OLEH:
Dewi Rizky. G. Hehanussa
PEMBIMBING:
dr. Jacky Tuamely, Sp.B (K) Trauma, FIC, FINACS
Abstrak
Latar Belakang: Dalam tren global, telah terjadi pergeseran manajemen ke arah
manajemen konservatisme selektif dalam trauma Penetrans abdomen (PAT).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan presentasi; manajemen;
dan hasil dari pasien dengan PAT yang terapi secara operatif versus non-operatif.
Metode : Studi kohort prospektif dari semua pasien yang datang dengan PAT ke
Rumah Sakit Groote Schuur, Cape Town dari 01 Mei 2015 hingga 30 April 2017.
Presentasi; manajemen; dan hasil dari pasien dibandingkan. Prediktor univariat
dari manajemen operasi yang tertunda (DOM) juga diperiksa.
Hasil : Selama masa studi 2 tahun, dikumpulkan 805 pasien dengan PAT.
Terdapat 502 pasien (62,4%); dan 303 pasien (37,6%) dengan luka tembak
(GSW) dan luka tusuk (SW). Mayoritas pasien adalah laki-laki muda (94,7%),
dengan usia rata-rata 28,3 tahun (95% CI 27,7-28,9) dan median ISS 13 (IQR 9-
22). Manajemen non-operatif yang berhasil dicapai pada 304 pasien (37,7%), dan
501 pasien (62,5%) ditangani secara operatif. Pada kasus operasi, 477 pasien
(59,3%) menjalani laparotomi segera dan 24 pasien (3,0%) menjalani DOM. Pada
analisis univariat, angka; lokasi; dan mekanisme cedera tidak berhubungan
dengan DOM. Tingkat laparotomi terapeutik dicapai pada 90,3% laparatomi
segera, dan 80,3% dengan DOM. Angka kematian pada masing-masing
subkelompok NOM, laparatomi segera, dan DOM adalah 1,3%, 11,3/5 dan 0%.
Kejadian komplikasi tidak berbeda pada kelompok laparatomi segera dan DOM
(p> 0,05).
Kesimpulan: Pasien PAT tanpa ketidakstabilan hemodinamik; peritonitis;
pengeluaran isi organ; temuan radiologi yang positif, atau pemeriksaan klinis
yang belum jelas, diharapkan dapat tertangani tanpa peningkatan morbiditas atau
mortalitas.
Metode
Analisis Data
Analisis deskriptif dari database PAT meliputi: dasar demografi; riwayat
penggunaan obat-obatan terlarang; tanda vital saat pertama masuk; pemeriksaan
darah; jumlah trauma penetrans; posisi luka penetrans; adanya tidaknya
keterlibatan peritoneum dan / atau keluarnya organ; indikasi untuk laparotomi;
investigasi dan intervensi radiologis; manajemen operatif atau non-operatif; ujung
temuan-laparotomi- terapeutik, non-terapeutik, atau negatif; cedera visceral
abdomen dan cedera terkait. Saat terdapat indikasi laparotomi, alasan yang paling
mendesak secara klinis yang digunakan. Namun, ketika indikasinya tidak jelas,
tidak ada catatan yang dibuat, dan jika terdapat dua indikasi yang dianggap sama-
sama mendesak, keduanya alasan tersebut dicatat. Adanya keterlibatan
peritoneum dicatat secara terpisah. Tingkat keparahan cedera dideskripsikan
melalui Skor Tingkat Keparahan Cedera (ISS); The Revised Trauma Score (RTS);
Abbreviated Injury Scale (AIS); Indeks trauma penetrans abdomen (PATI); dan
Kampala Trauma Score (KTS) [11, 12, 14–16]. Variabel hasil termasuk
perawatan Unit Perawatan Intensif (ICU); lama perawatan di rumah sakit (LOS);
perawatan ulangan di rumah sakit; relaparotomi; komplikasi saat di rumah sakit;
dan kematian. Komplikasi didefinisikan sebagai penyimpangan apapun dari
perjalanan pasca operasi normal yang membutuhkan tindakan: farmakologis;
endoskopi; radiologi intervensi; atau perawatan bedah, dan dikategorikan menurut
sistem klasifikasi Clavien-Dindo [17]. Pasien dengan cedera multi-trauma
digolongkan memiliki AIS yang lebih tinggi daripada atau sama dengan tiga yang
melibatkan minimal dua sistem organ.
