Oleh : Nisrina Tache Pembimbing : Dr. dr. Risa Miliawati, N.H., SpKK(K) dr. Lies Marlysa Ramali, SpKK(K)
ANTIJAMUR Ghannoum M, Salem I, Christensen L, penyunting. Fitzpatrick dermatology. Edisi ke-9. New York: McGraw-Hill; 2019. hlm. 3436-50.
Infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh dermatofita dan ragi
merupakan salah satu infeksi yang paling sering terjadi. Secara epidemiologi, infeksi jamur superfisial memengaruhi lebih dari 25% populasi di seluruh dunia. Obat antijamur saat ini sering diberikan dan digunakan secara luas untuk mengobati infeksi jamur superfisial. Terapi antijamur dibagi menjadi antijamur topikal dan sistemik. Pilihan terapi membutuhkan pertimbangan sejumlah faktor seperti luasnya infeksi, lokasi infeksi, efek samping, biaya, dan kemudahan pengobatan. Secara umum, terapi antijamur topikal menjadi pilihan untuk mengatasi sebagian besar infeksi jamur. Terapi antijamur topikal memiliki beberapa keuntungan dibandingkan terapi antijamur sistemik yaitu murah, mudah dijangkau tanpa menggunakan resep, mudah digunakan, mencapai kepatuhan pasien yang tinggi, dan memiliki efek antibakterial serta antiinflamasi. Obat antijamur sistemik tetap menjadi pilihan terbaik untuk mengobati tinea kapitis, onikomikosis, dan infeksi jamur superfisial yang bersifat ekstensif, rekuren, dan rekalsitran terhadap terapi topikal. Namun, pada beberapa kasus kedua pilihan terapi tersebut dapat digunakan. Secara umum target utama obat antijamur, baik topikal maupun sistemik, adalah ergosterol. Ergosterol merupakan komponen yang dibutuhkan oleh membran sel jamur dalam mempertahankan integritas dan keutuhan struktur serta permeabilitas membran sel. Terdapat tiga kelompok obat-obat antijamur utama yang menjadikan ergosterol sebagai target kerja utama, yaitu alilamin, benzilamin, azol (imidazol dan triazol), dan polien. Golongan alilamin, benzilamin, dan azol bekerja dengan cara menghambat sintesis ergosterol. Golongan polien bekerja dengan cara membentuk saluran sepanjang membran sel sehingga menyebabkan kebocoran sel dan berujung pada kematian sel jamur. Golongan azol lebih efektif mengobati infeksi ragi dibandingkan dengan golongan alilamin, tetapi kurang efektif mengobati infeksi dermatofita. Selain itu, terdapat terapi antijamur lain yaitu siklopiroks, amorolfin, tavaborol, dan griseofulvin. Terapi antijamur topikal dan sistemik, keduanya memiliki efek samping. Meskipun demikian, terapi antijamur topikal lebih banyak memiliki keuntungan dibandingkan terapi antijamur sistemik. Efek samping terapi antijamur topikal yang paling umum antara lain reaksi hipersentivitas ringan, bersifat sementara dan terlokalisir, sedangkan efek samping antijamur sistemik menunjukan berbagai derajat toksisitas organ dan kemungkinan interaksi obat yang serius.