Laporan Kasus Evans Syndrome
Laporan Kasus Evans Syndrome
PENDAHULUAN
Sindrom Evans adaah kelainan yang jarang dimana sistem kekebalan tubuh
menghasilkan antibodi yang secara keliru menghancurkan sel darah merah,
trombosit dan kadang sel darah putih (neutrofil). Hal ini menyebabkan rendahnya
kadar sel darah dalam tubuh (sitopenia). Kehancuran dini sel darah merah
(hemolisis) dikenal sebagai anemia hemolitik autoimun atau AIHA.
Trombositopenia mengacu pada kadar trombosit rendah (purpura trombositopenia
idiopatik atau ITP). Neutropenia mengacu pada rendahnya sel darah putih tertentu
yang dikenal sebagai neutrofil. Sindrom Evans didefinisikan sebagai asosiasi
AIHA bersama dengan ITP; neutropenia jarang terjadi. Dalam beberapa kasus,
penghancuran autoimun dari sel darah ini terjadi bersamaan. Dalam kebanyakan
kasus, satu kondisi berkembang lebih dulu sebelum kondisi lain berkembang di
kemudian hari (berurutan). Gejala dan tingkat keparahan sindrom Evans sangat
bervariasi dari satu orang ke orang lainnya. Sindrom Evans berpotensi
menyebabkan komplikasi parah dan mengancam jiwa. Sindrom Evans dapat
terjadi dengan sendirinya sebagai gangguan primer (idiopatik) atau berhubungan
dengan kelainan autoimun lainnya atau gangguan limfoproliferatif sebagai
gangguan sekunder. Perbedaan antara sindrom Evans primer dan sekunder penting
karena dapat mempengaruhi pengobatan (Norton dan Roberts, 2009).
Sindrom Evans pertama kali dijelaskan dalam literatur medis pada tahun
1951 oleh Dr. Robert Evans dan rekannya. Selama bertahun-tahun, kelainan ini
dianggap sebagai kejadian kebetulan AIHA dengan trombositopenia dan/atau
neutropenia. Namun, para periset sekarang percaya bahwa kelainan tersebut
merupakan kondisi yang berbeda yang ditandai dengan keadaan malfungsi sistem
kekebalan tubuh (lebih dari ITP atau AIHA saja) (Norton dan Roberts, 2009).
1
II. STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. A H
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Purwareja 01/03 Banjarnegara
Pekerjaan : Pegawai swasta
Agama : Islam
No RM : 02021903
Tgl. Masuk RS : 20 September 2017
Tgl Periksa : 22 September 2017
Bangsal : Mawar
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : Badan terasa lemas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS pada tanggal 20 September 2017
dengan keluhan utama badan terasa lemas. Keluhan badan lemas dirasakan
hingga pasien berbaring terus menerus di kasur dan tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari. Keluhan tersebut dirasakan setiap hari. Keluhan tidak
hilang maupun membaik dengan pasien meminum obat maupun
beristirahat seharian. Keluhan badan terasa lemas pertama kali dirasakan
sejak 1 tahun yang lalu smrs, seiring dengan waktu keluhan badan lemas
semakin parah dan membuat pasien datang ke rumah sakit. Kronologis
pertama kali pasien merasakan badan lemas tidak diingat, pasien hanya
mengatakan badan lemas tersebut datang secara tiba-tiba.
Keluhan disertai dengan penurunan berat badan akibat nafsu makan
pasien yang menurun, mual, dan muntah sejak 4 bulan yang lalu. Pasien
juga mengeluhkan nyeri perut bagian kanan dan kiri, nyeri perut dirasakan
sejak 2 minggu yang lalu. Pasien mengaku BAB pasien berwarna hitam
sejak 3 hari sebelum masuk RSMS. Pasien juga mengaku pernah memiliki
ruam-ruam warna kecoklatan pada badan.
