Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN BELAJAR MANDIRI

TUTORIAL BLOK 3.2 MINGGU 4

Disusun Oleh:

Claudia Novi Wijaya (1810312031)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2018
DISLOKASI SENDI (BAHU, SIKU, DAN PANGGUL)

Dislokasi sendi merupakan keadaan di mana tulang- tulang yang membentuk sendi tidak
lagi berhubungan secara anatomis. Dislokasi ini dapat terjadi pada komponen tulangnya saja
yang bergeser atau seluruh komponen tulang terlepas dari tempat yang seharusnya. Sebuah sendi
yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi longgar, akibatnya
sendi itu akan mudah mengalami dislokasi kembali. Apabila dislokasi itu disertai patah tulang,
pembetulannya menjadi lebih sulit dan harus dikerjakandi rumah sakit. Semakin awal usaha
pengembalian sendi itu dikerjakan, semakin baik penyembuhannya.

Dislokasi sendi merupakan salah satu dari cedera muskuloskeletal yang cenderung terus
meningkat dan akan mengancam kehidupan. Dislokasi sendi umumnya jarang menyebabkan
kematian, namun dapat menimbulkan penderitaan fisik, stress mental, dan kehilangan banyak
waktu. Oleh karena itu, pada kasus dislokasi sendi akan meningkatkan angka morbiditas
dibanding angka mortalitas.

Sendi bahu menjadi kasus dislokasi yang paling sering terjadi dengan angka 45 % dari
seluruh kasus dislokasi, menyusul sendi panggul dan siku. Dalam sebuah studi di Amerika
Serikat dilaporkan bahwa kasus dislokasi sendi bahu berupa 95% dislokasi anterior, 4% dislokasi
posterior, 0,5% dislokasi inferior, serta kurang dari 0,5% dislokasi superior. Kondisi ini
menyebabkan rasa nyeri pada saat mengangkat tangan atau menggerakkan tangan menjauhi
tubuh. Pad saat mengangkat tangan ke atas kepala, biasanya dirasakan sensasi seperti lengan
keluar dari tempatnya.

Dislokasi sendi bahu sering ditemukan pada orang dewasa, jarang ditemukan pada anak-
anak dimana 71,8% laki-laki yang mengalami dislokasi, 46,8% penderita berusia antara 15-29
tahun, 48,3% terjadi akibat trauma seperti pada kegiatan olahraga. Tingkat dislokasi yang lebih
tinggi terlihat pada perempuan yang berusia >60 tahun. Penyebab tersering didapatkan 58,8%
akibat jatuh. Kasus fraktur penyerta komponen sendi 16% terjadi pada kasus dislokasi sendi
bahu.

Usia 15-30 tahun merupakan salah satu faktor risiko terbesar dislokasi sendi bahu karena
usia ini merupakan usia yang aktif secara fisik khususnya pada laki-laki. Hal ini dapat
menimbulkan terjadinya stress yang berulang pada sendi bahu, misalnya akibat kegiatan olahraga
maupun pekerjaan yang membuat sendi bahu menjadi lebih mudah untuk terjadi dislokasi.
Dislokasi sendi lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan, hal ini dikaitkan
dimana umumnya laki-laki lebih sering melakukan aktifitas secara aktif, sehingga dapat
menimbulkan stress yang menjadi salah satu faktor resiko dislokasi sendi bahu.

Terjadinya dislokasi berulang atau yang biasa disebut reccurent dislocation disebabkan
apabila terjadi lepasnya labrum glenoid atau terjadi perpisahan antara kapsul dan kepala glenoid,
sehingga lebih mudah untuk terjadinya dislokasi berulang. Penelitian yang dilakukan di
Baltimore, Amerika Serikat pada tahun 2012 oleh Murthi dan Ramirez menyebutkan 90%
kelompok usia yang mengalami dislokasi berulang atau reccurent dislocation berusia 20-30
tahun sedangkan 40 tahun. Perbedaan mekanisme dislokasi menjadi salah satu faktor yang paling
bertanggung jawab atas tingginya insidensi dislokasi berulang pada pasien yang berusia muda
dan kebanyakan pada pasien usia >40% mengalami rotator cuff tear.

Sebanyak kurang lebih 90% dislokasi sendi bahu diakibatkan oleh trauma, baik trauma
tidak langsung maupun trauma langsung. 9,1% terjadi akibat kondisi patologis yaitu akibat
osteoarthritis dan akibat rheumatoid arthritis. Pada penderita osteoarthritis, keutuhan dari struktur
sendi terganggu terutama kartilago dari sendi akibat dari proses degeneratif sedangkan pada
penyakit rheumatoid arthritis, reaksi imun yang berlebih merupakan salah satu faktor selain
faktor infeksi dan genetic. Trauma langsung merupakan mekanisme dislokasi yang terjadi akibat
adanya suatu trauma atau benturan langsung terhadap sendi bahu, sehingga dapat langsung
merusak komponenkomponen yang ada dalam sendi bahu tersebut. Biasanya trauma langsung
terjadi akibat kecelakaan lalu lintas yang merupakan salah satu akibat banyaknya kasus dislokasi
sendi bahu yang terjadi.

Tingkat gangguan akibat terjadinya dislokasi sendi bahu dapat digolongkan ke dalam
berbagai tingkat dari

1. Impairment atau sebatas kelemahan yang dirasakan misalnya adanya nyeri, bengkak
yang menyebabkan keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS)
2. Functional limitation atau fungsi yang terbatas, misalnya keterbatasan fungsi dari
lengan untuk menekuk, berpakain, makan serta aktifitas sehari-hari seperti perawatan
diri yang meliputi memakai baju, mandi dan sebagainya.
Penanganan kejadian dislokasi bahu yang pertama kali dilakukan adalah dengan reduksi
tertutup setelah pemberian analgetik intra-vena sedasi. Setelah reduksi tertutup maka dapat
dilakukan identifikasi mengenai adanya robekan rotator cuff. Otot rotator cuff berfungsi sebagai
tendon untuk membentuk suatu perlindungan yang mengelilingi kepala humerus. Robekan pada
otot rotator cuff dapat menyebabkan rasa nyeri saat mengangkat lengan ke arah luar atau ke atas
melewati kepala. Robekan ini akan berkembang secara perlahan dan tentu saja dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari.

Pada keadaan akut, penatalaksanaan yang lama dan tidak cermat dapat menimbulkan
berbagai komplikasi salah satunya nekrosis vaskular dan dislokasi berulang yang disbut juga
luksasio habitualis. Penatalaksaan dalam kasus dislokasi sendi bahu dibagi menjadi tindakan
operatif dan non-operatif atau konservatif. Tindakan operatif merupakan pilihan terbaik pada
pasien dengan umur yang relatif muda. Pada tindakan operatif, resiko untuk terjadinya dislokasi
berulang menjadi berkurang, oleh karena itu informed consent menjadi sangat penting untuk
menentukan penatalaksanaan yang sesuai dengan umur serta harapan pasien.

Dislokasi bahu mempunyai prognosis gerak dan fungsi yang baik jika pasien secepat
mungkin mendapatkan penanganan yang tepat oleh tim medis untuk segera mendapatkan
penanganan dari fisioterapi untuk mendapatkan terapi latihan, sehingga oedema, nyeri,
penurunan LGS (Lingkup Gerak Sendi), dan penurunan kekuatan otot dapat diatasi.

Dislokasi siku jarang terjadi. Dislokasi siku biasanya terjadi ketika seseorang jatuh
dengan lengan terentang lurus. Ketika tangan mengenai tanah, gaya terkirim ke siku. Biasanya
terdapat gerakan memutar pada gaya tersebut. Hal ini dapat menggerakkan dan merotasi siku
keluar dari tempatnya. Dislokasi siku juga dapat terjadi pada kecelakaan mobil ketika
penumpang merentangkan lengannya ke depan untuk menahan benturan. Gaya yang dikirimkan
melalui lengan dapat menyebabkan dislokasi siku, sama seperti ketika jatuh.   Siku stabil karena
kombinasi efek stabilisasi dari permukaan tulang, ligamen, dan otot. Ketika siku mengalami
dislokasi, setiap struktur tersebut dapat cedera hingga beberapa tingkatan.

1. Dislokasi sederhana; tidak ada cedera tulang.  


2. Dislokasi kompleks; dapat terjadi cedera tulang dan ligamen yang berat.  
Pada dislokasi yang paling berat, pembuluh darah dan saraf yang melewati siku dapat
mengalami cedera. Bila hal ini terjadi, terdapat risiko kehilangan lengan. Beberapa orang terlahir
dengan ligamen yang lebih lentur. Orang-orang tersebut memiliki risiko mengalami dislokasi
siku yang lebih besar. Beberapa orang terlahir dengan tulang ulna yang memiliki celah yang
dangkal untuk sendi engsel siku.

Penanganan dislokasi siku dapat dilakukan dengan reduksi. Reduksi dilakukan dengan
melakukan traksi longitudinal pada lengan bahwa dengan traksi lawan pada lengan atas. Setelah
reduksi lakukan imobilisasi lengan dengan gips posisi felksi siku >90 derajad selama 3 minggu.
Akibat yang ditimbulkan post pemasangan gips selama 3 minggu adalah gangguan berupa
imperment, fungctional limitation, dan disability. Impairment misalnya spasme otot penggerak
sendi siku, nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi elbow joint, serta penuruanan kekuatan otot
penggerak sendi siku. Fungsional limitation berupa ganggaun self care seperti mandi, makan dan
berpakaian. Disability berupa ketidakmampuan pasien untuk melakukan aktifitas atau hobi
sesuai dengan usia dan perannya

FRAKTUR TULANG (TERBUKA DAN TERTUTUP)

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur
terjadi akibat trauma, beberapa fraktur terjadi secara sekunder akibat proses penyakit seperti
osteoporosis yang menyebabkan fraktur-fraktur yang patologis. Fraktur adalah gangguan dari
kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya
juga sering kali terganggu.

Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu retakan
sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan. Kerusakan otot dan jaringan akan
menyebabkan perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada
tulang, tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang tulang
dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang terjadi pada semua tulang
yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap.
Penyebab fraktur adalah trauma, yang dibagi atas trauma langsung, trauma tidak
langsung, dan trauma ringan .Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010)
dapat dibedakan menjadi:

1. Cedera traumatic. Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :


a. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan
b. Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan
fraktur klavikula
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
2. Trauma ringan (Fraktur patologik). Trauma ringan yaitu keadaan yang dapat
menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh atau underlying deases atau
fraktur patologis. Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan
a. Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
b. Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul salah satu proses yang progresif
c. Rakhitis
d. Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus

Menurut Black dan Matasarin (1997), fraktur dibagi berdasarkan dengan kontak dunia
luar, yaitu meliput fraktur tertutup dan terbuka.

a. Fraktur tertutup adalah fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang
tidak keluar melalui kulit. Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai
dengan luka pada bagian luar permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah
tidak berhubungan dengan bagian luar
b. Fraktur terbuka adalah fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan
dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka sangat berpotensi menjadi infeksi.
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya luka pada
daerah yang patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan udara luar, biasanya
juga disertai adanya pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol
keluar dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka membuat tulang
menonjol keluar. Fraktur terbuka memerlukan pertolongan lebih cepat karena
terjadinya infeksi dan faktor penyulit lainnya. Fraktur terbuka dibagi lagi menjadi tiga
grade, yaitu Grade I, II, dan III.
a. Grade I adalah robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot.
b. Grade II seperti grade 1 dengan memar kulit dan otot.
c. Grade III luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah, syaraf, kulit
dan otot

Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan untuk mengetahui dan
menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama
pengobatan. Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:

a. Deformitas. Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada


lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas
rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki
deformitas yang nyata.
b. Pembengkakan. Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan
serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
c. Memar. Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
d. Spasme otot. Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi
gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
e. Nyeri. Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur,
intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri
biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena
spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
f. Ketegangan. Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
g. Kehilangan fungsi. Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur
atau karena hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena.
Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
h. Gerakan abnormal dan krepitasi. Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian
tengah tulang atau gesekan antar fragmen fraktur.
i. Perubahan neurovascular. Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer
atau struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau
kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur
j. Syok. Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan fraktur adalah :

1. Pemeriksaan rontgen dengan tujuan untuk menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.


2. Scan tulang (fomogram, scan CT/MRI) untuk memperlihatkan fraktur dan juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram, dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat (hemo konsentrasi) atau menurun
(pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple) Hb,
leukosit, LED, golongan darah dan lain-lain

Penanganan pada tulang yang terlihat keluar atau fraktur terbuka terdiri dari, debridemen
untuk membersihkan kotoran atau benda asing, pemakaian toksoid tetanus, kultur jaringan dan
luka, kompres terbuka, pengobatan dengan antibiotik, penutupan luka bila ada benda infeksi,
imobilisasi fraktur. Imobilisasi fraktur adalah mengembalikan atau memperbaiki bagian tulang
yang patah kedalam bentuk yang mendekati semula (anatomis)nya.

Cara-cara yang dilakukan meliputi reduksi, traksi, dan imobilisasi. Reduksi terdiri dari
dua jenis, yaitu tertutup dan terbuka. Reduksi tertutup (Close reduction) adalah tindakan non
bedah atau manipulasi untuk mengembalikan posisi tulang yang patah, tindakan tetap
memerlukan lokal anestesi ataupun umum. Reduksi terbuka (Open reduction) adalah tindakan
pembedahan dengan tujuan perbaikan bentuk tulang. Sering dilakukan dengan internal fiksasi
yaitu dengan menggunakan kawat, screws, pins, plate, intermedulari rods atau nail.

Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah pembedahan, pasien


memerlukan bantuan untuk melakukan latihan. Menurut Kneale dan Davis (2011) latihan
rehabilitasi dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
a. Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan rentang gerak
sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur jaringan lunak serta
mencegah strain berlebihan pada otot yang diperbaiki post bedah.
b. Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan
pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang sehat, katrol atau tongkat
c. Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat otot. Latihan
biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah pulih, 4-6 minggu setelah
pembedahan atau dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan ekstremitas atas.

Selanjutnya metode traksi dilakukan dengan cara menarik tulang yang patah dengan
tujuan meluruskan atau mereposisi bentuk dan panjang tulang yang patah tersebut. Ada dua
macam jenis traksi yaitu skin traksi dan skeletal traksi. Skin traksi adalah menarik bagian tulang
yang patah dengan menempelkan pleter langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk,
membentuk menimbulkan spasme otot pada bagian yang cidera, dan biasanya digunakan untuk
jangka pendek (48 – 72 jam). Skeletal Traksi adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan
tulang yang cidera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins
atau kawat ke dalam tulang.

Pinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali), reduksi


(mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitasi. Reduksi berarti mengembalikan
jaringan atau fragmen ke posisi semula (reposisi). Dengan kembali ke bentuk semula diharapkan
bagian yang sakit dapat berfungsi kembali dengan maksimal. Penyembuhan tulang merupakan
proses yang kompleks, umumnya membutuhkan waktu 6-8 minggu untuk menyembuhkan ke
tingkat yang signifikan. Kecepatan dan keberhasilan berbeda antara individu dan waktu yang
diperlukan untuk penyembuhan tulang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk jenis
fraktur, usia pasien, kondisi medis yang mendasari, dan status gizi. Proses penyembuhan tulang
memiliki tiga tahap yaitu peradangan, produksi tulang, dan remodeling tulang.

Komplikasi fraktur tergantung pada jenis cedera, usia klien, adanya masalah kesehatan
lain (komordibitas) dan penggunaan obat yang mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin,
kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi yang terjadi setelah fraktur antara lain :
a. Cedera saraf. Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera
dapat menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan tungkai klien
yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada kemampuan klien untuk menggerakkan
jari-jari tangan atau tungkai. parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang meningkat.
b. Sindroma kompartemen. Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah
dilapisi oleh jaringan fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar
jika otot mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai respon terhadap
fraktur dapat menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen yang dapat
mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai darah lokal tidak dapat memenuhi
kebutuhan metabolic ringan, maka terjadi iskemia. Sindroma kompartemen
merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan oleh
apapun yang menurunkan ukuran kompartemen.gips yang ketat atau faktor-faktor
internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia yang berkelanjutan akan
menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-otot yang terkena, menyebabkan edema
lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut. Peningkatan asam laktat menyebabkan
lebih banyak metabolisme anaerob dan peningkatan aliran darah yang menyebabakn
peningkatan tekanan jaringan. Hal ini akan mnyebabkan suatu siklus peningkatan
tekanan kompartemen. Sindroma kompartemen dapat terjadi dimana saja, tetapi
paling sering terjadi di tungkai bawah atau lengan. Dapat juga ditemukan sensasi
kesemutan atau rasa terbakar (parestesia) pada otot.
c. Kontraktur Volkman. Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat
sindroma kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus-
menerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh jaringan fibrosa
yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma kompartemen setelah fraktur tibia dapat
menyebabkan kaki nyeri atau kebas, disfungsional, dan mengalami deformasi

Kompikasi jangka panjang dari fraktur antara lain:

a. Kaku sendi atau artritis. Setelah cedera atau imobilisasi jangka panjang, kekauan
sendi dapat terjadi dan dapat menyebabkan kontraktur sendi, pergerakan ligamen,
atau atrofi otot. Latihan gerak sendi aktif harus dilakukan semampunya klien. Latihan
gerak sendi pasif untuk menurunkan resiko kekauan sendi.
b. Nekrosis avascular. Nekrosis avaskular dari kepala femur terjadi utamaya pada
fraktur di proksimal dari leher femur. Hal ini terjadi karena gangguan sirkulasi lokal.
Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya nekrosis vaskular dilakukan
pembedahan secepatnya untuk perbaikan tulang setelah terjadinya fraktur.
c. Malunion. Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi yang tidak
tepat sebagai akibat dari tarikan otot yang tidak seimbang serta gravitasi. Hal ini
dapat terjadi apabila pasien menaruh beban pada tungkai yang sakit dan menyalahi
instruksi dokter atau apabila alat bantu jalan digunakan sebelum penyembuhan yang
baik pada lokasi fraktur.
d. Penyatuan terhambat. Penyatuan menghambat terjadi ketika penyembuhan melambat
tapi tidak benar-benar berhenti, mungkin karena adanya distraksi pada fragmen
fraktur atau adanya penyebab sistemik seperti infeksi.
e. Non-union. Non-union adalah penyembuhan fraktur terjadi 4 hingga 6 bulan setelah
cedera awal dan setelah penyembuhan spontan sepertinya tidak terjadi. Biasanya
diakibatkan oleh suplai darah yang tidak cukup dan tekanan yang tidak terkontrol
pada lokasi fraktur.
f. Penyatuan fibrosa. Jaringan fibrosa terletak diantara fragmen-fragmen fraktur.
Kehilangan tulang karena cedera maupun pembedahan meningkatkan resiko pasien
terhadap jenis penyatuan fraktur.
g. Sindroma nyeri regional kompleks. Sindroma nyeri regional kompleks merupakan
suatu sindroma disfungsi dan penggunaan yang salah yang disertai nyeri dan
pembengkakan tungkai yang sakit.

FRAKTUR TULANG PATOLOGIS

Fraktur patologis terjadi tanpa trauma yang memadai dan disebabkan oleh lesi tulang
patologis yang sudah ada sebelumnya. 5% dari semua fraktur tadalah fraktur patologis akibat
penyakit lokal atau sistemik. Metastasis tumor pada tulang dari penyakit kanker payudara, paru-
paru, ginjal, prostat, tiroid, dan hematologis terumasuk multiple myeloma adalah penyebab
umum fraktur patologis. Penyebab lainnya termasuk endokrinopati (sindrom Cushing,
tirotoksikosis, hiperparatiroidisme, diabetes mellitus, hipogonadisme pria dan defisiensi hormon
pertumbuhan), osteomalasia dari berbagai etiologi (vitamin D defisiensi dan resistensi,
hipofosfatemia, penyakit ginjal kronik, ginjal asidosis tubular, inhibitor mineralisasi,
hipofosfatasia, tidak adekuat asupan kalsium) dan obat-obatan (glukokortikoid,
thiazolidinediones, antiepilepsi obat-obatan, penghambat pompa proton, antidepresan,
antipsikotik, jangka panjang heparin, overdosis L-tiroksin dan terapi perampasan androgen).

Penyebab yang kurang umum adalah gangguan gastrointestinal (penyakit celiac, radang
usus penyakit, operasi gastrointestinal), infeksi HIV, hematologis non-ganas penyakit (talasemia,
mastositosis sistemik) dan penyakit reumatologis (rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis
dan systemic lupus erythomatosus). Penyakit tulang yang tidak umum seperti osteogenesis
imperfecta, penyakit Paget displasia fibrosa tulang dan poliostotik juga merupakan penyebab
penting fraktur patologis.

Algoritma diagnostik yang pasti diperlukan untuk mencapai etiologi diagnosa. Riwayat
menyeluruh dan pemeriksaan klinis wajib dilakukan untuk mengetahui penyebab yang
mendasari. Tes hematologi dan biokimia dasar adalah yang pertama langkah evaluasi.
Tergantung pada petunjuk klinis, biokimia lainnya, endokrin dan pemeriksaan radiologi
dilakukan untuk mencapai diagnosis akhir. Diagnosis yang layak dan etiologis dan pengobatan
yang tepat untuk gangguan yang mendasari adalah kuncinya untuk pengelolaan patah tulang
patologis yang berhasil.

Penyakit tulang metastatik: Selain tumor tulang primer, sebagian besar kelainan tulang
terkait tumor yang mengarah ke fraktur patologis disebabkan oleh metastasis tulang dari tempat
yang jauh. Yang paling keganasan primer umum yang bermetastasis ke tulang adalah payudara,
karsinoma paru, ginjal, prostat dan tiroid terhitung 80% dari metastasis kerangka. Banyak tumor
tulang primer lainnya dapat menyebar ke tulang yang meliputi leiomyosarcoma uterus,
hepatoseluler dan karsinoma uterus. Prognosis sangat bergantung pada agresivitas tumor primer,
tingkat keparahan dan luasnya keterlibatan tulang dan awal diagnosis dan intervensi.

Metastasis tulang sebagian besar multifokal, meskipun hanya sedikit yang primer tumor
seperti karsinoma ginjal dan tiroid dapat menyebabkan tulang soliter lesi. Situs metastasis tulang
yang paling umum adalah kerangka aksial diikuti oleh femur proksimal dan humerus proksimal.
Tulang metastasis tumor 40 kali lebih sering daripada semua tumor tulang primer gabungan.
Dalam rangkaian otopsi, sepertiga pasien yang meninggal kanker memiliki metastasis tubuh
vertebral, lebih sering di anterior elemen tulang belakang dibandingkan posterior. 90% prostat
bermetastasis kanker, 75% kanker payudara metastatik dan 45% paru-paru metastasis kanker
melibatkan tulang belakang.

Para pasien dengan penyakit tulang metastatik dan patologis Fraktur memiliki presentasi
yang bervariasi. Gejala yang paling umum adalah nyeri di tempat lokal, seringkali parah, bersifat
mekanis, kebanyakan nocturnal dan tidak responsif terhadap analgesik non-narkotika dan
narkotika. Lanjut Keluhan yang sering muncul adalah gejala neurologis khususnya nyeri
radikuler pada metastasis tulang belakang. Fraktur dapat berulang dalam berbagai cara situs
dalam kasus keganasan.

Keganasan hematologis. Multiple myeloma: Ini adalah hematologis kedua yang paling
umum keganasan setelah limfoma non-Hodgkin. Mieloma multiple adalah kelainan sel B klonal
yang ditandai dengan proliferasi dan akumulasi limfosit-B dan sel plasma di sumsum tulang, dan
situs ekstrameduler yang lebih jarang. Sekitar 80% pasien dengan multiple myeloma yang baru
didiagnosis menderita penyakit tulang dan 70% dari mereka hadir dengan nyeri tulang. 60% dari
lesi ini melibatkan tulang belakang karena fakta bahwa tubuh vertebral mengandung jumlah yang
tinggi sumsum tulang hematopoetik. Keterlibatan vertebral dapat terjadi pada bentuk
osteoporosis umum atau osteolisis terlokalisasi kebanyakan di badan vertebral, tetapi jarang
dalam proses transversal, proses spinosus atau pedikel. 80% patah tulang belakang terjadi di
daerah D6 sampai L4. Tulang belakang juga merupakan situs paling umum untuk plasmacytoma
soliter tulang, insiden rata-rata menjadi 50% dibandingkan dengan 12% di panggul dan 9% di
tulang rusuk.

Sebuah studi kohort retrosprektif menunjukkan 16 kali lebih banyak dari patah tulang
yang diharapkan pada tahun sebelum myeloma didiagnosis dua pertiga adalah patah tulang
belakang atau tulang rusuk. Monoclonal Gammopathy of Unknown Significance (MGUS) juga
membawa peningkatan risiko patah tulang osteoporosis.
Limfoma Non Hodgkin (NHL): Ini mungkin jarang menyebabkan fraktur patologis.
Sebuah tinjauan literatur dunia menunjukkan hal itu insidensi manifestasi skeletal di NHL
kurang dari 5% dan seluruhnya kasus keterlibatan tulang dilaporkan beberapa tahun setelah
primer penyakit didiagnosis. Fraktur patologis bisa disebabkan oleh tumor itu sendiri, radioterapi
dan atrofi tidak digunakan. Fraktur femur proksimal atau humerus sekunder akibat tumor
jaringan lunak lebih umum daripada limfoma primer tulang.

Leukemia: Berbagai jenis leukemia, baik akut maupun kronis mungkin melibatkan sistem
kerangka. Keterlibatan muskuloskeletal adalah sering terlihat pada anak-anak yang sedang
tumbuh dengan Leukemia Limfatik Akut (ALL) yang dapat berkisar dari nyeri ringan hingga
osteonekrosis yang melemahkan menyebabkan patah tulang. Keterlibatan tulang dikenali dengan
baik saat diagnosis, selama terapi dan gejala sisa jangka panjang setelah terapi. Pada awalnya
diagnosis ada bukti radiologis reaksi periosteal (2-19%), lesi osteolitik (19-38%) dan fraktur (2-
10%). Ada risiko patah tulang enam kali lebih tinggi dalam fase pemeliharaan pengobatan ALL.
Insiden patah tulang belakang non-trauma pada anak-anak setelah 1 tahun Terapinya mencapai
16% dan 85% di antaranya terjadi sebelumnya tubuh vertebral normal. Kemoterapi osteotoksik,
paparan steroid, gizi buruk, massa otot berkurang dan vitamin D rendah mungkin bertanggung
jawab untuk peningkatan tingkat patah tulang. Hipo- dan hipermagnesemia terkait dengan
aminoglikosida dan glukokortikoid selama pengobatan untuk ALL dapat mempengaruhi reaksi
hidroksilasi yang menghambat produksi 1,25 dihidroksi vitamin D berkontribusi pada cacat
mineralisasi.

LESI OSTEOCHONDRAL

Penyakit Osteochondral Lesion of the Talus (OLT) adalah kelainan pada tulang talus di
lapisan subchondral yang berupa lesi osteochondral pada talar dome. Lesi tersebut dapat
menyebabkan abnormalitas pada tulang rawan sendi talar. OLT disebut juga sebagai
Osteochondritis dissecans (OCD). Secara anatomis, talus adalah tulang sendi ketiga yang paling
sering mengalami lesi setelah sendi lutut dan sendi siku.

Berdasarkan literatur, angka kejadian OLT adalah 0,09% dan prevalensi 0,002/ 100.000
orang per tahun di Amerika. Angka kejadian OLT paling sering terjadi pada dekade kedua
kehidupan, meskipun manifestasi klinisnya dapat muncul di usia yang lebih tua. Talus terletak di
lokasi yang strategis, yakni pada kompleks sendi pergelangan kaki. Talus memiliki peran penting
dalam distribusi gaya tekanan berat badan.

Penyebab dari OLT masih menjadi perdebatan. Etiologi yang paling dipercaya adalah
trauma mikro yang terjadi secara berulang dan adanya gangguan pada vaskular. Hal tersebut
menyebabkan keluhan nyeri pada ankle yang bersifat progresif dan disertai dengan immaturitas
disfungsi tulang tertutama pada usia dewasa muda. Berdasarkan laporan yang ada, 85% pasien
OLT disebabkan oleh riwayat trauma. Bagian anatomis talus yang paling sering terjadi lesi
adalah bagian medial talus, sedangkan bagian lateral dan posterior lebih jarang.

Jika OLT tidak ditangani dengan segera, maka dapat menimbulkan morbiditas pada
pasien seperti terganggunya aktivitas sehari-hari. OLT harus didiagnosa sedini mungkin agar
dapat diberikan terapi yang tepat. Jika tidak diterapi, OLT dapat berlanjut menjadi osteroartritis
sekunder yang ditandai dengan nyeri serta gangguan fungsi. Pilihan terapi pembedahan menjadi
wajib pada pasien usia muda dengan fragmen tulang rawan yang tidak stabil. Pilihan
pembedahan diantaranya adalah dengan metode fiksasi, teknik microfractures, atau teknik
autologous chondrocyte implantation.

Lesi osteochondral idiopatik adalah lesi yang bersifat fokal dari subchondral tulang. Lesi
ini memiliki resiko terjadinya instabilitas dan gangguan pada tulang rawan artikuler yang
berdekatan. Disfungsi dari tulang subchondral idiopatik diduga disebabkan oleh faktor vaskuler
yang disertai dengan osteonekrosis dari subchondral. Hal ini berkontribusi dalam menyebabkan
kerusakaan pada tulang rawan yang berada di lapisan atasnya. Gangguan vaskular dapat
disebabkan karena trauma mikro berulang atau bisa disebabkan adanya gangguan pada
anastomosis pembuluh darah antara tulang rawan dan subchondral dalam masa perkembangan.
Namun patofisiolgi mengenai hal ini masih belum diketahui dengan pasti.

Sebagian besar OLT, termasuk defek osteochondral dan fraktur osteochondral sekunder
disebabkan oleh trauma. Sekitar 50% OLT disebabkan cedera ankle dan sekitar 73% dari fraktur
ankle dapat berlanjut menjadi cedera pada tulang rawan. OLT yang disebabkan oleh trauma pada
sisi lateral lebih sering terjadi dibandingkan sisi medial. Sekitar 94% OLT lateral disebabkan
oleh trauma, sedangkan hanya 62% OLT medial yang disebabkan oleh trauma. Penyebab trauma
pada lateral talar dome adalah beban axial yang dikombinasi dengan inversi dan dorsofleksi.
Sedangkan penyebab trauma pada medial talar dome disebabkan oleh beban axial inversi,
plantarfleksi, dan rotasi eksternal. Beberapa penelitian mengenai evaluasi karakteristik anatomi
pada OLT, menemukan bahwa sebagian besar lesi ini berlokasi pada zona centromedial dan
centrolateral. Studi ini juga menemukan bahwa lesi medial cenderung lebih luas dan dikaitkan
dengan perubahan pada lapisan subchondral. Oleh karena itu, muncul kecurigaan adanya faktor
lain selain trauma yang menjadi patofisiologi beberapa penyebab lesi medial talar.

Tulang talus dan tulang rawan talus sangat rentan untuk terjadinya lesi osteochondral
secara sekunder dikarenakan beberapa karakteristik anatomisnya. Pertama, 60% dari tulang talus
tertutup oleh tulang rawan, dimana kapasitas regenerasi intrinsiknya rendah karena anatomisnya
yang avaskuler. Oleh karena itu, nutrisi tulang rawan sangat bergantung dari cairan sinovial dan
dari lapisan subchondral. Fakta bahwa suplai vaskuler dari tulang talus yang kurang,
menyebabkan semakin berkurangnya kemampuan tulang rawan talus untuk sembuh setelah
terjadi trauma. Suplai vaskuler tulang talus berasal dari jaringan kompleks anastomosis peronal,
tibialis posterior dan tibialis anterior. Anastomosis ini mengakibatkan area tulang talus menjadi
area perbatasan yang miskin vaskuler. Area ini juga bersifat retrograde sehinga membuat tulang
talus sulit sembuh dari cedera.

Kedua, tulang rawan talus relatif lebih tipis bila dibandingkan dengan sendi penanggung
beban tubuh lainnya di ektremitas bawah. Sheperd dan Seedhom menunjukkan bahwa ketebalan
tulang rawan pada ankle kadaver secara statistik lebih tipis signifikan bila dibandingkan sendi
lutut dan panggul. Mereka menemukan bahwa ketebalan pada sendi ankle 0,7 mm sampai 1,2
mm dibandingkan dengan 1,5 mm sampai 2,6 mm pada sendi lutut. Semua faktor-faktor ini
menjadikan talus sangat rentan untuk terbentuknya lesi osteochondral.

Manifestasi klinis pasien OLT bervariasi tergantung dari berbagai faktor termasuk
penyebab dari lesinya. Keluhan yang paling sering dirasakan pasien adalah nyeri, bengkak, dan
kekakuan pada sendi ankle. Keluhan ini akan dirasakan semakin memberat dengan aktivitas
seperti menahan beban (weightbearing). Namun keluhankeluhan ini tidak spesifik karena bisa
ditemukan pada penyakit sendi lainnya. Oleh karena itu, dokter harus dapat menduga lesi ini
sebagai diagnosa awal pada pasien dengan keluhan di atas, dengan tetap mempertimbangkan
diagnosis banding lainnya, seperti fraktur tersembunyi, hindfoot coalitions atau deformity,
syndesmotic injury, instabilitas lateral ankle, peroneal tendonopathy, impingement dan arthritis
ankle atau subtalar.

Ketika ada kecurigaan ke arah OLT, pasien harus ditelusuri apakah ada riwayat trauma
pada ankle. Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada pasien adalah efusi, range of
movement yang berkurang, serta nyeri bila dilakukan palpasi, inversi atau dorsofleksi. Tes
provokasi termasuk anterior drawer dan talar tilt sebaiknya dilakukan, dan semua pemeriksaan
harus dibandingkan dengan sisi kontralateral.

Pemeriksaan radiologis lini pertama yang disarankan adalah pemeriksaan X-Ray sisi AP,
Lateral dan Mortise. Berndt dan Haety mendeskripsikan klasifikasi pertama dari OLT
berdasarkan gambaran radiologisnya. Pada klasifikasi tersebut dinyatakan bahwa tahap 1 adalah
area kecil berupa kompresi subchondral, tahap II adanya bagian osteochondral yang terpisah
sebagian, tahap III bagian osteochondral telah terpisah seluruhnya namun tanpa adanya
displacement, sedangkan pada tahap IV bagian osteochondral telah terpisah seluruhnya dan
terjadi displacement. Jika dengan pemeriksaan radiografi sederhana menunjukkan hasil yang
negatif namun kecurigaan ke arah lesi masih ada, maka dapat dilakukan pemeriksaan radiografis
yang lebih canggih seperti MRI dan CT scan. Setiap pemeriksaan ini memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing dalam pemeriksaan OLT. Namun di antara kedua pemeriksaan ini,
MRI memiliki angka sensitivitas yang lebih tinggi dalam menemukan adanya gambaran lesi bila
dibandingkan dengan CT Scan, dengan angka sensitivitas MRI 96% dan CT Scan 81%.

MRI memberikan visualisasi permukaan artikuler dan jaringan lunak yang sangat baik,
dimana hal ini sangat membantu untuk mendeteksi karakterisasi OLT. Namun bila didapatkan
edema pada klinisnya, dapat terjadi estimasi berlebihan dari ukuran lesi atau sulitnya melalukan
penilaian dari kondisi tulang sesungguhnya serta ukuran dimensi yang tepat dari lesi
osteochondral. Sebaliknya, CT Scan dapat memberikan gambaran yang lebih baik untuk kondisi
tulang subchondral dan dimensi maupun lokasi dari kista subchondral. Karena pentingnya
pemeriksaan ini dalam menentukan terapi yang sesuai, maka CT scan sangat membantu untuk
perencanaan preoperatif dan menjadi pilihan ketika pemeriksaan X-Ray menunjukkan adanya
lesi osteochondral yang memerlukan terapi operatif. Diperlukan pendekatan yang spesifik untuk
setiap pasien, ketika memilih modalitas radiologis yang canggih untuk mendeteksi, mengevaluasi
dan menentukan pilihan terapi OLT.
Sistem klasifikasi berdasarkan pemeriksaan radiologis canggih ada lebih dari satu. Semua
klasifikasi ini penting dari sisi historis dan menjadikan deskripsi klasifikasi lesi menjadi lebih
seragam. Namun manfaat klasifikasi dalam menentukan terapi jarang digunakan.
Pengklasifikasian ini tidak menggunakan ukuran lesi sebagai acuan. Sedangkan ukuran lesi
adalah salah satu faktor penting dalam menentukan terapi yang sesuai karena dikaitkan dengan
hasil klinis akhir. Pengklasifikasian OLT lain diantaranya adalah klasifikasi oleh Hepple et al
dan Ferkel et al. Hepple et al mengembangkan sistem klasifikasi berdasarkan MRI pada tahun
1999. Sedangkan Ferkel et al mengembangkan sistem klasifikasi berdasarkan CT scan pada
tahun 1990.

Pemilihan terapi pada OLT tergantung dari tahapan lesi, kronisitas, dan keluhan
simtomatis yang menyertainya. Pasien OLT yang tidak menunjukkan gejala simtomatis, pada
umumnya diobservasi dengan pemeriksaan radiologi serial untuk memonitor kemajuan. Terapi
diberikan jika lesi menimbulkan keluhan simtomatik baik secara spontan maupun yang muncul
saat pemeriksaan fisik dilakukan. Pasien dengan keluhan simtomatis akut dan non- displaced
sering diberikan terapi non-operatif, biasanya berupa immobilisasi selama 6 minggu dengan
short leg cast atau dengan memakai walking boot. Kemudian dilanjutkan dengan pengembalian
aktivitas normal secara perlahan-lahan. Pilihan terapi ini menunjukkan angka keberhasilan
sebesar 50%. Pasien OLT yang tidak menunjukkan perbaikan gejala setelah 3 sampai 6 bulan,
dapat direncanakan untuk terapi operatif. Namun untuk lesi akut dengan potongan displacement,
terapi yang lebih diutamakan adalah tindakan operatif tanpa mencoba terlebih dahulu terapi
konservatif dikarenakan lesi akut dengan displacement memiliki angka penyembuhan spontan
yang rendah

RUPTUR MENISCUS

Cedera meniskus dapat terjadi baik trauma maupun non trauma. Cedera meniskus oleh
karena non trauma, biasanya terjadi pada orang usia dewasa pertengahan dan usia tua. Hal ini
disebabkan oleh suatu proses degeneratif seperti osteoarthritis. Sedangkan cedera meniskus oleh
karena trauma, umumnya terjadi pada orang muda dan berhubungan dengan kegiatan olahraga
(sepakbola, basket, ski, dan baseball). Mekanisme injuri dari cedera meniskus karena trauma ini
biasanya berhubungan dengan gerakan lutut yang melakukan gaya twisting, cutting,
hiperekstensi, atau akibat adanya kekuatan yang begitu besar.

Cedera meniskus biasanya berhubungan dengan cedera anterior cruciate ligament (sekitar
>80% kasus). Klasifikasi cedera menikus bergantung pada lokasi, ketebalan, stabilitasnya, dan
bentuk robekannya. Berdasarkan lokasinya, robekan meniskus dapat terjadi pada bagian perifer
(red – red zone), bagian transisi (red – white zone), dan bagian dalam (white – white zone).
Sedangkan berdasarkan bentuk robekannya, dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, yaitu :
vertikal – longitudinal (bucket handle), flat/oblique, vertikal radial/transverse, dan
horisontal/kompleks (degeneratif). Semua kategori tersebut diatas disertai dengan adanya
pemeriksaan pasien melalui anamnesis yang akurat, pemeriksaan fisik yang baik, dan ditunjang
dengan pemeriksaan penunjang yang memadai (MRI), sangat berperan penting dalam
menentukan keberhasilan dan efektifitas terapi.

Cedera meniskus berdasarkan lokasinya, dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

1. Cedera meniskus bagian perifer (daerah vaskular)


Berbagai macam teknik operasi telah digambarkan dan dilaksanakan dalam
memperbaiki cedera meniskus di daerah perifer (vaskular). Meskipun berbagai
macam teknik operasi terus berkembang, namun tetap secara prinsip teknik operasi
meniskus menggunakan empat kategori teknik (inside out, outside in, dan all inside
arthroscopic techniques, dan open repair). Keberhasilan penyembuhan meniskus pada
zona ini adalah sangat baik sekitar 69-91%.
2. Cedera meniskus bagian dalam (daerah avaskular)
Cedera meniskus pada daerah avaskular ini merupakan suatu bagian yang paling luas,
kompleks, dan sering berhubungan dengan prognosis yang buruk jika dilakukan
tindakanperbaikan meniskus. Untuk peningkatan proses penyembuhan meniskus pada
daerah ini, menjadi suatu tantangan bagi para klinis dan peneliti. Banyak teknik
operasi termasuk banyak penelitian – penelitian dilakukan untuk meningkatkan
proses penyembuhan di daerah avaskular meniskus ini, namun hasilnya tetap saja
tidak memuaskan. Oleh karena itu, para dokter sering melakukan tindakan
menisektomi pada daerah avaskular meniskus ini, namun memberikan efek buruk
bagi permukaan tulang rawan.
Penanganan cedera meniskus secara umum dibagi menjadi dua bagian, yaitu

1. Non Operatif
Penanganan non operatif untuk cedera meniskus biasanya untuk cedera meniskus
yang bersifat asimtomatis dan pasien usia tua yang tidak mampu mengubah gaya
hidupnya. Semua pasien seharusnya ditangani dengan RICE (rest, ice compression,
elevation, and NSAID). Rehabilitasi dilakukan pada cedera meniskus untuk
mengurangi nyeri, latihan ROM secara penuh, dan latihan penguatan otot – otot lutut.
Pada tindakan artroskopi lutut, jika didapatkan adanya robekan meniskus, kemudian
tidak dilakukan tindakan abrasi parameniskus untuk mempercepat proses
penyembuhan. Oleh karena itu ada beberapa hal yang tidak memerlukan tindakan
operasi pada cedera meniskus, seperti :
a. partial thickness splits
b. full thickness vertical atau robekan oblik yang panjangnya kurang dari 5 mm
(kondisi stabil)
c. short radial atau robekan minor pada bagian sentral meniscus
d. robekan karena proses degeneratif khususnya pada kasus osteoartritis yang
disertai tanpa gejala mekanikal
e. robekan yang bersifat stabil dengan tidak adanya pergeseran ke arah sentral
yang lebih besar dari 3 mm
2. Operatif
Penanganan cedera meniskus dengan tindakan operasi direkomendasikan untuk
pasien yang memiliki keluhan nyeri secara menetap, usia muda dengan aktivitas yang
aktif (atlet), ada keluhan locking knee, dan pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya
tanda–tanda dari robekan meniskus. Tindakan operatif tersebut, meliputi :
a. Menisektomi total Prosedur ini dilakukan dengan membuang semua meniskus
dan diindikasikan pada kasus–kasus meniskus yang mengalami proses
degeneratif. Hal tersebut tentu saja akan menyebabkan terjadinya peningkatan
kerusakan tulang rawan, penyempitan celah sendi, perubahan geometri tulang,
dan pembentukan osteofit.
b. Menisektomi parsial (sebagian) Prosedur ini dilakukan dengan membuang
sebagian meniskus yang cedera, khususnya yang mengalami puntiran atau
bagian yang tidak stabil (flaps, complex tear, degenerative dan central/radial
tear) dengan menyisakan kontur atau bentuk dari sebagian meniskus sehat
yang tersisa
c. Repair (penjahitan) meniskus Prosedur ini dilakukan dengan mempertahankan
meniskus dan dilakukan perbaikan, seperti penjahitan (dengan menggunakan
benang polydioxanone dan nonabsorbable) terhadap meniskus yang
mengalami robekan.

CEDERA ACL, PCL, MCL DAN LCL

ACL berkontribusi sebagai tahanan primer terhadap translasi anterior dari tibia terhadap
femur, selain itu berfungsi sebagai tahanan rotasional pada bidang frontal dan transversal
Ligamentum Krusiatum anterior berfungsi mencegah tibia bergeser ke depan femur, sementara
ligamentum krusiatum posterior berfungsi mencegah tibia bergeser ke belakang femur. Cedera
ACL memiliki kemampuan yang buruk untuk sembuh dengan kegagalan sekitar 40-100%
bahkan bila sudah dilakukan repair. Studi di Selandia Baru menyebutkan insiden cedera ACL
sekitar 36,9 persen per 100.000 orang pertahun. Sedangkan di Amerika Serikat, insiden cedera
ACL meningkat antara 40%-60% per 100.000 pada tahun 2014.

Cedera ACL biasanya terjadi pada individu muda, dan aktif beraktivitas. Cedera ACL
biasanya terjadi pada trauma olahraga. Cedera ACL dapat berkembang menjadi osteoarthritis
pada dekade pertama dan kedua setelah cedera. Osteoarthritis post-traumatik didiagnosis
berdasarkan adanya keluhan klinis dan pemeriksaan radiologis yang menunjukkan adanya
osteofit dan penyempitan celah sendi. Cedera ACL terjadi melalui kontak pada ekstremitas
bawah yang terfiksir dengan torsi yang cukup meinimbulkan cedera.. Cedera pada ACL terjadi
melalui mekanisme nonkontak yaitu fleksivalgus-eksternal rotasi, fleksi-varus internal rotasi, dan
external rotasi atau hiperekstensi berlebihan.

Manajemen dari cedera ACL meliputi banyak faktor. Keputusan untuk melakukan
tindakan konservatif atau operatif bergantung pada individu penderita meliputi usia, aktivitas
pasien, derajat instabilitas, dan derajat cedera ACL. Terapi konservatif pada jaman dahulu
dianggap sebagai suatu alternatif dari gold standar, namun dengan outcome fungsional yang
buruk. Kandidat primer untuk tindakan operatif pada cedera ACL yaitu pasien cedera ACL akut
dengan lifestyle yang aktif dan pasien cedera ACL kronik dengan instabilitas fungsional. ACL
repair merupakan suatu gold standar yang dipakai untuk cedera ACL terutama pada usia muda
dan atlet yang bertujuan segera kembali ke aktivitas.

Penanganan cidera ACL tergantung dari kebutuhan masing-masing individu. Contohnya,


seorang atlet muda yang memerlukan kelincahan lebih membutuhkan tindakan bedah daripada
orang tua dengan aktivitas ringan. Penanganan cidera ACL dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

1.    Penanganan non-bedah

ACL yang robek tidak akan sembuh tanpa operasi. Namun, penanganan non-bedah dapat
dipilih untuk orang dengan tingkat aktivitas fisik rendah. Selain itu, bila hasil pemeriksaan
stabilitas sendi lutut secara keseluruhan baik, dokter dapat merekomendasikan penanganan non-
bedah dengan cara:

 Knee brace (penyangga lutut). Knee brace digunakan untuk menambah stabilitas sendi


lutut. Kemudian, Anda dapat menggunakan kruk untuk mengurangi beban pada lutut
yang cidera.

 Terapi fisik. Latihan fisik tertentu dapat meningkatkan fungsi lutut dan menguatkan otot
tungkai yang ikut menyokong sendi lutut. Latihan ini dapat dimulai setelah bengkak dan
nyeri berkurang.

2.    Penanganan bedah

Adanya cidera ACL yang berdampak pada gangguan stabilitas lutut merupakan faktor
risiko terjadinya kerusakan lutut lebih lanjut, seperti kerusakan pada kartilago dan bantalan sendi
lutut (meniscus). Pada kondisi ini, perlu dilakukan operasi rekonstruksi ACL untuk
mengembalikan fungsi stabilisasi ACL.

Hampir semua robekan ACL tidak dapat dijahit menjadi satu kembali. Karena itu, dokter
akan mengganti ACL yang robek dengan jaringan ikat lain. Terdapat beberapa sumber donor
jaringan ikat yang dapat digunakan. Masing-masing sumber donor memiliki kelebihan dan
kekurangan. Anda dapat mendiskusikan sumber donor jaringan mana yang terbaik untuk Anda
dengan dokter ortopedi Anda.

Sebelum operasi, biasanya akan dilakukan terapi fisik terlebih dahulu. Terapi fisik ini
bertujuan untuk mengembalikan rentang gerak sendi dan memberikan waktu untuk
pembengkakan berkurang. Bila operasi dilakukan ketika masih terdapat bengkak, kekakuan lutut,
dan rentang sendi buruk, hasil operasi tidak akan maksimal. Pada umumnya, terapi fisik
dilakukan selama tiga minggu atau lebih sejak terjadi cidera.

Prosedur operasi

Operasi rekonstruksi ACL dilakukan dengan menggunakan arthroscope. Operasi ini


tergolong lebih tidak invasif dengan irisan kulit yang kecil. Teknik ini memiliki keuntungan
berupa nyeri pasca operasi yang lebih ringan dan waktu pemulihan yang lebih singkat.

Prosedur operasi rekonstruksi ACL diawali dengan pemberian obat anestesi. Saat pasien
sudah rileks karena efek obat anestesi, dokter akan kembali melakukan pemeriksaan fisik pada
lutut untuk memastikan bahwa memang ada robekan pada ACL dan untuk melihat kondisi
ligamen lutut lain. Bila hasil pemeriksaan ini menunjukkan adanya robekan ACL, dokter akan
mengambil donor jaringan yang sesuai dan menyiapkan donor jaringan tersebut agar ukurannya
sesuai untuk pasien.

Bila donor jaringan sudah siap, dokter akan membuat sayatan kecil di kulit (1 cm)
sebagai portal tempat masuknya arthroscope dan alat-alat lainnya. Dengan arthroscope, dokter
akan memeriksa kondisi dalam sendi lutut dan mengambil sisa ACL yang robek. Kemudian,
donor jaringan dimasukkan ke dalam lutut melalui terowongan yang dibuat melalui tulang kering
dan tulang paha. Setelah donor jaringan berhasil menempati posisi yang sesuai, dilakukan fiksasi
donor jaringan ke tulang.

Sebelum operasi selesai, dokter akan melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa
lutut yang dioperasi memiliki rentang gerak sempurna dan stabil. Setelah itu, sayatan kulit akan
ditutup dan pasien biasanya dapat pulang di hari yang sama dengan hari operasi itu juga.

Hasil operasi
Hampir semua operasi rekonstruksi ACL memberikan hasil yang baik. Tindakan operasi
ini dapat mengembalikan kekuatan dan fungsi sendi lutut seperti sebelum terjadi cidera.
Biasanya, seorang atlet dapat kembali ke aktivitas olah raganya dalam 6-12 bulan pasca operasi,
tergantung jenis olah raganya dan kepatuhan atlet terhadap program rehabilitasi.

TRAUMA OTOT DAN TENDON (TENDON ACHILLES)

Tendon Achilles (calcaneus tendo) merupakan tendon terkuat dan paling tebal diantara
tendon lainnya yang berfungsi untuk melekatkan triceps surae (soleus dan dua kepala
gastrocnemius) ke tulang calcaneus. Tendon Achilles mempunyai kekuatan sekitar tujuh kali
berat badan selama melakukan gerakan lari. Hal Ini meningkatkan besarnya pada kekuatan
selama berdiri yang kira-kira setengah dari berat badan.

Tendon Achilles dibentuk dari gabungan 2 otot, yaitu otot gastroknemius dan soleus.
Tendon ini berinsersi pada tulang calcaneus, dan struktrur ini sering disebut sebagai Gastroc-
soleus complex. Tendon Achilles adalah tendon terbesar dan terkuat pada tubuh manusia,
memiliki daya regang sampai dengan 12,5 kali berat badan (9 kilonewton [KN]) ketika berlari
sprint, dan 6 sampai 8 kali berat badan ketika melakukan aktivitas atletik seperti melompat atau
bersepeda. Tendon Achilles dimulai dari pertengahan regio cruris posterior sebagai gabungan
dari tendon otot gastroknemius dan soleus. Panjang gabungan tendon ini kira-kira 10-15 cm,
dengan komponen gastrocnemius 11-26 cm dan komponen soleus 3-11 cm. Kontribusi serabut
otot gastroknemius dan soleus bervariasi antar individu. Kebanyakan serabut otot soleus
memiliki kontribusi lebih banyak dibandingkan gastroknemius, dan menempel pada hampir
seluruh bagian anterior tendon. Pada gastrocsoleus junction, tendon Achilles memiliki bentuk
melebar dan datar, saat berjalan ke arah distal, bentuknya secara progresif menjadi ovoid pada
potongan melintang sampai pada kira-kira 4 cm proksimal dari insersionya di kalkaneus,
kemudian berlanjut menjadi relatif datar kembali.

Tendo achilles ini terdiri dari dua buah tendo yang bergabung yaitu otototot soleus dan
gastrocnemius, otot otot ini berada pada bagian belakang tulang tumit. Kumpulan jaringan otot
solesus terselip kedalam bagian dalam tulang tumit. Disekeliling kedua tendon tersebut terdapat
satu lapisan vaskuler yang amat penting yaitu peritenon yang memelihara suplai darah pada
jaringan tendon, Karena penempatan yang khusus dari masing masing jaringan tendon maka para
atlet mempunyai kecenderungan menjadi berkaki datar, dan sering kali menarik soleus ini
berulang – ulang sehingga dapat meningkatkan cidera.

Cedera tendon dapat terjadi akut atau kronis akibat faktor intrinsic atau ekstrinsik. Pada
trauma akut, faktor ekstrinsik yang lebih dominan sedangkan pada trauma kronis faktor instrinsik
memiliki peranan penting. Cedera pada tendon dapat terjadi tiba-tiba akibat trauma seperti
kecelakaan kerja, kecelakaan lalu-lintas ataupun saat berolahraga. Gejala yang dapat timbul
akibat cedera pada tendon antara lain nyeri, kekakuan, dan kehilangan kekuatan di daerah yang
terkena. Sebagian besar cedera tendon adalah akibat proses yang bertahap akibat aktivitas yang
berlebih atau akibat dari proses penuaan.

Rupture tendon Achilles adalah robek atau putusnya hubungan tendon (jaringan
penyambung) yang disebabkan oleh cidera dari perubahan posisi kaki secara tiba-tiba atau
mendadak dalam keadaan dorsifleksi pasif maksimal. Pada rupture tendon Achilles, lebih dari
90% diakibatkan oleh mekanisme akselerasi/deselerasi yang dapat mengakibatkan penurunan
kualitas tendon dan kekuatan tensilenya.

Arner dan Lindholms mengklasifikasikan trauma penyebab ruptur tendon Achilles


menjadi 3 kategori, sebagai berikut.

1. Kategori pertama, ketika berat badan bertumpu pada kaki depan saat lutut dalam
keadaan ekstensi. Gerakan ini dapat dilihat saat posisi start sprinter dan saat
melompat pada olahraga basket. Mekanisme seperti ini merupakan penyebab ruptur
tendon Achilles sebanyak 53%.
2. Kategori kedua terjadi secara mendadak, yakni ketika dorsofleksi ankle, misalnya
ketika kaki terpeleset ke dalam lubang atau ketika seseorang jatuh dari tangga.
Mekanisme kedua menyebabkan ruptur Achilles sebanyak 17%.
3. Kategori ketiga merupakan dorsofleksi paksa saat kaki dalam keadaan plantar fleksi,
misalnya ketika jatuh dari ketinggian. Mekanisme ini merupakan penyebab ruptur
Achilles sebanyak 10%.

Beberapa faktor anatomi dan patogenesis berhubungan dengan ruptur tendon Achilles.
Secara anatomi, area 4-7 cm dari insersinya di kalkaneus lebih rentan mengalami ruptur karena
merupakan bagian yang paling tipis, dengan diameter melintang paling kecil dan serat yang
paling banyak mengalami rotasi. Telaah mikrovaskular menunjukkan bahwa area ini merupakan
area dengan suplai darah paling sedikit. Mikrotrauma berulang dapat menyebabkan perubahan
degeneratif dan meningkatkan kekakuan tendon sehingga lebih rentan terjadi ruptur. Fatigue atau
kelelahan juga merupakan kondisi yang berhubungan dengan ruptur tendon.

Studi patologi pada ruptur tendon parsial dan komplit telah mengungkap perubahan
karakteristik yang terjadi pada tendinosis. Temuan ini berhubungan dengan usia. Ketika usia
bertambah, terjadi perubahan morfologis pada tendon Achilles termasuk berkurangnya jumlah
organel di dalam tenosit, penurunan kadar mukopolisakarida dan glikoprotein, dan penurunan
diameter maksimum serta kepadatan serat kolagennya.

Banyak bukti pula dari studi patologi yang menyatakan bahwa terjadi penurunan
vaskularisasi intratendon sebagai penyebab utama dari kerusakan tenosit fokal. Secara teori,
berkurangnya vaskularisasi menurunkan pembentukan kolagen, sehingga kemampuan tendon
untuk meregang berkurang dan lebih mudah mengalami ruptur.

. Dari history taking didapatkan pasien mengalami cedera di daerah ankle atau distal dari
regio cruris. Keluhan yang sering dialami adalah nyeri di daerah ankle dapat disertai adanya luka
maupun tidak. Pada pasien dengan toleransi nyeri yang tinggi, seringkali ruptur achilles ini tidak
terdiagnosis dengan baik sehingga dapat berlanjut ke kondisi kronis. Ruptur tendon achilles
dapat disebabkan direct maupun indirect trauma. Direct trauma dapat disebabkan direct blow
oleh benda tumpul ataupun tajam. Sedangkan pada indirect trauma, mekanisme cedera berupa
gerakan mendadak dorsofleksi ankle terutama saat ankle dalam posisi plantar fleksi. Dari
anamnesis juga didapatkan keluhan saat pasien berjalan terutama saat pasien melakukan gerakan
plantar fleksi ankle, karena gerakan plantar fleksi dihasilkan oleh kontraksi pada tendon achiles.

Dari inspeksi didapatkan vulnus, ekskoriasi, maupun bengkak pada sisi posterior dari
ankle. Apabila didapatkan vulnus, tidak tampaknya tendon Achiles merupakan prediktor kuat
terhadap ruptur yang terjadi karena stump tertarik ke proksimal. Dapat pula hanya terlihat stum
distal yang sudah mengalami ruptur. Dari pemeriksaan feel, didapatkan adanya gap pada tendon
achilles. Lokasi tersering terjadinya ruptur, yaitu 2-6 cm di proksimal dari insersinya pada
posterosuperior dari tulang kalkaneus. Pemeriksaan spesifik untuk ruptur tendon achilles
dinamakan dengan tes Thompson. Tes ini dilakukan dengan cara squeeze pada otot
gastroknemius, diharapkan terjadi gerakan plantar fleksi dari sendi ankle. Bila gerakan plantar
fleksi tidak terjadi, dapat dipastikan terjadi ruptur tendon achilles. Namun apabila gerakan
plantar fleksi masih terjadi, dapat juga tendon achilles mengalami ruptur parsial, sehingga
gerakan tersebut masih ada namun disertai rasa nyeri saat tes Thompson dilakukan.

Ada tes lain yang sering dilakukan dalam penegakan diagnosis ruptur tendon Achilles,
yaitu tes Matles. Namun tes ini harus dilakukan dalam keadaan pasien terbius. Sebelum pasien
dibius, pasien diminta untuk melakukan gerakan fleksi sendi lutut secara aktif hingga 90°.
Setelah dibius, pemeriksa melakukan gerakan fleksi pasif pada kedua sendi lutut hingga 90°.
Kemudian dievaluasi posisi sendi ankle pada kedua kaki. Apabila posisi ankle pada satu sisi
dalam keadaan dorsofleksi atau netral, sedangkan sisi yang lain dalam posisi plantar fleksi, maka
posisi kaki yang dorsofleksi atau netral ini dikatakan mengalami ruptur tendon achilles.

Dari pemeriksaan move didapatkan pasien tidak dapat melakukan gerakan plantar fleksi
secara aktif merupakan bukti adanya ruptur tendon achilles. Tendon achilles merupakan tendon
yang terdiri dari gabungan tiga otot, yaitu gastroknemius kaput medial dan lateral, serta soleus.
Ketiga otot ini memiliki fungsi yang sama, yaitu gerakan plantar fleksi dari ankle.

Pencitraan

a. X-ray
Walaupun tidak lazim, beberapa ilmuwan masih melakukan penegakan diagnosis
ruptur tendon achilles berdasarkan foto rontgen ankle lateral. Kager berpendapat dari
foto ankle lateral orang normal, didapatkan adanya gambaran segitiga yang diisi oleh
jaringan lemak, dan dibatasi oleh tepi tendon achilles, tulang kalkaneus, dan tendon
fleksor digitorum longus dan hallucis longus. Apabila terjadinya ruptur pada tendon
achiles, segitiga ini tidak dapat dilihat. Toygar melakukan pengukuran sudut dari
permukaan kulit posterior dari ankle. Toygar berpendapat jika terjadi ruptur tendon
achilles, masing-masing stump dari tendon ini akan mengalami displaced ke anterior
sehingga sudut dari permukaan kulit sisi posterior ankle tidak lurus lagi, namun
membentuk sudut sekitar 130-150°.
b. Ultrasonografi
Pemeriksaan USG mudah dilakukan dan dalam waktu cepat, diagnosis ruptur tendon
achilles dapat ditegakkan. Namun pemeriksaan ini memiliki kelemahan, yaitu
operator dependent. Sehingga dokter radiologi atau ortopedi yang kurang
berpengalaman tidak dapat menegakkan diagnosis ruptur achilles secara pasti dengan
modalitas ini.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan ini relatif lebih mahal dibanding USG, dan tidak semua rumah sakit
memiliki MRI. Kelebihan pemeriksaan MRI dibanding USG adalah pemeriksaan ini
dapat mendeteksi adanya ruptur parsial pada tendon achilles. Sedangkan melalui
pemeriksaan USG, ruptur parsial dapat terbaca sebagai false negative. Dengan MRI,
juga dapat ditentukan seberapa parah persentase tendon achilles yang mengalami
cedera, karena pemeriksaan ini cukup baik untuk mendeteksi kerusakan jaringan
lunak.

Dilihat dari perkembangannya, tatalaksana konservatif atau nonbedah pada kasus ruptur
tendon Achilles akut awalnya dilakukan dengan imobilisasi casting selama 6-8 minggu. Namun
demikian, saat ini terapi konservatif mulai memperkenalkan metode rehabilitasi fungsional dan
mobilisasi dini. Metode ini diyakini dapat memberikan hasil akhir yang tidak kalah dengan
tatalaksana secara bedah ditinjau dari angka rekurensi ruptur, bahkan kelebihannya adalah
minimnya resiko infeksi dan komplikasi pasca bedah lain terkait luka pascaoperasi.

Pada sebagian besar negara di dunia, ruptur tendon Achilles akut diterapi utamanya
secara konservatif. Namun pemilihan tatalaksana konservatif yang optimal pun masih menjadi
perdebatan hingga kini karena yang dimaksud dengan rehabilitasi fungsional sendiri cukup
bervariasi, dapat berupa latihan gerak terkontrol secara dini (early controlled motion),
menghindari tumpuan beban tubuh (protected weight bearing) atau dapat pula kombinasi
keduanya. Bahkan lebih jauh lagi, alat rehabilitasi fungsional manakah yang paling efektif untuk
diterapkan pada terapi konservatif pun masih bervariasi.

Secara prinsip, early controlled motion pada terapi konservatif ruptur tendon Achilles
akut bertujuan untuk meningkatkan mechanical loading pada tendon yang sedang mengalami
fase penyembuhan. Loading ini akan memicu mikrotrauma lokal pada tendon yang selanjutnya
akan memperkuat tendon callus. Penelitian Schepull dan Aspenberg menambahkan bahwa
penderita ruptur tendon Achilles akut yang ditangani konservatif dan dilakukan early motion
menunjukkan modulus elastisitas tendon yang lebih baik daripada yang ditangani dengan
imobilisasi lama. Meskipun bervariasi, waktu yang cukup banyak digunakan sebagai rujukan
untuk memulai early functional rehabilitation motion adalah setelah 1-2 minggu setelah
imobilisasi casting, dengan terlebih dahulu dilakukan gerakan pemanasan (gentle streching) dan
latihan melawan tahanan (resistance exercise) yang dinaikkan progresif secara perlahan.

Beberapa keterbatasan terapi konservatif bila dibandingkan dengan terapi surgical pada
kasus ruptur tendon Achilles akut adalah angka rekurensi rupturnya lebih tinggi dibandingkan
dengan pembedahan, terlebih bila protokol konservatif yang dijalankan adalah metode lama
dengan imobilisasi selama 6-8 minggu. Selain itu kekuatan motoris plantar fleksi ankle pada
penderita yang diterapi secara konservatif lebih rendah dibanding yang dilakukan pembedahan,
dan waktu yang dibutuhkan penderita untuk dapat kembali bekerja juga lebih lama. Hal inilah
yang menjadi dasar pertimbangan kecenderungan pemilihan terapi pembedahan pada penderita
ruptur tendon Achilles akut yang berusia muda, aktif, atau berprofesi sebagai atlit.

Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan karena memengaruhi keberhasilan terapi
konservatif pada kasus ruptur akut tendon Achilles.

1. Terapi konservatif atau terapi nonbedah, adalah istilah yang berbeda dengan tidak
melakukan apa-apa. Protokol rehabilitasi fungsional harus dijalankan dan secara rutin
dievaluasi secara ketat.
2. Sangat penting untuk menghindari gerakan dorsofleksi berlebihan pada minggu
pertama terapi konservatif.
3. Perlu diberikan informasi yang sangat jelas kepada penderita bahwa proses
penyembuhan tendon merupakan waktu yang sangat krusial sehingga penderita
dihimbau untuk tidak melakukan gerakan loading tendon Achilles secara tiba-tiba
ketika melakukan aktivitas seharihari (misalnya menaiki anak tangga) karena dapat
meningkat resiko terjadinya ruptur kembali.
4. Waktu kapan penderita dapat kembali melakukan aktivitas sebagaimana sebelumnya
juga harus mendapatkan perhatian. Sebaiknya aktivitas yang beresiko rendah dapat
diperkenankan setelah 6 bulan, adapun aktivitas yang high-impact (misalnya sepak
bola, pelari cepat, dan pemain rugby) baru diperkenankan kembali setelah kurang
lebih 9 bulan.
5. Bila terjadi ruptur tendon Achilles tipe avulsi (dengan atau tanpa disertai avulsi
fragmen tulang insersinya), maka mutlak dibutuhkan suatu terapi pembedahan

Tujuan dari terapi bedah pada ruptur akut tendon Achilles adalah untuk mempertahankan
kekuatan tendon yang cukup selama proses penyembuhan tendon dan mempertahankan panjang
tendon tanpa meningkatkan terjadinya risiko komplikasi. Beberapa teknik bedah digunakan
untuk memperbaiki ruptur tendon Achilles antara lain dengan modifikasi teknik penjahitan,
augmentasi, dan minimal invasive.

TRAUMA MUSKULOSKELETAL ANAK

Aktivitas fisik memegang peranan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Anak-anak sendiri menyukai aktivitas fisik meliputi kegiatan permainan, rekreasi, dan olahraga.
Keikutsertaan anak dalam kegiatan olahraga dapat memberikan manfaat, apalagi apabila
kegiatan tersebut di program dengan baik. Olahraga dapat meningkatkan kesehatan fisik, mental,
dan emosional anak. Selain itu mereka juga dapat melatih disiplin dan sportivitas.

Pada usia anak, olahraga sebenarnya bertujuan untuk kesenangan, kesehatan, dan
pengembangan diri. Tujuan ini berubah saat saat anak dilibatkan dalam kompetisi. Dalam dua
dekade ini, partisipasi anak dalam olahraga kompetitif semakin tinggi. Anak mulai banyak
dilibatkan baik dalam kompetisi perserorangan maupun dalam suatu tim. Atlet anak harus
berlatih lebih keras, lama, dan terlibat dalam kegiatan olahraga kompetisi sepanjang tahun.

Banyak dari anak-anak memulai latihannya sejak dini. Mereka biasanya sudah
mengkhususkan diri dalam suatu cabang olahraga. Di negara barat, anak-anak usia 6-8 tahun ada
yang sudah terlibat dalam klub olahraga seperti sepak bola atau hoki. Mereka melakukan
kompetisi antar kota bersama timnya. Di beberapa negara, sudah dilakukan seleksi pada anak
usia 5-6 tahun. Mereka yang lolos seleksi akan diikutsertakan dalam program olahraga di pusat
pelatihan yang didirikan oleh pemerintah.
Di negara Cina, contohnya, terdapat sekitar 3000 sekolah olahraga resmi milik
pemerintah. Di tempat ini anak-anak usia 5-16 tahun berlatih keras dan mereka berharap dapat
terpilih untuk melanjutkan latihan ke Pusat Pelatihan Olimpiade Cina. Sementara, di negara-
negara barat, anak-anak yang mengikuti pelatihan gimnastik atau tenis bisa menghabiskan 20
jam lebih perminggu untuk berlatih. Akibatnya, insiden cedera olahraga pada anak meningkat
secara signifikan. Cedera olahraga ini menurunkan aktivitas olahraga anak. Cedera bahkan dapat
membuat anak mundur sepenuhnya dari kegiatan olahraga. Cedera olahraga juga meningkatkan
biaya kesehatan yang harus dikeluarkan. Sehingga perlu dilakukan intervensi dan kebijakan yang
efektif untuk melindungi anak-anak dari cedera.

Insiden aktual cedera olahraga pada anak sulit untuk ditentukan. Studi yang
dipublikasikan bervariasi secara signifikan dalam hal populasi yang diteliti, metodologi yang
digunakan, jenis cedera, serta tingkat keparahan cedera. Selain itu, karena kriteria yang
digunakan untuk mendefinisikan cedera berbeda-beda, perbandingan antara laporan sulit
dilakukan dan harus dicermati dengan hatihati.3 Jenis olahraga yang diikuti dan pola cedera yang
terjadi bervariasi. Hal ini tergantung dari jenis kelamin.

Penelitian epidemiologi terbaru, pada anak usia 5-17 tahun, menunjukkan bahwa anak
laki-laki lebih menyukai olahraga tim dan olahraga kontak dibandingkan anak perempuan. Anak
laki-laki lebih sering mengalami cedera yang bersifat traumatis terutama berhubungan dengan
muskuloskeletal. Di sisi lain, anak perempuan lebih sering mengalami cedera yang diakibatkan
kegiatan olahraga yang berlebihan (overuse; 63%:40%). Perbedaan faktor resiko dan jenis cedera
ini berhubungan dengan pola gerakan olah raga yang dilakukan serta pemilihan jenis cabang
olahraga (kontak/nonkontak; individual/tim). Selain jenis kelamin dan jenis olahraga, Insidensi
dan distribusi cedera olahraga pada anak bervariasi sesuai dengan tingkat partisipasi, dan posisi
pemain. Di Inggris, 79% dari anak usia 5 sampai 15 tahun bergabung dalam organisasi olah raga,
dan 11% diantaranya terlibat dalam latihan intensif. Sementara di Amerika Serikat Setidaknya
lebih dari 50% anak laki-laki dan 25% anak perempuan usia 8-16 tahun berpartisipasi dalam
olahraga yang kompetitif. 3-11% anak usia sekolah mengalami cedera saat mengikuti kegiatan
olahraga. Namun, insiden terjadinya cedera serius hanya sebesar 0,69 % pertahun.

Pada anak dibawah usia 12 tahun cedera olahraga masih sangat sedikit, sehingga olahraga
adalah aman bagi anak-anak prapubertal. Tetapi terjadi peningkatan insiden cedera yang sangat
tajam pada anak usia 14 tahun terutama pada anak laki- laki. Anak laki – laki mengalami cedera
dua kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Namun, pada olahraga tertentu, seperti
berkuda, anak perempuan mengalami cedera empat kali lebih banyak dibandingkan anak laki-
laki. Olahraga dengan frekuensi melompat dan kontak fisik antar pemain yang tinggi merupakan
olahraga dengan tingkat resiko terbesar untuk terjadinya cedera. Cabang olahraga penyebab
cedera paling tinggi adalah sepak bola (63%).

Olahraga lain yang memiliki resiko cedera tinggi adalah basket, baseball, dan voli.
Namun, pada penelitian lain menunjukkan bahwa kelas olahraga atletik (lari/lempar/lompat)
yang memberikan insiden cedera paling tinggi. Kelas atletik menyumbang 38% dari cedera,
permainan bola (sepak bola dan basket) menyumbang 32%, 15% senam, kelas kebugaran fisik
menyumbang 9%, dan 6% terjadi selama kegiatan umum. Frekuensi bagian tubuh yang
mengalami cedera adalah 43.8% cedera terjadi pada ekstremitas atas, 34.5% ekstremitas bawah,
dan 16% kepalaleher. Pada penelitian lain menunjukkan bahwa area cedera yang paling banyak
terjadi (48%) adalah di pergelangan kaki, Tangan (19%), lutut (10%), paha (7%), lengan (5%),
bahu dan kepala (4%), dan kaki (3% ). Tipe cedera yang paling umum yaitu sprains (61%), 23%
fraktur, 9% strain, dan 7% lecet.

Berdasarkan kegiatan-kegiatan yang dapat menyebabkan cedera olahraga pada anak


yaitu: 30 % oleh karena latihan, 35 % saat kompetisi, 20 % saat kelas pendidikan jasmani, dan 15
% karena kegiatan olahraga informal. Pada kelas pendidikan jasmani, cedera terjadi pada 15
menit pertama saat kegiatan baru dimulai, 25% terjadi di tengah-tengah kegiatan dan 30% terjadi
selama 15 menit akhir. Sedangkan persentase penyebab cedera pada olahraga anak 35 %
disebabkan karena terkilir, 25 % terjatuh, 15 % tendangan, 13 % benturan dengan bola, 10 %
benturan dengan lawan, 4 % karena kelelahan (overuse), dan untuk 13 % lainnya tidak diketahui
penyebabnya. 74% adalah cedera pertama kalinya, sedangkan 26% adalah cedera berulang.

