Makalah Kel 2 Oroantral Fistula
Makalah Kel 2 Oroantral Fistula
PENDAHULUAN
Sinus maxillaris biasanya dianggap sebagai daerah tak bertuan oleh para
dokter gigi, dan lubang masuk ke daerah antrum seringkali keliru ditafsirkan sebagai
paranasal. Patologis pada rongga mulut dapat meluas ke sinus, dan patologis dalam
sehingga penderita sering kali megelirukan symptom yang satu dengan yang lainnya.
dibutuhkan pemahaman tentang perkembangan dan dan anatomi dari sinus maxillary.
dan antrum merupakan persyaratan. Pemahaman tentang saraf dan suplay vascular
yang sama antara sinus dan gigi rahang atas di dekatnya juga membantu memberikan
dasar penjelasan yang logis untuk keadaan klinis dan symptom-simptom tertentu.1
Setiap tindakan dan perawatan yang dilakukan dalam rongga mulut dapat
1
Oroantral fistula terjadi karena adanya rongga patologis antara rongga mulut dengan
antrum. 2
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas dengan lebih mendetail
sebagai bekal pengetahuan untuk para calon dokter gigi maupun dokter gigi untuk
11. Rujukan
2
1.3 Manfaat Penulisan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Sinus maksillaris disebut juga antrum. Pertama kali diuraikan oleh Nathaniel
Highmore, ahli anatomi dari Inggris pada abad ke-17. Antrum adalah sebuah rongga
atau tuangan yang dapat bergerak dan berada di dalam tulang (Kruger, 1974). Secara
anatomis, sinus maksillaris terletak di dalam korpus maksilla dan merupakan sinus
Sinus maksillaris ada 2 yang terletak di kedua sisi rahang atas dan merupakan
sinus paranasal yang terbesar. Kedua sinus maksillaris memiliki bentuk dan ukuran
yang sama. Dimensi rata-rata sinus adalah sekitar 3,5 cm (anteroposterior), 3,2
seperti piramida yang terdiri dari basis, apeks, dan memiliki empat sisi. Basis
4
posterosuperiornya. Hiatus maksilaris ini berubah menjadi ostium (pintu) sinus
yang lebih kecil karena persendian tulang di sekitarnya, yaitu prosesus unsinatus
inferior, labirin etmoidale dan os lakrimale di sebelah atas dan di sebelah anterior,
tulang ini, selain mengecilkan ukuran hiatus maksilaris juga membentuk sebagian
bahkan pada sinus yang besar meluas ke dalam tulang zogomatikus itu sendiri.4
Keempat dinding sinus maksilaris yang membentuk piramid terdiri atas atap
sinus, dinding anterior, dinding posterior, dan lantai sinus. Atap sinus adalah
dasar orbita yang halus dan sangat tipis. Di bagian posteriornnya terdapat suatu
kanalis infraorbitalis. Kanalis ini dilalui oleh arteri, vena, dan nervus infraorbitalis
infraorbitalis selain membentuk dasar orbita juga menjadi atap sinus maksilaris.4
Dinding anterior sinus maksilaris adalah fosa kanina dari tulang maksila yang
5
infratemporal os maksila ditembus oleh kanalis alveolaris, yang membawa nervus
alveolaris posterior ke molar atas. lantai sinus atau dasar sinus maksilaris
infratemporal korpus maksila.bila ukuran sinus rata-rata normal, maka lantai sinus
sama tingginya dengan lantai hidung. Tetapi bila ukuran sinus besar, akan
Ketebalan setiap dinding sinus tidak sama, terutama pada atap dan lantainya.
