Anda di halaman 1dari 11

Strategi dan Upaya Pemberantasan dan Pencegahan

Korupsi
A. Latar Belakang Masalah

Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma
sampai abad pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara,
tak terkecuali di negara-negara maju sekalipun. Di negara Amerika Serikat sendiri
yang sudah begitu maju masih ada praktek-praktek korupsi. Sebaliknya, pada
masyarakat yang primitif dimana ikatan-ikatan sosial masih sangat kuat dan kontrol
sosial yang efektif, korupsi relatif jarang terjadi.

Dengan semakin berkembangnya sektor ekonomi dan politik serta semakin


majunya usaha-usaha pembangunan dengan pembukaan-pembukaan sumber daya
alam yang baru, maka semakin kuat dorongan individu terutama di kalangan pegawai
negeri untuk melakukan praktek korupsi dan usaha-usaha penggelapan.
Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan
yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif lambat, sehingga setiap orang
atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalan-
imbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok).

Meningkatnya tindak pidana korupsi baik dari segi kualitas maupun kuantitas
yang begitu rapi telah menyebabkan terpuruknya perekonomian Indonesia. Korupsi di
Indonesia bagaikan gurita. Penyimpangan ini bukan saja merasuki kawasan yang
sudah dipersepsi publik sebagai sarang korupsi, tapi juga menyusuri lorong-lorong
instansi yang tak terbayangkan sebelumnya bahwa ada korupsi.

Satu persatu skandal keuangan di berbagai instansi terbongkar. Mahkamah


Konstitusi (MK) yang dipenuhi akademisi, pakar hukum dan guru besar pun tak steril
dari wabah korupsi, bahkan Kementerian Agama yang notabenenya adalah orang-
orang yang tahu tentang ilmu agama juga tidak lepas dari praktek-praktek korupsi.
Belum lagi praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh anggota legislatif, Gubernur,
Walikota/Bupati, dan kepolisian.

Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik,


terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Akan tetapi walau
bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat merusak kepemerintahan.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh transparency.org, sebuah badan
independen, dari 146 negara, tercatat bahwa Indonesia menduduki posisi ke-5 sebagai
negara terkorup di dunia pada tahun 2013. Ini membuktikan bahwa Indonesia telah
mencetak sebuah prestasi yang luar biasa yang dapat memancing respon negatif dari
berbagai negara. Namun nampaknya respon negatif tidak datang dari luar saja,tetapi
masyarakat dalam negeri juga akan melakukan hal yang sama. Bagaimana tidak,
pemimpin yang selama ini mereka beri kepercayaan malah memanfaatkan kekuasaan
demi meraih kekayaan. Berbagai upaya yang selama ini di terapkan tidak mampu
menanggulangi tindakan korupsi.

Terlalu banyaknya praktek korupsi yang telah terjadi di negara kita, mau tidak
mau kita sebagai warga Negara Indonesia tentu harus mengetahui apa yang dimaksud
dengan korupsi, hal-hal yang menyebabkan terjadinya korupsi dan bagaimana cara
atau strategi yang dapat digunakan untuk memberantas atau menghilangkannya.

B. Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin coruptio dan corruptus yang berarti kerusakan
atau kebobrokan.. Dalam bahasa Yunani corruptio perbuatan yang tidak baik, buruk,
curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-
norma agama, materil, mental, dan umum.

Webster’s Third New International Dectionary (1961) memberi definisi


tentang korupsi sebagai “perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad
buruk (seperti suap) agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya”. Lalu suap
(sogokan) diberi definisi sebagai “hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan
yang dianugerahkan atau dijanjikan, dengan tujuan merusak pertimbangan atau
tingkah laku, terutama dari seorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat
pemerintah).”

Korupsi juga mencakup nepotisme atau sifat suka memberi jabatan kepada
kerabat dan famili saja, serta penggelapan uang negara. Dalam kedua hal ini terdapat
“perangsang dengan pertimbangan tidak wajar.” Jadi korupsi, sekalipun khusus terkait
dengan penyuapan dan penyogokan, adalah istilah umum yang mencakup
penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan demi mengejar keuntungan
pribadi, keluarga dan kelompok.

Korupsi berdasarkan pemahaman pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka
tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan
atau sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan
keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.

Berdasarkan latar belakang sejarahnya, pengertian korupsi itu sangat berkaitan


erat dengan sistem kekuasaan dan pemerintahan di zaman dulu maupun di zaman
modern ini. Adapun pengertian korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan pertama kali
dipopulerkan oleh E. John Emerich Edwards Dalberg Acton, yang mengatakan: “The
Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (Kekuasaan
cenderung korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan mengakibatkan korupsi yang
berlebihan pula).

