Anda di halaman 1dari 34

KAJIAN ISLAM

1. Iman, Islam,Ihsan
2. Islam danSains
3. Islam dan PenegakanHukum
4. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan NahiMunkar
5. Fitnah AkhirZaman

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Endang Sri Sundari


NIM : C1G020074
Fakultas&Prodi : Pertanian dan Agribisnis
Semester : 1 ( Satu )

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas ini
Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah MuhammadSAW
atas
Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S. Th.I.,M. Sos
sebagai dosen pengampuh mata Kuliah PendidkanAgamaIslam

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat kepada pembaca, terlebih bagi
saya pribadi
Penyusun, Terara 17 Desember 2020

Nama : Endang Sri Sundari


NIM : C1G020074

ii
DAFTAR ISI

HALAMANCOVER i
KATAPENGANTAR ii
DAFTARISI iii
I. Iman,Islam,Ihsan 1-6
II. Islam dan Sains 7-12
III. Islam dan Penegakan Hukum 13-16
IV. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf danNahiMunkar 17-26
V. Fitnah Akhir Zaman 27-30
DAFTARPUSTAKA 31
LAMPIRAN

iii
BAB 1

Iman, Islam dan Ihsan

A. Pengertian Iman

Kata Iman berasal dari Bahasa Arab yaitu bentuk masdar dari kata kerja (fi’il) “amana”. Yang
mengandung beberapa arti yaitu percaya, tunduk, tentram dan tenang.

Imam al-Ghazali mengartikannya dengan : “pembenaran”.

Menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi : “ Iman ialah pembenaran dengan hati”.

Menurut Imam Abu Hanifah: “ Iman ialah mengikrarkan (dengan lidah ) dan membenarkan
(dengan hati)”.

Menurut Hasbi As-Shiddiqy : “ Iman ialah mengucapkan dengan lidah, membenarkan dengan
hati dan mengerjakan dengan anggota tubuh”.

Menurut Imam Ahmad bin Hanbal mendefinisikannya dengan: “Ucapan diiringi dgn ketulusan
niat dan dilandasi dgn berpegang teguh kepada Sunnah”.

Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri
keraguan sedikitpun. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal
lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena
kemaksiatan.

Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari
pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai
keImanan kecuali jika seorang hamba telah mampu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih
khusus dipandang dari segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku
keIslaman dan tidak semua pelaku keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap
mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin.

Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu
indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara
beriringan dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah
mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada
mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari
rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-
benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)

1
Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama
memandang keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan
akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang
melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima
pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau
kafir, tidak ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak
bertambah dan tidak berkurang.

Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria
bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:

1) Diyakini dalam hati

2) Diucapkan dengan lisan

3) Diamalkan dengan anggota tubuh.

Sesuai dengan hadits Rasulullah saw diatas sudah jelas bahwasanya ada enam rukun iman
yang harus diyakini untk menjadi seorang islam yang sempurna dan menjadi seorang hamba
Allah yang ihsan nantinya.

Keenam Rukun Iman tersebut adalah:

a. Beriman kepada Allah Swt

b. Beriman kepada Malaikat

c. Beriman kepada Kitab-kitab

d. Beriman kepada para Rasul

e. Beriman kepada Hari Akhirat

f. Beriman kepada (Taqdir) Ketentuan Allah

2. Islam

A. Pengertian Islam

Islam secara etimologi (bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut
syari’at (terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua pengertian: Pertama: Apabila
disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka pengertian Islam mencakup seluruh
agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah,
keyakinan, perkataan dan perbuatan. Jadi pengertian ini menunjukkan bahwa Islam adalah
mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla atas
semua yang telah ditentukan dan ditakdirkan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
tentang Nabi Ibrahim Alaihissallam [1]:

َ‫ت لِ َربِّ ْال َعالَ ِمين‬


ُ ‫إِ ْذ قَا َل لَهُ َربُّهُ أَ ْسلِ ْم ۖ قَا َل أَ ْسلَ ْم‬
2
“(Ingatlah) ketika Rabb-nya berfirman kepadanya (Ibrahim), ‘Berserahdirilah!’ Dia menjawab:
‘Aku berserah diri kepada Rabb seluruh alam.’” [Al-Baqarah: 131]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

‫ت هَّللا ِ فَإِ َّن هَّللا َ َس ِري ُع‬ َ ‫اختَلَفَ الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
ِ ‫َاب إِاَّل ِمن بَ ْع ِد َما َجا َءهُ ُم ْال ِع ْل ُم بَ ْغيًا بَ ْينَهُ ْم ۗ َو َمن يَ ْكفُرْ بِآيَا‬ ْ ‫إِ َّن ال ِّدينَ ِعن َد هَّللا ِ اإْل ِ سْاَل ُم ۗ َو َما‬
ِ ‫ْال ِح َسا‬
‫ب‬

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah
diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka.
Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-
Nya.” [Ali ‘Imran: 19]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

ِ ‫َو َمن يَ ْبت َِغ َغ ْي َر اإْل ِ سْاَل ِم ِدينًا فَلَن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوهُ َو فِي اآْل ِخ َر ِة ِمنَ ْال‬
َ‫خَاس ِرين‬

“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia
termasuk orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]

Menurut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahulllah, definisi Islam adalah:

‫ك َوأَ ْهلِ َِه‬


ِ ْ‫ َْا ِإل ْستِ ْسالَ ُم ِهللِ بِالتَّوْ ِح ْي ِد َو ْا ِإل ْنقِيَا ُد لَهُ باِلطَّا َع ِة َو ْالبَ َرا َءةُ ِمنَ ال ِّشر‬:‫ا ِإل ْسالَ ُم‬.ْ

“Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk dan patuh
kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya.”

Kedua: Apabila kata Islam disebutkan bersamaan dengan kata iman, maka yang dimaksud
Islam adalah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang dengannya terjaga diri dan hartanya [2],
baik dia meyakini Islam atau tidak. Sedangkan kata iman berkaitan dengan amal hati [3].

Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

‫ت اأْل َ ْع َرابُ آ َمنَّا ۖ قُل لَّ ْم تُ ْؤ ِمنُوا َو ٰلَ ِكن قُولُوا أَ ْسلَ ْمنَا َولَ َّما يَ ْد ُخ ِل اإْل ِ ي َمانُ فِي قُلُوبِ ُك ْم ۖ َوإِن تُ ِطيعُوا هَّللا َ َو َرسُولَهُ اَل يَلِ ْت ُكم ِّم ْن أَ ْع َمالِ ُك ْم‬
ِ َ‫قَال‬
ُ ‫هَّللا‬
‫َش ْيئًا ۚ إِ َّن َ َغفو ٌر َّر ِحي ٌم‬

“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu
belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke
dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi
sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’” [Al-
Hujuraat: 14]

B. Tingkatan Islam Tidak diragukan lagi bahwa prinsip agama Islam yang wajib diketahui dan
diamalkan oleh setiap muslim ada tiga, yaitu; (1) mengenal Allah Azza wa Jalla, (2) mengenal
agama Islam beserta dalil-dalilnya [4], dan (3) mengenal Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mengenal agama Islam adalah landasan yang kedua dari prinsip agama ini
dan padanya terdapat tiga tingkatan, yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Setiap tingkatan mempunyai
rukun sebagai berikut: Islam Islam memiliki lima rukun, yaitu:

1. Bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah,

3
dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah.

2. Menegakkan shalat.

3. Membayar zakat.

4. Puasa di bulan Ramadhan.

5. Menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu menuju ke sana.

Kelima rukun Islam ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam

; َ ‫ َوتَ ُح َّج ْالبَيْتَ إِ ِن‬، َ‫ َوتَصُوْ َم َر َمضَان‬،َ‫ َوتُ ْؤتِ َي ال َّزكاَة‬،َ‫صالَة‬


َّ ‫ َوتُقِ ْي َم ال‬،ِ‫ْا ِإل ْسالَ ُم أَ ْن تَ ْشهَ َد أَ ْن الَ إِلهَ إِالَّ هللاُ َوأَ َّن ُم َح َّمداً َرسُوْ ُل هللا‬
ً‫ ا ْستَطَعْتَ إِلَ ْي ِه َسبِ ْيال‬.

“Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar
melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat,
membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah jika engkau
mampu menuju ke sana.”

[5] Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

َّ ‫ َوإِقَ ِام ال‬،ِ‫ة أَ ْن الَ إِلَهَ إِالَّ هللاُ َوأَ َّن ُم َح َّمدًا َرسُوْ ُل هللا‬pِ ‫ َشهَا َد‬:‫س‬
‫ َوصَوْ ِم َر َمضَانَ َو َح ِّج‬،‫ َوإِ ْيتَا ِء ال َّزكَا ِة‬،‫صالَ ِة‬ ٍ ‫بُنِ َي ْا ِإل ْسالَ ُم َعلَى َخ ْم‬
ْ
ِ ‫البَ ْي‬.
‫ت‬

“Islam dibangun atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak
diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke
Baitullah.” [6]

3. Ihsan

A. Pengertian ihsan

Ihsan berasal dari kata “hasana yuhsinu”, yang artinya adalah “berbuat baik”, sedangkan
bentuk masdarnya adalah “ihsanan”, yang artinya “kebaikan”.

Allah Swt. Berfirman dalam Al-qur’an mengenai hal ini.

”... Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri . . .”(Al-isra’:7)

Menurut bahasa Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target
seluruh hamba Allah swt. Sebab ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan
dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan
kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat dimata Allah SWT.
Rasulullah SAW Pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya
mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia. Oleh
karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang
utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari aqidah dan bagian terbesar dari

4
keislamannya karena, islam di bangun atas tiga landasan utama, yaitu iman, islam, dan ihsan,
seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah Saw.dalam haditsnya yang sahih . Hadits ini
menceritakan saat Rasulullah Saw. Menjawab pertanyaan malikat jibril – yang menyamar
sebagai seorang manusia – mengenai islam, iman, dan ihsan. Setelah jibril pergi, Rasulullah
Saw. Bersabda kepada sahabatnya, “ inilah jibril yang datang mengajarkan kepada kalian
urusan agama kalian.” Beliau menyebutkan ketiga hal diatas sebagai agama, dan bahkan Allah
Swt. Memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-qur’a

ihsan memiliki dampak sangat besar ketika diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Ihsan bisa menjadi pengaja, bahkan peniglat kualitas setiap amalan yang dilaksanakan. Dalam
sebuah hadits yang cukup panjang di mana Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ditanya
perihal islam, iman, dan ihsan, beliau menuturkan tentang ihsan sebagai berikut:

َ ‫أَ ْن تَعْبـــ ُ َد هَّللا َ كَأَنَّــ‬


َ ‫ك ت ََراهُ فَإِ ْن لَ ْم تَ ُك ْن ت ََراهُ فَإِنَّهُ يَ َرا‬
‫ك‬

“Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan engkau melihat-Nya, maka bila engkau tak
melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu.” (HR Muslim)

Definisi Ihsan yang dijavarkan Rasulullah di dalam hadits tersebut adalah kita, umat Islam,
beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihat Allah namun ketika kita merasa tidak dapat
melihatNya, maka kita harus senantiasa yakin bahwa sesungguhnya Allah tidak pernah luput
untuk memperhatikan dan mengawasi kita dimanapun dan kapanpun kita berada.