Perbandingan kemudian dibuat antara subkelompok dari pasien yang
diterapi secara operatif, baik segera maupun tertunda (DOM), serta non-operatif
(NOM). Prediktor univariat DOM juga diperiksa. Nilai prediktif positif (PPV) dari
indikasi operasi untuk laparotomi terapeutik dihitung dan hasil antara
subkelompok dibandingkan.
Untuk analisis deskriptif, data kontinu diringkas dengan menggunakan
mean dan interval kepercayaan 95% (95% CI) jika berdistribusi normal,
sedangkan median dan range interkuartil (IQR) digunakan untuk data yang tidak
terdistribusi normal. Untuk statistik inferensial, digunakan uji parametrik seperti
uji Chi-square atau uji non-parametrik yang setara. Selanjutnya uji regresi logistik
univariat dilakukan untuk menentukan hubungan dalam penundaan manajemen
non-operatif dan dilaporkan dalam odd ratio dan 95% CI. Nilai p <0,05 dianggap
signifikan secara statistik. Perangkat lunak STATA® 14 digunakan untuk analisis
statistik.
Hasil
Penilaian deskriptif
Secara total, 805 pasien berturut-turut dengan trauma penetrans abdomen berhasil
ditangani selama periode 2 tahun. Terdapat masing-masing 502 pasien(62,4%)
dan 303 pasien (37,6%) dengan luka tembak (GSW) dan luka tusuk (SW),
Mayoritas pasien adalah laki-laki muda (94,7%), dengan usia rata-rata 28,3 tahun
(95% CI 27,7-28,9) dan median ISS 13 (IQR 9-22). Terdapat banyak kasus
serangan, dan lebih dari satu cedera penetrans ditemukan pada 68,2% SW; dan
64,0% dari GSW. Luka penetrans dinding abdomen secara kumulatif pada
abdomen (anterior dan punggung / flank) sebanyak 696 kasus (86,5%);
torakoabdominal sebanyak 332 kasus (41,2%); dan pada pelvis sebanyak 192
kasus (23,9%) cedera. 368 kasus (45,7%) mengalami keterlibatan peritoneum,
lebih umum ditemukan pada GSW (59,4%) dibandingkan dengan SW (23,1%) (p
<0,001). Tiga organ yang paling sering mengalami cedera adalah: kolon-177
kasus (22,0%); hati — 189 kasus (23,5%) dan usus halus — 241 kasus (29,9%).
Cedera multi-trauma ditemukan pada 40,9% kasus secara keseluruhan. Termasuk
106 (35%) kasus SW, dan 223 (44,4%) pasien GSW (p = 0,005). Tabel 1
merangkum karakteristik penelitian dan profil cedera pada penelitian ini.
CT = Computer Tomography
RUQ = Kuadran kanan atas
CT Scan preoperative pada pasien stabil dengan indikasi laparatomi segera bisa
dilakukan jika dicurigai cedera ginjal selama tindakan operasi tidak ditunda
IVF = cairan intravena
NPO = puasa
GSW = luka tembak
Gambar 1. Algortima Institusional pada trauma penetrans abdomen
Tabel 1. Gambaran klinis dan profil cedera dari 805 pasien dengan PAT
Parameter Unit PAT Kombinasi
Jumlah pasien N(%) 805 (100)
Demografi pasien
Usia Mean (95% CI) 28.3 (27.7-28.9)
Jenis kelamin laki-laki N(%) 762 (94.7%)
Riwayat penggunaan obat N(%) 454 (56.4%)
terlarang
Tanda vital saat masuk
Nadi : bpm Mean (95% CI) 92.2 (90.7-93.6)
Tekanan darah sistolik : Mean (95% CI) 128.7 (127.0-130.5)
mmHg
pH Mean (95% CI) 7.34 (7.33-7.35)
Laktat : mmol/L Mean (95% CI) 3.01 (2.8-3.22)
Hemoglobin : gr/dL Mean (95% CI) 12.07 (11.90-12.23)
WCC : 109/L Mean (95% CI) 15.33 (14.83-15.82)
Skor Trauma
Revised Trauma Score Median (IQR) 7.84 (7.00-7.84)
Probability of survival % Median (IQR) 97.4 (96.00-99.00)
