Anda di halaman 1dari 28

KAJIAN ISLAM

1. Iman, Islam, Ihsan


2. Islam dan sains
3. Islam dan Penegakan Hukum
4. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar
5. Fitnah Akhir Zaman
Disusun sebagi tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu,
Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun oleh:
NAMA : Baiq Sherly Putri Aprilia
NIM : C1M020027
Fakultas&Prodi : Pertanian/Agroekoteknologi
Semester : 1(satu)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah saya haturkan kepada ALLAH SWT karena atas izinnya saya
dapat menyelesaikan tugas ini. Dan atas rahmat dan hidayah-Nya lah saya dapat
menyelesaikan tugas ini tanpa kurang suatu apapun.

Sholawat dan salam semoga ALLAH SWT limpahkan kepada Rasulullah Muhammad
SAW. Semoga syafaatnya mengalir bagi kita diakhirat kelak, dan risalah yang beliau bawa
dapat bermanfaat untuk kita sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan.

Terimakasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Tufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos
sebagai dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan saya sebagai mahasiswa
yang haus akan ilmu pengetahuan.

Besar harapan saya tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua, kemudian kita sama sama
amalkan apa yang kita temukan, dalam kehidupan sehari hari, saya menyadari artikel yang
saya buat ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
akan saya terima karena hakikatnya kita hidup di dunia untuk terus belajar dan menerima
segala hal.

Penyusun, Praya 15 Desember 2020

Nama : Baiq sherly putri Aprilia

NIM : C1M020027

DAFTAR ISI

2
HALAMAN COVER...........................................................………………..i

KATA PENGANTAR..........……………………………............................ii

DAFTAR ISI…………………………………………….............................iii

BAB I. Iman, Islam, Ihsan………………………………............................. 4

BAB II. Islam dan Sains…………………………………………………… 7

BAB III. Islam dan Penegakan Hukum……………………………………. 11

BAB IV. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar……… 15

BAB V. Fitnah Akhir Zaman……………………………………………… 23

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………....... 27

LAMPIRAN………………………………………………………………..

BAB 1

3
Iman, Islam, Ihsan

Secara garis besar, ajaran agama Islam terdiri atas Iman, Islam, dan Ihsan atau
akidah, Syariah, dan akhlak. Ketiga ajaran pokok tersebut didasarkan atas hadis shahih
yang menyebutkan bahwa malaikat Jibril pernah mendatangi Rasulullah SAW dan para
sahabat untuk bertanya mengenai iman, islam dan ihsan yang sebenarnya merupakan cara
untuk menyampaikan tiga hal tersebut. Selanjutnya, ulama memilih ketiganya menjadi tiga
displin ilmu mendasar dalam memahami ajaran agama islam. Iman atau akidah dipelajari
melalui disiplin ilmu tauhid, Islam atau Syariah dipelajari melalui disiplin ilmu fiqh, dan
Ihsan atau akhlak dipelajari melalui disiplin ilmu tauhid. Jika seorang muslim ingin
memahami ajaran agama islam secara kaffah, maka ketiga displin ilmu tersebut harus
dipelajari secara baik. Mempelajari atau mempraktikan ajaran islam secara parsial,yaitu
hanya bagian-bagan tertentu saja akan membawa dampak buruk. Oleh sebab itu, totalitas
dalam mempelajari,dan mengamalkan ajaran islam diwajibkan oleh Allah SWT.

Makna dan Tingkatan Islam, dalam hadits Arbain yang kedua, Rasulullah pernah
ditanya oleh malaikat Jibril tentang Islam. Kemudian Nabi Muhammad menjawab,Islam itu
engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Allah dan bahwasanya
Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhan
dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana.Jawaban
Nabi mengatakan bahwa Islam adalah apa yang disebut dengan rukun Islam. Yaitu amalan
– amalan lahiriyah yang mencakup syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Saat seseorang
melakukan 5 amalan ini, maka orang tersebut dikatakan sebagai muslim.

Makna dan Tingkatan Iman, masih dalam hadits yang sama, kemudian malaikat
Jibril bertanya mengenai Iman kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah menjawab,Iman itu ialah
engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari
akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupunyang buruk.Dalam
definisi ini, maka iman merupakan hal – hal yang mencakup amalan batin. Yaitu keimanan
atau kepercayaan terhadap Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan

4
juga keimanan kepada takdir. Orang yang sudah mencapai derajat keimanan maka disebut
sebagai mukmin.Keimanan merupakan sesuatu yang lebih khusus dibandingkan keislaman.
Jadi, ketika seseorang disebut sebagai mukmin, maka orang tersebut sudah pasti seorang
muslim. Namun, tidak setiap muslim adalah seorang mukmin.

Makna dan Tingkatan Ihsan Tingkatan yang ketiga adalah Ihsan. Saat Rasulullah
ditanya oleh malaikat Jibril mengenai perkara ihsan, maka Rasulullah menjawab,Yaitu
engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak
bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.Perkara
ihsan adalah perkara yang mencakup cara dan rasa seorang muslim dalam beribadah. Ada
dua tingkatan dalam ihsan. Yaitu seseorang yang beribadah seakan mampu melihat Allah,
dan jika tidak mampu, maka orang tersebut beribadah dengan rasa diperhatikan oleh
Allah.Tingkatan ihsan ini merupakan tingkatan tertinggi seorang muslim karena melibatkan
perkara lahir dan batin. Seseorang yang mampu menjalani ibadah dengan perasaan seperti
ini akan dapat melaksanakan ibadah dengan rasa harap dan ingin sebagaimana seorang
hamba bertemu rajanya. Atau dengan perasaan takut dan cemas akan siksa yang didapat.
Orang yang mampu beribadah dengan perasaan tersebut akan lebih mudah mendapatkan
manfaat sebenarnya dari suatu ibadah. Dan orang – orang semacam ini akan disebut sebagai
muhsin. Derajat muhsin ini hanya dapat dicapai jika seseorang telah menjadi muslim dan
mukmin terlebih dahulu.

Ustadz Galih Maulana dalam buku Antara Fiqih dan Tasawuf terbitan Rumah Fiqih
Publishing menjelaskan mengapa Islam, iman dan ihsan adalah satu kesatuan yang disebut
agama Islam. Ia menerangkan, meski Islam, iman dan ihsan disebut bertingkat-tingkat tapi
bukan berarti maknanya mengerjakan satu level ke level berikutnya. Jadi yang dimaksud
tingkatan adalah tingkatan keimanan. "Artinya yang tadinya keimanannya lemah,
mengerjakan ibadah tidak optimal, masih suka bermaksiat, sampai pada tingkat keimanan
tinggi yang mana mampu merasakan muroqobatullah," Ia mencontohkan orang yang
imannya masih lemah, maka orang tersebut akan mengerjakan sholat, namun sholatnya
tidak khusyuk, tidak menjaga adab-adab dan sebagainya. Lain halnya dengan orang yang
sudah mencapai derajat ihsan. Ketika orang

5
tersebut sholat, hatinya khusyuk, adab-adabnya dijaga, sunah-sunahnya dijaga, dan
sholatnya akan membentenginya dari berbuat maksiat. Inilah yang sangat sulit dilakukan
oleh kebanyakan orang. Karena dalam praktiknya meskipun telah mengerjakan suatu
ibadah lengkap dengan semua rukun dan sunahnya, tetapi belum tentu mampu
menghadirkan hati sepenuhnya untuk tunduk dan merendahkan diri di hadapan Allah SWT.
"Mungkin saja raga kita melaksanakan sholat tetapi hati kita sibuk bersama dunia," ujar
Ustaz Galih. Ia menjelaskan, begitu juga dalam bermuamalah dengan manusia dan alam.
Mungkin orang berakhlak baik hanya ketika ada kepentingan. Mungkin orang berakhlak
baik hanya kepada golongannya saja. Padahal berakhlak baik adalah jenis ibadah juga.
Rasulullah bersabda, "Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang
mukmin di hari kiamat melainkan akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat
membenci orang yang suka berbicara keji lagi kotor." Ustadz Galih mengingatkan, inilah
pentingnya belajar tasawuf di samping belajar fikih. "Barang siapa bertasawuf tanpa fiqih
maka akan menjadi zindiq, barang siapa berfiqih tanpa tasawuf maka akan menjadi fasiq,
dan barang siapa mengamalkan keduanya maka akan mencapai hakikat. "Ustadz Galih
mengatakan, meski penisbatan ucapan (kutipan) tersebut kepada Imam Malik masih
diperbincangkan, namun maknanya memang benar adanya. Ketika orang bertasawuf namun
tidak mempunyai pengetahuan tentang fiqih akan menjadi zindiq, ia akan seenaknya
meninggalkan sholat karena merasa sudah dekat dengan Allah. Begitu juga orang yang tahu
fiqih namun tidak bertasawuf. Orang itu akan bermudah-mudahan dalam menjalankan
syariat, sholat asal-asalan yang penting sah."Intinya Islam, iman dan ihsan adalah satu
kesatuan yang dinamakan agama Islam, semuanya berjalan bersama beriringan, barang
siapa memisahkannya maka telah berkurang sebagian dari agama," jelasnya.

BAB II

ISLAM DAN SAINS

6
Hubungan antara islam dan sains dapat diketahui melalui banyak sudut pandang.
Keduanya ini mempunyai pengaruh pada manusia, diantaranya: Islam dan sains sama sama
memberikan kekuatan, Sains memberi manusia peralatan dan mempercepat laju kemajuan,
Islam menetapkan maksud tujuan upaya manusia dan sekaligus mengarahkan upaya
tersebut. Sains membawa revolusi lahiriah( material), islam membawa revolusi
batiniah(Spiritual). Sains memperindah akal dan pikiran, islm memperindah jiwa dan
persaan. Sains melindungi manusia dari penyakit, banjir, badai, dan bencana alam lain,
islam melindung manusia dari keresahan, kegelisahan, dan rasa tidak nyaman. Sains
mengharmoniskan dunia dengan manusia, dan islam menyelaraskan dengan dirinya.

Pengertian Islam dan Sains

Kata islam memiliki konseptual yang luas, sehingga ia dipilih menjadi nama
agama(din) yang baru diwahyukan Allah SWT melalui Nabi Muhammad, kata islam secara
umum mempunyai dua kelompok kata dasar yaitu selamat, bebas, terhindar, terlepas dari,
sembuh, meninggalkan. Bisa juga berarti: tunduk, patuh, pasrah menerima. Kedua
kelompok ini saling berkaitan dan tidak dapat terpisah satu sama lain.

Adapun kata islam secara terminology dalam Ensiklopedi Agama dan Filsafat
dijelaskan bahwa islam adalah agama yang diperintahkan-Nya kepada Nabi Muhammad
untuk mengajarkan tentang pokok-pokok ajaran islam kepada seluruh manusia dan
mengajak mereka untuk memeluknya. Harun Nasution menerangkan bahwa islam adalah
agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan kepada seluruh masyarakat melalui Nabi
Muhammad SAW sebagi Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang
bukan hanya mengenai satu segi tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sumber dari ajaran-ajaran yang mengandung berbagai aspek itu adalah Al-Qur’an dan
Hadis.

Kata sains dalam Webste’s New Word Dictionary berasal dari bahasa latin yakni
scire, yang artinya mengetahui. Jadi secara bahasa sains adalah keadaan atau fakta
mengetahui. Sains juga sering digunakan dengan arti pengetahuan scientia. Ada beberapa

7
pendapat tentang definisi sains menurut istilah, namun secara umum dapat diartikan sebagai
keutamaan dalam mencari kebenaran Secara istilah sains berarti mempelajari berbagai
aspek dari alam semesta yang yang terorganisir, sistematik, dan melalui berbagai metode
saintifik yang terbarukan. Ruang lingkup sains terbatas pada beberapa yang dapat
dipahami oleh indera (penglihatan, sentuhan, pendengaran, rabaan, dan pengecapan) atau
dapat dikatakan bahwa sains itu pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan
pembuktian. Di dalam the New Colombia EncyclopediaI sains diartikan sebagai satu
kumpulan ilmu yang sistematis mengenai metapisik yang bernyawa dan yang tidak
bernyawa, termasuk sikap dan kaedah-kaedah yang digunakan untuk mendapatkan ilmu
tersebut. Oleh sebab itu sains adalah merupakan sejenis aktivitas dan juga hasil dari
aktivitas tersebut. Tidak jauh berbeda apa yang dikatakan oleh R.H.Bube, menurutnya sains
adalah pengetahuan yang berkaiatan dengan alam semula jadi yang diperoleh melalui
interaksi akal dengan alam. Berdasarkan defenisi diatas dapat ditegaskan bahwa sains
adalah suatu proses yang terbentuk dari interaksi akal dan panca indera manusia dengan
alam sekitarnya. Dengan arti kata, objek utama kajian sains adalah alam empiric termasuk
juga manusia. Sedangan objek sains yang utama adalah mencari kebenaran.