Hakikat ihsan mengajarkan kita agar senantiasa menjaga dan memperhatikan hak-hak Allah,
serta menyadari betapa agungnya kebesaran Allah selama menjalankan ibadah. Ihsan
mengajarkan kepada seluruh Muslim untuk bersikap professional dalam setiap aktivitas yang
dilakukannya. Meningkatkan kualitas, memperbanyak kuantitas, menebar kebermanfaatan,
dan mempersembahkan yang terbaik yang ia mampu merupakan syarat-syarat seorang muslim
untuk berlaku professional. Karena memang, hakikat hidup ini adalah sebagai ajang untuk
berlomba-lomba mempersembahkan amal terbaik.

Baca Juga : Masjid Al-Aqsha Terbakar Bersamaan dengan Gereja Rotre Dame

Imam Nawawi juga dalam menjelaskan bahwa bila seseorang di dalam ibadahnya mampu
melihat secara nyata Tuhannya maka sebisa mungkin ia tidak akan meninggalkan sedikit pun
sikap khusyuk dan khudlu’ (merendah diri) di dalam ibadahnya tersebut. Keterengan tersebut
5
tertulis dalam kitab al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim ibnil Hajjâj.

Dengan begitu benar adanya jika ihsan bisa meningkatkan kualitas diri seorang muslim dan
amalannya dilandasi sebuah keyakinan bahwa sesungguhnay Allah senantiasa mengawasi dan
menilai amalan-amalannya dimanapun dan kapanpun.

6
BAB II

Islam dan Sains

A. Pengertian islam dan sains

Islam, kata ini adalah suatu suku kata yang dipergunakan oleh nabi Muhammad SAW,
untuk nama ajaran yang dibawanya yaitu islam. Secara harfiah (etimologi), islam
berasal dari bahasa arab yang mempunyai banyak arti antara lain tunduk, patuh,
berserah diri dan selamat. Menurut istilah Harun Nasution memberikan definisi
tentang islam, bahwa Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan
kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad sebagai Rasul. Islam pada
hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi
mengenai berbagai segi kehidupan manusia.[1]

Sedangkan kata sains berasal dari bahasa latin “scientia” yang berarti pengetahuan.
Ada pula yang mendefinisikan sains adalah “pengetahuan yang diperoleh melalui
pembelajaran dan pembuktian” atau “pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran
umum dari hukum – hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan
melalui metode ilmiah. Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk
mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen
untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena – fenomena yang terjadi di alam .

Pengertian sains juga merujuk kepada susunan pengetahuan yang orang dapatkan
melalui metode tersebut, atau bahasa yang lebih sederhana, sains adalah cara ilmu
pengetahuan yang didapatkan dengan menggunakan metode tertentu.

Sains dengan definisi diatas sering kali disebut dengan sains murni, untuk
membedakannya dengan sains terapan, yang merupakan aplikasi sains yang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan manusia. ilmu sains biasanya diklasifikasikan menjadi dua
yaitu:

– Natural sains atau Ilmu Pengetahuan Alam

– Sosial sains atau ilmu Pengetahuan social

Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan, sains sebagai proses
merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan
7
penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah
tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang
eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini
tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala
alam dapat berbentuk kuantitas.[2]

Ilmu berkembang dengan pesat, yang pada dasarnya ilmu berkembang dari dua
cabang utama yaitu filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the
natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam ilmu-ilmu
sosial (the social sciences). Ilmu-ilmu alam membagi menjadi dua kelompok yaitu ilmu
alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam ialah
ilmu yang mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan ilmu hayat
mempelajari makhluk hidup didalamnya. Ilmu alam kemudian bercabang lagi menjadi
fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi
(mempelajari benda-benda langit dan ilmu bumi), (the earth sciences) yang
mempelajari bumi kita.

B. Al – Qur’an dengan Sains

Mu’jizat islam (al-qur’an) yang paling utama ialah hubungannya dengan ilmu
pengetahuan. Surah pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW ialah
nilai tauhid, keutamaan pendidikan dan cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Islam juga memerintahkan umatnya mencari ilmu untuk mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan di akhirat kelak, sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Menutut ilmu itu
wajib bagi setiap orang islam”.

Al – qur’an (kitab suci umat islam) mengandung ilmu pengetahuan yang pasti dan tidak
ada pertentangan di dalamnya. Di dalam Al-qur’an terdapat kurang lebih 750 rujukan
yang berkaitan dengan ilmu, sementara tidak ada agama atau kebudayaan yang lain
yang menegaskan dengan begitu tegas akan pentingnya ilmu dalam kehidupan
manusia untuk menjamin kebahagiaannya di muka bumi ini dan di akhirat.[3]

Ilmu yang terkandung dalam al-Qur’an antara lain ialah ilmu yang berhubungan
dengan kemasyarakatan yang memberi pedoman dan petunjuk dan juga terdapat
maklumat atau isyarat tentang perkara – perkara yang telah menjadi tumpuan kajian
sains, misalnya :

8
1. Cap jari tangan sebagai tanda pengenal manusia

( Q.S al- Qiyamah : 3-4)

2. Penciptaan planet bumi dan langit (Q.S al- Anbiya’ : 30)

3. Bahwa planet bumi beredar menurut orbitnya mengelilingi matahari (QS. Al-
Anbiya’ : 33)

4. Penciptaan makhluk semuanya berpasangan (QS. Yasin : 36)

Allah SWT telah membuat peraturan sebab-akibat bagi makhluk –Nya supaya umat
manusia merasa tentram dan stabil di muka bumi ini, serta berusaha untuk
mendapatkan keridloan-Nya. Allah telah memberitahukan umat manusia perkara-
perkara yang tidak dapat dipikirkan oleh manusia melalui wahyu. Hal itu untuk
menunjukkan kepada manusia bahwa Allah SWT Maha Esa dan semua yang ada di
alam semesta dibawah kekuasanNya.

Sebenarnya berbicara mengenai pengetahuan tidak akan pernah dilepaskan dari dua
aspek. Pertama adalah aspek yang mengetahui yaitu manusia atau disebut juga
sebagai subjek kedua adalah aspek yang diketahui atau disebut juga sebagai objek
antara subjek dengan objek tidak akan pernah bisa dipisahkan, artinya tidak akan
pernah ada. Sebuah pengetahuan andai kata salah stu dari kedua aspek itu tidak ada
yang tidak ada. Hasil interaksi antara subjek dan objek itu kemudian dikomunikasikan
dan jadilah pengetahuan. Jadi pengetahuan pada dasarnya ialah kesatuan antara
subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui.

C. Peran Islam dalam Sains

Kekuatan akal atau rasio manusia dalam realitas faktualnya tidaklah cukup untuk
menyingkap tabir rahasia kejadian dan kehidupan di alam semesta. Alasan logisnya,
manusia adalah makhluk yang merupakan sesuatu yang diciptakan dan berada dalam
keterbatasan, yang tak terbatas adalah Sang Kholik. Dengan demikian manusia adalah
noktah penciptaan dari totalitas ciptaan yang ada, yang mana kemampuan
pengetahuannya sangatlah bergantung pada kemurahan Sang Kholik.

9
Dalam hal ini islam sebagai ajaran yang datang dari Al-Kholiq sudah tentu lebih tinggi
kedudukannya dibandingkan sains. Artinya, realitas kebenaran yang ada dalam islam
yang mana bersumber dari wahyu lebih terjamin, sifatnya absolut dan bisa dipercaya
karena ia tidak datang dari kemampuan manusia yang terbatas.[5]

Islam mengajarkan manusia untuk melakukan nazhar (mengadakan observasi dan


penilitian ilmiah) terhadap segala macam peristiwa alam diseluruh jagad ini dan juga
terhadap lingkungan masyarakat serta historisitas bangsa-bangsa terdahulu. Seperti
dalam firmanNya dalam surat Yunus ayat 101 “Lihatlah apa-apa yang dilangit dan
dibumi…” dan surat Ali Imron ayat 137 “Sesungguhnya telah berlaku sebelum kamu
sunnah-sunnah Allah. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan lihatlah bagaimana
akibat orang-orang yang mendustakan agama”.

Dari penjelasan di atas dapat kita kritisi tentang perbedaan nazhar yang diperintahkan
Allah dan nazhar yang biasa dilakukan dalam sains. Berbeda dengan nazhar pada sains,
yang hanya menitik beratkan pada observasi dan eksplorisasi ilmiah untuk meneliti
substansi material alam semesta, nazhar yang diperintahkan agama tidak hanya
sekedar kerja rasio dan rasa, tetapi juga didorong aktif oleh manifestasi iman kepada
Allah. Dengan demikian islam mengajarkan bahwa segala sesuatu yang kita selidiki dan
teliti secara mendalam itu adalah terbatas pada ciptaan Allah dan semata-mata dalam
rangka menigkatkan iman manusia kepada Allah.

Di era modern ini sains sangatlah di unggulkan, pekerjaan manusia menjadi lebih
mudah dan ringan karena kemajuan dari sains dan teknologi. Selain memudahkan
manusia dalam menjalani aktifitas sehari-hari, sains juga mempunyai peran penting
dalam peribadatan umat islam.

