ANISA NURUL HIKMAH Tugas Minggu 1
ANISA NURUL HIKMAH Tugas Minggu 1
Oleh :
Anisa Nurul Hikmah/2014901008
N
Penelitian Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil penelitian
o
Firda Judul : Penerapan Kompres Metode penelitian deskriptif dengan Berdasarkan hasil penelitian yang
Nofitasari1 Hangat Untuk Menurunkan menggunakan metode pendekatan studi dilakukan pada An.V dan An.S selama 3
Wahyuningsih2 Hipertermia Pada Anak kasus. hari dari 31 Desember 2018 sampai 2
Dengan Demam Typoid Teknik pengambilan data : Studi kasus Januari 2019 dengan melakukan tindakan
Publikasi dilakukan dengan cara meneliti suatu pemberian kompres hangat pada pasien
Jurnal : UP2M Tujuan : Tujuan studi kasus ini permasalahan melalui suatu kasus dan selama 15 menit dengan pengukuran secara
AKPER penerapan terapi kompres menggunakan bentuk rencana “one berkala selama 3 hari.dapat disimpulkan
Widya Husada hangat untuk menurunkan group pretest posttest”. Dengan teknik bahwa terdapat manfaat dan pengaruh dari
Semarang hipertermia pada anak demam wawancara dengan klien, observasi penerapan kompres hangat untuk
typoid langsung suhu tubuh menurunkan hipertermia pada pasien
Waktu dan tempat penelitian : tanggal 05 kompres air hangat selama 20 menit efektif
Juni sampai dengan 05 Juli Tahun 2017 dapat menurunkan panas pada tubuh pasien
di puskesmas Tanru Tedong Kabupaten febris.
Sidrap.
4. Siti 1
Haryani , Judul : Pengaruh Tepid Desain penelitian : Uji analisis bivariat Hasil penelitian menunjukkan suhu
Eka Sponge Terhadap Penurunan menggunakan Paired t Test. Uji sebelum sebelum dilakukan tepid sponge
Adimayanti2, Suhu Tubuh Pada Anak Pra Pengaruh dengan Product Moment sebagian besar ( 73, 34 %) berada pada
Ana Puji Sekolah Yang Mengalami Pearson. suhu 38-39° Celcius. Suhu tubuh setelah
Astuti3 Demam Di Rsud Ungaran. Teknik pengambilan data : Studi ini dilakukan tepid sponge sebagian besar (63
menggunakan rancangan quasi %) berada pada suhu 37 -38° Celsius.
Publikasi : Tujuan : Penelitian ini eksperimental dengan metode pre and Perbedaan suhu tubuh anak pada uji t
STIKES bertujuan untuk mengetahui post test with control group, artinya berpasangan untuk kelompok intervensi
Cendekia pengaruh tepid sponge pengumpulan data dilakukan terhadap diperoleh nilai signifikansi 0.000 (p <
Utama Kudus terhadap penurunan suhu tubuh responden pada anak yang dirawat inap 0.05). Pemberian kompres water tepid
pada anak pra sekolah yang Populasi : Jumlah anak prasekolah sponge berpengaruh terhadap penurunan
ISSNI / DOI : mengalami demam di rumah sebanyak 60 anak terbagi dua kelompok suhu tuhuh
2252-886 sakit Ungaran. yaitu 30 anak kelompok perlakuan dan
30 anak kelompok control. anak yang
dirawat inap.
Waktu dan tempat : Maret 2018 Di Rsud
Ungaran
Jurnal Internasional
N
Penelitian Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil penelitian
o
1. Patrícia de Judul : Metode fisik untuk Desain penelitian : Analisis deskriptif Hasil penelitian ini Tidak ada perbedaan
Oliveira pengobatan demam pada dan asosiasi dengan tes Chi-square dan yang signifikan secara statistik ditemukan
Salgado1 , pasien yang sakit kritis: uji Kruskal-Wallis antara intervensi, tetapi dengan kelompok
Ludmila coba terkontrol acak Populasi penelitian : 102 pasien dewasa intervensi pasien I menunjukkan
Christiane Teknik pengumpulan data Efek penurunan suhu timpani yang lebih besar
:
Rosa da Silva2 Tujuan : Untuk mengevaluasi intervensi dievaluasi melalui tes Mann- dibandingkan dengan kelompok lain.
,Priscila efek metode fisik mengurangi Whitney dan Analisis Uji klinis acak Dari hasil penelitian ini terdapat bahwa
Marinho suhu tubuh (kompres es dan diacak menjadi tiga kelompok: Intervensi kelompok intervensi lebih banyak
Aleixo Silva2 , kompresi hangat) pada pasien I - paket es yang terkait dengan menunjukan penurunan suhu timpani
Tânia Couto yang sakit kritis dengan antipiretik; Intervensi II – kompres dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Machado demam. hangat yang terkait dengan antipiretik; Sehingga pada penelitian ini penggunaan
Chianca2 dan Kontrol – antipiretik. metode fisik (kompres es dan kompres
Waktu penelitian dan tempat : 18 Juni hangat) yang terkait dengan antipiretik
Publikasi : 2012 hingga 18 Mei 2013, (unit bedah lebih efektif jika dibandingkan dengan
Universidade dan unit klinik) rumah sakit umum besar pemberian antipiretik saja dalam
Federal de di ibu kota Brasil mengurangi suhu tubuh pasien.
Minas Gerais,
Escola de
Enfermagem,
Belo
Horizonte,
MG, Brasil
2. Wipawee Judul:Perbandingan Desain penelitian : Studi klinis yang Tidak ada perbedaan yang signifikan
Booranapong, Termodinamika Otomatis prospektif, acak, terkontrol dalam gejala mata kering, jumlah EMG,
M.D., Pinnita Sistem Perawatan (LipiFlow) Teknik pengambilan data : Kedua mata dan LLTs untuk kedua kelompok di
Prabhasawat, dan Hangat Kompres untuk setiap pasien diacak ke dalam studi dan baseline dan pada setiap tindak lanjut.
M.D., Suksri Pengobatan Sedang mata kontrol. Mata studi diperlakukan Namun, total skor SPEED untuk grup
Chotikavanich, Keparahan Disfungsi Kelenjar dengan sistem LipiFlow, 12 menit® LipiFlow® berkurang secara signifikan
M.D, Sasima Meibomian tunggal, sementara mata kontrol dari baseline pada setiap tindak lanjut
Tongsai, Ph.D, menerima kompres hangat 5 menit dua hingga 6 bulan. Untuk kelompok kompres
Tujuan : Untuk
Patsathorn kali sehari selama 3 bulan. Gejala mata hangat, total skor SPEED berkurang secara
membandingkan efisiensi
Naranunn, sistem perawatan kering, jumlah EMGs, dan LLTs signifikan dari baseline pada setiap tindak
M.D, Wilaipun termodinamika tunggal dievaluasi. lanjut hingga 3 bulan.
Thaweerattana (LipiFlow®) dan kompres Populasi : Kriteria inklusi adalah pasien
silp, M.D, hangat yang digunakan selama setidaknya 18 tahun yang memiliki
Panida 3 bulan pada pasien dengan tingkat keparahan sedang obstruksi MG.
Kosrirukvongs tingkat keparahan sedang Waktu dan tempat : Januari 2015 dan
, M.D. disfungsi kelenjar meibomian Juni 2016 dilakukan di Rumah Sakit
(MGD). Siriraj, Rumah Sakit Fakultas
Publikasi : Kedokteran Siriraj, Universitas Mahidol,
Siriraj Thailand
Medical
Journal
3. Pavithra C Judul : Pengaruh Tepid Vs Desain penelitian : penelitian. Pre test Uji 't' berpasangan digunakan untuk
spons hangat terhadap suhu post test - desain pengukuran berulang menguji pengaruh spons hangat dan tepid.
Publikasi : dan kenyamanan tubuh pada digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
International anak penderita Pyrexia di RS Teknik pengumpulan data : Total Teknik terdapat perbedaan yang signifikan tingkat
Journal of Sri Ramakrishna, Coimbatore pengambilan sampel Enumeratif suhu tubuh anak sebelum dan sesudah
Sciences & (berturut-turut) digunakan dan semua spons antara dua kelompok. Student 't' test
Applied Tujuan : Evaluasi efek spons sampel (n=34) yang memenuhi kriteria digunakan untuk menganalisis perubahan
Research hangat pada anak-anak dengan kelayakan dimasukkan dalam penelitian. suhu tubuh antara kedua kelompok. Nilai t
demam. Sampel ini secara acak ditetapkan ke hitung pada menit ke-15, menit ke-30,
2. Evaluasi efek spons hangat Grup Eksperimental–I (n=17) dan menit ke-45 dan menit ke-60 masing-
pada anak-anak dengan Kelompok Eksperimental–II (n=17). masing adalah 0,04, 0,62, 0,8 dan 1,12
demam. Populasi : 34 anak usia 1-12 tahun tidak signifikan pada tingkat 0,05, yang
3. Bandingkan efek spons Waktu dan tempat penelitian : Rumah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
hangat dengan spons hangat Sakit Sri Ramakrishna, Coimbatore antara spons hangat dan hangat dalam
pada anak-anak yang menurunkan suhu tubuh. . Analisis
mengalami demam. pengaruh spons hangat Vs tepid terhadap
kenyamanan telah dilakukan. Nilai 't' yang
dihitung sebesar 6,69 untuk kenyamanan
signifikan pada tingkat 0,001, yang
menunjukkan bahwa spons hangat efektif
dalam meningkatkan kenyamanan di antara
anak-anak.
Jurnal Nasional 1
Jurnal Manajemen Asuhan Keperawatan Vol. 3 No. 2 Juli 2019, Halaman 44 – 50
pISSN : 2356-3079
UP2M AKPER Widya Husada Semarang eISSN : 2685-1946
ABSTRAK
Hipertermia merupakan suhu inti tubuh diatas kisaran normal di urnal karena kegagalan
termoregulasi. Hipertermia atau suhu tubuh yang tinggi dapat diturunkan dengan berbagai
cara. Kompres air hangat metode untuk menurunkan suhu tubuh. kompres air hangat adalah
kompres pada area yang memiliki pembuluh darah besar menggunakan air hangat. Tujuan
studi kasus ini penerapan terapi kompres hangat untuk menurunkan hipertermia pada anak
demam typoid. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode
pendekatan studi kasus. Subjek dari studi kasus ini adalah dua pasien dengan kriteria inklusi
mengalami hipertermia, pasien yang bersedia menjadi responden dan bersedia
menandatanhani informed consent. Studi kasus ini adalah anak dengan demam typoid
mengalami hipertermia. Hasil studi kasus pasien I dan pasien II terjadi penurunan suhu tubuh.
jadi dapat disimpulkan bahwa terapi kompres hanngat dapat menurunkan suhu tubuh pada
anak demam typoid yang mengalami hipertermia.
ABSTRACT
Hyperthermia is a core body temperature above the normal range in urnal due to failure of
thermoregulation. Hyperthermia or high body temperature can be lowered in various ways.
Compress warm water methods to reduce body temperature. warm water compresses are
compresses in areas that have large blood vessels using warm water. The purpose of this
case study is the application of warm compress therapy to reduce hyperthermia in typoid
fever children. This type of research is descriptive using a case study approach. The subjects
of this case study were two patients with inclusion criteria who experienced hyperthermia,
patients who were willing to be respondents and were willing to sign informed consent. This
case study is a child with typoid fever experiencing hyperthermia. The results of case studies
of patients I and patients II decreased body temperature. so it can be concluded that
compressive therapy can reduce body temperature in typoid fever children who
experience hyperthermia.
PENDAHULUAN
Menurut Saubers (2011) demam adalah keadaan suhu tubuh di atas normal. Demam
adalah cara tubuh mempertahankan diri terhadap banyak bakteri dan virus yang suka
hidup dalam suhu normal tubuh manusia, yaitu 36,5°C. Meningkatnya suhu tubuh badan
adalah salah satu cara tubuh bekerja keras memerangi para penyerang ini dengan
mengaktifkaan sistem kekebalan tubuh. Demam tifoid salah satu demam yang sering di alami
pada anak.
Menurut Swasanti (2013) demam typoid merupakan penyakit yang di sebabkan oleh bakteri
salmonella typhi. Demam typoid atau yang lebih sering di sebut tipes adalah penyakit infeksi
saluran cerna yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhoia. Bakteri ini di tularkan
melalui makanan dan minuman. Bakteri Samonella di temukan dalam tinja dan air kemih
penderita. Mencuci tangan tidak bersih setelah buang air besar atau air kecil meningkatkan
resiko tertularnya penyakit ini. Selain itu, lalat merupakan carrier (pembawa) yang dapat
memindahkan bakteri secara langsung dari tinja makanan.
Menurut Utami (2013) demam typoid(enteric fiver) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan
pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. Penyakit ini di tandai dengan gejala-gejala yang
muncul.
Menurut RISKESDA (2010) dalam Masriadi (2014) besarnya angka pasti kasus demam
typoid di dunia sangat sulit ditentukan penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan
spektrum klinis yang luas. Data WHO tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam typoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2009 menyebutkan bahwa demam tifoid atau
paratifoid menempati uruntan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien. Demam tifoid
menyerang penduduk disemua negara. Demam tifoid banyak ditemukan di negara
berkembang dimana hygine pribadi dan sanitasi lingkungan kurang baik. Pemakaian obat
yang tidak rasional merupakan salah satu masalah pada pusat pelayanan kesehatan.
Berdasarkan data yang di peroleh di Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah berdasarkan system surveilans terpadu beberapa penyakit
terpilih pada tahun 2010 penderita Demam typoid ada 44.422 penderita, termasuk urutan
ketiga dibawah diare dan TBC selaput otak, sedangkan pada tahun 2011 jumlah penderita
demam typoid meningkat menjadi 46.142 penderita. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian
demam typoid di Jawa Tengah termasuk tinggi. Khasus tertinggi typoid adalah di Kota
Semarang yaitu sebagian sebesar 3.993 kasus (18,91%) dibandingkan dengan jumlah kasus
keseluruhan PTM (Penyakit Tidak
Menular) lain di Kota Semarang terdapat proporsi sebesar 3,19%. Rata kasus typoid di Jawa
Tengah adalah 635,60 kasus. Demam typoid gejalanya suhu tubuh di atas normal atau
hipertermia.
Hipertermia adalah suhu tubuh di atas batas normal. Menurut Alimul (2016) hipertermia
merupakan peningkatan suhu tubuh di atas normal yang di tandai adanya suhu tubuh
meningkat, kulit kemerahan, takikardia, takipnea, kulit terasa hangat, adanya konvulsi yang
di sebabkan oleh : adanya penurunan perspirasi, dehidrasi, pemajanan lingkungan yang
panas, adanya penyakit, peningkatan kecepatan metabolisme, aktivitas berlebihan, dan
tindakkan pengobatan, dan lain-lain. Menurut Herdman (2017) hipertermia adalah suhu inti
tubuh diatas kisaran normal di urnal karena kegagalan termoregulasi. Hipertermia ini ada
tanda gejala awal dan penyebabnya.
