Anda di halaman 1dari 26

KAJIAN ISLAM

1. Iman, Islam, Ihsan


2. Islam dan Sains
3. Islam dan Penegakan Hukum
4. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar
5. Fitnah Akhir Zaman

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama :Rizal Hadi Pratama

NIM :E1Q020046

Fakultas/Prodi :FKIP/Pendidikan Fisika

Semester :1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita sampaikan kepada Allah SWT. Atas segala rahmat, nikmat, dan
inayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini yaitu artikel yang bertema “Kajian Islam”
.Artikel ini merupakan tugas mata pelajaran Pendidikan Agama Islam,Sebagai syarat untuk
mengikuti ujian akhir semester.
Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada sang revolusioner islam pembawa
risalah, pemersatu umat dengan ikatan tauhid Nabi Muhammad SAW beserta sahabat dan
pengikutnya.
Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr.Taufik Ramdani,S.Th.I.,M.Sos
sebagai dosen pengampuh mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah dengan ikhlas dan
sungguh-sungguh dalam membimbing saya sehingga segala ilmu yang telah beliau berikan bias
bermanfaat untuk masa depan saya,baik itu masa depan di dunia maupun di akhirat.
Besar harapan saya tugas ini akan memberikan manfaat bagi saya sendiri dan orang
lain,sehingga dengan artikel ini orang banyak dapat mengambil pelajaran di dalamnya.

Praya, 18 Desember 2020

Nama:Rizal Hadi Pratama


NIM:E1Q020046

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER…………………………………………………………………………...i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………...……..ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………...…iii

Iman,islam dan ihsan…………………………………………………………………………….1

Islam dan Sains……………………………………………………………………………..……2

Islam dan Penegak Hukum…………………………………………………………….…..…....4

Kewajiban Menegakkan Ammar Makruf Nahi Mungkar………………………………..……17

Fitnah Akhir Zaman……………………………………………………………………….…...21

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….23

iii
Iman, Islam ,dan Ihsan
Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam
wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia
menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai
pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan
Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah
orang yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”.
Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk
mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di
dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi
nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini
mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.

Islam

Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab,
“Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya
Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan
berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu
Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu
terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah
amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.

Iman

Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau
beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan
engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang
dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu
‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan
antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka
ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan
dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja
atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Alloh Ta’ala, “Dan
Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah
mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).

Ihsan

Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah
kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-
olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan:

1
Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang
manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-
olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat
ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka
hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang
dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika
kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak
mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
(Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.

Islam dan Sains


KEMAJUAN SAINS DALAM PERADABAN ISLAM

Umat Islam mulai mempelajari atau melakukan penafsiran ilmiah sejak generasi pertama sampai
abad ke-lima hijriyah hingga menjadikan diri mereka sebagai pelopor Ilmu pengetahuan di
seluruh penjuru dunia.

Umat Islam telah menjadi pelopor dalam research tentang alam, sekaligus sebagai masyarakat
pertama dalam sejarah ilmu pengetahuan yang melakukan experimental science atau ilmu thabi’i
berdasarkan percobaan yang kemudian berkembang menjadi applied science atau technology.

Islam mendorong ummatnya untuk selalu berupaya mengembangkan sains

Q.S. Al-’alaq: 1-5

Artinya : “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan (1). Menciptakan manusia ari
segumpal darah (2). Bacalah, Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3). Yang mengajar dengan
kalam (4). Mengajar manusia apa yang ia tidak ketahui (5). ”

Q.S. Ali-Imran: 190-191

Artinya: “Sungguh, dalam penciptaan langit dan bumi, dan dalam pergantian malam dan siang,
ada tanda-tanda (Kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang menggunakan pikiran (190). (Yaitu)
orang yang berdzikir memuji Allah sambil berdiri, duduk, dan (berbaring) di sisinya. Dan
berpikir tentang penciptaan langit dan bumi, ‘Tuhan kami, tiada sia-sia Kau menciptakan ini
semua, Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari adzab api neraka ’(191).”

Q.S. Al-Jatsiyah: 13

Artinya : “Dan Ia tela tundukkan bagimu apa yang di langit dan apa yang di bumi, semuanya
(sebagai karunia) dari-Nya. Sungguh, itu adalah tanda-tanda (Kekuasaan Allah) bagi orang-orang
yang berfikir (13). ”

Islam menempatkan orang yang beriman + berilmu + beramal shalih pada derajat yang tinggi.

2
Q.S. Al-Mujadilah: 11

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bila dikatakan kepadamu ‘Berilah ruang dalam
majelis’, maka berilah ruang, Dan Allah akan memberimu ruang. Dan apabila dikatakan
kepadamu ‘Pergilah’, maka keluarlah kamu. Niscaya Allah akan menaikkan derajat orang yang
beriman, dan orang yang diberi pengetahuan diantara kamu. Dan Allah tahu benar apa yang
kamu lakukan.”

Pandangan Al-Qur’an terhadap Sains

Seluruh pengetahuan, termasuk pengetahuan kealaman (sains), terdapat dalam al-Qur’an.


Pendapat ini didukung antara lain oleh al-Ghazali, al-Suyuti, dan Maurice Bucaile.

Al-Qur’an hanya sebagai petunjuk untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Pendapat ini
didukung antara lain oleh Ibnu Sina, al-Biruni, dan al-Haitam.

Faktor-faktor Pendorong Kemajuan Sains dalam Peradaban Islam

- Universalisme
- ADVERTISEMENT
- REPORT THIS AD

Dalam Al-Quran surat Ali-Imran:110 disebutkan bahwa, orang yang beriman, mengajak kepada
kebaikan, dan mencegah yang mungkar, dikategorikan sebagai manusia yang lebih baik daripada
ahli kitab sekalipun.

Toleransi

Adanya toleransi antar umat, toleransi akan kemauan untuk berbagi ilmu an kemauan menerima
ilmu, menyebabkan perkembangan sains atau pengetahuan berkembang pesat.

Karakter pasar internasional

Luasnya jaringan perdagangan pada masa itu sangat mempengaruhi perkembangan sains masa
itu. Luas daerah kekuasaan Islam pada Dinasti Abbasiyah dari India di Timur sampai dengan
Andalusia di Barat. Pengaruh lain adalah Rihlah ilmiyah (perjalanan untuk mencari ilmu
pengetahuan). Selain itu, gelombang ekspansi atau perluasan daerah kekuasaan yang cukup besar
juga mempengaruhi perkembangan sains dalam peradaban islam.

Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi demikian cepat antara lain adalah:

- Islam, disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga
agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
- Dalam dada para sahabat, tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-
ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Disamping itu, suku-suku bangsa Arab

3
gemar berperang. Semangat dakwah dan kegemaran berperang tersebut membentuk satu
kesatuan yang padu dalam diri umat Islam.
- Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu, mulai
memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara
keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
- Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan
beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan aliran yang
dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan
melawan Persia.
- Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak
memaksa rakyat untuk mengubah agamanya dan masuk Islam.
- Bangsa Sami di Syria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab
lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
- Mesir, Syria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa
Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.

KEMUNDURAN SAINS DALAM PERADABAN ISLAM

- IHYA’ ULUMIDDIN menyerukan umat Islam untuk kembali meng’hidup’kan ajaran agama
- SALAH PAHAM Larangan untuk mempelajari sains, sehingga budaya mempelajari sains
ditinggalkan
- Dampak kemunduran sains yaitu ketimpangan posisi ilmu , terpisahnya tradisi filsafat
dengan tradisi pemikiran keagamaan
- Filsafat dan sains berada dalam satu kelompok (ilmu duniawi), agama berada dalam
kelompok lain (ilmu ukhrawi).