Pasien pernah beberapa kali rawat inap di rumah sakit sebelum di
RS Margono Soekarjo. Riwayat mondok di RSUD Banjarnegara selama 3
2
hari dengan keluhan yang sama. Pasien diberikan transfusi darah dan
keluhan membaik. Setelah itu pasien pulang dan keluhan serupa muncul
kembali hingga pasien dirujuk ke RS Margono Soekarjo.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
e. Riwayat alergi ` : disangkal
f. Riwayat sakit kuning : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat alergi ` : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien merupakan seorang pegawai swasta yang tinggal
bertiga dengan istri dan anaknya. Rumah pasien tinggal di lingkungan
dengan penduduk yang padat. Hubungan pasien dengan tetangga
cukup baik.
b. Occupational
Pekerjaan pasien adalah pegawai swasta. Setiap hari pasien
bekerja namun karena penyakitnya ini, aktivitas tersebut menjadi
terhambat.
c. Personal Habit
Pasien tidak memiliki kebiasan tertentu seperti merokok dan
minum minuman ber alkohol
d. Drugs and Diet
Pasien tidak menkonsumsi obat obatan tertentu.
3
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak lemas
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : TD : 110/80 mmhg
N : 72 x/menit
RR : 20 x/menit
Status Generalis
Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala : Mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)
Pemeriksaan Mata
Palpebra : Edema (-/-), ptosis (-/-)
Konjunctiva : Anemis (+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 3 mm
Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
Pemeriksaan Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-),
rinore (-/-)
Pemeriksaan Mulut : Bibir sianosis (-), tepi hiperemis (-), bibir
kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), ikterik (-),
sariawan (-)
Pemeriksaan Leher
Trakea : Deviasi trakea (-)
Kelenjar Tiroid : Tidak membesar
Kel. Limfonodi : Tidak membesar, nyeri tekan (-)
JVP : Dalam batas normal, 5+2 cmH2O
Status Lokalis
Paru-Paru
Inspeksi : Hemithorax dextra = sinistra, ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Vocal fremitus apex dextra = sinistra
Vocal fremitus basal dextra = sinistra
Perkusi : Sonor, batas paru hepar SIC V LMCD
Auskultasi : SD vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC VI 2 jari medial LMCS
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI 2 jari medial LMCS,
kuat angkat
4
Perkusi : Batas Jantung
Kanan atas : SIC II LPSD
Kiri atas : SIC II LPSS
Kanan bawah: SIC V LPSD
Kiri bawah : SIC VI, 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) di seluruh lapang perut, undulasi (-)
Hepar : Teraba 3 jari BACD
Lien : Teraba garis Schuffner 1/8
Extremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - - -
Sianosis - - - -
ITP - - + +
Kuku kuning - - - -
(ikterik)
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis
Bicep/tricep + +
Patela + +
Reflek patologis
Reflek - - - -
babinsky
Sensoris D=S D=S D=S D=S
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium DL 20 September 2017
5
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 4,7 L 14–18 g/dL
Leukosit 8990 L 4.800–10.800 U/L
Hematokrit 13 L 42–52 %
Eritrosit 1,4 L 4,7–6,1 ^6/uL
Trombosit 114.000 L 150.000– 450.000 /uL
MCV 94,3 79 – 99 fL
MCH 33,3 27 – 31 Pg/cell
MCHC 35,2 33 – 37 %
RDW 35 – 47 %
MPV 7,2 – 11,1 fL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0,1 0–1%
Eosinofil 0,1 L 2–4%
Segmen 2,7 L 50 – 70 %
Batang 72,9 H 3–5%
Limfosit 20,0 25 – 40 %
Monosit 4,2 2–8%
KIMIA KLINIK
Bilirubin total 1,20H 0,2 – 1,0 mg/dL