Injury Severity Score Median (IQR) 13 (9-22)
PATI Score Median (IQR) 6 (1-14)
Kampala Trauma Score Median (IQR) 14 (14-15)
Cedera multi-trauma N(%) 329 (40.9%)
Cedera
Mekanisme Cedera N(%) GSW 502 (62.4)
SW 303 (37.6)
Insults per pt Median (IQR) 2 (1-4)
Peritonitis N(%) 368 (45.7%)
Eviserasi
Omentum N(%) 31 (3.9%)
Viseral N(%) 31 (3.9%)
Posisi PW
Torakoabdominal-Kiri Jumlah luka (%) 173 (21.4%)
Torakoabdominal-Kanan Jumlah luka (%) 159 (19.8%)
Punggung/Flank-Kiri Jumlah luka (%) 273 (33.9%)
Punggung/Flank-Kanan Jumlah luka (%) 179 (22.2%)
Anterior Jumlah luka (%) 244 (30.3%)
Pelvis Jumlah luka (%) 192 (23.9%)
Cedera organ
Cedera organ terbanyak N(%) SB 241 (29.9%)
Cedera organ terbanyak ke- N(%) Hati 189 (23.5%)
2
Cedera organ terbanyak ke- N(%) Kolon 177 (22.0%)
3
PAT = trauma penetrans abdomen, SW = luka tusuk, No = jumlah, GSW = luka
tembak, Pt/Pts = Pasien, PW = luka penetrans, BP = tekanan darah, SB = usus
halus
Penilaian komparatif
Manajemen non-operatif yang sukses tercapai pada 304 (37,8%) pasien dan 501
(62,2%) ditangani secara operatif. Dari jumlah tersebut, 477 pasien (59,3%)
menjalani laparotomi segera, dan 24 pasien (3,0%) menunda manajemen operasi.
Tabel 2 membandingkan presentasi; manajemen; dan hasil penelitian yang
dibandingkan antara tiga kemungkinan hasil operasi yaitu laparotomi segera
(IOM); manajemen operasi tertunda (DOM); dan manajemen non-operatif
(NOM). Demografi pria dengan usia muda dipertahankan pada tiga kelompok
tanpa adanya penyimpangan yang signifikan. Pasien yang mendapatkan terapi
laparotomi lebih banyak ditemukan pada pasien dengan GSW; luka pada abdomen
anterior; dan ISS median yang lebih tinggi. Kelompok DOM & NOM lebih
cenderung menjalani CT scan, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
penggunaan radiologi intervensi pada ketiga kelompok. CT scan dilakukan
sebelum operasi pada beberapa pasien dengan hematuria untuk memeriksa sistem
saluran kemih. Hal ini mungkin mengindikasikan terjadinya cedera ginjal tingkat
3 atau lebih rendah untuk diterapi secara konservatif dalam operasi selama tidak
memasuki fasia Gerota.
Pada analisis univariat, jumlah (OR 1,05; 95% CI 0,92–1,19); lokasi (OR
1.1; 95% CI 0.79–1.25); dan mekanisme cedera (OR 0,49; 95% CI 0,22-1,11)
tidak terkait dengan DOM (yaitu NOM gagal). Tingkat laparotomi terapeutik
dicapai pada 90,3% laparatomi langsung; dan 80,3% dalam kelompok DOM.
Ketika tiba, laparotomi segera dilakukan untuk ketidakstabilan hemodinamik pada
44 pasien (5,5%) (PPV 93,2%); keterlibatan peritoneum pada 298 pasien (37,2%)
(PPV 93,3%); penilaian klinis yang meragukan pada 21 pasien (2,6%) (PPV
66,7%); temuan radiologi pada 54 pasien (6,7%) (PPV 87,0%); dan untuk
eviserasi organ pada 29 pasien (3,6%) (PPV 89,7%). Dalam kelompok DOM,
terdapat 2 pasien (8,3%) dengan instabilitas hemodinamik (PPV 100%): 14 pasien
(58,3%) dengan keterlibatan peritoneum (PPV 85,7%): 10 pasien (41,7%)
memiliki temuan radiologis positif (PPV 87,5%); dan 8 pasien (33,3%) memiliki
tanda-tanda sepsis (PPV 87,5%). Tabel 3 menjelaskan PPV dari indikasi operasi
untuk laparotomi terapeutik pada laparotomi langsung, dan kelompok DOM.
