17 - RMK RPS 7 - GalingAryan PDF
17 - RMK RPS 7 - GalingAryan PDF
RPS 7
TEORI KONTINGENSI KEPEMIMPINAN
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2:
1
5) Teori ini menyediakan data mengenai gaya kepemimpinan yang dapat
berguna untuk pengembangan identitas kepempinan dalam organisasi.
Banyak kritik yang diterima oleh teori kontingensi yang menjadi penilaian
umum bahwa teori ini bisa dikatakan tepat atau tidak sebagai teori kepemimpinan.
2
Interpretasi alternatif yang dikemukakan oleh Rice (1978) lebih
menekankan nilai-nilai pemimpin daripada motif. Menurut interpretasi ini,
pemimpin dengan skor LPC rendah menilai pencapaian tugas lebih banyak
daripada hubungan interpersonal, sedangkan pemimpin dengan skor LPC tinggi
menilai hubungan interpersonal lebih dari pencapaian tugas (Rice, 1978). Prioritas
nilai ini diasumsikan tercermin dalam jumlah perilaku berorientasi tugas dan
berorientasi hubungan yang digunakan oleh para pemimpin.
Hubungan antara skor LPC pemimpin dan kinerja kelompok bergantung
pada variabel situasional kompleks yang disebut kesukaan situasional, yang
secara bersama-sama ditentukan oleh struktur tugas, kekuasaan posisi pemimpin,
dan kualitas hubungan pemimpin-anggota. Situasinya paling menguntungkan
ketika pemimpin memiliki kekuasaan posisi yang substansial, tugasnya sangat
terstruktur, dan hubungan dengan bawahan baik. Menurut teori, pemimpin LPC
rendah lebih banyak efektif ketika situasinya sangat menguntungkan atau sangat
tidak menguntungkan, sedangkan pemimpin LPC tinggi lebih efektif bila ada
tingkat kesukaan situasional yang moderat. Dua pendekatan berbeda dapat
digunakan oleh seorang pemimpin untuk memaksimalkan efektivitas. Satu
pendekatan adalah memilih jenis perilaku yang sesuai untuk situasinya, dan
pendekatan lainnya adalah mencoba mengubah situasi agar sesuai dengan pola
perilaku yang disukai pemimpin.
3
diakui dan diberikan ganjaran. Path Goal Theory menekankan pada cara-cara
pemimpin memfasilitasi kinerja kerja dengan menunjukkan pada bawahan
bagamana kinerja diperoleh melalaui pencapaian rewards yang diinginkan. Path
Goal theory juga mengatakan bahwa kepuasan kerja dan kinerja kerja tergantung
pada expectancies bawahan. Harapan-harapan bawahan bergantung pada ciri-ciri
bawahan dan lingkungan yang dihadapi oleh bawahan. Kepuasan dan kinerja
kerja bawahan bergantung pada leadership behavior dan leadership style.
Ada 4 macam leadership style:
1) Supportive Leadership: Gaya kepemimpinan ini menunjukkan perhatian
pada kebutuhan pribadi karyawannya. Pemimpin jenis ini berusaha
mengembangkan kepuasan hubungan interpersonal diantara para
karyawan dan berusaha menciptakan iklim kerja yang bersahabat di dalam
organisasi.
2) Leadership: Pemimpin yang memberikan bimbingan khusus pada
Karyawannya dengan menetapkan standar kinerja, mengkoordinasi kinerja
kerja dan meminta karyawan untuk mengikuti aturan aturan organisasi.
3) Achievement Oriented Leadership: Pemimpin yang menetapkan tujuan
yang menantang pada bawahannya dan meminta bawahan untuk
mencapai level performens yang tinggi.
4) Participative Leadership: Pemimpin yang menerima saran-saran dan
nasihat-nasihat bawahan dan menggunakan informasi dari bawahan dalam
pengambilan keputusan organisasi.
Hal yang menentukan keberhasilan dari setiap jenis kepemimpinan
tersebut adalah subordinate characteristics (contohnya: Karyawan yang internal l
locus of control atau external locus of control, karyawan yang mempunyai need
achievement yang tinggi atau need affiliation yang tinggi, dll.) dan environmental
factors (system kewenangan dalam organisasi).
4
pelatihan serta pengalaman ekstensif sebelumnya untuk bawahan. Pengganti
untuk kepemimpinan yang mendukung termasuk kelompok kerja yang kohesif di
mana anggotanya saling mendukung, dan tugas yang secara intrinsik memuaskan
dan tidak menimbulkan stres. Dalam situasi dengan banyak pengganti, dampak
potensial dari perilaku pemimpin pada motivasi dan kepuasan bawahan bisa
sangat berkurang. Misalnya, sedikit pengarahan diperlukan ketika bawahan
memiliki pengalaman atau pelatihan sebelumnya yang ekstensif, dan mereka
sudah memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk mengetahui apa yang harus
dilakukan dan bagaimana melakukannya.
Juga, Beberapa variabel situasional (disebut penetral) mencegah seorang
pemimpin menggunakan bentuk perilaku yang akan meningkatkan kepuasan
bawahan atau kinerja unit. Misalnya, seorang pemimpin yang tidak memiliki
kewenangan untuk mengubah prosedur kerja yang tidak efektif tidak dapat
melakukan perubahan yang dapat meningkatkan efisiensi. Howell dkk. (1990)
berpendapat bahwa beberapa situasi memiliki begitu banyak penetral sehingga
sulit atau tidak mungkin bagi seorang pemimpin untuk berhasil. Dalam peristiwa
ini, obatnya adalah mengubah situasi dan membuatnya lebih menguntungkan bagi
pemimpin dengan menyingkirkan penetral, dan dalam beberapa kasus dengan
meningkatkan pengganti.
5
meningkatkan kualitas keputusan pemimpin otokratis. Namun, ketika ada stres
interpersonal yang tinggi, emosi yang kuat cenderung mengganggu pemrosesan
informasi kognitif dan membuat kecerdasan sulit diterapkan. Pemimpin mungkin
terganggu dan tidak dapat fokus pada tugas. Dalam situasi yang penuh tekanan
ini, seorang pemimpin yang telah mempelajari solusi berkualitas tinggi dalam
pengalaman sebelumnya dengan masalah serupa biasanya lebih efektif daripada
seorang pemimpin yang cerdas tetapi tidak berpengalaman yang mencoba
mencari solusi baru.
6
DAFTAR PUSTAKA