Anda di halaman 1dari 20

ANALISA JURNAL KEPERAWATAN JIWA

TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM BERPENGARUH TERHADAP


KEMAMPUAN MENGONTROL MARAH KLIEN SKIZOFRENIA.

STASE KEPERAWATAN JIWA

DISUSUN OLEH:
FEGI TAMARAN
P1908087

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS
WIYATA HUSADA SAMARINDA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 ada sekitar 450 juta
orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Setidaknya ada satu dari empat
orang di dunia mengalami masalah kesehatan jiwa yang secara keseluruhan menjadi
masalah serius. Orang yang mengalami gangguan jiwa sepertiganya tinggal di negara
berkembang. Sebanyak 8 dari 10 penderita gangguan mental tidak mendapat perawatan
(Yosep, 2016). Indonesia mengalami peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa cukup
banyak. Prevalensi gangguan jiwa berat pada tahun 2012 dengan usia di atas 15 tahun
mencapai 0,46% dan ini berarti bahwa terdapat lebih dari 1 juta jiwa di Indonesia
menderita gangguan jiwa berat. Berdasarkan data tersebut diketahui 11,6% penduduk
Indonesia mengalami masalah gangguan mental emosional. Pada tahun 2013 jumlah
penderita gangguan jiwa mencapai 1,7 juta orang (Riskesdas, 2019).
Berdasarkan data medical record di RS Ernaldi Bahar kasus gangguan jiwa pada
tahun 2013 berjumlah 5.600 jiwa dan pada tahun 2014 mengalami penurunan menjadi
5.236 jiwa. Setelah dilakukan studi awal terdapat 2.417 jiwa yang mengalami gangguan
jiwa terhitung dari bulan Januari sampai bulan Desember 2015. Gangguan jiwa yang
umum terjadi adalah halusinasi dan skizofrenia. Salah satu gejala positif skizofrenia yaitu
ketidakmampuan dalam mengontrol diri yang selanjutnya akan menimbulkan perilaku kekerasan.
Menurut Yosep, (2010), Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain. Beberapa factor yang dapat menyebabkan perilaku kekerasan di
antaranya, factor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi meliputi teori
biologis (faktor neurologi, faktor genetik, cycardian rhytm, biochemistry factor, brain
area disorder).
Adapun faktor presipitasi secara umum klien dengan gangguan perilaku kekerasan
sering kali berkaitan dengan ekspresi diri, ingin menunjukan ekstensi diri atau simbol
solidaritas, ekpresi dari iak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi,
kesulitan dalam mengkonsumsi sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog
untuk memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan
konflik, adanya riwayat perilaku antisocial meliputi penyalahgunaan obat dari
alcoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saaat menghadapi rasa frustasi,
kematian anggota keluarga yang terpenting. Penatalaksanaan atau penanganan untuk
mengontrol perilaku kekerasan sangat diperlukan dan dapat dilakukan dengan berbagai
cara, yaitu dengan membina hubungan saling percaya, relaksasi nafas dalam, memukul
bantal, mengontrol marah secara verbal, mengontrol marah dengan spiritual dan patuh
minum obat (Keliat dan Akemat, 2014).
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan upaya untuk mengendurkan ketegangan
jiwa. Salah satu cara terapi relaksasi nafas adalah bersifat respiratoris yaitu dengan
mengatur aktivitas bernafas. Latihan relaksasi pernafasan dilakukan dengan mengatur
mekanisme pernafasan baik tempo atau irama dan intensitas yang lebih lambat atau
dalam. Keteraturan dalam bernafas, menyebabkan sikap mental badan yang relaks
sehingga menyebabkan otot lentur dan dapat menerima situasi yang merangsang luapan
emosi tanpa membuatnya kaku. (Wiramihardja, 2007).