Korupsi, secara teori bisa muncul dengan berbagai macam bentuk. Dalam kasus
di Indonesia, korupsi menjadi terminology yang akrab bersamaan dengan kata kolusi
dan nepotisme. Dua kata terakhir dianggap sangat lekat dengan korupsi yang
kemudian dinyatakan sebagai perusak perekonomian bangsa.

Pelaku korupsi disebut koruptor. Koruptor sendiri dibagi dua, pertama


koruptor yang berbuat korupsi karena dipikat oleh orang lain agar melakukannya;
kedua, koruptor yang berbuat korupsi dan memikat orang lain agar bersama-sama
dengannya melakukan korupsi. Nampaknya koruptor kategori yang kedua ini yang
lebih rusak daripada koruptor yang pertama.

C. Jenis Tindak Pidana Korupsi

Adapun beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:

1. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);


2. Penggelapan dalam jabatan;
3. Pemerasan dalam jabatan;
4. Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
5. Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara). 

Bentuk- bentuk Korupsi antara lain :

1. Penyuapan 

Penyuapan merupakan sebuah perbuatan kriminal yang melibatkan sejumlah


pemberian kepada seorang dengan sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan
tugas dan tanggungjawabnya. Sesuatu yang diberikan sebagai suap tidak harus berupa
uang, tapi bisa berupa barang berharga, rujukan hak-hak istimewa, keuntungan
ataupun janji tindakan, suara atau pengaruh seseorang dalam sebuah jabatan public.

2. Penggelapan (embezzlement) dan pemalsuan atau penggelembungan


(froud).

Penggelapan merupakan suatu bentuk korupsi yang melibatkan pencurian uang,


properti, atau barang berharga. Oleh seseorang yang diberi amanat untuk menjaga dan
mengurus uang, properti atau barang berharga tersebut. Penggelembungan menyatu
kepada praktik penggunaan informasi agar mau mengalihkan harta atau barang secara
suka rela.
3. Pemerasan (Extorion)

Pemerasan berarti penggunaan ancaman kekerasan atau penampilan informasi


yang menghancurkan guna membujuk seseorang agar mau bekerjasama. Dalam hal ini
pemangku jabatan dapat menjadi pemeras atau korban pemerasan.

4. Nepotisme (nepotism)

Kata nepotisme berasal dari kata Latin “nepos” yang berarti “nephew”
(keponakan). Nepotisme berarti memilih keluarga atau teman dekat berdasarkan
pertimbagan hubunga, bukan karena kemamuannya.

D. Penyebab Terjadinya Korupsi

Faktor lain yang ikut menyebabkan terjadinya korupsi adalah


pemerintahan Kolonial. Karena korupsi terhadap pemerintahan Kolonial
dianggap sebagai patriotik karena merupakan bentuk perlawanan terhadap
penjajah. Contoh di India, semasa penjajahan Inggris, menipu pemerintah
umumnya dianggap perbuatan patriotik. Mencopoti bola lampu dan perlangkapan
lain di kereta api, melindungi para pelnggar hukum dari tangkapan polisi, semua
itu dianggap sebagai perbuatan yang bertujuan agar pemerintahan Kolonial tidak
merampas uang rakyat India. Setelah kemerdekaan pada tahun 1947, kebiasaan
bersikap tidak jujur kepada pemerintah terus berlanjut.

Sebab-sebab korupsi lainnya ialah bertambahnya jumlah pegawai negeri


dengan cepat, dengan akibat gaji mereka menjadi sangat kurang. Hal itu
selanjutnya mengakibatkan perlunya pendapatan tambahan. (Wertheim, 1970).
Pengaruh koruptif masa perang, bertambahnya jumlah pegawai negeri dengan
cepat, bertambah luasnya kekuasaan dan kesempatan birokrasi dibarengi dengan
lemahnya pengawasan dari atas dan pengaruh partai-partai politik menjadikan
lahan subur bagi korupsi. Terhadap birokrasi yang rapuh itulah dunia usaha dan
industri memperkenalkan metode “semir” (pelicin). Padahal birokrasi itu sendiri
sudah lama mengidap penyakit “semir”, apalagi ditambah rangsangan sari faktor
luar, maka semakin marak saja praktik korupsi berlangsung.

