Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Keselamatan, Keamanan dan Kesehatan Kerja

1. Keselamatan, Keamanan dan Kesehatan Kerja

a. Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keselamatan kerja merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk

mengurangi terjadinya kecelakaan, kerusakan dan segala bentuk

kerugian yang dapat berdampak terhadap manusia maupun peralatan,

objek kerja, tempat kerja dan lingkungan kerja secara langsung dan

tidak langsung (Kemenkes, 2015).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan perhatian dan

perlindungan yang diberikan perusahaan kepada seluruh karyawannya.

Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan alat

kerja, bahan dan proses pengolahannya, tempat kerja, dan

lingkungannya, serta cara-cara karyawan dalam melakukan

pekerjaannya (Sutrisno, 2016).

Keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk

menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan

yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. (Suma’mur, 2011).

Keselamatan, Keamanan, dan Kesehatan Kerja difilosofikan

sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan

kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada


khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya

menuju masyarakat makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian

secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya

dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan

penyakit akibat kerja.

Keselamatan, Keamanan, dan Kesehatan Kerja (K3) tidak dapat

dipisahkan dengan proses produksi baik jasa maupun industri.

Perkembangan pembangunan setelah Indonesia merdeka menimbulkan

konsekwensi meningkatkan intensitas kerja yang mengakibatkan pula

meningkatnya resiko kecelakaan di lingkungan kerja.

Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang

lebih tinggi dalam mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka

ragam bentuk maupun jenis kecelakaannya. Sejalan dengan itu,

perkembangan pembangunan yang dilaksanakan tersebut maka

disusunlah UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok mengenai

tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU

No.12 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.

Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap

pekerja atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan

atas Keselamatan, Keamanan, dan Kesehatan Kerja, moral dan

kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta

nilai-nilai agama.
Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka

dikeluarkanlah peraturan perundangan-undangan di bidang

Keselamatan, Keamanan, dan Kesehatan Kerja sebagai pengganti

peraturan sebelumnya yaitu Veiligheids Reglement, STBl No.406

tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai menghadapi kemajuan

dan perkembangan yang ada.

Peraturan tersebut adalah Undang-undang No.1 tahun 1970

tentang keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala

lingkungan kerja, baik di darat, didalam tanah, permukaan air, di dalam

air maupun udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum

Republik Indonesia.

Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-syarat

keselamatan kerja dimulai dari perencanaan, pembuatan,

pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian,

penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk

tekhnis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan

bahaya kecelakaan.

Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pada

pelaksaannya masih banyak kekurangan dan kelemahannya karena

terbatasnya personil pengawasan, sumber daya manusia K3 serta

sarana yang ada. Oleh karena itu, masih diperlukan upaya untuk

memberdayakan lembaga-lembaga K3 yang ada di masyarakat,

meningkatkan sosialisasi dan kerjasama dengan mitra sosial guna


membantu pelaksanaan pengawasan norma K3 agar terjalan dengan

baik.

b. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi K3

Menurut Cecep & Mitha (2015), bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi K3 adalah:

1) Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja adalah setiap ruangan atau lapangan, terbuka

atau tertutup, bergerak atau tetap, tempat orang bekerja atau

melakukan aktivitas kerja yang sering dimasuki tenaga kerja untuk

keperluan suatu usaha yang mengandung berbagai sumber bahaya.

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan

Kerja pasal 21 telah menjamin perlindungan dan keselamatan dan

kesehatan kerja terhadap karyawan disuatu tempat kerja dengan

memberi hak dan kewajiban.

2) Peralatan yang digunakan

Mesin dan peralatan kerja yang dipergunakan dapat

berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap

kemungkinan timbulnya kasus kecelakaan kerja. Sehubungan

dengan ini, sangat penting untuk memperhatikan mesin dan alat

kerja yang digunakan, yaitu kondisi perlindungan atau penanganan

mesin-mesin dan perkakas, serta kondisi alat-alat kerja.

3) Bahan yang digunakan


Sangat penting utnuk memperhatikan bahan-bahan yang

digunakan, misalnya penggunaan bahan-bahan kimia. Bahan-bahan

yang dipergunakan dapat menimbulkan Hazard yang pada

akhirnya dapat menimbulkan penyakit akibat kerja dan kecelakaan

kerja. Hazard merupakan satu kesatuan kombinasi dari tiga

variabel yang terdiri frekuensi (frequency), lama waktu (duration),

dan keparahan dampak (severity) yang ditimbulkan akibat

pemajanan terhadap suatu substansi atau energi. Hazard adalah

sesuatu dapat berupa bahan beracun, ceceran larutan kimia di

lantai, bakteri patogen. Sedangkan magnitude suatu Hazard sangat

ditentukan oleh dua faktor yaitu karakter atau sifat dan jumlahnya/

banyaknya Hazard tersebut.

