Prinsip transfusin darah bagi anak dan remaja serupa dengan dewasatetapi neonatus dan bayi
mempunyainbanyak pertimbangan khusus. Maka untuk dapat menentukan kapan seorang anak
harus dilakukan transfusi dan berapa banyak jumlah darah atau komponen darah yang akan di
transfusikan maka disini akan di bahas mengenai persiapan, indikasi, prinsip transfusi komponen
darah dan darah lengkap sesuai umur anak dan komplikasi transfusi darah.
B. Definisi
1. Donor darah adalah proses pengambilan darah dari seseorang secara sukarela untuk disimpan di
bank darah untuk kemudian dipakai pada transfusi darah
2. Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang sehat (donor) ke orang
sakit (respien). Darah yang dipindahkan dapat berupa darah lengkap dan komponen darah.
3. Transfusi darah adalah suatu tindakan medis yang bertujuan mengganti kehilangan darah pasien
akibat kecelakaan, operasi pembedahan atau oleh karena suatu penyakit. Darah yang tersimpan
di dalam kantong darah dimasukan ke dalam tubuh melalui selang infus.
II. Indikasi
A. Indikasi
Transfusi darah diperlukan saat anda kehilangan banyak darah, misalnya pada :
1. Kecelakaan, trauma atau operasi pembedahan yang besar.
2. Penyakit yang menyebabkan terjadinya perdarahan misal maag khronis dan berdarah.
3. Penyakit yang menyebabkan kerusakan sel darah dalam jumlah besar, misal anemia hemolitik
atau trombositopenia.
4. Jika anda menderita penyakit pada sumsum tulang sehingga produksi sel darah terganggu
seperti pada penyakit anemia aplastik maka anda juga akan membutuhkan transfusi darah.
Beberapa penyakit seperti hemofilia yang menyebabkan gangguan produksi beberapa komponen
darah maka anda mungkin membutuhkan transfusi komponen darah tersebut.
B. Syarat menjadi pendonor
1. Umur 17 - 60 tahun
( Pada usia 17 tahun diperbolehkan menjadi donor bila mendapat ijin tertulis dari orangtua.
Sampai usia tahun donor masih dapat menyumbangkan darahnya dengan jarak penyumbangan 3
bulan atas pertimbangan dokter )
2. Berat badan minimum 45 kg
3. Temperatur tubuh : 36,6 - 37,5o C (oral)
4. Tekanan darah baik ,yaitu:
a. Sistole = 110 - 160 mm Hg
b. Diastole = 70 - 100 mm Hg
5. Denyut nadi; Teratur 50 - 100 kali/ menit
6. Hemoglobin
a. Wanita minimal = 12 gr %
b. Pria minimal = 12,5 gr %
7. Jumlah penyumbangan pertahun paling banyak 5 kali, dengan jarak penyumbangan sekurang-
kurangnya 3 bulan. Keadaan ini harus sesuai dengan keadaan umum donor.
C. Orang yang tidak boleh menjadi pendonor
1. Pernah menderita hepatitis B.
2. Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah kontak erat dengan penderita hepatitis.
3. Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah transfusi.
4. Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah tattoo/tindik telinga.
5. Dalam jangka waktu 72 jam sesudah operasi gigi.
6. Dalam jangka wktu 6 bulan sesudah operasi kecil.
7. Dalam jangka waktu 12 bulan sesudah operasi besar.
8. Dalam jangka waktu 24 jam sesudah vaksinasi polio, influenza, cholera, tetanus dipteria atau
profilaksis.
9. Dalam jangka waktu 2 minggu sesudah vaksinasi virus hidup parotitis epidemica, measles,
tetanus toxin.
10. Dalam jangka waktu 1 tahun sesudah injeksi terakhir imunisasi rabies therapeutic.
11. Dalam jangka waktu 1 minggu sesudah gejala alergi menghilang.
12. Dalam jangka waktu 1 tahun sesudah transpalantasi kulit.
13. Sedang hamil dan dalam jangka waktu 6 bulan sesudah persalinan.
14. Sedang menyusui.
15. Ketergantungan obat.
16. Alkoholisme akut dan kronik.
17. Sifilis.
18. Menderita tuberkulosa secara klinis.
19. Menderita epilepsi dan sering kejang.
20. Menderita penyakit kulit pada vena (pembuluh balik) yang akan ditusuk.
21. Mempunyai kecenderungan perdarahan atau penyakit darah, misalnya, defisiensi G6PD,
thalasemia, polibetemiavera.
22. Seseorang yang termasuk kelompok masyarakat yang mempunyai resiko tinggi untuk
mendapatkan HIV/AIDS (homoseks, morfinis, berganti-ganti pasangan seks, pemakai jarum
suntik tidak steril).
23. Pengidap HIV/ AIDS menurut hasil pemeriksaan pada saat donor darah.
D. Manfaat Donor Darah
1. Bagi Pendonor
a. Dapat memeriksakan kesehatan secara berkala 3 bulan sekali seperti tensi, Lab Uji Saring
(HIV, Hepatitis B, C, Sifilis dan Malaria).
b. Mendapatkan piagam penghargaan sesuai dengan jumlah menyumbang darahnya antara lain
10, 25, 50, 75, 100 kali.
c. Donor darah 100 kali mendapat penghargaan Satya Lencana Kebaktian Sosial dari Pemerintah.
d. Merupakan bagian dari ibadah.
e. Sarana amal kemanusiaan bagi yang sakit, kecelakaan, operasi dll (setetes darah merupakan
nyawa bagi mereka)
f. Pendonor yang secara teratur Mendonorkan Darah (setiap 3 Bulan) akan menurunkan Resiko
Terkena penyakit Jantung sebesar 30 % (British Journal Heart) seperti serangan jantung
Koroner dan Stroke.
g. Pemeriksaan ringan secara triwulanan meliputi Tensi darah, kebugaran (Hb), gangguan
kesehatan (hepatitis, gangguan dalam darah dll)
h. Mencegah stroke (Pria lebih rentan terkena stroke dibanding wanita karena wanita keluar darah
rutin lewat menstruasi kalau pria sarana terbaik lewat donor darah aktif)
2. Bagi Resipen
Sekantong darah yang didonorkan seringkali dapat menyelamatkan nyawa seseorang. Darah
adalah komponen tubuh yang berperan membawa nutrisi dan oksigen ke semua organ tubuh,
termasuk organ-organ vital seperti otak, jantung, paru-paru, ginjal, dan hati. Jika darah yang
beredar di dalam tubuh sangat sedikit oleh karena berbagai hal, maka organ-organ tersebut akan
kekurangan nutrisi dan oksigen.
Akibatnya, dalam waktu singkat terjadi kerusakan jaringan dan kegagalan fungsi organ, yang
berujung pada kematian. Untuk mencegah hal itu, dibutuhkan pasokan darah dari luar tubuh. Jika
darah dalam tubuh jumlahnya sudah memadai, maka kematian dapat dihindari.
E. Reaksi transfusi
Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan atas reaksi cepat dan lambat.
1. Reaksi akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah transfusi.
Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang
membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash.
Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan
adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri kepala. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam,
takikardia, kaku otot. Reaksi ringan diatasi dengan pemberian antipiretik, antihistamin atau
kortikosteroid, dan pemberian transfusi dengan tetesan diperlambat.
Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat
reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi
pirogen dan/atau bakteri.
Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri di sekitar
tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri kepala, dan dispnea. Terdapat pula
tanda-tanda kaku otot, demam, lemah, hipotensi (turun ≥20% tekanan darah sistolik), takikardia
(naik ≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini disebabkan oleh
hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan
gagal paru akut akibat transfusi.
a. Hemolisis intravaskular akut
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel darah
merah. Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel.
Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat
menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan
semakin meningkatkan risiko.
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan
dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung yang belum diberikan
label, kesalahan pemberian label pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas pasien
sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma pasien
melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari darah yang
ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy.
Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa menit awal transfusi,
kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika pasien tidak sadar atau dalam
anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol mungkin merupakan satu-satunya
tanda inkompatibilitas transfusi. Pengawasan pasien dilakukan sejak awal transfusi dari setiap
unit darah.
b. Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini dapat terjadi bila terlalu
banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi terlalu cepat, atau penurunan fungsi ginjal.
Kelebihan cairan terutama terjadi pada pasien dengan anemia kronik dan memiliki penyakit
dasar kardiovaskular.
c. Reaksi anafilaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam plasma merupakan salah satu
penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien tertentu. Selain itu, defisiensi IgA
dapat menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan produk darah yang
banyak mengandung IgA. Reaksi ini terjadi dalam beberapa menit awal transfusi dan ditandai
dengan syok (kolaps kardiovaskular), distress pernapasan dan tanpa demam. Anafilaksis dapat
berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan agresif dengan antihistamin dan adrenalin.
d. Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute lung injury = TRALI)
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung antibodi yang melawan
leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak awal transfusi,
dengan gambaran foto toraks kesuraman yang difus. Tidak ada terapi spesifik, namun diperlukan
bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.
2. Reaksi lambat
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan tanda demam,
anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa
disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan pemilihan sel darah kompatibel
dengan antibodi tersebut.
a. Purpura pasca transfuse
Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial membahayakan pada
transfusi sel darah merah atau trombosit. Hal ini disebabkan adanya antibodi langsung yang
melawan antigen spesifik trombosit pada resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala dan
tanda yang timbul adalah perdarahan dan adanya trombositopenia berat akut 5-10 hari setelah
transfusi yang biasanya terjadi bila hitung trombosit <100.000/uL. Penatalaksanaan penting
terutama bila hitung trombosit ≤50.000/uL dan perdarahan yang tidak terlihat dengan hitung
trombosit 20.000/uL. Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit yang kompatibel
dengan antibodi pasien.
b. Penyakit graft-versus-host
Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan. Biasanya terjadi pada pasien
imunodefisiensi, terutama pasien dengan transplantasi sumsum tulang; dan pasien
imunokompeten yang diberi transfusi dari individu yang memiliki tipe jaringan kompatibel
(HLA: human leucocyte antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah. Gejala dan tanda,
seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare, hepatitis, pansitopenia, biasanya timbul 10-12
hari setelah transfusi. Tidak ada terapi spesifik, terapi hanya bersifat suportif.
c. Kelebihan besi
Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu panjang akan mengalami
akumulasi besi dalam tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai dengan gagal organ (jantung
dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat
besi seperti desferioksamin, diberikan untuk meminimalkan akumulasi besi dan mempertahankan
kadar serum feritin <2.000 mg/l.
d. Infeksi
Infeksi yang berisiko terjadi akibat transfusi adalah Hepatitis B dan C, HIV, CMV, malaria,
sifilis, bruselosis, tripanosomiasis)
PENDAHULUAN
PERSIAPAN TRANSFUSI DARAH
Darah donor diambil dengan teknik antiseptik dan dimasukkan dalam kantong plastik khusus
yang mengandung anti koagulan. Anti koagulan yang sering digunakan adalah citrat phosfat
dextrose (CPD) dan adenin citrat phosfat dextrose (ACPD) yang dapat memperpanjang umur
penyimpanan darah.3,4 Saat ini semua darah dari donor baik yang akan dilakukan transfusi
langsung maupun yang akan disimpan di bank darah dilakukan pemeriksaan golongan darah
menurut sistem ABO dan Rhesus, tes pemeriksaan silang (cross match) dan pemeriksaan
penyaring untuk menyingkirkan sifilis, AIDS, dan Hepatitis B. Berikut ini akan dijelaskan
mengenai dasar dari mekanisme penggolongan darah dan pemeriksaan silang. 1,2
Sistem ABO
Dikenal dua antigen tipe A dan tipe B yang terdapat pada permukaan sel darah merah pada
sebagian besar populasi. Antigen-antigen inilah yang disebut aglutinogen yang menyebabkan
aglutinasi sel darah. Karena antigen-antigen ini diturunkan, maka seseorang dapat mempunyai
kedua, hanya satu atau tidak ada antigen tersebut di dalam sel darah merahnya.
Darah dari donor dan resipien diklasifikasikan dalam 4 tipe O-A-B utama tergantung pada ada
tidaknya kedua aglutinogen seperti tercantum pada tabel 1. Bila tidak terdapat aglutinogen A
ataupun B, golongan darahnya adalah O. Bila hanya terdapat aglutinogen A saja, maka golongan
darahnya A. Bila hanya terdapat aglutinogen B saja maka golongan darahnya B. Dan bila
terdapat kedua aglutinogen A dan B, golongan darahnya AB.
Dua gen manusia yang diturunkan dari kromosom yang berpasangan, akan menentukan
golongan darah ABO. Kedua gen ini bersifat alelomorfik yang dapat menjadi salah satu dari
golongan darah yang dihasilkan dan hanya mempunyai salah satu saja pada setiap kromosom
yaitu tipe O, tipe A, atau tipe B. Gen tipe O tidak berfungsi dalam sel sehingga menghasilkan
aglutinogen yang tidak khas dalam sel. Enam kemungkinan kombinasi gen ini yaitu OO, OA,
OB, AA, OB, BB, dan AB yang berfungsi sebagai genotip dan setiap orang merupakan salah
satu dari keenam genotip tersebut Dan tabel 1 dapat dilihat bahwa orang dengan genotip OOtidak
menghasilkan aglutinogen dan karena itu mempunyai golongan darahnya O. Orang dengan
genotip OA atau AA menghasilkan aglutinogen tipe A sehingga disebut golongan darahnya A.
Demikian juga yang mempunyai genotip OB dan BB menghasilkan golongan darah B, dan
genotip AB menghasilkan golongan darah AB.
Bila tidak terdapat aglutinogen tipe A dalam sel darah merah seseorang maka dalam
plasmanya akan terbentuk antibodi yang dikenal aglutinin anti A. Demikian pula bila tidak
terdapat aglutinogen tipe B didalam sel darah merah maka di dalam plasmanya terdapat aglutinin
anti B. Pada tabel 1 tampak bahwa orang dengan golongan darah O yang tidak mempunyai
aglutinogen mempunyai aglutinin anti A dan anti B. Golongan darah A mengandung aglutinogen
tipe A dan aglutinin tipe anti B. Golongan darah B mengandung aglutinogen tipe B dan aglutinin
anti A. Dan golongan darah AB yang mengandung kedua aglutinogen tipe A dan B tetapi tidak
mempunyai aglutinin sama sekali.
Bila darah dengan aglutinin plasma anti A dan anti B dicampur dengan set darah merah yang
mengandung aglutinogen Aatau.B, terjadilah aglutinasi sel darah merah. Mekanismenya adalah
aglutinin melekatkan diri pada sel darah merah pada dua tempat pengikatan untuk tipe IgM dan
10 tempat pengikatan untuk tipe IgM. Satu aglutinin dapat melekat pada dua atau lebih sel darah
merah yang berbeda pada waktu yang sama sehingga sel saling melekat satu sama lainnya.
Keadaan ini menyebabkan set menggumpal bersama-sama akibat proses aglutinasi.
Sistem Rhesus
Terdapat enam tipe antigen Rh yang telah dikenal, salah satunya disebut faktor Rh. Tipe¬-tipe
ini ditandai dengan C, D, E, c, d,.e. Orang yang memiliki antigen C tidak mempunyai antigen c,
tetapi setiap orang yang kehilangan antigen C selalu mempunyai antigen c. Demikian juga
terhadap antigen D-d, E-e. Setiap orang hanya mempunyai satu dari ketiga pasang antigen
tersebut. Antigen D dikatakan Rh positif.
Bila seorang dengan Rh negatif sebelumnya tidak pernah terpajan dengan darah Rh positif,
maka transfusi darah Rh positif ke tubuh orang tersebut tidak meyebabkan reaksi segera. Namun
pada beberapa orang terbentuk anti bodi anti Rh dalam jumlah yang cukup selama 2-4 minggu
berikutnya yang menimbulkan aglutinasi. Sel-sel ini kemudian mengalami hemolisis oleh sistem
makrofag jaringan. Jadi timbul reaksi transfusi lambat walaupun biasanya ringan. Pada transfusi
darah Rh positif selanjutnya pada orang yang sama, dimana ia telah mengalami imunisasi
terhadap faktor Rh, maka reaksi transfusi menjadi sangat kuat dan dapat menjadi berat seperti
reaksi transfusi sistem ABO.
Sebelum transfusi golongan darah pasien ditentukan, serum diperiksa untuk antibodi atipik,
dan sel darah merah dari setiap donor dites dengan serum pasien. Darah golongan :BO dan
rhesus D yang sama diseleksi. Sel darah donor yang dites dengan serum resipien dan aglutinasi
dideteksi secara visual atau mikroskopik setelah pencampuran dan inkubasi.
Pemeriksaan silang biasanya membutuhkan waktu selama satu jam. Bila darah dibutuhkan
mendesak, tes dapat dilakukan cepat dengan membatasi tes yang dilakukan dan memodifikasi
teknik tanpa mengurangi kepekaan tes tetapi akan mendeteksi semua ketidakcocokan utama
(gross incompatibilities). Transfusi darah yang tidak diperiksa silang pada keadaan darurat
membawa resiko besar dan harus dihindari. Bila situasi klinis sangat mendesak dan tidak
mempunyai waktu untuk penggolongan pasien maka golongan darah O Rhesus negatif dapat
segera ditransfusikan.
Sebagai bagian dari prosedur pemeriksan silang dilakukan pemeriksaan Coombs (Coombs
Test). Pemeriksaan yang dilakukan adalah yang tidak langsung. Pemeriksaan Coombs tidak
langsung ada 2 tahap. Tahap pertama menyangkut inkubasi sel darah merah yang dites dengan
serum. Pada tahap kedua sel darah merah dicuci bersih dengan air garam untuk mengeluarkan
globulin babas. Reagen anti human globulin (AHG) ditambahkan ke sel darah merah yang telah
dicuci dan bila ada aglutinasi menunjukkan tes positif. Aglutinasi dalam tes berarti di dalam
serum telah terbentuk anti bodi yang telah membungkus sel darah merah. Berbeda dengan test
Coombs langsung adalah pada test Coombs langsung reagen AHG langsung ditambahkan pada
sel darah yang sudah dicuci dan aglutinasi menunjukkan hasil positif. Test Coombs langsung
biasanya digunakan untuk penentuan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir.
Ada 3 macam keadaan klinis yang memerlukan transfusi darah yaitu:
1. Keadaan yang memerlukan pemeliharaan atau pemulihan sirkulasi volume darah untuk
mencegah timbulnya syok, seperti pemberian whole blood pada pendarahan akut akibat trauma,
perforasi pada typhoid fever, perdarahan akut pada ITP.
2. Keadaan klinis yang memerlukan penggantian komponen darah spesifik seperti plasma
protein atau elemen darah seperti eritrosit, leukosit atau trombosit akibat dari defisiensi
komponen-komponennya.
3. Keadaan klinis yang memerlukan pengeluaran substansi yang berbahaya bagi tubuh dengan
cara transfusi ganti, misalnya pengeluaran bilirubin pada bayi hiperbilirubinemia yang berat.
TRANSFUSI ERITROSIT
Eritrosit adalah komponen darah yang paling sering ditransfusikan dibandingkan komponen
darah yang lain. Eritrosit ini diberikan untuk meningkatkan kapasitas angkut oksigen darah dan
untuk mempertahankan oksigen jaringan yang cukup. Keuntungan transfusi sel darah merah
adalah tidak membebani sirkulasi, tidak memperberat fungsi ginjal, dan sedikit mengurangi
reaksi alergi karena tidak disertai pemberian plasma yang tinggi protein. Sediaan transfusi
eritrosit yang disediakan adalah packed red cell (eritrosit pekat) yang diperoleh dan pemisahan
plasma secara tertutup dengan hematokrit 70-80 %. Dari PRC dapat dibuat red cell suspension
dengan cara mencampur eritrosit pekat dengan cairan pelarut NaCl fisiologis dalam jumlah yang
sama, dan washed red cell (WRC) yang diperoleh dengan mencuci eritrosit pekat 2-3 kali dengan
NaCl fisiologis dalam jumlah yang sama. Sediaan ini aman bagi resipien yang alergi terhadap
plasma manusia, anemia hemolitik yang didapat, transfusi ganti, dan transfusi pada transplantasi
ginjal. Keuntungan yang lain dari transfusi eritrosit adalah hematokrit dapat diatur, memerlukan
volume yang kecil. Sedangkan kerugiannya adalah timbulnya infeksi sekunder pada saat proses
pembuatan dan masa simpan yang pendek yaitu 4-6 jam.
Pedoman untuk transfusi eritrosit pada anak dan remaja dapat dilihat pada tabel 2.
Transfusi harus diberikan lebih ketat pada anak karena kadar hemoglobin normal pada anak lebih
rendah dibanding dewasa, kecuali pada beberapa keadaan tertentu berhubungan dengan penyakit
kardiopulmonal yang mendasarinya akan mengganggu tubuh mengkompensasi kehilangan
eritrosit. Pada masa pre operatif misalnya, tidak perlu bagi anak untuk 8 g/dL yaitu suatu tingkat
yangmempertahankan hemoglobin (Hb) diinginkan pada orang dewasa. Demikian juga
pemberian eritrosit pasca operasi harus mempunyai alasan yang kuat karena anak mampu
memulihkan massa eritrositnya bila diberi terapi besi. Untuk anemia yang timbul perlahan-lahan,
pemberian transfusi eritrosit tidak selalu didasarkan atas pemeriksaan Hb karena anak dengan
anemia kronis mungkin tidak menampakkan gejala dengan Hb sangat rendah. Faktor lain yang
harus diperhatikan selain kadar Hb adalah gejala atau tanda dan kapasitas fungsional tubuh
penderita, dijumpai atau tidak penyakit kardiovaskuler dan susunan saraf pusat, penanganan
anemia, dan kemungkinan untuk diterapi dengan recombinant human eryhtropoietin (EPO) pada
anak dengan insufisiensi ginjal.
Pilihan produk eritrosit untuk anak dan remaja adalah suspensi standar yang dipisahkan dari
darah lengkap dengan pemusingan dan disimpan dalam anti koagulan pada nilai hematokrit kira-
kira 60 %. Dosis biasanya adalah 10-15 ml/ kg berat badan. Untuk neonatus produk pilihan
adalah konsentrat PRC ( hematokrit 70-90 %) yang ditransfusikan perlahan-lahan (2-4 jam)
dengan dosis 15 ml/kg berat badan. Sedangkan menurut hasil penelitian Rascher,1991 bahwa
pemberian transfusi PRC dengan kecepatan 3 m1/kg/jam tidak menyebabkan beban volume
akut.10 Satu 1 g/dL.unit PRC dapat menaikkan PCV ± 3-4 % atau Hb
Karena transfusi diberikan pada nilai hematokrit tinggi maka kecepatan transfusi harus rendah,
dan jenis antikoagulan yang dipakai adalah yang diyakini paling aman.1.11.12.13 Darah dari
donor yang ditambahkan anti koagulan AS-3 tidak menunjukkan reaksi transfusi yang nyata dan
pada pemeriksaan post tranfusi didapatkan nilai hematokrit, pH, natrium, kalium, kalsium, laktat
dan glukosa menunjukkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan pemakaian antikoagulan
ACPD.
TRANSFUSI TROMBOSIT
Pemberian transfusi trombosit diindikasikan untuk mencegah resiko pendarahan akibat
trombositopenia. Pedoman untuk dukungan trombosit pada anak, remaja dan bayi dapat dilihat
pada tabel 3. Transfusi trombosit harus diberikan pada penderita dengan trombosit di bawah 50.
000 /ml, jika ada perdarahan atau direncanakan untuk mengalami prosedur invasif. Penelitian
pada penderita trombositopenia dengan gagal sumsum tulang menunjukkan bahwa perdarahan
spontan meningkat tajam bila trombosit turun menjadt < 20.000 /ml. Atas dasar ini banyak
dokter anak menganjurkan transfusi profilaksis untuk mempertahankan trombosit > 20.000 /ml.
Pada kelainan-kelainan kualitatif trombosit misalnya pada penyakit hati lanjut, insufisiensi ginjal
dan setelah operasi pintas kardiopulmonal transfusi trombosit dibenarkan hanya jika perdarahan
nyata terjadi. Pada kasus ini waktu perdarahan lebih dari 2 kali dari nilai normal mungkin
diambil sebagai bukti diagnostik bahwa telah ada disfungsi trombosit.
Peran transfusi granulosit yang ditambahkan bersama antibiotika pada penderita neutropenia
berat (0.5 X 109 /L) yang disebabkan gagal sumsum tulang lama pada anak dengan dewasa. Pada
anak yang mengalami infeksi dengan kegagalan sumsum tulang yang berlangsung lama misalnya
pada neoplasma maligna yang resisten terhadap terapi, anemia aplastik, dan resipien
pencangkokan sumsum tulang akan memperoleh manfaat yang Iebih baik bila diberikan transfusi
granulosit bersama antibiotika. Transfusi granulosit juga digunakan pada sepsis dengan
netropenia berat yang tidak responsif terhadap antimikroba.12 Neonatus biasanya Iebih peka
terhadap infeksi bakteri berat namun pada sepsis yang fulminan dimana dijumpai neutropenia
relatif < 0.3 X 109 /L selama minggu pertama dan < 0,1 X 109 /L sesudahnya mempunyai resiko
besar meninggal bila hanya diterapi antibiotika. Dosis transfusi granulosit pada neonatus adalah
1-2 x 109 /kg berat badan tiap transfusi granulosit. Bayi dan anak yang Iebih besar harus
mendapat dosis total 1 x 1010 /kg berat badan tiap transfusi granulosit. Dosis yang dipilih untuk
remaja adalah 2-3 x 1010 /kg berat badan tiap transfusi granulosit. Transfusi granulosit harus
diberikan setiap hari sampai infeksi menyurut atau netrofil darah sampai 0,5 x109 /L.
TRANSFUSI PLASMA
Tujuan dari pemberian transfusi plasma ialah mempertahankan keseimbangan sistem
hemostatik dan yang juga penting ialah mengetahui kadar minimal faktor tersebut yang dapat
mencapai kadar hemostatik. Misalnya untuk mengontrol perdarahan sendi pada hemofilia A
diperlukan kadar F VIII plasma 30-40 U per dL. Kadar hemostatik minimal faktor Koagulasi
dalam plasma dapat dilihat pada tabel 5.3
(*) Khusus Fibrinogen, 10-20 ml dapat menaikkan kadar fibrinogen plasma 50-11 mg/dL
Dikutip dari Cable, 1981.
Kriopresipitat
Diperoleh dengan mencairkan plasma beku segar pada 40 C dan mengandung faktor VlII dan
fibrinogen pekat. Disimpan pada suhu -30 OC atau jika dicairkan (lyophylised) pada suhu 4-6
OC, dan digunakan sebagai terapi pengganti pada hemofili A dan Von Willebrand.12,8 Untuk
menentukan dosis transfusi dapat dilihat pada tabel 5.3
Albumin 25%
Sediaan yang dimurnikan dan harganya mahal sehingga tidak dianjurkan sebagai penambah
volume plasma walaupun manfaatnya tidak diragukan. Ini dapat digunakan pada
hipoalbuminemia berat dengan pembatasan kadar elektrolit. Indikasi terpenting pemakaian
albumin adalah pada pasien sindroma nefrotik dan kegagalan fungsi hati.1,2 Albumin ini selain
diproduksi oleh bank darah juga telah diproduksi secara komersial.
Reaksi hemolitik
Reaksi akibat bercampurnya darah yang mempunyai agglutinin plasma anti A dan anti B
dengan darah yang mengandung aglutinogen A atau B dan darah yang mempunyai Rh berbeda
sehingga menyebabkan sel menggumpal akibat proses aglutinasi. Diikuti penyimpangan fisik sel
dan serangan sel fagosit sehingga akan menghancurkan sel-sel darah merah yang teraglutinasi 4
Akibat penghancuran sel darah merah akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam plasma dan
bila hemoglobin bebas > 25 mg% dapat terjadi hemoglobinuria. Reaksi hemolitik ini terdiri dari
reaksi hemolitik akut dan reaksi hemolitik lambat.
Reaksi hemolitik akut terjadi segera pada waktu transfusi baru berlangsung. Lima puluh
mililiter darah dari golongan yang tidak cocok sudah dapat menimbulkan reaksi. Pada umumnya
disebabkan oleh ketidakcocokan sistem ABO, pemberian darah rhesus positif pada penderita
rhesus negatif yang mengandung anti D akibat transfusi sebelumnya. Gejala berupa rasa panas
sepanjang vena dimana infus dipasang, nyeri tertekan di dada, sakit kepala, muka merah,
pireksia, mual, muntah, dan ikterus.
Reaksi hemolitik lambat terjadi pada penderita yang sering mendapat transfusi. Reaksi timbul
beberapa jam atau beberapa hari sesudah transfusi dan biasanya pada labu ke 2 atau lebih.
Biasanya terjadi pada golongan darah O dengan titer anti A dan anti B yang tinggi kepada
golongan lain. Gejalanya sama dengan reaksi hemolitik akut.
Reaksi hemolitik dapat juga terjadi akibat pemberian transfusi darah yang lisis akibat
diberikan bersama larutan hipotonis misalnya dextrose 5%, transfusi darah yang, sudah lisis
akibat pemanasan mendadak dengan air panas melebihi temperatur tubuh atau tetesan terlalu
cepat serta dipompa dan atau terkontaminasi bakteri, transfusi darah yang sudah bengkak dan
hancur akibat disimpan pada suhu dibawah -4°C, dan transfusi darah pada penderita paroksismal
nokturnal hematuria (PNH) yang mengandung komponen aktif dalam plasma donor yang dapat
menyebabkan hemolisis.
Tindakan yang segera dilakukan adalah penghentian transfusi, atasi syok dengan posisi,
oksigenasi, vasopresor, dan infus bila ada tanda-tanda hipovolemia. Memaksa timbulnya diuresis
dengan infus manitol 20 % dan furosemid serta pemberian steroid. Lapor ke bank darah untuk
pengulangan pemeriksaan ulang golongan darah ABO, rhesus, dan cross match dari sisa darah.
Reaksi transfusi lainnya:
Reaksi alergi.
Disebabkan hipersensitivitas terhadap protein plasma donor. Gambaran klinis ada!ah urtikaria,
dan pada kasus berat dapat terjadi dispnea. udema fasial dan kaku. Pengobatan segera dengan
memberikan anti histamin dan hidrokortison. Pilihan terakhir adalah adrenalin. Bila yang
dibutuhkan komponen sel darah merah transfusi dapat dilanjutkan dengan WRC.
Reaksi febris
Terjadi karena set infus atau labu darah yang tidak bebas bahan pirogen sehingga
menimbulkan reaksi anti bodi terhadap leukosit dan trombosit. Gejala febris dapat disertai
menggigil, sakit kepala, nyeri seluruh tubuh, dan gelisah. Transfusi dihentikan dan dapat diberi
antipiretik. Bila yang dibutuhkan komponen sel darah merah transfusi dapat dilanjutkan dengan
WRC.
Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi bakteri dapat terjadi waktu pengambilan darah donor, karena darah terlalu lama
dalam suhu kamar atau tusukan kedalam labu darah. Gejala berupa panas tinggi, nyeri kepala,
menggigil, muntah, sakit perut, diare sampai syok yang terjadi pada waktu transfusi atau
beberapa saat setelahnya. Tindakan-tindakan yang segera harus dilakukan adalah menghentikan
transfusi darah, atasi syok, kompres es, dan pemberian antibiotika dosis tinggi.
RINGKASAN
Transfusi darah merupakan tindakan yang bertujuan menggantikan atau menambah komponen
darah yang hilang atau terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi sehingga akan
menyelamatkan kehidupan.
Pemberian komponen darah merupakan tindakan yang sangat rasional mengingat melalukan
transfusi darah lengkap berarti pemborosan karena komponen darah pada darah lengkap yang
tidak diperlukan dapat diberikan pada orang lain yang lebih membutuhkan. Pemberian
komponen darah juga dapat mengurangi atau mencegah meningkatnya beban volume sirkulasi.
Persiapan pra transfusi mutlak dilakukan untuk mencegah bahaya tranfusi yang timbul akibat
ketidak cocokan golongan darah donor dan resipien dan bahaya tertularnya penyakit.
Ada beberapa kepentingan khusus yang harus menjadi perhatian pada transfusi darah pada
anak, meliputi: anemia fisiologis, kemampuan jantung paru yang masih terbatas dan derajat
penyakit jantung parunya. Berat badan dan umur merupakan karakteristik tersendiri pada
transfusi darah pada anak.
Reaksi transfusi saat ini sudah jarang dijumpai mengingat kemampuan bank darah (PMI)
untuk melakukan skrening pratransfusi sudah baik. Namun kewaspadaan harus tetap
ditingkatkan terhadap kemungkinan terjadi hal-hal yang fatal akibat reaksi hemolitik, timbulnya
infeksi dan perubahan volume sistemik.
...
Pengertian ransfusi Darah
Transfusi Darah adalah pemindahan darah atau suatu komponen darah dari seseorang (donor)
kepada orang lain (resipien).
Tergantung kepada alasan dilakukannya transfusi, bisa diberikan darah lengkap atau komponen
darah (misalnya sel darah merah, trombosit, faktor pembekuan, plasma segar yang
dibekukan/bagian cairan dari darah atau sel darah putih).
Jika memungkinkan, akan lebih baik jika transfusi yang diberikan hanya terdiri dari komponen
darah yang diperlukan oleh resipien.
Memberikan komponen tertentu lebih aman dan tidak boros.
Teknik penyaringan darah sekarang ini sudah jauh lebih baik, sehingga transfusi lebih aman
dibandingkan sebelumnya.
Tetapi masih ditemukan adanya resiko untuk resipien, seperti reaksi alergi dan infeksi.
Meskipun kemungkinan terkena AIDS atau hepatitis melalui transfusi sudah kecil, tetapi harus tetap
waspada akan resiko ini dan sebaiknya transfusi hanya dilakukan jika tidak ada pilihan lain.
Ditanyakan apakah pernah atau sedang menderita keadaan tertentu yang menyebabkan darah
mereka tidak memenuhi syarat untuk disumbangkan.
Keadaan tersebut adalah hepatitis, penyakit jantung, kanker (kecuali bentuk tertentu misalnya
kanker kulit yang terlokalisasi), asma yang berat, malaria, kelainan perdarahan, AIDS dan
kemungkinan tercemar oleh virus AIDS.
Hepatitis, kehamilan, pembedahan mayor yang baru saja dijalani, tekanan darah tinggi yang tidak
terkendali, tekanan darah rendah, anemia atau pemakaian obat tertentu; untuk sementara waktu
bisa menyebabkan tidak terpenuhinya syarat untuk menyumbangkan darah.
Biasanya donor tidak diperbolehkan menyumbangkan darahnya lebih dari 1 kali setiap 2 bulan.
Sejumlah kecil contoh darah dari penyumbang diperiksa untuk mencari adanya penyakit infeksi
seperti AIDS, hepatitis virus dan sifilis.
Darah yang didinginkan dapat digunakan dalam waktu selama 42 hari.
Pada keadaan tertentu, (misalnya untuk mengawetkan golongan darah yang jarang), sel darah merah
bisa dibekukan dan disimpan sampai selama 10 tahun.
Karena transfusi darah yang tidak cocok dengan resipien dapat berbahaya, maka darah yang
disumbangkan, secara rutin digolongkan berdasarkan jenisnya; apakah golongan A, B, AB atau
O dan Rh-positif atau Rh-negatif.
Sebagai tindakan pencegahan berikutnya, sebelum memulai transfusi, pemeriksa mencampurkan
setetes darah donor dengan darah resipien untuk memastikan keduanya cocok: teknik ini
disebut cross-matching.
DARAH & KOMPONEN DARAH.
Seseorang yang membutuhkan sejumlah besar darah dalam waktu yang segera (misalnya karena
perdarahan hebat), bisa menerima darah lengkap untuk membantu memperbaiki volume cairan
dan sirkulasinya.
Darah lengkap juga bisa diberikan jika komponen darah yang diperlukan tidak dapat diberikan
secara terpisah.
Komponen darah yang paling sering ditransfusikan adalah packed red blood cells (PRC), yang bisa
memperbaiki kapasitas pengangkut oksigen dalam darah.
Komponen ini bisa diberikan kepada seseorang yang mengalami perdarahan atau
penderitaanemia berat.
Yang jauh lebih mahal daripada PRC adalah frozen-thawed red blood cells, yang biasanya
dicadangkan untuk transfusi golongan darah yang jarang.
Beberapa orang yang membutuhkan darah mengalami alergi terhadap darah donor.
Jika obat tidak dapat mencegah reaksi alergi ini, maka harus diberikan sel darah merah yang sudah
dicuci.
Jumlah trombosit yang terlalu sedikit (trombositopenia) bisa menyebabkan perdarahan spontan dan
hebat.
Transfusi trombosit bisa memperbaiki kemampuan pembekuan darah.
Faktor pembekuan darah adalah protein plasma yang secara normal bekerja dengan trombosit untuk
membantu membekunya darah.
Tanpa pembekuan, perdarahan karena suatu cedera tidak akan berhenti.
Faktor pembekuan darah yang pekat bisa diberikan kepada penderita kelainan perdarahan bawaan,
seperti hemofilia atau penyakit von Willebrand.
Meskipun jarang, sel darah putih ditransfusikan untuk mengobati infeksi yang mengancam nyawa
penderita yang jumlah sel darah putihnya sangat berkurang atau penderita yang sel darah
putihnya tidak berfungsi secara normal.
Pada keadaan ini biasanya digunakan antibiotik.
Antibodi (imunoglobulin), yang merupakan komponen darah untuk melawan penyakit, juga kadang
diberikan untuk membangun kekebalan pada orang-orang yang telah terpapar oleh penyakit
infeksi (misalnya cacar air atauhepatitis) atau pada orang yang kadar antibodinya rendah.
Pada transfusi tradisional, seorang donor menyumbangkan darah lengkap dan seorang resipien
menerimanya.
Tetapi konsep ini menjadi luas.
Tergantung kepada keadaan, resipien bisa hanya menerima sel dari darah, atau hanya menerima
faktor pembekuan atau hanya menerima beberapa komponen darah lainnya.
Transfusi dari komponen darah tertentu memungkinkan dilakukannya pengobatan yang khusus,
mengurangi resiko terjadinya efek samping dan bisa secara efisien menggunakan komponen
yang berbeda dari 1 unit darah untuk mengobati beberapa penderita.
Pada keadaan tertentu, resipien bisa menerima darah lengkapnya sendiri (transfusi autolog).
Aferesis.
Pada aferesis, seorang donor hanya memberikan komponen darah tertentu yang diperlukan oleh
resipien.
Jika resipien membutuhkan trombosit, darah lengkap diambil dari donor dan sebuah mesin akan
memisahkan darah menjadi komponen-komponennya, secara selektif memisahkan trombosit dan
mengembalikan sisa darah ke donor.
Karena sebagian besar darah kembali ke donor, maka donor dengan aman bisa memberikan
trombositnya sebanyak 8-10 kali dalam 1 kali prosedur ini.
Transfusi autolog.
Transfusi darah yang paling aman adalah dimana donor juga berlaku sebagai resipien, karena hal ini
menghilangkan resiko terjadi ketidakcocokan dan penyakit yang ditularkan melalui darah.
Kadang jika seorang pasien mengalami perdarahan atau menjalani pembedahan, darah bisa
dikumpulkan dan diberikan kembali.
Yang lebih sering terjadi adalah pasien menyumbangkan darah yang kemudian akan diberikan lagi
dalam suatu transfusi.
Misalnya sebulan sebelum dilakukannya pembedahan, pasien menyumbangkan beberapa unit
darahnya untuk ditransfusikan jika diperlukan selama atau sesudah pembedahan.
Anggota keluarga atau teman dapat menyumbangkan darahnya secara khusus satu sama lain, jika
golongan darah resipien dan darah donor serta faktor Rhnya cocok.
Pada beberapa resipien, dengan mengetahui donornya akan menimbulkan perasaan tenang,
meskipun darah dari anggota keluarga atau teman belum pasti lebih aman dibandingkan dengan
darah dari orang yang tidak dikenal.
Darah dari anggota keluarga diobati dengan penyinaran untuk mencegah penyakit graft-versus-host,
yang meskipun jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi jika terdapat hubungan darah diantara
donor dan resipien.
Untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya reaksi selama transfusi, dilakukan beberapa tindakan
pencegahan.
Setelah diperiksa ulang bahwa darah yang akan diberikan memang ditujukan untuk resipien yang
akan menerima darah tersebut, petugas secara perlahan memberikan darah kepada resipien,
biasanya selama 2 jam atau lebih untuk setiap unit darah.@mypotik
Karena sebagian besar reaksi ketidakcocokan terjadi dalam15 menit pertama, , maka pada awal
prosedur, resipien harus diawasi secara ketat.
Setelah itu, petugas dapat memeriksa setiap 30- 45 menit dan jika terjadi reaksi ketidakcocokan,
maka transfusi harus dihentikan.@mypotik
Sebagian besar transfusi adalah aman dan berhasil; tetapi reaksi ringan kadang bisa terjadi,
sedangkan reaksi yang berat dan fatal jarang terjadi.
Reaksi yang paling sering terjadi adalah demam dan reaksi alergi (hipersensitivitas), yang terjadi
sekitar 1-2% pada setiap transfusi.
Gejalanya berupa:
- gatal-gatal
- kemerahan
- pembengkakan
- pusing
- demam
- sakit kepala.
Gejala yang jarang terjadi adalah kesulitan pernafasan, bunyi mengi dan kejang otot.
Yang lebih jarang lagi adalah reaksi alergi yang cukup berat.
Kadang terjadi kesulitan bernafas, dada terasa sesak, kemerahan di wajah dan nyeri punggung yang
hebat.
Meskipun sangat jarang terjadi, reaksi ini bisa menjadi lebih hebat dan bahkan bisa berakibat fatal.
Untuk memperkuat dugaan terjadinya reaksi hemolitik ini, dilakukan pemeriksaan untuk melihat
apakah terdapat hemoglogin dalam darah dan air kemih penderita.