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep teori terapi relaksasi napas dalam untuk
diterapkan pada pasien perilaku kekerasan.
2. Tujuan Khusus
Selama berlangsungnya pembelajaran daring stase keperawatan jiwa mahasiswa
diharapkan mampu untuk mengaplikasikan atau mempraktekkan konsep teori asuhan
keperawatan jiwa, baik pada pelayanan kepada pasien dengan masalah kejiwaan
maupun pada asuhan keperawatan jiwa.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. KONSEP DASAR MARAH DAN PERILAKU KEKERASAN


1. Definisi marah dan perilaku kekerasan
Marah merupakan perasaan jengkel seseorang yang timbul karena respon
terhadap kecemasan terhadap kebutuhan yang tidak terpenuhi, emosi yang
sering muncul dalam diri sendiri sering diungkapkan seperti sedih, kecewa,
marah benci, perasaan dendam atau ancaman yang memancing amarah yang
dapat menimbulkan suatu perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyerang
orang lain yang dirasakan atau dianggap sebagai ancaman (Muhith Abdul,
2015).
Menurut Yosep (2010), marah merupakan suatu bentuk komunikasi dalam
proses penyampaian pesan dari individu. Orang yang mengalami kemarahan
sebenarnya ingin menyampaikan pasan bahwa orang tersebut tidak setuju,
tersinggung, merasa tidak dianggap dan merasa diremehkan. Sehingga
seseorang mampu mengetahui bahwa seseorang tersebut sedang marah baik
diungkapkan secara verbal atau kata-kata maupun prilaku yang menunjukan
kemarahannya. Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis seseorang,
sehingga perilaku kekerasan tidak hanya melukai fisik seseorang saja tetapi
juga berdampak pada psikologis (Berkowith, 1993) dalam Nita Fitria, 2012).
Menurut Yosep (2010), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik
kepada diri sendiri maupun orang lain. Sering juga disebut gaduh atau amuk
dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan
motorik yang tidak terkontrol sehingga menimbulkan masalah bagi dirinya
sendiri maupun orang lain. Jadi, Konsep marah dengan perilaku kekerasan
adalah suatu perasaan jengkel seseorang yang timbul karena kebutuhan
seseorang yang tidak terpenuhi yang menimbulkan emosi seseorang muncul
yang diungkapkan seperti sedih, kecewa, marah benci, perasaan dendam yang
memancing amarah sehingga menimbulkan perilaku kekerasan yang
membahayakan fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain, yang tidak
terkontrol sehingga menimbulkan masalah bagi diri sendiri maupun orang
lain.
2. Etiologi
a. Faktor predisposisi
Menurut Yosep (2010) faktor predisposisi klien dengan Perilaku
Kekerasan adalah:
a) Neurologic Faktor: Beragam komponen dari sistem syaraf seperti
sinap, neurotransmitter, dendrit, akson terminalis mempunyai peran
memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang
akan mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam
menstimulasi timulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif.
b) Genetic Faktor: Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua,
menjadi potensi perilaku agresif. Menurut riset Kazuo Murakami
(2007) dalam gen manusia terdapat dormant (potensi) agresif yang
sedang tidur akan bangun jika terstimulasi oleh faktor eksternal.
Menurut penelitian genetik tipe karyotype XYY, pada umumnya
dimilki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang
tersangkut hukum akibat perilaku agresif.
c) Cycardian Rytm: (irama sirkardian tubuh), memegang peranan pada
individu. Menurut penelitian pada jam-jam sibuk seperti menejlang
masuk kerja dan menjelang berakhirnya pekerjaan sekitar jam 9 dan
13. Pada jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap
agresif.
d) Biochemistry Faktor: (Faktor Biokimia tubuh) seperti neurotransmitter
di otak (epineprin, norepineprin, dopamin, asetikolin dan serotonin)
sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem
persyarafan dalam tubuh adanya stimulus dari luar tubuh yang
dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui
implus neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabt
efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta
penurunan serotonin dan GABA pada cairan cerebrospinal vertebra
dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
e) Brain area disorder: Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal,
sindrom otak organik tumor otak, penyakit ensepalitis, epilepsi
ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindakan
kekerasan.

b. Faktor prepitasi
Menurut Yosep (2006), faktor presipitasi terjadinya Perilaku Kekerasan
adalah:
a) Ekspresi diri, ingin menunjukkan ekstensi diri atau simbolis solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian massal dan sebagainya.
b) Ekspresi dari idak terpenuhinya kebutuhn dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c) Kesulitan dalam mengonsumsi sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d) Adanya riwayat perilaku antisocial meliputi penyalahgunaan obat dan
alcoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saaat
menghadapi rasa prustasi.
e) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan keluarga.
3. Tanda dan Gejala
Menurut Yosep (2010) perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi
tanda dan gejala pelaku kekerasan berikut ini:
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot / pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Wajah memerah dan tegang
f. Postur tubuh kaku
g. Pandangan tajam
h. Mengatupkan rahang dengan kuat
i. Mengepalkan tangan
j. Jalan mondar-mandir.