4) Keadaan dan kondisi tenaga kerja

Kondisi tenaga kerja berhubungan dengan tingkat

produktivitas. Tenaga kerja yang kondisi fisiknya kurang sehat atau

sering sakit cenderung berakibat menurunnya semangat kerja,

kondisi seperti ini merupakan peluang terjadinya kecelakaan kerja,

yang akhirnya menganggu kegiatan di tempat kerja. Usaha

pencegahan terhadap kondisi yang dapat menyebabkan penyakit

akibat kerja dan kecelakaan kerja harus selalu diupayakan. Adapun

keadaan tenaga kerja yang perlu diatur antara lain : kondisi mental

dan fisik, kebiasaan yang baik dan aman, serta pemakaian alat

pelindung diri.
5) Metode kerja

Metode kerja sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan cara

kerja yang benar. Pengalaman dan cara kerja yang benar harus

memperhatikan beberapa aspek antara lain peralatan, posisi kerja,

dan penggunaan peralatan. Hampir 25% kecelakaan yang diderita

oleh tenaga kerja disebabkan dalam penanganan material.

Beberapa keluhan seperti hernia, keseleo, ketegangan, luka-luka

disebabkan oleh cara kerja atau mengangkat dan membawa yang

kurang benar.

c. Unsur dan Prinsip Keselamatan, Keamanan dan Kesehatan Kerja

Untuk dapat menciptakan kondisi yang aman dan sehat dalam

bekerja diperlukan adanya unsur-unsur dan prinsip-prinsip

keselamatan dan kesehatan kerja antara lain (Sutrisno dan Kusmawan

Ruswansi, 2009):

1) Adanya alat pelindung diri (APD)

2) Adanya buku petunjuk penggunaan alat dan atau isyarat bahaya.

3) Adanya peraturan pembagian tugas dan tanggungjawab.

4) Adanya tempat kerja yang aman sesuai standar SSLK (Syarat-

syarat lingkungan kerja) antara lain tempat kerja steril dari debu,

kotoran, assap rokok, uap gas, radiasi, getaran mesin dan

peralatan, kebisingan, tempat kerja aman dari arus listrik, lampu


penerangan cukup memadai, ventilasi dan sirkulasi udara

seimbang, adanya aturan kerjja atau aturan keprilakuan.

5) Adanya penunjang kesehatan jasmani dan rohani di tempat kerja.

6) Adanya sarana dan prasarana yang lengkap ditempat kerja.

7) Adanya kesadaran dalam menjaga keselamatan dan kesehatan

kerja.

d. Tujuan Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Secara umum tujuan K3 adalah untuk menciptakan tenaga kerja

yang sehat dan produktif. Selain itu, untuk menciptakan lingkungan

kerja yang higienis, aman dan nyaman yang dikelola oleh tenaga kerja

sehingga sehat, selamat, dan produktif.

Sementara itu, para ahli ada yang membedakan tujuan K3 berdasarkan

keselamatan kerja dan kesehatan kerja. Tujuan keselamatan kerja

adalah untuk :

1) Melindungi pekerja atas hak keselamatannya dalam melakukan

pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi

serta produktivitas nasional

2) Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat

kerja

3) Memelihara dan menggunakan sumber produksi secara aman dan

efisien

Sedangkan, tujuan kesehatan kerja adalah untuk :


1) Mencegah dan memberantas penyakit-penyakit akibat kerja

2) Memelihara dan meningkatkan kesehatan dan gizi pekerja

3) Merawat dan mempertinggi efisiensi dan daya produktivitas

tenaga kerja

4) Memberantas kelelahan kerja serta melipatgandakan kegairahan

dan kenikmatan bekerja

5) Sebagai perlindungan bagi masyarakat sekitar dari bahaya yang

mungkin ditimbulkan.

2. Kecelakaan Akibat Kerja

a. Penyebab kecelakaan akibat kerja

Kecelakaan tidak terjadi begitu saja, kecelakaan terjadi karena

tindakan yang salah atau kondisi yang tidak aman. Kelalaian sebagai

sebab kecelakaan merupakan nilai tersendiri dari teknik keselamatan.

Ada pepatah yang mengungkapkan tindakan yang lalai seperti

kegagalan dalam melihat atau berjalan mencapai suatu yang jauh diatas

sebuah tangga. Hal tersebut menunjukkan cara yang lebih baik selamat

untuk menghilangkan kondisi kelalaian dan memperbaiki kesadaran

mengenai keselamatan pekerja.

Diantara tindakan yang kurang aman salah satunya

diklasifikasikan seperti latihan sebagai kegagalan menggunakan

peralatan kerja, tidak menggunakan alat pelindung diri yang optimal.