Menurut Kusyati (2012) kompres hangat adalah kompres pada area yang memiliki pembuluh
darah besar menggunakan air hangat.Menurut Irwanti (2015) kompres hangat merupakan
metode untuk menurunkan suhu tubuh. Pemberian kompres hangat pada aksila (ketiak) lebih
efektif karena pada daerah tersebut banyak terdapat pembuluh darah besar dan banyak
terdapat kelenjar keringat apokrin yang mempunyai banyak vaskuler sehingga akan
memperluas daerah yang mengalami vasodilatasi yang akan memungkinkan percepatan
perpindahan panas dari dalam tubuh ke kulit hingga delapan kali lipat lebih banyak.
Hasil penelitian rerata derajat penurunaansuhu tubuh sebelum dan sesudah dilakukan
kompres hangat pada daerah aksila sebesar 0,247°C. Rerata derajat penurunan suhu tubuh
sebelum dan sesudah dilakukan kompres air hangat pada daerah sebesar 0.111°C. analisa uji t
menunjukkan teknik pemberian kompres hangat pada daerah aksila lebih efektif terhadap
penurunan suhu tubuh di bandingkan dengan teknik pemberian kompres hangat pada dahi (t
hitung=5,879 p=0,000). Simpulannya teknik pemberian kompres hangat pada daerah aksila
lebih efektif terhadap penurunan suhu tubuh (Irwanti, 2015).
METODE
Studi kasus dilakukan dengan cara meneliti suatu permasalahan melalui suatu kasus dan
menggunakan bentuk rencana “one group pretest posttest”.
Pada An V sebelum diberikan terapi kompres hangat dihari pertama didapatkan suhu
tubuh yaitu 38,8°C dan mengalami penurunan menjadi 38,2°C. Pada hari kedua terdapat
penurunan suhu tubuh yang awalnya suhu tubuh 38,1°C menjadi 37,8°C. Pada hari ketiga
mengalami penurunan suhu tubuh yang awalnya 37,9°C menjadi 37,6°C. Perubahan suhu
tubuh An V untuk 3 hari diperoleh ratarata 0,4°C.
Pada An S sebelum diberikan terapi kompres hangat dihari pertama didapatkan suhu tubuh
yaitu 38,5°C dan mengalami penurunan menjadi 38°C. Pada hari kedua terdapat
penurunan suhu tubuh yang awalnya suhu tubuh 38°C menjadi 37,7°C. Pada hari ketiga
mengalami penurunan suhu tubuh yang awalnya 38,1°C menjadi 37,8°C. Perubahan suhu
tubuh An S untuk 3 hari diperoleh rata-rata 0,3°C.
Hasil evaluasi pada tabel 4.1 di atas bahwa penerapan terapi kompres hangat dapat
menurunkan suhu tubuh pada anak demam typoid yang mengalami hipertermia baik pada
pasien I dan II. Karena sebelum terapi kompres hangat dicek suhu tubuh anak terlebih
dahulu, dan anak mengalami hipertermia. Adapun pasien I sebelumnya 38,8°C dan selama 3
hari 37,9°C dan nilai rata-rata penurunan suhu tubuhnya 0,4°C. Sedangkan pada pasien II
dengan suhu tubuh sebelumnya 38,5°C dan selama 3 hari menjadi 37,8°C dengan rata-rata
penurunan suhu tubuhnya 0,3°C. Hal ini ada penurunan yang berbeda yaitu
0,1°C.Hasil studi kasus ini terapi kompres hangat pada pasien demam typoid mengalami
rata-rata menurunan suhu tubuh pasien I 0,4°C dan pasien II 0,3°C. Hasil penelitian dari
Purwanti (2008) mengalami rata-rata penurunan suhu tubuh 1°C. Menurut penelitian
Fatmawati (2012) hal ini karena responden tersebut merupakan dengan diagnosa demam
typoid yang masa infeksinya masih tinggi, dimana demam yang dialami oleh pasien tersebut
juga sulit untuk menunjukkan penurunan suhu tubuh.
Menurut Padila (2013) faktor yang mempengaruhi hipertermia pada demam typoid
disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan
zat pirogon oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Kemudian kuman masuk kedalam
lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini
kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah kemudian melepaskan kuman kedalam
sirkulasi darah menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan
kandung empedu. Menurut Alimul (2016) hipertermia merupakan peningkatan suhu tubuh
di atas normal yang ditandai adanya suhu tubuh meningkat, kulit kemerahan, takikardia,
takipnea, kulit terasa hangat, dan adanya konvusi yang disebabkan oleh adanya penurunan
persepsi, dehidrasi, pemajanan lingkungan yang panas, adanya penyakit, peningkatan
kecepatan metabolisme, aktivitas berlebihan, tidakan pengobatan dan lain-lain. Menurut
Herdman (2017) hipertermia adalah suhu inti tubuh di bawah kisaran normal diurnal karena
kegagalan termoregulasi.
Studi kasus ini menggunakan metode observasi suhu tubuh dengan menggunakan terapi
kompres hangat diberikan kepada 2 responden yaitu An V dan An S. Dalam pemberian
terapi kompres hangat untuk 2 responden tersebut dilakukan dengan cara yang sama yaitu
melakukan terapi kompres hangat pasien diukur suhu tubuhnya dahulu, setelah itu di
lakukan terapi kompres hangat dan kemudian diujur suhu tubuhnya lagi. Pada dasarnya
kedua mempunyai suhu tubuh awal yang berbeda yaitu pasien I 38,8°C dan pasien II
38,5°C. Hasil setelah dilakukan terapi kompres hangat selama 3 hari pada pasien I suhu
tubuhnya 37,6°C dan pada pasien II suhu tubuhnya 37,8°C. Kedua responden memiliki
perbedaan penurunan suhu tubuh, hal ini karena faktor : waktu datang ke RS ibu An V
mengatakan pasien demam sudah selama 3 hari ini sedangkan ibu An S pasien demam baru
2 hari ini, imun tubuh ke dua pasien berbeda.
Penurunan suhu tubuh dengan terapi kompres hangat sebelum di berikan antipiretik kurang
efektif penurunan suhu tubuhnya. Sebaiknya di lakukan terapi kompres hangat pada pasien
demam typoid setelah atau seiringan dengan di berikan antipiretik. Menurut Siswandono
(2016) kerja antipiretik dengan meningkatnya eliminasi panas, pada penderita dengan suhu
badan tinggi, dengan cara menimbulkan dilatasi pembuluh darah perifer dan mobilisasi air
sehingga terjadi pengenceran darah dan mengeluarkan keringat. Penurunan suhu tubuh
tersebut adalah hasil kerja obat pada sistem saraf pusat yang melibatkan pusat kontrol suhu
di hipotalamus. Pernyataan ini di dukung oleh hasil studi kasus dari Wowor (2017)
mengatakan bahwa penurunan suhu tubuh akan lebih efektif jika diberikan diiringi
pemberian obat antipiretik. Obat antipiretik parasetamol mampu
menurunkan sampai 0,2°C, jika diberikan bersamaan dengan kompres hangat dapat
menurunkan suhu tubuh pada penderita demam.
Hasil studi kasus dari Purwanti (2008) mengatakan bahwa menggunakan air dapat
memelihara suhu tubuh sesuai dengan fluktuasi suhu tubuh pasien. Kompres hangat dapat
menurunkan suhu tubuh melalui proses evaporasi. Hasil penelitiannya
menunjukkan kompres hangat telah diketahui mempunyai manfaat yang baik dalam
menurunkan suhu tubuh anak yang mengalami panas tinggi di Rumah Sakit karena
menderita berbagai penyakit infeksi. Dengan kompres hangat menyebabkan suhu tubuh
diluaran akan menjadi hangat sehingga suhu akan menginterprestasikan
bahwa suhu diluaran cukup panas, akhirnya tubuh akan menurunkan kontrol
pengatur suhu di otak supaya tidak meningkatkan suhu pengatur tubuh, dengan suhu
diluaran hangat akan membuat pembuluh darah tepi dikulit melebar dan
memahami vasodilatasi sehingga pori-pori kulit akan membuka dan mempermudah
pengeluaran panas. Sehingga akan terjadi perubahan suhu tubuh.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada An.V dan An.S selama 31
Desember 2018 sampai 2 Januari 2019 dapat disimpulkan bahwa terdapat manfaat dan
pengaruh dari penerapan kompres hangat untuk menutunkan hipertermia pada pasien
Demam Typoid di RSUD Dr.
Adhyatma, MPH.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarti. (2013). Asuhan Neonatus Tinggi dan Kegawatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Swasanti, N. (2013). Pertolongan Pertama Pada Anak Sakit . Yogyakarta: KATAHATI.
Utami, S. (2013). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak .Ed.2. Jakarta: Salemba Medika.
Wowor, M. S. (2017). Efektifitas Kompres Air Suhu Hangat Dengan Kompres
Plester Terhadap Penurunan Suhu
Tubuh Anak Demam Usia PraSekolah Di Ruang Anak RS
Bethesda Gmim Tomohon. eJournal Keperawatan . Vol 5.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.p hp/jkp/article/view/17872/17393., diakses pada tanggal
31 Oktober
2018, jam 14.28 WIB
Jurnal Nasional 2
Jurnal Media Keperawatan: Politeknik Kesehatan Makassar
Vol.10 No.02 2019 e-issn : 2622-0148, p-issn : 2087-0035
ABSTRACT
Background: According to WHO pneumonia is the first killer of toddlers in the world.
Indonesia ranks eighth in the world in the case of pneumonia and bronchopneumonia in
which there are 3800 children died each year. Bronchopneumonia is a lung inflammation
that usually attacks secondary terminal brachialis with fever infection. One of the
interventions that can be done to reduce fever and reduce the increase in body temperature
suddenly is performing a warm compress with the tepid sponge method. The purpose: To
carry out Client Nursing Care with bronchopneumonia with Hypertherm Problems in the
Arafah treatment room using the tepid sponge method. The method used is a case study with
data delivery techniques through observation, interviews, physical examination and
documentation. Management of tepid sponge once a day for 3 days of treatment. Result: An
"M" and An "A" regarding nursing history for thermoregulatory status includes, had
complaints verbalised from parents that their child had a fever, the client's family said the
child's body feels warm, reddish skin, dry and fussy lips. Nursing interventions carried out
for 3 days namely: on the client's problem, An "M and An "A" has been resolved. The results
of case evaluations carried out on clients experiencing hyperthermia indicate that the
application of tepid sponge 1 time a day, according to the schedule set shows a decrease in
the body temperature of the client after administration, this indicates that the tepid sponge is
effective because it can help in reducing the body temperature of the client. Suggestion: The
compressed water temperature is set using a thermometer with a temperature of 370C. When
administering the action, you should pay close attention to the responses shown by the
patient such as appearing cold and shivering to avoid complications and encourage parents
to wear thin clothing and absorb sweat. Keywords: Bronchopneumonia, Hyperthermia,
Tepid Sponge
ABSTRAK
Latar belakang: Menurut WHO pneumonia merupakan pembunuh balita nomor 1 di dunia.
Indonesia menempati urutan ke delapan di dunia dalam kasus pneumonia dan
bronkopneumonia dimana terdapat 3800 anak yang meninggal setiap tahunnya.
Bronchopneumonia adalah satu peradangan paru yang biasanya menyerang di bronkus
terminal yang bersifat sekunder disertai infeksi demam. Salah satu intervensi yang dapat
dilakukan dalam menurunkan demam dan mengurangi peningkatan suhu tubuh secara
mendadak adalah melakukan kompres hangat dengan metode tepid sponge. Tujuan:
Melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Aasien yang mengalami Bronchopneumonia
dengan Masalah Hipertermi di ruang perawatan Arafah dengan menggunakan metode tepid
sponge. Metode yang digunakan adalah study kasus dengan teknik pengumpulan data melalui
observasi, wawancara, pemeriksaan fisik dan dokumentasi. Penatalaksanaan tepid sponge 1
kali dalam sehari selama 3 hari pemberian. Hasil: Pada Pasien An. “M” dan An. “A”
ditemukan bahwa orang tua mengeluh anaknya demam, keluarga pasien mengatakan badan
anaknya teraba hangat, kulit kemerahan, bibir kering dan rewel. Keluarga Pasien mengeluh
nafsuh makan anaknya berkurang, Pasien tampak lemah dan sulit tidur, Intervensi
keperawatan yang dilakukan selama 3 hari yaitumasalah yang dialami sudah teratasi. Hasil
evaluasi kasus yang dilakukan menunjukkan bahwa penerapan tepid sponge 1 kali dalam
sehari, sesuai dengan jadwal yang ditetapkan menunjukkan penurunan suhu tubuh Pasien
setelah pemberian, hal ini mengindikasikan bahwa tepid sponge efektif dilakukan karena
dapat membantu dalam menurunkan suhu tubuh Pasien. Saran : Suhu air kompresan
ditetapkan dengan menggunakan thermometer dengan suhu 370C. Saat pemberian tindakan
sebaiknya memperhatikan dengan seksama respon yang ditunjukkan oleh pasien seperti
tampak kedinginan dan menggigil untuk menghindari komplikasi serta menganjurkan orang
tua untuk memakaikan pakaian yang tipis dan menyerap keringat.
Kata kunci : Bronchopneumonia, Hipertermi, Tepid Sponge
PENDAHULUAN
Bronchopneumonia merupakan salah satu masalah yang sering dialami oleh anak. Data
World Health Organization (2015) melaporkan hampir 6 juta balita meninggal dunia, 16%
dari jumlah tersebut disebabkan oleh pneumonia sebagai pembunuh balita nomor satu di
dunia. Tahun 2017 menyebutkan bahwa terdapat 1,1 juta anak yang meninggal karena
Pneumonia setiap tahun didunia. Data Badan PBB oleh UNICEF terdapat kurang lebih 14%
dari 147.000 anak di dunia dibawah usia 5 tahun meninggal, data statistic ini menunjukkan
bahwa sebanyak 2-3 anak dibawah usia 5 tahun meninggal setiap jam nya, Indonesia
menduduki peringkat ke-8 di dunia dalam kasus pneumonia dan Bronchopneumonia, dimana
setiap tahun terdapat 38000 anak yang meninggal (Kasmadani, 2016). Kasus
Bronchopneumonia maupun Pneumonia di Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 447.431
anak dan 149.944 diantaranya berusia < 1 Tahun. Bronchopneumonia dan Pneumonia di
provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 6.780 anak dan 1.884 anak berusia < 1 tahun
(Kemenkes RI, 2018)
Bronchopneumonia adalah satu peradangan paru yang biasanya menyerang di bronkeoli
terminal. Bronkeoli terminal tersumbat oleh eksudat mokopurulen yang membentuk
bercakbercak konsolidasi di lobuli yang berdekatan. Penyakit ini sering bersifat sekunder,
menyertai infeksi saluran pernapasan atas, demam, infeksi yang spesifik dan penyakit yang
melemahkan daya tahan tubuh (Nurarif & Kusuma, 2016).