Asal Pengetahuan

Ada sebuah pertanyaan tentang pengetahuan manusia, apakah dalam diri manusia
terdapat sejumlah pengetahuan yang bersifat fitri? Ada tiga teori untuk menjawabnya. Toeri
pertama, dalam diri setiap manusia terdapat banyak konsep dan banyak pula hal-hal yang
diperoleh melalui usaha, seperti yang diteangkan Allah SWT dalam Q.S An-Nahl:78,”Dan
Allah SWT mengeluarkan kaamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengatahui
sesuatupun, dan Dia memberi kammu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu
bersyukur.” Secara lahiriah ayat tersebut menerangkan bahwa “Sesungguhnya ketika kamu
dilahirkan, kammu belum mengetahui sesuatu apapun.” Artinya lembaran hati manusia
masih dalam keadaan putih bersih, maka manusia diberi penglihatan, pendengaran, dan hati
agar manusia dapat menuliskan berbagai hal dalam lembaran hatinya. Teori kedua,
sesungguhnya manusia ketika dilahirkan sudah mengetahui segala sesuatu tanpa
terlewatkan. Sebagai penjelasan, roh manusia sebelum ditempatkan di baada, ia berada di

8
alam lain, yakni alam ide. Ide adalah hakikat dari segala sesuatu yang ada dia alam semesta
dan roh telah mengetahuinya. Ketika roh itu dimasukkan ke dalam badan maka muncullah
penghalang yang memisahkan roh dari pengetahuan-pengetahuan ide tersebut. Rupanya
teori kedua ini terpengaruh dari teori plato tentang ide, ia mencontohkan seorang bayi
dilahirkan telah mengetahui segala sesuatu, adapun kemudian adanya proses pembelajaran
adalah untuk mengingatkan sesuatu yang terlupakan. Teori ketiga, manusia mengetahui
sesuatu melalui fitrahnya. Sehingga pengetahuan yang diperoleh melalui cara ini sangat
sedikit, prinsip berfikir itu bersifat fitrah. Dalam prinsip berfikir ini manusia membutuhkan
guru untuk membuat bangunan intelektualitas manusia agar sedemikian rupa. Sehingga
cukup dengan menyodorkan beberapa hal saja sudah cukup baginya untuk mengetahui
tanpa harus ada dalil dan bukti. Teori ketiga inilah yang umumnya dipakai oleh para filsuf
muslim.

Peran Sains dalam Membangun Generasi Islam

Sains selalu dikaitkan dengan ilmu umum atau ilmu yang mempelajari hal-hal
keduniawian saja. Sebagian umat islam menganggap bahwa sains tidak ada hubungannya
dengan islam atau dalam arti lain islam tidak membutuhkan sains. Jika anggapan
masyarakat islam tentang hal tersebut masih ada maka islam berada pada zona bahaya,
karena sebenarnya islam membutuhkan sains. Islam dan sains bukanlah dua kubu yang
saling bertentangan, melainkan dua kubu yang sangat padu. Jika kita menilik lebih dalam,
al-qur’an banyak menyajikan ayat tentang sains. Ayat-ayat al-qur’an tentang sains berkisar
antara 750 sampai 1000 ayat. Bahkan, wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi
Muhammad SAW., yaitu perintah untuk membaca. Dalam al-qur’an telah dijelaskan bahwa
memperhatikan alam semesta yang berarti juga mempelajari ilmu sains ialah bagian dari
membaca ayat Allah SWT. Sedang, hasil penelitian yang dilakukan para ilmuwan tentang
alam semesta tidaklah bertentangan dengan al-qur’an yang diturunkan sejak 1400 tahun
lalu. Jika ilmu sains dan teknologi hanya dikuasai oleh orang-orang non muslim, maka
umat islam akan dianggap semakin lemah dan rendah dalam bidang ilmu pengetahuan.
Maka dari itu, islam membutuhkan generasi penerus umat yang mencintai dan paham
kandungan al-qur’an serta tidak buta ilmu pengetahuan khususnya ilmu sains. Islam akan

9
lebih mengepakkan sayapnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga
terbentuklah generasi islam yang IMTAQ dan IPTEK yaitu generasi islam yang beriman
dan bertakwa serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi

BAB III

ISLAM DAN PENEGAKAN HUKUM

10
Seorang hakim dalam islam memiliki kewenangan yang luas dalam melaksanakan
hukum dan bebas dari pengaruh siapapun. Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan dan
persamaan terhadap siapapun. Rasulullah SAW berpesan secara khusus kepada penegak
hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar.

Pertama, memutuskan perkara secara adil. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang
menjadi hakim lalu menghukumi dengan adil, niscaya ia akan dijauhkan dari keburukan."
(HR Tirmidzi).

Kedua, tipologi hakim. Rasulullah SAW bersabda, "Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan
satu di surga. Seseorang yang menghukumi secara tidak benar, padahal ia mengetahui mana
yang benar maka ia masuk neraka. Seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-
hak manusia maka ia masuk neraka. Dan, seorang hakim yang menghukumi dengan benar
maka ia masuk surga." (HR Tirmidzi).

Ketiga, tidak meminta jabatan hakim. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa mengharap
menjadi seorang hakim maka (tugas dan tanggung jawab) akan dibebankan kepada dirinya.
Dan barang siapa tidak menginginkannya maka Allah akan menurunkan malaikat untuk
menolong dan membimbingnya dalam kebenaran." (HR Tirmidzi).

Keempat, jangan silau menjadi hakim. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang
diberi jabatan hakim atau diberi kewenangan untuk memutuskan suatu hukum di antara
manusia, sungguh ia telah dibunuh tanpa menggunakan pisau." (HR Tirmidzi).

Putusan seorang hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum dengan tidak
memandang kepada siapa hukum itu diputuskan. Sikap ini didasrkan pada firman Allah
SWT dalam surah Al-Maidah ayat 8:

ۖ ‫وا ه َُو أَ ْق َربُ لِلتَّ ْق َو ٰى‬ ۟ ُ‫وا ۚ ٱ ْع ِدل‬ ۟ ُ‫انُ قَوْ ٍم َعلَ ٰ ٓى أَاَّل تَ ْع ِدل‬nَٔ‫وا قَ ٰ َّو ِمينَ هَّلِل ِ ُشهَدَٓا َء ب ْٱلقِ ْس ِط ۖ َواَل يَجْ رمنَّ ُك ْم َشنَٔـ‬ ۟ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
۟ ُ‫وا ُكون‬
َ َِ ِ َ
۟ ُ‫َوٱتَّق‬
َ‫وا ٱهَّلل َ ۚ إِ َّن ٱهَّلل َ خَ بِي ۢ ٌر بِ َما تَ ْع َملُون‬

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali

11
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap adil itu tidak akan memihak
kepada siapapun kecuali kepada kebenaran. Disisi lain Allah SWT menegaskan dalam surat
An-Nisa ayat 135:

‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكونُوا قَوَّا ِمينَ بِ ْالقِ ْس ِط ُشهَدَا َء هَّلِل ِ َولَوْ َعلَ ٰى أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ِو ْال َوالِ َد ْي ِن َواأْل َ ْق َربِينَ ۚ إِ ْن يَ ُك ْن َغنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاهَّلل ُ أَوْ لَ ٰى‬
‫ْرضُوا فَإ ِ َّن هَّللا َ َكانَ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِيرًا‬ ِ ‫بِ ِه َما ۖ فَاَل تَتَّبِعُوا ْالهَ َو ٰى أَ ْن تَ ْع ِدلُوا ۚ َوإِ ْن ت َْل ُووا أَوْ تُع‬

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika
kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Dari ayat diatas dapat ditarik tiga hukum, pertama, menegakkan hukum adalah kewajiban
bagi semua orang. Kedua, setiap orang apabila menjadi saksi hendaklah berlaku jujur dan
adil. Ketiga, manusia dilarang mengikuti hawa nafsu serta dilarang menyeleweng dari
kebenaran. Keadilan dalam islam adalah kebenaran, kebenaran merupakan salah satu nama
Allah. Dia adalah sumber kebenaran yang dalam Al-Qur’an disebut al-haq.

Para penegak hukum yang menjalankan yang menjalankan ilmu hukum harus
amanah. Maksudnya adalah bahwa tugas yang diemban merupakan tanggung jawab dari
Allah SWT yang harus dipertanggung jawabkan diakhirat kelak. Tuntunan Allah dalam
menegakkan keadilan (dalam pandangan islam), antara lain terlihat dalam Al-Qur’an surat
An-nisa ayat 58, surat Al-Maidah ayat 8, surat Asy-syura ayat 15: pelakuan adil wajib
ditegakkan terhadap siapa saja, kendati terhadap orang yang tidak seagama, surat Al-
Maidah ayat 42: Dan jika kamu memutuskan perkara mereka (orang yahudi) di antara
mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”.

12
Dengan melihat ayat-ayat diatas maka dapat disimpulkan bahwa hakikat ilmu hukum
yang beketuhanan (islam) adalah ilmu hukum yang menerapkan prinsip-prinsip keadilan
yang bearti tidak ada yang merasa dirugikan, objektif yaitu tidak memihak kepada siapapun
sekalipun pada kerabtnya sendiri, impartial berarti tidak juga memihak pada kelompoknya,
sukunya, rasnya, dan lain sebagainya. Dan didalam keadilan juga termasuk unsur
kebenaran, kejujuran, kearifan, dan bijaksana.

Prinsip keadilan dalam menegakkan hukum yang dilakukan oleh Rasulullah


sematamata menjalankan keadilan Ilahi. Rasulullah sebagai hakim pada saat itu hanya
mengemban hukum Allah sehingga setiap keputusannya selalu berpegang kepada hukum
Allah yaitu alQur’an. Sedang al-Qur’an sendiri memberi petunjuk bahwa kita disuruh
berlaku adil, baik untuk diri sendiri maupun keluarga dan jangan mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Disini Nabi bersikap sebagai seorang penguasa
atau eksekutif sekaligus yudikatif. Namun bila dihadpkan dengan tugasnya sebagai
yudikatif, maka kekuasaan eksekutif tidak akan mempengaruhi setiap keputusannya.
Apabla prinsip keadilan dihubungkan dengan hukum, maka harus ada investigasi
kekuasaan yang dapat mengantarkan kea rah tegaknya hukum. Ada bebrapa tugas pokok
bagi penyelenggara negara dalam rangka menegakkan supermasi hukum.

Pertama, kewajiban menerapkan kekuasaan negara dengan adul, jujur, dan bijaksana.
Seluruh rakyat tanpa terkecuali, harus dapat merasakan nikmat keadilan yang timbul dari
kekuasaan negara. Misalnya, implementasi kekuasaan negara dalam bidang politikndan
pemerintahan. Semua rakyat harus dapat merasakan hak-haknya secara adil tanpa adanya
diskriminasi.
Kedua, Kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya. Hukum harus
ditegakkan sebagimana mestinya, hukum berlaku bagi siapa saja tanpa memandang
kedudukannya.

Ketiga, kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan suatu tujuan masyarakat yang
adil dan kesejahteraan social.

13
Prinsip keadilan dalam islam mengandung konsep yang bernilai tinggi. Ia tidak
identic dengan keadilan yang diciptakan manusia. Keadilan manusia dengan doktrin
humanismenya telah mengasingkan nilai-nilai trasendental dan telah mengagungkan
manusia sebagai individu, sehingga manusia mennjadi titik sentral. Sebaliknya konsep
keadilan dalam islam menempatkan manusia dalam kedudukannya yang wajar, baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Manusia bukan titik sentral mutlak
melainkan “hamba Allah” yang nilainya ditentukan oleh hablu min Allah wa habl min an-
nas. Dalam dkotrin islam hanya Allah yang menempati posisi sentral. Karena itu keadilan
dalam humanisme islam selalu bersifat tesentrik. Arinya bertumpu dan berpusat pada
kekuasaan Allah semata. Dengan demikian keadilan islam memiliki kelebihan yang tidak
dijumpai dalam konsep-konsep keadilan menurt versi manusia.

Dalam peradilan Islam, satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa seorang hakim harus

menghindari suatu bentuk hukuman sebelum adanya bukti kesalahan yang jelas. Artinya
hakim menghindari hukuman pokok karena adanya unsur subhat. Demikian juga dianut
doktrin bahwa seorang hakim lebih baik salah dalam memaafkan dari pada salah
menjatuhkan putusan. Prinsip ini perlu ditegakkan oleh para hakim dalam rangka
membangun supremasi hukum.

BAB IV

KEWAJIBAN MENEGAKKAN AMAR MAKRUF NAHI MUNKAR

14
Amar makruf nahi mungkar (bahasa Arab: ‫األمر بالمعروف والنهي عن المنكر‬, al-amr bi-l-
maʿrūf wa-n-nahy ʿani-l-munkar) adalah sebuah frasa dalam bahasa Arab yang berisi
perintah menegakkan yang benar dan melarang yang salah. Dalam ilmu fikih klasik,
perintah ini dianggap wajib bagi kaum Muslim. Dalil amar ma'ruf nahi munkar adalah pada
surah Luqman, yang berbunyi sebagai berikut:

“Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan laranglah
mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”
(Luqman 17)

Amar ma'ruf nahi munkar dilakukan sesuai kemampuan, yaitu dengan tangan (kekuasaan)
jika dia adalah penguasa/punya jabatan, dengan lisan atau minimal membencinya dalam
hati atas kemungkaran yang ada, dikatakan bahwa ini adalah selemah-lemahnya iman
seorang mukmin.

Tahapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Selain itu, beberapa tahapan atau prosedur harus dilakukan dalam realisasi
pelaksanaan amar ma’ruf. Tidak semudah kita menaiki tangga, akan tetapi harus melalui
tahapan yang paling ringan, baru kemudian melangkah pada hal yang agak berat. Baginda
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

ِ ‫ك أَضْ َعفُ اإْل ِ ْي َم‬


‫ان‬ َ ِ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِّد ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه َو َم ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬

“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia menghilangkannya


dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang yang tidak mampu
_dengan lisannya_, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini adalah lemah-lemahnya
iman.” (HR. Muslim)

Maksud dari hadits ini bukanlah seperti yang banyak disalahpahami oleh orang-orang yang
beranggapan bahwa kalau mampu menghilangkan dengan tangan maka harus langsung
dengan tangan. Anggapan seperti ini salah besar dan bertentangan dengan nilai rahmat
(belas kasih) di dalam Islam. Akan tetapi pemahaman yang benar dari hadits di atas adalah,

15
seseorang yang melihat kemunkaran dan ia mampu menghilangkan dengan tangan, maka ia
tidak boleh berhenti dengan lisan jika kemungkaran tidak berhenti dengan lisan, dan orang
yang mampu dengan lisan, maka ia tidak boleh berhenti hanya dengan hati. Imam
Muhyiddin an-Nawawi berkata di dalam kitab Raudlatut Thâlibîn:

‫ وال تكفي كراهة القلب لمن قدر على النهي باللسان‬،‫وال يكفي الوعظ لمن أمكنه إزالته باليد‬

“Tidak cukup memberi nasihat bagi orang yang mampu menghilangkan kemunkaran
dengan tangan. Dan tidak cukup ingkar di dalam hati bagi orang yang mampu mencegah
kemunkaran dengan lisan.” (Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn,
Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan kelima, jilid V, halamann 123).

Dalam proses amar ma’ruf nahi munkar, tetap harus mendahulukan tindakan yang paling
ringan sebelum bertindak yang lebih berat. Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani berkata di
dalam kitabnya, Hasyiyah asy-Syarwani:

‫ فإذا حصل التغيير بالكالم اللين فليس له التكلم بالكالم‬.‫والواجب على اآلمر والناهي أن يأمر وينهى باألخف ثم األخف‬
‫الخشن وهكذا كما قاله العلماء‬

“Wajib bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar untuk bertindak yang paling
ringan dulu kemudian yang agak berat. Sehingga, ketika kemungkaran sudah bisa hilang
dengan ucapan yang halus, maka tidak boleh dengan ucapan yang kasar. Dan begitu
seterusnya).” (Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani, Hasyiyah asy-Syarwani ala Tuhfahtil
Muhtaj, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 cetakan keempat, jilid 7, halaman 217)
Dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, seseorang harus lebih arif dan bijak karena
terkadang dalam menghasilkan tujuan amar ma’ruf nahi mungkar, seseorang harus
menghilangkannya sedikit demi sedikit, tidak memaksakan harus hilang seluruhnya dalam
waktu seketika itu. Sayyid Abdullah ibn Husain ibn Tohir berkata:

‫ينبغي لمن أمر بمعروف أو نهى عن منكر أن يكون برفق وشفقة على الخلق يأخذهم بالتدريج فإذا رآهم تاركين ألشياء‬
‫من الواجبات فليأمرهم باألهم ثم األهم فإذا فعلوا ما أمرهم به انتقل إلى غيره وأمرهم وخوفهم برفق وشفقة مع عدم النظر‬

16
‫ عنها كلها‬n‫منه لمدحهم وذمهم وعطاءهم ومنعهم وإال وقعت المداهنة وكذا إذا ارتكبوا منهيات كثيرة ولم ينتهوا بنهيه‬
‫فليكلمهم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في غيرها وهكذا‬.

“Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus bersikap lembut dan belas
kasih kepada manusia, ia harus bertindak pada mereka dengan bertahap. Ketika ia melihat
mereka meninggalkan beberapa kewajiban, maka hendaknya ia memerintahkan pada
mereka dengan perkara wajib yang paling penting kemudian perkara yang agak penting.
Kemudian ketika mereka telah melaksanakan apa yang ia perintahkan, maka ia berpindah
pada perkara wajib lainnya. Hendaknya ia memerintahkan pada mereka dan menakut-
nakuti mereka dengan lembut dan belas kasih... begitu juga ketika mereka melakukan
larangan-larangan agama yang banyak dan mereka tidak bisa meninggalkan semuanya,
maka hendaknya ia berbicara kepada mereka di dalam sebagiannya saja hingga mereka
menghentikannya kemudian baru berbicara sebagian yang lain, begitu seterusnya.”

Hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim yang memiliki
kemampuan. Artinya, jika ada sebagian yang melakukannya, yang lainnya terwakili.
Dengan kata lain, hukumnya fardhu kifayah. Namun, boleh jadi, hukumnya menjadi fardhu
‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak ada lagi yang menegakkannya. Al-Imam an-Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Amar ma’ruf nahi mungkar menjadi wajib ‘ain bagi seseorang,
terutama jika ia berada di suatu tempat yang tidak ada seorang pun yang mengenal (ma’ruf
dan mungkar) selain dirinya; atau jika tidak ada yang dapat mencegah yang (mungkar)
selain dirinya. Misalnya, saat melihat anak, istri, atau pembantunya, melakukan
kemungkaran atau mengabaikan kebaikan.” (Syarh Shahih Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Amar ma’ruf nahi mungkar adalah
fardhu kifayah. Namun, terkadang menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak
ada pihak lain yang menjalankannya.”

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah mengemukakan hal yang
sama, “Ketika para da’i sedikit jumlahnya, kemungkaran begitu banyak, dan kebodohan

17
mendominasi, seperti keadaan kita pada hari ini, maka dakwah (mengajak kepada kebaikan
dan menjauhkan umat dari kejelekan) menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang sesuai dengan
kemampuannya.” Dengan kata lain, kewajibannya terletak pada kemampuan. Dengan
demikian, setiap orang wajib menegakkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta taatlah
dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga dirinya dari
kekikiran, mereka itulah orang yang beruntung.” (at-Taghabun: 16)

Kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan adalah tiga hal yang terkait erat dengan proses
amar ma’ruf nahi mungkar. Yang memiliki kekuasaan tentu saja lebih mampu dibanding
yang lain sehingga kewajiban mereka tidak sama dengan yang selainnya. Al-Qur’an telah
menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak wajib bagi tiap-tiap individu (wajib
‘ain), namun secara hukum menjadi fardhu kifayah. Inilah pendapat yang dipegangi
mayoritas para ulama, seperti al-Imam al-Qurthubi, Abu Bakar al-Jashash, Ibnul Arabi al-
Maliki, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain rahimahumullah. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ك أَضْ َعفُ اإْل ِ ي‬


َ ِ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬

“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan tangannya.
Jika belum mampu, cegahlah dengan lisannya. Jika belum mampu, dengan hatinya, dan
pencegahan dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 70 dan lain-
lain)

Syarat dan Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar

18
Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kita agar kita beribadah dan menjalankan
ketaatan kepada-Nya sebaik mungkin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“(Dialah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)

Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Karena itu, harus
dilakukan dengan benar dan penuh keikhlasan agar menjadi amalan saleh yang diterima.
Al-Imam Fudhail Ibnu Iyadh rahimahullah mengemukakan bahwa suatu amalan meskipun
benar tidak akan diterima jika tidak ada keikhlasan, begitu pun sebaliknya. Keikhlasan
berarti semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan kebenaran berarti harus
berada di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Para penegak amar ma’ruf
nahi mungkar hendaknya memerhatikan dan memenuhi beberapa syarat berikut.

Syarat pertama: Ilmu dan pemahaman sebelum memerintah dan melarang.

Apabila tidak ada ilmu, dapat dipastikan yang ada adalah kebodohan dan kecenderungan
mengikuti hawa nafsu. Padahal siapa saja yang beribadah kepada Allah subhanahu wa
ta’ala tanpa ilmu, maka kerusakan yang diakibatkannya jauh lebih dominan daripada
kebaikan yang diharapkan. Dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar, ilmu yang
harus dimiliki meliputi tiga hal, antara lain: Mengetahui yang ma’ruf dan yang mungkar
serta dapat membedakan antara keduanya; Mengetahui dan memahami keadaan objek yang
menjadi sasarannya; serta mengetahui dan menguasai metode atau langkah yang tepat dan
terbaik sesuai dengan petunjuk jalan yang lurus (ketentuan syariat). Tujuan utamanya
adalah supaya tercapai maksud yang diinginkan dari proses amar ma’ruf nahi mungkar dan
tidak menimbulkan kemungkaran yang lain.

Syarat kedua: Lemah lembut dalam beramar ma’ruf dan bernahi mungkar.

Penyambutan yang baik, penerimaan, dan kepatuhan adalah harapan yang tidak mustahil
apabila proses amar ma’ruf nahi mungkar selalu dihiasi oleh kelembutan.Bukankah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan dalam sabdanya:

19
ِ ‫ْطي َعلَى ْال ُع ْن‬
ُ‫ف َو َما اَل يُ ْع ِطي َعلَى َما ِس َواه‬ ِ ‫ق َويُ ْع ِطي َعلَى الرِّ ْف‬
ِ ‫ق َما اَل يُع‬ َ ‫ق يُ ِحبُّ ال ِّر ْف‬
ٌ ‫إِ َّن هللاَ َرفِي‬

“Sesungguhnya Allah Mahalembut dan menyukai sikap lemah lembut dalam tiap urusan.
Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kepada sikap lemah lembut sesuatu yang tidak
akan diberikan kepada sikap kaku atau kasar dan Allah subhanahu wa ta’ala akan
memberikan apa-apa yang tidak diberikan kepada selainnya.” (HR. Muslim “Fadhlu ar-
Rifq” no. 4697, Abu Dawud “Fi ar-Rifq” no. 4173, Ahmad no. 614, 663, 674, dan 688, dan
ad-Darimi “Bab Fi ar-Rifq” no. 2673). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

‫ك أَضْ َعفُ اإْل ِ ي‬


َ ِ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬

“Tidaklah sikap lemah lembut itu ada dalam sesuatu, melainkan akan menghiasinya, dan
tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut dari sesuatu, melainkan akan menghinakannya.”
(HR. Muslim no. 4698, Abu Dawud no. 2119, dan Ahmad no. 23171, 23664, 23791)

Al-Imam Sufyan ibnu Uyainah rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh beramar ma’ruf
dan bernahi mungkar selain orang yang memiliki tiga sifat: lemah lembut, bersikap adil
(proporsional), dan berilmu yang baik.” Termasuk sikap lemah lembut apabila senantiasa
memerhatikan kehormatan dan perasaan manusia. Oleh karena itu, dalam beramar ma’ruf
nahi mungkar hendaknya mengedepankan kelembutan dan tidak menyebarluaskan aib atau
kejelekan. Kecuali, mereka yang cenderung senang dan bangga untuk menampakkan
aibnya sendiri dengan melakukan kemungkaran dan kemaksiatan secara terang-terangan.
Sebab itu, tidak mengapa untuk mencegahnya dengan cara terang-terangan atau sembunyi-
sembunyi. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Siapa yang menasihati saudaranya
dengan sembunyi-sembunyi, sungguh ia benar-benar telah menasihatinya dan
menghiasinya. Siapa yang menasihati saudaranya dengan terang-terangan (di depan
khalayak umum), sungguh ia telah mencemarkannya dan menghinakannya.” (Syarh Shahih
Muslim)

Syarat ketiga: Tenang dan sabar menghadapi kemungkinan adanya gangguan setelah
beramar ma’ruf nahi mungkar.

20
Gangguan seolah-olah menjadi suatu kemestian bagi para penegak amar ma’ruf nahi
mungkar. Oleh karena itu, jika tidak memiliki ketenangan dan kesabaran, tentu kerusakan
yang ditimbulkannya jauh lebih besar daripada kebaikan yang diinginkan. Al-Imam ar-Razi
rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar itu akan
mendapat gangguan, maka urusannya adalah bersabar. Al-Imam Ibnu Taimiyah
rahimahullah juga mengemukakan bahwa para rasul adalah pemimpin bagi para penegak
amar ma’ruf nahi mungkar. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintah mereka semua
agar bersabar, seperti firman-Nya: “Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana
kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar
azab disegerakan untuk mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, merasa
seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari. Tugasmu hanya
menyampaikan. Maka tidak ada yang dibinasakan, selain kaum yang fasik (tidak taat
kepada Allah subhanahu wa ta’ala).” (al-Ahqaf: 35)
“Dan karena Rabbmu, bersabarlah!” (al-Mudatstsir: 7)
“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Rabbmu, karena sesungguhnya
engkau berada dalam pengawasan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu ketika
engkau bangun.” (at-Thur: 48)
Allah subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan wasiat Luqman kepada putranya dalam
firman-Nya:
“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan
cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu,
sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Luqman: 17)
Seseorang yang beramar ma’ruf nahi mungkar berarti telah memosisikan dirinya sebagai
penyampai kebenaran. Padahal tidak setiap orang ridha dan suka dengan kebenaran. Oleh
karena itu, ia pasti akan mendapat gangguan, dan itu menjadi cobaan serta ujian baginya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami
telah beriman’, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang

21
sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti
mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-‘Ankabut: 2—3)

BAB V

22
FITNAH AKHIR ZAMAN

Hidup manusia saat ini telah berada di akhir zaman , dan sudah dekat dengan
waktu hari kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam
sejumlah hadisnya tentang dekatnya dengan hari kiamat ini. Walaupun, kapan akan hari
kiamat, seberapa lama lagi hari kiamat, itu adalah ilmu yang dirahasiakan di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi Baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah
mengisyaratkan tentang dekatnya hari kiamat. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah
hadist:

‫ َوي ُِشي ُر بِإِصْ بَ َع ْي ِه فَيَ ُم ُّد هُ َما‬،‫ت أَنَا َوالسَّا َعةُ َكهَاتَي ِْن‬
ُ ‫بُ ِع ْث‬.
“Jarak diutusnya aku dan hari kiamat seperti dua (jari) ini.” Beliau memberikan isyarat
dengan kedua jarinya (jari telunjuk dan jari tengah), lalu merenggangkannya. (HR.
Bukhari).

Rasulullah pun telah mengisyaratkan tentang keadaan di akhir zaman dalam sabdanya,
“Bagaimana sikap kalian apabila fitnah telah mengelilingi kalian?”

Fitnah telah berada di sekitar kita dan kita telah diliputi oleh fitnah, kita telah dihadapkan
kepada fitnah dari depan, dari belakang, dari kanan, dari kiri, dari berbagai unsur
kehidupan, fitnah berada di tengah-tengah. Dan fitnah itupun berkepanjangan, lama,
berkesinambungan dan semakin dahsyat dari satu waktu ke waktu yang lainnya. Sampai
disebutkan di dalam hadis:

‫ص ِغي ُر َو يَ ْه َر ُم فِيهَا ْال َكبِي ُر‬


َّ ‫يَرْ بُو فِيهَا ال‬

“Anak-anak kecil menjadi dewasa dan orang yang tua menjadi pikun.”

“Yaitu apabila kebanyakan dari umat ini telah meninggalkan sunnah.”


Lalu para sahabat bertanya: “Kapan akan terjadi hal itu Wahai Abu Abdurrahman?” Maka
beliau menjawab: “Apabila telah pergi para ulamanya.” Artinya banyak yang meninggal
dunia dari kalangan ulama, banyak orang-orang yang wafat dari kalangan para ulama.

23
“Dan semakin banyak orang-orang yang bodohnya. Semakin banyak ahli qira’ah, tapi
semakin sedikit yang faqih kepada makna-makna ayat Al-Qur’an.” Semakin sedikit orang
yang faham kepada isi dari Al-Qur’an.
Kemudian beliau mengatakan: “Apabila semakin banyak pemimpin kalian tetapi semakin
sedikit orang yang amanah,” orang yang adil, orang yang menegakkan hukum Allah.
Berkuasa, memiliki jabatan, memiliki tahta, tetapi berada dalam kondisi dzalim, tidak
menegakkan syariat Allah. Semakin sedikit yang amanah.

Kemudian beliau mengatakan: “Dan apabila telah dicari dunia dengan ibadah (amal
shalih),” artinya orang-orang beramal shalih tapi tujuannya dunia, tidak berkaitan dengan
surga, tidak berkaitan dengan kehidupan setelah kematian. Yang diharapkan ketika
melakukan amal saleh adalah untuk kehidupan dunia.

“Dan apabila semakin banyak orang-orang yang tafaqquh tentang urusan dunia (tapi tidak
tafaqquh tentang urusan agama),” artinya semakin sedikit orang yang belajar tentang agama
Allah, belajar tentang tauhid, belajar tentang aqidah, belajar tentang iman, belajar tentang
Islam, belajar tentang halal dan haram semakin sedikit. Dan sibuknya sebagian besar di
antara kita adalah dengan dunia ini.

Ustaz Rahmat mengatakan, pada akhir zaman ini kehidupan sudah tidak bisa dikontrol lagi.
Banyak hal-hal buruk bercampur ke dalam kehidupan seperti pergaulan bebas, narkoba,
bahkan aliran sesat juga banyak muncul.

"Beruntunglah kita menjadi umat akhir zaman. Mengapa demikian? Ada beberapa sebab
mengapa kita beruntung dan mesti bersyukur dijadikan sebagai umat akhir zaman. Salah
satunya adalah dengan menjadi umat akhir zaman berarti kita semua adalah umatnya
Baginda Nabi Muhammad SAW ," kata Beliau.

Keutamaan sebagai Umat Akhir Zaman:

1. Amal ibadah yang dilakukan, pahalanya dilipatgandakan 10 kali lipat.

24
2. 2/3 surga dihuni oleh umat Nabi Muhammad SAW.

3. Di Surga ada 120 shaff, 80 shaff milik umat Nabi Muhammad SAW. Rasio penduduk
neraka dan surga 1000:1. Urutan Surga dari yang paling atas ke bawah yaitu, Firdaus, 'Adn,
Naim, Makwa, Darussalam, Darul Maqamah dan Baitul Mal

Cara Allah Ta'ala Menghapuskan Dosa-dosa kita:

1. Adanya Huru-hara.

2. Adanya Gempa Bumi.

3. Dengan dibunuh, dibantai dan disiksa.

Rasulullah SAW bersabda: "Bersegeralah Beramal sebelum munculnya fitnah yang datang
bagaikan potongan-potongan malam yang gelap. Seseorang dipagi harinya beriman dan di
sorenya telah menjadi kafir, atau sorenya masih beriman dan pagi harinya telah menjadi
kafir, menjual agamanya dengan gemerlap dunia." (HR Muslim).

Fitnah dalam bahasa Arab bisa berarti ujian keimanan, fitnah atau huru hara atau menuduh
tanpa bukti. Allah Ta'ala berfirman: "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan
dibiarkan hanya dengan mengatakan, 'Kami telah Beriman' dan mereka tidak diuji?' (QS
Al-Ankabut: 2)

Salah satu fenomena akhir zaman, orang yang berkata jujur didustakan, para pendusta
dibenarkan. Para pengkhianat suatu kaum, suatu bangsa menjadi pemimpin suatu bangsa.
Rasulullah SAW bersabda: "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan
penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan.
Pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat.
Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud
Ruwaibidhah?". Beliau menjawab, 'Orang bodoh yang turut campur dalam urusan
masyarakat luas. (HR. Ibnu Majah)

Menjelang Akhir Zaman maka:

25
1. Ilmu diangkat dari muka bumi.

2. Turun kejahilan di mana-mana.

3. Munculnya suatu kelompok yang merasa paling baik.

4. Umat akhir zaman akan hancur di tangan ulama-ulama yang menjual agama untuk
kepentingannya.

Cara Menjaga Diri dan Keluarga dari Fitnah Akhir Zaman:

1. Bentengi dengan aqidah dan Tauhid yang

Benar. Syaratnya yaitu kembalikan semua hal kepada Alqur'an dan Hadits.

2. Ikhlas kepada Allah Ta'ala dalam semua Amal.

3. Meninggalkan riya dan kemunafikan.

Tidak boleh taqlid, yaitu hanya mengikuti kebiasaan pendahulu tanpa dasar yang benar.
Allah Ta'ala berfirman: "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah (mengikuti) apa
yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul." Mereka menjawab, "Cukuplah bagi kami
apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya)." Apakah (mereka akan
mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?" (QS Al-Maidah : 104)

DAFTAR PUSTAKA

26
Sarono,Agus.2015.”Penegakan Hukum Dalam perspektif Hukum Islam”,
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/vadded/article/view/1779,(16/12/2020)

Pancasilawati,Abnan.2013.’’Penegakan Hukum Dalam Syariat Islam”, https://journal.iain-


samarinda.ac.id/index.php/mazahib/article/view/116,(16/12/2020)

Zulkifli.2018.’’Tuntutan Keadilan Perspektif Hukum Islam” dalam Jurnal Ilmiah Syariah


Vol 17, Nomor 1. Batusangkar: Fakultas Syariah IAIN Batusangkar

Wahyudi,Ari.2008.”Islam, Iman, dan Ihsan”, https://muslim.or.id/425-islam-iman-


ihsan.html

Permana,Fuji dan Nursalikah,Ani.2020.”Islam, Iman, dam Ihsan tak Bisa Dipisahkan”,

https://republika.co.id/berita/qcjm5u366/islam-iman-dan-ihsan-tak-bisa-dipisahkan

AmharFahmi,AnasPutri, dan Ardiansyah.”Peran Sains dan Teknologi dalam Membangun


Peradaban Islam” Vol 1, Nomor 1 (halaman 17-23). Pekanbaru: Jurnal Kajian Peradaban
Islam

Sari,Restiana,Mustika dan Septiadi,Yudi.2017.”Keselarasan Islam dan Sains”,


http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/una/article/download/15193/pdf

Hadi,Nur.2019.”Islam, Iman, dan Ihsan Dalam Kitab Matan Arba’in An-Nawawi: Studi
Materi Pembelajaran Pendidikan Islam Dalam Perspektif Hadist Nabi SAW”dalam Jurnal
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman. Pekanbaru: STAI Al Azhar Pekan
baru Riau.

Syariah,Asy.2012.”Kewajiban Menegakkan Amar Makruf Nahi Munkar”,


https://asysyariah.com/kewajiban-amar-maruf-nahi-mungkar-2/

Fajar,Rahmat.2018.”Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar”,


https://republika.co.id/berita/peojie313/menegakkan-amar-makruf-nahi-mungkar

Widangsih.2020.”Nasehat Menghadapi Ujian dan Fitnah Akhir Zaman”,


https://kalam.sindonews.com/read/253068/72/nasehat-menghadapi-ujian-dan-fitnah-akhir-
zaman-1606864343?showpage=all

27
Irfan,Nurul dan Masyrofah.2013.Fiqh Jinayat.Jakarta:Amazah.

Siregar,Rusman.2019.”Cara Menjaga Diri dan Keluarga dari Fitnah Akhir Zaman”,


https://kalam.sindonews.com/berita/1457803/69/cara-menjaga-diri-dan-keluarga-dari-
fitnah-akhir-zaman

Hasyim,Baso.2013.”Islam dan Ilmu Pengetahuan”,


https://www.neliti.com/id/publications/76085/islam-dan-ilmu-pengetahuan-pengaruh-
temuan-sains-terhadap-perubahan-islam

Ubudiyah.2018.”Memahami Amar Makruf Nahi Munkar Secara Benar”,


https://www.nu.or.id/post/read/84166/memahami-amar-maruf-nahi-munkar-secara-benar

28

Anda mungkin juga menyukai