Dari hasil analisa kebanyakan kecelakaan biasanya terjadi karena


mereka lalai ataupun kondisi kerja yang kurang aman, tidak hanya satu

saja. Keselamatan dapat dilaksanakan sedini mungkin, tetapi untuk

tingkat efektivitas maksimum, pekerja harus dilatih, menggunakan

peralatan keselamatan.

b. Faktor – Faktor penyebab Kecelakaan

Studi kasus menunjukkan hanya proporsi yang kecil dari pekerja

sebuah industri terdapat kecelakaan yang cukup banyak. Pekerja pada

industri mengatakan itu sebagai kecenderungan kecelakaan. Untuk

mengukur kecenderungan kecelakaan harus menggunakan data dari

situasi yang menunjukkan tingkat resiko yang ekuivalen.

Begitupun, pelatihan yang diberikan kepada pekerja harus

dianalisa, untuk seseorang yang berada di kelas pelatihan

kecenderungan kecelakaan mungkin hanya sedikit yang diketahuinya.

Satu lagi pertanyaan yang tak terjawab ialah apakah ada hubungan

yang signifikan antara kecenderungan terhadap kecelakaan yang kecil

atau salah satu kecelakaan yang besar. Pendekatan yang sering

dilakukan untuk seorang manager untuk salah satu faktor kecelakaan

terhadap pekerja adalah dengan tidak membayar upahnya.

Bagaimanapun jika banyak pelaku usaha yang melakukan hal diatas

akan menyebabkan berkurangnya rata-rata pendapatan, dan tidak

membayar upah pekerja akan membuat pekerja malas melakukan


pekerjaannya dan terus membahayakan diri mereka ataupun pekerja

yang lain. Ada kemungkinan bahwa kejadian secara acak dari sebuah

kecelakaan dapat membuat faktor-faktor kecelakaan tersendiri.

3. Masalah Kesehatan, Keamanan dan Keselamatan Kerja

a. Faktor penyebab masalah kesehatan dan keselamatan kerja

Kinerja (performen) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan

merupakan resultante dari tiga komponen kesehatan kerja yaitu

kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja yang dapat

merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen

tersebut serasi maka bisa dicapai suatu derajat kesehatan kerja yang

optimal dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat

ketidak serasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa

penyakit ataupun kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan

menurunkan produktivitas kerja. Diantaranya Faktor penyebab

masalah kesehatan dan keselamatan kerja adalah :

1) Kapasitas Kerja

Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada

umumnya belum memuaskan. Dari beberapa hasil penelitian

didapat gambaran bahwa 30-40% masyarakat pekerja kurang kalori

protein, 30% menderita anemia gizi dan 35% kekurangan zat besi
tanpa anemia. Kondisi kesehatan seperti ini tidak memungkinkan

bagi para pekerja untuk bekerja dengan produktivitas yang optimal.

Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja

yang ada sebagian besar masih di isi oleh petugas kesehatan dan

non kesehatan yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga

untuk dalam melakukan tugasnya mungkin sering mendapat

kendala terutama menyangkut masalah kecelakaan kerja.

2) Beban Kerja

Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang

bersifat teknis beroperasi 8 - 24 jam sehari, dengan demikian

kegiatan pelayanan kesehatan pada laboratorium menuntut adanya

pola kerja bergilir dan tugas/jaga malam. Pola kerja yang berubah-

ubah dapat menyebabkan kelelahan yang meningkat, akibat

terjadinya perubahan pada bioritmik (irama tubuh). Faktor lain

yang turut memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan

jaminan sosial bagi pekerja yang masih relatif rendah, yang

berdampak pekerja terpaksa melakukan kerja tambahan secara

berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat

menimbulkan stres.

3) Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat

mempengaruhi kesehatan kerja dapat menimbulkan Kecelakaan

Kerja (Occupational Accident), Penyakit Akibat Kerja dan


Penyakit Akibat Hubungan Kerja (Occupational Disease & Work

Related Diseases).

b. Penyakit akibat kerja

1) Pengertian penyakit akibat kerja

Menurut Perpres No 7 Tahun 2019, Penyakit Akibat Kerja

adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau

lingkungan kerja.

2) Lingkungan kerja dan penyakit akibat kerja yang ditimbulkan

Penyakit akibat kerja dan atau berhubungan dengan pekerjaan

dapat disebabkan oleh pemajanan dilingkungan kerja. Dewasa ini

terdapat kesenjangan antara pengetahuan ilmiah tentang bagaimana

bahaya- bahaya kesehatan berperan dan usaha- usaha untuk

mencegahnya. Misalnya antara penyakit yang sudah jelas

penularannya dapat melalui darah dan pemakaian jarum suntik

yang berulang- ulang, atau perlindungan yang belum baik pada

para pekerja rumah sakit dengan kemungkinan terpajan dengan

kontak langsung.

Untuk mengantisipasi permasalahan ini maka langkah awal

penting adalah pengenalan bahaya yang bisa timbul dan di


evaluasi, kemudian dilakukan pengendalian untuk

mengantisipasidan emngetahui bahaya kemungkinan bahaya

lingkungan kerja ditempuh tiga langkah utama, yaitu diantaranya

pengenalan lingkungan kerja, evaluasi lingkungan kerja,

pengendalian lingkungan kerja.

4. Tinjauan Tentang Tenaga Kesehatan

a. Pengertian Tenaga Kesehatan

Kesehatan merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia. Dengan

demikian Pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengadakan dan

mengatur upaya pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau rakyatnya.

Masyarakat, dari semua lapisan, memiliki hak dan kesempatan yang

sama untuk mendapat pelayanan kesehatan.

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri

dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau

ketermpilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis

tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan,

baik berupa pendidikan gelar-D3, S1, S2 dan S3-; pendidikan non

gelar; sampai dengan pelatihan khusus kejuruan khusus seperti Juru

Imunisasi, Malaria, dsb., dan keahlian. Hal inilah yang membedakan

jenis tenaga ini dengan tenaga lainnya. Hanya mereka yang

mempunyai pendidikan atau keahlian khususlah yang boleh melakukan


pekerjaan tertentu yang berhubungan dengan jiwa dan fisik manusia,

serta lingkungannya.

Tenaga kesehatan berperan sebagai perencana, penggerak dan

sekaligus pelaksana pembangunan kesehatan sehingga tanpa

tersedianya tenaga dalam jumlah dan jenis yang sesuai, maka

pembangunan kesehatan tidak akan dapat berjalan secara optimal.

Kebijakan tentang pendayagunaan tenaga kesehatan sangat

dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan sektor lain, seperti: kebijakan

sektor pendidikan, kebijakan sektor ketenagakerjaan, sektor keuangan

dan peraturan kepegawaian. Kebijakan sektor kesehatan yang

berpengaruh terhadap pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain:

kebijakan tentang arah dan strategi pembangunan kesehatan, kebijakan

tentang pelayanan kesehatan, kebijakan tentang pendidikan dan

pelatihan tenaga kesehatan, dan kebijakan tentang pembiayaan

kesehatan. Selain dari pada itu, beberapa faktor makro yang

berpengaruh terhadap pendayagunaan tenaga kesehatan, yaitu:

desentralisasi, globalisasi, menguatnya komersialisasi pelayanan

kesehatan, teknologi kesehatan dan informasi. Oleh karena itu,

kebijakan pendayagunaan tenaga kesehatan harus memperhatikan

semua faktor di atas.

b. Jenis Tenaga Kesehatan

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri

dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau


ketermpilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis

tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan,

baik berupa pendidikan gelar-D3, S1, S2 dan S3-; pendidikan non

gelar; sampai dengan pelatihan khusus kejuruan khusus seperti Juru

Imunisasi, Malaria, dsb., dan keahlian. Hal inilah yang membedakan

jenis tenaga ini dengan tenaga lainnya. Hanya mereka yang

mempunyai pendidikan atau keahlian khusus-lah yang boleh

melakukan pekerjaan tertentu yang berhubungan dengan jiwa dan fisik

manusia, serta lingkungannya.

1) Jenis tenaga kesehatan terdiri dari :

a) Perawat i) Analis Farmasi

b) Perawat Gigi j) Dokter Umum

c) Bidan k) Dokter Gigi

d) Fisioterapis l) Dokter Spesialis

e) Refraksionis Optisien m) Dokter Gigi Spesialis

f) Radiographer n) Akupunkturis

g) Apoteker o) Terapis Wicara dan

h) Asisten Apoteker p) Okupasi Terapis.


2) Peran Tenaga Kesehatan Dalam Menangani Korban

Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dapat saling

berkaitan. Pekerja yang menderita gangguan kesehatan atau

penyakit akibat kerja cenderung lebih mudah mengalami

kecelakaan kerja. Menengok ke negara-negara maju, penanganan


kesehatan pekerja sudah sangat serius. Mereka sangat menyadari

bahwa kerugian ekonomi (lost benefit) suatu perusahaan atau

negara akibat suatu kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja

sangat besar dan dapat ditekan dengan upaya-upaya di bidang

kesehatan dan keselamatan kerja.