Korupsi juga bisa disebabkan oleh sistem birokrasi patrimonial. Menurut


Max Weber (1968), kelemahan jabatan patrimonial adalah terutama tidak
mengenal perbedaan birokrasi antara lingkup “pribadi” dan lingkup “dinas”. Juga
pelaksanaan pemerintahan dianggap sebagai urusan pribadi sang penguasa.
Dengan demikian tingkah laku kekuasaannya sama sekali bebas, tidak dibatasi
campur tangan tradisi suci yang kukuh. Dalam masalah-masalah politik, hak
penguasa menghilangkan batas yurisdiksi para pejabat. Batas-batas di antara
berbagai fungsi jabatan sangat tipis. Menurut Weber, hal itu merupakan
gambaran kekanak-kanakan orang Asia. Sedang dalam birokrasi modern, di
Barat, pejabat mempunyai lingkup yurisdiksi, suatu jenis kegiatan yang teratur,
dan seperangkat peraturan yang menata kegiatan birokrasi. Termasuk pula di
dalamnya penggunaan file dan catatan-catatan secara teratur.

Korupsi juga sering terjadi karena sikap solidaritas kekeluargaan dan


kebiasaan saling memberi hadiah. Pemberian hadiah di kalangan birokrasi
bahkan telah melembaga, meskipun pada awalnya tidak dimaksudkan untuk
mempengaruhi keputusan. Menurut penelitian Alatas (1987:132), bahwa korupsi
bagaikan benalu yang merayap ke segenap lingkungan yang cocok untuk tumbuh,
dan lingkungan yang paling subur untuk tempat tumbuhnya benalu itu adalah
lembaga hadiah. Memang ada yang mengatakan bahwa hadiah dan suap itu
berbeda seperti halnya perkawinan dan pelacuran. Meskipun secara lahiriah
beberapa perilaku tertentu dari perkawinan dan pelacuran itu sama, tetapi secara
fenomenologis keduanya berbeda. Tetapi faktor hadiah diakui oleh banyak
penulis, bisa menjerumuskan pelakunya kepada korupsi.

Korupsi juga terjadi karena lemahnya disiplin pemerintah dalam


mengendalikan kekuasaan negara, yang menurut Gunnar Myrdal (1968), seperti
dikutip Alatas (1987:126), disebut sebagai negara yang lembek. Negara yang
lembek ialah negara yang tidak memiliki disiplin sosial, di mana pemerintah
menuntut sangat sedikit kepada warga negaranya, dan sedikit kewajiban yang
tidak dilakukan secara memadai pula. Weber mengaitkan negara yang lembek
dengan otak yang lembek. Otak yang lembek adalah otak yang kesadaran etisnya
lemah, yang tidak berkemampuan memberlakukan sanksi etis, dan yang tidak
mampu membedakan urusan pemerintahan dengan urusan pribadi. Mereka yang
mengelola negara dengan lembek pastilah orang yang berotak lembek, seperti
halnya orang-orang yang korup pastilah berpikir korupsi.

Korupsi terjadi karena kerakusan, kekejaman dan nafsu mengeruk


keuntungan para penguasa yang mengenggam kekuasaan untuk jangka waktu
yang lama. Jadi dalam hal ini korupsi lebih disebabkan faktor kepribadian
pemimpin. Tetapi faktor sosial, seperti pranata budaya, kemiskinan, penderitaan
yang luar biasa, perubahan politik besar-besaran, peperangan, sistem hukum yang
tidak sempurna; pengaruh yang berasal dari luar diri individu, semuanya bisa
menjadi sebab-sebab terjadinya korupsi.

Menurut Alatas (1986:46), penyebab-penyebab korupsi khususnya di


Indonesia, bisa diidentifikasi sebagai berikut:

1) Ketiadaan atau kelemahan pemimpin dalam posisi-posisi kunci


yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku
yang menjinakkan korupsi.
2) Kelemahan pengamalan ajaran-ajaran agama dan etika.
3) Akibat kolonialisme atau suatu pengaruh pemerintahan asing
tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan
untuk membendung korupsi.
4) Kurang dan lemahnya pengaruh pendidikan.
5) Kemiskinan yang bersifat struktural.
6) Sanksi hukum yang lemah.
7) Kurang dan terbatasnya lingkungan anti korupsi.
8) Struktur pemerintahan yang lunak.
9) Perubahan radikal sehingga terganggunya kestabilan mental dan
korupsi muncul sebagai penyakit tradisional.
10) Kondisi masyarakat, karena korupsi dalam suatu birokrasi bisa
memberikan cerminan keadaan masyarakat secara keseluruhan.
 