Adapun peran sains dalam peribadatan muslim antara lain dalam penentuan waktu
sholat, penentuan arah qiblat, penentuan 1 ramadhan dan 1 syawal. Dalam penentuan
waktu sholat, al-qur’an dan hadits sebenarnya sudah menjelaskan hal tersebut namun
masih bersifat kualitatif sebab belum disebutkan pukul berapa awal setiap waktu
sholat. Akan tetapi dari hadits dan sumber-sumber lainnya, akhrinya para ulama dan
ahli hisab atau ahli astronomi dapat menyebutkan waktu sholat secara kuantitatif.
Selain itu sains juga memiliki andil dalam penentuan arah qiblat. Dalam penentuan
arah qiblat biasanya menggunakan rumus-rumus segitiga bola dan rumus-rumus sinar
matahari. Itulah beberapa peran dari sains terhadap islam dalam hal penerapan sains
untuk kesempurnaan peribadatan seorang muslim.

D. Sains Moderen dan Islam

10
Keinginan atau obsesi akan bangkitnya kembali peradaban Islam secara jujur lahir dari
bentuk romantisisme terhadap sejarah masa lampau. Walau begitu, keinginan itu
tentunya sesuatu yang wajar. Bahkan menjadi kewajiban setiap muslim untuk dapat
membangun suatu peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Karena itu, catatan
sejarah di atas akan membuat kita lebih bijak dalam melihat ke arah mana kita akan
menuju.[6]

Satu hal yang jelas adalah sebuah peradaban baru dapat berdiri kokoh jika berhasil
membangun suatu sistem pengetahuan yang mapan. Bangkitnya peradaban Islam
akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam bidang sains melalui prestasi
institusional dan epistemologis menuju pada proses dekonstruksi epistemologi sains
moderen yang memungkinkan nilai-nilai Islam terserap secara seimbang ke dalam
sistem pengetahuan yang dibangun tanpa harus menjadikan sains sebagai alat
legitimasi agama dan sebaliknya. Ini sejalan dengan gagasan islamisasi pengetahuan
yang pernah dilontarkan oleh Ismail Raji Al-faruqi.

Mengapa masyarakat Islam perlu melakukan reformasi sains moderen? Bukankah


sains moderen telah begitu banyak memberikan manfaat bagi manusia? Pernyataan
ini mungkin benar jika kita melihat tanpa sikap kritis bagaimana sains moderen
membuat kehidupan (sekelompok) manusia menjadi lebih sejahtera. Argumen yang
masuk akal datang dari Sal Restivo yang mengungkap bagaimana sains moderen
adalah sebuah masalah sosial karena lahir dari sistem masyarakat moderen yang cacat.
Secara historispun kita bisa memahami bagaimana sains moderen lahir sebagai mesin
eksploitasi sistem kapitalisme. Paul Feyerabend bahkan mengkritik sains moderen
sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi, kualitas hidup manusia, dan bahkan
kelangsungan hidup bumi beserta isinya. Dalam kondisisi seperti ini, Islam semestinya
dapat menjadi suatu alternatif dalam mengembangkan sains ke arah yang lebih bijak.
Walau begitu, islamisasi pengetahuan adalah sebuah proyek ambisius untuk tidak
menyebutnya utopia. Proyek islamisasi pengetahuan yang sarat dengan nilai akan
sangat sulit tercapai karena bertentangan dengan dogma sains moderen yang
mengklaim dirinya sebagai “bebas” nilai sehingga bersifat netral dan universal. Klaim
netralitas dan universalitas sains moderen itu sendiri pada dasarnya bermasalah.
Netralitas justru menjadi tempat perlindungan bagi sains moderen dari kritik terhadap
berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara universalitas tidak lebih
dari sekedar alat hegemoni sains moderen terhadap sistem pengetahuan yang lain. [7]
Studi sosial dan kultural terhadap sains moderen yang dilakukan beberapa sarjana
memberi cukup bukti bahwa sains dan pengetahuan yang dihasilkannya selalu bersifat
kultural, terkonstruksi secara sosial, dan tidak pernah lepas dari kepentingan ekonomi
dan politik. Inilah tantangan terbesar bagi saintis muslim dalam upaya membangun
sistem pengetahuan yang islami.

E. Landasan agama

11
Pengembangan sains dalam sejarah Islam sejalan dengan perintah Alquran untuk
mengamati alam dan menggunakan akal, dua dasar metodologis sains. Alquran sendiri
merupakan sumber pertama ilmu, seperti yang dinyatakan dalam surat an-Nisa' ayat
82: ''Maka, apakah mereka tidak memerhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.''

Perintah penggunaan akal sebagai dasar kerasionalan ilmu dengan perintah


mengamati alam sebagai dasar keempirikan ilmu selalu berjalan seiring, misalnya
dalam surat ar-Rum ayat 22, al-Baqarah ayat 164, Ali 'Imran ayat 190-191, Yunus ayat
5, dan al-An'am ayat 97. Firman Allah SWT juga sering disertai pertanyaan afala
ta'qilun (mengapa tidak kau gunakan akalmu) dan afala tatafakkarun (mengapa tak kau
pikirkan)

BAB III

12
Islam dan Penegakan Hukum

A. Pengertian hukum dan hokum Islam

Hukum merupakan sarana untuk mengendalikan aktivitas kehidupan berbangsa dan


bernegara. Oleh karena itu, penegakan hukum sangat didambakan masyarakat
Indonesia saat ini. Namun untuk mewujudkan dambaannya, tidak cukup hanya dengan
undang-undang belaka, tetapi harus memperhatikan tiga fenomena hukum, yaitu:
substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum, dalam arti adanya konsistensi
antara law in books dan law in action. Belum terwujudnya penegakan hukum di
Indonesia disebabkan adanya tiga faktor yang menjadi kendala utama yaitu: 1) faktor
kualitas hidup masyarakat, 2) faktor rumusan hukum, 3) faktor kualitas sumber daya
manusia. Akibat tiga kendala tersebut, menjadi penyebab terpuruknua Indonesia
disegala bidang. Untuk mengantisipasi keterpurukan yang dialami bangsa Indonesia
sekarang, maka alternatif yang perlu dipertimbangkan adalah pendekatan agama dan
moral, dalam arti pembinaan Akhlaqul Karimah.

Hukum Islam atau syariat islam adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada
wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukalaf (orang yang sudah
dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua
pemeluknya.[1]

Dan hal ini mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Rasul untuk melaksanakannya
secara total. Syariat Islam menurut istilah berarti hukum-hukum yang diperintahkan
Allah SWT untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik yang berhubungan
dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang berhubungan dengan amaliyah.Syariat
Islam menurut bahasa berarti jalan yang dilalui umat manusia untuk menuju kepada
Allah Ta’ala. Dan ternyata Islam bukanlah hanya sebuah agama yang mengajarkan
tentang bagaimana menjalankan ibadah kepada Tuhannya saja. Keberadaan aturan
atau sistem ketentuan Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah
Ta’ala dan hubungan manusia dengan sesamanya. Aturan tersebut bersumber pada
seluruh ajaran Islam, khususnya Al-Quran dan Hadits.

B. Penegakan Hukum dalam Islam

Islam telah menggariskan sejumlah aturan untuk menjamin keberhasilan penegakkan


hukum antara lain:

1. Semua produk hukum harus bersumber dari wahyu.

Seluruh konstitusi dan perundang-undangan yang diberlakukan dalam Daulah


Islamiyah bersumber dari wahyu. Ini bisa dipahami karena netralitas hukum hanya bisa
diwujudkan tatkala hak penetapan hukum tidak berada di tangan manusia, tetapi di
tangan Zat Yang menciptakan manusia. Menyerahkan hak ini kepada manusia—seperti
yang terjadi dalam sistem demokrasi-sekular—sama artinya telah memberangus
13
“netralitas hukum”.

Dalam sistem Islam, sekuat apapun upaya untuk mengintervensi hukum pasti akan
gagal. Pasalnya, hukum Allah SWT tidak berubah, tidak akan pernah berubah, dan tidak
boleh diubah. Khalifah dan aparat negara hanya bertugas menjalankan hukum, dan
tidak berwenang membuat atau mengubah hukum. Mereka hanya diberi hak untuk
melakukan ijtihad serta menggali hukum syariah dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw.

2. Kesetaraan di depan hukum.

Di mata hukum Islam, semua orang memiliki kedudukan setara; baik ia Muslim, non-
Muslim, pria maupun wanita. Tidak ada diskriminasi, kekebalan hukum, atau hak
istimewa. Siapa saja yang melakukan tindakan kriminal (jarimah) dihukum sesuai
dengan jenis pelanggarannya. Dituturkan dalam riwayat sahih, bahwa pernah seorang
wanita bangsawan dari Makhzum melakukan pencurian. Para pembesar mereka
meminta kepada Usamah bin Zaid agar membujuk Rasulullah saw. agar memperingan
hukuman. Rasulullah saw. murka seraya bersabda:

‫ض ِعيفُ أَقَا ُموا َعلَ ْي ِه ْال َح َّد َوا ْي ُم هللاِ لَوْ أَ َّن‬ َ ‫ك الَّ ِذينَ قَ ْبلَ ُك ْم أَنَّهُ ْم كَانُوا ِإ َذا َس َر‬
َ ‫ق فِي ِه ُم ال َّش ِريفُ تَ َر ُكوهُ َوإِ َذا َس َر‬
َّ ‫ق فِي ِه ُم ال‬ َ َ‫إِنَّ َما أَ ْهل‬
‫ْت يَ َدهَا‬ُ ‫ت لَقَطَع‬ ْ َ‫ بِ ْنتَ ُم َح َّم ٍد َس َرق‬pَ‫فَا ِط َمة‬

Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah tatkala ada


orang yang terhormat mencuri, mereka biarkan; jika orang lemah yang mencuri,
mereka menegakkan had atas dirinya. Demi Zat Yang jiwaku berada dalam
genggaman-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya akan aku
potong tangannya (HR al-Bukhari).