Di negara maju banyak pakar tentang kesehatan dan

keselamatan kerja dan banyak buku serta hasil penelitian yang

berkaitan dengan kesehatan tenaga kerja yang telah diterbitkan. Di

era globalisasi ini kita harus mengikuti trend yang ada di negara

maju.Dalam hal penanganan kesehatan pekerja, kitapun harus

mengikuti standar internasional agar industri kita tetap dapat ikut

bersaing di pasar global.Dengan berbagai alasan tersebut rumah

sakit pekerja merupakan hal yang sangat strategis. Ditinjau dari

segi apapun niscaya akan menguntungkan baik bagi perkembangan

ilmu, bagi tenaga kerja, dan bagi kepentingan (ekonomi) nasional

serta untuk menghadapi persaingan global.

Bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang sudah ada, rumah

sakit pekerja akan menjadi pelengkap dan akan menjadi pusat

rujukan khususnya untuk kasus-kasus kecelakaan dan penyakit

akibat kerja. Diharapkan di setiap kawasan industri akan berdiri

rumah sakit pekerja sehingga hampir semua pekerja mempunyai

akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif.

Setelah itu perlu adanya rumah sakit pekerja sebagai pusat rujukan
nasional. Sudah barang tentu hal ini juga harus didukung dengan

meluluskan spesialis kedokteran okupasi yang lebih banyak lagi.

Kelemahan dan kekurangan dalam pendirian rumah sakit pekerja

dapat diperbaiki kemudian dan jika ada penyimpangan dari misi

utama berdirinya rumah sakit tersebut harus kita kritisi bersama.

Kecelakaan kerja adalah salah satu dari sekian banyak

masalah di bidang Keselamatan, Keamanan, dan Kesehatan Kerja

yang dapat menyebabkan kerugian jiwa dan materi. Salah satu

upaya dalam perlindungan tenaga kerja adalah menyelenggarakan

P3K di perusahaan sesuai dengan UU dan peraturan Pemerintah

yang berlaku. Penyelenggaraan P3K untuk menanggulangi

kecelakaan yang terjadi di tempat kerja. P3K yang dimaksud harus

dikelola oleh tenaga kesehatan yang professional.

Yang menjadi dasar pengadaan P3K di tempat kerja adalah

UU No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja; kewajiban

manajemen dalam pemberian P3K, UU No.13 Tahun 2000 tentang

ketenagakerjaan, Peraturan Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

No.03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja; tugas pokok

meliputi P3K dan Peraturan Mentri Tenaga Kerja No. 05/Men/1995

tentang Sistem Manajemen Keselamatan, Keamanan, dan

Kesehatan Kerja.

3) Pengendalian Melalui Jalur kesehatan (Medical Control)


Pengendalian Melalui Jalur kesehatan (Medical Control)

Yaitu upaya untuk menemukan gangguan sedini mungkin dengan

cara mengenal (Recognition) kecelakaan dan penyakit akibat kerja

yang dapat tumbuh pada setiap jenis pekerjaan di unit pelayanan

kesehatan dan pencegahan meluasnya gangguan yang sudah ada

baik terhadap pekerja itu sendiri maupun terhadap orang

disekitarnya. Dengan deteksi dini, maka penatalaksanaan kasus

menjadi lebih cepat, mengurangi penderitaan dan mempercepat

pemulihan kemampuan produktivitas masyarakat pekerja. Disini

diperlukan system rujukan untuk menegakkan diagnosa penyakit

akibat kerja secara cepat dan tepat (prompt-treatment). Pencegahan

sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan pekerja

yang meliputi:

a) Pemeriksaan Awal

Adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan sebelum

seseorang calon/pekerja (petugas kesehatan dan non kesehatan)

mulai melaksanakan pekerjaannya. Pemeriksaan ini bertujuan

untuk memperoleh gambaran tentang status kesehatan calon

pekerja dan mengetahui apakah calon pekerja tersebut ditinjau

dari segi kesehatannya sesuai dengan pekerjaan yang akan

ditugaskan kepadanya. Anamnese umum Pemerikasaan

kesehatan awal ini meliputi:

(1) Anamnese pekerjaan


(2) Penyakit yang pernah diderita

(3) Alergi

(4) Imunisasi yang pernah didapat

(5) Pemeriksaan badan

(6) Pemeriksaan laboratorium rutin Pemeriksaan tertentu :

Tuberkulin test dan Psikotest

b) Pemeriksaan Berkala

Adalah pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan secara

berkala dengan jarak waktu berkala yang disesuaikan dengan

besarnya resiko kesehatan yang dihadapi. Makin besar resiko

kerja, makin kecil jarak waktu antar pemeriksaan berkala.