B. KONSEP DASAR PROSES KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahapan awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan
kebutuhan, atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis,
psikologis, sosial, dan spiritual. Data pengkajian kesehatan jiwa dapat
dikelompokkan menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian
terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan koping yang dimiliki klien
(Keliat & Akemat 2009).
Untuk dapat menjaring data yang diperlukan umunya, dikembangkan formulir
pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar memudahkan dalam
pengkajian. Isi pengkajian meliputi:
1. Identitas klien
2. Keluhan utama atau alasan masuk
3. Faktor predisposisi
4. Aspek fisik atau biologis
5. Aspek psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial dan lingkungan
10. Pengetahuan
11. Aspek medik
Menurut Yosep (2010), pada dasarnya pengkajian pada klien perilaku
kekerasan ditujukan pada semua aspek, yaitu biopsikososial-kultural-spiritual
yaitu:
a. Aspek Biologis Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah
meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine
meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti
meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot sperti rahang terkatup,
tangan dikepal, utubuh kaku, dan reflek cepat. Hal ini disebabkan oleh
energi yang dikeluarkan saaat marah bertambah.
b. Aspek Emosional Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa
tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain,
mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
c. Aspek intelektual Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan
melalui proses intelektual, peran panca indra sangat penting untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses
intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien
marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi
diproses, diklarifikasi dan di integrasikan.
d. Aspek Sosial Meliputi interkasi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan
ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain.
Klien sering kali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku
yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan memgucapkan
kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat
mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak
mengikuti aturan.
e. Aspek spiritual Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan
individu dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang
dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanisfestasikan dengan
amoral dan rasa tidak berdosa.

2. Masalah Keperawatan
Masalah keperawatan sering muncul yaitu:
a. Risiko perilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan dan
verbal)
b. Perilaku kekerasan
c. Harga diri rendah kronis

3. Pohon Masalah Pada Perilaku Kekerasan


Efek/Akibat Resiko menciderai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan

Core/Problem Perilaku kekerasan

Penyebab/ Etiologi
Gangguan Konsep diri Harga Diri Rendah

C. TERAPI TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM


Relaksasi nafas dalam merupakan upaya untuk mengendurkan ketegangan
jiwa. Salah satu cara terapi relaksasi nafas adalah bersifat respiratoris yaitu
dengan mengatur aktivitas bernafas. Latihan relaksasi pernafasan dilakukan
dengan mengatur mekanisme pernafasan baik tempo atau irama dan intensitas
yang lebih lambat atau dalam. Keteraturan dalam bernafas, menyebabkan sikap
mental badan yang relaks sehingga menyebabkan otot lentur dan dapat menerima
situasi yang merangsang luapan emosi tanpa membuatnya kaku. Teknik yang
dapat dilakukan untuk mengurangi prilaku kekerasan diantaranya adalah
menggunakan tekhnik relaksasi nafas dalam, alasanya adalah jika melakukan
kegiatan dalam kondisi dan situasi yang rileks, maka hasil dan prosesnya akan
optimal. (Wiramihardja, 2007). Teknik relaksasi nafas dalam tidak saja
menyebabkan menyenangkan pikiran saja. Tetapi relaksasi nafas dalam juga dapat
membantu untuk meningkatkan kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi,
kamampuan untuk mengontrol diri, untuk menurunkan tingkat emosi dan depresi
(Handoyo, 2005).
Disini perawat dapat mengimplementasikan berbagai intervensi untuk mengontrol
sifat marah, emosi dan perilaku agresif pada pasien. dalam hal ini perawat
mengajarkan kepada pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam, dengan cara
nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana
menghembuskan nafas secara perlahan-lahan.
Dari berbagai intervensi yang dilakukan oleh perawat salah satunya adalah
dengan tekhnik relaksasi nafas dalam karena relaksasi nafas dalam dapat
meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi
paru, memberikan perasaan tenang, mengurangi stress fisik maupun emosional.
Relaksasi nafas dalam merangsang tubuh untuk melepaskan opioid endogen yaitu
berupa senyawa endorphin dan enkefalin yang dapat memperkuat daya tahan
tubuh, menjaga sel otak tetap muda, melawan penuaan, menurunkan agresifitas
dalam hubungan antar manusia, meningkatkan semangat, daya tahan, dan
kreatifitas (Smeltzer dan Bare, 2002).
BAB III
ANALISIS JURNAL

