Anda di halaman 1dari 22

Negara Dan Pendidikan, Sentralisasi Dan Desentralisasi Pendidikan,

Manajemen Berbasis Sekolah

A. Konsep Negara
Negara adalah integrasi dari kekuasaan politik. Namun negara juga
merupakan alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat menertibkan fenomena kekuasaan
dalam masyarakat. Sebab manusia hidup dalam suasana kerjasama, sekaligus suasana
antagonistic yang penuh konflik. Oleh karena itu, negara merupakan organisasi yang
dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua
golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan kehidupan
bersama tersebut. Secara singkat terdapat dua tugas negara, yakni: (1) mengendalikan
dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial ataupun bertentangan satu sama
lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan; (2) mengorganisir dan
mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan kearah tercapainya
tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-
kegiatan asosiasi 57 kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan
kepada tujuan nasional
Negara kecenderungan umumnya mengacu kepada bentuk pemerintahan sipil,
yang khususnya berkembang seperti di Eropa sejak abad ke-16. Model tersebut telah
banyak ditiru dengan keberhasilan yang bervariasi. Persoalan yang muncul
ditimbulkan oleh bentuk pemerintah sipil ini dapat ditemukan melalu refleksinya
dalam filsafat politik Eropa. Baik teori kontrak sosial yang dimulai dari Thomas
Hobbes yang dituangkan dalam Leviathan (1651), ia berpendapat bahwa mematuhi
apa yang memerintah berdasarkan hukum adalah satu-satunya alternatif dalam situasi
yang penuh pertikaian yang berkepanjangan.Negara adalah suatu struktur yang
abstrak dan impersonal dari jabatan yang dipelihara kondisional dijalanakan oleh
individu-individu tertentu. Namun segera setelah Revolusi 1688, John Locke
Mempublikasikan Two Treatises of Government, yang memperluas gambaran
kekakuan negara yang bersifat tidak toleran sebagaimana diberikan oleh Hobbes.
Karya ini mempopulerkan pandangan bahwa pemerintah membentuk persetujuan
subyek mereka, dan dibatasi oleh-hak-hak alamiah (hak untuk hidup, kebebasan, dan
hak milik). Selanjutnya J.J. Rousseau menerbitkan dua karya utamanya yakni Social
Contrat dan Emile tahun 1762. Ia menertibkan bagaimana pada kehendak
umum komunitas warganegara yang ditujukan untuk kepentingan publik, yang
berpendapat bahwa republik merupakan kondisi yang diperlukan bagi perdamaian
abadi, dan di dalam Revolusi Prancis 1789, banyak mengadopsi gagasan-gagasan
Rousseau tersebut.
1. Pengertian Warga Negara
Warga Negara  merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik
tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi
dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga
negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang
dianggotainya.

Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan. Di dalam


pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau
warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi
daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan
memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan. Membedakan adalah hak-
hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan
tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu
negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik).
Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari
suatu negara.
Di bawah teori kontrak sosial, status kewarganegaraan memiliki implikasi hak
dan kewajiban. Dalam filosofi "kewarganegaraan aktif", seorang warga negara
disyaratkan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan komunitas
melalui partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan berbagai kegiatan
serupa untuk memperbaiki penghidupan masyarakatnya. Dari dasar pemikiran ini
muncul mata pelajaran Kewarganegaraan (bahasa Inggris: Civics) yang diberikan di
sekolah-sekolah.
2. Rakyat
Rakyat adalah bagian dari suatu negara atau elemen penting dari suatu
pemerintahan. Rakyat terdiri dari beberapa orang yang mempunyai ideologi sama dan
tinggal di daerah/pemerintahan yang sama dan mempunyai hak dan kewajiban yang
sama yaitu untuk membela negaranya bila diperlukan. Elemen rakyat terdiri dari
wanita , pria , anak-anak , kakek dan nenek.Rakyat akan dikatakan rakyat jika telah
disahkan oleh negara yang ditempatinya dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai
rakyat/warga negara Rakyat diambil dari kata Rahaya .artinya yang mengabdi,
pengikut, pendukung. Konotasinya sangat merendahkan karena dianggap sebagai
"hamba,budak dan sejenisnya" Sehingga agak berbeda dengan maksud dari kata
people ( Inggris )..apalagi kalau dengan konotasi rakyat sebagai sebuah kekuatan atau
pemilik sebuah Negara
3. Penduduk
Penduduk atau warga suatu negara atau daerah bisa didefinisikan menjadi
dua:

a) Orang yang tinggal di daerah tersebut


b) Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan
kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ.
Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di daerah
lain.

Dalam sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati


wilayah geografi dan ruang tertentu. Masalah-masalah kependudukan dipelajari
dalam ilmu Demografi. Berbagai aspek perilaku menusia dipelajari dalam sosiologi,
ekonomi, dan geografi. Demografi banyak digunakan dalam pemasaran, yang
berhubungan erat dengan unit-unit ekonomi, seperti pengecer hingga pelanggan
potensial.
4. Terbentuknya Negara
Teori tentang asal mula atau teori terbentuknya negara dapat dilihat dari dua
segi, yakni :
a) Teori yang Bersifat Spekulatif
Teori yang bersifat spekulatif, meliputi antara lain : teori teokratis, teori
perjanjian masyarakat, dan teori kekuatan atau kekuasaan yaitu:
i. Teori Teokrasi (ketuhanan) menurut teori ketuhanan, segala sesuatu di dunia
ini adanya atas kehendak Allohu Subhanahu Wata’ala, sehingga negara pada
hakekatnya ada atas kehendak Allah. Penganut teori ini adalah Fiedrich
Julius Stah, yang menyatakan bahwa negara tumbuh secara berangsur-angsur
melalui proses bertahap mulai dari keluarga menjadi bangsa dan negara.
ii. Teori perjanjian masyarakat
Dalam teori ini tampi tiga tokoh yang paling terkenal, yaitu Thomas Hobbes,
John Locke dan J.J. Rousseau. Menurut teori ini negara itu timbul karena
perjanjian yang dibuat antara orang-orang yang tadinya hidup bebas
merdeka, terlepas satu sama lain tanpa ikatan kenegaraan. Perjanjian ini
diadakan agar kepentingan bersama dapat terpelihara dan terjamin, supaya
”orang yang satu tidak merupakan binatang buas bagi orang lain” (homo
homini lupus, menurut Hobbes). Perjanjian itu disebut perjanjian masyarakat
(contract social menurut ajaran Rousseau). Dapat pula terjadi suatu
perjanjian antara daerah jajahan, misalnya : Kemerdekaan Filipina pada
tahun 1946 dan India pada tahun 1947.
iii. Teori kekuasaan atau kekuatan
Menurut teori kekuasaan atau kekuatan, terbentuknya negara didasarkan atas
kekuasaan/kekuatan, misalnya melalui pendudukan dan penaklukan.