Sembilan belas laparoskopi diagnostik dilakukan untuk menyingkirkan
cedera diafragma tersembunyi. Enam (31,5%) cedera diafragma terdeteksi; tiga
pasien diterapi secara laparoskopi dan tiga pasien diterapi dengan laparotomi.
Angka kematian mencapai 11,3% pada laparotomi segera; 1,3% pada
NOM, dan 0% pada subkelompok DOM (Tabel 2). Hasil ini sedikit berbeda
dengan tingkat komplikasi: laparotomi segera — 41,5%; DOM — 33,3%; diikuti
kelompok NOM — 10,0%. Walaupun angka kematian dan morbiditas kelompok
NOM jauh lebih rendah, angka komplikasi, perawatan ICU, operasi ulang dan
cedera yang terlewatkan tidak jauh berbeda pada laparotomi langsung; dan pada
kelompok DOM (p> 0,05). Semua komplikasi diklasifikasikan berdasarkan
tingkat Clavien-Dindo dan dipresentasikan melalui strategi operasi pada Tabel 4.
Tingkat komplikasi tidak berbeda dengan strategi operasi (p> 0,05).
Diskusi
Konsep konservatisme selektif untuk PAT telah memperoleh daya tarik sejak
Shaftan pada tahun 1960 menantang dogma laparotomi eksploratif wajib [2].
Berbagai penelitian selanjutnya yang membentang dari penjuru dunia yang telah
mendukung lebih lanjut pendekatan selektif ini dengan hasil yang sangat baik [3–
7]. Para penulis yang disebutkan sebelumnya menyimpulkan bahwa pasien
dengan PAT tanpa disertai ketidakstabilan hemodinamik; keterlibatan peritoneum;
pengeluaran isi organ; temuan radiologis positif; atau pemeriksaan klinis yang
meragukan, tetap dapat dikelola dengan penuh harapan, tanpa peningkatan
morbiditas atau mortalitas. Namun karena cepatnya evolusi pendekatan ini,
diperlukan rincian lebih lanjut dan analisis subkelompok yang lebih kecil untuk
meyakinkan pendapat skeptis.
Penelitian ini merupakan salah satu yang terbesar; dan seri prospektif
paling rinci hingga saat ini, membandingkan berbagai strategi operasi secara
berdampingan, dalam kelompok gabungan PAT (SW dan GSW). Kami
menggunakan tiga strategi operasi ini, yaitu: laparatomi segera; NOM; dan DOM
(yaitu NOM "gagal") untuk mengulas hasil dari setiap sub-kelompok dan
membandingkan bersama satu sama lain.
Berbagai penulis telah mencatat bahwa kebijakan laparotomi wajib pada
trauma penetrans abdomen mengakibatkan tingkat laparotomi yang tidak perlu
berkisar antara 5,3 hingga 27% untuk GSW, dan 23 sampai 53% untuk SW [18,
19]. Hal ini menyiratkan bahwa hampir seperempat GSW dan hampir setengah
dari semua SW abdomen tidak membutuhkan laparatomi, namun, dengan
laparotomi, hasil kami mendekati masing-masing sepertiga dan dua pertiga.
Mengingat temuan yang mencolok ini, tujuan pembelajaran yang penting
pada setiap unit trauma yang mengelola PAT yaitu bagaimana dalam menerapkan
NOM selektif untuk mengurangi jumlah laparotomi non-terapeutik pada PAT
(baik SW dan GSW) tanpa menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas
pada pasien NOM yang gagal. Naskah ini mendemonstrasikan hal ini dengan
pendekatan yang sesuai dengan protokol yang melibatkan penilaian metode awal,
dan resusitasi yang sesuai dengan pedoman protokol, (seperti yang diusulkan
dalam Advanced Trauma Life Support ™) diikuti dengan keputusan apakah pasien
harus melanjutkan operasi segera; pemeriksaan lebih lanjut; atau observasi saja
[20].
Indikasi untuk laparotomi segera termasuk ketidakstabilan hemodinamik
(menunjukkan perdarahan yang sedang berlangsung); keterlibatan peritoneum
(menunjukkan kontaminasi perut); pengeluaran isi organ; pemeriksaan klinis yang
tidak meyakinkan; atau cedera kandung kemih atau ureter yang dikonfirmasi
secara radiologis [19, 21, 22].