Dari beberapa faktor penyebab korupsi yang telah diuraikan, secara garis
besar dapat diklasifikasi menjadi 3 faktor saja yaitu :
a. Faktor Politik
Faktor politik sebagai penyebab korupsi telah banyak terjadi di berbagai
negara. Para penguasa adalah pihak yang paling memiliki kesempatan untuk
melakukan korupsi dengan kekuasaannya. ”Power tends to corrupt, but absolute
power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung korupsi, tetapi kekuasaan yang
berlebihan mengakibatkan korupsi berlebihan pula” (Lord Acton, 1834-1902).

b. Faktor Yuridis
Faktor yuridis di sini ialah lemahnya sanksi hukum terhadap tindak
pidana korupsi. Dalam hal ini ada dua aspek: (a) peranan hakim dalam
menjatuhkan putusan; (b) sanksi yang memang lemah berdasarkan bunyi pasal-
pasal dan ayat-ayat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi. (Lihat: UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas
UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

c. Faktor Budaya
Sebagaiamana telah dijelaskan, bahwa budaya korupsi merupakan
warisan budaya kolonial, dan ketika pemerintahan kolonial sudah berakhir
praktik korupsi masih terus berjalan. Termasuk dalam kategori ini adalah adanya
praktik pemberian hadiah yang sudah melembaga, budaya pemerintahan
patrimonial yang menganggap bahwa kekuasaan adalah miliknya, budaya
nepotisme yaitu mengakomodasi kepentingan keluarga dalam pemerintahan
secara tidak wajar, dan sebagainya.

E. Strategi dan Upaya Pemberantasan Korupsi


 
Dalam pengantar Penjelasan atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang
Komisi PemberantasanTindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa tindak pidana
korupsi di Indonesia sudah meluas di masyarakat. Perkembangannya terus
meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah
kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang
dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat.

Penegakan hukum untuk memberantas korupsi yang dilakukan secara


konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu
diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan
suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas
dari kekuasaan manapun dalam pelaksanaannya dilakukan secara optimal,
insentif, efektif, profesional serta berkesinambungan.

Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia


telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak
pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, antara lain dalam :
1. TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Berwibawa dan Bebas KKN,
2. UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20 tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
3. Untuk mencegah terjadinya korupsi besar-besaran, bagi pejabat yang
menduduki jabatan yang rawan korupsi seperti bidang pelayanan
masyarakat, pendapatan negara, penegak hukum, dan pembuat
kebijaksanaan harus didaftar kekayaannya sebelum menjabat
jabatannya sehingga mudah diperiksa pertambahan kekayaannya
dibandingkan dengan pendapatannya yang resmi.
Hamzah (2005:249) menyarankan penerapan strategi pemberantasan
korupsi di Indonesia dengan ”Prevention”, yaitu pencerahan untuk pencegahan,
sedangkan pada sisi kanan dan kiri masing-masing ”Publik Education”, yaitu
pendidikan masyarakat untuk menjauhi korupsi dan ”Punishment”, yaitu
pemidanaan atas pelanggaran tindak pidana korupsi.
Adapun tiga strategi pemberantasan korupsi antara lain:
1. Strategi represif
Strategi ini dengan menindak pelaku tindak pidana korupsi
dimana seseorang diadukan,diselidiki,disidik,dituntut dan
dieksekusi.
2. Strategi perbaikan sistem
Strategi ini untuk memperbaiki peraturan perundangan yang
berlaku, memperbaiki cara kerja birokrasi menjadi simpel dan
efisien, menciptakan lingkungan kerja yang anti korupsi dan
reformasi birokrasi,memisahkan secara tegas kepemilikan negara
dan kepemilikan pribadi serta menegakkan etika profesi dan tata
tertib lembaga dengan pemberian sanksi secara tegas.
3. Strategi edukasi dan kampanye

F. Upaya Pencegahan Anti Korupsi Bisa Dilakukan Sejak Dini, dengan


cara:
1. Penanaman kejujuran sejak dini
2. Kedisiplinan dan taat pada hukum yang berlaku
3. Kesadaran mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi
4. Penerapan pajak kekayaan yang tinggi
5. Hidup sederhana dan bersyukur