Islam Dan Penegakan Hukum

Hukum Islam merupakan alat yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga muslim.
Berdasarkan ilmu hukum, law is the tool of social engineering. Sebagai alat, tentunya hukum
tidak bisa berdiri sendiri dalam mengatur perilaku ummat Islam. Contohnya perilaku yang biasa
merusak lingkungan sosial bisa diubah secara bertahap melalui pemberlakuan hukum Islam
dalam hal Qishas. Dalam al-Qur'an dicontohkan dalam ayat 32 surat al-Maidah, bahwa barang
siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia
seluruhnya. Ayat ini menunjukkan adanya kekuatan di dalam hukum untuk merubah pola
kehidupan dari yang buruk dan saling merugikan menuju pada pola yang saling menguntungkan
dan keadilan. Contoh lain misalnya sholat, ibadah ini sebagai standar orang-orang soleh di dalam
Islam. Bahwa, orang-orang soleh pasti melaksanakan sholat dengan khusyuk dan benar. Dengan

4
kekhusuannya, pola perilaku bersosialnya dapat terkontrol dengan baik dan selalu
mengedepankan sisi kemanfaatan dan tidak merugiakan orang lain.
Hukum Islam dalam penegakannya juga mengalami hambatan yang terdiri dari berbagai faktor:
1. Faktor-faktor yang berasal dari pembentuk hukum.
2. Faktor-faktor yang berasal dari penegak hukum.
3. Faktor-faktor yang berasal dari pencari keadilan.
4. Faktor-faktor yang berasal dari golongan-golongan lain di dalam masyarakat.
(Soerjono Soekanto: 1994:119).

Pertama: Faktor-faktor yang berasal dari pembentuk hukum


Di Indonesia pembentuk hukum adalah legislatif bersama-sama dengan eksekutif.
Pembuatan Undang-undang haruslah melalui persetujuan kedua belah pihak. Untuk sekarang ini
hanya ada beberapa hukum Islam yang telah dihasilkan oleh badan tersebut dalam pembentukan
hukum Islam, yaitu Undang-undang perkawinan, Undang-undang tentang pengelolaan zakat,
Undang-undang tentang perwakafan, dan Undang-undang tentang waris, serta Undang-undang
tentang perbankan syariah. Sedangkan pelaksanaan sholat, haji dan puasa belum dibuat Undang-
undang, semua itu baru pelaksanaan ibadah ritual dan masih banyak hukum Islam yang belum
dijadikan Undang-undang. Masyarakat sebagai pendukung hak dan kewajiban sifatnya hanya
menunggu untuk melaksanakan perundang-undangan yang dibentuk oleh legislative bersama
eksekutif. Para polisi, jaksa dan hakim sebagai pelaksana penegakan hukum akan melaksanakan
penegakan dengan sebaik-baiknya bila memang telah diundangkan oleh negara. Hukum itu
mengikuti pola pikir. Pola-pola berpikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan
kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap
manusia, benda maupun keadaan-keadaan. Sikap-sikap manusia kemudian membentuk kaidah-
kaidah, oleh karena itu manusia cenderung untuk hidup teratur dan pantas. Pembentuk Undang-
undang sangat menentukan dalam penegakan hukum Islam. Ketika Undang-undangnya sudah
ada, berjalannya masih tergantung pada man behind the law apalagi Undang-undang yang harus
diundangkan belum seluruhnya terwujud.
Kedua: Faktor yang berasal dari penegak hukum
Di Indonesia dikenal dengan beberapa penegak atau pelaksana hukum, misalnya, Hakim,
Jaksa, dan Polisi yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Peranan masing-
masing tidak lepas dari pengaruh struktur yang ada dilembaganya, hakim dalam melaksanakan
tugasnya banyak dipengaruhi oleh sistem, lembaganya dan juga struktur di dalamnya. Walaupun
posisi hakim adalah orang yang independen dalam memutus perkara, tetapi kenyataannya
mereka dipengaruhi oleh lembaga tempat ia bekerja. Begitu pula jaksa dan polisi, keduanya ini
secara tanggung jawab tidak punya independensi bahkan kebanyakan dipengaruhi oleh struktur
dan sistem yang digunakan pada lembaga tersebut sehingga dalam penegakan hukum banyak
dipengaruhi oleh lembaga tersebut.
Berdasarkan teori fungsionalisme struktural Robert K. Merton (Margaret M. Poloma,
2000: 31) bahwa struktur birokrasi dapat melahirkan tipe kepribadian yang mematuhi peraturan-

5
peraturan tertulis daripada semangat untuk mentaati peraturan-peraturan yang tidak diundangkan.
Bila melihat teori ini, hukum Islam sebagai hukum yang tidak diundangkan dan selama ini
dianggap sebagai hukum yang tidak tertulis namun pada kenyataan banyak ummat Islam yang
mentaatinya. Contohnya hukum zakat, ketika datang hari raya idhul fitri masyarakat
berbondong-bondong menyerahkan zakat fitrah kepada para amil zakat. Hal ini tampak hukum
Islam yang berlaku di Indonesia banyak ditaati oleh kaum muslimin walaupun tidak
diundangkan, maka selayaknya para penegak hukum juga punya kontribusi untuk mengusulkan
supaya diberlakukan hukum Islam yang telah dilaksanakan oleh kaumnya.
Ketiga: Faktor yang berasal dari pencari keadilan
Orang-orang yang mengajukan perkara merupakan faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum Islam. Ada orang punya masalah dengan hukum tetapi tidak mau mengajukannya ke
Pengadilan, maka akan mengurangi peranan peradilan. Dan ada pula orang-orang yag berperkara
selalu ingin menang dengan cara apapun juga mengurangi wibawa penegak hukum. Memang
hukum itu adalah sebagai sarana pengatur perilaku yang mana membutuhkan sarana untuk
menyampaikan pesan-pesan yang ada di dalam hukum. Suatu contoh, hukum perlu komunikasi
(Soerjono Soekarno, 1994: 119) supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan
warga-warga masyarakat, maka hukum tadi harus disebarluaskan seluas mungkin sehingga
melembaga dalam masyarakat, adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat
bagi penyebaran serta perkembangan hukum, komunikasi hukum tersebut, dapat dilakukan
secara formal, yaitu suatu tata cara yang terorganisasi dengan resmi, akan tetapi disamping itu
juga ada tata cara yang tidak resmi sifatnya.
Keempat: Faktor yang berasal dari golongan-golongan lain di dalam masyarakat
Jika diadakan pengamatan sepintas lalu, kita akan dapat menyimpulkan bahwa dalam
masyarakat terdapat bentuk-bentuk pengelompokan yang menghimpun manusia, kelompok-
kelompok sosial itu terbentuk berdasarkan kepentingan yang memiliki tujuan sama, namun tidak
jarang pula terbentuknya karena mempunyai musuh yang sama, kelompok-kelompok semestinya
bermasyarakat antara satu dengan yang lain.
Pada bagian ini kita hanya melihat pada kemampuan, kekuatan ikatan sosial terhadap
penegakan hukum Islam. Misalnya sekelompok kyai dipandang lebih cakap dalam hal hukum
Islam, ketika memberikan fatwa-fatwa hukum akan lebih banyak ditaati oleh warga muslim, ini
menunjukkan bahwa kelompok masyarakat kyai sangat mempengaruhi penegakan hukum Islam.
Begitu juga MUI dan Ormas lainnya. MUI sebagai representatif pemerintah dalam hal
keagamaan (Hukum Islam) fatwa-fatwanya juga banyak dilaksanakan oleh warga muslim,
artinya MUI punya peranan dalam penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum
Islam pada hakekatnya banyak dipengaruhi oleh sistem nilai, dimana ia yang dipengaruhi oleh
sistem nilai yang dipahami oleh warga muslim itu sendiri. Sedangkan sistem nilai menurut
Koentjoroningrat berpangkal pada lima masalah pokok dalam kehidupan manusia:
1. Hakekat dan sifat manusia
2. Hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu.
3. Hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

6
4. Hakekat hubungan manusia dengan sesamanya atau lingkungan sosialnya.