Faktor resiko merupakan semua faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
cedera. Faktor resiko ini dapat dibagi menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor
intrinsik terdiri dari komponen yang dimiliki oleh atlet. Faktor intrinsik merupakan karakter
biologi dan psikososial individual seperti kondisi fisik, tingkat stres, tingkat keterampilan, atau
cedera yang dialami sebelumnya. Komponen tersebut mempengaruhi dari performa atlit ketika
berlatih dan bertanding. Faktor ekstrinsik adalah semua faktor luar yang memberikan dampak
terhadap atlet saat mereka sedang mengikuti kegiatan olahraga. Contoh faktor ekstrinsik sepertI:
program latihan dan perlengkapan olahraga.

Meskipun antara anak dan orang dewasa memiliki komponen dasar tubuh yang sama,
namun ada beberapa aspek yang membuat atlet anak lebih rentan terhadap cedera
muskuloskeletal. Anak-anak masih dalam masa pertumbuhan, tulang panjangnya tersusun atas
epifisis, fisis, metafisis, dan diafisis. Pada atlet anak, lempeng pertumbuhan (lempeng epifisial)
masih terbuka. Hal ini merupakan titik kelemahan. Cedera yang terjadi dapat mengakibatkan
gangguan pada pertumbuhan, apofisis, dan permukaan sendi

Pada anak-anak, tulang dan otot lebih elastis dan lebih cepat mengalami penyembuhan.
Masa puncak pertumbuhan linear merupakan saat yang rentan untuk terjadi cedera. Hal ini
disebabkan karena terjadinya proses perubahan properti biomekanik tulang dan belum seimbang
antara kekuatan dan fleksibititas tulang. Pada atlet immatur, dimana tulang semakin kaku dan
ketahanan terhadap beban (load) berkurang, benturan dapat mengakibatkan tulang melengkung
(bow) atau menggembung (buckle). Latihan dengan intensitas rendah dapat memicu
pertumbuhan tulang, sebaliknya latihan dengan intensitas tinggi dapat menghambatnya.

Cedera olahraga pada anak dapat bersifat akut dan berkaitan dengan trauma makro
(fraktur dan sprain). Cedera juga dapat timbul secara gradual (kronik) melalui trauma mikro
repetitif (fraktur stres, OCD, apofisitis, tendinopati). Gejala makrotrauma jelas, sesuai dengan
riwayat penyakit dan mekanisme cedera. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri,
bengkak, atau deformitas sesuai dengan bagian tubuh yang terkena. Hal ini memungkinkan bagi
pemeriksa untuk menentukan diagnosis dan apakah diperlukan investigasi selanjutnya. Sebagian
besar cedera ini ringan, hanya membutuhkan istirahat jangka pendek, obat antinyeri, kompresi
sementara, dan dilanjutkan dengan rehabilitasi formal.

Mikrotrauma (overuse injury) dapat memberikan gejala awal yang kurang jelas dan
sangat tergantung dari aktivitas dan posisi anatomi. Untuk individu yang lebih muda dapat dilihat
dari penurunan performa atau pincang saat berjalan. Identifikasi dari regio anatomi yang terkena
sulit. Jenis olahraga dapat menjadi petunjuk untuk menegakkan diagnosis. Tingkat keparahan
dari cedera bervariasi, mulai dari sprain sampai pada kematian. Beberapa jenis cedera spesifik
pada jenis olahraga tertentu. Misalnya, Fraktur spiral pada tibia umumnya terjadi pada olahraga
ski. Sementara cedera pergelangan kaki umumnya terjadi pada olahraga basket. Sebagian besar
cedera olahraga bersifat ringan dan tidak memerlukan tindakan medis. Pada kasus yang jarang
dapat terjadi cedera fatal seperti cedera servikal yang berujung pada kematian.

Berdasarkan jaringan tubuh yang terlibat atau terdampak dapat dibagi menjadi jaringan
lunak, jaringan keras, dan sendi. Cedera pada jaringan keras dan sendi meliputi:

1. Dislokasi
Dislokasi atau luksasi merupakan terpisahnya kedua permukaan sendi. Kedua
permukaan sendi terpisah secara keseluruhan. Apabila hanya sebagian permukaan
sendi yang terpisah, maka disebut subluksasi atau dislokasi parsial. Dislokasi sendi
bahu (glenohumeral) jarang terjadi pada anak. Sendi bahu merupakan sendi dengan
gerakan yang paling luas. Integritas dari sendi bahu dapat dipertahankan oleh kapsul
glenohumeral, labrum, dan otot-otot rotator cuff.
Apabila terjadi dislokasi sering diikuti cedera pada jaringan lunak terutama rotator
cuff dan tendon bisep. Olahraga deangan banyak gerakan melempar, seperti baseball
dapat merusak labrum glenoid. Dislokasi sendi siku sering ditemui pada olahraga
sepakbola dan senam. Dapat disertai dengan fraktur epikondilus medial dari humerus,
fraktur dari leher radius, atau cedera pada saraf (saraf median atau saraf ulna).
Kebanyakan arah dislokasinya ke posterior atau posterolateral. Dibutuhkan reduksi
segera, rehabilitasi aktif, dan jangan kembali berolahraga sebelum 8-12 minggu.
Anak harus mencapai rentang gerak sendi penuh (full range of motion) sebelum
dilibatkan penuh dalam kegiatan olahraga. Sebagai tambahan, sendisendi yang sering
mengalami dislokasi pada saat berolahraga adalah sendi pada jari, lutut, patela, dan
pergelangan kaki.
2. Fraktur
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas dari tulang. Terputusnya kontinuitas
dari tulang ini dapat berupa retakan, lekukan, atau pecahan pada korteks (incomplete).
Ada beberapa kekhasan fraktur incomplete anak, seperti: fraktur torus, fraktur
greenstick, Fraktur bowing (plastic bending), dan fraktur hairline. Pada kasus fraktur
lainnya, kontinuitas tulang dapat terputus seluruhnya (complete). Fragmenfragmen
tulang dapat tetap pada posisinya (undisplaced) atau bergeser (displaced). Apabila
kulit intak maka disebut fraktur tertutup, sedangkan apabila kulit terluka dan ada
kontak dengan lingkungan luar maka disebut sebagai fraktur terbuka.
Fraktur klavicula merupakan cedera umum pada olahraga kontak. deformitasnya
minimal karena yang sering terjadi adalah fraktur greenstick (incomplete). Klavikula
sendiri terbungkus dalam periosteum yang tebal. Reduksi biasanya tidak diperlukan,
hanya dibutuhkan immobilisasi dengan sling selama 2-3 minggu dan akan sembuh
dengan baik.
Pada humerus Biasanya terjadi fraktur pada metafisis dengan mekanisme cedera
indirek. Jarang dibutuhkan tindakan koreksi untuk fraktur ini. Fraktur supracondyler
humerus terjadi apabila terjatuh dengan tangan terbentang. Posisi fraktur pada distal
dari humerus ini paling sering berada di posterior dan melibatkan lempeng
pertumbuhan. Waspadai juga keterlibatan pembuluh darah dan saraf pada cedera.
Dapat dilakukan reduksi tertutup dan pemasangan casting. Apabila reduksi baik
namun tidak stabil dapat dilakukan pinning perkutan untuk mempertahankan reduksi.
Apabila tidak tercapai reduksi yang diinginkan atau terjadi cedera pada arteri
brakhialis maka harus dilakukan eksplorasi dan reduksi terbuka. Komplikasinya dapat
timbul kekakuan pada sendi siku, deformitas akibat kerusakan dari lempeng
pertumbuhan, dan timbulnya gunstock deformity
Fraktur lengan bawah (forearm) dan pergelangan tangan biasanya disebabkan
oleh beban indirek ketika jatuh dengan bertumpu tangan. Kebanyak fraktur terjadi
pada sepertiga distal dari lengan bawah. Distal radius merupakan lokasi fraktur paling
sering pada atlet anak. Di area metafisis dapat terjadi fraktur torus ataupun fraktur
komplit. Fraktur sering terjadi pada area peralihan antara tulang lamelar diafisis yang
tebal dengan area porus dari metafisis.

CHILD ABUSE

Tanggal 23 Juli diresmikan menjadi Hari Anak Nasional berdasarkan Keputusan Presiden
RI Nomor 44 Tahun 1984 tanggal 19 Juli 1984. Tujuan peringatan Hari Anak Nasional salah
satunya untuk mendorong masyarakat dari berbagai latar belakang untuk melawan kekerasan dan
menjadi pelindung bagi anak. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak
lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari
perlakuan, diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.

Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman
atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang (masyarakat) yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan, atau perampasan hak. Kekerasan merupakan perilaku yang
tidak sah atau perlakuan yang salah. Kekerasan dapat diartikan sebagai perbuatan yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain dan menyebabkan kerusakan fisik pada orang lain.
Kekerasan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan adalah kekerasan yang bertentangan
dengan hukum. Oleh karena itu, kekerasan dapat dikatakan sebuah kejahatan.

Ada empat sifat kekerasan yang dapat diidentifikasi, yaitu: pertama, kekerasan terbuka
(overt) yaitu kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian. Kedua, kekerasan tertutup (covert)
yaitu kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti perilaku mengancam. Ketiga,
kekerasan agresif yaitu kekerasan yang tidak untuk perlindungan tetapi untuk mendapatkan
sesuatu. Keempat, kekerasan defensif yaitu kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan
perlindungan diri.

Kekerasan umumnya ditujukan kepada kelompok yang dianggap lemah. Anak merupakan
salah satu kelompok yang rentan mendapatkan perilaku kekerasan. Manusia disebut sebagai anak
dengan pengukuran atau batasan usia. Kondisi ini tercermin dari perbedaan batasan usia di setiap
negara. Setiap negara diberikan peluang untuk menentukan berapa usia manusia yang
dikategorikan sebagai anak. Di Amerika Serikat menentukan batas umur antara 8-18 tahun
dikatakan anak, Australia di menentukan batas umur 8-16 tahun dikatakan anak, Inggris
menentukan antara 12-16 tahun disebut sebagai anak, Srilangka anak 8-16 tahun, Jepang dan
Korea 14-20 tahun, Taiwan menentukan batasan anak 14-18 tahun, Kamboja batas usia anak 15-
18 tahun, dan negara-negara ASEAN untuk Malaysia 7-18 tahun, Singapura 7-16 tahun.
Sedangkan di negara Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun
2002, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk/tindakan perlakuan menyakitkan secara
fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, trafiking, penelantaran, eksploitasi komersial
termasuk eksploitasi seksual komersial anak yang mengakibatkan cidera/kerugian nyata ataupun
potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau
martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau
kekuasaan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, menyebutkan jumlah anak
(0-18 tahun) adalah 79.898.000 jiwa. Prevalensi kekerasan terhadap anak adalah 3,02% yang
berarti setiap 10.000 anak Indonesia terdapat 302 anak pernah mengalami kekerasan. Angka
kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat. Menurut data dari Komisi
Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PAI) terjadi peningkatan kasus kekerasan
terhadap anak, dimana pada tahun 2013 jumlah kasus kekerasan pada anak meningkat 60% jika
dibandingkan dengan tahun 2012. Pada tahun 2013, Komnas PAI mencatat, telah terjadi 1.620
kasus kekerasan pada anak. Dari jumlah itu terbagi menjadi 490 kasus kekerasan fisik (sebesar
30%), 313 kasus kekerasan psikis (sebesar 19%), dan yang terbanyak adalah kasus kekerasan
seksual sebanyak 817 kasus (sebesar 51%).

