Negara Dan Pendidikan
Negara Dan Pendidikan
A. Konsep Negara
Negara adalah integrasi dari kekuasaan politik. Namun negara juga
merupakan alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat menertibkan fenomena kekuasaan
dalam masyarakat. Sebab manusia hidup dalam suasana kerjasama, sekaligus suasana
antagonistic yang penuh konflik. Oleh karena itu, negara merupakan organisasi yang
dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua
golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan kehidupan
bersama tersebut. Secara singkat terdapat dua tugas negara, yakni: (1) mengendalikan
dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial ataupun bertentangan satu sama
lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan; (2) mengorganisir dan
mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan kearah tercapainya
tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-
kegiatan asosiasi 57 kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan
kepada tujuan nasional
Negara kecenderungan umumnya mengacu kepada bentuk pemerintahan sipil,
yang khususnya berkembang seperti di Eropa sejak abad ke-16. Model tersebut telah
banyak ditiru dengan keberhasilan yang bervariasi. Persoalan yang muncul
ditimbulkan oleh bentuk pemerintah sipil ini dapat ditemukan melalu refleksinya
dalam filsafat politik Eropa. Baik teori kontrak sosial yang dimulai dari Thomas
Hobbes yang dituangkan dalam Leviathan (1651), ia berpendapat bahwa mematuhi
apa yang memerintah berdasarkan hukum adalah satu-satunya alternatif dalam situasi
yang penuh pertikaian yang berkepanjangan.Negara adalah suatu struktur yang
abstrak dan impersonal dari jabatan yang dipelihara kondisional dijalanakan oleh
individu-individu tertentu. Namun segera setelah Revolusi 1688, John Locke
Mempublikasikan Two Treatises of Government, yang memperluas gambaran
kekakuan negara yang bersifat tidak toleran sebagaimana diberikan oleh Hobbes.
Karya ini mempopulerkan pandangan bahwa pemerintah membentuk persetujuan
subyek mereka, dan dibatasi oleh-hak-hak alamiah (hak untuk hidup, kebebasan, dan
hak milik). Selanjutnya J.J. Rousseau menerbitkan dua karya utamanya yakni Social
Contrat dan Emile tahun 1762. Ia menertibkan bagaimana pada kehendak
umum komunitas warganegara yang ditujukan untuk kepentingan publik, yang
berpendapat bahwa republik merupakan kondisi yang diperlukan bagi perdamaian
abadi, dan di dalam Revolusi Prancis 1789, banyak mengadopsi gagasan-gagasan
Rousseau tersebut.
1. Pengertian Warga Negara
Warga Negara merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik
tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi
dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga
negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang
dianggotainya.
Ditinjau dari teori kekuatan, munculnya negara yang pertama kali, atau
bermula dari adanya beberapa kelompok dalam suatu suku yang masing-masing
dipimpin oleh kepala suku (datuk). Kemudian berbagai kelompok tersebut hidup
dalam suatu persaingan untuk memperebutkan lahan/wilayah, sumber tempat mereka
mendapatkan makanan. Akibat lebih jauh mereka kemudian berusaha untuk bisa
mengalahkan kelompok saingannya. Adagium thomas Hobbes yang menyatakan
”Bellum Omnium Contra Omnes” semua berperang melawan semua, kiranya tepat
sekali untuk memotret kondisi mereka dalam persaingan untuk memperebutkan
sesuatu. Kelompok yang terkalahkan kemudian harus tunduk serta wilayah yang
dimilikinya diduduki dan dikuasai oleh sang penakluk, dan demikian seterusnya.
a. Tujuan MBS
MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian
kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi,
transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi
peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan.
Dengan MBS, sekolah diharapkan makin mampu dan berdaya dalam
mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada koridor-koridor
kebijakan pendidikan nasional. Perlu digarisbawahi bahwa pencapaian tujuan MBS
harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (partisipasi,
transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya).
b. Karakteristik MBS
Manajemen Berbasis Sekolah memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh
sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam
menerapkan MBS, maka sejumlah karakteristik MBS berikut perlu dimiliki.
Berbicara karakteristik MBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah
efektif. Jika MBS merupakan wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan
isinya. Oleh karena itu, karakteristik MBS berikut memuat secara inklusif elemen-
elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses, dan output.
Dalam menguraikan karakteristik MBS, pendekatan sistem yaitu input-proses-
output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah
merupakan sistem sehingga penguraian karakteristik MBS (yang juga karakteristik
sekolah efektif) mendasarkan pada input, proses, dan output. Selanjutnya, uraian
berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat
kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih
rendah dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah
dari output.
a) Output yang diharapkan
Sekolah memiliki output yang diharapkan. Output sekolah adalah prestasi
sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada
umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi
akademik (academic achievement) dan output berupa prestasi non-akademik (non-
academic achievement). Output prestasi akademik misalnya, NUN/NUS, lomba karya
ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berpikir (kritis,
kreatif/ divergen, nalar, rasional, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output non-
akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, akhlak/budipekerti,
perilaku sosial yang baik seperti misalnya bebas narkoba, kejujuran, kerjasama yang
baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi,
kedisiplinan, kerajinan, prestasi olahraga, kesenian, dan kepramukaan.
b. Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai
berikut:
1) Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi
2) Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
3) Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib
4) Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang Efektif
5) Sekolah Memiliki Budaya Mutu
6) Sekolah Memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
7) Sekolah Memiliki Kewenangan
8) Partisipasi yang Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat
9) Sekolah Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen
10) Sekolah Memiliki Kemauan untuk Berubah (psikologis dan pisik)
11) Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
12) Sekolah Responsif dan Antisipatif terhadap Kebutuhan
13) Memiliki Komunikasi yang Baik
14) Sekolah Memiliki Akuntabilitas
15) Manajemen Lingkungan Hidup Sekolah Bagus
16) Sekolah memiliki Kemampuan Menjaga Sustainabilitas
b) Input Pendidikan
1) Memiliki Kebijakan, Tujuan, dan Sasaran Mutu yang Jelas
2) Sumberdaya Tersedia dan Siap
3) Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
4) Memiliki Harapan Prestasi yang Tinggi
5) Fokus pada Pelanggan (Khususnya Siswa)
6) Input Manajemen
c. Pelaksanaan MBS
Esensi MBS adalah peningkatan otonomi sekolah, peningkatan partisipasi
warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan peningkatan
fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah. Konsep ini membawa konsekuensi
bahwa pelaksanaan MBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik”
(membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi
menggunakan pendekatan “nomotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung
seragam atau konformitas untuk semua sekolah). Oleh karena itu, dalam arti yang
sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke
semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan
manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan
proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan
proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang
berwenang dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan sekolah. Paling tidak,
proses menuju MBS memerlukan perubahan empat hal pokok berikut:
Tahap-tahap Pelaksanaan MBS
1. Melakukan Sosialisasi MBS
Secara umum, garis-garis besar kegiatan sosialisasi/pembudayaan MBS dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Baca dan pahamilah sistem, budaya, dan sumberdaya yang ada di sekolah
secara cermat dan refleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan
sumberdaya baru yang diharapkan dapat mendukung penyelenggaraan MBS.
b. Identifikasikan sistem, budaya, dan sumberdaya yang perlu diperkuat dan
yang perlu diubah, dan kenalkan sistem, budaya, dan sumberdaya baru yang
diperlukan untuk menyelenggarakan MBS.
c. Buatlah komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua unsur yang
bertanggungjawab, jika terjadi perubahan sistem, budaya, dan sumberdaya
yang cukup mendasar.
d. Bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk mengklarifikasikan visi, misi,
tujuan, sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS.
e. Hadapilah “status quo” (resistensi) terhadap perubahan, jangan menghindar
dan jangan menarik darinya serta jelaskan mengapa diperlukan perubahan
dari manajemen berbasis pusat menjadi MBS.
f. Garisbawahi prioritas sistem, budaya, dan sumberdaya yang belum ada
sekarang, akan tetapi sangat diperlukan untuk mendukung visi, misi, tujuan,
sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS dan
doronglah sistem, budaya, dan sumberdaya manusia yang mendukung
penerapan MBS serta hargailah mereka (unsur-unsur) yang telah memberi
contoh dalam penerapan MBS.
g. Pantaulah dan arahkan proses perubahan agar sesuai dengan visi, misi, tujuan,
sasaran, rencana, dan program-program MBS yang telah disepakati.
2. Memperbanyak Mitra Sekolah
3. Merumuskan Kembali Aturan Sekolah, Peran Unsur-unsur Sekolah, Kebiasaan
dan hubungan antar Unsur-unsur Sekolah
4. Menerapkan Prinsip-prinsip Tata Kelola yang Baik
5. Mengklarifikasi Fungsi dan Aspek Manajemen Sekolah
6. Meningkatkan Kapasitas Sekolah
7. Meredistribusi Kewenangan dan Tanggung jawab
8. Menyusun Rencana Pengembangan Sekolah (RPS/RKAS), Melaksanakan, dan
Memonitor serta Mengevaluasinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Negara adalah integrasi dari kekuasaan politik. Namun negara juga
merupakan alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat menertibkan fenomena kekuasaan
dalam masyarakat. kekuasaan negara yang sangat bagitu besar mencakup segenap
kehidupan masyarakatnya, maka tidak bisa dipungkiri bahwa negara juga mengatur
kehidupan pendidikan. Negara pemilik kepentingan terhadapnya, sebaliknya dunia
pendidikan (khususnya para praktisi) juga menaruh harapan besar atas perthatian
negara terhadapnya. Bila hal ini berjalan normal, maka keterkaitan antara pendidikan
dan negara bisa berlangsung sacara simbiosis-mutualisme. Dalam kenyataannya,
keterkaitan atau persinggungan antara keduanya ternyata berjalan secara bervariasi,
dimana pada suatu saat bisa berlangsung secara mutualis yang masing masing saling
memperleh dan mengambil keuntungan atas hubungan secara eksplitatif-dependensia
pihak satu terhadap yang lain. Proses perbaikan sistem pendidikan di Indonesia ini
dapat dilakukan dengan adanya sistem sentralisasi dan desentralisasi pada
pendidikan. Kedua sistem ini sangat menguntungkan bagi pendidikan karena sama-
sama membangun pendidikan Indonesia kearah yang lebih baik. Selain proses
tersebut, MBS juga dapat meningkatkan sistem pendidikan di setiap daerah atau
kabupaten.
DAFTAR PUSTAKA
Natawidjaja,R. Nana, S,S. Ibrahim, R. As’ari, D. 2007. Rujukan Filsafat, Teori, dan
Praktis Ilmu Pendidikan. Universitas Pendidikan Press.