Imam al-Bukhari juga menuturkan sebuah riwayat dari Rafi’ bin Khudaij, yang berkata,
“Serombongan orang Anshar pergi ke Khaibar. Sesampainya di sana, mereka berpisah-
pisah. Lalu mereka mendapati salah satu anggota rombongan terbunuh. Mereka
berkata kepada orang yang mereka jumpai (Orang-orang Yahudi), ’Sungguh kalian
telah membunuh sahabat kami.’ Orang-orang Yahudi Khaibar itu menjawab, ’Kami
tidak mengetahuai pembunuhnya.’ Orang-orang Anshar itu pun menghadap
menghadap Nabi saw., seraya berkata, “Ya Rasulullah, kami telah pergi ke Khaibar, dan
kami mendapati salah satu anggota rombongan kami terbunuh.’ Nabi saw. bersabda,
’Al-Kubra al-kubra (Sungguh sangat besar).’ Kemudian Nabi saw bersabda kepada
mereka agar mereka menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan orang yang
membunuh anggota rombongannya. Mereka berkata, ’Kami tidak mempunyai bukti.’
Rasulullah saw. bersabda, ’Mereka (orang-orang Yahudi Khaibar) harus bersumpah.’
14
Orang-orang Anshar itu berkata, ’Kami tidak ridha dengan sumpahnya orang Yahudi.’
Rasulullah saw. menolak untuk membatalkan darahnya. Lalu Rasulullah saw.
membayarkan diyat 100 ekor unta sedekah.” (HR al-Bukhari).

Saat itu Khaibar menjadi bagian Negara Islam. Penduduknya didominasi orang Yahudi.
Ketika orang Yahudi bersumpah tidak terlibat dalam pembunuhan, Rasulullah saw. pun
tidak menjatuhkan vonis kepada mereka karena ketiadaan bukti dari kaum Muslim.
Bahkan beliau membayarkan diyat atas peristiwa pembunuhan tersebut. Hadis ini
menunjukkan bahwa semua orang memiliki kedudukan setara di mata hukum, tanpa
memandang perbedaan agama, ras, dan suku.

3. Mekanisme pengadilan efektif dan efisien.

Mekanisme pengadilan dalam sistem hukum Islam efektif dan efisien. Ini bisa dilihat
dari beberapa hal berikut ini. Pertama: keputusan hakim di majelis pengadilan bersifat
mengikat dan tidak bisa dianulir oleh keputusan pengadilan manapun. Kaedah ushul
fikih menyatakan:

‫اَاْل ِ جْ تِهَا ُد الَ يُ ْنقَضُ بِااْل ِ جْ تِهَا ِد‬

Sebuah ijtihad tidak bisa dianulir dengan ijtihad yang lain.

Keputusan hakim hanya bisa dianulir jika keputusan tersebut menyalahi nas syariah
atau bertentangan dengan fakta. Keputusan hakim adalah hukum syariah yang harus
diterima dengan kerelaan. Oleh karena itu, pengadilan Islam tidak mengenal adanya
keberatan (i’tiradh), naik banding (al-istinaf) dan kasasi (at- tamyiiz). Dengan begitu
penanganan perkara tidak berlarut-larut dan bertele-tele. Diriwayatkan bahwa
Khalifah Umar ra. pernah memutuskan hukum musyarakah karena tidak adanya
saudara sepupu. Lalu ia menetapkan bagian di antara saudara tersebut dengan
musyarakah. Khalifah Umar lalu berkata, “Yang itu sesuai dengan keputusanku,
sedangkan yang ini juga sesuai dengan keputusanku.”

Beliau menerapkan dua hukum tersebut sekalipun keduanya bertentangan. Khalifah


Umar juga pernah memutuskan bagian kakek dengan ketentuan yang berbeda-beda,
namun dia tidak mencabut keputusannya yang pertama (Abdul Qadim Zallum, Nizham
al-Hukmi fi al-Islam, ed. IV, 1996, Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hlm. 1920).

15
Para Sahabat ra. menetapkan hukum atas suatu persoalan yang berbeda dengan
keputusan Khalifah sebelumnya, namun mereka tidak menghapus keputusan-
keputusan yang lain.

Kedua: Mekanisme pengadilan dalam majelis pengadilan mudah dan efisien. Jika
seorang pendakwa tidak memiliki cukup bukti atas sangkaannya, maka qadhi akan
meminta terdakwa untuk bersumpah. Jika terdakwa bersumpah, maka ia dibebaskan
dari tuntutan dan dakwaan pendakwa. Namun, jika ia tidak mau bersumpah maka
terdakwa akan dihukum berdasarkan tuntutan dan dakwaan pendakwa. Sebab,
sumpah (qasam) bisa dijadikan sebagai alat bukti untuk menyelesaikan sengketa.
Penghapusan sumpah sebagai salah satu alat bukti (bayyinah) dalam sistem hukum
sekuler menjadikan proses pengadilan menjadi rumit dan bertele-tele.

Ketiga: Kasus-kasus yang sudah kadaluwarsa dipetieskan, dan tidak diungkit kembali,
kecuali yang berkaitan dengan hak-hak harta. Pasalnya, kasus lama yang diajukan ke
sidang pengadilan ditengarai bermotifkan balas dendam.

Keempat: Ketentuan persaksian yang memudahkan qadhi memutuskan sengketa di


antaranya adalah:

(1) Seorang baru absah bersaksi atas suatu perkara jika ia menyaksikan sendiri, bukan
karena pemberitahuan orang lain;

(2) Syariah menetapkan orang tertentu yang tidak boleh bersaksi, yakni, orang yang
tidak adil, orang yang dikenai had dalam kasus qadzaf, laki-laki maupun wanita
pengkhianat, kesaksian dari orang yang memiliki rasa permusuhan, pelayan yang setia
pada tuannya, kesaksian anak terhadap bapaknya, atau kesaksian bapak terhadap
anaknya, kesaksian seorang wanita terhadap suaminya, atau kesaksian suami terhadap
isterinya;

(3) Adanya batas atas nishab kesaksian, yang memudahkan seorang qadhi dalam
menangani perkara.

BAB IV

16
Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan NahiMunkar

A. Pengertian amar ma’ruf nahi munkar

Pada hakikatnya amar ma’ruf nahi munkar merupakan bagian dari upaya menegakkan
agama dan kemaslahatan di tengah-tengah umat. Secara spesifik amar ma’ruf nahi
munkar lebih dititiktekankan dalam mengantisipasi maupun menghilangkan
kemunkaran, dengan tujuan utamanya menjauhkan setiap hal negatif di tengah
masyarakat tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar. Menerapkan amar
ma’ruf mungkin mudah dalam batas tertentu tetapi akan sangat sulit apabila sudah
terkait dengan konteks bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu orang yang
melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus mengerti betul terhadap perkara yang
akan ia tindak, agar tidak salah dan keliru dalam bertindak.

yekh an-Nawawi Banten di dalam kitab beliau, Tafsir Munir berkata, “Amar ma’ruf nahi
munkar termasuk fardlu kifayah. Amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan
kecuali oleh orang yang tahu betul keadaan dan siasat bermasyarakat agar ia tidak
tambah menjerumuskan orang yang diperintah atau orang yang dilarang dalam
perbuatan dosa yang lebih parah. Karena sesungguhnya orang yang bodoh terkadang
malah mengajak kepada perkara yang batil, memerintahkan perkara yang munkar,
melarang perkara yang ma’ruf, terkadang bersikap keras di tempat yang seharusnya
bersikap halus dan bersikap halus di dalam tempat yang seharusnya bersikap keras.”
(Syekh an-Nawawi al-Jawi, Tafsir Munir, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan
ketiga, jilid II, halaman 59) Terlebih dalam persoalan yang berpotensi menimbulkan
problematika sosial keamanan yang lebih besar. Dalam kemungkaran seperti ini
kewenangan amar ma’ruf nahi mungkar tidak diserahkan pada perseorangan ataupun
kelompok, akan tetapi hanya diserahkan kepada pemerintah. Dan pemerintah harus
menerapkan kebijakan atas dasar prinsip maslahat dengan tetap dilandasi nilai-nilai
agama yang benar.

B. Hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Dalam kaidah syariat , menegakkan amar makruf nahi munkar adalah fardhu kifayah.
Amar makruf nahi munkar merupakan perintah menegakkan kebenaran dan melarang
kemungkaran (kejahatan). Amar makruf nahi munkar tidak boleh dilakukan kecuali
seseorang telah memahami betul hakikat dan syarat-syaratnya. Setidaknya ada 5
syarat yang harus dipenuhi sebelum menegakkan perintah Al-Qur'an tersebut Dalam
Kitab Tanbihul Ghafilin, Ulama fiqih dan ilmu tafsir, Imam Abu Laits As-Samarqandi
(wafat 373 H) mengatakan, orang yang makruf (menganjurkan kebaikan) dan nahi
mungkar (mencegah kejahatan) itu harus memiliki niat ikhlas karena Allah Ta'ala. Ia
menegakkan agama Allah bukan semata-mata membela kepentingan diri sendiri atau
kepentingan golongannya.

17
Jika seseorang benar-benar ikhlas menegakkan amar makruf nahi munkar karena
Allah, maka ia akan mendapat pertolongan dari Allah sebagaimana ayat yang berbunyi:
"In tanshurullaha yan shurkum (jika kamu benar-benar menegakkan kalimatullah,
maka Allah akan menolong kamu)". Ia juga akan terpimpin dengan taufik dari Allah
Ta'ala.

Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim yang memiliki
kemampuan. Artinya, jika ada sebagian yang melakukannya, yang lainnya terwakili.
Dengan kata lain, hukumnya fardhu kifayah. Namun, boleh jadi, hukumnya menjadi
fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak ada lagi yang menegakkannya. Al-Imam
an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Amar ma’ruf nahi mungkar menjadi wajib ‘ain
bagi seseorang, terutama jika ia berada di suatu tempat yang tidak ada seorang pun
yang mengenal (ma’ruf dan mungkar) selain dirinya; atau jika tidak ada yang dapat
mencegah yang (mungkar) selain dirinya. Misalnya, saat melihat anak, istri, atau
pembantunya, melakukan kemungkaran atau mengabaikan kebaikan.” (Syarh Shahih
Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Amar ma’ruf nahi mungkar
adalah fardhu kifayah. Namun, terkadang menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu
dan tidak ada pihak lain yang menjalankannya.”

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah mengemukakan hal yang
sama, “Ketika para da’i sedikit jumlahnya, kemungkaran begitu banyak, dan
kebodohan mendominasi, seperti keadaan kita pada hari ini, maka dakwah (mengajak
kepada kebaikan dan menjauhkan umat dari kejelekan) menjadi fardhu ‘ain bagi setiap
orang sesuai dengan kemampuannya.”

Dengan kata lain, kewajibannya terletak pada kemampuan. Dengan demikian, setiap
orang wajib menegakkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta


taatlah dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga dirinya
dari kekikiran, mereka itulah orang yang beruntung.” (at-Taghabun: 16)

Kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan adalah tiga hal yang terkait erat dengan
proses amar ma’ruf nahi mungkar. Yang memiliki kekuasaan tentu saja lebih mampu
dibanding yang lain sehingga kewajiban mereka tidak sama dengan yang selainnya.