Pada hasil rekapitulasi akhir data korban kekerasan terhadap anak, yang tercatat oleh
Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB)
Provinsi Jawa Tengah menunjukan bahwa Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2013 telah terjadi
209 kasus kekerasan fisik, 163 kasus kekerasan psikis, dan 636 kasus kekerasan seksual. Dari
data BPS, yang diolah Pusat Data dan Informasi Kemenkes, estimasi jumlah anak di Indonesia
untuk tahun 2018 adalah 33% dari total estimasi jumlah penduduk (88.312.971 untuk usia 0-18
tahun), sebaran hampir merata di rentang usia 0-2 tahun, sampai dengan 12-14 tahun yaitu
sekitar 16% dan usia 15-18 tahun mendominasi sekitar 20% dari usia anak, sedangkan
berdasarkan jenis kelamin, yaitu 49% perempuan dan 59% laki-laki.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 kekerasan terhadap anak adalah setiap
perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan dengan cara melawan hukum.
Beberapa kondisi anak yang membutuhkan perlindungan khusus yaitu anak dalam situasi
darurat, anak yang berhubungan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, menjadi korban
pornografi, anak dengan HIV/AIDS. Kondisi lainnya anak yang menjadi korban penculikan,
penjualan, dan/atau perdanganan, korban kekerasan fisik dan/atau psikis, kejahatan seksual,
korban jaringan terorisme, penyandang disabilitas, korban perlakuan salah dan penelantaran,
anak dengan perilaku sosial menyimpang, dan anak yang menjadi korban stigmatisasi dari
pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.

Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

3. Faktor Internal
a. Berasal dalam diri anak. Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat disebabkan
oleh kondisi dan tingkah laku anak. Kondisi anak tersebut misalnya: Anak
menderita gangguan perkembangan, ketergantungan anak pada lingkungannya,
anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, anak yang
memiliki perilaku menyimpang dan tipe kepribadian dari anak itu sendiri.
b. Keluarga/orang tua. Faktor orang tua atau keluarga memegang peranan penting
terhadap terjadinya kekerasan pada anak. Beberapa contoh seperti orang tua yang
memiliki pola asuh membesarkan anaknya dengan kekerasan atau penganiayaan,
keluarga yang sering bertengkar mempunyai tingkat tindakan kekerasan terhadap
anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang tanpa masalah,
orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap
anak karena faktor stres yang dialami orang tua tersebut, orang tua atau keluarga
belum memiliki kematangan psikologis sehingga melakukan kekerasan terhadap
anak, riwayat orang tua dengan kekerasan pada masa kecil juga memungkinkan
melakukan kekerasan pada anaknya.
4. Faktor Eksternal
a. Lingkungan luar. Kondisi lingkungan juga dapat menjadi penyebab terjadinya
kekerasan terhadap anak, diantaranya seperti kondisi lingkungan yang buruk,
terdapat sejarah penelantaran anak, dan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam
lingkungannya.
b. Media massa. Media massa merupakan salah satu alat informasi. Media massa
telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari – hari dan media ini tentu
mempengaruhi penerimaan konsep, sikap, nilai dan pokok moral. Seperti halnya
dalam media cetak menyediakan berita – berita tentang kejahatan, kekerasan,
pembunuhan. Kemudian media elektronik seperti radio, televisi, video, kaset dan
film sangat mempengaruhi perkembangan kejahatan yang menampilkan adegan
kekerasan, menayangkan film action dengan perkelahian, acara berita kriminal,
penganiayaan, kekerasan bahkan pembunuhan dalam lingkup keluarga. Pada
hakekatnya media massa memiliki fungsi yang positif, namun kadang dapat
menjadi negatif.
c. Budaya. Budaya yang masih menganut praktek – praktek dengan pemikiran
bahwa status anak yang dipandang rendah sehingga ketika anak tidak dapat
memenuhi harapan orangtua maka anak harus dihukum. Bagi anak laki – laki,
adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak laki – laki tidak boleh cengeng atau
anak laki – laki harus tahan uji. Pemahaman itu mempengaruhi dan membuat
orangtua ketika memukul, menendang, atau menindas anak adalah suatu hal yang
wajar untuk menjadikan anak sebagai pribadi yang kuat dan tidak boleh lemah

Ada beberapa jenis-jenis kekerasan terhadap anak, meliputi:

1. Kekerasan Fisik
Kekerasan yang mengakibatkan cidera fisik nyata ataupun potensial terhadap anak
sebagai akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan orang lain.
2. Kekerasan Seksual
Kekerasan terhadap anak dalam kegiatan seksual yang tidak dipahaminya. Kekerasan
seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, perabaan,
memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, perkosaan,
hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan darah
(incest), dan sodomi.
3. Kekerasan Emosional
Suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan
mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral
dan sosial. Contohnya seperti pembatasan gerak, sikap tindak yang meremehkan
anak, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau menertawakan,
atau perlakuan lain yang kasar atau penolakan.
4. Penelantaran anak
Ketidakpedulian orang tua atau orang yang bertanggung jawab atas anak pada
kebutuhan mereka. Kelalaian di bidang kesehatan seperti penolakan atau penundaan
memperoleh layanan kesehatan, tidak memperoleh kecukupan gizi dan perawatan
medis. Kelalaian di bidang pendidikan meliputi pembiaran mangkir (membolos)
sekolah yang berulang, tidak menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti
setiap anak, atau kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus. Kelalaian
di bidang fisik meliputi pengusiran dari rumah dan pengawasan yang tidak memadai.
Kelalaian di bidang emosional meliputi kurangnya perhatian, penolakan atau
kegagalan memberikan. perawatan psikologis, kekerasan terhadap pasangan di
hadapan anak dan pembiaran penggunaan rokok, alkohol dan narkoba oleh anak.
5. Eksploitasi anak
Penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan orang lain,
termasuk pekerja anak dan prostitusi. Kegiatan ini merusak atau merugikan kesehatan
fisik dan mental, perkembangan pendidikan, spiritual, moral dan sosial - emosional
anak.

Tujuan manajamen pada Kekerasan terhadap Anak ialah Diagnosis telah terjadi
kekerasan fisik dan atau seksual yang dialami, serta Mengumpulkan bukti untuk kepentingan
medikolegal. Dua hal tersebut dilakukan secara bersamaan dan pengumpulan bukti untuk
kepentingan hukum harus < 72 jam sejak kejadian. Langkah penanganan kasus kekerasan
terhadap anak dengan menggunakan “RADAR”, yakni Recognize : kenali kemungkinan
kekerasan, Ask & Listen : tanyakan secara langsung dan dengarkan dengan empati, Discuss
options : bicarakan berbagai pilihannya, Assess danger : nilailah kemungkinan bahaya, Refer to
other groups that could provide assistance : rujuk ke pihak terkait yang dapat membantu.

Peran petugas kesehatan jikalau menemukan kekerasan terhadap anak:


1. Memberi perlindungan sementara (bersama polisi) : berperan sbg Shelter
2. Pelayanan kesehatan
3. Merehabilitasi kesehatan korban
4. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan & VeR/surat keterangan medis yang
sama sebagai alat bukti
5. Sebagai saksi di pengadilan
6. Menjadi pendamping dalam rehabilitasi korban
7. Pemeliharaan kesehatan

TRAUMATOLOGI DAN MEDIKOLEGAL

Ilmu Kedokteran Forensik merupakan bagian dari ilmu kedokteran yang mencakup
pemeriksaan forensik terhadap korban kekerasan baik hidup (forensik klinik) maupun korban
meninggal (forensik patologi) dan laksana pemeriksaannya meliputi metoda investigasi, aspek
medikolegal, maupun psikopatologi. Dalam upaya pembuktian adanya kekerasan dibutuhkan
suatu visum et repertum yang berisikan tentang laporan pemeriksaan forensic.

Dalam ilmu kedokteran forensik, luka adalah hasil dari kekerasan fisik, yang merusak
kontinuitas jaringan tubuh. Trauma dijelaskan sebagai luka pada tubuh yang disebabkan oleh
kekerasan fisik, mekanik atau kimiawi, yang dapat menyebabkan luka atau kemungkinan
komplikasi. Secara medis, kekerasan mengacu kepada perilaku yang mengakibatkan cedera atau
cedera itu sendiri. Kekerasan ini bisa berakibat secara psikologis maupun secara fisik.
Mekanisme cedera mengacu pada berbagai kekuatan yang umumnya terkait dengan trauma
(misalnya proyektil, kekerasan tajam, kekerasan tumpul, trauma termal serta trauma multipel).
Identifikasi luka mengenai mekanisme cedera tergantung pada pola luka dan juga kontribusi baik
faktor intrinsik dan ekstrinsik dari mekanisme perlukaan.

Dalam ilmu kedokteran forensik dikenal trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma
tumpul ialah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh oleh benda-
benda tumpul. Hal ini disebabkan oleh benda-benda yang mempunyai permukaan tumpul, seperti
batu, kayu, martil, terkena bola, dan lain-lain. Sedangkan trauma tajam ialah suatu ruda paksa
yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh oleh benda-benda tajam. Trauma tajam dikenal
dalam tiga bentuk pula yaitu luka iris atau luka sayat (vulmus scissum), luka tusuk (vulmus
punctum) atau luka bacok (vulmus caesum).

Trauma tajam dikenal dalam tiga bentuk, yaitu luka sayat (Vulnus Scissum) yang
memiliki gambaran terputusnya jaringan berpinggiran rata dengan sisi panjang luka lebih besar
dari lebar serta kedalaman luka disebabkan oleh mekanisme pergesekkan dan penekanan dari sisi
benda tajam. Luka tusuk (vulnus punctum) yang memiliki gambaran terputusnya jaringan
berpinggiran rata dengan sisi kedalaman luka lebih besar dari panjang serta lebar luka
disebabkan oleh mekanisme tekanan dan kecepatan yang kuat dari permukaan paling kecil benda
tajam, dan luka bacok (vulnus caesum) yang memiliki gambaran terputusnya jaringan
berpinggiran rata dengan sisikedalaman luka cenderung sama panjang serta dibarengi dengan
adanya kerusakan parah pada organ dibawahnya (seperti tulang dan organ) disebabkan oleh
mekanisme tekanan dan kecepatan yang sangat kuat dari permukaan benda tajam.

Salah satu contoh dari trauma tajam adalah luka bacok. Luka bacok merupakan luka yang
disebabkan oleh senjata tajam yang berat dan diayunkan dengan tenaga yang akan menimbulkan
luka menganga yang lebar. Luka ini sering sampai ke tulang. Bentuknya hampir sama dengan
luka sayat tetapi dengan derajat luka yang lebuh berat dan dalam. Luka terlihat terbuka lebar atau
menganga. Perdarahan sangat banyak dan sering mematikan.

Dalam menghadapi kasus kriminal yang melibatkan pemakaian senjata atau benda tajam
sebagai alat yang dimaksudkan untuk melukai atau mematikan seseorang, seorang dokter yang
melakukan pemeriksan terhadap korban mempunyai wewenang sesuai yang tercantum dalam
pasal 133 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan pasal 179 ayat (1)
KUHAP yang menjelaskan bahwa seorang penyidik berwenang meminta keteragan ahli kepada
ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau bahkan ahli lainnya. Keterangan ahli tersebut adalah
Visum et Repertum, yang didalamnya terdapat penjabaran tentang keadan korban, baik korban
luka, keracunan, atau mati yang diduga tindak pidana, dengan memenuhi persyaratan formal dan
material. Visum et Repertum (VeR) merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak
hanya memenuhi standar penulisan rekam medis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang
disyaratkan dalam sistem peradilan.
Pada akhir stase, kompetensi yang harus dimiliki seorang Koas di Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun
2012:

1. Mampu berkomunikasi dengan korban, keluarga korban dan Penyidik


2. Mampu melakukan pemeriksaan luar jenazah dan korban hidup
3. Memahami alur barang bukti
4. Mampu membuat Visum et Repertum
5. Mampu memilih dan membuat dokumen sertifikasi medis sesuai dengan kasus
6. Mampu mengusulkan pemeriksaan penunjang dan rujukan kepada dokter Spesialis
Forensik dalam Pelayanan Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Pemeriksaan tanda-tanda kekerasan

1. Periksa dan temukan luka-luka dan patah tulang.


2. Foto kondisi luka sebelum dan sesudah dibersihkan.
3. Foto kondisi luka dari jarak jauh dan jarak dekat dengan memperhatikan anatomical
landmark.
4. Amati luka dan catat.
5. Deskripsikan lokasi luka, koordinat luka, jenis luka, gambaran luka, dan ukuran luka.
6. Bila perlu deskripsikan sekitar luka: apakah terdapat lukaluka lain atau hal-hal lain.
7. Temukan patah tulang tertutup dengan cara memeriksa tulang-tulang apakah terdapat
kelainan bentuk (deformitas), pemendekan, bengkak, memar, krepitasi, dan false
movement saat tulang digerakkan.
8. Temukan patah tulang terbuka.
9. Tentukan lokasi patah tulang.
10. Foto dan catat

Anda mungkin juga menyukai