Dinding atap tebalnya 2-5 mm sedang tebal dinding lantai antara 2-3 mm. daerah
Kebanyakan apeks akar premolar dan ketiga molar atas berada paling dekat
dengan lantai sinus maksilaris. Hubungan tersebut bervariasi. Pada pasien dengan
prosesus alveolaris yang panjang dan kubah palatal tinggi, mempunyai lapisan
tulang yang tebal antara apeks gigi dan lantai sinus maksilaris sehingga pasien
6
2.1.2 Fisiologi Sinus Maksillaris
yang mengandung sel goblet. Lamina proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil
dan kontinyu dengan periosteum ang berdekatan. Secara umum, mukus yang
dihasilkan di dalam rongga-rongga ini akan dialirkan ke dalam rongga hidung sebagai
Pada sinus maksilaris, silia epitel berfungsi membuang partikel dan bakteri
dengan mekanisme mukosiliaris. Silia ini memegang benda asing pada ujung rambut
getarnya dan gelombang gerakan silia akan membewa benda-benda tersebut dari satu
regio silia menuju ke depan pada regio lainnya sampai ke ostium (pintu) sinus.
Setelah tiba di ostium, mukus kan dilepas sebagai aliran sinus yang masuk ke dalam
1. Radang
sinonasal. Bila kondisi ini berlanjut, sekresi ini akan mengisi sinus karena
tergangguna fungsi silia atau penyumbatan ostium sinus, atau keduanya. Karena
letak ostium sinus maksilaris tidak dipengaruhi gaya gravitasi, maka drainase
yang normal bukan cara perawatan idela. Bila drainase terganggu, akan terjadi
7
2. Sinusitis Akut
Sinusitis maksilaris akut sering terjadi setelah rinitis alergik/infeksi virus pada
mengenai demam, lemas, sakit kepala samar-samar, rasa bengkak pada wajah,
dan sakit gigi pada posterior atas. perubahan posisi dapat mengurangi atau
menambah rasa tidak enak. Dari pemeriksaan sering terlihat adanya sekresi
mukopurulen di dalam hidung dan nasofaring. Terdapat nyeri palpasi dan tekan
3. Sinusitis Kronis
4. Neoplasia
Tumor jinak glandula saliva atau tumor ganas ini dapat berasal dari glansula
asesoris yang terdapat dalam lapisan sinus. Bila terdapat keganasan pada sinus
8
5. Trauma
Cedera yang mencapai sinus maksilaris terjadi pada kasus Le Fort I dan II,
blow-out orbita, dan fraktur prosesus alveolaris maksila bagian posterior. Dengan
adanya trauma, dinding antrum mengalami fraktur atau remuk dan pelapisnya
robek, sehingga sinus akan terisi darah. Sinus juga dapat mengalami cedera pada
pencabutan gigi rahang atas dan pada pelaksanaan penanganan patologis gigi
yang berdekatan. Regio molar pertama rahang atas merupakan daerah yang paling
sering berhubungan dengan keterlibatan sinus, diikuti oleh regio molar kedua dan
premolar kedua.1
fistula adalah hubungan yang tidak normal antara sinus maksillaris dan rongga mulut
dan dapat merupakan hasil dari beberapa proses patologi yang berbeda. Oroantral
fistula adalah satu dari beberapa jenis komplikasi pencabutan gigi premolar dan molar
9
a. Pemeriksaan Subjektif, berupa anamnesa kepada pasien untuk mendapatkan
berbagai informasi, seperti data diri pasien (nama, alat, umur, pekerjaan, jenis
kelamin, nomor telepon, dll), keluhan utama pasien, riwayat dental pasien, dan
b. Pemeriksaan Objektif
rongga yang ada, misalnya sinus, pasien bisa merasakan sakit atau tidak.
2. Oroantral fistula juga dapat diketahui dengan melakukan tes tiup dengan
cara pasien meniup dengan hidung tertutup dan mulut terbuka. Pada
melalui daerah yang mengalami kerusakan, dan pada soket gigi akan
3. Pasien bisa/ tidal mengeluhkan adanya rasa sakit atau lepasnya udara dari
4. Lubang yg ada ditunjukkan dengan suction dan lampu atau juga bisa
keduanya.