Setelah indikasi wajib laparotomi tersebut dikesampingkan, pasien dapat
dipertimbangkan untuk diterapi secara NOM, baik segera atau setelah
penyelidikan lebih lanjut. Pada tahun 2015 Navsaria dkk. mengusulkan
penggunaan CT Scan selektif daripada penggunaan wajib dalam manajemen GSW
perut, dimana indikasi absolut untuk pencitraan termasuk cedera pada daerah
torakoabdominal kanan / kuadran kanan atas (untuk menyingkirkan cedera hati);
dan hematuria (untuk menyingkirkan cedera urogenital) [8]. Dalam studi ini
disajikan seluruhnya, kecuali satu indikasi untuk laparotomi segera yang memiliki
PPV lebih dari 87%, yaitu, pemeriksaan klinis yang tidak meyakinkan, yang
memiliki PPV hanya 66,7%. Walaupun, temuan ini tidak diharapkan sebagai
indikasi, jika mengacu pada literatur [21]. Alasannya ialah bahkan dengan
kemajuan teknologi, CT scan hanya memiliki sensitivitas 91–97%, spesifisitas
96–98%, dan akurasi 96–98% dalam mendeteksi cedera intra-abdominal yang
benar-benar memerlukan laparotomi pada pasien dengan luka tembak abdomen
[23-25]. Dengan demikian, CT scan negative tidak mengecualikan adanya cedera
intrabdominal. Oleh sebab itu, pada pasien dengan PAT yang disertai dengan
cedera kepala dan / atau cedera medulla spinalis letak tinggi (dimana pemeriksaan
serial abdomen tidak dapat diandalkan), meskipun tingkat eksplorasi negatif yang
tinggi, laparotomi merupakan suatu terapi yang tepat.
Penatalaksanaan nonoperatif jarang (jika pernah) melibatkan pengeluaran
pasien langsung dari unit gawat darurat. Praktik ini tidak aman sampai
sensitivitas, spesifitas, dan akurasi CT untuk trauma Penetrans abdomen mencapai
100%. Sehingga, kami dan penulis lain menyarankan untuk setiap pasien PAT
agar dirawat untuk mendapatkan observasi lanjut [21].
Selama dirawat di rumah sakit, pasien dipuasakan, pemeliharaan hidrasi
dengan larutan kristaloid isotonik intravena. Antibiotik ditahan, dan analgesia
diberikan sesuai kebutuhan. Tanda vital diobservasi secara rutin tiap 4 jam dan
penilaian klinis serial secara reguler (lebih disukai oleh dokter yang sama) harus
dilakukan. Setelah 24 jam observasi, ketika pemeriksaan abdomen atau status
hemodinamik pasien tidak memburuk, maka pasien bisa diberi makan. Jika pasien
tidak mengalami gejala gastrointestinal (mual dan muntah) pasien dapat
dipertimbangkan untuk rawat jalan [26,27]. Perbedaan pendapat masih sering
dijumpai mengenai pemeriksaan lebih lanjut selama pasien dirawat masih diantara
para dokter penanggungjawab pasien. Namun, adanya demam dan peningkatan
WCC perlu diinterpretasikan dengan hati-hati. Kegagalan NOM kemudian
meminta intervensi operasi dan biasanya ditandai dengan peritonitis; kehilangan
darah yang sedang berlangsung; atau kekhawatiran menjadi sepsis. Pada pasien
yang mendapatkan terapi DOM dalam penelitian ini, 2 pasien(8,3%) memiliki
instabilitas hemodinamik (PPV 100%); 14 pasien (58,3%) berlanjut menjadi
peritonitis (PPV 85,7%); 10 pasien (41,7%) memiliki temuan radiologis positif
(PPV 87,5%); dan 8 pasien (33,3%) memiliki tanda-tanda sepsis (PPV 87,5%).
Arti penting radiologi tersebut dalam pengambilan keputusan dalam kelompok
DOM bertentangan dengan tinjauan sistematis dan analisis terbaru tentang GSW
dalam PAT [28].