Ruang lingkup pemeriksaan disini meliputi pemeriksaan umum

dan pemeriksaan khusus seperti pada pemeriksaan awal dan

bila diperlukan ditambah dengan pemeriksaan lainnya, sesuai

dengan resiko kesehatan yang dihadapi dalam pekerjaan.

c) Pemeriksaan Khusus

Yaitu pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada khusus

diluar waktu pemeriksaan berkala, yaitu pada keadaan dimana

ada atau diduga ada keadaan yang dapat mengganggu

kesehatan pekerja. Sebagai unit di sektor kesehatan

pengembangan K3 tidak hanya untuk intern laboratorium

kesehatan, dalam hal memberikan pelayanan paripurna juga

harus merambah dan memberi panutan pada masyarakat


pekerja di sekitarnya, utamanya pelayanan promotif dan

preventif. Misalnya untuk mengamankan limbah agar tidak

berdampak kesehatan bagi pekerja atau masyarakat

disekitarnya, meningkatkan kepekaan dalam mengenali unsafe

act dan unsafe condition agar tidak terjadi kecelakaan dan

sebagainya.

4) Fungsi/ Tugas Perawat dalam Hyperkes

a) Mengkaji Masalah Kesehatan Pekerja

b) Mengumpulkan data para pekerja, mencakup biodata, riwayat

penyakit yang lalu, masalah kesehatan pekerja saat ini.

c) Menganalisa masalah kes pekerja.

d) Menentukan kes pekerja.

e) Menyusun prioritas masalah.

f) Menyusun Rencana Askep Pekerja

g) Merumuskan tujuan

h) Menyusun rencana tindakan

i) Menyusun kriteria keberhasilan

j) Melaksanakan Pelayanan Kesehatan & perawatan terhadap

Pekerja

(1) Memberikan askep di klinik sesuai dengan perencanaan

(2) Kolaborasi dengan dokter dalam melakukan tindakan

medik

(3) Melakukan P3K


(4) Melakukan rujukan

k) Penilaian

(1) Menilai hasil askep berpedoman pada tujuan

(2) Membandingkan hasil dengan tujuan yang dirumuskan

l) Sasaran pembinaan upaya kesehatan kerja oleh puskesmas

ditujukan kepada:

(1) Kelompok tani

(2) Kelompok nelayan

(3) Kelompok industri kecil/pengrajin

B. Konsep Luka Bakar

1. Definisi luka bakar

Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh

dengan benda-benda yang menghasilkan panas (api, bahan kimia, listrik,

maupun radiasi) atau zat-zat yang bersifat membakar baik berupa asam kuat

dan basa kuat (Safriani, 2016).

2. Penyebab luka bakar

Luka bakar merupakan suatu jenis trauma yang memiliki morbiditas dan

mortalitas yang tinggi sehingga memerlukan perawatan yang khusus mulai

fase awal hingga fase lanjut. Etiologi terjadinya luka bakar yaitu (Hardisman,

2016):
a. Scald Burns

Luka bakar yang disebabkan karena uap panas, biasanya terjadi

karena air panas dan sering terjadi dalam masyarakat. Air pada suhu

690C menyebabkan luka bakar parsial atau dalam waktu dengan waktu

hanya dalam 3 detik.

b. Flame Burns

Luka bakar yang disebabkan oleh kebakaran rumah seperti

penggunaan detektor asap, kebakaran yang berhubungan dengan

merokok, penyalahgunaan cairan yang mudah terbakar, tabrakan

kendaraan bermotor dan kain terbakar oleh kompor atau pemanas

ruangan.

c. Flash Burns

Luka bakar yang disebabkan oleh ledakan gas alam, propana,

butana, minyak destilasi, alkohol dan cairan mudah terbakar kain.

d. Contact Burns

Luka bakar yang disebabkan dari logam panas, plastik, gelas

atau batu bara panas seperti setrika, oven, dan bara kayu.

e. Chemical Burns

Luka bakar yang diakibatkan oleh iritasi zat kimia, yang bersifat

asam kuat atau basa kuat.

f. Electrical Burns
Luka bakar yang disebabkan oleh benda-benda yang dialiri arus

listrik.

3. Komplikasi luka bakar

Menurut Rahayuningsih (2017), secara umum luka bakar jika tidak

ditangani dengan benar, akan menimbulkan komplikasi yaitu :

a. Syok hipovolemik

Akibat pertama dari luka bakar adalah syok karena kaget dan

kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi akan rusak dan

permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak

sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan

edema dan menimbulkan bula serta elektrolit. Hal ini menyebabkan

berkurangnya volume cairan intravaskuler.

b. MOF (multi organ failure)

Adanya perubahan permeabilitas kapiler pada luka bakar

menyebabkan gangguan sirkulasi. Di tingkat seluler, gangguan perfusi

menyebabkan perubahan metabolisme. Adanya gangguan sirkulasi dan

perfusi mengakibatkan sulitnya untuk mempertahankan kelangsungan

hidup sel, iskemi jaringan akan berakhir dengan nekrosis.

