna (gerak spiritual) dan gerak yang mengarahkan manusia
kepada derajat terendah dalam hirarki eksistensi. Hal ini karena manusia
memiliki kehendak bebas untuk menentukan dirinya sendiri.
Teori Persepsi
Mullah Sadra memiliki defenisi yang menarik tentang epistemologi. Bagi
Sadra, pengetahuan adalah “kehadiran objek yang diketahui didalam yang

78
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

mengetahui” (Mustamin Al-Mandari, 2003). Akan tetapi, kehadiran itu tidak


terjadi pada persepsi indera. Karena jiwa yang mengetahui berada pada
tingkat eksistensi non- material sehingga entitas material tidak mungkin hadir
padanya. Kesatuan itu hanya bisa terjadi apabila antara yang diketahui dan
yang mengetahui berada pada status ontologis yang sama. Sadra membagi
persepsi menjadi indera, akal dan imajinasi(inteleksi). Bagi Sadra, bentuk yang
muncul dalam imajinasi itu memiliki realitas yang nyata. Oleh karena itu,
kehadiran bentuk sesuatu dalam diri subjek bukanlah sebentuk abstraksi
pikiran seperti yang diyakini Aristoteles, akan tetapi kehadiran objek tersebut
disebabkan karena adanya derajat ontologis yang sama. Keterangan ini juga
sekaligus memperkuat basisi filsafat kesatuan wujud itu sendiri. Selain itu,
pengetahuan pada tahap imajinasi tidak mengenal distingsi antara subjek yang
mengetahui dengan objek yang diketahui. Sedangkan tingkatan tertinggi dari
pengetahuan manusia adalah univikasi eksistensial antara hakikat segala
sesuatu dan manusia itu sendiri, dimana pengetahuan ini tidak bersifat
representasional.
Jika pada tahap imajinasi bentuk objek yang menghadir dalam fakultas
imajinatif itu didahului oleh persentuhan langsung dengan objek terinderai,
maka pada pengetahuan yang terkahir ini (representasional), objek tidak
muncul dari aksi intensional yang mendahului, melainkan objek yang
diketahui berada dalam kesatuan eksistensial dengan pelaku persepsi.
Pernyataan seperti “aku mengetahui bahwa aku sedang bahagia” tidak bisa
diandaikan sebagai adanya subjek yang mengetahui dan obyek yang diketahui.
Yang mengetahui itu sendiri adalah “aku”, dan yang diketahui itu juga adalah
diriku. Dengan demikian, tidak ada maknanya menjelaskan model
pengetahuan non-representasional tersebut sebagai terdiri dari subyek dan
obyek. Pengetahuan yang demikian ini menjadi terkesan bersifat
representasional (subjek-objek), ketika ia masuk kedalam tatanan simbolik-
bahasa (Mehdi Hairi Yazdi, 2003). Namun hal tersebut sama sekali tidak
mempengaruhi unifikasi subjek–objek dalam pengetahuan non-
representasional. Jika kita mengandaikan bahwa pengetahuan tentang diri itu
bersifat representasional, maka haruslan terdapat dua kutub yang terpisah
yakni Aku sebagai yang mengetahui, dan Dia sebagai objek pengetahuan. Hal
ini tentu akan memunculkan kontardiksi yang jelas, karena “aku” pada saat
yang bersamaan telah menjadi “dia”. Aku, sebagai yang mengetahui, dan dia
yang diketahui. Namun, seperti pada penjelasan di atas, ini tidaklah bisa
dibenarkan bahwa subjek dan objek dalam pengetahuan diri adalah satu dan
sama.

79
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan terhadap sesuatu


sebagaimana adanya adalah hal yang mungkin. Asalkan manusia mau untuk
melepaskan diri dari berbagai macam hal yang kadang dianggap membentuk
keberadaannya. Dan akhirnya manusia akan mengetahui siapa dirinya yang
sesungguhnya, dan dengan demikian dia juga bisa mengetahui segala sesuatu
sebagaimana hakikatnya.

HUBUNGAN EPISTEMOLOGI, METODOLOGI, DAN METODE ILMIAH


Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud
pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi
ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah
menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu
pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga
tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melainkan termasuk wilayah filsafat.
Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan,
yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang
mempunyai langkah-langkah yang sistematis (Senn, 2002). Sedangkan
metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam
metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah
ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara
mengetahui sesuatu. Jika metode merupakan prosedur atau cara mengetahui
sesuatu, maka metodologilah yang mengkerangkai secara konseptual terhadap
prosedur tersebut. Implikasinya, dalam metodologi dapat ditemukan upaya
membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan metode.
Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode, kelemahan
dan kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode
yang digunakan, sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis
metode-metode yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan metode
penelitian tanpa memahami metode logisnya mengakibatkan seseorang buta
terhadap filsafat ilmu yang dianutnya. Banyak peneliti pemula yang tidak bisa
membedakan paradigma penelitian ketika dia mengadakan penelitian
kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus benar-benar memahami,
bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivisme, sehingga
ditentukan oleh sebab akibat (mengikuti paham determinsime, sesuatu yang
ditentukan oleh yang lain), sedangkan penelitian kualitatif menggunakan
paradigma naturalisme (fenomenologis). Dengan demikian, metodologi juga
menyentuh bahasan tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan penerapan
suatu metode. Aspek filosofis yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat

80
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

dalam wilayah epistemologi.


Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-
teoritis antara epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut: Dari
epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi, yang biasanya
terfokus pada metode atau teknik. Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem
dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat.
Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup bahasan
metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Jadi,
metode merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi
merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam epistemologi.
Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan,
membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasikan sumber-
sumbernya dan menetapkan batas-batasnya. “Apa yang bisa kita ketahui dan
bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-masalah sentral epistemologi,
tetapi masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat.
Pandangan yang lebih ekstrim lagi menurut Kelompok Wina, bidang
epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan termasuk dalam kajian
psikologi. Sebab epistemologi itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran
manusia, the workings of human mind. Tampaknya Kelompok Wina melihat
sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam epistemologi yang memang
berkaitan dengan pekerjaan pikiran manusia. Cara pandang demikian akan
berimplikasi secara luas dalam menghilangkan spesifikasi-spesifikasi
keilmuan. Tidak ada satu pun aspek filsafat yang tidak berhubungan dengan
pekerjaan pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan upaya
pendayagunaan pikiran. Kemudian jika diingat, bahwa filsafat adalah landasan
dalam menumbuhkan disiplin ilmu, maka seluruh disiplin ilmu selalu
berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, terutama pada saat proses
aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari hasil pemikiran yang
dapat diterima akal sehat. Ini berarti tidak ada disiplin ilmu lain, kecuali
psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.
Oleh karena itu, epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun
objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi
menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi
terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan
mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini ditempuh melalui perenungan-
perenungan secara filosofis dan analitis.
Perbedaaan padangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa
dijadikan pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan Thomas
C.Hunt yang menilai, epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh

81
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

kontroversi. Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagian dari


filsafat sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau
permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika
sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya.
Selain itu, pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang
dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan
biasanya diandaikan begitu saja, maka minat untuk membicarakan dasar-
dasar pertanggungjawaban terhadap pengetahuan dirasakan sebagai upaya
untuk melebihi takaran minat kita.
Epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti
sentral setiap pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang bisa
memetakan, apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-
bidangnya; apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa yang
mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui; dan apa yang sama
sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi dengan demikian bisa dijadikan
sebagai penyaring atau filter terhadap objek-objek pengetahuan. Tidak semua
objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada objek-objek tertentu
yang manfaatnya kecil dan madarat-nya lebih besar, sehingga tidak perlu
diketahui, meskipun memungkinkan untuk diketahui. Ada juga objek yang
benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa diketahui.
Epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia.
Seseorang yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari
teori yang bersifat umum menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan
pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari gejala-
gejala yang sama, baruk ditarik kesimpulan secara umum, berarti dia
menggunakan pendekatan induktif. Adakalanya seseorang selalu
mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang masih jauh, ada yang hanya
berpikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek sekarang dan ada pula
seseorang yang berpikir dengan kencenderungan melihat ke belakang, yaitu
masa lampau yang telah dilalui. Pola-pola berpikir ini akan berimplikasi
terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang menemukan seseorang
beraktivitas dengan serba strategis, sebab jangkauan berpikirnya adalah masa
depan. Tetapi terkadang kita jumpai seseorang dalam melakukan sesuatu
sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan berpikirnya yang amat pendek, jika
dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka tindakannya itu justru
merugikan.
Pada bagian lain dikatakan, bahwa epistemologi keilmuan pada
hakikatnya merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir
secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungan dalam mempelajari

82
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

gejala alam untuk menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu


memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni
pikiran dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir
dan membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan kenyataan yang lain
dari diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi berpikir rasional,
sedangkan usaha untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Hal ini
juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan deduksi,
sedangkan usah membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan kedua
macaram cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah.
Jika metode ilmiah sebagai hakikat epistemologi, maka menimbulkan
pemahaman, bahwa di satu sisi terjadi kerancuan antara hakikat dan landasan
dari epistemologi yang sama-sama berupa metode ilmiah (gabungan
rasionalisme dengan empirisme, atau deduktif dengan induktif), dan di sisi
lain berarti hakikat epistemologi itu bertumpu pada landasannya, karena lebih
mencerminkan esensi dari epistemologi. Dua macam pemahaman ini
merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu memang rumit sekali,
sehingga selalu membutuhkan kajian-kajian yang dilakukan secara
berkesinambungan dan serius.
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia.
Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya.
Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu
murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan
kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan
yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari
keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang
menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang
maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan
pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa
fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh
kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang
strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi
sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian
halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan
sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari
pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berpikir dan
berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk
teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara
epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang

83
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus


disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya.

IMPLEMENTASI DALAM PENELITIAN


Pelaksanaan penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif, sebenarnya
merupakan langkah-langkah sistematis yang menjamin diperoleh
pengetahuan yang mempunyai karakteristik rasional dan empiris. Secara
filosofis kedua pendekatan tersebut mempunyai landasan yang berbeda.
Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang didasarkan pada filsafat
positivistik. Filsafat positivistik berpandangan bahwa gejala alam dapat
diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala
bersifat sebab akibat. Proses penelitian dimulai dari proses yang bersifat
deduktif, artinya ketika menghadapi masalah langkah pertama yang dilakukan
adalah mencari jawaban secara rasional teoretis melalui kajian pustaka untuk
penyusunan kerangka berpikir. Bagi penelitian yang memerlukan hipotesis,
kerangka berpikir digunakan sebagai dasar untuk menyusun hipotesis.
Langkah berikutnya adalah mengumpulkan dan menganalisis data. Tujuan
utama langkah ini adalah untuk menguji secara empiris hipotesis yang disusun
atau mencari jawaban empiris sebagai jawaban final dari masalah penelitian.
Secara operasional langkah-langkah penelitian kuantitatif sebagai berikut:
- Rumusan masalah
- Landasan teori, kajian teori, landasan pustaka, atau kajian pustaka.
- Perumusan hipotesis
- Pengumpulan data
- Analisis data
- Simpulan
Rumusan masalah dalam suatu penelitian diangkat dari hasil
pengamatan atau dengan kata lain rumusan masalah penelitian berasal dari
masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu,
ketika masalah ini dapat teratasi melalui penelitian maka secara langsung hasil
penelitian ini bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Jadi cara pemilihan
masalah yang diangkat dari hasil pengamatan ini sebenarnya merupakan
pelaksanaan dari teori kebenaran pragmatisme. (teori kebenaran
pragmatisme telah dibahas sebelumnya pada bab iii).
Langkah pertama yang ditempuh dalam rangka mencari jawaban