Ditinjau dari teori kekuatan, munculnya negara yang pertama kali, atau
bermula dari adanya beberapa kelompok dalam suatu suku yang masing-masing
dipimpin oleh kepala suku (datuk). Kemudian berbagai kelompok tersebut hidup
dalam suatu persaingan untuk memperebutkan lahan/wilayah, sumber tempat mereka
mendapatkan makanan. Akibat lebih jauh mereka kemudian berusaha untuk bisa
mengalahkan kelompok saingannya. Adagium thomas Hobbes yang menyatakan
”Bellum Omnium Contra Omnes” semua berperang melawan semua, kiranya tepat
sekali untuk memotret kondisi mereka dalam persaingan untuk memperebutkan
sesuatu. Kelompok yang terkalahkan kemudian harus tunduk serta wilayah yang
dimilikinya diduduki dan dikuasai oleh sang penakluk, dan demikian seterusnya.

b) Teori yang Bersifat Evolusi


Teori yang evolusi atau teori historis ini merupakan teori yang menyatakan
bahwa lembaga-lembaga sosial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Sebagai lembaga sosial yang diperuntukkan
guna memenuhi kebutuhan – kebutuhan manusia, maka lembaga-lembaga itu tidak
luput dari pengaruh tempat, waktu, dan tuntutan-tuntutan zaman. Menurut teori yang
bersifat evolusi ini terjadinya negara adalah secara historis-sosio (dari keluarga
menjadi negara). Termasuk dalam teori ini yang bersifat evolusi ini antara lain teori
hukum alam. Berdasarkan teori hukum alam ini, negara terjadi secara alamiah.
B. Pengertian Pendidikan
1. Secara Etimologi
Pendidikan berasal dari kata 1) “didik, mendidik” yang berarti memelihara
dan memberi latihan atau ajaran mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. 2)
“didikan” yang berarti hasil mendidik dan yang dididik. 3) “Pendidik” yang berarti
orang yang mendidik. Jadi Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang atau usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Sedangkan menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia Pendidikan adalah 1) Perbuatan; 2) Ilmu didik dan ilmu
mendidik; 3) Pemeliharaan (latihan-latihan dsb.). Menurut Kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer, Pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan cara berpikir atau
tingkah laku dengan cara pengajaran, penyuluhan, dan latihan.
2. Secara Terminologi
Secara terminologis, para ahli pendidikan mendefinisikan kata pendidikan
dengan berbagai tujuan. Abdurahman Al-Bani mendefinisikan pendidikan (tarbiyah)
adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran
Islam. Dalam Dictionary of Educaition dinyatakan bahwa pendidikan adalah:
a. Proses seorang mengembangkan kemampuan, sikap dan tingkah laku lainnya
di dalam masyarakat tempat mereka hidup.
b. Proses sosial yang terjadi pada orang yang dihadapkan pada pengaruh
lingkungannya yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang di
sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan kemampuan
sosial dan kemampuan individu yang optimum. Dengan kata lain, perubahan-
perubahan yang sifatnya permanen dalam tingah laku, pikiran dan sikapnya
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah
aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan
membina potensi-potensi pribadinya yaitu rohani (pikiran, karsa, rasa, cipta, dan hati
nurani) dan jasmani (panca indra serta keterampilan). Pendidikan adalah usaha sadar
yang ditujukan kepada peserta didik agar menjadi manusia yang berkepribadian kuat
dan utuh serta bermoral tinggi.
Dalam hal ini, keterpautan antara pendidikan dengan kekuasaan negara dapat
dilihat sebagaimana keterpautan antara lembaga-lembaga pendidikan dimasyarakat
dengan penyelenggaraan negara. Yaitu lembaga-lembaga pndidikan yang dalam
wujud konkritnya berupa sekolah, aneka lembaga kursus, taman bermain, pondok
pesantren, organsasi kepemudaan dan keluarga. Akan tetap dari semua lembaga
pendidikan yang ada, lembaga-lembaga pendidikan formal lah yang paling nyata
terlihat banyak bersinggungan dengan kekuasaan negara, yaitu sekolah dan
universitas.
Menurut banyak ahli, pendidikan khususnya jenis pendidikan formal dalam
sejarah selalu berhubungan dengan kekuasaan negara. Hubungan dan persinggungan
tersebut tampaknya berlangsung terus dan akan tetap terus barlangsung, meskipun
keduanya mengalami pergeseran masing-masing seiring dengaan perubahan dan
tuntutan jaman. Pada satu sisi, penyelenggaraan pendidikan akan mengalami
pergeseran dalam beberapa unsur didalamnya, pada sisi yang lain, sistem
penyelenggaraan negar juga mengalami perubahan dalam setiap periode waktu.
Perubahan penyelenggaraan pendidikan ini antara lain menyangkut
menejemen pendidikan, missalnya dari centralized management menjadi dezenralizen
management, dari state based school development menjadi comunitu based scool
development, dan lain lain. Sedangkan perubahan sistem penyelenggaraan negara
misalnya dari sistem monarki berubah menjadi aristokrasi, meritokrasi, oligarki atau
demokrasi. Meskipun keduanya mengalami perubahan dalam periode sejarah tertentu
sebagaimana disebut, namun keduanya selalu mengalami persinggungan yang bersifat
sinergis dan saling menguntungkan maupun bentuk persinggungan yang bersifat
eksplitatif.
Oleh karena kekuasaan negara yang sangat bagitu besar mencakup segenap
kehidupan masyarakatnya, maka tidak bisa dipungkiri bahwa negara juga mengatur
kehidupan pendidikan. Negara pemilik kepentingan terhadapnya, sebaliknya dunia
pendidikan (khususnya para praktisi) juga menaruh harapan besar atas perthatian
negara terhadapnya. Bila hal ini berjalan normal, maka keterkaitan antara pendidikan
dan negara bisa berlangsung sacara simbiosis-mutualisme. Dalam kenyataannya,