4. Klasifikasi luka bakar

Lama kontak jaringan dengan sumber panas menentukan luas dan

kedalaman kerusakan jaringan. Semakin lama waktu kontak, maka semakin

luas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi (Rahayuningsih, 2017) :


a. Luka bakar derajat I atau luka bakar ringan

Luka bakar derajat I ditandai dengan luka bakar superfisial dengan

kerusakan pada lapisan epidermis. Umumnya tidak disertai kelepuhan

pada kulit, kulit kemerahan pada bagian yang terbakar, bengkak ringan,

nyeri namun kulit tidak terkoyak karena melepuh, tidak terdapat bula,

nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.

b. Luka bakar derajat II

Luka bakar derajat II terjadi pada lapisan epidermis dan sebagian

dermis dibawahnya, berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi.

Umumnya memiliki gejala berupa kulit kemerahan, melepuh, bengkak

yang tak hilang selama beberapa hari, kulit terlihat lembab atau becek,

nyeri, dan bercak-bercak berwarna merah muda.

c. Luka bakar derajat III

Luka bakar derajat III terjadi pada seluruh ketebalan kulit. Semua

organ kulit sekunder rusak dan tidak ada kemampuan lagi untuk

melakukan regenerasi kulit secara spontan atau repitelisasi. Umumnya

memiliki gejala berupa daerah luka tampak berwarna putih, kulit hancur,

sedikit nyeri karena ujung saraf telah rusak dan biasanya tidak melepuh.

5. Perhitungan luka bakar

Berbagai metode dalam menentukan luas luka bakar (Clevo, 2017) :

a. Rumus Sembilan (Rule Of Nines)


Rumus Sembilan merupakan cara yang cepat untuk menghitung

luas daerah yang terbakar. Sistem tersebut menggunakan persentase

dalam kelipatan Sembilan terhadap permukaan tubuh yang luas.

Gambar 1 Rumus Sembilan (Rule of Nines) pada Orang Dewasa

Wallace (2017), membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang

terkenal dengan Rule of Nines atau rule of Wallace yaitu:

1) Kepala dan leher : 9%

2) Lengan masing-masing 9% : 18%

3) Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%

4) Tungkai masing-masing 18% : 36%

5) Genetalia / perineum : 1%
Gambar 2 Rumus Sembilan (Rule of Nines) pada Anak-anak

Wallace (2017), membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang

terkenal dengan Rule of Nines atau rule of Wallace yaitu :

1) Kepala dan leher : 18%

2) Lengan masing-masing 9% : 18%

3) Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%

4) Tungkai masing-masing 7% : 28%

b. Metode Lund and Browder

Metode Lund and Browder adalah metode mementukan presentase

luas luka bakar pada berbagai bagian anatomik, berubah menurut

pertumbuhan dengan membagi tubuh menjadi daerah-daerah yang

sangat kecil dan memberikan estimasi proporsi luas permukaan tubuh.

Metode Lund dan Browder persentasenya disesuikan dengan usia

(Wallace, 2017).

Tabel 1 Lokasi dan Persentase Daerah Luka Bakar Menurut Usia


A. Konsep Alat Pelindung Diri (APD)

Alat Pelindung Diri (APD) adalah seperangkat alat yang digunakan oleh

tenaga kerja untuk melindungi seluruh/sebagian tubuhnya terhadap

kemungkinan adanya potensi bahaya/kecelakaan kerja. Alat pelindung diri

adalah peralatan yang harus disediakan oleh instansi, pengusaha untuk setiap

pekerjanya (karyawan). Alat pelindung diri merupakan peralatan keselamatan

yang harus digunakan oleh tenaga kerja apabila berada dalam lingkungan

kerja yang berbahaya. (Cahyono,2009).

Penggunaan APD merupakan salah satu bagian dari kewaspadaan

standar. Penggunaan APD perlu pengawasan, karena dengan penggunaan APD

yang tidak tepat akan menambah biaya. Tujuan dari penggunaan Alat

Pelindung Diri (APD) adalah untuk melindungi tenaga kerja dan resiko cedera

dengan menciptakan penghalang dari bahaya ditempat kerja, alat pelindung

diri (APD). Untuk melindungi seluruh/sebagian tubuhnya terhadap

kemungkinan adanya potensi bahaya/kecelakaan kerja dan Mengurangi resiko

akibat kecelakaan. Jenis alat pelindung diri:

1. Safety Helmet

Berfungsi sebagai pelindung kepala dari benda yang bisa mengenai

kepala secara langsung.

2. Safety Shoes (Sepatu Boot)


Berfungsi sebagai alat pengaman saat bekerja di tempat yang becek

ataupun berlumpur. Kebanyakan di lapisi dengan metal untuk melindungi

kaki dari benda tajam atau berat, benda panas, cairan kimia.