Judul Penelitian Teknik Relaksasi Nafas Dalam Berpengaruh Terhadap Kemampuan


Mengontrol Marah Klien Skizofrenia.
Peneliti Sutinah, Rika Safitri, Nofrida Saswati
Tahun 2019
Abstrack Klien resiko perilaku kekerasan tidak mengetahui cara mengontrol
marah dampak yang sering ditimbulkan dari tidak dapat mengontrol
marah tersebut yakni mengamuk,memecahkan barang-barang,
memukul oleh sebab itu maka klien butuh terapi yaitu relaksasi nafas
dalam. Desain penelitian pretest posttestone group design. Sampel 17
orang diambil secara total sampling. Pengumpulan data menggunkan
kuesioner. Analisis data univariat dan bivariat menggunakan uji t
berpasangan. Hasil penelitian ini menunjukkan kemampuan responden
mengontrol marah sebelum dilakukan relaksasi nafas dalam didapatkan
nilai rata-rata 22,0588sesudah didapatkan nilai rata-rata 13,0588. Ada
perbedaan mengontrol marah sebelum dan sesudah dilakukan relaksasi
nafas dalam yang menunjukkan nilai sig. 0,000.
Pendahuluan Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan
emosi,perilaku dan pikiran terganggu yang tidak berhubungan secara
logis. Gejala pada skizofrenia terdiri dari gangguan pembicaraan,
gangguan perilaku, gangguan afek, gangguan persepsi, dan gangguan
pikiran. Gejala kognitif sering mendahului terjadinya psikosis. Gejala
positif skizofrenia terdiri dari delusi atau waham, halusinasi,
kekacauan alam pikiran, gaduh, gelisah, tidak dapat diam, merasa
dirinya orang besar, pikirannya penuh dengan kecurigaan dan
menyimpan rasa permusuhan, sedangkan gejala negatif terdiri dari
alam perasaan, menarik diri atau mengasingkan diri, kontak emosional,
pasif dan apatis, sulit dalam berpikir abstrak, pola pikir streotip dan
tidak ada atau kehilangan dorongan kehendak (Keliat. B, 2012).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan yang mengeskpresikan
perasaan marah, takut atau ketidakberdayaan terhadap situasi. Gejala
kognitif perilaku kekerasan seperti ditemui adanya bingung, supresi
pikiran, tidak mampu memecahkan masalah dan gangguan penilaian.
Gejala perilaku (behavior) seperti suara keras, mengepalkan tangan,
kekerasan fisik terhadap orang lain dan lingkungan. Gejala afektif
seperti ketidaknyamanan, suasana hati marah, mudah tersinggung dan
bermusuhan sedangan gejala fisiologis seperti respon fisik dari rasa
marah yang ditunjukkan dengan adanya ketegangan tubuh, wajah
merah, pandangan tajam, berkeringat dan meningkatnya tekanan darah.
Dampak perilaku kekerasan seperti mencelakakan diri sendiri ataupun
orang lain akibat emosi yang tidak terkontrol (Stuart.G.W, 2013).
Data yang didapatkan dari WHO (2015) menunjukkan jumlah
orang yang mengalami Skizofrenia di seluruh dunia adalah 7 dari 1000
penduduk di dunia yaitu sebesar 21 juta orang, tiga dari empat kasus
gejala yang muncul terjadi pada usia 15 dan 34 tahun. Berdasarkan
data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 bahwa
prevalensi nasional gangguan jiwa berat adalah 0,5% (Riskesdas),
2013). Sedangkan prevalensi gangguan jiwa di Provinsi Jambi sebesar
0,9%. Psikosis tertinggi terdapat di kabupaten Merangin (2,6 %), Kota
Sungai Penuh (2,3 %), kabupaten Tanjung Jabung Barat (2,3%). Angka
terendah gangguan jiwa berat terendah di Sarolangun, Kerinci,
Batanghari, Tebo (Jambi, 2013).
Metode Desain pada penelitian adalahpra eksperimen dengan rancangan
Pretest PostestOne Group Design yang bertujuan untuk mengetahui
pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap mengontrol marah
klien skizofrenia dengan risiko perilaku kekerasan di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provinsi Jambi. Penelitian dilakukan karena tingginya
angka perilaku kekerasan pada klien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Jambi.
Instrument atau alat pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini berupa kuesioner perilaku kekerasan yang berisi 6
pertanyaan dengan skor 1-4. Analisa data yang dilakukan untuk
pengujian hipotesis adalah sebagai berikut: 1. Analisa Univariat
Analisis data secara univariat, yaitu menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat
tergantung dari jenis datanya. Pada umumnya dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel. 2.
Analisa Bivariat Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan
terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau memiliki
pengaruh dengan menggunakan uji t berpasangan (paired t test) yang
ditentukan dengan uji normalitas.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan tentang pengaruh
teknik relaksasi nafas dalam terhadap mengontrol marah klien
skizofrenia dengan risiko perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Jambi, maka dapat ditarik kesimpulan yang
menunjukkan kemampuan responden mengontrol marah sebelum
dilakukan relaksasi nafas dalam di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Jambi didapatkan nilai mean 13,0588. Kemampuan responden
mengontrol marah sesudah dilakukan relaksasi nafas dalam di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi didapatkan nilai rata-rata 22,0588.
Hasil uji pada kelompok pretest –posttest diketahui nilai rata-rata
(mean) adalah -9,00000 yang menunjukkan nilai sig. 0,000 dengan
derajat kemaknaan 0,05. Hasil sig. 0,000 < 0,05 yang artinya ada
perbedaan mengontrol marah sebelum dan sesudah dilakukan relaksasi
nafas dalam terhadap mengontrol marah pada klien skizofrenia.
Kelebihan dan kekurangan 1. Kelebihan
a. Terapi ini mudah dilakukan dan tidak membutuhkan alat
ataupun biaya
b. Terapi ini dapat dilakukan secara mandiri oleh klien
setelah dilajarkan oleh petugas Kesehatan untuk
mengontrol pasien.
2. Kekurangan
a. Pada penelitian ini tidak dijelaskan mengenai SOP terapi
relaksasi napas dalam yang digunakan.
b. Tidak dijelaskan secara terperinci lama waktu yang
dibutuhkan dalam melakukan terapi relaksasi napas dalam.
Judul Penelitian EFEKTIVITAS TERAPI RELAKSASI NAFAS DALAM DAN
TERTAWA DALAM MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN
PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN di RSJD Dr. Amino
GondoHutomo Semarang
Peneliti Dea Yuhanda, Ns. Hj. Dwi Heppy Rochmawati., M.Kep,
Sp.Kep.J, S. Eko Purnomo, S.Kp.,M.Kes
Tahun 2013
Abstrack Latar belakang Perkembangan kehidupan sekarang ini banyak
mengalami perubahan dari pola hidup, pola aktifitas, serta perilaku.
Perilaku kekerasan salah satu yang terjadi di kehidupan masyarakat
dan mengakibatkan gangguan jiwa. Riset kesehatan dasar (Riskesdas)
tahun 2013 menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa berat dengan
usia di atas 15 tahun di Indonesia mencapai 76,1%. Salah satu cara
mengontrol perilaku kekerasan yaitu dengan cara memberikan terapi
relaksasi nafas dalam dan tertawa. Tujuan penelitian ini bertujuan
untuk mengontrol perilaku kekerasan pada pasien perilaku kekerasan
di RSJD. Amino GondoHutomo Semarang.
Metodologi desain penelitian ini menggunakan two group pre-
post design. Jumlah sampel 78 responden dengan teknik purposive
sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selisih mean berbeda,
relaksasi nafas dalam 0,94 dan tertawa 0,97. Analisis dengan uji
wilcoxon didapatkan Z hitung sebesar 7,682 > Z tabel 5,000 dan p
value 0,000. Simpulan penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
mengontrol perilaku kekerasan pada pasien yang diberikan terapi
relaksasi dan tertawa di RSJD. Amino GondoHutomo Semarang
mengalami peningkatan dalam mengontrol perilaku kekerasan, serta
diharapkan bahwa penelitian ini bermanfaat bagi pelayanan Kesehatan,
bagi keluarga dan bagi pasien.
Pendahuluan Perkembangan kehidupan sekarang ini banyak mengalami
perubahan dari pola hidup, pola aktifitas, perilaku hingga dari masalah
keluarga dan masalah ekonomi yang mengganggu kesehatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai
“keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan
tanpa penyakit atau kelemahan. Definisi ini menekankan kesehatan
sebagai suatu keadaan sejahtera yang positif, bukan sekadar keadaan
tanpa penyakit. Orang yang memiliki kesejahteraan dapat memenuhi
tanggung jawab kehidupan dengan efektif dalam kehidupan seharihari
dan puas dengan hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri
(Videbeck, 2008).
WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia
mengalami gangguan kesehatan jiwa. Pada masyarakat umum terdapat
0,2 – 0,8 % penderita skizofrenia dan dari 120 juta penduduk di Negara
Indonesia terdapat kira-kira 2.400.000 orang anak yang mengalami
gangguan jiwa (Maramis, 2004 dalam Carolina, 2008). Riset kesehatan
dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa penderita gangguan
jiwa berat dengan usia di atas 15 tahun di Indonesia mencapai 0,46%.
Hal ini berarti terdapat lebih dari 1 juta jiwa di Indonesia yang
menderita gangguan jiwa berat. Bahwa gangguan jiwa setiap tahun
akan mengalami peningkatan semakin tinggi perkembangan jaman dan
kerasnya kehidupan.
Salah satu gejala gangguan jiwa adalah munculnya perilaku yang
tidak wajar dari biasanya seperti perilaku kekerasan atau tindakan
kekerasan yang tidak wajar. “kekerasan" juga berkonotasi
kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak
(wikipedia). Tindak kekerasan dipandang sebagai tindak kriminal yang
dilakukan tanpa dikehendaki oleh korban yang menimbulkan dampak
fisik, psikologis, sosial, serta spiritual bagi korban dan juga
mempengaruhi sistem keluarga serta masyarkat menyeluruh (Hamid,
2008). Peristiwa-peristiwa yang mencerminkan tindakan kekerasan
seperti pembunuhan, kerusuhan, pembakaran, pemukulan dan
penyiksaan. Tindakan kekerasan menyebabkan penderita menyakiti
orang lain. Tindakan kekerasan itu akan menimbulkan penderita
cenderung mempunyai sikap perusak, marah dan mengakibatkan
penderita muncul perilaku kekerasan jika tidak bisa dikontrol.
Metode tujuan agar penelitian dapt dilakukan dengan efektif dan efisien.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian two group pre-post
design. Ciri tipe penelitian ini adalah mengungkapkan hubungan sebab
akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok
subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi kemudian diobservasi
lagi setelah intervensi (Nursalam,2008). Dari data yang diperoleh
didapatkan total populasi pasien perilaku kekerasan yang dirawat di
RSJD. Amino Gondo Hutomo Semarang pada tahun 2013 Selama 3
bulan terakhir pada tahun 2013 yaitu September sebanyak 375 orang.
Ruang Citro Anggodo 13 pasien, ruang Dewa Ruci 13 pasien, Endro
Tenoyo 13 pasien, Hudowo 5 pasien, Irawan Wibisono 21 pasien, dan
didapatkan jumlah responden 78 pasien dalam penelitian.
Kesimpulan 1. Karakteristik klien yang paling banyak di kategori usia yaitu usia
17-27 tahun (53,8%), klien untuk jenis kelamin paling banyak laki-laki
62 klien (79,5%). Klien untuk kategori pekerjaan paling banyak
pengangguran 23 klien (29,5%), klien pendidikan paling banyak SD
dengan klien 40 (51,3%). 2. Responden yang sebelum diberikan terapi
relaksasi nafas dalam mengontrol perilaku kekerasan mendapatkan
hasil yang tidak mampu mengontrol perilaku kekerasan berjumlah 33
responden (100%). 3. Responden sesudah diberikan terapi relaksasi
nafas dalam ternyata mengalami penurunan menjadi mampu
mengontrol perilaku kekerasan sejumlah 31 responden (93,9%). 4.
Responden yangsebelum diberikan terapi tertawa dalam mengontrol
perilaku kekerasan yaitu yang tidak mampu mengontrol perilaku
kekerasan sejumlah 36 responden (100%). 5. Responden sesudah
diberikan terapi tertawa responden mengalami penurunan dengan
presentase frekuensi yang mampu mengontrol perilaku kekerasan
sejumlah 35 responden (97,2%). 6. Hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa terapi tertawa mengalami peningkatan dalam mengontrol
perilaku kekerasan sedangkan terapi relaksasi nafas dalam mengalami
penurunan mengontrol perilaku kekerasan. Maka dari itu terapi tertawa
lebih efektif daripada terapi relaksasi nafas dalam.
Kelebihan dan kekurangan 3. Kelebihan
c. Terapi ini mudah dilakukan dan tidak membutuhkan alat
ataupun biaya
d. Terapi ini dapat dilakukan secara mandiri oleh klien
setelah dilajarkan oleh petugas Kesehatan untuk
mengontrol pasien.
4. Kekurangan
c. Pada penelitian ini tidak dijelaskan mengenai SOP terapi
relaksasi napas dalam dan terapi tertawa yang digunakan.
d. Tidak dijelaskan secara terperinci lama waktu yang
dibutuhkan dalam melakukan terapi relaksasi napas dalam.