keterkaitan atau persinggungan antara keduanya ternyata berjalan secara bervariasi,
dimana pada suatu saat bisa berlangsung secara mutualis yang masing masing saling
memperleh dan mengambil keuntungan atas hubungan secara eksplitatif-dependensia
pihak satu terhadap yang lain.
Hubungan eksploitatif atau hubungan yang kurang seimbang ini bisa terjadi
manakala, disatu sisi pendidikan (sekolah dan universitas) mengeksploitasi negara
seperi yang erjadi pada abad petengahan dimana lembaga-lembaga pendidikan
skolastik pada saat itu memanfaatkan gereja dan negara untuk mencapai puncak dari
kemajuan. Pada saat itu embaga embaga pendidikan skolastik sangat manja dan
dimanjakan olaeh gereja, yang berarti pula di manjakan oleh negara. Sebab pada abad
petengahan tersebut anara gereja dan negara hampir tidak ada batas. Namun pada sisi
lain juga terjadi dan bahkan sering terjadi dimana pihak negra mengekploitasi sekolah
dan pendidikan pada umumnya, seperti yang terjadi diindonesia pada zaman
penjajahan dan pada era orde baru.
Bentuk nyata atas hubungan antar keduanya yang paling menonjol adalah:
disatu sisi, kelembagaan pendidikan memerlukan dukungan politik dari negara untuk
memperancar dan mndorong terwujudnya cita cita pendidikan sebagaimana para
koonstituennya; sedang disisi lain negaara membutuhkan pendidikan dalam rangka
memenuhi kewajibannya sebagaimana telah diamanatkan didalam konstitusi, agar
mendapat citra positif dimata masyarakat. Dengan adanya pendidikan, negara akan
memperolh dukungan (legitimasi) lebih kuat khususnya dari kalangan warga sekolah
dan universitas.
Kedekatan hubungan diantara keduanya antara pendidikan dengan kekuasaan
negara diatas, tidak selamanya bisa berlangsung secara fungsional-mutualis, tetapi
sering terjadi diberbagai tempat dan waktu hubungan tersebut berlangsung secara
tidak seimbang. Hal ini menyebabkan hubungan tersebut hanya akan menguntungkan
satu pihak saja terutama negara, sedangkan pihal lembaga sekoah dan universitas
kurang diuntungkan bahkan ditindas untuk melayani kepentingan kesuasaan negara.
Proses penindasan negara terhadap lembaga pendidikan tersebut terjadi nilai:
pertama, sistem kekuasaan negara dijalani secara otoriter bahkan totaliter yang hanya
mementingkan kepentingan negara semata.meskipun juga diakui, ada sistem
kekuasaan yang dijalankan secara totaliter, namun keseluruhan perhatian dan
keberpihakan banyak trtuju pada kepada kesejahteraan sosial (social welfare). Kedua,
watak birokrasinya cenderung patrimonial dn serakah, dengan berprinsip “state qua
state” atau “state qua it self”. Ketiga, kondisi sumber daya dan sumber dana sekolaha
dan universitas yang masih lemah sehingga kurang mampu memiliki nilai tawar dan
kurag bisa mengimbangi terhadpa pnetrasi kkuatan negara. Keempat, adanya
partisipasi sosial (sosila participation) masyarkat yang masih rendah; serta kelima,
umumnya berlangsung dinegara negara yang sedang mebangu atau terbelakang
dimana iiter masih sangat dominan, seperti indosesian dimasa orde baru.
Sebagaimana pada perspetif pada teori hegemoni, bahwa salah satu
kepentingan paling menonjol dari negara terhadap pendidikan adalah digunakannya
sekolaha dan universitas sebagai age reproduksi dan sosialisasi idiologi. Terutama
jenis idiologi yang secara imperatif ingin mengajarkan ketaatan dan kepatuhan
kepada masyarakat sekaigus menguasai struktur kognitif masyarakat tersebut
(pelajar), agar mereka secara sadar berseia untuk tunduk dan patuh kepada rezim
penguasa, hal ini dilakukan supaya penguasa negara memperoleh legitimasi lebih
kuat untuk tetap menguasai masyarakat dan terus memegang kekuasaan.
Upaya upaya perbaikan pendidikan yang telah dilakukan oleh negara dari satu
periode pembangunan keperiode pembangunan beriktnya, pada dasarnya merupakan
kamuflase belaka. Upaya upaya perbaikan pendidikan yang dilakukakn sesungguhnya
hanyalah untuk menutupi kepentingan penasa dalam merancang dan mengoprasikan
pendidikan sekolah dan universitas sebagai agen sosialisasi idiologi dominan.
Salah satu contoh masalah yang paling menonjol dari fenomena diatas adalah
diberakukannya kurikulum nasional untuk sekolah sekolah pada masa era
pemerintahan orde baru. Pemberlakuan kurikulum nasional pada masa orde baru ini
secara implisit mengindikasikan dua tujuan terselubung dari negara, yaitu pertama,
terwujudnya penyeragaman yang memunkinkan negara mengatur dan menentukan
sejumlh materi dan isi kurikulum sekolah yang dirancang dan diisi secara top-down.
Kedua, tercapainya marginalisasi dan kooptasi otonimo guru, yang sebenarnya
sebagai agen intektual bebas menjadi sekedar agen kekuasaan sebuah rezim.
Tentu saja tujuan tujuan yang tercantum secara ekplisit dalam rumusan
program dan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis dari kurikulum nasional yang
dibuat negara tersebut pastialah berupa paparan diktrun yang berisi uraian yang
bersifat psitif. Beberapa contoh tujuan ekpisit dan pemberlakuan kurikulum nasional
bertujuan untuk meringankan para guru bidang study antar daerag agar bisa saling
berkoomunikasi akademik, untuk mempermudah pengukuran dan penentuan
keualifikasi sekolah antar daerah. Namun keberadaan sejumlah “kepentingan
tersembunyi” dari program pemberlakuan Kurikulum Nasional di era Orde Baru
tersebut bagaimanapun juga tidak dapat di elakkan adanya. Termasuk juga pada
program-program lain yang ada embel-embelnya “nas”, seperti Unas (Ujian Akhir
Nasional), Tarnas (Penataran Nasional), Seleknas (Seleksi Nasional), Prajabnas (Pra
Jabatan Nasional), dan lain-lain.

C. Sentralisasi Dan Desentralisasi Pendidikan


a. Konsep Dasar Sentralisasi Pendidikan
Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973,
yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan
daerah otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas
pusat dan daerah. Dan terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi
melalui PP No. 8 tahun 1995. Menurut UU No.22, desentralisasi dikonsepsikan
sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh
pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi:
a) Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas.
b) Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi.
c) Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehingga dapat
meningkatkan efisiensi.
d) Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.
e) Mengakomodasi kepentingan politik.
f) Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.
Desentralisasi Community Based Education mengisyaratkan terjadinya
perubahan kewenangan dalam pemerintah antara lain:
a) Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat,
secara otomatis menjadi tangung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam
pengelolaan pendidikan.
b) Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan. Dalam
hal ini, pelimpahan wewenang dalam pengelolaan pendidikan dari pemerintah
pusat ke daerah otonom, yang menempatkan kabupaten/kota sebagai sentra
desentralisasi.
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan
kebijakan kepada orang-orang pada level bawah (daerah). Pada sistem pendidikan
yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem
otonomi daerah atau otda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah
untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah
pusat. Kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di
daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun
kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan
dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta
dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi.
Hal ini terjadi karena sulit dikontrol oleh pemerinah pusat. Desentralisasi
pendidikan suatu keharusan rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan
suatu visi yang baru mengenai kehidupan masyrakat yang lebih sejahtera ialah
pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak politik, dan hak asasi masyarakat
(civil rights). Kita ingin membangun suatu masyarakat baru yaitu masyarakat
demokrasi yang mengakui akan kebebasan individu yang bertanggungjawab. Pada
masa orde baru hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah.
Keadaan ini telah melahirkan suatu pemerintah yang tersebut dan otoriter
sehingga tidak mengakui akan hak-hak daerah. Kekayaan nasional, kekayaan daerah
telah dieksploitasi untuk kepentingan segelintir elite politik. Kejadian yang terjadi
berpuluh tahun telah melahirkan suatu rasa curiga dan sikap tidak percaya kepada
pemerintah. Lahirlah gerakan separtisme yang ingin memisahkan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, desentralisasi atau otonomi daerah
merupakan salah satu tuntutan era reformasi. Termasuk di dalam tuntutan otonomi
daerah ialah desentralisasi pendidikan nasional. Ada tiga hal yang berkaitan dengan
urgensi desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi,
pengembangan sosial capital, dan pengembangan daya saing bangsa.
1)   Masyarakat Demokrasi
Masyarakat demokrasi atau dalam khasanah bahasa kita namakan masyarakat
madani (civil society) adalah suatu masyarakat yang antara lain mengakui hak-hak
asasi manusia. Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang terbuka dimana
setiap anggotanya merupakan pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung jawab
untuk membangun masyarakatnya sendiri. Pemerintah dalam masyrakat madani
adalah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat sendiri.
Masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintah yang bersih (good and clean
governance).
2)   Pengembangan “Social Capital”
Para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998,
menekankan kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital yang menjadi
pemicu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi
sebagai social capital hanya bisa diraih dan dikembangkan melalui proses pendidikan
yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses belajar yang tidak
menghargai akan kebebassan berpikir kritis tidak mungkin menghidupkan nilai-nilai
demokrasi sebagai social capital suatu bangsa.
Sistem pendidikan yang sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi
tentunya tidak sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi terbuka.
Oleh sebab itu, desentralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses
pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri. Rakyat harus
berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di
dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokrasi berarti pula
rakyat ikut membina lahirnya social capital dari suatu bangsa.
3)   Pengembangan Daya saing
Di dalam suatu masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi
yang optimal dalam pengembangan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam
kehidupan bersama tersebut diperlukan kemampuan daya saing yang tinggi di dalam
kerja sama. Di dalam suatu masyarakat yang otoriter dan statis, daya saing tidak
mempunyai tempat. Oleh sebab itu, masyarakat akan sangat lamban
perkembangannya. Masyarakat bergerak dengan komando dan oleh sebab itu sikap
masa bodoh dan menunggu merupakan ciri dari masyarakat otoriter.
Daya saing di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh
dan saling menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama
yang semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah
menjadi suatu kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari
setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat
dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus memperbaiki diri dan
meningkatkan kemampuanya. Ada empat faktor yang menentukan tingkat daya saing
seseorang atau suatu masysrakat. Faktor-fator tersebut adalah intelegensi, informasi,
ide baru, dan inovasi.
Fenomena ini berpengaruh terhadap dunia pendidikan akibatnya desentralisasi
pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi. Tentu saja desentralisasi
pendidikan bukan berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau
intervensi pejabat atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan.
Kebijakan umum yang ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang
mempertimbangkan keragaman dan kekhasan daerah. Disamping itu membawa
dampak ketergantungan sistem pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat (lokal), menghambat kreativitas, dan
menciptakan budaya menunggu petunjuk dari atas. Dengan demikian desentralisasi
pendidikan bertujuan untuk memberdayakan peranan unit bawah atau masyarakat
dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Banyak persoalan pendidikan
yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran di bawah atau
masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara.
Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi1 terinci sebagai berikut :
a) Tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan
perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas
pendidikan.
b) Anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja
dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
c) Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan
sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
d) Penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari
masyarakat
e) Tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.

Desentralisasi pendidikan, mencakup tiga hal, yaitu :


a) Manajemen berbasis lokasi (site based management)
b) Pendelegasian wewenang
c) Inovasi kurikulum.
Inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum sebesar-besarnya
untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik.
Kurikulum disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah.
Pada kurikulum 2004 yang telah diberlakukan, pusat hanya akan menetapkan
kompetensi-kompetensi lulusan dan materi-materi minimal. Daerah diberi
keleluasaan untuk mengembangkan silabus (GBPP) nya yang sesuai dengan
kebutuhan peserta didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan
yang tercermin dalam silabus sangat erat dengan program-program pembangunan
daerah. Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan
ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan
diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan
meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah,
orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan. Misi
desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah,
terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselengaranya sistem
pendidikan yang relevan dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep
globalisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan.
b. Implikasi Desentralisasi Pendidikan
Permasalahan dasar pendidikan di indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan
pada setiap jenjang dan satuan pendidikan dasar dan menengah. Sedikitnya ada tiga
faktor utama yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan yang
merata yaitu:
a) Faktor pertama, kebijakan penyelenggara pendidikan nasional menggunakan
pendekatan education production function atau input output analisys yang
tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini gagal karena kurang
memperhatikan proses pendidikan.
b) Faktor kedua penyelenggara pendidikan nasional dilakukan secara birokratif-
sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara
pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokratis yang mempunyai
jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan
tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat.
c) Faktor ketiga, peranan serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam
penyelenggaraan pendidikan sangat minim. partisipasi masyarakat lebih
banyak bersifat dukungan (dana), bukan pada proses pendidikan
(pengembalian keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas ).
Hal-hal yang menguatkan bahwa pendidkan adalah sebuah “proses” sebagai
mana yang di paparkan H.A.R. Tilaar bahwa dalam perspektif mikro yang dijadikan
pusat perhatian adalah peserta didik dalam proses belajar mengajar. Perserta didik
dalam proses belajar berkaitan dengan tujuan pendidikan, metodologi, evaluasi hasil
belajar. Semua masalah tersebut termasuk dalam sistem pendidikan di sekolah.
Kegiatan-kegiatan tersebut didukung oleh sistem internal, yaitu: Pembuatan
kebijakan, Manajemen, Service. Selanjutnya, keseluruhan sistem tersebut didukung
oleh sistem eksternal yaitu: Budaya, Kekuatan politik, Kondisi ekonomi. Kekuatan
pandangan mikro adalah menempatkan peserta didik sebagai objek utama dalam
menyelenggarakan pendidikan. Kelemahan pandangan mikro adalah seakan-akan
proses pendidikan peserta didik akan menentukan segala-galannya atas suksesnya
sistem pendidikan nasional.
Pendidikan sebagai proses dalam analisis mikro dapat dipahami dalam
perspektif studi kultural. Dalam konteks ini sistem pendidikan merupakan bagian
yang terintegrasi dari sistem budaya, sosial, politik, dan ekonomi sebagai suatu
keseluruhan. Dalam kaitan antar negara,pendidikan merupakan sistem yang
terintegrasi dalam sistem kekuasaan. Kekuatan dalam perspektif ini adalah sistem
pendidikan dapat mengubah tingkah laku seseorang dalam berpikir yang lebih
terbuka dan reflektif. Peranan negara dalam perspektif ini dapat bersifat positif
apabila lembaga-lembaga pendidikan mempunyai kontrol terhadap kekuasaan negara.
Dalam kaitanya dengan hal-hal di atas, menunjukan bahwa peran negara dalam
pembangunan pendidikan dalam perspektif mikro dan mikro menunjukkan proses
perubahan yang cukup signifikan. Sebagai diuraikan H.A.R. Tilaar tentang perubahan
peran negara dalam pendidikan.
Lebih jauh tentang desentralisasi dan otonomi pendidikan mempunyai makna
sebagai pewujudan penghargaan atas hak dan kewajiban rakyat untuk memutuskan
sendiri pendidikan untuk anak-anaknya. Proses tersebut intinya ialah memberikan
kesempatan pada rakyat untuk mengambil keputusan tetang bentuk, proses,
keberadaan lembaga pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kehidupanya. Dengan
kata lain, desentralisasi dan otonomi pendidikan bertujuan memberdayakan rakyat.
Oleh karena itu, desentralisasi dan otonomi pendidikan mempunyai dua makna, yaitu:
pertama, pengambilan keputusan dari rakyat secara langsung, atau partisipasi dalam
mengambil keputusan. Kedua partisipasi dalam manajemen situasional atau
manajemen kepemimpinan oleh rakyat dalam bidang pendidikan.
Tindakan pemerintah melakukan reorientasi pendidikan langkah strategis bagi
perbaikan mutu pendidikan dasar yang secara legal formal memiliki kekuatan hukum.
Dalam hal ini, pemerintah melalui UU No. 32 dan 33 dan 2004 tentang otonomi
daerah menuntut pembangunan pendidikan dioptimalkan didaerah. Selanjutnya peran
bupati dan walikota diharapkan lebih serius dalam melaksanakan otonomi pendidikan
dengan mengacu pada empat argumen pokok dalam membuat kebijakan pendidikan,
yakni : 1) peningkatan mutu; 2) efisiensi keuangan; 3) efisien administrasi; dan 4)
perluasan /pemerataan. Wewenang paling besar untuk sektor pendidikan sejak dari
pra-sekolah sampai pendidikan menengah atas merupakan urusan pemerintah
kabupaten atau kota. Oleh karen itu, daerah diberi kesempatan membuat grand
design yang secara kontekstual sesuai dangan wilayahnya.
Dengan adanya desentralisasi pendidikan akan memperkuat pemerintah daerah
membangun kapital sosial pada pemerintah daerah. Karena penerapan desentralisasi
pendidikan di indonesia diperkuat dengan adanya undang-undang No. 22 tahun 1999
yang menekankan bahwa wewenang paling besar untuk sektor pendidikan sejak
pendidikan pra-sekolah sampai pendidikan menengah atas adalah urusan pemerintah
kabupaten atau kota. Undng-undang tersebut diperkuat lagi dengan munculnya  UU
No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasioanal mengenai kewajiban bagi
orang tua untuk memberikan pendidikan dasar bagi anaknya (pasal 7 ayat 2).
Selanjutnya, kewajiabn bagi masyarakat memberikan dukungan sumber daya dalam
penyenggaraan pendidikan (pasal 9). Demikian juga, tentang pendanaan peendidikan
menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah , dan masyarakat
(pasal 46 ayat 1). Oleh karena itu, komitmen bupati walikota sebagai kepala
pemerintah kabupaten/kota terhadap bidang pendidikan akan memberi warna dan
corak pendidikan diaerahnya.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi yang mulai dilaksanakan tahun 2000
membawa konsekuensi besar perubahan pendidikan di indonesia. Dalam kaitanya
dengan perubahan ini, unit-unit di kabupaten dan kota perlu mengembangkan
kapasita merumuskan kebijakan operasional maupun kebijakan yang menjadi
wewenangnya. Dibnyak kasus, kebijakan semacam ini tidak eksplisit, dirumuskan
secara jelas.
Sebagai akibatnya desentralisasi pendidikan belum dapat menghasilkan bahwa :
a) Setiap unit dan personil semakin menyadari dan memahami proses kebijakan
yang menjadi urusanya.
b) Pendidik dasar dapat memainkan peranan sentral dalam melaksankan
desentralisasi kehidupan masyarakat.
c) Pentingnya kemitraan, dialog, dan membangun belajar organisasi dalam
mencapai tujuan pendidikan dasar.
d) Pentingnya menyusun panduan dan pengembangan kapasitas unit-unit dan
personil di jajaran pendidikan kabupaten dan kota.
e) Pentingnya mengenali stakeholder pendidikan sedia serat mampu melibatkan
mereka dalam kegiatan dan manejemen pendidikan.
f) Perlunya meningkatkan kesadaran pentingnya membangun masyarakat belajar
dengan kemampuan dialog secara aktif.
Kegagalan kebijakan pendidikan desentralistik dapat diantisipasi dengan
pemahaman terhadap berbagai sumber masalah. Sebagai mana dijelaskan oleh
Chapman dan Mahlck bahwa kegagalan kebijakan pendidikan dari pusat yang gagal
masuk dan dilaksanakan disekolah-sekolah karena berbagai faktor yang menjadi
sumber masalahnya, antara lain:
a) Kebijakan pusat tak dikomunikasikan ke sekolah para kepala sekolah dan
guru tak mengerti bahwa mereka harus mengerjakan hal yang berada dengan
sebelumnya.
b) Kebijakan yang telah dikomunikasikan ke sekolah tetapi dalam ungkapan-
ungkapan yang tak jelas sehingga tak tahu apa yang harus mereka lakukan.
c) Tak jarang kepala sekolah dan guru beranggapan bahwa kebijakan dan
program-program itu tak cocok dengan realitas sekolah dan kelas.
d) Para guru dan personal taksiap mengerjakan kebijakan dan praktiknya.
e) Cara-cara dan dukungan untuk menerapkan kebijakan tak mencakupi.
f) Informasi sekolah yang tersedia di departemen tak mencantumkan informasi
praktik pedagogis di tingkat kelas.
g) Sering sekali terjadi interaksi praktik yang positif dan negatif.
Dalam kaitanya dengan uraian diatas, bahwa kegagalan kebijakan pendidikan
disebabkan kurang menekankan pada analisis proses.
c. Kelebihan dan Kekurangan Desentralisasi Pendidikan
Dari beberapa pengalaman di negara lain, kegagalan desentralisasi di akibatkan
oleh beberapa hal:
a) Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desentralisasi memungkinkan
terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal
pelaksanaan yang tergesa-gesa.
b) Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat,
propinsi dan daerah.
c) Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
d) Sumber daya manusia yang belum memadai.
e) Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
f) Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
g) Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehilangan otoritasnya.
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan disentralisasi yang tidak matang juga
melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya:
a) Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antar daerah, antar sekolah,
antar individu warga masyarakat.
b) Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua)
menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurun dari waktu
sebelumnya, sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga
kependidikan di sekolah untuk melakukan pembaruan.
c) Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggaran
dialokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru
didistribusikan ke sekolah.
d) Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara
kumulatif berpotensi akan menurunkan pendidikan.
e) Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahami sepenuhnya
permasalahan dan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan
menurunkan mutu pendidikan.
f) Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam dikarenakan perbedaan
potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu
pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.
g) Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke
daerah.

Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, disentralisasi


pendidikan dalam pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang
ditempuh sangat menentukan tingkat efektifitas implementasi disentralisasi. Untuk
mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk tersebut ada beberapa hal yang perlu di
perhatikan:
a) Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi
sebagai wahana pemersatu bangsa.
b) Masa transisi benar-benar digunakan untuk menyiapkan berbagai hal yang
dilakukan secara garnual dan dijadwalkan setepat mungkin.
c) Adanya komitmen dari pemerintah daerah terhadap pendidikan, terutama
dalam pendanaan pendidikan.
d) Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat
yang telah dipersiapkan dengan matang oleh daerah.
e) Pemahaman pemerintah daerah maupun DPRD terhadap keunikan dan
keberagaman sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan
pendidikan tidak sama dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya.
f) Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa
pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan
pengelolaan aparat birokrat lainnya.
g) Adanya kesiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk
melepas kewenangannya pada pemerintah kabupaten/kota.
Selain dampak negatif tentu saja disentralisasi pendidikan juga telah
membuktikan keberhasilan antara lain:
a) Mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu
sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital
tersebut.
b) Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam
pengelolaan pendidikan.
c) Mampu membangun partisipasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan
yang relevan, karena pendidikan benar-benar dari oleh dan untuk masyarakat.
d) Mampu menyelenggarakan pendidikan dengan cara menfasilitasi proses
belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan
kualitas belajar siswa.

C. Manajemen Berbasis Sekolah


Sekolah menerapkan menajemen bebasis sekolah (MBS) sebgai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong
pengembalian keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga
sekolah (guru,siswa,kepala sekolah, karyawan orang tua siswa, dan masyarakat)
untuk meningkatkan berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dengan
kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program
yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.
Otonomi diartikan kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri,
dan merdeka/ tidak tergantung. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah
mengatur dan mengurusi kepentingan warga sekolah menurut prakasa sendiri atau
aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan
nasional yang berlaku. Pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk
mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik,
diimana warga sekolah didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
MBS didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambalian
keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk
mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. MBS  betujuan
mendirikan atau memberdayakan sekolah memlalui pemberian kewenangan
(otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan
keputusan secara partisipatif.
Munculnya MBS, dikarenakan beberapa alasan antara lain adalah:
a) Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi
dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang
tersedia untuk memajukan sekolahnya.
b) Sekolah lebih mengeahui bebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan
yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidkan sesuai
dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
c) Pengambilan keputusan oleh sekolahnya lebih cocok untuk memenuhi
kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik
bagi sekolahnya.
d) Penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana
dikontrol oleh masyarakat setempat.
e) Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarkat dalam pengambilan
keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
f) Sekolah cepat merespons aspirasi masyarakat dan lingkungan.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengelolaan
yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar kepada
sekolah, memberikan fleksibilitas/ keluwesan keluwesan kepada sekolah, dan
mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah,
karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha,
dan sebagainya.), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan
otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk
mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan
sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada.
Dengan pengertian di atas, maka sekolah memiliki kemandirian lebih besar
dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun
rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan
evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan
sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-
kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini,
maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang
unit-unit di atasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Provinsi,
dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan
sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: sifat ketergantungan
rendah; kreatif dan inisiatf, adaptif dan antisipatif/proaktif terhadap perubahan;
memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (inovatif, gigih, ulet, berani mengambil resiko,
dan sebagainya); bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang
kuat terhadap input manajemen dan sumberdayanya; memiliki kontrol yang kuat
terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan
acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah yang
berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia
bertanggungjawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya di mana, dia
memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian
hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah
adalah: pemberian kewenangan, pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang
bermakna, pemecahan masalah sekolah secara teamwork, variasi tugas, hasil kerja
yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan,
kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah
bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif,
umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah
diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat tertinggi.