G. Solusi Menanggulangi Korupsi


Solusi untuk menanggulangi korupsi juga dapat dilihat dari dua sisi yaitu :
1. Preventif
Upaya ini bersifat mencegah agar jangan sampai terjadi korupsi atau
untuk meminimalkan penyebab korupsi.
upaya preventif yang dapat dilakukan yaitu :
1) Keteladanan orang tua dalam  keluarga (tidak melakukan korupsi).
2) Penerapan pendidikan anti korupsi dalam pendidikan karakter disekolah
dan mata kuliah  Korupsi Perguruan Tinggi.
3) Siraman Rohani oleh tokoh agama mengenai Korupsi. Para tokoh agama
dalam khotbah ibadah kepada umatnya menjelaskan bahwa korupsi
adalah dosa  dan hukuman berat.
4) Sosialisasi mengenai korupsi dimedia massa maupun media sosial
(internet).
5) Membuat sistem kontrol korupsi dan SOP yang jelas  di perusahaan
swasta dan instansi pemerintah (birokrat).
6) Penerapan budaya  malu  bila korupsi.
7) Keteladanan Pemimpin, tokoh masyarakat  dan wakil rakyat.
8) Menerapkan  sistem renumerasi yang layak di perusahaan swasta dan
instansi pemerintah.
9) Menerapkan Transparansi dan Akuntabilitas laporan keuangan sektor
pemerintah.
10) Usaha preventif lainnya dengan melakukan perencanaan dan monitoring
secara terus menerus. 
2. Represif
Upaya ini bersifat menekan, menahan atau mengekang korupsi.
Usaha Represif ini merupakan strategi yang diarahkan agar setiap korupsi
yang diindentifikasi dapat diperiksa dan disidik secara tepat dan akurat
sehingga diketahui duduk persoalan sebenarnya, untuk memudian
diberikan sanksi yang tepat dengan mengikuti prosedur yang berlaku.
      Upaya Represif  yang dapat dilakukan yaitu :
1) Memberitakan dan menayangkan wajah koruptor dimedia massa, media
elektronik maupun media sosial (internet)
2) Mendorong partisipasi masyarakat pada gerakan anti korupsi.
3) Penegakan hukum yang tegas dengan menjatuhkan sanksi (hukuman)
yang berat kepada koruptor.
4) Kerjasama aktif antara LSM, para penggiat anti korupsi dan civil society
dengan KPK dalam memerangi korupsi
5) Memberikan kesempatan KPK untuk bekerja Independen dibawah
pengawasan masyarakat.
6) Penerapan aturan larangan menerima hadiah, grafitikasi, suap dan
pemerasan.
7) Pelaporan terhadap kekayaan pejabat.
8) Memberikan reward (award) bagi pelapor tindak korupsi  dan penggiat 
anti korupsi

 
Kesimpulan
1. Korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruption yang berarti suatu perbuatan
busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari
kesucian, dan kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
2. Jenis Tindak Pidana Korupsi di antaranya:Memberi atau menerima hadiah atau
janji (penyuapan),Penggelapan dalam jabatan, Pemerasan dalam jabatan, Ikut serta
dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara),Menerima
gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara). 
3. Penyebab terjadinya korupsi antara lain ialah bertambahnya jumlah pegawai
negeri dengan cepat, dengan akibat gaji mereka menjadi sangat kurang. Hal itu
selanjutnya mengakibatkan perlunya pendapatan tambahan. Pengaruh koruptif
masa perang, bertambahnya jumlah pegawai negeri dengan cepat, bertambah
luasnya kekuasaan dan kesempatan birokrasi dibarengi dengan lemahnya
pengawasan dari atas dan pengaruh partai-partai politik menjadikan lahan subur
bagi korupsi. Korupsi juga bisa disebabkan oleh sistem birokrasi patrimonial.
Kelemahan jabatan patrimonial adalah terutama tidak mengenal perbedaan
birokrasi antara lingkup “pribadi” dan lingkup “dinas”. Juga pelaksanaan
pemerintahan dianggap sebagai urusan pribadi sang penguasa.
4. Strategi dan upaya pemberantasan korupsi antara lain : strategi represif, strategi
perbaikan sistem, strategi edukasi dan kampanye.
5. Upaya pencegahan anti korupsi bisa dilakukan sejak dini, dengan cara:
Penanaman kejujuran sejak dini, Kedisiplinan dan taat pada hukum yang berlaku,
Kesadaran mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi,
Penerapan pajak kekayaan yang tinggi,Hidup sederhana dan bersyukur.
6. Solusi menanggulangi korupsi dilihat dari dua sisi antara lain: secara preventif dan
secara represif.
DAFTAR PUSTAKA
 

Alatas, Syed Hussein. 1990. Corruption : Its Nature, Causes and Consequences,
aldershot, Brookfield, Vt: Avebury.

Hamzah, Jur Andi. 2006. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

 Mcwalters, Ian. 2006. Memerangi Korupsi, Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia. Jawa
Pos Group, Surabaya.

 Makalah Menteri Dalam Negeri RI Dalam Pengarahan Rakor Peningkatan


Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 2002. Denpasar.

 Makalah Markas Besar Kepolisian RI. Upaya Peningkatan Pemberantasan Korupsi,


Kolusi dan Nepotisme. 2002.

 UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 http://bdkbanjarmasin.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=147

Anda mungkin juga menyukai