c. Pemeriksaan Penunjang
10
1. Radiografi
View dengan muka menghadap ke bawah dan waters view dengan modifikasi
tegak. Gambaran yang sering didapat pada sinusitis akut adalah opasifikasi dan
batas udara atau cairan. Sinusitis kronis seringkali digambarkan dengan adanya
penebalan membrane pelapis. Lesi jinak lainnya, misalnya mucocele dan kista
sangat membantu. 1
11
2. Tomografi/ CT
sinus, dasar orbita, atau lingkar orbita inferior. BIla gigi atau akar gigi bergeser
lokasinya dengan film atau foto periapikal, yang didukung dengan foto oklusal.
dasar orbita dan dalam penggambaran luas lesi ganas/ jinak. Penggambaran
kerusakan yang disebabkan oleh trauma secara lebih tepat, atau perluasan lesi
3. Biopsi
pada region fossa canina. Jika ada erosi/ penembusan dinding antrum, maka
Tanda dan gejala klinis yang tampak dari oroantral fistula adalah:1,2,6
- Adanya pembukaan atau lubang antara rongga mulut dengan antrum/ sinus. Ini
12
- Adanya pembentukan jaringan ikat atau jaringan granulasi dan sering terjadi
drainase mukopurulen.
- Pembengkakan jaringan lunak (lapisan antrum), halus, dapat dilihat melalui soket.
- Pasien tidak mengeluhkan adanya rasa sakit, kecuali jika terjadi infeksi akut pada
sinus.
- Pada saat minum ataupun kumur-kumur pasien mengeluhkan adanya cairan yang
- Saluran yang terbentuk dapat dilihat secara klinis melalui probing (probe ductus
lacrimalis).
- Pada soket gigi akan terlihat gelembung udara seperti busa sabun.
13
2.2.4 Etiologi dan Patomekanisme Oroantral Fistula
bertahan lebih dari 48 jam. Lubang terbentuk setelah pembedahan (sengaja ataupun
tidak) dan akibat trauma pada sinus dan jarang sekali disebabkan oleh cacat
a. Pencabutan gigi posterior rahang atas terutama pada molar pertama, molar kedua,
berlebih kearah superior dalam tindakan pengambilan fragmen atau ujung akar
gigi molar atau premolar, pemasangan gigi tiruan implan yang tidak benar dan
c. Bentuk dinding dasar antrum yang berlekuk mengikuti kontur akar gigi sehingga
d. Adanya jaringan patologis pada ujung akar gigi seperti kista radikuler, granuloma
14
2.2.5 Perawatan Oroantral Fistula
diperkirakan telah menjadi fistula. Pasien dengan OAF (Oroantral Fistule) butuh
penangan terhadap fistula dan penutupan dari sinus yang terbuka. Sebelum prosedur
tersebut dilakukan pasien mungkin butuh perawatan terhadap sinusitis yang mungkin
ada. Ada beberapa macam metode perawatan terhadap sinusitis yang mungkin terjadi
irigasi sinus yang rutin untuk menghilangkan infeksi kronis. Dalam perawatannya,
OAF harus dievaluasi dengan pemeriksaan gambar dan klinis. Pasien dengan debit
(cairan) yang berasal dari fistula dan hidung membutuhkan irigasi sinus. Irigasi dari
sinus maksilaris tidak boleh dilakukan dalam keadaan tekanan tinggi, karna tekanan
jaringan sekitar, termasuk daerah orbital. Irigasi harus dilakukan dalam interval 48
jam dan dievaluasi kembali. Jangan pernah mencoba untuk melakukan penutupan
Setelah penyakit pada sinus telah dikontrol barulah prosedur bedah dapat
direncanakan. Bagian terpenting dari prosedur ini ialah pembuangan sisa mukosa
kronis. Ukuran dari lubang oroantral yang terjadi biasanya lebih besar dari fistula
yang ada itu sendiri. Prosedur Caldwell-Luc digunakan untuk mendapatkan akses ke
antrum agar dapat melakukan debrisasi jika diperlukan. Akses didapatkan di atas
vestibulum kaninus dan kemudian kuret antral dapat digunakan untuk membuang
15
jaringan mukosa yang terinfeksi. Nasal packing dan antibiotic topical pada kasa
mukosa. Kemudian perhatian bisa lebih difokuskan pada pembuangan jaringan fistula
dan penutupan lubang yang terbentuk. Fitulektomi dapat dilakukan pada prosedur ini.
Banyak metode yang dapat digunakan untuk menutup lubang oroantral yang
flap local, flap distant, dan grafting. Flap local meliputi jaringan disekitar yang
adekuat untuk menutupi lubang. Beberapa contoh teknik flap local diantaranya flap
bukal (sliding /-pun finger), flap palatal, dan kombinasi antara jaringan
ke sinus maksilaris seperti yang dijelaskan sebelumnya. Kelebihan dari teknik ini
adalah mudah dimobilisasi, keterampilan yang minimum serta waktu yang diperlukan
lebih singkat. Kekurangannya adalah penyatuan jaringan kurang baik sehingga hanya
mukoperiosteal dan dijahit pada jaringan de-epitalisasi yang telah disiapkan. Perlu
perhatian lebih terhadap desain flap agar dapat terjadi rotasi dan posisi yang benar.
Flap palatal yang didesain dengan baik itu tebal dan memiliki suplai darah yang
16
jaringan granulasi. Kelebihan dari tekhnik ini adalah lebih mudah dibentuk untuk
menutupi kerusakan yang terjadi karena mukosa palatal lebih tebal dan padat serta
penyatuannya yang lebih baik sehingga lebih disarankan pengunaannya untuk fistula
yang kambuh dan atau lebih besar, sedangkan kekurangannya adalah tekniknya yang
sulit. Flap palatal ini sendiri terbagi atas 2 tipe yaitu full thickness flap dan split
prosedur sederhana yang dapat memberikan hasil yang baik bagi penutupan daerah
OAF yang besar disertai dengan penyakit kronik akan susah untuk ditangani
dan kegagalan dalam penutupannya dapat terjadi. Jika pada penanganannya terdapat
jaringan yang tidak adekuat maka prosedur distant flap dapat dilakukan. Salah satu
Bahan graft yang dapat digunakan untuk menutup OAF diantaranya adalah
gold foil dan allograft bone graft. Bahan graft ini tersedia dalam bentuk lembaran
lubang tertutup lewat jaringan halus terdekat atau disekitarnya. Indikasi utama
penggunaan bone grafting ini sendiri adalah jika dibutuhkannya rekontruksi tulang
Oroantral fistula yang terjadi setelah tindakan pencabutan, apabila kecil dan
segera dilakukan perawatan dengan cepat dan benar cenderung sembuh spontan
17
karena adanya proses pembekuan darah yang mampu menutup pembukaan yang
terjadi. 2
Oroantral fistula dapat memberi dampak yang lebih parah pada pasien. Jika
tidak segera ditangani, lubang yang terbentuk akan bertahan lebih lama, maka traktus
jaringan granulasi atau jaringan ikat dan jika berlanjut dapat menyebabkan terjadinya
infeksi dan dipercepat pada pencabutan gigi yang mengalami infeksi periapikal.
Perawatan yang tidak benar, menyebabkan infeksi dapat menyebar kea rah sinus
maksilaris.1
Masuknya akar gigi kedalam sinus juga merupakan salah satu etiologi dari
oroantral fistula. Dan pada kasus seperti ini, harus dilakukan pemeriksaan radiografi
dada, yaitu untuk meyakinkan bahwa akar tidak masuk ke dalam bronkus. Bila akar
ditemukan pada bronkus, pasien segera mungkin harus dirujuk ke rumah sakit untuk
mengeluarkan akar gigi tersebut dengan bronkoskopi sebelum terjadi abses paru atau
atelectasis supervene.7
Secara umum, tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah agar tidak
18
a. Melakukan foto rontgen terlebih dahulu sebelum tindakan pencabutan gigi untuk
mengetahui posisi akar gigi posterior rahang atas yang letaknya dekat dengan
antrum dan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit periapikal pada jaringan
b. Melakukan tes tiup dan kumur setelah pencabutan untuk mendeteksi apakah
terjadi kecelakaan terbukanya antrum atau tidak, sehingga bila terjadi dapat
segera diketahui dan dilakukan perawatan dengan cepat dan benar serta
c. Pengontrolan tekanan yang diberikan pada instrument dan tindakan yang selalu
terhindari.2
d. Jangan mengaplikasikan tang pada gigi atau akar gigi posterior atas kecuali bila
panjang gigi atau akar gigi yang terlihat cukup besar baik ke dalam arah palatal
dan bukal, sehingga ujung tang dapat diaplikasikan dengan pandangan langsung.7
e. Tinggalkan 1/3 apeks akar palatal gigi molar atas bila tertinggal selama
pencabutan dengan tang kecuali bila ada indikasi positif untuk mengeluarkannya.7
f. Jangan mencoba mencabut akar gigi atas yang patah dengan menggunakan
mukoperiosteal yang besar dan buang tulang secukupnya sehingga elevator dapat
19
2.3 Rujukan
penanganan kasus penyakit yang sedang ditangani oleh seorang dokter kepada dokter
tenaga kesehatan yang lebih ahli dari strata pelayanan kesehatan yang lebih
mampu ke strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu untuk bimbingan dan
kesehatan yang kurang mampu ke strata yang lebih mampu atau sebaliknya, untuk
tindak lanjut.
20
Rujukan dilakukan menggunakan surat dimana beberapa hal informasi yang
dicantumkan meliputi
- Keluhan utama
21
SURAT RUJUKAN
Yth. Dokter Gigi : Drg. M Iqbal Rosada
Di RSU : Rs Fatmawati
Anamnesa :
a. Keluhan : Gigi terasa sakit bila digunakan untuk makan-makanan yang
dingin dan panas
Demikian surat rujukan ini kami kirim, kami mohon balasan atas surat
rujukan ini. Atas perhatian Bapak/Ibu kami ucapkan terima kasih.
22
JAWABAN RUJUKAN
Hasil pemeriksaan :
Terdepat gigi impaksi pada gigi 3.8 dan perlu dilakukan perawatan dan operasi untuk
pencabutan gigi 3.8.
Diagnosa :
Impaksi gigi 3.8
Perawatan yang sudah dilakukan :
Pemberian obat analgetik untuk meredakan rasa sakit pada gigi.
Demikian balasan surat rujukan ini kami kirim. Atas perhatian
Bapak/Ibu kami ucapkan terimaksih.
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara anatomis oral dan antrum adalah dua bagian yang sangat dekat namun
terpisah satu sama lain. Pada dasar antrum sangat mudah terjadi perforasi karena
tipisnya dinding dasar antrum yaitu hanya sekitar 3 mm. oleh karena itu, dalam
melakukan ekstraksi pada gigi posterior rahang atas diperlukan pengontrolan tekanan
dan berhati-hati untuk menghindari perforasi pada antrum. Kalaupun telah terjadi
3.2 Saran
Setelah melakukan ekstraksi pada gigi posterior rahang atas (yang dekat
dengan antrum) lakukanlah tes untuk mengetahui apakah terjadi perforasi pada
antrum atau tidak , misalnya dengan melakukan tes tiup dan berkumur. Sehingga
jika pada tes tersebut diketahui bahwa terjadi perforasi, maka dapat dilakukan
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Pedersen, Gordon W. Buku Ajar Praktis bedah Mulut (Oral Surgery). Jakarta :
EGC. 1996.
Klinisnya pada Pencabutan Gigi-Geligi Atas. MI. Kedokteran Gigi. (27): 158-
166.
5. Malik, Neelima Anil. 2008. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery Ed.2 nd.
new Delhi:Jaypee.
6. Birnbaum W, Dunne SM. Diagnosis kelainan dalam mulut. Jakarta: EGC. 2002;
p.181
25