84
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

terhadap masalah penelitian adalah mengkaji teori-teori dan hasil penelitian


yang telah relevan. Secara fungsional kajian teori bertujuan memperjelas
masalah penelitian, sebagai dasar menyusun kerangka berpikir dan hipotesis,
serta sebagai rujukan dalam menyusun instrumen. Bagi penelitian yang
menggunakan hipotesis, biasanya kajian teori terdiri atas 4 sub bab, yaitu:
deskripsi teori, hasil penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis.
Deskripsi teori mengkaji teori-teori yang terkait dengan masing-masing
variabel penelitian. Pada bagian ini peneliti belum menghubungkan variabel
satu dengan variabel yang lain, tetapi dalam mengkaji teori harus sudah
diarahkan agar nanti dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun
kerangka berpikir. Pada penelitian kuantitatif, mengkaji hasil penelitian yang
relevan merupakan suatu anjuran, artinya bukan merupakan keharusan. Di
samping untuk memperjelas masalah penelitian, kajian terhadap hasil
penelitian yang relevan juga bertujuan agar tidak terjadi penelitian replikatif.
Memang penelitian replikatif tidak dilarang dengan syarat mempunyai dasar
dan tujuan yang jelas.
Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang hubungan
beberapa variabel yang ada dalam suatu penelitian. Kerangka berpikir yang
baik dapat menjelaskan secara rasional hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat. Kalau dalam penelitian tersebut ada variabel
moderator atau variabel intervening maka juga harus dijelaskan keterlibatan
variabel tersebut dalam penelitian. Berdasarkan uraian rasional pada
kerangka berpikir ini kemudian disimpulkan dalam bentuk kalimat
pernyataan yang menghubungkan antar variabel dalam penelitian. Simpulan
dari kajian teori ini disebut dengan hipotesis. Kalau dikaitkan dengan filsafat
ilmu, kajian teori merupakan implementasi dari penggunaan teori kebenaran
koherensi dalam penelitian.
Langkah selanjutnya adalah menguji hipotesis berdasarkan data empiris.
Syarat untuk dapat menguji hipotesis dengan benar ada 2, yaitu: memperoleh
data yang valid dan menggunakan teknik analisis yang tepat. Untuk
memperoleh data yang valid perlu desain penelitian yang tepat dan instrumen
yang valid dan reliabel. Simpulan penelitian didasarkan pada hasil uji empiris.
Apabila hasil uji empiris tidak sesuai dengan hipotesis bukan berarti penelitian
tersebut gagal. Kalau hal ini terjadi, tugas peneliti adalah mengkaji secara
teoretis tentang berbagai kemungkinan yang menyebabkan ketidaksesuaian
antara teori dengan bukti empiris. Secara filosofis semua langkah yang
ditempuh dalam rangka mengumpulkan, menganalisis data, dan menarik
simpulan berdasarkan data empiris merupakan implementasi teori kebenaran
korespondensi dalam penelitian.

85
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang didasarkan pada filsafat


postpositivisme. Filsafat postpositivisme atau yang sering disebut dengan
paradigma interpretif dan konstruktif berpendapat bahwa realitas sosial
bersifat holistik, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan antar gejala
bersifat reciprocal. Penelitian kualitatif dilakukan pada objek yang alami, tidak
dimanipulasi oleh peneliti, dan kehadiran peneliti diupayakan tidak
mempengaruhi dinamika objek yang diteliti.
Prosedur penelitian kualitatif juga diawali dari masalah, namun ada
perbedaan sifat masalah pada penelitian kuantitatif dan kualitatif. Masalah
pada penelitian kuantitatif bersifat pasti, jelas, dan spesifik. Sedang masalah
pada penelitian kualitatif bersifat global, sementara, dan tentatif. Karena itu,
masalah pada penelitian kualitatif dapat berkembang atau bahkan berubah
setelah peneliti berada di lapangan. Di sini menunjukkan bahwa masalah
penelitian kualitatif harus berdasarkan fakta atau pengamatan.
Langkah pertama setelah peneliti berada di lapangan dalam rangka
pengumpulan data adalah menentukan fokus penelitian. Karena masalah
penelitian masih bersifat global maka perlu adanya pembatasan masalah yang
dalam penenlitian kualitatif disebut dengan fokus penelitian. Penentuan fokus
penelitian ini dilakukan dengan menganalisis masalah dan medan ketika
peneliti sudah berada di lapangan. Pertimbangan yang digunakan dalam
menentukan fokus penelitian ada 3 hal, yaitu: tingkat kepentingan, urgensi,
dan kelayakan suatu masalah (Sugiyono, 2010: 286). Suatu masalah dikatakan
penting apabila masalah tersebut tidak dipecahkan atau dikaji secara ilmiah
akan semakin besar dampaknya dalam kehidupan sosial dan/atau
menimbulkan masalah baru. Masalah dikategorikan urgen (penting) apabila
masalah tersebut tidak segera dikaji atau dipecahkan secara ilmiah
masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk mengatasi masalah tersebut.
Suatu masalah dikatakan layak untuk dikaji (feasible) apabila tersedia sumber
daya dan dana untuk mengatasi masalah tersebut. Karena belum ke lapangan,
maka dalam menilai proposal penelitian kualitatif, penentuan fokus lebih
didasarkan pada tingkat kebaruan informasi yang akan diperoleh dari hasil
penelitian tersebut.
Sesuai dengan sifat masalah penelitian yang masih tentatif maka teori
yang digunakan sebagai acuan dalam menyusun proposal penelitian kualitatif
juga bersifat sementara. Teori yang sifatnya sementara ini akan berkembang
setelah peneliti berada di lapangan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti selalu
bergerak dari teori ke gejala, dari gejala ke teori. Proses reciprocalitas teori –
fakta ini terus berlangsung sampai masalah dapat dipecahkan secara rasional

86
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

dan tidak ditemukan lagi informasi yang sifatnya baru.