18
Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak wajib bagi tiap-
tiap individu (wajib ‘ain), namun secara hukum menjadi fardhu kifayah. Inilah
pendapat yang dipegangi mayoritas para ulama, seperti al-Imam al-Qurthubi, Abu
Bakar al-Jashash, Ibnul Arabi al-Maliki, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain rahimahumullah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ك أَضْ َعفُ اإْل ِ ي َما ِن‬


َ ِ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَإِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬

“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan
tangannya. Jika belum mampu, cegahlah dengan lisannya. Jika belum mampu, dengan
hatinya, dan pencegahan dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim
no. 70 dan lain-lain)

Syarat dan Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar

Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah menjelaskan syarat-syarat dan ketentuan amar


ma’ruf dan nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah dari
kemunkaran). Beliau menjabarkan 6 syarat. Sungguh penjelasan yang gamblang dan
menyejukkan. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan taufiq kepada kaum
muslimin… Berikut adalah terjemahan dari nukilan penjelasan beliau dalam Syarh
al-‘Aqiidah al-Washithiyyah : Syarat pertama : Orang yang beramar ma’ruf nahi
munkar itu harus mengetahui hukum syar’i terkait hal yang ia perintahkan atau ia
larang tersebut. Tidaklah ia memerintahkan kecuali karena ia mengetahui bahwa
syariat memerintahkan hal itu. Dan tidaklah ia melarang kecuali dari hal-hal yang ia
ketahui bahwa syariat melarangnya. Janganlah ia menyandarkan hal itu pada perasaan
atau adat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala kepada Rasulullah shollallahu alaihi
wasallam :

ِّ ‫ك ِمنَ ْال َح‬


{‫ق‬ َ ‫[ } فَاحْ ُك ْم بَ ْينَهُ ْم بِ َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ َواَل تَتَّبِ ْع أَ ْه َوا َءهُ ْم َع َّما َجا َء‬48 :‫]المائدة‬.

Maka tetapkanlah hukum di antara mereka sesuai dengan yang Allah turunkan. Dan
jangan engkau mengikuti hawa nafsu mereka (sehingga meninggalkan) kebenaran
yang datang kepadamu (Q.S al-Maaidah ayat 48).
19
dan firman Allah :

{ ‫ص َر َو ْالفُؤَا َد ُكلُّ أُولَئِكَ َكانَ َع ْنهُ َم ْسئُواًل‬


َ َ‫ك ِب ِه ِع ْل ٌم إِ َّن ال َّس ْم َع َو ْالب‬ َ ‫[ } َواَل تَ ْقفُ َما لَي‬36 :‫]اإلسراء‬. Janganlah
َ َ‫ْس ل‬
engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semuanya akan ditanya (untuk dipertanggungjawabkan pada
hari kiamat)(Q.S al-Israa’ ayat 36) dan firman Allah:

{‫ب‬َ ‫ب إِ َّن الَّ ِذينَ يَ ْفتَرُونَ َعلَى هَّللا ِ ْال َك ِذ‬


َ ‫ب هَ َذا َحاَل ٌل َوهَ َذا َح َرا ٌم لِتَ ْفتَرُوا َعلَى هَّللا ِ ْال َك ِذ‬
َ ‫َصفُ أَ ْل ِسنَتُ ُك ُم ْال َك ِذ‬
ِ ‫َواَل تَقُولُوا ِل َما ت‬
َ‫[ } اَل يُ ْفلِحُون‬116 :‫]النحل‬

dan janganlah mengucapkan kedustaan yang diungkapkan oleh lisan kalian bahwa ini
halal dan ini haram untuk mengada-adakan kedustaan atas nama Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kedustaan atas nama Allah tidaklah beruntung
(Q.S anNahl ayat 116)

Kalau seandainya ia melihat seseorang mengerjakan sesuatu, secara asal adalah halal.
Tidak boleh bagi dia melarangnya hingga ia mengetahui bahwa itu (memang) haram
atau terlarang (secara syariat, pent). Kalau seandainya ia melihat seseorang
meninggalkan sesuatu, dan orang yang melihat ini menyangkanya sebagai suatu
ibadah (yang ditinggalkan). Maka sesungguhnya tidak halal bagi dia untuk menyuruh
orang itu beribadah, hingga ia (benar-benar) tahu bahwa syariat memang
memerintahkannya. Syarat kedua: Mengetahui keadaan orang yang diperintah.
Apakah memang orang tersebut menjadi sasaran perintah atau larangan (dari syariat)
atau tidak? Jika ia melihat seseorang dan ragu apakah orang ini mukallaf (terkena
beban syariat) atau tidak, maka ia tidak memerintahkan kepada orang itu seperti
kepada orang yang semisalnya, hingga ia memperjelas (apakah orang itu benar
mukallaf atau tidak, pent). Syarat ketiga: Mengetahui keadaan pihak yang
diperintahkan pada saat pembebanan syariat itu. Apakah ia telah mengerjakannya
atau tidak? Kalau dia melihat seseorang masuk masjid kemudian duduk, dan ragu
apakah orang itu telah sholat dua rokaat atau tidak, maka jangan mengingkarinya dan
jangan memerintahkan pada sholat dua rokaat itu hingga ia meminta penjelasan
kepadanya. Dalilnya adalah bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam suatu ketika
berkhutbah Jumat kemudian masuklah seorang laki-laki dan duduk. Kemudian Nabi
shollallahu alaihi wasallam bertanya: Apakah engkau telah sholat? Orang itu
menyatakan: Tidak. Maka Nabi menyatakan: Bangkitlah sholatlah dua rokaat dan
lakukan dengan ringkas (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Jabir). Telah sampai berita
kepada saya bahwa sebagian manusia berkata: Haram merekam (bacaan) alQuran
dengan kaset-kaset. Karena hal itu menghinakan al-Quran menurut persangkaan
mereka! Maka orang itu melarang manusia merekam al-Quran pada kaset-kaset ini,
dengan persangkaan bahwa itu munkar!! Maka kami katakan kepadanya:
Sesungguhnya kemunkaran adalah engkau melarang mereka dari sesuatu yang tidak
engkau ketahui bahwa itu kemunkaran. Harusnya engkau ketahui (dulu) bahwa ini
munkar dalam agama Allah. Ini dalam hal yang bukan ibadah. Sedangkan dalam hal
ibadah, jika kita melihat seseorang beribadah tertentu yang kita tidak mengetahui
bahwa itu diperintahkan oleh Allah, maka kita melarangnya. Karena secara asal
melakukan ibadah itu terlarang (hingga ada dalil yang memerintahkannya, pent).

20
Syarat yang keempat: Ia memiliki kemampuan untuk menegakkan amar ma’ruf dan
nahi munkar tanpa ada kemudharatan yang mengenainya. Jika bisa menyebabkan
kemudharatan baginya, maka tidak wajib baginya (melakukan amar ma’ruf dan nahi
munkar). Akan tetapi jika ia bersabar dan menegakkannya, maka ini adalah lebih
utama. Karena seluruh kewajiban dipersyaratkan adanya kemampuan dan
kesanggupan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala: { ‫[ } فَاتَّقُوا هَّللا َ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم‬16 :‫ ]التغابن‬Maka
bertakwalah kepada Allah sesuai (batas) kemampuan kalian (Q.S atTaghobuun ayat
16). dan firman Allah:

{p‫[ } اَل يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا إِاَّل ُو ْس َعهَا‬286 :‫]البقرة‬

Allah tidaklah membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya (Q.S al-Baqoroh ayat
286)

Jika ia takut kalau memerintahkan seseorang kepada hal yang ma’ruf menyebabkan ia
dibunuh, maka dalam hal itu tidak wajib baginya untuk memerintahkannya. Karena ia
tidak mampu melakukan itu. Bahkan menjadi haram baginya dalam kondisi seperti itu.
Sebagian Ulama berkata: (Tetap) wajib beramar ma’ruf nahi munkar dan bersabar jika
ia akan mendapatkan mudharat selama tidak sampai tahap pembunuhan. Akan tetapi
pendapat pertama (yang menyatakan tidak wajib baginya) adalah lebih utama. Karena
jika sampai terkena mudharat seperti dipenjara atau semisalnya, maka orang lain akan
meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar karena takut mendapatkan hal yang sama
dengan dia. Sampai (hal itu merembet) dalam hal yang tidak dikhawatirkan adanya
kemudharatan. Ini selama perkaranya tidak sampai pada batas bahwa memerintahkan
kepada hal yang ma’ruf adalah termasuk Jihad. Sebagaimana seseorang yang
memerintahkan kepada Sunnah dan melarang dari kebid’ahan yang kalau seandainya
ia diam, niscaya Ahlul Bid’ah akan bersikap sewenang-wenang terhadap Ahlussunnah.
Dalam kondisi semacam ini wajib menampakkan Sunnah dan menjelaskan bid’ah.
Karena ini termasuk jihad di jalan Allah. Dan tidaklah ada udzur bagi orang yang wajib
baginya (jihad tersebut) ketika ia mengkhawatirkan (keselamatan) untuk dirinya.
Syarat kelima: Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukannya tidak sampai menimbulkan
mafsadah (kerusakan) yang lebih besar dibandingkan jika dia diam. Kalau
menimbulkan hal semacam itu, maka tidak wajib bagi dia (beramar ma’ruf nahi
munkar). Bahkan tidak boleh bagi dia melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu,
para Ulama menyatakan: Sesungguhnya mengingkari kemunkaran mengakibatkan 4
hal: Pertama: Kemunkaran hilang, atau Kedua: Kemunkarannya berubah menjadi lebih
ringan, Ketiga: Kemunkarannya berubah kadarnya menjadi kemunkaran lain tapi
seimbang. Keempat: Kemunkarannya berubah menjadi lebih besar. Dalam kondisi yang
pertama dan kedua, mengingkari kemungkaran adalah wajib. Pada kondisi ketiga, ini
perlu dikaji lagi. Pada kondisi keempat, tidak boleh melakukan pengingkaran
kemunkaran, karena tujuan mengingkari kemunkaran adalah menghilangkan atau
menguranginya. Contoh: Jika dia ingin memerintahkan kepada seseorang berbuat
kebaikan, tapi hal itu menyebabkan melakukan perbuatan baik ini menyebabkan ia
tidak sholat berjamaah, maka dalam hal ini tidak boleh memerintahkan kepada hal
tersebut. Karena hal itu mengakibatkan meninggalkan hal yang wajib untuk melakukan
hal yang mustahab (disukai). Demikian juga dalam mengingkari kemunkaran. Jika akan