a. Tujuan MBS
MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian
kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi,
transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi
peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan.
Dengan MBS, sekolah diharapkan makin mampu dan berdaya dalam
mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada koridor-koridor
kebijakan pendidikan nasional. Perlu digarisbawahi bahwa pencapaian tujuan MBS
harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (partisipasi,
transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya).
b. Karakteristik MBS
Manajemen Berbasis Sekolah memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh
sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam
menerapkan MBS, maka sejumlah karakteristik MBS berikut perlu dimiliki.
Berbicara karakteristik MBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah
efektif. Jika MBS merupakan wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan
isinya. Oleh karena itu, karakteristik MBS berikut memuat secara inklusif elemen-
elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses, dan output.
Dalam menguraikan karakteristik MBS, pendekatan sistem yaitu input-proses-
output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah
merupakan sistem sehingga penguraian karakteristik MBS (yang juga karakteristik
sekolah efektif) mendasarkan pada input, proses, dan output. Selanjutnya, uraian
berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat
kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih
rendah dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah
dari output.
a)  Output yang diharapkan
Sekolah memiliki output yang diharapkan. Output sekolah adalah prestasi
sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada
umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi
akademik (academic achievement) dan output berupa prestasi non-akademik (non-
academic achievement). Output prestasi akademik misalnya, NUN/NUS, lomba karya
ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berpikir (kritis,
kreatif/ divergen, nalar, rasional, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output non-
akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, akhlak/budipekerti,
perilaku sosial yang baik seperti misalnya bebas narkoba, kejujuran, kerjasama yang
baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi,
kedisiplinan, kerajinan, prestasi olahraga, kesenian, dan kepramukaan.
b.   Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai
berikut:
1) Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi
2) Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
3) Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib
4) Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang Efektif
5) Sekolah Memiliki Budaya Mutu
6) Sekolah Memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
7) Sekolah Memiliki Kewenangan
8) Partisipasi yang Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat
9) Sekolah Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen
10)  Sekolah Memiliki Kemauan untuk Berubah (psikologis dan pisik)
11) Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
12) Sekolah Responsif dan Antisipatif terhadap Kebutuhan
13) Memiliki Komunikasi yang Baik
14)  Sekolah Memiliki Akuntabilitas
15) Manajemen Lingkungan Hidup Sekolah Bagus
16) Sekolah memiliki Kemampuan Menjaga Sustainabilitas
b) Input Pendidikan
1) Memiliki Kebijakan, Tujuan, dan Sasaran Mutu yang Jelas
2) Sumberdaya Tersedia dan Siap
3) Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
4) Memiliki Harapan Prestasi yang Tinggi
5) Fokus pada Pelanggan (Khususnya Siswa)
6) Input Manajemen
c. Pelaksanaan MBS
Esensi MBS adalah peningkatan  otonomi sekolah, peningkatan partisipasi
warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan peningkatan
fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah. Konsep ini membawa konsekuensi
bahwa pelaksanaan MBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik”
(membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi
menggunakan pendekatan “nomotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung
seragam atau konformitas untuk semua sekolah). Oleh karena itu, dalam arti yang
sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke
semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan
manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan
proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan
proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang
berwenang dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan sekolah. Paling tidak,
proses menuju MBS memerlukan perubahan empat hal pokok berikut:
Tahap-tahap Pelaksanaan MBS
1. Melakukan Sosialisasi MBS
Secara umum, garis-garis besar kegiatan sosialisasi/pembudayaan MBS dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Baca dan pahamilah sistem, budaya, dan sumberdaya yang ada di sekolah
secara cermat dan refleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan
sumberdaya baru yang diharapkan dapat mendukung penyelenggaraan MBS.
b.  Identifikasikan sistem, budaya, dan sumberdaya yang perlu diperkuat dan
yang perlu diubah, dan kenalkan sistem, budaya, dan sumberdaya baru yang
diperlukan untuk menyelenggarakan MBS.
c. Buatlah komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua unsur yang
bertanggungjawab, jika terjadi perubahan sistem, budaya, dan sumberdaya
yang cukup mendasar.
d. Bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk mengklarifikasikan visi, misi,
tujuan, sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS.
e. Hadapilah “status quo” (resistensi) terhadap perubahan, jangan menghindar
dan jangan menarik darinya serta jelaskan mengapa diperlukan perubahan
dari manajemen berbasis pusat menjadi MBS.
f. Garisbawahi prioritas sistem, budaya, dan sumberdaya yang belum ada
sekarang, akan tetapi sangat diperlukan untuk mendukung visi, misi, tujuan,
sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS dan
doronglah sistem, budaya, dan sumberdaya manusia yang mendukung
penerapan MBS serta hargailah mereka (unsur-unsur) yang telah memberi
contoh dalam penerapan MBS.
g. Pantaulah dan arahkan proses perubahan agar sesuai dengan visi, misi, tujuan,
sasaran, rencana, dan program-program MBS yang telah disepakati.
2. Memperbanyak Mitra Sekolah
3. Merumuskan Kembali Aturan Sekolah, Peran Unsur-unsur Sekolah,   Kebiasaan
dan hubungan antar Unsur-unsur Sekolah  
4. Menerapkan Prinsip-prinsip Tata Kelola yang Baik
5. Mengklarifikasi Fungsi dan Aspek Manajemen Sekolah
6. Meningkatkan Kapasitas Sekolah
7. Meredistribusi Kewenangan dan Tanggung jawab
8. Menyusun Rencana Pengembangan Sekolah (RPS/RKAS), Melaksanakan, dan
Memonitor serta Mengevaluasinya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Negara adalah integrasi dari kekuasaan politik. Namun negara juga
merupakan alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat menertibkan fenomena kekuasaan
dalam masyarakat. kekuasaan negara yang sangat bagitu besar mencakup segenap
kehidupan masyarakatnya, maka tidak bisa dipungkiri bahwa negara juga mengatur
kehidupan pendidikan. Negara pemilik kepentingan terhadapnya, sebaliknya dunia
pendidikan (khususnya para praktisi) juga menaruh harapan besar atas perthatian
negara terhadapnya. Bila hal ini berjalan normal, maka keterkaitan antara pendidikan
dan negara bisa berlangsung sacara simbiosis-mutualisme. Dalam kenyataannya,
keterkaitan atau persinggungan antara keduanya ternyata berjalan secara bervariasi,
dimana pada suatu saat bisa berlangsung secara mutualis yang masing masing saling
memperleh dan mengambil keuntungan atas hubungan secara eksplitatif-dependensia
pihak satu terhadap yang lain. Proses perbaikan sistem pendidikan di Indonesia ini
dapat dilakukan dengan adanya sistem sentralisasi dan desentralisasi pada
pendidikan. Kedua sistem ini sangat menguntungkan bagi pendidikan karena sama-
sama membangun pendidikan Indonesia kearah yang lebih baik. Selain proses
tersebut, MBS juga dapat meningkatkan sistem pendidikan di setiap daerah atau
kabupaten.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2015. https://yusrizalfirzal.wordpress.com/2011/10/18/negara-dan-


pendidikan-sentralisasi-dan-desentralisasi-pendidikan-dan-
manajemen-berbasis-sekolah/. Diakses 25 Oktober 2015

Manan, . 1989. Antropologi Pendidikan, Suatu Pengantar. Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan Ditrektorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

. 1989. Dasar-Dasar Sosial Budaya Pendidikan. Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan Ditrektorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Natawidjaja,R. Nana, S,S. Ibrahim, R. As’ari, D. 2007. Rujukan Filsafat, Teori, dan
Praktis Ilmu Pendidikan. Universitas Pendidikan Press.

Anda mungkin juga menyukai