Adanya demam pada Bronkopneumonia menunjukkan adanya inflamasi pada bronkus dan
mikroorganisme menyerang daerah alveoli. Stadium hipertermi mengacu pada respon
peradangan yang berlangsung pada daerah yang baru terinfeksi akibat pelepasan mediator-
mediator kimia dari sel. Degranulasi sel bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan untuk permeabilitas kapiler paru
sehingga akan menyebabkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus (Hockenberry. 2009).
Salah satu intervensi yang dapat dilakukan dalam menurunkan demam dan mengurangi
peningkatan suhu tubuh secara mendadak adalah melakukan kompres hangat dengan metode
tepid sponge.
Penelitian yang dilakukan oleh Haryani et al. (2018) terkait pengaruh Tepid Sponge
terhadap penurunan suhu tubuh pada anak pra sekolah yang mengalami demam di RSUD
Ungaran menjelaskan bahwa pemberian kompres water tepid sponge berpengaruh terhadap
penurunan suhu tubuh dengan perbedaan suhu tubuh anak uji berpasangan
Tabel1
untuk kelompok intervensi diperoleh nilai signifikan 0.000 (p<0.05). Efektifitas pemberian
kompres air hangat dan tepid sponge terhadap perubahan suhu tubuh anak menunjukkan
bahwa kompres tepid sponge lebih efektif dari pada kompres air hangat (Zahroh & Khasanah,
2017), namun dalam hasil penelitian tersebut belum menentukan suhu air dan frekuensi
penatalaksanaan pemberian tindakan.
Dari beberapa hasil penelitian mengenai kompres Tepid Sponge penulis tertarik untuk
membuat studi kasus terkait tentang asuhan keperawatan Pasien yang mengalami
bronchopneumonia dengan masalah hipertermi dengan rencana tindakan
memberikan kompres Tepid Sponge.
METODE
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, kasus ini merupakan survey
deskriptif dimana penelitian ini diarahkan untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu
keadaan di dalam suatu komunitas atau masyarakat (Hidayat, 2014). Tujuan studi kasus ini
untuk mengetahui perbedaan yang terjadi pada Pasien Broncopneumonia dengan masalah
Hipertermi setelah dilakukan kompres tepid sponge. Subyek dalam studi kasus ini adalah dua
pasien yang didiagnosa Bronkopneumonia dengan masalah hipertermi dengan kriteria pasien
berusia kurang dari 1 tahun, pasien mengalami demam dengan suhu lebih dari 37,8 0C, dan
lama perawatan kurang dari 3 hari.
Penelitian ini dilakukan di Ruang perawatan Arafah Rumah Sakit Hapsah
Kab. Bone selama 3 hari perawatan. Tekhnik pengumpulan data melalui hasil WOD
(wawancara, observasi dan dokumentasi) kemudian data direduksi dan disajikan dalam
bentuk table, gambar, bagan maupun teks naratif.
HASIL
A. Ilustrasi Kasus
Kasus ini menggambarkan 2 pasien dengan masalah hipertermi dengan diagnose
medic Bronkopneumonia (Gambaran umum setiap pasien digambarkan pada table 1).
Keduaa pasien diberikan tindakan berupa tepid sponge sebagai salah satu upaya dalam
membantu menurunkan demam.
Gambaran Umum Pasien
No Identitas Pasien 1
1 An. M (10 Perawatan pertama di Rumah Sakit dengan keluhan
bulan) sesak dan batuk. Terpasang oksigen 1 liter per menit,
JK: Laki-laki Demam, bibir kering, kulit kemerahan. TTV: Nadi 124
x/menit, Pernapasan 46 x/menit, suhu 38.1 .
Pemeriksaan penunjang:
Lab: WBC 13,9/µL (5-10/µL), HGB 9,7 g/dL (13-16
g/dL).
Foto torax Ap: Kesan Bronchopneumonia.
JK: Perempuan kadang Nampak sesak. Demam, bibir kering, kulit kemerahan
dan keluarga Pasien mengatakan anak nya sulit tidur. TTV:
Nadi 130 x/menit, Pernapasan 40 x/menit, suhu 37.9 .
Pemeriksaan penunjang:
Lab: WBC 15,2/µL (5-10/µL), HGB 9,1 g/dL (13-16 g/dL).
Foto torax Ap: Kesan Bronchopneumonia
Pemeberian tepid sponge dimulai dengan mempersiapkan alat dan bahan yang terdiri dari
baskom berisi air hangat, waslap, perlak, handuk mandi, selimut dan thermometer. Kemudian
melakukan pengukuran suhu tubuh pasien dan mencatat hasil pengukuran. Buka seluruh
pakaian pasien, beri alas dengan perlak kemudian tutup tubuh pasien dengan handuk, rendam
washlap di baskom berisi air hangat lalu peras dan letakkan pada dahi, axila serta lipatan
paha, lap bagian estremitas, bokong dan punggung. Apabila washlap mengering rendam
kembali dengan air hangat lalu ulangi tindakan. Perawatan tepid sponge dilakukan selama 20
menit, Pengukuran Post tes dilakukan 3 jam setelah pemberian tindakan dan catat hasil
pengukuran. (Arieswati 2016)
Tabel 2
Implementasi
Hari/ Penilaian Tepid Penilaian
Tanggal Sponge
Jam Post Tepid
Pre Tepid Sponge
Jam Sponge
Pasien 1
Selasa, 03 10:0 Melakukan Melakukan 12:5 Melakukan
Juli 0 pengkajian Tindakan 0 pengkajian
2018 Hasil : keluarga Tepid Hasil : keluarga
Pasien mengatakan Sponge Pasien
anaknya Hasil : mengatakan
anaknya masih
demam, kulit teraba Tindakan
demam, kulit
hangat, suhu Pasien tepid teraba hangat,
38.6 (4) dan sponge suhu Pasien 38.
warnah kulit Pasien dilakukan (4) dan
kemerahan selama 20 warnah kulit
menit kemerahan
38.8
38.6
38.4
38.2
38
37.8 Pre
37.6 Post
37.4
37.2
37
36.8
Hari 1 Hari 2 Hari 3
38.4
38.2
38
37.8
37.6 Pre
37.4 Post
37.2
37
36.8
Hari 1 Hari 2 Hari 3
KESIMPULAN
Hasil evaluasi kasus yang dilakukan pada Pasien An. “ M” dan Pasien An. “A’ mengalami
Hipertermia menunjukkan bahwa penerapan tepid sponge 1 kali sehari selama 3 hari pada
kedua Pasien menunjukkan hasil adanya penurunan suhu, hal ini mmengindikasikan bahwa
tepid sponge efektif dilakukan karena dapat membantu dalam menurunkan suhu tubuh Pasien
yang mengalami Brokopneumonia..
SARAN
Saat proses pengkajian sebaiknya jangan lupa untuk selalu melibatkan keluarga dalam
mendapatkan informasi dan melakukan tindakan sesuai dengan prinsip keperawatan anak
yakni Family center care.
Suhu air kompresan ditetapkan dengan menggunakan thermometer dengan suhu 370C. Saat
pemberian tindakan sebaiknya memperhatikan dengan seksama respon yang ditunjukkan oleh
pasien seperti tampak kedinginan dan menggigil untuk menghindari komplikasi serta
menganjurkan orang tua untuk memakaikan pakaian yang tipis dan menyerap keringat.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Nasional 3
1
Program Studi Profesi Ners STIKES Muhammadiyah Sidrap
2
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Muhammadiyah Sidrap
ABSTRAK
Demam adalah peroses alami tubuh untuk melawan infeksi yang masuk ke dalam tubuh
ketika suhu tubuh meningkat melebihi suhu tubuh normal (>37,2oC). Peningkatan suhu tubuh
mengakibatkan demam dan menjadi salah satu manifestasi paling umum penyakit pada anak.
Kompres adalah salah satu terapi non farmakologi yang mampu manangani suhu tubuh anak
yang mengalami febris. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 05 Juni sampai dengan 05 Juli
Tahun 2017 di puskesmas Tanru Tedong Kabupaten Sidrap. Jenis penelitian yang digunakan
adalah kuantitatif dengan desain quasi eksperimen dengan rancangan pre and post test design,
sampel pada penelitian ini adalah pasien anak yang mengalami febris di ruang instalasi gawat
darurat dengan jumlah sampel sebanyak 17 orang. Tekhnik pengambilan sampel adalah
purposive sampling. Dari hasil penelitian dengan uji Kolmogorov-Smirnov Z didapat nilai
pre p=0,62 dan untuk post p=0,54. Dengan tingkat kemaknaan p >α (0,05) Yang dimana p
>α (0,05) berarti uji normalitas data berdistribusi normal maka dari itu dilakukan uji Paired T
test, dengan hasil p=0,0001 dengan tingkat kemaknaan p <α (0,05) yang dimana
0,0001<0,05 maka dari itu dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh kompres hangat
terhadap perubahan suhu tubuh pasien febris di ruangan instalasi gawat darurat puskesmas
Tanru Tedong Kabupaten Sidrap. Hasil penelitian ini dapat di pergunakan sebagai bahan
masukan bagi institusi kesehatan dan penanganan peningkatan suhu tubuh pada pasien febris.
Semoga penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti sekaligus menjadi
pengalaman berharga bagi peneliti dalam hal melakukan penelitian.
Kata Kunci : Kompres hangat, Febris, Suhu tubuh
PENDAHULUAN
Demam adalah suatu keadaan suhu tubuh diatas normal akibat peningkatan
pusat pengatur suhu di hipotalamus. Sebagian besar deman pada anak akibat dari perubahan
pada pusat panas (termoregulasi) di hipotalamus. Penyakit-penyakit
yang ditandai adanya deman dapat menyerang sistem tubuh. Selain itu demam juga berperan
dalam meningkatkan perkembangan imunitas spesifik dan nonspesifik dalam membantu
pemulihan atau pertahanan terhadap infeksi
(Sodikin, 2012).
Berdasarkan World Healt Organization (WHO) memperkirakan jumlah kasus
deman di seluruh dunia mencapai 16 - 33 juta 500 – 600 ribu kematian tiap tahunya
(Setyowati, 2013). Data kunjungan ke fasilitas kesehatan pediatrik di Brazil
terdapat sekitar 19% sampai 30% anak diperiksa karena menderita demam. Penelitian oleh
Jalil, Jumah, & Al-Baghli, 2007) di Kuwait menunjukkan bahwa sebagian besar anak usia
tiga bulan sampai 36 bulan mengalami serangan demam rata-rata enam
kali
pertahunnya (Setiawati, 2009)
Di Indonesia penderita demam sebanyak 465 (91.0%) dari 511 ibu yang memakai
perabaan untuk menilai demam pada anak mereka sedangkan sisanya 23,1 saja
menggunakan termometer (Setyowati, 2013). Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan,
merilis data penderita demam atau febris sepanjang bulan Januari 2016 sebanyak 528 kasus
(Dinkes Sulsel, 2016). Dinas kesehatan Kabupaten Sidrap merilis jumlah penderita demam
atau febris di tahun 2015 berjumlah 1570 jiwa (Dinas kesehatan Kabupaten Sidrap, 2015)
Berdasarkan hasil survey pendahuluan di ruangan instalasi gawat darurat puskesmas Tanru
Tedong pada bulan Januari - Desember 2016 angka kejadian demam pada anak sebanyak
102 pasien (Puskesmas Tanru Tedong, 2016).
Demam pada anak dibutuhkan perlakuan dan penanganan tersendiri yang berbeda
bila dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini dikarenakan, apabila tindakan dalam
mengatasi demam tidak tepat dan lambat maka akan mengakibatkan pertumbuhan dan
perkembangan anak terganggu. Demam dapat membahayakan keselamatan anak jika tidak
ditangani dengan cepat dan tepat akan menimbulkan komplikasi lain seperti, hipertermi,
kejang dan penurunan kesadaran (Maharani, 2011).
Pemberian kompres hangat pada daerah pembuluh darah besar merupakan upaya
memberikan rangsangan pada area preoptik hipotalamus agar menurunkan suhu tubuh.
Sinyal hangat yang dibawa oleh darah ini menuju hipotalamus akan meransang area
preoptik mengakibatkan pengeluaran sinyal oleh sistem efektor. Sinyal ini akan
menyebabkan terjadinya pengeluaran panas tubuh yang lebih banyak melalui dua
mekanisme yaitu dilatasi pembuluh darah perifer dan berkeringat (Potter & Perry, 2010).
Berdasarkan penelitian Purwanti & Ambarwati (2013) menunjukkan bahwa rerata
suhu tubuh pasien sebelum dilakukan tindakan kompres hangat sebesar 38,9˚C dan sesudah
dilakukan intervensi rerata suhu tubuh pasien adalah 37,9˚C. Pada uji analisis terjadi
perubahan rerata suhu tubuh 0,97˚C dengan SD 0,35˚C nilai P = 0,0001yang berarti bahwa P
<0,05.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kompres hangat terhadap
perubahan suhu tubuh pada pasien febris di ruangan instalasi gawat darurat puskesmas Tanru
Tedong Kabupaten Sidrap.
HASIL
Pada penelitian ini akan disajikan hasil penelitian pada analisis univariat
dan analisis bivariat. Adapun penjelasan hasil penelitian sebagai berikut:
PEMBAHASAN
Hasil uji analisis univariat didapatkan nilai rata-rata sebelum intervensi yaitu hasil mean
38,14 standar deviasi 0,61 dengan nilai min 37,3 nilai max 39,5. Kemudian nilai rata-rata
sesudah intervensi didapatkan hasil mean 37,54 standar deviasi 0,57 dengan nilai min 36,7
nilai max 38,9.
Uji analisis bivariat didapatkan nilai selisih rata-rata skor suhu tubuh sebelum dan setelah
intervensi yaitu mean 0,65 standar deviasi 0,37 dengan nilai min 0,41 dan max 0,80 dengan
nilai p =0,0001 dengan tingkat kemaknaan p <α (0,05) yang dimana 0,0001<0,05 maka dari
itu dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh kompres hangat terhadap perubahan suhu
tubuh pasien febris di ruangan instalasi gawat darurat puskesmas Tanru Tedong Kabupaten
Sidrap yang berarti Ha diterima dan Ho ditolak.
Kompres adalah salah satu metode fisik untuk menurunkan suhu tubuh anak yang
mengalami demam. Pemberian kompres hangat pada daerah pembuluh darah besar
merupakan upaya memberikan rangsangan pada area preoptik hipotalamus agar menurunkan
suhu tubuh. Sinyal hangat yang dibawa oleh darah ini akan menuju area hipotalamus
merangsang preoptik mengakibatkan pengeluaran sinyal oleh sistem efektor. Sinyal ini akan
menyebabkan terjadinya pengeluarn panas tubuh yang lebih banyak melalui dua mekanisme
yaitu dilatasi pembuluh darah perifer dan berkeringat (Potter & Perry, 2010).
Dengan kompres hangat menyebabkan suhu tubuh diluaran akan terjadi hangat sehingga
tubuh akan menginterpretasikan bahwa suhu diluaran cukup panas, akhirnya tubuh akan
menurunkan kontrol pengatur suhu di otak supaya tidak meningkatkan suhu pengatur tubuh,
dengan suhu diluaran hangat akan membuat pembuluh darah tepi dikulit melebar dan
mengalami vasodilatasi sehingga pori-pori kulit akan membuka dan mempermudah
pengeluaran panas, sehingga akan terjadi perubahan suhu tubuh.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Purwanti & Ambarwati (2013)
menunjukkan bahwa rerata suhu tubuh pasien sebelum dilakukan tindakan kompres
hangat sebesar 38,9˚C dan sesudah dilakukan intervensi rerata suhu tubuh pasien adalah
37,9˚C. Pada uji analisis terjadi perubahan rerata suhu tubuh 0,97˚C dengan SD 0,35˚C nilai p
= 0,0001 yang berarti bahwa p <0,05. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Hartini &
Pertiwi (2015) menunjukkan bahwa efektifitas penurunan suhu tubuh pada anak demam
sebelum perlakuan kompres air hangat adalah 38,65˚C dan sesudah diberikan perlakuan
kompres air hangat suhu tubuh menjadi 37,27˚C. Pada uji Paired T-test menunjukkan nilai p
=0,0001 (p<0,05), di rumah sakit Telogorejo Semarang.
Adapun asumsi penelitian kompres hangat memiliki pengaruh terhadap perubahan
suhu tubuh pada pasien febris khususnya anak-anak. Kompres hangat termasuk tindakan
mandiri yang harus diketahui oleh semua tenaga kesehatan begitupun dengan orang tua. Maka
dari itu diharapkan bagi orang tua untuk memberikan tindakan kompres hangat kepada
anaknya yang mengalami demam. Kompres hangat berpengaruh karena pembuluh tepi dikulit
melebar dan mengalami vasodilatasi sehingga pori-pori kulit akan membuka dan
mempermudah pengeluaran panas, sehingga terjadi perubahan suhu tubuh. Oleh dari itu
penelitian ini peneliti mengambil kesimpulan bahwa kompres hangat berpengaruh terhadap
perubahan suhu tubuh pada pasien febris diruangan instalsi gawat darurat puskesmas Tanru
Tedong Kabupaten Sidrap.
KESIMPULAN
Rerata suhu tubuh sebelum di berikan tindakan kompres hangat pada pasien febris di
ruangan instalasi gawat darurat puskesmas Puskesmas Tanru Tedong kabupaten Sidrap
dengan nilai mean 38,14 dan rerata suhu tubuh sesudah di berikan tindakan kompres hangat
pada pasien febris di ruangan instalasi gawat darurat puskesmas Puskesmas Tanru Tedong
kabupaten Sidrap dengan nilai hasil mean 37,54. Sedangkan Pada analisis bivariat didaptkan
nilai selisih rerata 0,65 dan nilai p = 0,0001, sehingga ada pengaruh kompres hangat terhadap
perubahan suhu tubuh pada pasien febris.
SARAN
Saran pada penelitian ini adalah diharapkan pihak puskesmas atau pelayanan kesehatan
setempat dapat menetapkan program penanganan Pasien febris nonfarmakologis pemberian
tindakan kompres hangat dalam memberikan perubahan suhu tubuh pada pasien febris.
DAFTAR PUSTAKA
Dinkes, Sul-Sel. (2016). Propil data pasien febris.http:/pojoksulseL.com.
Hartina & Pertiwi. (2015).Efektifitas Kompres Air Hangat Terhadap Penurunan Suhu Tubuh
Anak Demam Usia 1-3 Tahun Di SMC
RS Telogorejo
Semarang.http://publikasihilmia h.umc.ac.id.
Maharani. (2011). Perbandingan Efektifitas Pemberian Kompres Hangat Dan
Tefid Water Spoge Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Balita Yang Mengalami
Demam Di Puskesmas Rawat
Inap Karya Wanita Rumbai Pesisir, Jurnal Universitas
Riau.http://www.scribd.com/doc /73195543/all-ok.
Potter & Perry. (2010). Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta: Salemba Medika
Puskesmas Tanru Tedong. (2017). Instalasi Gawat Darurat Puskesmas
Tanru Tedong
Kabupaten Sidrap.
Purwanti & Ambarwati. (2013). Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Perubahan Suhu
Tubuh Pada Pasien Anak Hipertermia Di Ruang Rawat
Inap RSUD
Dr.MoewardiSurakarta.http://pu blikasihilmiah.umc.ac.id.
Sodikin. (2012). Prinsip Perawatan Demam Pada anak. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Setyowati & Lina. (2013). Hubungan Tingkat Pengetahuan Orang Tua Dengan
Penanganan Demam Pada Anak Balita Di Kampung Bakalan Kadipiro
Banjarmasin Surakarta. Jurnal Stikes PKU Muhammadiyah
Surakarta.
http://stikespku.com.pdf.
Setiawati. (2009). Pengaruh Tepid Sponge Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Dan
Kenyamanan Pada Anak Usia Pra Sekolah Dan Sekolah Yang Mengalami Demam Di
Ruangan Perawatan
Anak Rumah Sakit
Muhammadiyah Bandung, Jurnal Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Keperawatan.
http://www.digilib.ui.ac.id.
Jurnal Nasional 4
CENDEKIA UTAMA
Jurnal Keperawatan dan P-ISSN 2252-886
Kesehatan Masyarakat E-ISSN 2598 – 4217
STIKES Cendekia Utama Kudus Vol. 7, No. 1 Maret, 2018 Tersedia Online: htpp://jurnal.stikescendekiautamakudus.ac.id
ABSTRAK
Anak merupakan potensi penerus cita-cita bangsa, oleh karena itu perkembangan anak harus mendapatkan
perhatian dari orang tua dan juga dari pemerintah. Jika anak dipupuk dan dipelihara dengan baik sesuai
dengan keinginan dan harapan maka anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula, akan tetapi
apabila anak tidak dipupuk dan dipelihara maka anak tidak akan tumbuh dan berkembang sebagaimana
mestinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tepid sponge terhadap penurunan suhu
tubuh pada anak pra sekolah yang mengalami demam di rumah sakit Ungaran. Adapun luaran yang akan
dihasilkan pada penelitian ini adalah meningkatkan ketrampilan perawat dalam prosedur tepid sponge,
sehingga bisa diterapkan dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak untuk menurunkan suhu
dengan melibatkan orangtua. Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah Quasi Experimental
Design dengan Pretest-Posttest Non Equivalent Control Group Design. Uji analisis bivariat menggunakan
Paired t Test. Uji Pengaruh dengan Product Moment Pearson. Hasil penelitian menunjukkan suhu
sebelum sebelum dilakukan tepid sponge sebagian besar ( 73, 34 %) berada pada suhu 38-39° Celcius.
Suhu tubuh setelah dilakukan tepid sponge sebagian besar (63 %) berada pada suhu 37 -38° Celsius.
Perbedaan suhu tubuh anak pada uji t berpasangan untuk kelompok intervensi diperoleh nilai signifikansi
0.000 (p < 0.05). Pemberian kompres water tepid sponge berpengaruh terhadap penurunan suhu tuhuh.
Kesimpulan penelitian ini adalah Pemberian kompres water tepid sponge berpengaruh terhadap
penurunan suhu tuhuh
The Children are national potency, therefor the children’s development need the attention from the
parents. If the grow up and the good environment, they will grow well. At the time of grow and
development happen illness. This study aims to determine the influence of tepid sponge on body
temperature decrease in pre school children who have fever at Ungaran hospital. The research method
used is Quasi Experimental Design premises pretest-posttest Non equivalent Control Group design. The
method used is Quasi Experimental Design with Pretest-Posttest Non Equivalent Control Group Design.
Univariate analysis test using frequency distribution table, bivariate analysis using Paired t - test,
influence analysis using Product Moment Pearson. The results showed that temperatures before the tepid
sponge mostly (73, 34%) were at 38-39 ° C. Body temperature. Body temperature after tepid sponge
mostly (63%) was at 37-38o C. Differences in body temperature of children in paired t test for the
intervention group obtained a significance value of 0.000 (p <0.05). The application of tepid sponge
compress affects the decrease of body temperature. The conclusion of this research is giving of tepid
sponge compress effect to decreasing body temperature.
LATAR BELAKANG
Tepid Sponge adalah bentuk umum mandi terapeutik. Tepid Sponge dilakukan bila kien
mengalami demam tinggi. Prosedur meningkatkan control kehilangan panas melalui evaporasi
dan konduksi. Demam biasanya terjadi pada anak. (Potter dan Perry, 2012).
Anak merupakan potensi penerus cita-cita bangsa, oleh karena itu perkembangan anak harus
mendapatkan perhatian dari orang tua dan juga dari pemerintah. Jika anak dipupuk dan dipelihara
dengan baik sesuai dengan keinginan dan harapan maka anak akan tumbuh dan berkembang
dengan baik pula, akan tetapi apabila anak tidak dipupuk dan dipelihara maka anak tidak akan
tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.(Wong, 2012).
Pada masa pertumbuhan dan perkembangan anak sering mengalami kejadian sakit. Kejadian
sakit yang dialami anak biasanya akan diikuti dengan beberapa gejala diantaranya adalah demam.
Demam akan muncul pada berbagai penyakit khususnya penyakit infeksi. Demam dapat
diartikan sebagai kenaikan suhu tubuh diatas normal.
Kejadian demam seringkali meningkatkan angka keasakitan dan angka kematian pada
Balita. Angka Kematian balita dalam 3 tahun terakhir Di Kabupaten Semarang nenunjukkan
penurunan dari tahun ke tahun. Namun demikian angka kematian balita ini masih disebabkan
oleh penyakit infeksi. Di RSU Ungaran penyakit infeksi yang dijumpai antara lain Meningitis,
Diare, ISPA/Penumonia. (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang, 2013).
Untuk mengurangi kejadian demam dan mengurangi peningkatan suhu tubuh secara
mendadak, maka tindakan yang dapat dilakukan perawat adalah melakukan kompres hangat
dengan metode tepid sponge . Hal ini selaras dengan penelitian Dewi, AK (2016) dengan judul
“Perbedaan Penurunan Suhu tubuh antara pemberian Kompres Air hangat dengan tepid sponge
bath pada anak demam” dengan hasil ada perbedaan yang signifikan antara penurunan suhu
tubuh dengan kompres hangat dan tepid sponge bath.
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian usia responden pada umur 4-5 tahun
(50%)
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa suhu sebelum dilakukan tepid sponge sebagian
besar ( 73, 34 %) berada pada suhu 38-39° Celcius
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa suhu tubuh setelah dilakukan tepid sponge
sebagian besar (63 %) berada pada suhu 37 -38° Celsius
d. Karakteristik responden adalah anak pra sekolah dimana pengelompokkan umur dari 3 tahun
sampai dengan 6 tahun
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan suhu sebelum sebagian besar ( 70 % pada suhu 38 - 39°
Celsius
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar ( 66,7 %) pada suhu 38 – 39°
Celsius
Analisis Bivariat
a. Hasil penilaian suhu tubuh sebelum dilakukan kompres tepid sponge pada kelompok intervensi
dan kelompok control sebagai uji prasyarat
Tabel 1 menyajikan data penilaian suhu tubuh sebelum dilakukan kompres tepid
sponge. Tabel ini juga menyajikan nilai P uji homogenitas sebagai uji prasayarat.
Tabel 7
Perbedaaan suhu tubuh sebelum dilakukan kompres water tepid sponge pada kelompok
intervensi dan kelompok Kontrol
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa nilai p sebesar 0.111, sehingga nilai p > 0.05,
maka secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan suhu tubuh sebelum dilakukan
kompres water tepid sponge pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Dengan kata
lain, kedua kelompok tersebut homogen.
b. Perbandingan suhu tubuh setelah dilakukan kompres tepid sponge sebelum dan sesudah
kelompok intervensi dan kontrol
Penilaian suhu tubuh dengan menggunakan lembar observasi prosedur tepid sponge
pada sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Data suhu tubuh pada kelompok intervensi
dan control terdistribusi normal sehingga uji beda yang digunakan adalah uji paired sample
T-Tes
Tabel 8
Perbandingan rerata skor suhu Tubuh sebelum dan sesudah dilakukan water tepid sponge untuk
kelompok intervensi dan kelompok control
Berdasarkan Tabel 8, perbedaan suhu tubuh anak pada uji t berpasangan untuk
kelompok intervensi diperoleh nilai signifikansi 0.000 (p < 0.05). Artinya, terdapat
perbedaan rerata pengukuran suhu tubuh setelah dilakukan kompres water tepid sponge.
Perbedaan rerata 0.65, sehingga dapat disimpulakan hasilnya bermakna. Hasil yang diperoleh
dari kelompok control menunjukannan nilai signifikasinya 0.052 (p > 0.05). sehingga dapat
disimpulakn bahwa perbedaan rerata pengukuran suhu pada kelompok kontrol tidak ada
perbedaan yang bermakna.
c. Pengaruh antara Kompres Water tepid sponge dengan penurunan suhu tubuh
Nilai selisih antara sebelum dan sesudah dilakukan prosedur water tepid sponge pada
kelompok intrvensi dan kelompok control dilakukan uji beda dengan menggunakan uji
independen sample t-test
Tabel 9
Perbandingan peningkatan rerata suhu tubuh kelompok intervensi dan kelompok control
Suhu Tubuh Intervensi Kontrol Mean p
n = 30 n = 30 difference value
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa hasil perbedaan rerata (mean difference)
sebesar 0.29 dengan perbedaan rerata 0.28 dengan nilai IK 95% antara 0.18 -0.39 dengan
perbedan rerata 0.29. sehingga bisa disimpulkan nilai p < 0.05 berarti terdapat perbedaan
rerata skor penurunan suhu tubuh yang bermakna setelah dilakukan kompres water tepid
sponge. Pemberian kompres water tepid sponge berpengaruh terhadap penurunan suhu tuhuh.
PEMBAHASAN
1. Penuruhan suhu tubuh setelah dilakukan kompres water tepid sponge
Hasil Pengukuran suhu sebelum dilakukan kompres water tepid sponge pada kelompok
intervensi dan kelompok control menunjukkan peredaan perolehan nilai. Setelah dilakukan
analisis statistic terhadap mean suhu sebelum dilakukan intervensi terdapat perbedaan yang
bermakna (p> 0.05) yang berate suhu tubuh responden antara kelompok intervensi dan
kelompok control tidak terdapat perbedaan atau sebanding. Kesetaarran Mean suhu tubuh
awal antara kelompok intervensi dankelompok control telah memenuhu criteria dalam
melakukan suatu penelitian eksperimen. Menurut Murti (1997), ondisi awal antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol haruslah sebanding. Dalam penelitian ini, kedua kelompok
memiliki kondisi awal yang setara dan berdistribusi normal.
Setelah pengukuran suhu tubuh awal, peneliti melakukan indakan keperawatan yaitu
kompres dengan tehnik tepid sponge. Adapun tahapan prosedurnya adalah mencuci tangan,
menutup sampiran/jendela, memakai sarung tangan, memasang pengalas dibawah tubuh
anak, melepas pakaian anak, memasang selimut mandi, mencelupkan waslap ke Waskom dan
mengusapkannya ke seluruh tubuh , melakukannya tindakan beberapa kali (setelah kulit
kering), mengkaji perubahan suhu setiap 15-20 menit, menghentikan prosedur bila suhu
tubuh mendekati normal, mengeringkan tubuh dengan handuk, merapikan kembali alat-alat
melepas sarung tangan merapikan pasien, menanyakan kenyamanan pasien dan mencuci
tangan. (Potter dan Perry, 2005).
Hasil analisis Suhu tubuh pada kelompok intervensi terdapat penurunan mean suhu
tubuh setelah dilakukan kompres tepid sponge. Hasil kelompok control juga mengalami
sedikit penurunan suhu tubuh. Sehingga bisa disimpulakn bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna sebelumdan sesudah dilakukan kompres tepid sponge. Penurunan nilai mean suhu
tubuh ini disebabkan oleh tindakan mengkompres dengan menggunakan tehnik water tepid
sponge. Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa penurunan suhu tubuh
merupakan efek dari pemberian kompres tepid sponge.
Kompres tepid sponge adalah sebuah teknik kompres hangat yang menggabungkan
teknik kompres blok pada pembuluh darah supervisial dengan teknik seka. Pada proses
pemberian kompres tepid sponge ini mekanisme kerja pada kompres tersebut memberikan
efek adanya penyaluran sinyal ke hipotalamus melalui keringat dan vasodilatasi perifer
sehingga proses perpindahan panas yang diperoleh dari kompres tepid sponge ini
berlangsung melalui dua proses yaitu konduksi dan evaporasi dimana proses perpindahan
panas melalui proses konduksi ini dimulai dari tindakan mengkompres anak dengan waslap
dan proses evaporasi ini diperoleh dari adanya seka pada tubuh saat pengusapan yang
dilakukan sehingga terjadi proses penguapan panas menjadi keringat. Selama ini kompres air
biasa atau air dingin menjadi kebiasaan para ibu saat anaknya demam. Namun kompres
dengan menggunakan air biasa atau air dingin sudah tidak dianjurkan karena pada
kenyataannya didapatkan bahwa demam tidak menjadi turun bahkan demam kembali naik
dan sering sekali menyebabkan anak menangis, menggigil, dan kebiruan. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Dewi, A.K (2016) berdasarkan hasil penelitian perbedaan dalam
pengaruh penurunan suhu tubuh dapat disimpulkan bahwa pemberian tepid sponge bath lebih
efektif dalam menurunkan suhu tubuh anak dengan demam dibandingkan dengan kompres
air hangat. Hal ini disebabkan adanya seka tubuh pada teknik tersebut akan mempercepat
vasodilatasi pembuluh darah perifer di sekujur tubuh sehingga evaporasi panas dari kulit ke
lingkungan sekitar akan lebih cepat dibandingkan hasil yang diberikan oleh kompres air
hangat yang hanya mengandalkan reaksi dari stimulasi hipotalamus.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Permatasari, dkk, (2013) bahwa
berdasarkan analisis yang dilakukan pada 17 responden yang diberikan kompres air hangat,
rata-rata mengalami penurunan suhu tubuh sebesar 1,2°C. Sedangkan 17 responden yang
diberikan kompres air biasa, rata-rata mengalami penurunan suhu tubuh sebesar 0,86°C.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian kompres air biasa atau dingin tidak efektif
dilakukan pada anak yang mengalami demam, karena terdapat perbedaan jumlah penurunan
derajat suhu saat diberikan kompres air hangat dan air dingin. Menurut Sodikin (2012) bahwa
penggunaan air hangat dalam kompres dapat mencegah anak dari menggigil sehingga pasien
tidak mengalami peningkatan suhu tubuh. Hangat dari kompres tersebut merangsang
vasodilatasi sehingga mempercepat proses evaporasi dan konduksi dan akhirnya dapat
menurunkan suhu tubuh. Sedangkan pada kompres air biasa, bahwa air dingin dalam
kompres dapat menimbulkan efek menggigil pada pasien. Dingin dari kompres tersebut dapat
menghambat rangsangan vasodilatasi sehingga dapat menghambat proses evaporasi dan
konduksi yang pada akhirnya memperlambat penurunan suhu tubuh.
Saran
1. Prosedur tepid sponge dapat dilakukan di rumah sakit pada anak yang mengalami demam
untuk menurunkan suhu tubuh secara efektif
2. Orang tua dapat melakukan prosedur tepid sponge di rumah pada saat anak mengalami
demam
DAFTAR PUSTAKA
Al- Maqassary. 2013. Pengaruh Kompres Hangat terhadap Penurunan Suhu tubuh pada anak
umur 1-10 tahun dengan Hipertermia (Studi Kasus Di RSUD Tugurejo Semarang).
http://www.e-jurnal.com/2013/10/pengaruh-komprestepid-sponge-hangat.html diakses
tanggal 13 Maret 2017
Berthille N, 2013. Managing Fever in Children : A National Survey of Parent’s Knowledge and
Practice in France, http : www.plosone.org diakses tanggal 13 maret 2017
Dewi, AK. 2016. Perbedaan Penurunan Suhu tubuh antara pemberian Kompres Air hangat
dengan tepid sponge bath pada anak demam . Jurnal Keperawatan Muhammadiyah,1 (1):
63-71 diakses tanggal 13 Maret 2017
Sreekanth Dr. K, Shaik Syfulla Sharif M.D Dr.,.Adjuvant Non Phamacotherapy With Tepid
Sponging With Bath Warm Water To Reduce Duration & Severity of Viral Fevers
https://www.worldwidejournals.com/indianjournal-of-applied-research-
(IJAR)/file.php?val=December_2015_1448965091__70.pdf. Di akses tanggal 31 Juli 2017
Matondang, Wahidiyat, Sastroasmoro. 2013. Diagnosis Fisis pada Anak. Sagung Seto. Jakarta
Potter dan Perry. 2012. Buku Ketrampilan dan Prosedur Dasar. EGC.Jakarta
Perry dan Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Edisi
4 Volume 1, Jakarta: EGC
Patrícia de Oliveira Salgado1, Ludmila Christiane Rosa da Silva2, Priscila Marinho Aleixo Silva2, Tânia
Couto Machado Chianca2
Salgado PO, Silva LCR, Silva PMA, Chianca TCM. Physical methods for the treatment of fever in critically ill patients: a randomized
controlled trial. Rev Esc Enfem USP. 2016;50(5):823-830. DOI: http://dx.doi.org/10.1590/S0080-623420160000600016
* Extracted from the PhD dissertation
“Uso de métodos físicos para ABSTRACT
tratamento do diagnóstico de
enfermagem de hipertermia em Objective: To evaluate the effects of physical methods of reducing body
pacientes adultos internados em ICU: temperature (ice pack and warm compression) in critically ill patients
ensaio clínico
with fever. Method: A randomized clinical trial involving 102 adult
controlado randomizado”, Escola de patients with tympanic temperature ≥ 38.3°C of an infectious focus, and
Enfermagem, Universidade Federal de randomized into three groups: Intervention I – ice pack associated with
Minas Gerais, 2014. antipyretic; Intervention II – warm compress associated with antipyretic;
1
and Control – antipyretic. Tympanic temperature was measured at 15
Universidade Federal de
Viçosa, Viçosa, MG, Brazil. minute intervals for 3 hours. The effect of the interventions was
evaluated through the Mann-Whitney test and Survival Analysis. “Effect
2
Universidade Federal de Minas size” calculation was carried out. Results: Patients in the intervention
Gerais, Escola de Enfermagem, Belo groups I and II presented greater reduction in body temperature. The
Horizonte, MG, Brazil. group of patients receiving intervention I presented tympanic
temperature below 38.3°C at 45 minutes of monitoring, while the value
for control group was lower than 38.3°C starting at 60 minutes, and those
who received intervention II had values lower than 38.3°C at 75 minutes
of monitoring. Conclusion: No statistically significant difference was
found between the interventions, but with the intervention group I
patients showed greater reduction in tympanic temperature compared to
the other groups. Brazilian Registry of Clinical Trials: RBR-2k3kbq
DESCRIPTORS
INTRODUCTION the body temperature of patients with fever admitted to ICU. The
hypotheses tested were: a reduction in body temperature
Fever is a rise in body temperature that exceeds the
normal daily variation and occurs in association with an
increase in the hypothalamic set point, for example, going
from 37°C to 39°C. It refers to a defensive response of the
body against pyrogenic agents released as part of an
inflam- matory process, causing increased immune
response and protection of the human body against
infectious agents(1).
Due to the high risk of infection associated with inva-
sive procedures, immunosuppression, pathological condi-
tions and environmental risks present in intensive care
units (ICU), fevers occur in more than one-third of critical
pa- tients(2). It is therefore a frequent event in this type of
unit, with over 50% of individuals admitted to ICU
presenting fevers due to infectious or non-infectious
causes(1,3).
Literature indicates that due to hemodynamic instabil-
ity that critical patients may present, fever is a symptom
that should be eliminated or reduced with drug treatment,
and should also be associated or not to physical methods
with patients presenting this profile (2,4). Therefore, the care
of patients with fever demands a set of appropriate,
specific and related care based on scientific evidence,
however, little is known about the best provision of care.
Despite this lack of knowledge in literature, implementing
techniques to re- duce body temperature is common in the
clinical practice of feverish patients using antipyretics,
physical methods or a combination of both(1,5).
It is worth noting that pharmacological interventions
to reduce body temperature can cause adverse effects such
as hypotension, gastrointestinal bleeding, liver and kidney
toxicity, in addition to increasing the length of hospital-
ization in the ICU(6). Still, the use of physical methods in
treating fever is controversial due to its propensity to
induce peripheral vasoconstriction, tremors, sympathetic
activation and discomfort in patients(1,7).
There are several methods of externally cooling body
temperature, but the most indicated are applying warm
or cold compresses, a warm/lukewarm bath, using blan-
kets with a cooling system and improving the circulation
of air in the environment/room where the feverish patient
is staying(1,5,8). However, literature(1,5) indicates that there is
no consensus among experts about the most efficient and
secure method of controlling body temperatures,
especially when referring to those used on adult patients.
Given these considerations, in view of the high fever
incidence in adult patients admitted to ICU and the scarce
knowledge on the best nursing care provided to patients
with this profile, we ask: Is the use of physical methods
(ice pack and warm compress) associated with
antipyretics more effective when compared to
administering antipyretics alone in reducing the body
temperature of adult patients with fever admitted to ICU?
This study aimed at evaluating the effect of applying
physical methods (ice pack and warm compress)
associated with administering an antipyretic in reducing
Salgado PO, Silva LCR, Silva PMA, Chianca TCM
of adult patients admitted to the ICU with that met the inclusion criteria.
tympanic tem- perature ≥ 38.3°C of an infectious Patients who presented tympanic temperature ≥ 38.3°C
focus, receiving physical methods (ice pack or with an infectious focus and antipyretic administration
warm compress) associated with the time up to 20 minutes before treatment application were
administration of an antipyretic is equivalent to included. Those with severe heart disease, malignant
that oc- curring in patients who only received an hyperthermia, or those that would be submitted to any
antipyretic; and a reduction in body temperature procedures during the next 3 hours such as central venous
of adult patients admit- ted to the ICU with access and/or arterial ac- cess puncture, intra-hospital
tympanic temperature ≥ 38.3°C of an infectious transport or bathing were ex- cluded. It is worth noting
focus, and who received application of physical that bathing is also an established physical method for
methods (ice pack or warm compress) associated reducing body temperature, however, this intervention was
with ad- ministration of an antipyretic is more not included for evaluation in this study.
effective than patients who only received
administration of an antipyretic.
METHOD
An experimental, randomized controlled trial
conducted in the period from June 18, 2012 to
May 18, 2013, in two adult ICUs (a surgical unit
and a clinic unit) of a large gen- eral hospital in a
Brazilian capital city. Both have 10 beds, the
same medical and nursing coordination, in
addition to similar care practice protocols and
clinical teams.
During the period from March 1st to April 30th,
2012, a pilot study was conducted with 18
patients (six patients per group) in order to
calculate sample size, test the data collection
instrument and to train the data collection team.
The pilot study found that the six patients who
participated in the intervention group I had their
temperature normal- ized at the end of the
collection, while only four of the six who
participated in intervention group II had their
body temperature reduced. Thus, the success
percentage of the in- tervention group II (67%)
was used for sample calculation. An absolute
difference of the proportion of patients who
improved to normal temperature was established
between 14% and 32%. In addition, based on the
sample size of similar studies (8), an absolute
minimum difference between the treatment
success proportion of 27% was established at a
significance level of 5% (type I error) and a test
power of 80% (type II error). Thus, the sample
consisted of 34 patients in each group, totaling
102 patients. We empha- size that the patients
involved in the pilot study were not included in
the final study sample.
For training the data collection team, a
manual with guidelines was developed
comprising information on pa- tient assessment,
using equipment/materials, applying treatments
and recording data during treatment. Team
members followed a work schedule to ensure that
two of the (trained) members remained in the
ICU on a daily basis for a period of 10 hours to
collect the Clear and Informed Consent Form
(TCLE) and to apply the intervention on patients
Patients who comprised the sample were randomized patients. The instrument measures the infrared
into three groups: intervention group I (application of ice radiation of the tympanic membrane emitted from the
packs associated with antipyretic medication), heat of the blood circulation. Its advantages are be- ing
intervention group II (application of warm compress easy to handle, and it provides fast and accurate
associated with antipyretic medication) and control group results(10).
(administra- tion of antipyretic medication alone). A table
with random numbers generated by the MiniTab program
was used for randomization. Each number of the list with
the sequences for Intervention Group I, II and Control
were individu- ally placed into an opaque envelope,
sequentially numbered from 1 to 102 and sealed. These
actions were carried out by an individual outside of the
study. Upon identification of a patient who met the
inclusion criteria, a team member proceeded to open the
envelope, identified the treatment to be performed and
proceeded to perform it. After, another researcher blinded
to the information in the envelope, per- formed the data
collection and recorded it in an instrument specially used
for it.
A maximum time of 20 minutes elapsed between iden-
tifying a patient who met the inclusion criteria up until
antipyretic administration (one 2mL ampoule containing
1g of dipyrone® of 500 mg/mL, prescribed
intravenously). For intervention groups I and II, the ice
pack or warm compress, respectively, were applied
immediately after antipyretic administration with a
maximum interval of 2 minutes between medicine
administration and applying the intervention. The
prescribed antipyretic medication was ad- ministered
intravenously only for the patients allocated in the control
group. All patients only received one dose of the same
medication during the monitoring period.
In Intervention I, application of an instant cold pack
available in the Brazilian market (Calminex Ice Bag®)
was used. The disposable pack is composed of ammonium
ni- trate and water in a 15 cm x 22 cm plastic package.
After being activated by manual traction, the content
temperature cools down to – 3.8°C for up to 40 minutes.
For imple- menting Intervention II (warm compress), a
mandatory 100% cotton operating field of 45 cm x 50 cm
was used soaked in water at a temperature between 29 and
30°C.
The ice pack and the warm compress were placed in
the armpits and on the groin (one in each of the described
regions) during 30 minutes with four ice packs or warm
compresses being used per patient without rotation. Data
were also collected at the time of treatment on sociode-
mographic and clinical variables, as well as the outcome
variable (tympanic temperature).
A digital infrared ear thermometer (Baby Care®) was
used for measuring tympanic temperature. Researchers
were trained to measure the temperature by centralizing
the tip of the thermometer (with protective cover) in the
ear, directing it to the tympanic membrane and pushing
the thermom- eter in order to close the opening of the
auditory canal(9). Measuring the temperature of the
tympanic membrane with the help of the tympanic
thermometer is a non-invasive method for severely ill
825
www.ee.usp.br/reeusp Rev Esc Enferm USP · 2016;50(5):823-
830
Tympanic temperature was measured at 15-minute in-
tervals during 3 hours from the moment of applying the
intervention in all intervention groups. Tympanic tempera-
ture reduction was considered a value < 38.3°C, as a patient
hospitalized in the ICU in a fevered state is considered to
have a body temperature ≥ 38.3°C(3).
The ambient internal and external minimum and maxi-
mum temperature was monitored in the two units (ICU and
surgical clinic) during all data collection using a model
7427.03.0.00 Incoterm® digital thermometer, and values
were maintained between 24°C and 28°C.
The data were processed in a database using the Statistical
Package for the Social Sciences (SPSS) version
18.0 program. A descriptive analysis and association with the
Chi-square and Kruskal-Wallis tests were conducted to
analyze socio-demographic and clinical data, and according
to the variable category under study.
Before the specific analyses, waste analysis with the
Shapiro-Wilk normality and visual analysis of the variance of
the residues were carried out to evaluate the homoce-
dasticity. The waste analysis indicated that the assumptions
were not valid, thus being the non-parametric test of Mann-
Whitney to compare the effect of interventions I and II with
the control group. In addition, with comparisons of 12 times
it was necessary to use the Bonferroni correction for the
significance level, with the value p ≤ 0.004 considered as
significant. The Cox hazard model (risk) was used for the
multivariate analysis.
The effect size of the intervention was determined by
calculating the Hedges g, considering the following cut-off
points: values greater than or equal to 0.8 represent large
effect size; between 0.8 and 0.2 average, and less than 0.2
was small(11-12).
The study was approved by the Research Ethics
Committee (COEP) of the Federal University of Minas
Gerais (CAAE nº 0380.0.203.216-11).
RESULTS
108 patients were selected according to the eligibil- ity
criteria. However, among the 108 eligible patients, six
were going to be subjected to sponge bath in the next 3
hours after reaching a body temperature ≥ 38.3°C, which
excluded them from the study according to the inclusion
criteria.
Among the 102 patients included in the study, 34 re-
ceived an ice pack application associated with antipyretic
medication (Intervention I), 34 received a warm compress
associated with antipyretic medication (Intervention II), and
34 only received antipyretic (control). There were no losses
of patients during monitoring. Patient distribution is presented
in Figure 1.
Data concerning sociodemographic and clinical vari-
ables of patients included in the study are shown in Table 1.
Regarding age, the results of the Kruskal-Wallis tests show
that the randomization of patients in each group was
adequate, the groups were similar, and there was no statisti-
cal difference in the effect of the interventions tested among
different age groups.
826
www.ee.usp.br/reeusp Rev Esc Enferm USP · 2016;50(5):823-
830
- Healthcare Professionals (n = 2);
- Team (n = 5)
application associated with associated with antipyretic antipyretic (control group)
antipyretic medication medication (n = 34)
(n = 34) (n = 34)
Monitoring
- Monitoring Loss (n = 0) - Monitoring Loss (n = 0) - Monitoring Loss (n = 0)
Randomized (n = 102)
108)
Evaluated for eligibity (n =
- Discontinued Intervention - Discontinued Intervention - Discontinued Intervention
(n = 0) (n = 0) (n = 0)
Analysis
Recruitment
criteria (n = 6)
Did not meet inclusion
Excluded (n = 6)
Figure 1 – Flowchart of study participants: initial and final inclusion – Belo Horizonte, MG, Brazil, 2013.
23
Clinical ICU 27 (79%) 19 (73%)
(68%) 38.4
Age in years M
(SD) 51 (16) 54 (16) 55 (16) 0.119**
37.8
Length of stay
in days M (SD) 58 (111) 44 (24) 37 (28) 0. 469**
37.6
37.4
Time (minutes)
Table 2 – Evaluation of temperature at each measurement time by intervention group – Belo Horizonte, MG, Brazil, 2013.
continued...
...continuation
Tympanic Temperature
Time (minutes) Group
N Mean SD* Minimum Median Maximum CI 95%** p***
Control 33 38.2 0.7 36.6 38.3 39.7 38.0-38.6
60 Intervention I 33 38.0 1 35.5 38.0 40.7 37.6-38.3 0.1
Intervention II 33 38.3 0.7 36.8 38.2 40.6 38.0-38.6 0.95
Control 33 38.1 0.8 36.1 38.0 39.6 37.8-38.5
75 Intervention I 33 38.0 1 35.3 38.0 40.7 37.6-38.1 0.46
Intervention II 33 38.2 0.7 36.5 38.1 40.7 37.9-38.6 0.49
Control 33 38.1 0.8 36.2 38.2 39.8 37.8-38.5
90 Intervention I 33 38.0 0.9 36.0 38.0 40.9 37.7-38.2 0.34
Intervention II 33 38.2 0.8 36.9 38.1 40.6 37.7-38.4 0.92
Control 33 38.0 0.9 35.1 38.0 40.1 37.8-38.5
105 Intervention I 32 37.9 0.9 35.3 37.9 40.7 37.8-38.2 0.41
Intervention II 33 38.2 0.9 36.8 38.0 40.9 37.8-38.5 0.81
Control 33 38.0 0.9 35.0 38.0 39.9 37.8-38.4
120 Intervention I 32 37.9 0.9 35.8 37.9 40.6 37.7-38.2 0.36
Intervention II 33 38.2 0.9 37.0 38.0 40.9 37.6-38.5 0.91
Control 33 38.0 1 35.0 37.9 39.0 37.5-38.2
135 Intervention I 32 37.9 0.9 35.3 37.9 30.0 37.6-38.2 0.55
Intervention II 33 38.2 0.9 36.8 38.1 40.4 37.8-38.4 0.77
Control 33 38.0 1 35.1 38.0 40.3 37.7-38.5
150 Intervention I 32 37.9 1 35.5 37.9 40.5 37.7-38.2 0.34
Intervention II 32 38.1 0.8 36.9 38.1 40.5 37.6-38.7 0.9
Control 33 37.9 1 35.0 37.8 40.1 37.8-38.5
165 Intervention I 32 37.9 1 36.1 37.9 41.2 37.5-38.3 0.89
Intervention II 32 38.1 0.9 36.7 38.0 40.5 37.7-38.4 0.54
Control 33 37.9 1 35.1 38.0 40.1 37.5-38.5
180 Intervention I 31 37.8 1 35.7 37.9 40.1 37.6-38.0 0.46
Intervention II 32 38.0 0.9 36.6 38.0 40.4 37.7-38.3 0.92
DISCUSSION
This study tested the two most used methods in the
nursing environment (ice pack and warm compress as-
sociated with antipyretic) in adults and children for the
treatment of fever. Patients who received Intervention
I (ice pack associated with antipyretic) had a tympanic
temperature higher than 38.3°C for only 45 minutes after
receiving treatment.
In critically ill patients, thermoregulation is usually
compromised since factors such as hemodynamic
instability, neurological disorders and changes in
metabolic rate affect thermal homeostasis, as well as the
hospitalization itself that causes changes in the circadian
cycle. Despite its adaptive value, the relationship between
the occurrence of fever and increased morbidity in
critically ill patients is not described in literature,
considering that studies are still incomplete and
mechanisms stimulated for the increased metabolic
demand(14). Thus, the use of physical methods for cooling
diseases or sepsis, which can enhance the body temperature often occurs in attempt to reduce
neurological damage, cerebral edema, cardiac clinical complications, which confers benefits to
ischemia and tissue hypoxia(7). antipyretic therapy of hospitalized patients in the ICU(7,15).
Therefore, it should be taken into A randomized controlled trial with 200 patients diag-
consideration that with the subsequent increase in nosed with septic shock admitted to ICU assessed whether
oxygen consumption due to fever, the respiratory applying a cooling blanket for body temperature to control
quotient and the cardiac output add a significant fever reduces the use of vasopressor medication and
load on the clinical status of critically ill patients mortal- ity rates. Among the 101 patients who received
who may be unable to have their compensatory the physical method, a reduced need for vasopressor
usage was identified
in 34% compared to 19% among patients who did not re- different health care models and different clinical
ceive treatment (p<0.001)(16). profiles in relation to the sample cannot be established.
In contrast to the antipyretic medication which inhibits In clinical research, the evaluation of clinical
fever development by reducing the hypothalamic set relevance is crucial to simplify the transfer of
point, physical methods reduce the body temperature by knowledge to practice.
increas- ing the temperature gradient between the body
and the environment, promoting heat loss by conduction
and con- vection mechanisms(2). Thus, the adverse effects
observed in using physical methods include shivering,
vasoconstric- tion, vasospasm of the coronary arteries and
rebound hy- pothermia, which should also be the focus of
attention of the nursing team(4,17).
Studies comparing the application of warm
compresses and prescribing a warm bath for children to
help in reduc- ing the body temperature of those with
fever, either alone or combined with antipyretic versus
only antipyretic adminis- tration(5) can be found in the
literature. One study compares the efficacy of a thermal
blanket using convection current cooling system versus an
air cooling system with water ver- sus using an antipyretic
to lower the body temperature of adult patients with an
infectious source of fever and ad- mitted to the ICU (4).
However, studies with experimental design on this theme
are scarce, and so the present study contributes to
knowledge in this area; to the extent in which nursing
care for patients with high body temperatures were tested,
and especially physical methods in applying warm
compresses and ice packs.
Although a statistical significance between the treat-
ments was not found, an effect size of average magnitude
was identified for Intervention I and a small magnitude
for Intervention II. This result demonstrates that the use of
these methods is effective in the practice, and therefore
has clinical relevance; it was observed that applying an
ice pack associated with antipyretic has a greater effect on
reducing tympanic temperature.
It must be considered that the present study was con-
ducted in two ICUs of a single country and with a
population of critically ill patients treated at the same
public health in- stitution with infrastructure specificities,
especially regarding environmental air cooling.
Furthermore, the prescribed and implemented antipyretic
for treating fever is not commonly used in hospitals of
several other countries. Thus, the results should be used
with caution, since generalizations for institu- tions with
Therefore, its importance in biological terms should not only CONCLUSION
be judged by statistical tests, but also by professionals who
A reduction in body temperature was observed in the
will apply the results found in studies into practice. It is up to
three groups evaluated throughout 180 minutes, but with-
professionals to guide their practice according to the knowl-
out statistical significance. However, when analyzing the
edge available to them, coupled with the new evidence, being
effect size of these interventions in patients with fever, it
aware of the importance of the object being studied(11).
was found that the studied methods are clinically
The clinical significance of using physical methods such
indicated and their use proved to be effective in care
as antipyretic adjunctive therapy in adult patients ad- mitted
practice.
to the ICU was also investigated in intensive care units in
Body temperature is a very specific variable and
Australia and New Zealand. The study described fever
decimal differences in the readings can be decisive in the
management of critically ill patients with sepsis with- out
clinical de- cision to be made. Thus, the care/treatment to
neurological injury. It was found that 64% of the critical care
be provided to a critical patient with fever should not
nurses reported the association of antipyretic to physi- cal
solely be based on the value of the body temperature
methods as the first choice of care for adult patients with
being greater than or equal to 38.3°C when administering
fever, considering the positive clinical experience with this
an antipyretic. Clinical signs presented by the patient
method, while only 13% reported a preference for using
should also be evaluated and using a physical method
isolated methods(18).
must be considered, such as an ice pack for treating a
Thus, application of physical methods associated with
fever, and not only the administration of an antipyretic.
antipyretic administration should be considered, with it be-
In addition, health professionals should be aware of
ing important to recognize that statistical significance can- not
the adverse effects of both antipyretic and physical
be used as a synonym of clinical significance; as a result, it
methods in reducing the body temperature of patients with
may be statistically significant but have no relevance for the
fever, and substitute practices based on tradition for
practice, so it is important to understand that the results of a
practices based on evidence to improve outcomes of the
study should not be confined to the p values(11).
provided car
RESUMO
Objetivo: Avaliar o efeito de métodos físicos (bolsa de gelo e compressa morna) na redução da temperatura corporal de pacientes
críticos com febre. Método: Ensaio clínico randomizado com 102 pacientes adultos e temperatura timpânica ≥ 38,3°C de foco
infeccioso, aleatorizados em três grupos: Intervenção I ‒ bolsa de gelo associada a antitérmico; Intervenção II ‒ compressa morna
associada a antitérmico; e Controle ‒ antitérmico. A temperatura timpânica foi mensurada em intervalos de 15 minutos durante
3 horas. O efeito das intervenções foi avaliado pelo teste Mann-Whitney e Análise de Sobrevivência. Cálculo do “Effect size” foi
procedido. Resultados: Os pacientes dos grupos Intervenção I e II apresentaram maior redução na temperatura corporal. A partir
de 45 minutos de acompanhamento o grupo de pacientes que recebeu a Intervenção I apresentou valor da temperatura timpânica
inferior a 38,3°C, os do grupo controle valor menor que 38,3°C a partir de 60 minutos e os que receberam a Intervenção II, valor
menor que 38,3°C
com 75 minutos de acompanhamento. Conclusão: Não foi encontrada diferença estatística significativa entre as intervenções,
porém os pacientes do grupo Intervenção I apresentaram maior redução da temperatura timpânica em relação aos demais grupos.
Registro Brasileiro de Ensaios Clínicos: RBR-2k3kbq
DESCRITORES
Febre; Enfermagem de Cuidados Críticos; Enfermagem Baseada em Evidências; Avaliação de Resultado de Intervenções
Terapêuticas; Unidades de Terapia Intensiva.
RESUMEN
Objetivo: Evaluar el efecto de métodos físicos (bolsa de hielo y compresa tibia) en la reducción de la temperatura corporal de
pacientes críticos con fiebre. Método: Ensayo clínico randomizado con 102 pacientes adultos y temperatura timpánica ≥ 38,3°C de
foco infeccioso, aleatorizados en tres grupos: Intervención I ‒ bolsa de hielo asociada con antitérmico; Intervención II ‒ compresa
tibia asociada con antitérmico; y Control ‒ antitérmico. La temperatura timpánica fue medida en intervalos de 15 minutos durante
3 horas. El efecto de las intervenciones fue evaluado por la prueba Mann-Whitney y Análisis de Supervivencia. Se hizo el cálculo del
“Effect size”. Resultados: Los pacientes de los grupos Intervención I y II presentaron mayor reducción en la temperatura corporal. A
partir de 45 minutos de seguimiento el grupo de pacientes que recibió la Intervención I presentó valor de la temperatura timpánica
inferior a 38,3°C; los del grupo control, valor menor que 38,3°C a partir de 60 minutos; y los que recibieron la Intervención II, valor
menor que 38,3°C con 75 minutos de seguimiento. Conclusión: No fue encontrada diferencia estadística significativa entre las
intervenciones, sin embargo los pacientes del grupo Intervención I presentaron mayor reducción de la temperatura timpánica con
relación a los demás grupos. Registro Brasileño de Ensayos Clínicos: RBR-2k3kbq
DESCRIPTORES
Fiebre; Enfermería de Cuidados Críticos; Enfermería Basada en la Evidencia; Evaluación de Resultados de Intervenciones
Terapéuticas; Unidades de Cuidados Intensivos.
REFERENCES
1. Nakajima Y. Controversies in the temperature management of critically ill patients. J Anesth. 2016;30(5):873-83.
2. Young PJ, Saxena M. Fever management in intensive care patients with infections. Crit Care. 2014;18(2):206.
3. Kushimoto S, Yamanouchi S, Endo T, Sato T, Nomura R, Fujita M, et al. Body temperature abnormalities in non-neurological critically ill
patients: a review of the literature. J Intensive Care. 2014;2(1):14.
4. Lee BH, Inui D, Suh GY, Kim JY, Kwon JY, Park J, et al. Association of body temperature and antipyretic treatments with mortality of
critically ill patients with and without sepsis: multi-centered prospective observational study. Crit Care. 2012;16(1):R33.
5. Salgado PO, Silva LCR, Silva PMA, Paiva IRA, Macieira TGR, Chianca TCM. Cuidados de enfermagem a pacientes com temperatura
corporal elevada: revisão integrativa. Rev Min Enferm. 2015;19(1):212-26.
6. Young P, Saxena M, Bellomo R, Freebairn R, Hammond N, Haren F, et al. Acetaminophen for fever in critically ill patients with
suspected infection. N Engl J Med. 2015;373(23):2215-24.
7. Suzuki S, Eastwood GM, Bailey M, Gattas D, Kruger P, Saxena M, et al. Paracetamol therapy and outcome of critically ill patients: a
multicenter retrospective observational study. Crit Care. 2015;19:162.
8. Gozzoli V, Treggiari MM, Kleger GR, Roux-Lombard P, Fathi M, Pichard C, et al. Randomized trial of the effect of antipyresis by metamizol,
propacetamol or external cooling on metabolism, hemodynamics and inflammatory response. Intensive Care Med. 2004;30(3):401-7.
9. Nettina SM. Prática de enfermagem. 10ª ed. Rio de Janeiro: Guanabara Koogan; 2016.
10. Zhen C, Xia Z, Ya Jun Z, Long L, Jian S, Ju CG, Long L. Accuracy of infrared tympanic thermometry used in the diagnosis of fever in
children: a systematic review and meta-analysis. Clin Pediatr. 2015;54(2):114-26.
11. Bosco FA, Aguinis H, Singh K, Field JG, Pierce CA. Correlational effect size benchmarks. J Appl Psychol. 2015;100(2):431-49.
12. Ialongo C. Understanding the effect size and its measures. Biochemia Med 2016;26(2):150-63.
13. Saxena MK, Taylor C, Billot L, Bompoint S, Gowardman J, Roberts JA, et al. The effect of paracetamol on core body temperature in acute
traumatic brain injury: a randomised, controlled clinical trial. PLoS One. 2015;10(12):e0144740.
14. Schortgen F, Charles-Nelson A, Bouadma L, Bizouard G, Brochard L, Katsahian S. Respective impact of lowering body temperature
and heart rate on mortality in septic shock: mediation analysis of a randomized trial. Intensive Care Med. 2015;41(10):1800-8.
15. Young PJ, Bellomo R. Fever in sepsis: is it cool to be hot? Crit Care. 2014;18(1):109.
16. Schortgen F, Clabault K, Katsahian S, Devaquet J, Mercat A, Deye N, et al. Fever control using external cooling in septic shock: a
randomized controlled trial. Am J Respir Crit Care Med. 2012;185(10):1088-95.
17. Maekawa T, Yamashita S, Nagao S, Hayashi N, Ohashi Y. Prolonged mild therapeutic hypothermia versus fever control with
tight hemodynamic monitoring and slow rewarming in patients with severe traumatic brain injury: a randomized controlled trial. J
Neurotrauma. 2015;32(7):422-9.
18. Saxena MK, Hammond NE, Taylor C, Young P, Reade MC, Bellomo R, et al. A survey of fever management for febrile intensive care
patients without neurological injury. Crit Care Resusc. 2011;13(4):238-43.
ABSTRACT
Objective: To compare the efficacies of a single thermodynamic treatment system (LipiFlow®) and warm
compresses used for 3 months in patients with a moderate severity of meibomian gland dysfunction (MGD).
Methods: This prospective, randomized, controlled clinical study enrolled 28 patients (22 females, 6 males; mean
age, 53.9 ± 14.8 years) diagnosed as having moderate MGD by plugging at the meibomian gland orifices between
one-third and two-thirds of lid margins and at least one of the following: a Standard Patient Evaluation of Eye
Dryness (SPEED) questionnaire score of 6-12; a lipid layer thickness (LLT) score of 40-70 Interferometric Color
Units; upper eyelid meiboscore of 1-2; and 3-6 expressible meibomian glands (EMGs) in the lower eyelid. Both
eyes of each patient were randomized into study and control eyes. Study eyes were treated with a single, 12-
minute LipiFlow® system, while control eyes received 5-minute warm compresses twice daily for 3 months. The
dry eye symptoms, the number of EMGs, and LLTs were evaluated.
Results: There were no significant differences in the dry eye symptoms, number of EMGs, and LLTs for both
groups at baseline and at each follow-up. However, the total SPEED scores for the LipiFlow® group reduced
significantly from baseline at each follow-up until 6 months. As to the warm compress group, the total SPEED
scores reduced significantly from baseline at each follow-up until 3 months.
Conclusion: The single LipiFlow® treatment and twice-daily warm compresses relieved the dry eye symptoms of
patients with a moderate severity of MGD compared with their baseline symptoms, despite no statistical
differences in the dry eye symptoms, number of EMGs, and LLTs of both treatments.
compresses LipiFlow®
P-value1
Baseline 9.2 ± 4.4 9.5 ± 4.5 0.781
Follow-up time
1 day 7.4 ± 5.2 7.8 ± 4.2 0.531
1
comparison of SPEED scores for both groups, bcomparison of SPEED scores between baseline and at each follow-up for each group, ∆
= mean change in SPEED scores from baseline to each follow-up for each group
TABLE 2. Comparison of the number of expressible meibomian glands (EMGs) for both groups and between baseline and at
each follow-up for each group.
compresses LipiFlow®
P-value2
Baseline
LLT scores (m
compresses
Baseline
Follow-up time
74.9 ± 18.8
70.3 ± 19.9
0.368
1 day 65.4 ± 19.6
p-valueb 0.004
p-valueb 0.031
p-valueb 0.062
p-valueb 0.834
p-valueb 0.642
67.1 ± 23.0
66.9 ± 21.2
0.979
6. Bron AJ, Tiffany JM, Gouveia SM, Yokoi N, Voon LW. Functional aspects of the tear film lipid
layer. Exp Eye Res 2004;78:347-60. 7. Korb DR, Blackie CA. Restoration of meibomian gland functionality
with novel thermodynamic treatment device: a case report. Cornea 2010;29:930-3.
8. Majmudar PA; LipiFlow Study Group. A Novel Thermal pulsation treatment for obstructive
meibomian gland dysfunction: applying heat to the inner eyelid surfaces. Invest Ophthalmol & Vis
Sci 2010;51:6281.
9. Friedland BR, Fleming CP, Blackie CA, Korb DR. A novel thermodynamic treatment for meibomian
gland dysfunction. Curr Eye Res 2011;36:79-87.
10. Greiner JV; LipiFlow Study Group. Treatment of meibomian gland dysfunction (MGD) with the novel
LipiFlow® thermal pulsation system restores meibomian gland function. Invest Ophthalmol & Vis Sci
2010;51:6282.
11. Lane SS, DuBiner HB, Epstein RJ, Ernest PH, Greiner JV, Hardten DR, et al. A new system, the
LipiFlow, for the treatment of meibomian gland dysfunction. Cornea 2012;31:396-404.
12. Korb DR, Blackie CA. Case report: a successful LipiFlow treatment of a single case of meibomian
gland dysfunction and dropout. Eye Contact Lens 2013;39:e1-e3.
13. Finis D, Hayajneh J, König C, Borrelli M, Schrader S, Geerling
G. Evaluation of an automated thermodynamic treatment (LipiFlow®) system for meibomian gland
dysfunction: a prospective, randomized, observer-masked trial. Ocul Surf 2014;12:146-54. 14. Blackie CA,
Coleman CA, Nichols KK, Jones L, Chen PQ, Melton R, et al. A single vectored thermal pulsation treatment
for meibomian gland dysfunction increases mean comfortable contact lens wearing time by approximately
4 hours per day. Clin Ophthalmol 2018;12:169-83.
15. Hagen KB, Bedi R, Blackie CA, Christenson-Akagi KJ. Comparison of a single-dose vectored
thermal pulsation procedure with a 3-month course of daily oral doxycycline for moderate-to- severe
meibomian gland dysfunction. Clin Ophthalmol 2018;12:161-8.
16. Finis D, König C, Hayajneh J, Borrelli M, Schrader S, Geerling G. Six-month effects of a
thermodynamic treatment for MGD and implications of meibomian gland atrophy. Cornea 2014; 33:1265-
70.
17. Greiner JV. A single LipiFlow® thermal pulsation system treatment improves meibomian gland
function and reduces dry eye symptoms for 9 months. Curr Eye Res 2012;37:272-8.
18. Greiner JV. Long-term (12-month) improvement in meibomian gland function and reduced dry
eye symptoms with a single thermal pulsation treatment. Clin Experiment Ophthalmol 2013;41:524-30.
19. Blackie CA, Coleman CA, Holland EJ. The sustained effect (12 months) of a single-dose vectored
thermal pulsation procedure for meibomian gland dysfunction and evaporative dry eye. Clin Ophthalmol
2016;10:1385-96. 20. Ngo W, Situ P, Keir N, Korb D, Blackie C, Simpson T, et al. Psychometric properties
and validation of the standard patient evaluation of eye dryness questionnaire. Cornea 2013;32:1204-
10.
21. Korb DR, Blackie CA. Meibomian gland diagnostic expressibility: correlation with dry eye
symptoms and gland location. Cornea 2008;27:1142-7.
22. Blackie CA, Solomon JD, Scaffidi RC, Greiner JV, Lemp MA, Korb DR. The relationship between
dry eye symptoms and lipid layer thickness. Cornea 2009;28:789-94.
23. Arita R, Itoh K, Inoue K, Amano S. Noncontact infrared meibography to document age-related
changes of the meibomian glands in a normal population. Ophthalmology 2008; 115:
911-5.
24. Korb DR, Herman JP, Greiner JV, Scaffidi RC, Finnemore VM, Exford JM, et al. Lid wiper
epitheliopathy and dry eye symptoms. Eye Contact Lens 2005;31:2-8.
25. Zhao Y, Veerappan A, Yeo S, Rooney DM, Acharya RU, Tan JH, et al. Clinical trial of thermal
pulsation (LipiFlow) in meibomian gland dysfunction with preteatment meibography. Eye Contact Lens
2016;42:339-46.
26. Finis D, Pischel N, Schrader S, Geerling G. Evaluation of lipid layer thickness measurement of
the tear film as a diagnostic tool for meibomian gland dysfunction. Cornea 2013;32:1549-
53.
27. Michee S, Rabut G, Baudouin C, Labbe A. Treatment of meibomian gland disease with the
Lipiflow® system: A prospective study. Acta Ophthalmol 2013; 91:0.
28. Greiner JV. Long-term (3 year) effects of a single LipiFlow thermal pulsation system treatment
on meibomian gland function and dry eye symptoms. Eye Contact Lens 2016; 42:
99-107.
29. Satjawatcharaphong P, Ge S, Lin MC. Clinical outcomes associated with thermal pulsation
system treatment. Optom Vis Sci 2015;92:e334-41.
Jurnal internasional 3
Corresponding author: *Pavithra C., Department of Child Health Nursing, VMACON, Salem.
Abstract
Objectives:
1. Evaluate the effect of tepid sponging among children with pyrexia.
2. Evaluate the effect of warm sponging among children with pyrexia.
3. Compare the effect of tepid sponging with warm sponging among children with pyrexia.
Materials and methods: 34 children aged between 1-12 years with the body temperature of 100 ◦F
◦
-103 F were selected for the study. Pre test post test - repeated measures design was used. Total enumerative
(consecutive) sampling technique 34 samples were selected, 17 were assigned to experimental group-I and 17 to
experimental group-II. Initial body temperature (0 minute) was assessed by using digital thermometer and recorded
◦ ◦
in temperature measurement table. Tepid sponging (30 C-40 C) was given for experimental group-I and warm
◦ ◦
sponging (60 C-70 C) for experimental group-II, for 15 minutes. Comfort level was assessed by using modified
comfort behavior check list during intervention. After intervention the body temperature was assessed and recorded
th th th th
at 15 minute, 30 minute, 45 minute and 60 minute.
Results: Paired „t‟ test was used to test the effect of both tepid and warm sponging. Results showed that, there is a
significant difference in the level of body temperature in children before and after sponging among two groups.
Student „t‟ test was used to analyze the changes in body temperature between the two groups. The calculated „t‟
th th th th
values at 15 minute, 30 minute, 45 minute and 60 minute were 0.04, 0.62, 0.8 and 1.12 respectively are not
significant at 0.05 level, which shows that there is no difference between tepid and warm sponging in reducing body
temperature. Analysis on effect of tepid Vs warm sponging on comfort was done. The calculated „t‟ value of
6.69 for comfort is significant at 0.001 level, which shows that warm sponging is effective in promoting comfort
among children.
Conclusion: The findings revealed that, tepid and warm sponging are effective in reducing body temperature, but
warm sponging is effective in promoting comfort among children with pyrexia than tepid sponging.
Introduction Tepid water and cold water are commonly used for
Fever is very common in young children, with 20% to sponging which can cause
40% of parents reported illness in each year. As a result, discomfort like shivering goose bumps and crying.
fever is probably the commonest reason for a child to be This can be avoided by the use of warm water
taken to the doctor. Fever is also the second most sponging to the pyrexic children. Many studies show
common reason for a child being admitted to hospital. that warm sponging is affective in promoting comfort
Fever is an important during children with pyrexia. Hence the researcher
symptom of underlying disease condition and felt a need to compare the effects of two physical
in general it is considered as harmful in pediatric age methods, tepid water sponging and warm water
group as it may lead to dehydration, febrile seizures sponging in lowering body temperature and
and stupor. The increase metabolic demands, stress the promoting the comfort among children with pyrexia.
patient with marginal cardiac and cerebral vascular A study conducted on the efficacy of warm sponging
supply. The physical therapy offers a simple and cost with tepid sponging among children aged 6 months to
effective way of lowering the body 5 years with fever
temperature. (≥100°F to ≤104°F) and Receiving syrup
Paracetamol is readily absorbed from the paracetamol 15mg/kg body weight. Experimental
gastrointestinal tract with peak plasma concentrations group received warm sponging and paracetamol.
occurring about 10 to 60 minutes after oral Control group received tepid sponging and
administration. The elimination half-life varies from paracetamol. The result showed that there was a
about 1 to 3 hours. There is a chance of abrupt increase statistically significant difference in proportion of
of temperature during the interval between doses of target temperature reduction between warm and
antipyretics after its peak action of 2 hours. Tepid tepid sponging groups. The study concluded that
water and cold water are commonly used for sponging warm sponging along with oral paracetamol, was
which can cause some discomfort. Bathing with warm found to be more effective than tepid sponging
water will certainly help in dilating the sweat glands along with oral paracetamol in reducing
and reducing the stink of sweat and will give some temperature in febrile children.
freshness and will provide comfort.
In febrile patients the use of luke warm water must be
Methodology
encouraged to reduce the level of discomfort and
settles down the temperature from its peak level. The basic experimental design, pre test post test-
Bathing with luke warm water will certainly help in repeated measures design was used for the present
dilating the sweat glands and reducing the stink of study. The study was conducted at pediatric ward of
sweat and will give some freshness to the children. Sri Ramakrishna Hospital, Coimbatore. Children
Luke warm bath was given to children, sick patients with pyrexia aged between 1-12 years. Total
and bed ridden. A regular bath or cold sponging is not Enumerative (consecutive) sampling technique was
advisable in these patients. used and all the samples (n=34) who met the
eligibility criteria were
included in the study. These samples were randomly During the intervention comfort of the child was assessed by using
assigned to Experimental Group– I (n=17) and modified comfort behavior checklist. The tool was developed by
Experimental Group–II (n=17). Tools for data K. Kolcaba (2002).This tool is modified and used for this research
collection are Questionnaire to collect Demographic study. The tool consists of 30 items which includes different aspects,
Profile like age, sex and diagnosis. Temperature like vocalization, motor signs and performance, facial and
measurement table was used to assess, the initial miscellaneous aspects. The researcher deleted two contents (fidgety
temperature at 0 minute by using digital and awakens smoothly) and added three contents (shivering, goose
thermometer through axillary method and recorded bumps and vomiting) since these are related to fever signs. The
in the temperature measurement table. Intervention responses were scored as No (1), Somewhat (2), Moderate (3), Strong
was given for 15 minutes. Tepid sponging was (4) and Not appropriate (0) (for the children who are sleeping or
given to experimental group-I and warm sponging because of diagnosis). Reverse scoring was given to the numbers 2, 3,
was given to experimental group-II. 5, 7, 8, 10, 11, 13, 18, 19, 20, 21, 23, 24, and 26. The scoring of
26
comfort checklist for children was done by adding the The analysis on the effect of Tepid Sponging on Body
total score of each item. The response was observed Temperature among Children with Pyrexia in
during the intervention and documented in the Experimental Group-I, revealed that the mean and STD
checklist. The maximum score was 120 and minimum of body temperature before tepid sponging was
score was 0. After intervention, body temperature was 101.56°F and after tepid sponging at
th th th th th th th
checked at 15 minute, 30 minute, 45 minute and 15 minute, 30 minute, 45 minute, 60 minute were
th 100.79°F, 100.25°F, 99.75°F 99.33°F and STD were
60 minute and recorded in the temperature
measurement table. 0.36, 0.39, 0.46, 0.76
respectively. The calculated „t‟ value was compared
with the table value. It showed that, the calculated „t‟
Results and discussion value is greater than the table value (4.02) at 0.001
(p>0.001) level of significance. There is a significant
difference in the body temperature after tepid sponging
among children with pyrexia” was accepted at
0.001 level of significance. Hence tepid sponging is
effective in reducing body temperature among children
with pyrexia. (Fig
1) The analysis on the effect of Warm Sponging on
Body Temperature among Children with Pyrexia in
Experimental Group- II, revealed that the mean and
STD of body temperature before warm sponging was
th th
101.52°F and after warm sponging at 15 minute, 30
th th
minute, 45 minute, 60 minute were 100.78°F,
100.12°F, 99.59°F 99.05°F and STD were 0.19, 0.31,
0.41, 0.76 respectively. The calculated „t‟ value was
compared with the table value. It showed that, the
calculated „t‟ value is greater than the table value
(4.02) at 0.001 (p>0.001) level of significance. There is
a significant difference in the body temperature after
warm sponging among children with pyrexia” was
accepted at
0.001 level of significance. Hence warm
sponging is effective in reducing body temperature
among children with pyrexia. (Fig 2)
27
Figure 2: Effect of Warm Sponging on student„t‟ test. It showed that, the calculated „t‟
Body Temperature among Children with values was compared with the table value (2.04) at
0.05 (p<0.05) level of significance was lesser than
Pyrexia in Experimental Group-II. the table value. Thus the research hypothesis,
“There is a significant difference in the body
temperature among pyrexia children in
The comparison between tepid Vs warm sponging on experimental group-I and experimental group-II
body temperature among children with pyrexia in after tepid sponging and warm water sponging” was
experimental groupI rejected. Hence there is no difference between tepid
and experimental group-II by using and warm sponging in reducing of body
temperature (Fig 3).
To analysis on effect of tepid Vs warm sponging on
comfort among children with pyrexia in
experimental group-I and experimental group-II.
The student „t‟ test was used to assess tepid and
warm sponging on comfort among children with
pyrexia. It was identified that, the mean comfort
during tepid and warm sponging was 62.76 and
90.29. The STD was 9.40 and 13.14 respectively.
The calculated „t‟ value was compared with the
table value. It showed that, the calculated „t‟ value
6.69 was greater than the table value (3.65) at 0.001
level (p>0.001) of significance. Thus the research
hypothesis, “There is a significant difference in
comfort among children with pyrexia in
experimental group- I and experimental group-II
during tepid and warm sponging” was accepted (Fig
4).
Table 1: Comparison on Effect of Tepid Vs Warm Sponging on Body
Temperature among Children with Pyrexia in Experimental Group-I and Experimental
Group-II (n=34).
Mean body
temperature (°F) Standard Mean ‘t’
Time Group
deviation difference value
Experimental group -I 100.79 0.70
15thmin 0.01 0.04
Experimental group-II 100.78 0.39
Experimental group -I 100.25 0.58
30thmin 0.13 0.62
Experimental group -II 100.12 0.56
28
Experimental group -I 99.75 0.50
45thmin 0.16 0.8
Experimental group -II 99.59 0.59
Experimental group -I 99.33 0.73
60thmin 0.28 1.12
Experimental group -II 99.05 0.64
Table 2: Analysis on Effect of Tepid Vs Warm Sponging on Comfort among Children with Pyrexia in
Experimental Group-I and Experimental Group-II (n=34).
Standard Mean
Group Mean ‘t’ value
deviation difference
Experimental group-I 62.76 9.40
27.53 6.69***
Experimental group-II 90.29 13.14
A. Termoregulasi
1. Definisi
daripada suhu tubuh mereka. Oleh karena itu, manusia terus menerus
(Avin, 2007).
B. Etiologi
4. Proses penuaan
5. Dehidrasi
Selain itu terdapat juga beberapa faktor yang mempengaruhi termogulasi yakni
variabel fisiologis atau prilaku yang dapat mengganggu hubungan antara produksi
panas dan pengeluaran panas (Potter & Perry, 2005) faktor – faktor tersebut antara
lain :
1. Usia
Pada saat bayi suhu tubuh berespon secara drastis terhadap perubahan
2. Aktivitas fisik
3. Kadar hormon
Secara umum wanita mengalami fluktuasi suhu tubuh yang lebih besar
tubuh paling rendah biasanya antara pukul 1:00 dan 4:00 dini
hari.Sepanjang hari suhu tubuh naik, sampai seitar pukul 18:00 dan
kemudian turun seperti pada dini hari.Penting diketahui, pola suhu tidak
secara otomatis pada orang yang bekerja pada malam hari dan tidur di
siang hari.Perlu waktu 1-3 minggu untuk perputaran itu berubah. Secara
menunjukkan, puncak suhu tubuh adalah dini hari pada lansia (lenz,1984)
5. Stres
panas.Klien yang cemas saat masuk rumah sakit atau tempat praktik
6. Lingkungan
yang sangat hangat, klien mungkin tidak mampu meregulasi suhu tubuh
melalui mekanisme pengluaran-panas dan suhu tubuh akan naik. Jika kien
berada di lingkungan tanpa baju hangat, suhu tubh mungkin rendah karena
1. Agen farmaseutikal
2. Aktifitas yang berlebihan 7. Perubahan laju metabolisme
3. Berat badan ekstrem 8. Suhu lingkungan ekstrem
4. Dehidrasi 9. Usia ekstrem (bayi prematur dan lansia)
5. Pakaian yang tidak sesuai untuk suhu 10. Kerusakan hipotalamus
lingkungan 11. trauma
6. Peningkatan kebutuhan oksigen
Pusat integritas
termogulasi
hipotalamus
Kontrol produksi
panas/penguranga Kontrol produksi Kontrol pengurangan panas
n panas panas
Hipetermi Ketidak
Risiko ketidak Hipotermi
efektifan
seimbangan suhu
termoregulasi
tubuh
Kompres hangat
C. Manifestasi Klinik/Tanda Dan Gejala
a. Hipertermia
Suhu tubuh >37,5C wajah memerah, kulit teraba hangat hingga panas,
Pola hipertermi:
a. Terus – menerus
b. Intermiten
c. Remiten
b. Hipotermia
Suhu tubuh <36,5C lemas, pucat, kulit teraba dingin, kuku terlihat
c. Heat stroke
c. Sangat haus
D. Pemeriksaan Fisik
1. Identitas Pasien
2. Status kesehatan :
1) Terus menerus :
2) Intermitten:
3) Remitten :
normal.
4) Relaps :
untukmengurangi.
sejak kapan timbul demam, sifat demam, gejala lain yang menyertai
demam (misalnya: mual, muntah, nafsu makan, eliminasi, nyeri otot dan
5. Riwayat penyakit keluarga. (riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain
yang pernah diderita oleh anggota keluarga yang lain baik bersifat genetik
atau tidak).
6. Riwayat psikologis.
7. Pemeriksaan fisik :
a. Hitung TTV ketika panas terus menerus dan sesuai perintah (2/4 jam)
c. Tanda-tanda dehidrasi
8. Pemeriksaan Persistem
c. Sistem pernapasan
d. Sistem kardiovaskuler
e. Sistem gastrointestinal
g. Sistem perkemihan
9. Pada Fungsi Kesehatan
c. Pola eliminasi
f. Pola persepsual
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
2. Foto rontgent
3. USG
4. Thermometer
F. Penatalaksanaan Umum
1. Pengertian Kompres
cairan atau alat yang dapat menimbulkan hangat atau dingin pada bagian
a. Kompres panas
b. Kompres dingin
3. Tujuan
a. Kompres Panas
b. Kompres Dingin
3) mengurangi kongesti
4. Indikasi
a. Kompres panas
persendian
4) sepasme otot
3) pascatonsilektomi
4) radang, memar
2) bak seteril berisi dua buah kasa beberapa potong dengan ukuran
yang sesuai
4) pengalas
6) bengkok dua buah (satu kosong, satu berisi larutan Lysol 3%)
sesuai keutuhan
2) perlak pengalas
3. Mempersiapkan alat
Fase Orientasi
Fase Kerja
6. Ambil beberapa potong kasa dengan pinset dari bak seteril, lalu
dengan kasa kering. selanjutnya dibalut dengan kasa perban atau kain
segitiga.
9. Lakukan prasat ini selama 15-30 menit atau sesuai program dengan
Fase Terminasi
3. Mengucapkan salam
4. Dokumentasi tindakan
G. Diagnosa Keperawatan
termoregulasi hipotalamus