21
menyebabkan pelakunya melakukan perbuatan kemunkaran yang lebih besar, dalam
kondisi semacam ini tidak boleh baginya untuk mengingkari kemunkaran tersebut
dalam rangka mencegah datangnya kerusakan yang lebih besar dengan kerusakan
yang lebih kecil. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala: { ‫َواَل تَ ُسبُّوا‬
‫م فَيُنَبِّئُهُ ْم بِ َما كَانُوا‬pْ ُ‫ُون هَّللا ِ فَيَ ُسبُّوا هَّللا َ َع ْد ًوا بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم َك َذلِكَ زَ يَّنَّا ِل ُكلِّ أُ َّم ٍة َع َملَهُ ْم ثُ َّم إِلَى َربِّ ِه ْم َمرْ ِج ُعه‬
ِ ‫الَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ ِم ْن د‬
َ‫[ } يَ ْع َملُون‬108 :‫ ]األنعام‬Dan janganlah kalian mencela pihak-pihak yang disembah selain
Allah yang akibatnya mereka akan mencela Allah secara dzhalim tanpa ilmu.
Demikianlah Kami perindah (gambaran) amalan yang diperbuat setiap umat, kemudian
kepada Rabb merekalah mereka kembali. Kemudian Allah akan memberitahukan
kepada mereka apa yang telah mereka perbuat (Q.S al-An’aam ayat 108).
Sesungguhnya mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin, tidak diragukan lagi
itu adalah perbuatan yang diharapkan. Akan tetapi, jika hal itu menyebabkan
kerusakan yang lebih besar dibandingkan maslahat akibat mencela sesembahan kaum
musyrikin, yaitu menyebabkan mereka mencela Allah Ta’ala secara dzhalim tanpa
ilmu, maka Allah melarang dari mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin itu
dalam kondisi tersebut. Kalau kita mendapati seseorang meminum khamr, dan
meminum khamr adalah kemunkaran, yang jika kita larang dia dari meminumnya
menyebabkan ia mencuri harta manusia dan melanggar kehormatan mereka, maka
dalam hal ini kita tidak melarangnya dari meminum khamr. Karena hal itu
menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar. Syarat yang keenam: Orang
yang memerintahkan kepada yang baik atau yang melarang (dari kemunkaran)
menjadi orang yang menjalankan perintah itu dan menjauhi larangan itu. Ini menurut
pendapat sebagian Ulama. Jika orang itu tidak mengerjakan yang diperintah atau tidak
meninggalkan yang dilarangnya, maka ia tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar
tersebut. Karena Allah berfirman kepada Bani Israil: { ‫اس بِ ْالبِرِّ َوتَ ْنسَوْ نَ أَ ْنفُ َس ُك ْم َوأَ ْنتُ ْم‬ َ َّ‫أَتَأْ ُمرُونَ الن‬
َ‫َاب أَفَاَل تَ ْعقِلُون‬
َ ‫[ } تَ ْتلُونَ ْال ِكت‬44 :‫ ]البقرة‬Apakah kalian memerintahkan manusia pada kebaikan
dan kalian melupakan diri kalian sendiri padahal kalian membaca Kitab. Tidakkah
kalian berakal? (Q.S al-Baqoroh ayat 44) Jika orang itu tidak sholat, maka jangan
memerintahkan orang lain untuk sholat. Jika ia minum khamr, maka jangan larang
orang lain darinya. Karena itu seorang penyair berkata: ‫ال تنه عن خلق وتأتي مثله … عار عليك‬
‫ إذا فعلت عظيم‬Janganlah engkau melarang dari suatu akhlak padahal engkau melakukan
yang semisalnya….Aib besar bagimu jika melakukan hal itu Ulama yang berpendapat
demikian berdalil dengan atsar dan pandangan. Akan tetapi Jumhur Ulama
berpendapat beda dengan pendapat itu. Mereka menyatakan: Wajib beramar ma’ruf
meski engkau tidak melakukannya. Wajib mencegah kemunkaran meski engkau
melakukannya. Allah mencela Bani Israil bukan karena mereka memerintahkan pada
kebaikan, tetapi karena mereka menggabungkan antara memerintahkan pada
kebaikan dan melupakan diri mereka sendiri. Pendapat ini adalah yang benar. Maka
kita katakan: Anda sekarang diperintah pada dua hal, pertama: mengerjakan kebaikan.
Kedua: memerintahkan pada kebaikan. Anda dilarang dari dua hal: Pertama:
mengerjakan kemunkaran, kedua: meninggalkan sikap melarang dari kemunkaran.
Maka jangan menggabungkan antara meninggalkan yang diperintah dan mengerjakan
yang dilarang. Karena meninggalkan salah satu darinya tidaklah mengharuskan
gugurnya kewajiban yang lain. (Penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin dalam Syarh al-Aqiidah
al-Wasithiyyah (2/330-335))
22
syarat-syarat dan ketentuan amar ma’ruf dan nahi munkar (memerintahkan kepada
kebaikan dan mencegah dari kemunkaran). Beliau menjabarkan 6 syarat. Sungguh
penjelasan yang gamblang dan menyejukkan. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
memberikan taufiq kepada kaum muslimin… Berikut adalah terjemahan dari nukilan
penjelasan beliau dalam Syarh al-‘Aqiidah al-Washithiyyah :

Syarat pertama : Orang yang beramar ma’ruf nahi munkar itu harus mengetahui
hukum syar’i terkait hal yang ia perintahkan atau ia larang tersebut. Tidaklah ia
memerintahkan kecuali karena ia mengetahui bahwa syariat memerintahkan hal itu.
Dan tidaklah ia melarang kecuali dari hal-hal yang ia ketahui bahwa syariat
melarangnya. Janganlah ia menyandarkan hal itu pada perasaan atau adat. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam :

ِّ ‫ك ِمنَ ْال َح‬


{‫ق‬ َ ‫[ } فَاحْ ُك ْم بَ ْينَهُ ْم بِ َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ َواَل تَتَّبِ ْع أَ ْه َوا َءهُ ْم َع َّما َجا َء‬48 :‫]المائدة‬.

Maka tetapkanlah hukum di antara mereka sesuai dengan yang Allah turunkan. Dan
jangan engkau mengikuti hawa nafsu mereka (sehingga meninggalkan) kebenaran
yang datang kepadamu (Q.S al-Maaidah ayat 48). dan firman Allah :

َ ِ‫ص َر َو ْالفُ َؤا َد ُكلُّ أُولَئ‬


{ ‫ك َكانَ َع ْنهُ َم ْسئُواًل‬ َ َ‫ك ِب ِه ِع ْل ٌم إِ َّن ال َّس ْم َع َو ْالب‬ َ ‫} َواَل تَ ْقفُ َما لَي‬
َ َ‫ْس ل‬

[36 :‫]اإلسراء‬.

Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya


pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan ditanya (untuk
dipertanggungjawabkan pada hari kiamat)(Q.S al-Israa’ ayat 36) dan firman Allah:

{‫ب‬َ ‫ب إِ َّن الَّ ِذينَ يَ ْفتَرُونَ َعلَى هَّللا ِ ْال َك ِذ‬


َ ‫ب هَ َذا َحاَل ٌل َوهَ َذا َح َرا ٌم لِتَ ْفتَرُوا َعلَى هَّللا ِ ْال َك ِذ‬
َ ‫َصفُ أَ ْل ِسنَتُ ُك ُم ْال َك ِذ‬
ِ ‫َواَل تَقُولُوا لِ َما ت‬
ْ
َ‫[ } اَل يُفلِحُون‬116 :‫]النحل‬

dan janganlah mengucapkan kedustaan yang diungkapkan oleh lisan kalian bahwa ini
halal dan ini haram untuk mengada-adakan kedustaan atas nama Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kedustaan atas nama Allah tidaklah beruntung
(Q.S anNahl ayat 116) Kalau seandainya ia melihat seseorang mengerjakan sesuatu,
secara asal adalah halal. Tidak boleh bagi dia melarangnya hingga ia mengetahui
bahwa itu (memang) haram atau terlarang (secara syariat, pent). Kalau seandainya ia
melihat seseorang meninggalkan sesuatu, dan orang yang melihat ini menyangkanya
sebagai suatu ibadah (yang ditinggalkan). Maka sesungguhnya tidak halal bagi dia
untuk menyuruh orang itu beribadah, hingga ia (benar-benar) tahu bahwa syariat
memang memerintahkannya.

Syarat kedua: Mengetahui keadaan orang yang diperintah. Apakah memang orang
tersebut menjadi sasaran perintah atau larangan (dari syariat) atau tidak? Jika ia
melihat seseorang dan ragu apakah orang ini mukallaf (terkena beban syariat) atau
tidak, maka ia tidak memerintahkan kepada orang itu seperti kepada orang yang
semisalnya, hingga ia memperjelas (apakah orang itu benar mukallaf atau tidak, pent).

23
Syarat ketiga: Mengetahui keadaan pihak yang diperintahkan pada saat pembebanan
syariat itu. Apakah ia telah mengerjakannya atau tidak? Kalau dia melihat seseorang
masuk masjid kemudian duduk, dan ragu apakah orang itu telah sholat dua rokaat atau
tidak, maka jangan mengingkarinya dan jangan memerintahkan pada sholat dua rokaat
itu hingga ia meminta penjelasan kepadanya. Dalilnya adalah bahwa Nabi shollallahu
alaihi wasallam suatu ketika berkhutbah Jumat kemudian masuklah seorang laki-laki
dan duduk. Kemudian Nabi shollallahu alaihi wasallam bertanya: Apakah engkau telah
sholat? Orang itu menyatakan: Tidak. Maka Nabi menyatakan: Bangkitlah sholatlah
dua rokaat dan lakukan dengan ringkas (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Jabir). Telah
sampai berita kepada saya bahwa sebagian manusia berkata: Haram merekam
(bacaan) alQuran dengan kaset-kaset. Karena hal itu menghinakan al-Quran menurut
persangkaan mereka! Maka orang itu melarang manusia merekam al-Quran pada
kaset-kaset ini, dengan persangkaan bahwa itu munkar!! Maka kami katakan
kepadanya: Sesungguhnya kemunkaran adalah engkau melarang mereka dari sesuatu
yang tidak engkau ketahui bahwa itu kemunkaran. Harusnya engkau ketahui (dulu)
bahwa ini munkar dalam agama Allah. Ini dalam hal yang bukan ibadah. Sedangkan
dalam hal ibadah, jika kita melihat seseorang beribadah tertentu yang kita tidak
mengetahui bahwa itu diperintahkan oleh Allah, maka kita melarangnya. Karena
secara asal melakukan ibadah itu terlarang (hingga ada dalil yang memerintahkannya,
pent).