Dalam kaitannya dengan teori, penelitian kuantitatif dan kualitatif
mempunyai perbedaan. Penelitian kuantitatif bersifat menguji teori atau
hipotesis (confirmatory), sedang penelitian kualitatif berupaya menemukan
teori (eksploratory). Tujuan akhir proses reciprocal antara teori – fakta adalah
ditemukannya teori yang dapat menjelaskan fakta. Karena itu, peneliti
kualitatif disyaratkan mempunyai banyak teori yang dapat menjelaskan gejala
yang dihadapi di lapangan. Namun dalam memahami fakta di lapangan,
penelitian kualitatif menggunakan perspektif “emic”, menangkap fakta
berdasarkan pemahaman partisipan dan informan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa implementasi teori koherensi dan
korespondensi pada penelitian kualitatif bersifat reciprocal. Prespektif “emic”
yang digunakan peneliti kualitatif jelas menunjukkan bahwa teori kebenaran
yang digunakan adalah korespondensi. Kebenaran sesungguhnya adalah apa
yang ada pada fakta, bahkan pada penelitian kualitatif fakta yang dimaksud
bukan fakta berdasarkan pemahaman peneliti tetapi fakta berdasarkan
pemahaman partisipan atau informan. Ketika peneliti mengkaji fakta
berdasarkan teori yang telah ada maka proses ini merupakan implementasi
teori koherensi dalam penelitian kualitatif.

87
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

AKSIOLOGI

PENGERTIAN SINGKAT
Menurut Kamus Filsafat, Aksiologi Berasal dari bahasa Yunani axios
(layak, pantas) dan logos (ilmu). Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang
mempelajari tentang kepantasan (nilai).
Jujun S. Suriasumantri (1999) mengartikan aksiologi sebagai teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu
sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita
dalam menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam
(Rakhmat, 2010)
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa Aksiologi merupakan ilmu
yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan.

PENILAIAN AKSIOLOGI
Bramel (dalam Jalaluddin dan Abdullah,1997) membagi aksiologi dalam
tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini
melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku,
norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar manusia
mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral
persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung
jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun
terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Bagian kedua dari aksiologi adalah esthetic expression, yaitu ekspresi
keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Estetika berkaitan dengan nilai
tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap
lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Mengutip pendapatnya Risieri Frondiz (Bakhtiar, 2006), nilai itu objektif
ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat
berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya;
atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek
yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat
psikis ataupun fisik. Dengan demikian nilai subjekif akan selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia seperti

88
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif akan selalu mengarah pada
suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Selanjutnya nilai itu akan objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau
kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan
dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak
ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara
realitas benar-benar ada (Irmayanti Budianto, dalam Bakhtiar, 2006).
Bagian ketiga dari Aksiologi adalah , sosio-political life, yaitu kehidupan
social politik yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik.

MANFAAT ILMU
Bila ditanya manfaat dari ilmu, jawabannya adalah sudah tidak terhitung
banyaknya manfaat dari ilmu bagi manusia dan makhluk hidup secara
keseluruhan. Mulai dari zamannya Copernicus sampai Mark Elliot Zuckerberg,
ilmu terus berkembang dan memberikan banyak manfaat bagi manusia.
Dengan ilmu manusia bisa sampai ke bulan, dengan ilmu manusia dapat
mengetahui bagian-bagian tersembunyi dan terkecil dari sel tubuh manusia.
Ilmu telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peradaban manusia,
tapi dengan ilmu juga manusia dapat menghancurkan peradaban manusia
yang lain.
Mengutip pendapatnya Francis Bacon (Suriasumantri, 1999) yang
mengatakan bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu
akan merupakan berkat atau malapetaka bagi umat manusia, semua itu
terletak pada system nilai dari orang yang menggunakan kekuasaan tersebut.
Ilmu itu bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau buruk, dan si
pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Selanjutnya
Suriasumantri juga mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini
mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun Suria Sumantri
merumuskan ke dalam empat tahapan yaitu:
a. Untuk apa ilmu tersebut digunakan?
b. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah
moral?
c. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral?
d. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral dan
profesional?

89
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Dari apa yang dirumuskan di atas dapat dikatakan bahwa apapun jenis
ilmu yang ada, seluruhnya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada
di masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh
masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan
sebaliknya malah menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan
norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi
ilmuwan yang baik atau belum.
Setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi
ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan
aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi
ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara
detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi
dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik,
justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga
lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem
membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang
lain, sebab ketiga-tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan
dalam mekanisme pemikiran.
Demikian juga, setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri
spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa
(aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling
berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu
terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan
epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi
ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali
dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir
sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.

ETIKA DALAM PENGEMBANGAN IPTEKS


Ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayan
universal yang dihasilkan manusia yakni sistem mata pencaharian, sistem
kepercayaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu
pengetahuan, dan sistem peralatan hidup. Dalam penerapannya, ilmu
pengetahuan menghasilkan apa yang disebut teknologi dan seni. Ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan,

90
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

maka kita pun mengenal istilah Ipteks (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan
Seni). Ilmu pengetahuan bersifat teoretis dan tidak berbentuk sedangkan
teknologi bersifat praktis dan berbentuk. Pada hakikatnya, ilmu pengetahuan
dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia di
bumi. Teknologi dan seni diciptakan untuk meringankan dan membebaskan
manusia dari kesulitan-kesulitan hidupnya yang sarat dengan keterbatasan.
Sebagai sebuah entitas pada dasarnya ilmu pengetahuan bersifat
independen (bebas dari nilai), tetapi di sisi lain sebagai instrumen (alat dan
proses) keberadaannya koheren, tergantung, dan diarahkan. Siapa yang
mengarahkan? jawabannya tidak lain adalah manusia sendiri sebagai subyek
ilmu pengetahuan itu sendiri. Etika memang bukan merupakan bagian dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi penerapan ilmu pengetahuan dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat memerlukan adanya dimensi etis sebagai
alat kontrol bagi pengembangan iptek agar tidak bertentangan dengan nilai-
nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini terjadi
keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga
keseimbangan ekosistem, bertanggung jawan kepada kepentingan umum,
kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal.Adanya tanggung
jawab etis tidak dimksudkan untuk menghambat kemajuan ilmu pengetahuan,
tetapi dengan adanya tanggung jawab etis diharapkan mampu menjadi
inspirasi dan motivasi bagi manusia untuk mengembangkan teknologi yang
nantinya akan mengangkat kodrat dan martabat manusia .
Pada hakikatnya ilmu itu mempunyai nilai netral (nol), dengan
memahami bahwa ilmu itu netral maka ilmu pengetahuan bisa berkembang.
Sehingga tidak tercampuri dengan suatu hal yang dapat menjadikan ilmu atau
itu sendiri menjadi terhambat dalam perkembangannya.
Sedangkan netral itu sendiri ada berbagai pandangan yang pertama
dalam pandangan Ontologi, yakni masalah atau hakikat netral itu sendiri. Yang
mempunyai ruang lingkup tentang baik buruknya ilmu yang telah ada.
Kemudian dalam pandangan secara Epistimologi yaitu masalah
bagaimana mendapatkan ilmu itu. Dan untuk mendapatkannya apakah sesuai
atau malah menyimpang dari metode ilmiah. Ketika seorang ahli jantung ingin
meneliti tentang jantung manusia. Ada suatu kendala apabila Dokter ini
meneliti jantung selain jantung manusia seperti jantung simpanse misalnya,
tentu hasilnya berbeda apabila dokter itu menggunakan jantung manusia itu.
Tetapi masalahnya ada beberapa yang tidak menyetujui hal ini, dikarenakan
telah keluar dari rasa kemanusiaan. Padahal tujuan awal agar data yang
diperoleh valid dan lengkap, tetapi mereka salah memandang hal tersebut.

91
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Sedangkan yang terakhir adalah netralisasi dalam pandangan Aksiologi.


ini menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu itu sendiri. Seperti suatu hal yang
sangat disesalkan oleh Albert Einsten, karena penemuannya tentang nuklir.
Ternyata manusia sebagai pengkonsumsi dari hasil temuan ilmu itu telah
menyimpang atau menyalahi aturan yang ada. Padahal Einsten meneliti nuklir
bukan karena dia ingin menggunakannya sebagai bom dan membunuh jutaan
manusia, tetapi sebaliknya yaitu untuk kemaslahatan manusia sendiri. Tetapi
manusia sendirilah sebagai pengguna yang telah salah menggunakan hasil
pikiran Einstein itu.
Dampak buruk perkembangan sains dan teknologi sering dijadikan
legitimasi bahwa ilmu pengetahuan atau sains tidak netral. Ada yang rancu di
sini. Antara sains dan dampak dari sains. Dampak dari sains (dan teknologi)
sudah melibatkan penggunanya (manusia) yang di luar lingkup kajian sains
alami. Dalam hal ini, sistem nilai bukan berpengaruh pada sains, tetapi pada
perilaku manusia penggunanya. Ilmu itu ibarat pisau. Netral. Tidak ada
spesifikasi pisau Islam, pisau Kristen, pisau kapitalis, pisau komunis, pisau
tukang sayur atau pisau tukang daging. Dampak pisau bisa negatif bila
digunakan untuk merusak atau membunuh. Tetapi bisa juga positif.
Misalnya contoh lain, dewasa ini, ilmu pengetahuan dihadapkan pada
masalah kerusakan lapisan ozon. Satelit mendeteksi lapisan ozon di atas
antartika yang menipis yang dikenal sebagai lubang ozon. Sains mengkaji sebab-
sebabnya. Ada sebab kosmogenik (bersumber dari alam), antara lain variasi
akibat aktivitas matahari. Ada sebab antropogenik (bersumber dari aktivitas
manusia). Sains juga akhirnya menemukan sumber antropogenik itu salah
satunya CFC (Chlor Fluoro Carbon) atau freon yang banyak digunakan sebagai
media pendingin kulkas dan AC (air conditioner). Kini sains menemukan bahan
alternatif yang tidak merusak ozon.
Dapatkah ilmu pengetahuan dipersalahkan dan dijuluki sains yang
perusak? Karena keterbatasan ilmu manusia, tidak semua dampak dapat
diperkirakan. Ketika kini diketahui dampak buruknya, tidaklah adil untuk
melemparkan tuduhan bahwa ilmu pengetahuan bersifat merusak.
Menjadi jelas bahwa pada dasarnya nilai sains atau ilmu itu netral.
Maksud dari netral itu adalah ilmu tidak bernilai baik atau buruk tetapi ilmu
itu di antara keduanya. Sesuai manusia yang membawa ilmu itu.
Bagaimanakah menggunakannya? Untuk apa ilmu itu? Siapa yang memakai
ilmu itu? Semua pertanyaan itu salah satu bukti kenetralan ilmu. Karena
terserah manusia itu membawa ilmu itu sendiri, terserah manusia itu
bagaimana menggunakannya, dan untuk apa ilmu yang dia dapat, dan

92
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

siapapun orangnya ilmu tidak terpengaruh nilainya tetap netral (nol).


Karena posisi ilmu pengetahuan yang netral, maka tugas para ilmuwan
adalah membangun sikap ilmiah yang berwawasan mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi dan perindustrian dalam batasan nilai-nilai etis, serta
mendorong perilaku adil dan membentuk moral tanggung jawab. Ilmu
pengetahuan dan teknologi dipertanggung jawabkan bukan untuk
kepentingan manusia, namun juga untuk kepentingan obyek alam sebagai
sumber kehidupan.
Ilmuwan harus sadar dan agar tidak terjebak ke dalam pola pikir “menara
gading”, yakni hanya berpikir murni dalam bidangnya tanpa mengkaitkan
dengan kenyataan yang ada di luar dirinya. Kenyataan sesungguhnya bahwa
setiap aktivitas keilmuan nyaris tidak dapat dilepaskan dari konteks
kehidupan sosial kemasyarakatan. Sehingga ilmu yang dihasilkan berdaya
guna maksimal tanpa disertai sifat merusak demi kepentingan sesaat.
Akhirnya pemahaman terhadap netralitas ilmu harus sampai pada titik
simpul bahwa dalam proses mengetahui, ilmu berkembang tidak dari ruang
kosong. Dalam istilah Herman Soewardi (1999) disebut teori Adab-Karsa.
Yaitu ilmuwan harus “memihak”. Memihak pada nilai kebenaran dan keadilan,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang
beradab, yang tidak merusak apa yang diciptakan Tuhan untuk dirinya dan
manusia pada umumnya (sejalan dengan Persaudaraan). Jangan sampai ilmu
pengetahuan dilandasi jiwa ammarah, hanya sebagai alat pelampiasan nafsu,
mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, yang akhirnya mencelakakan
dirinya, manusia lain dan lingkungan.

93
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

ILMU PENDIDIKAN DALAM BINGKAI FILSAFAT ILMU

Kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah bahwa pendidikan


dilakukan kapan saja, di mana saja, dan merupakan suatu proses yang
berpengaruh dalam setiap sistem. Aktivitas pendidikan dilakukan oleh
spesialis dalam berbagai bidang pendidikan serta terungkap dalam sistem
sosial apapun.
Dalam menghadapi hak dan tanggung jawab pengembangan ilmu,
khususnya ilmu pendidikan, berbagai kelompok dalam masyarakat
demokratis di Indonesia menampilkan gejala pragmentasi, primordialisme,
dan kebingungan (confusion), sehingga mewarnai sebagian masyarakat di
tanah air, maupun institusi pendidikan di dalamnya.
Ilmu pendidikan yang dibangun atas referensi jamak (multireferensial),
berakar dari antropologi, psikologi, sosiologi, dan filosofi. Ilmu pendidikan
merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia, seperti juga psikologi.
Berbeda dari psikologi yang sifat kajiannya lebih empiris, yakni melihat
perilaku dari kenyataan sebagaimana adanya. Ilmu pendidikan lebih mengacu
pada perilaku normatif (as it should be), upaya normatif yang membawa
manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya.
Kemana manusia mau dibawa melalui upaya pendidikan? Jawabannya harus
ditemukan melalui dan bermuara pada pemahaman tentang hakikat manusia.
Berbicara tentang hakikat manusia tidak akan terlepas dari pertanyaan-
pertanyaan antropomorfik karena pandangan manusia terhadap dunia dan
dirinya tidak bisa lepas dari sudut pandang eksistensial manusia itu sendiri.
Pertanyaan yang berkenaan dengan “Siapa saya?”, “Apa dunia ini?”, “Apa yang
harus saya perbuat?”, “Apa yang dapat saya harapkan?”, merupakan pertanyaan
di sekitar upaya memahami hakikat manusia. Berbagai pandangan dan tafsiran
telah mencoba berupaya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Harold H. Titus (1959: 141-145) menggolongkan tiga aliran penafsiran
terhadap hakikat manusia, yaitu tafsiran klasik atau rasionalistik, tafsiran
teologis, dan tafsiran ilmiah.
Tafsiran klasik atau rasionalistik, yang bersumber pada filsafat Yunani
dan Romawi, memandang manusia sebagai makhluk rasional. Para filsuf
seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, dan Kant termasuk dalam paham ini.
Sokrates maupun Plato memandang bahwa manusia yang cerdas itu adalah
manusia yang berbudi atau manusia yang saleh (the intelligent man is the

94
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

virtuous man) (Titus, 1959: 142). Demikian pula Aristoteles memiliki


pandangan yang sama dengan Plato bahwa: “… the reason (nous) is man’s true
self and indestructible essence.” (Cornford, 1945: 342). Kulminasi pandangan
klasik ini terletak pada filsafat Kant yang juga memandang manusia sebagai
makhluk rasional (Fromm & Xirau, 1968: 4-5).
Tafsiran teologis tidak melihat manusia dari segi keunikan pikiran atau
hubungannya dengan alam, tetapi lebih melihat manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan, dan dibuat menurut aturan Tuhan. Manusia hanya akan
menemukan dirinya apabila dia mampu mentransendensikan kehidupan
alami kepada tingkatan paling tinggi, yaitu Tuhan. Manusia adalah makhluk
yang memiliki kemungkinan untuk berbuat baik atau jahat; dia memiliki
kelemahan dan keunggulan. Kelemahan manusia dapat membawa dirinya
terperosok ke dalam tataran kehidupan yang paling rendah (tingkat kehidupan
hewani), tetapi dengan kekuatannya pula manusia dapat mencapai tingkat
kehidupan lebih tinggi. Dalam tafsiran teologis, perkembangan manusia
terarah kepada upaya menemukan nilai kehidupan instrintik dan
mengabdikan diri kepada Tuhan,
Tafsiran ilmiah tentang manusia cukup bervariasi, bergantung kepada
sudut pandang ilmu yang digunakan. Ilmu-ilmu fisis menganggap manusia
sebagai bagian dari keteraturan alam fisikal; oleh karena itu manusia harus
dipahami dari segi hukum-hukum fisis dan kimiawi (Titus, 1959: 143). Studi
dan tafsiran ilmiah tentang manusia ini pertama kali dilakukan oleh Freud
(Fromm & Xirau, 1968: 5), yang menerapkan hukum-hukum fisika dalam
memahami dan menjelaskan mekanisme perilaku manusia.
Penjelajahan singkat terhadap tiga kecenderungan tafsiran tentang
hakikat manusia di atas memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk memahami
hakikat manusia secara komprehensif. Tafsiran rasionalistik mencoba
mengangkat derajat manusia sebagai makhluk yang memiliki kemerdekaan
berpikir. Namun tampak terlupakan bahwa manusia itu adalah makhluk yang
mempunyai kehendak dan tidak pernah hidup dalam kevakuman sosial. Oleh
karena itu penekanan terhadap kekuatan kemotekaran hidup (creative
intelligence) manusia tidak semata-mata menggambarkan karakteristik
pembeda manusia, malainkan juga terkandung makna akan keberadaan
harapan sosial tertentu karena pengembangan kualitas pikiran manusia selalu
dalam kehidupan sosial. Tampak di sini bahwa manusia bukan makhluk
rasional belaka, ini berarti bahwa tafsiran rasionalistik bukan tafsiran yang
lengkap tentang manusia.

95
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Tafsiran teologis akan menjadi pandangan tidak lengkap manakala hanya


melihat manusia sebagai makhluk yang tidak bisa mengembangkan diri karena
“bergantung” kepada kekuatan transenden di luar dirinya. Tafsiran seperti ini
akan menjadi sempit karena nilai-nilai ketuhanan menjadi statis, sesuatu yang
tidak bisa dipikirkan oleh manusia. Demikian juga tafsiran ilmiah merupakan
tafsiran yang tidak lengkap, karena melihat manusia hanya sebagai serpihan
dari dunianya yang harus tunduk kepada hukum-hukum alam; atau manusia
sebagai produk sosial belaka.
Apabila demikian, dari sudut atau tafsiran mana hakikat manusia
dijelaskan? Phenix (1964) menganggap adalah tugas ahli filsafat untuk
memahami hakikat manusia secara komprehensif serta memberikan
klarifikasi dan penilaian analitik terhadap berbagai pandangan tentang
hakikat manusia dari berbagai sisi. Pemahaman tentang hakikat manusia ini
akan membawa pada prinsip bagaimana pendidikan itu dikembangkan.
Kembali ke persoalan pendidikan, seperti diterangkan bahwa pendidikan
adalah upaya membawa manusia dari kondisi apa adanya (what it is) kepada
kondisi bagaimana seharusnya (what should be). Pendidikan tidak akan pernah
terlepas dan senantiasa terpaut dengan pembicaraan tentang manusia yang
sedang berada dalam proses berkembang dengan segala dimensi keunikannya.
Terkandung makna di sini bahwa melalui proses pendidikan diharapkan
manusia berkembang ke arah bagaimana dia harus menjadi dan berada. Maka
seorang pendidik perlu memahami manusia dalam hal aktualitasnya,
kemungkinan (possibilities), pemikiran, dan sampai pada memahami
perubahan yang dapat diharapkan terjadi dalam diri manusia.
Berbicara tentang ilmu dalam konteks pendidikan perlu ditegaskan
bahwa pendidikan berurusan dengan perilaku manusia yang sedang
berkembang, sehingga pendidikan memerlukan ilmu-ilmu perilaku manusia.
Tetapi pendidikan juga berurusan dengan persoalan ke arah mana manusia
dibawa, sesuatu yang bersifat normatif, sehingga pendidikan memerlukan
filsafat untuk memahami hakikat manusia dan kehidupannya secara utuh.
Ilmu yang dianggap mampu menjelaskan atau memberikan gambaran
cukup lengkap tentang perilaku manusia adalah psikologi. Ilmu lain seperti
antropologi, sosiologi, biologi, bahkan linguistik memberikan gambaran lain
tentang perilaku manusia. Namun penjelasan dan pemahaman perilaku
manusia yang digambarkan oleh psikologi tidak sampai pada sebuah komposit
pemahaman tentang manusia secara utuh melainkan lebih menyajikan
rangkaian ragam gambaran tentang pemahaman perilaku manusia.
Pemahaman seperti ini tidak memuaskan bagi kepentingan pendidikan karena

96
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

hanya menjelaskan aspek keragaman manusia dan bukan keutuhan manusia.