Bilirubin Direk 0,60 H 0,0 – 0,2 mg/dL
Bilirubin Indirek 0,4 0,0 – 1,00 mg/dL
6
Eritrosit 2,2 L 4,7–6,1 ^6/uL
Trombosit 188.000 150.000– 450.000 /uL
MCV 92,3 79 – 99 fL
MCH 30,9 27 – 31 Pg/cell
MCHC 33,5 33 – 37 %
RDW 35 – 47 %
MPV 7,2 – 11,1 fL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0,2 0–1%
Eosinofil 0,5 L 2–4%
Segmen 60,4 50 – 70 %
Batang 8,6 H 3–5%
Limfosit 25,3 25 – 40 %
Monosit 5,0 2–8%
E. DIAGNOSIS KERJA
- Bisitopenia
- Evans Syndrome
F. TERAPI
- IVFD RL 20 tpm
- Inj ceftriaxone 2x1 gr iv
- Inj Omeprazole 1x1 amp iv
- Inj Metilprednisolon 1x62,5 mg iv
- Inj mecobalamin 1x1 amp
- Asam folat 1x1 tab po
- Transfusi PRC 2 kolf
G. PROGNOSIS
a. Ad vitam : dubia ad bonam
b. Ad functionam : dubia ad malam
c. Ad sanationam : dubia ad malam
HASIL FOLLOW UP
Tanggal S-O A P
20-11-17 Subyektif: - Bisitopenia - IVFD RL 20 tpm
Badan terasa - AIHA - Inj ceftriaxone 2x1 gr iv
lemas,pusing, - Inj Omeprazole 1x1 amp iv
nyeri perut, - Inj Metilprednisolon 1x62,5
7
mudah lelah mg iv
Obyektif : - Inj mecobalamin 1x1 amp
TD :110/60 - Asam folat 1x1 tab po
mmHg - Transfusi PRC 2 kolf
N : 90 x/menit
S : 36,7 C
RR : 20 x/menit Plan :
Cek GDT
21-11-17 Subyektif: - Bisitopenia - IVFD RL 20 tpm
Badan masih - Evans sindrom - Inj ceftriaxone 2x1 gr iv
terasa lemas, - Inj Omeprazole 1x1 amp iv
nyeri perut, badan - Inj Metilprednisolon 1x62,5
linu mg iv
Obyektif : - Inj mecobalamin 1x1 amp
TD :130/90 - Asam folat 1x1 tab po
mmHg
N : 76 x/menit
S : 36,6 C Plan :
RR : 20 x/menit Cek LDH, retikulosit, GDT
22-11-17 Subyektif: - Bisitopenia - IVFD RL 20 tpm
Badan terasa - Evans Syndrome - Inj Omeprazole 1x1 amp iv
lemas, nyeri - Inj Metilprednisolon 1x62,5
perut, badan linu mg iv
Obyektif : - Inj mecobalamin 1x1 amp
TD : 120/70 - Asam folat 1x1 tab po
mmHg - Cefotaxime 2x100
N : 74 x/menit
S : 36,5 C
RR : 22 x/menit
23-11-17 Subyektif: - Bisitopenia - IVFD RL 20 tpm
Gatal di seluruh - Evans Syndrome - Inj Omeprazole 1x1 amp iv
tubuh, badan linu, - Inj Metilprednisolon 1x62,5
perut masih terasa mg iv
nyeri - Inj mecobalamin 1x1 amp
Obyektif : - Asam folat 1x1 tab po
TD : 120/70 - Cefotaxime 2x100
mmHg
N : 74 x/menit
S : 36,5 C
RR : 22 x/menit
8
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
9
sel darah merah telah terlapisi secara in vivo oleh imunoglobulin atau
komplemen atau keduanya (Karp, 2016).
B. Epidemiologi
Evan’s syndrome (ES) adalah penyakit yang jarang terjadi karena
terdiagnosis hanya 0.8% hingga 3.7% dari seluruh pasien dengan ITP atau
AIHA pada onset awal penyakit. Sebagian besar data berasal dari kelompok
usia pediatri. Insidensi keseluruhan kasus ini belum sepenuhnya diketahui
(Dave et al., 2012). Insidensi ITP pada usia anak diperkirakan 2-5 kasus per
100.000 pasien per tahun pada anak usia kurang dari 18 tahun, sementara itu
insidensi pasti AIHA dan ES belum dapat ditentukan dengan pasti (Terrell et
al., 2010).
Di Malaysia tahun 1992, sindrom Evans ditemukan pada 12 dari 220
pasien dewasa dengan ITP dan 102 dengan AIHA. Sebuah penelitian oleh
Silverstein dan Heck di Amerika, sebanyak 399 kasus AIHA dan 367 kasus
ITP pasien dewasa, hanya enam dari 766 pasien ini mengalami sindrom
Evans. Sindrom ini dominan terjadi pada ras kulit putih, dari 42 pasien yang
dilaporkan dalam survei nasional terdapat 29 berkulit putih, 7 hitam, dan 6
memiliki latar belakang ras lainnya. Sindrom ini mempengaruhi anak laki-
laki lebih sering daripada perempuan dengan rasio 1,4:1. Penelitian Genty di
Prancis tahun 2002, sebanyak 67% kasus sindrom evans terjadi pada wanita.
Sindrom Evans terjadi pada individu dari segala usia. Dalam sebuah survei
tahun 1997 di Amerika Utara, melaporkan rata-rata usia saat diagnosis adalah
usia 7,7 tahun (Cassel dan Rose, 2003).
C. Etiologi dan faktor risiko
10
memiliki penurunan serum IgG, IgM, dan IgA dan penurunan pada sintesis
vitro IgG, IgM atau keduanya (Cassel dan Rose, 2003).
D. Patomekanisme
Etiologi pasti dan patofisiologi sindrom Evans tidak diketahui.
Autoantibodi non-cross-reacting ditujukan terhadap antigen yang spesifik
pada eritrosit, platelet, atau neutrofil. Wang dkk menunjukkan penurunan
kadar serum imunoglobulin G (IgG), imunoglobulin M (IgM), dan
imunoglobulin A (IgA) pada pasien ini ES. Sitopeni yang terjadi pada
sindrom Evans mungkin terkait dengan kelainan sel T; penurunan sel T helper
dan peningkatan sel T supressor yang ditemukan pada pasien ES (Cassel dan
Rose, 2003).
Savasan dkk menemukan bahwa lebih dari separuh pasien dengan
sindrom Evans memiliki bukti hiperaktivitas limfoid. Teachey dkk
menunjukkan bahwa lebih dari separuh (58%) pasien dengan sindrom Evans
mungkin memiliki autoimun lymphoproliferative syndrom (ALPS), dimana
hal ini merupakan temuan baru dengan implikasi terapeutik yang penting
(Cassel dan Rose, 2003).
Kematian sel terprogram (apoptosis) dari limfosit teraktivasi sangat
penting untuk homeostasis kekebalan tubuh. Protein permukaan sel Fas
(CD95) dan ligannya memainkan peran penting dalam mengatur apoptosis
limfosit, dan ekspresi yang salah dari ligan Fas atau Fas menyebabkan
akumulasi berlebihan yang jelas pada limfosit matang dan penyakit autoimun
pada tikus. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa apoptosis limfosit
yang rusak akibat mutasi gen Fas dapat menyebabkan ALPS parah pada
manusia (Cassel dan Rose, 2003).
Teachey dkk melakukan skrining pada 12 anak dengan menggunakan
flow cytometry untuk sel T CD4 / CD8 (double-negative) dan menggunakan
11
tes definitif untuk ALPS (yaitu apoptosis yang dimediasi Fas yang in vitro).
Enam pasien memiliki peningkatan jumlah sel T double-negative dan
apoptosis yang dimediasi Fas yang rusak, dan satu pasien dengan elevasi
borderline. Dengan demikian, 7 pasien dengan sindrom Evans memiliki bukti
dugaan ALPS, yang, pada akhirnya, menunjukkan bahwa mungkin ada
beberapa tumpang tindih antara sindrom Evans dan ALPS. Hal ini
kemungkinan dapat digunakan untuk menjelaskan jalur klinis yang berat pada
beberapa pasien dengan sindrom Evans (Cassel dan Rose, 2003).
E. Manifestasi Klinis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
2. Pemeriksaan penunjang
12
Pada sebuah survei nasional yang dilakukan, trombositopenia
terdapat pada orang sebanyak 76% dengan sidrom Evans dan anemia
sebanyak 67% dari jumlah pasien. Sebagai tambahan, 24% dari pasien
memiliki neutropenia dan 14% memiliki pansitopenia (Mathew, 2016).
F. Diagnosis banding
Sindrom Evans merupakan diagnosis eksklusi dan penyakit
konfounding lain harus disingkirkan. Oleh karenanya, sebelum diagnosis
sindrom Evans ditegakkan, penyebab sitopenia terkait imunologi harus
13
dieksklusikan, khususnya SLE, defisiensi IgA, CVID (Common Variable
Immune Deficiency), AIDS, dan APLS (Antiphospholipid Syndrome).
Sindrom Evans juga dapat berkembang sebagai sindrom sekunder, sejumlah
laporan kasus menggambarkan sindrom Evans sebagai sindrom sekunder
pada penyakit Castleman (Mather, 2016).
G. Tata Laksana
Tata laksana ES adalah tantangan tersendiri. Terapi medikamentosa
masih menjadi kunci pokok penatalaksanaan. Pasien dengan anemia berat
atau trombositopenia harus distabilkan dulu fungsi respirasi dan
kardiovaskulernya, kemudian diberikan transfusi darah, bila perlu
dikonsultasikan ke bagian hematologi, dan dimulai terapi dengan steroid atau
imunoglobulin intravena (IVIg) (Mather, 2016).
a. Terapi Farmakologi
Prednison (1-2 mg/kgBB dibagi 2-3 dosis sehari) adalah agen lini pertama
tersering yang digunakan dan seringkali efektif dalam mengendalikan
episode akut ES. Pada beberapa pasien, relaps dapat terjadi saat prednison
di tapered off atau dihentikan. Disarankan diberikan regimen steroid
dengan alternate-day dosis apabila memungkinkan. Imunoglobulin
intravena (IVIG) dapat membantu pasien yang bergantung pada steroid.
Terapi lain yang efektif dalam seri kecil termasuk danazol, siklosporin,
azathioprine, cyclophosphamide, dan vincristine (Mathew, 2015).
b. Transfusi
Pemberian transfusi seperti transfusi WRC, TC dapat membantu
mengembalikan kadar darah yang turun. Keuntungan pemberian WRC
adalah tidak membebani sirkulasi, tidak memperberat fungsi ginjal, dan
sedikit mengurangi reaksi alergi karena tidak disertai pemberian plasma
yang tinggi protein. Pemberian TC biasanya dilakukan bila terdapat
perdarahan parah dengan jumlah trombosit yang rendah (Mathew, 2015).
c. Splenektomi
Splenektomi belum memiliki peran yang jelas pada tata laksana ES
namun dapat dipertimbangkan dilakukan pada kasus yang kemungkinan
refrakter. Splenektomi dapat memperbaiki profil hematologi dan
14
mengurangi ketergantungan steroid, akan tetapi relaps sangat umum terjadi
dan di sebagaian besar kasus terjadi dalam 1-2 bulan pasca prosedur.
Splenektomi dilaporkan dapat memberikan durasi respon yang bervariasi
dari 1 minggu hingga 5 tahun, tetapi nilai median durasi respon hanya 1
bulan. Risiko sepsis postsplenektomi meningkat pada anak-anak dengan
ES khususnya dengan pansitopenia (Mathew, 2015).
d. Diet dan Aktivitas
Pasien yang menerima terapi steroid harus melakukan restriksi garam,
gula, dan cairan untuk mencegah retensi cairan berlebih. Aktivitas perlu
dibatasi apabila terjadi tanda-tanda anemia dan lebam (Mathew, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Bussel, J.B. 2013. Evans Syndrome. National Organization for Rare Disorders
(NORD). https://rarediseases.org/rare-diseases/evans-syndrome/ diakses
tanggal 27 September.
Cassel, D. dan N. Rose. 2003. The Encyclopedia of Autoimmune Disease. Facts
in File, Inc.: New York.
Dave, P. Kavita K., AG Diwan. 2012. Evan’s Syndrome Revisited. JAPI. 60 : 60-
61.
Karp, J.K. 2016. Direct Antiglobulin Testing. Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/1731264-overview (diakses 27
September 2017).
15
Mathew, P. 2015. Evans Syndrome. (Online).
http://emedicine.medscape.com/article/955266-overview
Michel, M. V. Canet, A. Decharetres, A. Morin, J. Piette,L. Cirasino et al. 2009.
The Spectrum of Evans Syndrome in Adults: New Insight into the Disease
Based on the Analysis of 68 Cases. Blood 114 : 3167-3172
Norton, A. dan I. Roberts. 2009. Management of Evans Syndrome. British Journal
of Haematology 132 : 125-137.
Terrell DR, Beebe LA, Vesely SK, Neas BR, Segal JB, George JN. 2010. The
incidence of immune thrombocytopenic purpura in children and adults: A
critical review of published reports. Am J Hematol. 85(3):174-80.
16