Syarat yang keempat: Ia memiliki kemampuan untuk menegakkan amar ma’ruf dan
nahi munkar tanpa ada kemudharatan yang mengenainya. Jika bisa menyebabkan
kemudharatan baginya, maka tidak wajib baginya (melakukan amar ma’ruf dan nahi
munkar). Akan tetapi jika ia bersabar dan menegakkannya, maka ini adalah lebih
utama. Karena seluruh kewajiban dipersyaratkan adanya kemampuan dan
kesanggupan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

{ ‫[ } فَاتَّقُوا هَّللا َ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم‬16 :‫]التغابن‬

Maka bertakwalah kepada Allah sesuai (batas) kemampuan kalian (Q.S atTaghobuun
ayat 16). dan firman Allah:

{p‫[ } اَل يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا إِاَّل ُو ْس َعهَا‬286 :‫]البقرة‬

Allah tidaklah membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya (Q.S al-Baqoroh ayat
286)

Jika ia takut kalau memerintahkan seseorang kepada hal yang ma’ruf menyebabkan ia
dibunuh, maka dalam hal itu tidak wajib baginya untuk memerintahkannya. Karena ia
tidak mampu melakukan itu. Bahkan menjadi haram baginya dalam kondisi seperti itu.
Sebagian Ulama berkata: (Tetap) wajib beramar ma’ruf nahi munkar dan bersabar jika
ia akan mendapatkan mudharat selama tidak sampai tahap pembunuhan. Akan tetapi
pendapat pertama (yang menyatakan tidak wajib baginya) adalah lebih utama. Karena
jika sampai terkena mudharat seperti dipenjara atau semisalnya, maka orang lain akan
meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar karena takut mendapatkan hal yang sama
dengan dia. Sampai (hal itu merembet) dalam hal yang tidak dikhawatirkan adanya

24
kemudharatan. Ini selama perkaranya tidak sampai pada batas bahwa memerintahkan
kepada hal yang ma’ruf adalah termasuk Jihad. Sebagaimana seseorang yang
memerintahkan kepada Sunnah dan melarang dari kebid’ahan yang kalau seandainya
ia diam, niscaya Ahlul Bid’ah akan bersikap sewenang-wenang terhadap Ahlussunnah.
Dalam kondisi semacam ini wajib menampakkan Sunnah dan menjelaskan bid’ah.
Karena ini termasuk jihad di jalan Allah. Dan tidaklah ada udzur bagi orang yang wajib
baginya (jihad tersebut) ketika ia mengkhawatirkan (keselamatan) untuk dirinya.

Syarat kelima: Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukannya tidak sampai
menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar dibandingkan jika dia diam.
Kalau menimbulkan hal semacam itu, maka tidak wajib bagi dia (beramar ma’ruf nahi
munkar). Bahkan tidak boleh bagi dia melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu,
para Ulama menyatakan: Sesungguhnya mengingkari kemunkaran mengakibatkan 4
hal: Pertama: Kemunkaran hilang, atau Kedua: Kemunkarannya berubah menjadi lebih
ringan, Ketiga: Kemunkarannya berubah kadarnya menjadi kemunkaran lain tapi
seimbang. Keempat: Kemunkarannya berubah menjadi lebih besar. Dalam kondisi yang
pertama dan kedua, mengingkari kemungkaran adalah wajib. Pada kondisi ketiga, ini
perlu dikaji lagi. Pada kondisi keempat, tidak boleh melakukan pengingkaran
kemunkaran, karena tujuan mengingkari kemunkaran adalah menghilangkan atau
menguranginya. Contoh: Jika dia ingin memerintahkan kepada seseorang berbuat
kebaikan, tapi hal itu menyebabkan melakukan perbuatan baik ini menyebabkan ia
tidak sholat berjamaah, maka dalam hal ini tidak boleh memerintahkan kepada hal
tersebut. Karena hal itu mengakibatkan meninggalkan hal yang wajib untuk melakukan
hal yang mustahab (disukai). Demikian juga dalam mengingkari kemunkaran. Jika akan
menyebabkan pelakunya melakukan perbuatan kemunkaran yang lebih besar, dalam
kondisi semacam ini tidak boleh baginya untuk mengingkari kemunkaran tersebut
dalam rangka mencegah datangnya kerusakan yang lebih besar dengan kerusakan
yang lebih kecil. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala:

{ ‫ك زَ يَّنَّا لِ ُك ِّل أُ َّم ٍة َع َملَهُ ْم ثُ َّم ِإلَى َربِّ ِه ْم َمرْ ِج ُعهُ ْم‬
َ ِ‫َواَل تَ ُسبُّوا الَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ فَيَ ُسبُّوا هَّللا َ َع ْد ًوا بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم َك َذل‬
َ‫[ } فَيُنَبِّئُهُ ْم بِ َما كَانُوا يَ ْع َملُون‬108 :‫]األنعام‬

Dan janganlah kalian mencela pihak-pihak yang disembah selain Allah yang akibatnya
mereka akan mencela Allah secara dzhalim tanpa ilmu. Demikianlah Kami perindah
(gambaran) amalan yang diperbuat setiap umat, kemudian kepada Rabb merekalah
mereka kembali. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang
telah mereka perbuat (Q.S al-An’aam ayat 108).

Sesungguhnya mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin, tidak diragukan lagi


itu adalah perbuatan yang diharapkan. Akan tetapi, jika hal itu menyebabkan
kerusakan yang lebih besar dibandingkan maslahat akibat mencela sesembahan kaum
musyrikin, yaitu menyebabkan mereka mencela Allah Ta’ala secara dzhalim tanpa
ilmu, maka Allah melarang dari mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin itu
dalam kondisi tersebut. Kalau kita mendapati seseorang meminum khamr, dan
meminum khamr adalah kemunkaran, yang jika kita larang dia dari meminumnya
menyebabkan ia mencuri harta manusia dan melanggar kehormatan mereka, maka

25
dalam hal ini kita tidak melarangnya dari meminum khamr. Karena hal itu
menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar. Syarat yang keenam: Orang
yang memerintahkan kepada yang baik atau yang melarang (dari kemunkaran)
menjadi orang yang menjalankan perintah itu dan menjauhi larangan itu. Ini menurut
pendapat sebagian Ulama. Jika orang itu tidak mengerjakan yang diperintah atau tidak
meninggalkan yang dilarangnya, maka ia tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar
tersebut. Karena Allah berfirman kepada Bani Israil:

{ َ‫َاب أَفَاَل تَ ْعقِلُون‬ َ َّ‫[ } أَتَأْ ُمرُونَ الن‬44 :‫]البقرة‬


َ ‫اس ِب ْالبِ ِّر َوتَ ْنسَوْ نَ أَ ْنفُ َس ُك ْم َوأَ ْنتُ ْم تَ ْتلُونَ ْال ِكت‬

Apakah kalian memerintahkan manusia pada kebaikan dan kalian melupakan diri
kalian sendiri padahal kalian membaca Kitab. Tidakkah kalian berakal? (Q.S al-Baqoroh
ayat 44)

Jika orang itu tidak sholat, maka jangan memerintahkan orang lain untuk sholat. Jika ia
minum khamr, maka jangan larang orang lain darinya. Karena itu seorang penyair
berkata:

‫ال تنه عن خلق وتأتي مثله … عار عليك إذا فعلت عظيم‬

Janganlah engkau melarang dari suatu akhlak padahal engkau melakukan yang
semisalnya….Aib besar bagimu jika melakukan hal itu Ulama yang berpendapat
demikian berdalil dengan atsar dan pandangan. Akan tetapi Jumhur Ulama
berpendapat beda dengan pendapat itu. Mereka menyatakan: Wajib beramar ma’ruf
meski engkau tidak melakukannya. Wajib mencegah kemunkaran meski engkau
melakukannya. Allah mencela Bani Israil bukan karena mereka memerintahkan pada
kebaikan, tetapi karena mereka menggabungkan antara memerintahkan pada
kebaikan dan melupakan diri mereka sendiri. Pendapat ini adalah yang benar. Maka
kita katakan: Anda sekarang diperintah pada dua hal, pertama: mengerjakan kebaikan.
Kedua: memerintahkan pada kebaikan. Anda dilarang dari dua hal: Pertama:
mengerjakan kemunkaran, kedua: meninggalkan sikap melarang dari kemunkaran.
Maka jangan menggabungkan antara meninggalkan yang diperintah dan mengerjakan
yang dilarang. Karena meninggalkan salah satu darinya tidaklah mengharuskan
gugurnya kewajiban yang lain. (Penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin dalam Syarh al-Aqiidah
al-Wasithiyyah (2/330-335))

26
BAB V

FITNAH AKHIR ZAMAN

A. Tanda-tanda akhir zaman

Berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lebih mencapai dua ribu hadits


mengenai akhir zaman dan tanda-tandanya, dari sisi keberadaan dan waktunya, tanda-
tanda kiamat itu, dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu :

Pertama, Tanda Yang Sudah Terjadi Dan Telah Berlalu;

Kedua, Tanda Yang Sedang Terjadi Dan Semakin Bertambah; dan

ketiga, Tanda-Tanda Besar Yang Segera Disusul Dengan Kiamat.