BAB IV
PENUTUP

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN


Jurnal yang telah dianalisis dengan judul “Teknik Relaksasi Nafas Dalam Berpengaruh
Terhadap Kemampuan Mengontrol Marah Klien Skizofrenia.” Oleh Sutinah, Rika Safitri,
Nofrida Saswati didalamnya membahas mengenai ada atau tidaknya pengaruh teknik relaksasi
nafas dalm terhadap kemampuan mengontrol marah pada pasien skizofrenia, setelah dilakukan
penelitian pada 17 orang dengan perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi
melalui kuisioner perilaku kekerasan yang berisi 6 pertanyaan dengan skor 1-4 dengan tahapan
pretest dan post-test. Dari penelitian yang sudah dilakukan didapatkan hasil kemampuan
mengontrol marah klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan sesudah dilakukan teknik
relaksasi nafas dalam memperlihatkan nilai rata-rata 22,0588.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Armelia (2016) dengan
judul pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kemampuan mengontrol marah pada pasien
perilaku kekerasan yang menunjukan bahwa sesudah dilakukan terapi sebanyak 31 responden
(93,9%) mampu mengontrol perilaku kekerasan dan sebanyak 2 responden (6,1%) tidak mampu
mengontrol perilaku kekerasan (Amelia Tri Pangestik,2016). Asumsi yang peneliti dapatkan
pada sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam mengalami peningkatan yang signifikan
dalam mengontrol marah yang dapat membuat klien tetap dalam keadaan yang tenang dan rileks
disaat klien sudah melakukan teknik relaksasi nafas dalam.
Hasil penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini dilakukan oleh Yuhada (2013)
dengan judul “Perbedaan Efektivitas Terapi Relaksasi Nafas dan dan Tertawa dalam mengontrol
perilaku kekerasan di RSJ Daerah Aminogondo Hutomo Semarang, sebelum dilakukan terapi
pasien yang mampu mengontrol perilaku kekerasan hanya 6 orang (15,4%) sedangkan yang tidak
mampu ada 33 (84,6%). Sesudah diberikan terapi responden mengalami penurunan pada yang
tidak mampu menjadi 3 orang (7,7%), sedangkan yang mampu mengalami peningkatan menjadi
36 orang (92,3%).

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh
terapi relaksasi nafas dalam untuk mengontrol perilaku kekerasan adalah terdapat pengaruh yang
signifikan terhadap kemampuan pasien dalam mengontrol perilaku kekerasan sebelum dan
sesudah diberikan terapi relaksasi napas dalam.
DAFTAR PUSTAKA

Agus Dwi Putranto. (2019). Teknik Relaksasi Nafas Dalam Berpengaruh Terhadap
Kemampuan Mengontrol Marah Klien Skizofrenia.
Armelia Tri Pangestik. (2016). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kemampuan
Mengontrol Marah pada Pasien Perilaku Kekerasan. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan
(JIKK), 46, 1–9.
Ikhsan, N.A. 2016. Upaya Peningkatan Kemampuan Mengontrol Emosi dengan Cara Fisik
Pada Klien Resiko Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr.Arif Zainuddin Surakarta.
Tugas Akhir. Universitas Muhammadiyah Surakarta Lela, Aini. Pengaruh
Namuwali, D. (2017). Influence Of Nafas Relaxation Technique In Emergy Control On Tb
Patients In The Health Behavior Of Community Park (BKPM) Magelang. Jurnal Info Kesehatan,
15(1), 146–165.
Y. Susilowati. (2015). Penatalaksanaan Pasien Gangguan Jiwa Dengan Perilaku Kekerasan
Di Ruang Citro Anggodo RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang. JPK, 2(2), 37–42.
Yosep, I. (2010). Buku Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai