Anda di halaman 1dari 4

 Mengapa orang tidak melanggar peraturan atau tidak melakukan

kejahatan ?

Bertolak dari teori asosiasi differensial dimana menekankan bahwa semua


tingkah laku itu dipelajari begitupun perilaku kejahatan. Teori ini menekankan
bahwa perilaku jahat tidak diwariskan tetapi pelajari melalui suatu pergaulan
yang akrab. Suatu keakaaban terbentuk dari proses komunikasi yang intim dan
intens yang terjadi di suatu kelompok personal sehingga membentuk suatu
karakter serta perilaku manusia.
Hal ini berarti seseorang tidak melakukan kejahatan dan patuh terhadap
norma-norma hukum pun karena ia mempelajari dari suatu lingkungan yang
paling intim serta paling akrab dengan kehidupannya, salah satu contohnya
adalah keluarga. Keluarga merupakan suatu lingkungan sosial yang paling
sempit dan dekat di mana untuk pertama kalinya timbul suatu komunikasi sosial
dan terjalinnya suatu ikatan sosial. Keluarga merupakan suatu instrumen utama
yang efektif sebagai sistem pndukung yang dekat dalam membantu menjauhkan
serta menentramkan individu untuk menolak intervensi-intervensi dari luar.
Menurut Hirschi, remaja yang sudah cukup terikat dengan orang tua
mampu menahan diri untuk tidak melakukan pelanggaran karena hal itu
berakibat buruk terhadap hubungan mereka. Jadi ikatan kasih sayang antara
orang tua dan anak yang merupakan penghalang utama bagi mereka untuk
melakukan tindak kriminal. Kekuatan keterikatan/hubungan itu tergantung pada
dalam dan kualitas interaksi antara orang tua dan anak tersebut. Ikatan orang
tua-anak ini merupakan tempat menyalurkan ide-ide konvensional maupun
harapan-harapan suatu interaksi dari keintiman yang berlanjut, seperti dapat
dibuktikan dalam pengawasan yang dilakukan para orang tua/guru, keintiman
komunikasi dengan anak-anak dan orang tua, tingkat kemampuan anak merasa
mampu berbuat baik di sekolah dan tingkat perhatian yang dirasakan orang
tua/guru.
Dari aspek lingkungan sosial yang lebih luas yaitu masyarakat juga
memiliki anasir-anasir yang membuat suatu indiividu tidak melakukan
kejahatan. Masyarakat sebagai kelompok sosial sekunder merupakan
lingkungan belajar seorang individu yang juga berperan sebagai faktor
determinan seseorang tidak melakukan perbuatan kejahatan. Ia menjadi baik
kalau saja masyarakatnya membuatnya demikian, dan menjadi jahat apabila
masyarakatnya membuatnya demikian.
Bentuk-bentuk komunikasi masyarakat yang tidak menghakimi
melainkan persuasif dan merangkul akan menumbuhkan pergaulan-pergaulan
suatu individu untuk sadar akan norma-norma etis yang berlaku di suatu
masyarakat sehingga individu tersebut mencapai kesepakatan umum atau
penyesuaian kehendak dengan lingkungan masyarakat tersebut. Masyarakat
juga memiliki andil sebagai social control atau control external, yaitu dimana
suatu kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk
melaksanakan norma-norma atau peraturan-peraturan menjadi efektif.
Implikasi pada teori labelling juga memiliki sisi positif terhadap alasan
mengapa seseorang tidak melakukan kejahatan. Teori labelling atau penjulukan
berangkat dari asumsi bahwa perilaku kejahatan disebabkan karena reaksi sosial
terhadap sesuatu definisi yang dilekatkan atau digambarkan orang lain
kepadanya seperti stigma atau stereotip. Seseorang yang sebenarnya bukan
seorang devians akan menjadi devians jika penyematan stigma terhadap
seseorang itu terus dihantamkan terus menerus. Ia akan kehilangan citra dirinya
dan bertrnsformasi menjadi citra diri lain seperti apa yang orang lain sematkan.
Jika labeling digunakan sebagai instrumen yang benar dalam artian
bertujuan sebagai penjulukan yang bersifat pedagogi dan memotivasi maka
suatu indiviidu akan menjadi karakter yang mematuhi norma dan terhindar dari
perilkau kejahatan. Lagi-lagi di sini peran dari keluarga sebagai suatu kelompok
sosial yang utama atau primer dan masyarakat sebagai kelompok sosial yang
lebih luas dan bersifat sekunder menjadi penting sebagai pembangun perilaku
individu.
Pelabelan yang mengarah pada pembangkitan perilaku deviasi akan
ditekan oleh karena ikatan-ikatan sosial dengan keluarga dan masyarakat
merupakan hal yang lebih prioritas ketimbang melakukan deviasi dan
delinkuensi. Penekanan karena pelabelan yang bersifar postif akan membuat
paradigma dari seorang individu menihilkan potensi penyimpangan guna
mengamankan keharmonisan dengan keluarga dan masyarakat.
Teori anomie dan subkultur menurut penulis berangkat dari asumsi yang
sama atas suatu reaksi dari ketimpangan serta kesenjangan suatu sistem sosial
karena struktur sosialnya tidak mewadahi kesempatan serta sarana yang sama
untuk mencapai tujuan standar kelas atas, sehingga menimbulkan perilaku untuk
mencapai standar atau tujuan tersebut dengan jalan tidak sah.
Maka dari itu suatu individu mampu untuk tidak melakukan suatu
perilkau kejahatan atau melanggar norma jika suatu struktur sosial menghendaki
untuk tidak menciptakan suatu konsepsi standar kehidupan yang ideal, yang
sulit kelas bawah capai, atau memberikan kesempatan serta sarana yang sama
bagi kelas bawah untuk mampu menikmati kehidupan ideal dari kelas
menengah atau atas.
Jika suatu ketimpangan bisa tereduksi, maka untuk mewujudkan
masyarakat patuh hukum adalah dengan cara meleburkan struktur sosial ke
dalam suatu ikatan-ikatan sosial tanpa diskriminasi sehingga menumbuhkan
kesepakatan sosial bahwa pelanggaran pelanggaran yang dilakukan di suatu
masyarakat merupakan suatu reaksi yang abnormal. Ikatan yang dibangun
masyarakat juga menjadi faktor suatu individu melakukan penekanan atas suatu
upayanya untuk melakukan deviasi karena individu tersebut telah melekatkan
diri pada kesepakatan umum. Peran keluarga sebagai ranah paling dekat dengan
individu juga andil dalam menekan dan menghilangkan potensi deviasi dengan
menumbuhkan kesadaran-kesadaran bahwa perilaku delikuensi merupakan
pengingkaran terhadap moral manusia sebagai makhluk sosial.
Konsep dasar dari teori konflik adalah kekuasaan dan penggunannya.
Teori ini beranggapan bahwa konflik terjadi di antara kelompok-kelompok yang
mencoba menggunakan kontrol atas suatu situasi. Teori konflik mempunyai
asumsi bahwa siapa yang memiliki kekuasaan lebih tinggi dalam kelas sosial
akan memiliki powerful members pada masyarakat. Dengan kekuasaannya
tersebut mereka dapat mempengaruhi pembuatan keputusan, juga dapat
memaksakan nilai-nilai terhadap kelas sosial yang lebih rendah.
Jika menggunakan argumentum a contario terhadap teori tersebut, maka
orang tidak melakukan kejahatan, selain dari kesadaran moral yang diaktifkan
masyarakat serta keluarga agar untuk tidak melakukan deviasi juga karena
kesadaran untuk memandang bahwa kelas sosialnya memang tidak memiliki
kemampuan yang mumpuni untuk memegang dan menggunakan suatu
kekuasaan yang tinggi karena realitas sosial yang dan sepenuhnya kompetisi.
Sehingga memang ada suatu kelas sosial yang pantas untuk memegang peranan
dominan dalam kekuasaan dengan syarat bahwa kelas sosial yang rendah ini
dilibatkan dalam merumuskan atau ikut terlibat pada pelaksanaan atas suatu
kekuasaan dengan mekanisme yang adil.

Anda mungkin juga menyukai