Dari ketiga fase itu ulama ada yang membagi menjadi tanda kiamat sugro (kecil) dan
kiamat kubro (besar). Diantara tanda yang sudah terjadi dan telah berlalu adalah
seperti diutusnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam Sabda Nabi : “Aku di
utus dan hari kiamat itu bagaikan dua jari (sambil menunjukkan dua jari, telunjuk dan
tengahnya” (Shahih Bukhori No. Hadist: 6022). Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
dengan segala mukjizatnya diutus sebagai nabi terakhir artinya tidak akan ada nabi
setelahnya sampai akhir zaman. Diantara mukjizat Nabi Muhammad sollallahu ‘alaihi
wasallam adalah apa yang beliau beritakan mengenai kejadian yang akan datang yang
akan dialami oleh umat manusia, khususnya kaum muslimin. Kaum muslimin menurut
Rasulullah akan mengalami fitnah-fitnah dan malahim. Yang dimaksud fitnah di sini
adalah kekejaman, penyiksaan, pembunuhan yang terjadi di kalangan kaum muslimin
yang disebabkan peperangan di antara mereka (internal). Sedangkan Malahim ialah
kekejaman, penyiksaan, pembunuhan yang dialami oleh kaum muslimin akibat konflik
dengan bangsa-bangsa kafir (eksternal). (Ithaful Jamaah, 1/ 353).

Salah satu tanda dari akhir zaman adalah banyaknya fitnah.

Sebagaimana sabda Nabi :

َ ِ ‫س ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬


‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو ْي ٌل‬ َ ُ‫ق َح َّدثَنَا ابْنُ لَ ِهي َعةَ ع َْن أَبِي يُون‬ َ ‫َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ إِس َْحا‬
‫ض ِم ْن ال ُّد ْنيَا‬ ْ ْ َّ
ٍ ‫ب فِتَنًا َكقِطَ ِع الل ْي ِل ال ُمظلِ ِم يُصْ بِ ُح ال َّر ُج ُل ُم ْؤ ِمنًا َويُ ْم ِسي كَافِرًا يَبِي ُع قَوْ ٌم ِدينَهُ ْم بِ َع َر‬ ِ ‫لِ ْل َع َر‬
َ ‫ب ِم ْن َشرٍّ قَ ْد ا ْقت ََر‬
‫ك قَا َل َح َس ٌن فِي َح ِديثِ ِه َخبَ ِط ال َّشوْ َك ِة‬ َ َ‫ض َعلَى ْال َج ْم ِر أَوْ ق‬
ِ ْ‫ال َعلَى ال َّشو‬ ِ ِ‫ك يَوْ َمئِ ٍذ بِ ِدينِ ِه ك َْالقَاب‬
ُ ‫قَلِي ٍل ْال ُمتَ َم ِّس‬

in Ishaq telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah dari Abu Yunus dari Abu
Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "celaka bagi bangsa
Arab, telah dekat munculnya fitnah seperti gelapnya malam, di pagi hari seseorang
dalam keadaan mukmin dan sore hari telah menjadi kafir, orang-orang menjual
agamanya dengan kenikmatan dunia, pada hari itu sedikit yang berpegang dengan
agamanya, seperti seorang yang memegang bara api, -atau beliau mengatakan: -
"seperti memegang duri." Hasan menyebutkan dalam haditsnya, "menginjak duri."
27
(HR. Ahmad)

Sementara yang dimaksud fitnah menurut ibnu arabi dalam linasul arab bahwa fitnah
adalah :

‫ و الفتنة اختالف الناس باآلراء‬،‫ و الفتنة الكفر‬،‫ و الفتنة االوالد‬،‫ و الفتنة المال‬،‫ و الفتنة المحنة‬،‫الفتنة اإلختبار‬

Fitnah adalah cobaan, Fitnah adalah ujian, harta adalah harta, anak-anak adalah fitnah,
kekafiran adalah fitnah, Fitnah itu bisa pula adalah perbedaan pendapat manusia.
Intinya fitnah itu adalah segala hal yang dapat menjadikan manusia berselisih dan
menjauh dari kebenaran agama. Bahkan termasuk fitnah akhir zaman adalah
banyaknya pembunuhan dan kematian. Sebagaimana sabda Nabi :

‫ إِ َّن بَ ْينَ يَ َديْ السَّا َع ِة أَل َيَّا ًما يَ ْن ِز ُل فِيهَا ْال َج ْه ُل َويُرْ فَ ُع فِيهَا ْال ِع ْل ُم َويَ ْكثُ ُر فِيهَا ْالهَرْ ُج َو ْالهَرْ ُج ْالقَ ْت ُل‬.

“Menjelang datangnya hari Kiamat ada hari-hari dimana kebodohan diturunkan, ilmu
diangkat, dan banyak terjadi Al-Harj. Al-Harj itu adalah pembunuhan.” (HR. Al-
Bukhari).

Sementara dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabarani menyebutkan bahwa
salah satu tanda akhir zaman adalah banyak kematian mendadak. Rasulullah
bersabda :

: ‫ فَيُقَا ُل‬، ‫ب السَّا َع ِة أَ ْن ي َُرى ْال ِهال ُل قِبَال‬ ِ ‫ ِم ِن ا ْقتِ َرا‬: ‫ قَا َل‬، ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ َرفَ َعهُ إِلَى النَّبِ ِّي‬، ‫ك‬ ِ ‫ع َْن أَن‬
ٍ ِ‫َس ب ِْن َمال‬
‫ت ْالفُ َجا َء ِة‬ ْ َ‫ َوأَ ْن ي‬، ‫د طُ ُرقًا‬pَ ‫ َوأَ ْن تُتَّ َخ َذ ْال َم َسا ِج‬، ‫لِلَ ْيلَتَي ِْن‬
ُ ْ‫ظهَ َر َمو‬

Dari Anas bin Malik, dia meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara dekatnya hari kiamat, hilal akan
terlihat nyata sehingga dikatakan ‘ini tanggal dua’, masjid-masjid akan dijadikan jalan-
jalan, dan munculnya (banyaknya) kematian mendadak. Beberapa hadits tentang akhir
zaman mengarahkan pada satu kesimpulan informasi bahwa realitas akhir zaman akan

28
banyak muncul berbagai fitnah yang terus menerus menerpa ummat Islam ibarat
sebuah gelombang ombak yang terus kejar-kejaran bahkan semakin membesar. Istilah
Nabi saw adalah ibarat malam yang semakin gelap dan pekat gelapnya, waktu demi
waktu. Fitnah-fitnah tersebut akan terus menimpa umat Islam hingga fitnah terbesar
akhir zaman yaitu munculnya Dajjal yang akan merusak keimanan seorang muslim.

Contoh-contoh fitnah akhir zaman

1. Fitnah Ahlas

Fitnah pertama yang tengah mengepung umat muslim yakni fitnah peperangan dan
pembantaian antara sesama umat muslim. Pada zaman dahulu peristiwa tersebut
dimulai dari pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan. Sejak saat itu hingga saat ini
masih banyak umat Islam yang bergelut dalam pertikaian dan peperangan. Hal
tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah ‫ ﷺ‬bahwa sekali pedang seorang mukmin
tertancap pada tubuh seorang mukmin lainnya maka itu akan sangat sukar diangkat.

2. . Fitnah Duhaima’

Fitnah terakhir yang mengepung umat muslim di dunia saat ini yakni fitnah duhaima’.
Fitnah tersebut berupa fitnah aliran sesat dan pemikiran menyimpang. Fitnah yang
satu ini banyak kita temukan di sekitar lingkungan tempat tinggal. Saat ini pemikiran
sekulerisme, pluralisme dan libralisme dan sebagainya berkembang dengan sangat
pesat. Bahayanya pemikiran yang demikian ini dianggap sebuah kebenaran. Padahal
pada kenyataannya tidaklah demikian.

3 Fitnah Sarra’

Fitnah besar yang mengepung umat muslim selanjutnya adalah fitnah Sarra’. Yakni
fitnah yang menyangkut harta dan kesenangan dunia. Fitnah yang demikian ini
menimpa umat muslimin sejak berkuasanya Dinasti Umayyah dan puncaknya terjadi
ketika industri minyak ditemukan. Banyak kita temukan fitnah Sarra’ terjadi pada era
sekarang ini. Harta dan kesenangan dapat membuat orang gelap mata dan menjadi
serakah akan kekayaan serta nikmat dunia. Hal tersebut bahkan bisa membuat orang
tega untuk menghabisi saudaranya sendiri

Cara Menjaga Diri dan Keluarga dari Fitnah Akhir Zaman:

1. Bentengi dengan aqidah dan Tauhid yang

Benar. Syaratnya yaitu kembalikan semua hal kepada Alqur'an dan Hadits.

2. Ikhlas kepada Allah Ta'ala dalam semua Amal.


29
3. Meninggalkan riya dan kemunafikan.

Tidak boleh taqlid, yaitu hanya mengikuti kebiasaan pendahulu tanpa dasar yang
benar. Allah Ta'ala berfirman: "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah
(mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul." Mereka menjawab,
"Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya)."
Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?" (QS Al-
Maidah : 104)

DAFTAR PUSTAKA

http://ngampusbarengimron.blogspot.com/2017/05/iman-islam-dan-ihsan.html

30
https://almanhaj.or.id/3192-pengertian-islam-dan-tingkatannya.html

https://bincangsyariah.com/kalam/memahami-hakikat-ihsan-dalam-islam/

https://nanangsuhendar.wordpress.com/2013/04/25/islam-dan-sains-modern/

https://www.republika.co.id/berita/islampedia/ilmuwan/19/02/01/plokyw313-
landasan-agama-dalam-pengembangan-sains-islam-seperti-apa

https://media.neliti.com/media/publications/258941-alternatif-penegakan-hukum-
dalam-perspek-98c549bd.pdf

https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Islam_di_Indonesia

https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/IQTISAD/article/view/1996

https://islam.nu.or.id/post/read/84166/memahami-amar-maruf-nahi-munkar-secara-
benar

https://asysyariah.com/kewajiban-amar-maruf-nahi-mungkar-2/

https://salafy.or.id/syarat-syarat-amar-maruf-nahi-munkar/

https://kalam.sindonews.com/read/53353/69/penuhi-5-syarat-ini-jika-ingin-
menegakkan-amar-makruf-nahi-munkar-1590854716

https://www.persis.or.id/fitnah-fitnah-akhir-zaman-menelusuri-jejak-mukjizat-
nubuwwah-nabi-saw-part-1

https://www.islampos.com/3-fitnah-yang-mengepung-umat-muslim-171667/

https://kalam.sindonews.com/berita/1457803/69/cara-menjaga-diri-dan-keluarga-
dari-fitnah-akhir-zaman

https://kanal24.co.id/read/covid-19-dan-fitnah-akhir-zaman

31

Anda mungkin juga menyukai