Secara historis PAT pada berbagai daerah abdomen diterapi secara
berbeda, dengan dokter menjadi lebih waspada dalam menangani cedera
punggung dan pelvis secara non-operatif, karena kemungkinan adanya cedera
hollow-viscous yang samar [22, 29-31]. Namun, pengalaman serta publikasi
sebelumnya membantah hal ini, menunjukkan bahwa GSW dan SW pada bagian
anterior abdomen; punggung; flank dan pelvis, semuanya bisa dikelola sesuai
dengan prinsip umum yang dijelaskan di atas [31-35]. Kami menemukan bahwa
walaupun luka pada abdomen anterior dikaitkan dengan laparotomi segera, tidak
seperti tinjauan sistematis dan meta-analisis yang diterbitkan baru-baru ini, posisi
luka abdomen tidak terkait dengan DOM (yaitu "gagal dengan NOM") [28].
Cedera pada daerah perut memiliki pilihan pemeriksaan tambahan dalam
diagnostik [21, 31–39].
Tidak mengherankan, skor keparahan cedera yang lebih tinggi (ISS) dan
GSW secara independen dikaitkan dengan laparotomi segera, namun tidak cukup
signifikan dalam membedakan kasus NOM dan DOM dalam penelitian ini.
Dengan kata lain, baik GSW dan pasien dengan cedera lebih parah memiliki
kemungkinan membutuhkan laparotomi segera yang lebih tinggi, namun hal
tersebut tidak diindikasikan secara klinis, dan peluang kesuksesan terapi secara
NOM tidak berbeda dengan yang lain.
Bertentangan dengan FZafar dkk. yang melaporkan bahwa gagalnya terapi
secara NOM dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, dua tinjauan sistematik
berikutnya oleh Lamb dkk. pada tahun 2014, dan Al Rawahi dkk. pada tahun
2018, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan hasil antara mereka yang
menjalani laparotomi segera dan tertunda, yang sesuai dengan temuan penelitian
ini [28, 40, 41]. Dalam penelitian ini, manajemen non-operatif yang berhasil
dicapai pada 304 pasien (37,7%), dengan angka morbiditas dan mortalitas yang
secara signifikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang diterapi
dengan operasi. Hal ini terlepas dari fakta bahwa empat kematian pada NOM yang
tercatat tidak terkait dengan PAT (satu pasien CVA fatal; dan tiga pasien GSW
transhemispheric, di mana pasien bisa lebih baik diterapi secara paliatif, daripada
diterapi secara non-operatif). Namun, dalam menyikapi hal di atas, ebih penting
untuk diperhatikan bahwa subkelompok DOM yang disajikan pada penelitian ini,
tidak memiliki hasil yang lebih buruk (kematian; komplikasi; perawatan ICU;
operasi ulang; atau cedera yang terlewat) daripada yang diterapi dengan
laparotomi segera (p> 0,05). Dengan demikian, hal ini menyiratkan bahwa
konservatisme selektif pasien PAT pada pasien sipil dengan SW dan GSW di
pusat trauma rujukan tersier tidak hanya efektif, namun juga cukup aman. Banyak
publikasi lain yang mendukung temuan ini, dengan menunjukkan bahwa pasien
yang diterapi dengan manajemen non-operatif selektif lebih baik dibandingkan
dengan manajemen operasi karena mereka memiliki periode perawatan yang lebih
pendek dan setara, atau mengurangi kematian [8, 9, 26, 42].
Temuan kami juga memiliki beberapa batasan studi. Penelitian ini
merupakan studi tunggal pada pusat trauma dengan volume yang tinggi, yang
memiliki insiden PAT yang tinggi. Apakah temuan-temuan ini dapat
digeneralisasikan dan hasil yang serupa bisa ditemukan pada unit trauma dengan
volume rendah atau area dengan volume rendah dimana rendahnya insiden trauma
Penetrans yang tidak diketahui, walaupun terapi NOM selektif telah dilaporkan
cukup aman pada pusat trauma dengan volume insiden yang lebih rendah juga
[43]. Sifat prospektif dalam penelitian ini diaktifkan oleh sistem pendaftaran
trauma elektronik real-time. Hal ini merupakan database yang dimasukkan oleh
klinisi dan meskipun tidak dilakukan validasi data pada pasien PAT dalam
penelitian ini, validasi tentang database ini telah dilakukan dalam studi
sebelumnya [10].
Kesimpulan
Pasien dengan PAT tanpa adanya instabilitas hemodinamik; keterlibatan
peritoneum; pengeluaran isi organ; pemeriksaan klinis yang meragukan; dan
temuan radiologis positif bisa ditangani dengan penuh harapan tanpa peningkatan
morbiditas atau mortalitas. Gambar 2 merangkum hasil penelitian ini.