3. Sarung Tangan

Berfungsi sebagai alat pelindung tangan pada saat bekerja di tempat

atau situasi yang dapat mengakibatkan cedera tangan. Bahan dan bentuk

sarung tangan di sesuaikan dengan fungsi masing-masing pekerjaan.

4. Kacamata

Berfungsi sebagai pelindung mata ketika bekerja, misalnya

menghindari mata terkena debu dan cipratan limbah kayu.

5. Masker

Berfungsi sebagai penyaring udara yang dihirup saat bekerja di

tempat dengan kualitas udara buruk (misal berdebu, dsb).

6. Pakaian

Berfungsi sebagai pelindung diri agar badan operator saat bekerja

tidak panas dan badan tidak terkena debu.

C. Asuhan Keperawatan Kesehatan Kerja

1. Pengkajian

Pengkajian status kesehatan pekerja dan kebutuhan pelayanan

kesehatan berdasarkan perspektif epidemiologi meliputi berbagai dimensi

antara lain:

a. Dimensi Biofisikal
b. Dimensi Psikologi

c. Dimensi Fisik

d. Dimensi Sosial

e. Dimensi Tingkah Laku

f. Dimensi Sistem Kesehatan

Perawat komunitas harus memperhatikan kelima dimensi tersebut

karena akan sangat mempengaruhi derajat kesehatan masing-masing

individu

a. Dimensi Biofisikal

Faktor biologi manusia yang perlu dikaji pada status kesehatan

pekerja termasuk di dalamnya adalah kematangan dan usia, warisan

genetik dan fungsi fisiologis.

b. Dimensi Psikologis

Pada pengkajian dimensi psikologis perawat komunitas

mengidentifikasi masalah psikologi pada lingkungan kerja dan

mengkaji faktor yang berkontribusi terhadap masalah psikologinya.

Masalah psikologi dapat dimanifestasikan dengan adanya

penyalahgunaan obat, kekerasan, gangguan kejiwaan, neurosis, dan

kelemahan.

Beberapa indikasi adanya masalah psikologi yang perlu dikaji:

1) Sering tidak masuk kerja

2) Perubahan mood, perubahan dalam berhubungan dengan orang lain

3) Peningkatan insidensi kecelakaan


4) Kelemahan, kelelahan, penurunan energy

5) Penurunan atau peningkatan berat badan

6) Peningkatan tekanan darah

7) Penyakit yang berhubungan dengan stress (gastritis, ulkus

peptikum).

c. Dimensi Fisik

Lingkungan fisik merupakan faktor yang turut mempengaruhi

derajat kesehatan dalam lingkungan kerja. Kategori lingkungan fisik

yang berisiko menyebabkan gangguan kesehatan seperti:

1) Bahan kimia

2) Radiasi, suara, getaran, terpapar panas dan dingin

3) Aliran listrik, api dan lantai

d. Dimensi Sosial

Lingkungan sosial dalam lingkungan kerja yang dapat

mempengaruhi status kesehatan dapat bersifat positif dan negatif. Yang

termasuk lingkungan sosial diantaranya: kualitas interaksi sosial

diantara pekerja, nilai terhadap pekerjaan dan kesehatan, ada tidaknya

diskriminasi, jenis kelamin atau tekanan lain yang dapat

mempengaruhi produktifitas pekerja.

e. Dimensi Tingkah Laku

Faktor gaya hidup yang dipertimbangkan di sini termasuk:

1) Jenis pekerjaan

2) Istirahat dan latihan


3) Penggunaan alat pengaman

f. Tahap Pengkajian :

1) Lingkungan

2) Pemeriksaan kes (awal,berkala,khusus)

3) Jaminan kesehatan

4) Pemakaian APD

5) Proses kerja

6) Keluhan pekerja

7) Kecelakaan yg sering terjadi

8) P3K

9) Jam kerja

2. Analisa Data

Analisa masalah berdasarkan data fokus misalkan:

a. Kecelakaan kerja yg sering terjadi

b. Perilaku yg tidak sehat

c. Lingkungan yg tidak sehat

d. Penyakit akibat kerja

e. Pengetahuan yg kurang

f. Kurangnya fasilitas pendukung

3. Perumusan Diagnosa

Contoh diagnosa: Resiko peningkatan penyakit akibat kerja b/d

kurang pengetahuan pekerja & perusahaan ttg standar keselamatan dan

kesehatan kerja penggunaan APD, posisi kerja yg benar, Fasilitas kerja.


4. Rencana Keperawatan

Prioritas masalah menggunakan scoring, Intervensi:

a. Pendidikan kesehatan

b. Skrining

c. Pembekalan kader P3K

Anda mungkin juga menyukai