Keberlakuan Dan Pelaksanaan Hukum Islam


1. Keberlakuan hukum Islam
Hukum Islam adalah fenomena sakral yang eternal. Fakta obyektif menunjukan, inti sari
dan bahan baku hukum Islam adalah wahyu Tuhan yang bersifat sakral dan eternal. Wahyu
Tuhan tersebut dikemas dalam rangkaian program pemerataan kemaslahatan, keadilan, dan
kesejahteraan manusia yang dituangkan dalam Al-Qur’an dan Hadits di bawah pengawasan dan
perlindungan Tuhan dan dijamin kebal dari intervensi yang merusak sakralitasnya (Q.S. Yusuf
(12): 63). Preskripsi syar’i (wahyu Tuhan) tersebut tidak berubah, tidak dapat diubah, dan tidak
akan berubah, sebab program pewahyuan telah purna bersama usainya risalah Rasulullah SAW.
Dengan demikian, sakralitas hukum Islam (bahan bakunya) benar-benar murni terbebas dari
intervensi dalam bentuk apapun dan siapapun.
Inilah yang dimaksud dengan hukum Islam sebagai fenomena sakral dan eternal. Teks
syar’I sebagai fenomena yang menjadi sumber moral keagamaan, tidak mungkin dijadikan
postulat intelektual yang harus diimani, tetapi untuk dilaksanakan di dunia realitas ini. Hukum
Islam yang telah menjadi kaidah sosial ada yang berlaku secara yuridis formal yang disebut
hukum formal dan ada hukum Islam yang berlaku secara normative.
Hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal adalah sebagian dari hukum Islam yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain benda dalam masyarakat yang dirangkum
dalam istilah muamalah. Bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena
ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Contohnya adalah hukum perkawinan, hukum
kewarisan dan hukum wakaf. Hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal merupakan
bantuan penyelenggara Negara untuk menjalankannya secara sempurna, misalnya dengan
mendirikan peradilan Agama yang menjadi salah satu unsur system peradilan di Negara kita.
Hukum Islam yang berlaku secara normative adalah bagian hukum Islam yang
mempunyai sanksi yang bersifat normative. Untuk melaksanakan hukum Islam yang bersifat
normative pada umumnya tidak memerlukan bantuan penyelenggara Negara. Diantaranya adalah
kaidah-kaidah hukum Islam mengenai pelakasanaan ibadah sholat, puasa, zakat, dan haji, yakni
yang termasuk kategori hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, berlaku
secara normative di tanah air kita. Namun, karena sifatnya yang unik ada juga hukum Islam
bidang ibadah murni ini yang memerlukan bantuan penyelenggara Negara untuk
melaksanakannya secara sempurna yakni hukum Islam mengenai ibadah haji dan zakat.
Kaidah-kaidah yang belum diakomodir oleh pemerintah berlakunya tidak bisa dipaksakan
oleh Qadhi (hakim) dan kaidah yang telah diakomodir oleh pemerintah, berlakunya dapat
dipaksakan oleh hakim. Misalnya kaidah sholat yang menjadi kewajiban bagi umat Islam, jika
tidak dilaksanakan maka pemerintah tidak bisa memaksa untuk mengerjakannya.
Secara sosiologis merupakan suatu gejala yang wajar, bahwa akan ada perbedaan antara
kaidah-kaidah hukum di satu pihak dengan perikelakuan yang nyata. Hal ini terutama disebabkan
oleh karena kaidah hukum merupakan patokan-patokan tentang perikelakuan yang diharapkan.

7
Patokan-patokan itu dalam hal-hal tertentu merupakan abstraksi dan pola-pola perikelakuan.
Namun demikian, ada baiknya untuk dikemukakan pendapat dari ahli ilmu social mengenai
perbedaan antara perikelakuan sosial yang nyata dengan perikelakuan sebagaimana yang
diharapkan oleh hukum. L Pospisil (1958: 54) seorang antropolog menyatakan bahwa dasar-
dasar hukum adalah sebagai berikut:
a. Hukum merupakan suatu tindakan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial. Agar
dapat dibedakan antara hukum dengan kaidah lainnya, dikenal dengan adanya empat tanda
hukum atau attribute of law.
b. Tanda yang pertama dinamakannya attribute of autbority, yaitu bahwa hukum merupakan
keputusan-keputusan dari pihak-pihak yang berkuasa dalam masyarakat, keputusan-keputusan
mana ditujukan untuk mengatasi keteganganketegangan yang terjadi di dalam masyarakat.
c. Tanda yang kedua disebut attribute of intention of universal application yang artinya adalah
bahwa keputusan-keputusan yang mempunyai daya jangkau yang panjang untuk masa
mendatang.
d. Atribute of obligation merupakan tanda ketiga yang berarti bahwa keputusankeputusan
penguasa harus berisikan kewajiban-kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua dan
sebaliknya. Dalam hal ini semua pihak harus masih di dalam kaidah hidup.
e. Tanda keempat disebut sebagai attribute of sanction yang menentukan bahwa keputusan-
keputusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi yang didasarkan pada
kekuasaan masyarakat yang nyata.
Merupakan kenyataan bahwa pada masyarakat-masyarakat tertentu kaidah-kaidah yang
tidak diakomodir oleh pemerintah berlaku lebih kuat dari pada kaidah hukum yang diakomodir
oleh pemerintah. Di dalam sebuah perkampungan, orang lebih percaya kepada lembagalembaga
masyarakat, misalnya modin, untuk menyelesaikan berbagai persoalan agama dari pada maju ke
pengadilan.
Di negara-negara selain Indonesia yang pada umumnya orang hanya melihat dua alternatif dalam
hubungan antara agama dengan negara yaitu:
a. Negara agama, yakni negara yang berdasarkan suatau agama tertentu.
b. Negara sekuler, yakni negara yang memisahkan agama dari negara.
Bangsa Indonesia mempunyai alternatif lain, yaitu negara pancasila (Departemen Agama, 1987:
15). Sebagai Negara yang bukan mendasari berlakunya hukum atas hukum agama tertentu, maka
Indonesia mengakomodir semua agama, karena itu hukum Islam mempunyai peran besar dalam
menyumbangkan materi hukum atas hukum Indonesia.
Ada tiga alasan dasar yang memberi posisi yuridis bagi keberlakuan hukum Islam di Indonesia,
yaitu :
a. Dasar filosofis
Injeksi substansial segi-segi normatif ajaran Islam di Indonesia melahirkan sikap epistimologi
yang mempunyai sumbangan besar bagi tumbuhnya pandangan hidup, cita moral dan cita hukum
dalam kehidupan sosio kultur masyarakat. Proses demikian berjalan seiring dengan tingkat
pemahaman keagamaan, sehingga memantulkan korelasi antara ajaran Islam dengan realitas

8
sosial dan fenomena keIslaman itu, bagaimana mempunyai peranan substansial dalam arena
kelahiran norma fundamental Negara.
b. Dasar sosiologis
Sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukkan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum
dalam kaitannya dengan kehidupan keIslaman memiliki tingkat aktualitas yang
berkesinambungan seperti adanya gejala mentahkim-kan permasalahan kepada orang yang
difigurkan sebagai Muhakam dan pada akhirnya terkristalisasi menjadi suatu tradisi Tauliyah
hingga sekarang pada dimensi lain pengaruh epistimologi keIslaman menyebar keaspek-aspek
kehidupan, sehingga tingkat religiusitasnya yang kuat dipertahankan secara berkesinambungan.
c. Dasar yuridis
Sejarah hukum Indonesia menunjukkan bahwa validitas fenomena yuridis mampu mengungkap
perjalanan tata hukum, perjalanan panjang tata hukum kolonial yang sarat dengan cita
kolonialistiknya tetap tidak mampu membendung tuntutan layanan masyarakat Islam, sehingga
pada akhirnya mengakui bahwa hukum Islam diberi tempat di dalam tata hukumnya yang
menjadi dasar pengakuan ini adalah melalui pasal II aturan peradilan Undang-Undang Dasar
1945 yang kemudian tuntutan layanan hukum dan peradilan bagi masyrakat Islam diatur dalam
pasal 29 UUD 1945. dan sekarang Peradilan Agama (PA) masuk di bawah Mahkamah Agung.

Hukum Islam Dan Teori Penegakkan Hukum Di Indonesia


Hukum Islam tentang Penataan Hukum
Hukum Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah, untuk
disampaikan kepada umatnya. la bukan sebuah teori, tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus
dipelajari, dipraktikkan, dan diberlakukan untuk menetapkan keteraturan dalam kehidupan
masyarakat serta keseirnbangan antara kewajiban dan hak. Hukum Islam akan berlaku bagi
seluruh umat manusia di dunia sampai akhirat, tetapi bila Hukum Islam dijadikan hukum positif
di suatu negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam. Ajaran tentang penataan
hukum dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli
hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat, tetapi dari segi Hukum Islam hal
itu tidak saja disebut sebagai teori, melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan.
Secara konseptual, terdapat prinsip prinsip Hukum Islam yang mencakup penataan dan
penerapan Hukum Islam bagi orang Islam. Bahwa Allah dan rasul Nya, memerintahkan kepada
orang yang beriman supaya menjalankan hukumnya.
Menurut Abdul Qadir Audah dalam bukunya “Islam Ditengah Kejahilan Ummat Dan
Ulamanya” berkata: Orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah, ada tiga
macam:
Pertama: Karena kafir atau ingkar dan bencinya kepada hukum Allah dan mengingkari adanya
kebaikan padanya, orang yang semacam ini kafir (QS. Al-Maidah: 44), Kedua: Karena menuruti
hawa nafsunya meskipun mereka memandang adanya kebaikan pada hukum Allah, tapi
menganggap ada hukum lain yang lebih baik dan lebih sesuai, orang semacam ini dinamakan
zalim (QS. Al-Maidah: 45), Ketiga: Orang yang berkayakinan bahwa hukum Allah-lah yang

9
paling baik dan paling adil tetapi memilih hukum selainnya karena manfaat dunia, sanggup
mendurhakai hukum Allah karena dunia (harta, kuasa dan wanita), mereka ini disebut fasik atau
pendurhaka (QS. Al-Maidah: 47). Oleh karena itu, dari segi Hukum Islam semestinya berlaku
teori penataan hukum, bahwa bagi setiap orang Islam berlaku Hukum Islam dan wajib
menjalankannya sebagai tuntutan akidah (Q.S. 4 An Nisa: 59 dan Q.S. 24 An Nur: 51 dan 52).
Hukum Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum
Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen, H.A.R.
Gibb, dalam bukunya The Modern Trends of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto, bahwa orang
Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap
dirinya. Berdasarkan teori itu, secara sosiologis, orang yang memeluk Islam akan menerima
otoritas Hukum Islam dan taat dalam menjalankan Hukum Islam. Namun, ketaatan ini akan
berbeda satu dengan lainnya dan sangat bergantung pada tingkat ketakwaan masing masing
kepada Allah dan rasul Nya. Bisajadi, ada orang Islam mampu menjalankan Hukum Islam ini
secara kaffah terhadap seluruh aspek kehidupannya; disisi lain, ada juga orang Islam hanya
menjalankan Hukumnya secara parsial dalam beberapa bidang kehidupan berdasarkan
kemauannya.
Teori ini menggambarkan pula bahwa di dalam masyarakat Islam ada Hukum Islam yang
ditaati oleh orang orang Islam. Orang orang Islam menaati Hukum Islam karena diperintahkan
oleh Allah dan rasul Nya. Oleh karena itu, kalau mereka telah menerima Islam sebagai
agamanya, maka mereka akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap dirinya. Bagi orang
Islam, Hukum Islam adalah kehendak dan tatanan Allah dan tradisi rasul. selanjutnya
membandingkan antara Hukum Islam dengan hukum Romawi dan hukum modern pada
umumnya, bahwa Hukum Islam bukanlah hasil karya budaya manusia yang bersifat gradual. la
adalah ketentuan agama, sebagaimana dikatakannya: “Artinya: tidak seperti hukum yang
diwarisi Kristen dan Romawi, Hukum Islam memasukkan ke dalam wewenangnya semua jenis
hubungan, baik terhadap Tuhan maupun terhadap manusia, termasuk pelaksanaan kewajiban
agama dan pembayaran zakat, maupun lembaga lembaga domestik, sipil, ekonomi, ataupun
politik .... Akibatnya, Hukum Islam tidak dapat dianggap (sebagaimana hukum Romawi dan
hukum modern) sebagai endapan yang bertahap dari pengalaman historitis manusia. Fungsinya
yang utama adalah menglasifikasikan perbuatan perbuatan baik dan buruk, dalam standar itu
adalah persoalan yang sekunder.”
Untuk memperkuat teori Gibb di atas, dapat dikemukakan pula pendapat para orientalis
Barat yang berpendapat sama. Misalnya disampaikan oleh Charles J. Adams, seorang profesor
dan direktur Islamic Studies Montreal Canada, mengemukakan bahwa hukum Islam merupakan
subjek terpenting dalam kajian Islam karena sifatnya yang menyeluruh; meliputi semua bidang
hidup dan kehidupan muslim. Berbeda dengan cara memelajari hukum hukum lain, studi tentang
Hukum Islam memerlukan pendekatan dan pemahaman khusus, sebab yang termasuk bidang
Hukum Islam itu bukan hanya apa yang disebut dengan istilah law dalam hukum Eropa, tetapi
juga tentang masalah sosial lain di luar wilayah yang biasanya dikatakan law itu. Orang orang
Islam sendiri kata Adams, bukan saja telah memberi kedudukan yang istimewa kepada Hukum

10
Islam, tetapi juga telah memelajarinya secara seksama dan telah berhasil pula merumuskannya
menjadi garis garis atau kaidah hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam segala bidang
hidup dan kehidupan.
Hukum Islam dan Teori Receptie in Complexu
Teori receptie in complexu, dikemukakan oleh Prof Mr. Lodewijk Willemstian Van den
Berg (1845 1927), seorang ahli di bidang Hukum Islam yang tinggal di Indonesia pada tahun
1870 1887. la mengatakan, bahwa bagi orang Islam berlaku penuh Hukum Islam, sebab mereka
telah memeluk agamanya, walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan
penyimpangan. Juga mengusahakan agar hukum kewarisan dan hukum perkawinan Islam
dijalankan oleh hakim hakim Belanda dengan bantuan para penghulu qadhi Islam. Pemikiran itu
berkembang karena memang sebelum Belanda datang ke Indonesia, dengan misi dagang VOC,
di sini telah banyak kerajaan Islam yang memberlakukan Hukum Islam. Paham yang dianut
(legal system) pada umumnya bermazhab Imam Syafi'i. Kerajaan kerajaan tersebut telah
menerapkan norma norma Hukum Islam dan masyarakat sudah memberlakukannya.
Dengan fakta ini, para ahli hukum Belanda membuat kodifikasi hukum bagi pedoman
pejabat untuk menyelesaikan urusan hukum bagi rakyat pribumi yang tinggal di wilayah
kekuasaannya. Beberapa kodifikasi hukum yang terkenal saat itu antara lain. 1. Compendium
Freijer, merupakan kitab hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam oleh pengadilan VOC
(Resolutie der Indisch Regering, tanggal 25 Mei 1760). 2. Cirbonsch Rechtboek, disusun atas
usul Residen Cirebon, Mr. P. C. Hosselaar (1757 1765). Compendium der Voornaamste
Javaanisch Wetten Nauwkeuring Getrokken uit het Mohammedaansch Wetboek Mogharraer,
disusun untuk Landraad semarang (1750). 4. Compendium Indlansch Wetten bij de Hoven van
Bone en Goa, disahkan oleh VOC untuk daerah Makassar (Sulawesi Selatan).
Berdasarkan kenyataan ini, Van den Berg sesungguhnya telah berjasa terhadap
masyarakat pribumi yang beragama Islam karena ia telah merumuskan keberadaan Hukum Islam
tersebut dengan teori receptio in complexu, artinya hukum yang berlaku bagi suatu kasus adalah
menurut agama yang dianut di daerah setempat. Ia juga berjasa dalam penerbitan Staatsblaad
(Stbl. 1882 No. 152) yang mengakui kewenangan badan badan peradilan agama yang berbeda
namanya di setiap tempat, untuk menjalankan yurisdiksi hukumnya berdasarkan Hukum Islam.
Jasa Van den Berg tidak hanya itu, ia pun telah berjasa dalam memberikan pernahaman yang
lebih baik terhadap Hukum Islam bagi pejabat pejabat pemerintah Hindia Belanda dan para
hakimnya. Hasil karya pernikirannya berupa tulisan yang berkaitan dengan Islam dan hukurn
Islam telah berguna dalam meningkatkan pengertian terhadap norma Hukum Islam yang berlaku
di Indonesia, misalnya tentang asas asas Hukum Islam (Mohammedaansche Recht, 1882)
menurut ajaran Imam Syafi'i dan Hanafi. Kemudian tulisan tentang hukum famili dan hukum
waris Islam di Jawa dan Madura (1892), yang berisi tentang Hukum Islam yang berlaku bagi
orang Indonesia yang beragama Islam dengan beberapa catatan penyimpangan yang dilakukan
oleh umat Islam sendiri. la juga berhasil menerjemahkan kitab berbahasa arab Fathulqorib dan
Minhaajutthalibin ke dalam bahasa Prancis.

11
Hukum Islam dan Teori Receptie
Teori receptie diperkenalkan oleh Prof Christian Snouck Hurgronye (185 7 1936),
sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda, (1898) berkenaan dengan Islam dan masyarakat.
Teori ini tertuang dalam pasal 134 Indiche Straaftregeling (IS) ayat 2 yang terkenal sebagai pasal
receptie. Sebelum menentukan kebijakannya di bidang hukum Islam di Indonesia, ia sengaja
belajar agama Islam di Mekkah dengan menggunakan nama samaran "Abdul Gafar" (1884 1885)
dan hampir menunaikan ibadah haji. Memasuki Mekkah menyamar berprofesi sebagai dokter
mata dan fotografer. Selain ahli dalam Hukum Islam, ia juga menguasai hukum adat di wilayah
Indonesia bagian utara, tepatnya Aceh. Hal ini terepresentasikan dalam tulisan¬-tulisannya,
berjudul De Atjehers dan De Gojaland.
Hugronye memasuki wilayah Aceh dan Jawa Barat dalam upaya mengkaji sikap
pemerintah Hindia Belanda terhadap kebijakan umat Islam yang begitu fanatik terhadap
agamanya. Sikap umat Islam ini tertuang dalam Stbl. 1882 No. 152 yang melahirkan teori
receptio in complexu. Ia mengomentari bahwa kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap
masyarakat Islam selama ini telah merugikan pemerintah jajahannya sendiri. Maka, dalam
kedudukannya sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronye memberikan
nasihatnya yang terkenal dengan Islam Policy. Kebijakan yang dirumuskan Hurgronye terhadap
Hukum Islam dan masyarakatnya, yaitu:
Pertama, Bidang agama, pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan
secara jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang orang Islam. Kedua, Bidang
kemasyarakatan, pernerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan
kebiasaan rakyat yang berlaku, dengan membuka jalan yang dapat menuntut taraf hidup rakyat
jajahan pada suatu kemajuan yang tenang ke arah mendekati pemerintah Hindia Belanda, dengan
memberikan bantuan kepada mereka yang menempuh jalan ini. Ketiga, Bidang ketatanegaraan,
mencegah timbulnya ideology yang dapat membawa dan menumbuhkan gerakan Pan Islamisme,
yang mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam perlawanan menghadapi
pemerintah Hindia Belanda.
Kebijakan tersebut melahirkan teori receptie, artinya Hukum Islam dapat diterima
sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat, maka kemudian berlakulah
sebagai hukum adat. Selanjutnya, di Indonesia dikembangkan 19 wilayah hukum adat yang
berbeda satu dengan lainnya. Pada pasal 134 IS disebutkan bahwa bagi orang orang pribumi,
kalau mereka menghendaki, diberlakukan Hukum Islam selama hukum itu telah diterima oleh
masyarakat hukum adat. Pasal ini sering disebut pasal receptie. Dalam kaitan hukum Islam,
kebijakan pemerintah Hindia Belanda ini merupakan usaha untuk melumpuhkan dan
menghambat pelaksanaan
Hukum Islam dengan cara sebagai berikut: Dalam hukum pidana, Tidak memasukkan
hudud dan qishas. Hukum pidana yang berlaku bersumber langsung dari Wetboek van Strafrecht
dari Nederland yang berlaku sejak Januari 1919 (Stbl. 1915: 732). Dalam hukum tata negara,
Ajaran Islam yang menyangkut hal tersebut dihilangkan sekaligus. Pengajian Alquran dan As
Sunnah untuk memberikan pelajaran agama dalarn politik kenegaraan atau ketatanegaraan

12
dilarang. Dalam hukum muamalah, Dipersempit hanya menyangkut hukum perkawinan dan
hukum kewarisan. Hukum kewarisan Islam pun mulai diminimalisir dengan langkah langkah
sistematis. Misalnya, menanggalkan wewenang raad agama di Jawa dan Kalimantan Selatan
untuk mengadili masalah kewarisan; memberi wewenang memeriksa masalah waris kepada
landraad, dan melarang penyelesaian dengan Hukum Islam, jika di tempat adanya perkara tidak
diketahui bagaimana bunyi hukum adat.
Berpegang pada Islam Policy itu, sejak 1922 dirumuskan re organisasi badan¬-badan
peradilan yang ada melalui perubahan pasal pasal IS. Sejak itu pula, dibentuk sebuah komisi
tentang peremajaan kekuasaan peradilan agama. Komisi tersebut diketuai oleh Ter Haar, yang
kemudian mengeluarkan kebijakan tentang kewarisan dalam Stbl. 1937 untuk mengurangi
kewenangan peradilan agama dibidang kewarisan bagi umat Islam.
Menurut Alfian, teori receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang
orang pribumi memunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka
penjajahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncangan
guncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pernerintah Belanda
harus mendekati golongan golongan yang akan menghidupkan hukum adat dan memberikan
dorongan kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintahannya.
Hukum Islam dan Teori Receptie Exit
Penentangan terhadap teori receptie yang dikembangkan oleh Hurgronye tidak hanya
selama Indonesia dijajah oleh Belanda, tetapi berlanjut hingga Indonesia memasuki
kemerdekaan. Para ahli hukum Indonesia mencermati betul teori tersebut yang mengakibatkan
masyarakat Indonesia menjauhi Hukum Islam. Salah satu yang menentangnya adalah Prof Dr.
Hazairin, S.H., dalam bukunya “Tujuh Serangkai tentang Hukum. la berpendirian bahwa setelah
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945, melalui Pasal 11 Aturan Peralihan
Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan hukum warisan kolonial Belanda, masih tetap
berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan Undang¬Undang Dasar, maka seluruh
peraturan perundang undangan pernerintah Hindia Belanda yang mendasarkan pada teori
receptie dianggap tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan Undang Undang Dasar
1945. Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan Alquran dan As Sunnah. Hazairin
menyebutkan teori receptie adalah "teori iblis".
Pendapat Hazairin dalam hal ini didasarkan pada pembukaan Undang Undang Dasar
1945 (alinea III) yang menyatakan, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang; bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya." Demikian juga (alinea IV menyebutkan,
"Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Kedua rumusan tersebut menggambarkan
bahwa negara Indonesia sangat akrab dengan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
agama." Menurut Hazairin, istilah Yang Maha Esa merupakan istilah kompromi, menggantikan
istilah "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Hukum Islam bagi pemeluk pemeluknya."
Walaupun telah diganti dengan istilah "Ketuhanan Yang Maha Esa," tidak berarti dapat
menyingkirkan Hukum Islam atau hukum agama. Dengan istilah tersebut, hukum agama yang

13
diberlakukan di Indonesia bagi penganut penganutnya bukan Hukum Islam saja, tetapi hukum
agama agama lain juga berlaku.
Berdasarkan pemikiran dan penentangannya terhadap teori receptie, Hazairin memberikan
kesimpulan bahwa:
Pertama, Teori receptie dianggap tidak laku dan exit dari tata hukum negara Indonesia sejak
tahun 1945, melalui merdekaan bangsa Indonesia yang memberlakukan UUD 1945 sebagai dasar
gara Indonesia. Demikian juga setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali kepada
ULTD 1945. Kedua, Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat maka negara Republik Indonesia
berkewajiban membentuk hukum Nasional salah satu sumbernya adalah hukum agama dan
Ketiga, Sumber hukum Nasional selain agama Islam, juga agama lain bagi pemeluk agamanya
masing masing, di bidang hukum perdata maupun hukum pidana sebagai hukum Nasional.
Hukum Islam dan Teori Receptio a Contrario
Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, seorang pengajar utama Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Ia menulis buku tentang Receptio a Contrario: “Hubungan Hukum Adat
dengan Hukum Islam." Buku ini mengungkapkan perkembangan Hukum Islam dari segi politik
hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia hingga
melahirkan teori receptio in complexu; teori receptie; perubahan dan perkembangan Hukum
Islam dalam praktik; sekaligus juga membicarakan teori receptio a contrario sebagai
pemikirannya. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan
kewarisan yang berlaku saat itu, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut:
1. Bagi orang Islam berlaku Hukum Islam;
2. Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita cita hukum, cita cita batin, dan moral.
3. Hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan Hukum
Islam.
Teori ini disebut dengan nama reception a contrario karena mernuat teori tentang
kebalikan (contra) dari teori receptie. Sayuti Thalib berpendirian bahwa di negara Indonesia yang
mendasarkan hukumnya pada Pancasila dan UUD 1945, semestinya orang yang menaati hukum
agamanya. Sila pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, berisi maksud dan
tujuan tersebut. Di samping itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional bersama Fakultas Hukum Ul, IAIN Antasari Banjarmasin, dan laporan penelitian
Direktorat Pembinaan Administrasi Ditjen Pembinaan Badan Peradilan Departemen Kehakiman,
menghasilkan gambaran bahwa cita cita moral, cita cita batin, dan kesadaran hukum untuk
berhukum dengan hukum Nasional Indonesia harus tidak bertentangan dengan cita cita Hukum
Islam sehingga akan berkembang keinginan batin dan kesadaran batin bagi orang Islam menaati
Hukum Islam.
Hubungan antara Hukum Islam dengan hukum adat sangat akrab. Hukum Islam
mempunyai kedudukan inti dan mendasar. Hal tersebut dapat dipahami karena masyarakat
tersebut beragama Islam. Sayuti Thalib dalarn menemukan dan mengemukakan rumusan teori
receptio a contrario mendasarkan pada asas-asas sebagai berikut:

14
a). Pada prinsipnya dalam kaitannya dengan perintah Tuhan dan rasul, kalau diformulasikan,
perintah itu berarti wajib.
b). Larangan pada dasarnya adalah ketidakbolehan untuk dikerjakan (haram); dan
c). Adat kebiasaan (urf) dapat dijadikan hukurn selama tidak bertentangan dengan Hukum Islam
(al 'adah muhakkamah).
Hukum Islam Dan Teori Eksistensi
Teori Eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A., dosen pengajar mata kuliah
Kapita Selekta Hukurn Islam dan Sejarah Hukum Islam pada Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia. la berpendapat, bahwa teori eksistensi dalarn kaitannya dengan hukurn Islam adalah
teori yang menerangkan tentang adanya hukurn Islam di dalarn hukurn Nasional. Teori ini
mengungkapkan, bentuk eksistensi hukurn Islam sebagai salah satu sumber hukum Nasional
ialah sebagai berikut:
1). Merupakan bagian integral dari hukum Nasional Indonesia;
2). Keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukurn Nasional serta diberi
status sebagai hukum Nasional;
3). Norma norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan bahan hukum
Nasional Indonesia; dan
4). Sebagai bahan utama dan unsur utama hukum Nasional Indonesia.
Hukum Nasional adalah hukum yang bersumber pada Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945. Negara Indonesia mengakui atas ke bhineka an yang mewujud dalam kehidupan
beragama dan sistem hukum Indonesia yang bersumber pada hukum adat, Hukum Islam, dan
hukum barat. Hukum Islam merupakan salah satu sumber hukum yang masuk dalam sistem
hukum Nasional. Dalam kenyataanya di masyarakat, Hukum Islam masih tetap diberlakukan
baik secara individual maupun kolektif Oleh karena itu, jelas sekali, Hukum Islam eksis di dalam
hukum Nasional Indonesia.

Prospek Penegakkan Hukum Islam Di Indonesia


Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dapat dilakukan melalui berbagai jalur iman dan
taqwa, Perundang-undangan, pilihan hukum, penelitian dan jalur pembinaan. Jalur pertama
adalah jalur iman dan taqwa, melalui jalur ini pemeluk agama Islam dan Negara Republik
Indonesia dapat melaksanakan hukum Islam yang merupakan bagian dan berasal dari agama
Islam. Hal ini berkaitan dengan bidang ibadah, intensitas pelaksanaanya tergantung kepada
kualitas keimanan dan ketaqwaan yang ada pada diri muslim yang bersangkutan, kalau imannya
baik dan taqwanya benar, hukum Islam akan berjalan dalam masyarakat muslim yang anggota-
anggotanya beriman dan bertaqwa, pelaksanaan hukum Islam melalui jalur ini dijamin oleh
Negara Republik Indonesia yang terdapat dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Jalur kedua adalah peraturan Perundang-undangan telah ditunjuk hukum perkawinan, hukum
kewarisan, hukum perwakafan sebagai hukum ibadah tersebut di atas yang sanksinya diberi oleh
masyarakat atau anggota masyarakat yang bersangkutan, melalui jalur kedua ini sanksi diberi

15
oleh penyelenggara negara melalui Peradilan Agama sebagaimana dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
Jalur ketiga hukum Islam Bidang Mu’amalah dapat dilakukan jalur pilihan. Misalnya,
dalam transaksi pinjam-meminjam melalui pilihan Perbankan. Yaitu Bank Mu’amalah Indonesia,
BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah dan sebagainya. Jalur keempat melalui jalur penelitian
yaitu pada barang-barang makanan yang diserahkan kepada Lembaga Pusat Penelitian Obat Dan
Makanan (LPPOM). Jalur kelima melalui pembinaan hukum, melalui pembinaan, hukum Islam
akan berlaku dan dilaksanakan oleh umat Islam. Tapi bisa jadi pembinaan hukum kurang efektif
terhadap perkembangan hukum Islam karena kondisi masyarakat.
Pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum Islam mungkin tertinggal oleh
perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya, atau mungkin hal yang
sebaliknya yang terjadi. Apabila terjadi hal demikian, maka terjadilah suatu keadaan dimana
terjadi ketidakseimbangan dalam perkembang lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan (W.F. Ogbun, 1966 : 200 ). Tertinggalnya
perkembangan hukum Islam oleh unsur-unsur sosial lainnya, atau sebaliknya terjadi oleh karena
hakikatnya merupakan suatu gejala yang wajar atau alamiah di dalam suatu masyarakat bahwa
terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah hukum
dengan pola-pola yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena
hukum Islam (Fiqh) pada hakikatnya disusun oleh sebagian kecil dari masyarakat yang pada
suatu ketika mempuyai kemampuan. Walaupun mereka terdiri dari orang-orang yang dapat
dianggap alim dan mewakili masyarakat, namun adalah tak mungkin mengetahui, menyadari dan
merasakan kepentingan-kepentingan seluruh warga masyarakat. Oleh karena itu ada perbedaan
antara kaidah hukum di satu pihak, dengan kaidah-kaidah sosial lainnya di lain pihak merupakan
ciri yang tak dapat dihindarkan dalam masyarakat. Namun bisa jadi tertinggalnya hukum Islam
terhadap bidang-bidang lainnya baru terjadi apabila hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhan masyarakat pada suatu ketika tertentu.
Ada jalur lain dalam aktualisasi dan pengembangan Hukum Islam, yaitu melalui pranata
sosial. Menurut Kluchon, pranata sosial adalah keseluruhan cara hidup manusia (Clyde
Cluckhon, 1984: 69) yang dihasilkan dari kombinasi antara reaksi manusia terhadap
lingkunganya yang didasarkan pada nilai-nilai yang dianut. Oleh karena itu Hukum Islam yang
mempunyai daya elastisitas sejalan dengan perkembangan pranata sosial. Semakin beragam
kebutuhan hidup manusia dan semakin beragam pranata sosial, maka semakin berkembang pula
hukum Islam. Hal ini menunjukkan, terdapat korelasi positif antara perkembangan pranata sosial
dengan pemikiran ulama secara sistematis. Atau sebaliknya, penyebaran produk pemikiran ahli
hukum Islam (fuqaha) yang mengacu kepada firman Allah melahirkan berbagai pranata sosial.
Misalnya muncul fiqh lingkungan hidup, fiqh kesehatan, fiqh ekonomi dan sejenisnya meskipun
tidak selalu dinamakan fiqh. Ali Yafi menyebutnya fiqh sosial, merupakan produk pemikiran
seorang ulama fiqh dalam memberi makna Islami terhadap pertumbuhan dan perkembangan
pranata sosial di Indonesia.

16
Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia sangat di pengaruhi oleh hukum local yang
berlaku sebelumnya. Hasil dari interaksi antara hukum Islam dengan kaidah-kaidah lokal ini
membentuk pola yang beragam. Sebagaimana hasil penelitian Amir Syarifuddin, dalam hal
hubungan antara hukum Islam dengan kaidah-kaidah lokal di adat minangkabau memiliki pola
sebagai berikut:
1. Secara keseluruhan, kaidah adat diterima oleh hukum Islam dan untuk selanjutnya menjadi
hukum Islam.
2. Hukum Islam mengubah kaidah adat seluruhnya dalam arti hukum Islam menggantikan
hukum adat, sehingga hukum adat tidak berlaku lagi untuk selanjutnya.
3. Hukum Islam membiarkan kaidah hidup tanpa usaha penyerapanya kedalam hukum Islam. Hal
ini pada umumnya berlaku dalam hukum mu’amalah. Pranata itu merupakan perwujudan
interaksi sosial di dalam masyarakat Islam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Interaksi
sosial itu berpatokan dan mengacu pada keyakinan (kesepakatan tentang benar dan salah), nilai
(kesepakatan tentang yang mesti dilakukandan mesti ditinggalkan), yang dianut oleh mereka. Ia
merupakan perwujudan amal sholeh sebagai ekspresi keimanan dalam interaksi social Kehidupan
masyarakat Islam dewasa ini dikenal sebagai pranata sosial yang bercorak keIslaman, pranata-
pranata itu meliputi berbagai bidang kehidupan, yang senantiasa mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu.
Menurut Cik Hasan Bisri, pranata-pranata itu meliputi pranata yang dekat dengan
keyakinan yang dianut, sehingga memiliki tingkat kepekaan yang sangat tinggi, seperti pranata
peribadatan, pranata kekerabatan dan pranata pendidikan. Ada pula pranata yang relatif agak
jauh dari keyakinan, sehingga relatif lurus atau netral seperti pranata ekonomi dan pranata
keilmuan, sehingga proses adaptasinya lebih longgar dan labelnya sebagai hukum Islam agak
lurus. Selanjutnya pranata itu mengalami kongkretisasi dalam struktur masyarakat dalam bentuk
organisasi sosial sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan hidup secara kolektif dan
terencana.

Amar Maruf Nahi Mungkar


Amar makruf nahi mungkar (bahasa Arab: ‫المن ر عن وال نهي ب ال م عروف األم ر‬, al-amr bi-l-
maʿrūf wa-n-nahy ʿani-l-munkar) adalah sebuah frasa dalam bahasa Arab yang berisi perintah
menegakkan yang benar dan melarang yang salah. Dalam ilmu fikih klasik, perintah ini dianggap
wajib bagi kaum Muslim. "Amar makruf nahi mungkar" telah dilembagakan di beberapa negara,
contohnya adalah di Arab Saudi yang memiliki Komite Amar Makruf Nahi Mungkar (Haiʾat al-
amr bi-l-maʿrūf wa-n-nahy ʿani-l-munkar). Di kekhalifahan-kekhalifahan sebelumnya, orang
yang ditugaskan menjalankan perintah ini disebut muhtasib. Sementara itu, di Barat, orang-orang
yang mencoba melakukan amar makruf nahi mungkar disebut polisi syariah.

17
Dalil amar ma'ruf nahi munkar adalah pada surah Luqman, yang berbunyi sebagai berikut:

“Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan laranglah
mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman 17)”

Amar ma'ruf nahi munkar dilakukan sesuai kemampuan, yaitu dengan tangan
(kekuasaan) jika dia adalah penguasa/punya jabatan, dengan lisan atau minimal membencinya
dalam hati atas kemungkaran yang ada, dikatakan bahwa ini adalah selemah-lemahnya iman
seorang mukmin.

Muhammad Abdul Qadir dalam bukunya Amar Ma’ruf Nahi Munkar mengatakan bahwa
makna ma’ruf menurut timbangan syari’at Islam adalah setiap i’tikad (keyakinan), perbuatan
(‘amal), perkataan (qawl), atau isyarat yang telah diakui oleh al-Syâri’ Yang Maha Bijaksana dan
diperintahkan sebagai bentuk kewajiban (wujȗb) maupun dorongan (nadb). Jadi, ma’ruf disini
berarti al-khayr (kebaikan). Oleh karena itu, amar ma’ruf berarti perintah atau dorongan untuk
menjalankan perkara-perkara yangma’rȗf (kebaikan), yang dituntut atau didorong oleh aqidah
dan syariat Islam. Sebaliknya, yang dinamakan dengan munkar menurut timbangan syariat Islam
adalah setiap i’tikad (keyakinan/keimanan), perbuatan (‘amal), ucapan (qawl) yang diingkari
oleh al-Syâri’ Yang Mahabijaksana dan harus dijauhi.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang di lahirkan untuk manusia,” Al-Kalabi telah
mengatakan bahwa makna ayat ini mengandung keterangan yang menyebutkan tentang keadaan
umat dalam hal keutamaannya, diatas umat-umat yang lain. Di dalamnya terkandung dalil yang
menunjukan bahwa Islam secara mutlak adalah umat yang paling baik. Kebaikan ini dimiliki
secara merata diantara generasi pertama dari umat ini hingga generasi terakhirnya, bila
dibandingkan dengan umat-umat yang lain, meskipun diantara sesamanya terdapat perbedaan,
dalam hal keutamaan, sebagaimana dalam dalil yang menunjukan keutamaan para sahabat di atas
golongan yang lain. Pengertianukhrijat yang berarti dilahirkan untuk manusia guna memberi
manfaat dan maslahat kepada mereka dan semua generasinya, sehingga umat ini berbeda dan
dikenal oleh umat lainnya.

Firman Allah SWT yang selanjutnya yang menyebutkan “Menyuruh kepada yang ma’ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Merupakan kalimat baru yang
mengandung penjelasan tentang ciri khas yang membuat mereka menjadi umat yang terbaik,
selama mereka berpegang teguh dan memelihara ciri khasnya tersebut. Namun, apabila mereka
meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar-nya, maka akan lenyaplah predikat itu dari mereka.
Dan Allah menjadikan mereka sebaik-baik umat bagi manusia karena mereka selalu
memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran, dan mereka memerangi orang-
orang kafir agar masuk Islam, sehingga keberadaan mereka dirasakan manfaatnya oleh selain
mereka. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw: “ Sebaik-baiknya manusia adalah yang
bermanfaat bagi orang lain.”Adapun menurut riwayat Ibnu Abbas r.a. dan sejumlah Tabi’in

18
adalah umat yang paling baik dan paling berguna bagi umat lainnya. Oleh karena itu, Allah
berfirman “ kamu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman
kepada Allah.”

Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan dari Durrah binti Abu Lahab, Dia berkata
“seseorang bangkit dan menuju Nabi ketika di mimbar, lalu bertanya ‘ ya Rasulullah siapakah
manusia yang paling baik? beliau bersabda: ‘manusia yang paling baik adalah yang paling
tenang, paling bertaqwa, paling giat menyuruh kepada yang ma’ruf, paling gencar melarang
kemunkaran dan paling rajin bersilaturahmi. Taghyîr al-munkar (mengubah kemungkaran)
adalah kewajiban atas setiap Muslim. Hanya saja, caranya telah ditentukan oleh Rasulullah saw.
Beliau bersabda: “Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia
mengubahnya dengan tangannya: jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya; jika tidak
mampu, hendaklah dengan hatinya. Akan tetapi, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya
iman.” [HR. Muslim].

Hadis itu terkait dengan sifat-sifat seseorang tatkala mengubah kemungkaran. Orang
yang hendak mengubah kemungkaran berhak mengubahnya dengan berbagai cara yang dapat
melenyapkan kemungkaran tersebut, baik melalui perkataan maupun perbuatan (tangan). Jika
seseorang memiliki dugaan kuat (yakni jika diubah dengan tangan akan muncul kemungkaran
yang lebih besar lagi, seperti menyebabkan resiko akan dibunuh atau orang lain bakal terbunuh
karena perbuatannya), cukuplah mengubah kemungkaran itu dilakukan dengan lisan, diberi
nasihat dan peringatan. Jika ia merasa khawatir bahwa ucapannya itu bisa berakibat pada resiko
yang sama. Cukuplah diingkari dengan hati. Itulah yang dimaksud hadits tersebut (Al-Nawawi,
Syarh Shahih Muslim).

Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa mengubah kemungkaran dengan tangan
atau kekuatan adalah tugas mereka yang memiliki kekuasaan, Sedangkan mengubah kemunkaran
dengan lisan adalah tugasnya para ulama, adapun dengan hati adalah reaksi dari kalangan awam
atau orang yang hanya bisa mendoakan agar kemunkaran itu enyah dari hadapannya. Ulama
yang lain ada yang mengatakan setiap yang mampu melakukannya atau memiliki kekuasaan
untuk mencegahnya maka sudah menjadi keharusan baginya untuk mengubah kemunkaran itu
sesuai dengan kemampuan dirinya.

Hudzaifah r.a. telah mengatakan bahwa kelak di akhir zaman akan datang kepada
manusia suatu zaman yang di dalamnya mereka lebih suka bila bersama dengan bangkai keledai
daripada seorang mukmin yang memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran.
Musa a.s. berkata “Wahai Rabbku, apakah balasan yang mengajak saudaranya untuk
mengerjakan kebajikan dan mencegahnya melakukan kemunkaran?” Allah berfirman, “Aku akan
mencatatkan baginya untuk setiap kalimat yang diucapkannya sama dengan pahala ibadah satu
tahun dan aku malu bila mengazabnya dengan neraka-Ku.”

19
Dalam sebuah hadits Qudsi di sebutkan bahwa Allah SWT telah berfirman “Hai anak
Adam, janganlah kamu termasuk orang yang menangguh-nangguhkan taubatnya dan berangan-
angan panjang, sehingga pulang ke akhirat tanpa membawa suatu amal apapun.” Ucapan yang
dikeluarkannya bagaikan ahli ibadah namun sepakterjangnya sama dengan orang munafik, jika
diberi merasa kurang puas, jika tidak diberi tidak sabar untuk segera menerima. Berpura-pura
menyukai orang-orang saleh, padahal ia bukan termasuk golongan mereka dan berpura-pura
membenci orang-orang munafik, padahal ia termasuk salah seorang dari mereka. Suka
memerintahkan kepada kebaikan namun ia sendiri tidak pernah melakukannya, dan melarang
perbuatan yang buruk padahal ia sendiri tidak pernah berhenti melakukannya. Naudzubillahi min
dzalik!

Diriwayatkan melalui sahabat Rasul ‘Ali karramallahu wajhah yang menceritakan bahwa
ia pernah mendengar Rasulullah bersabda, “ kelak di akhir zaman akan datang suatu kaum yang
usia mereka masih muda-muda, wawasan pengetahuan mereka tentang agama dangkal, mereka
suka mengeluarkan kalam sebaik-baik makhluk, namun hanya di mulut saja tidak sampai masuk
kedalam hatinya, mereka keluar dari agama secepat anak panah menembus sasarannya.
Rasulullah sewaktu di isra’kan oleh Allah SWT ke langit, beliau melihat sejumlah kaum laki-laki
yang lidah mereka dipotong dengan gunting api, lalu beliau bertanya kepada Jibril. “Hai Jibril,
siapakah mereka?” ‘Jibril menjawab, “Mereka adalah tukang ceramah dari kaummu yang suka
memerintahkan kebaikan kepada orang lain, sedangkan mereka sendiri melalaikannya.”

Allah menegur keras sikap mereka yang demikian itu, sebagaimana firmannya:Mengapa
kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan (kewajiban) dirimu
sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat) maka tidakkah kamu berpikir? (QS. al-
Baqarah [2]: 44), di ayat yang lain Allah juga telah menegaskan “Wahai orang-orang yang
beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian
di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS al- Shaff [61]: 2-
4). Ayat ini menjukkan konsistensi antara ucapan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak orang yang paham tentang agama tapi sifat dan tingkah lakunya tidak berbeda jauh
dengan binatang, tidakkah kita berpikir?

Sahabat Rasulullah yang bernama Anas r.a. telah bertanya kepada Rasul, “Wahai
Rasulullah, bolehkah kami memerintahkan kepada kebaikan agar kami dapat mengerjakan
semuanya, dan bolehkah kami mencegah kemungkaran agar kami agar menghindari semuanya?”
Beliau menjawab, “Tidak, bahkan perintahkanlah kepada kebaikan, meskipun kamu masih
belum mengamalkan keseluruhannya dan cegahlah kemungkaran meskipun kamu masih belum
dapat menghindari seluruhnya.” Hal ini lain halnya dengan para penceramah yang memotong
lidah mereka sendiri lantaran mereka menyuruh tapi mereka sendiri tidak pernah
mengerjakannya (ta’mur wala ta’mal).

Jadi, sudah seharusnya tugas amar ma’ruf nahi mungkar ini adalah tugas bagi kita semua
selaku muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, Rasulullah saw telah bersabda: “Tidaklah

20
suatu kaum itu melakukan kemaksiatan-kemaksiatan dan di kalangan mereka terdapat orang
yang mampu mencegahnya dari mereka namun ia tidak melaksanakannya, melainkan Allah
meratakan siksa dari-Nya kepada mereka. (HR. Tirmidzi)

Oleh karena itu pantaslah bila kita sering mendapatkan teguran-teguran dari Allah, mulai
dari tsunami, lumpur Lapindo, gunung meletus dan sebagainya, mungkin entah musibah apalagi
yang akan menimpa negeri kita. Ini tak lain adalah sebuah peringatan bahwa sesungguhnya
kemunkaran itu telah tejadi di mana-mana, tetapi tak pernah ada yang menyuruh kepada yang
ma’ruf. Allah telah mengingatkan bagi kita melalui bencana alam oleh karena itu sudah
semestinya kit bersama-sama bertafakkur dan bertaubat atas kelalaian yang pernah kita lakukan
agar semua siksa yang Allah ratakan tidak terjadi lagi. Marilah kita sama-sama kembali ke jalan
Allah SWT dengan mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dengan
menanamkan kesabaran dalam diri serta percaya dengan adanya pahala dari Allah SWT, karena
sesungguhnya barang siapa yang percaya dengan adanya pahala dari Allah niscaya tidak akan
merasakan gangguan menyakitkan yang menimpa diri kita. Semoga kita termasuk orang-orang
yang bertaqwa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Fitnah Akhir Zaman


Dijelaskan di akhir zaman, hukum kalah dengan etika. Paling mudah, contohnya hukum
mengorder pelacur adalah haram. Namun etika di masyarakat mengatakan bahwa si pemberi
order itu disebut orang baik jika dia mau membayar. Contoh lain, haram nonton konser yang
mengumbar aurat. Namun, etika masyarakat menyatakan siapapun yang menonton konser yang
mengumbar aurat itu adalah orang baik jika dia mau membayar tiket dan berlaku sopan selama
pertunjukan. Ini yang kita takutkan. Hukum tak ada lagi karena kalah oleh etika yang berlaku di
masyarakat meski etika itu salah. Yang paling kita takutkan adalah kebaikan dalam keburukan.
Orang berlaku buruk namun masyarakat mengatakan itu baik, sehingga orang itu tidak pernah
instropeksi bahwa sebenarnya perilakunya itu buruk. Orang-orang di zaman dahulu berhasil
menjaga iman dan ketaatannya kepada Allah ketika diuji dengan kemiskinan. Namun gagal
mempertahankan keimanan ketika diuji dengan harta dan kekayaan seperti Tsa’labah dan Qarun.
Berbeda dengan kita. Sekarang kebanyakan dengan ujian kemiskinan saja gagal menjaga iman
dan taat pada Allah. Apalagi diuji kekayaan dan kedudukan. Tentu akan membuat lebih gagal
lagi dengan sifat-sifat kesombongan dan keangkuhan yang akan timbul karena merasa hebat
dengan sedikit kelebihan yang Allah berikan. Tgk Umar Rafsanjani, ketua Umum Majelis
Pengajian dan Zikir Tastafi Kota Banda Aceh sebagaimana dilansir serambinews.com,
mengungkapkan, di akhir zaman, fitnah dan ujian yang akan dialami oleh umat Islam tidak lagi
bersifat pribadi dan kelompok, tapi kolektif dan dirasakan oleh seluruh umat.
Fitnah ini sangat dahsyat, antara lain ketika kebohongan diyakini oleh masyarakat
banyak sebagai kebenaran dan kebenaran justru dinilai sebagai dusta atau hoax. Tgk Umar lalu
mengutip hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah RA. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda yang artinya: “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan tipuan.
Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur didustakan. Pengkhianat dipercaya
sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah

21
berbicara. Ada yang bertanya, ‘Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?’. Rasulullah menjawab,
“Orang fasik dan bodoh yang turut campur dan berbicara dalam urusan orang banyak”.

22
DAFTAR PUSTAKA

https://smol.id/2020/07/09/ini-fitnah-akhir-zaman-yang-bikin-ulama-nangis/

https://fis.uii.ac.id/blog/2010/03/12/rahasia-di-balik-amar-maruf-dan-nahi-munkar/

https://muslim.or.id/425-islam-iman-ihsan.html

https://islamandsains.wordpress.com/

http://syariah-muher.blogspot.com/2010/12/teori-penegakkan-hukum-islam-di.html

23

Anda mungkin juga menyukai