Dapatkah kita menyatukan gambaran parsial tentang manusia itu ke dalam
satu kesatuan atau keutuhan? Jawabannya, bisa! Tetapi tidak dengan
menggunakan cara-cara ilmu pengetahuan belaka, melainkan menggunakan
filsafat yang mampu mempersatukan temuan-temuan ilmiah yang terpilah-
pilah itu, dan menghubungkan konsep-konsep fundamental dari temuan itu
secara koheren.
Setiap upaya dan tindakan pendidikan selalu mengandung pertanyaan
yang bermakna filosofis, baik bagi pendidik maupun peserta didik.
“Pendidikan adalah persoalan tujuan dan fokus” (Bereiter, 1973: 6). Mendidik
berarti bertindak secara bertujuan dalam mempengaruhi perkembangan
peserta didik sebagai satu kesatuan pribadi. “Mengapa saya mengajar?”. “Apa
yang terbaik diajarkan?”, “Mengapa saya mengajar bahasa?”, “Mengapa saya
belajar?”, “Mengapa saya belajar matematika?”. Itulah pertanyaan filosofis yang
muncul dari guru dan peserta didik, pertanyaan yang terkait dengan hakikat
manusia dan dunia, pengetahuan, nilai, dan hidup yang baik.
Tiga frase kunci dalam pengertian pendidikan yang disebutkan adalah: 1)
kondisi apa adanya, 2) kondisi bagaimana seharusnya, dan 3) proses
membawa. Kondisi apa adanya mengisyaratkan keadaan objektif manusia yang
memiliki potensi (fitrah), kemerdekaan berpikir, dan hidup dalam konteks
(sosio-kultural). Kondisi bagaimana seharusnya mengisyaratkan kea rah mana
manusia secara normatif harus mengembangkan diri, untuk menjadi
(becoming) dan berada (being). Proses membawa mengisyaratkan hubungan
transaksional dan asimilasi untuk memfasilitasi pengembangan fitrah dan
kemerdekaan berpikir manusia dalam kaidah-kaidah universal yang tidak
lepas dari konteks kea rah yang normatif sesuai dengan hakikat manusia itu
sendiri.
Ketiga frase kunci yang disebutkan mengandung makna dan implikasi
akan perlunya pemahaman mendalam terhadap kondisi objektif manusia,
kondisi bagaimana seharusnya manusia menjadi dan berada, dan bagaimana
proses membawa itu dilakukan. Sesuai dengan hakikat ilmu, secara keilmuan,
pendidikan memiliki fungsi untuk memahami perkembangan manusia,
menjelaskan bagaimana perkembangan manusia terjadi, dan mengendalikan
serta memprediksi kemungkinan-kemungkinan perkembangan manusia,
dengan menggunakan cara-cara ilmiah (keilmuan) yang telah diuji secara
filosofis kebenarannya untuk membawa manusia ke arah perwujudan hidup
sesuai dengan hakikat hidup yang baik dan benar.

97
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

Diakui bahwa untuk membawa manusia ke arah bagaimana seharusnya


seperti dimaksud diperlukan ragam alat (tools). Tools berfungsi sebagai ilmu
bantu bagi pendidikan, terdiri dari ilmu dasar seperti psikologi, antropologi,
sosiologi, matematika di dalam memahami, menjelaskan, memprediksi, dan
mengendalikan perilaku manusia. Maka dapat ditegaskan bahwa pendidikan
adalah ilmu. Pendidikan adalah ilmu normatif yang mengkaji situasi
pendidikan. Pendidikan bukanlah ilmu fisik atau kealaman, bukan pula ilmu
perilaku manusia dan biologi, sebagaimana penggolongan ilmu dibuat,
melainkan sebagai ilmu normatif. Memang benar bahwa ilmu pendidikan
bersifat hibrida karena dibangun dari ilmu-ilmu dasar, yang berkaitan dengan
perilaku manusia, namun semua itu diuji koherensinya dengan filsafat, bersifat
normatif, dan melahirkan kajian unik wilayah pendidikan.

98
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Bakker, Anton (1992). Ontologi Metafisika Umum, Yogyakarta: Pustaka
Kanisius.
Bawingan. (1981). Sebuah Studi tentang Filsafat. Jakarta: Pradya Pramita.
Bereiter, Carl (1973). Must We Educate?. Englewood Cliffs New Jersey:
Prentice-Hal, Inc.
Hardiman, Franscisco Budi. (1990). Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius.
Muhadjir, Noeng. (2001). Filsafat Ilmu. Yogjakarta: Rake Sarasin.
Peursen, C.A Van. (1993). Susunan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Solihin (2007). Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern.
Bandung: Pustaka Setia, cet-I.
Suriasumantri, Jujun S. (1993). Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Suriasumantri, Jujun S. (1997). Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Verhak, C. et. Al. (1995). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Nasr, Sayyed Hossen. (1985). Why Was al-Farabi Called the Second Teacher
dalam Islamic Culture, 59/4. Tt: Tp.
Nasution, Harun. (1992). Falsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Preus, Anthony. (2007). Historical Dictionary of Ancient Greek Philosophy.
Lanham, Maryland, Toronto, Plymouth: The Scarecrow Press, Inc.
Popper, Karl. (2000). Realism and The Aim of Science. London: Routledge.
Rakhmat, Cece. (2010). Membidik Filsafat Ilmu. Modul Kuliah Filsafat Ilmu SPS
UPI Bandung.
Rosenberg, Alex. (2010). Philosophy of Science A contemporary Iintroduction.
New york: Routledge.
Russel, Bertrand. (1961). History of Western Philosophy and Its Connection with
Political and Social Circumstances from the Earliest Times ti the Present Days.
London: George Allen & Unwin Ltd.
Salam, Burhanuddin. (2000). Sejarah filsafat ilmu dan teknologi. Bandung:
Rineka Cipta.
Susanto. (2011). Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis. Jakarta:
Bumi Aksara.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. (2007). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.

99

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai