Anda di halaman 1dari 2

Kubah Besi

Dua ribu? Sepuluh ribu? Entah berapa banyak liter yang sudah aku
habiskan hanya untuk bernapas, atau hanya untuk membelai rambut
jagungku saja.

Waktu itu layaknya seorang penguasa Eurasia, aku menghambur


hamburkannya. Dan sekarang sudah bisa kurasakan karmanya. Rasanya
tercekik. Bernapas bukan lagi suatu kebutuhan tetapi kegiatan yang dicaci
dan harus dimusnahkan. Sayang, masih banyak yang ingin kucapai dan
aku tidak mau mati dulu.

Jadi kukumpulkan semua yang tersisa dari seluruh penjuru bumi yang bulat
ini. Menyimpannya dalam sebuah kubah besar berbahan dasar besi langka
yang kudapat dari seorang petani tua pesakitan. Mencoba berbagai cara
mengembangbiakkan udara… gila memang. Tapi apalah aku yang egois
ini, yang masih mau bermimpi dan mewujudkannya.

Entah kekuatan dari mana, tapi kubah besiku bekerja dengan sempurna.
Tidak mau menerima karma yang buruk, dengan senang hati kubagikan
semuanya ke makhluk yang mengiba udara, termasuk mereka yang
kehilangan muka karena mencaci kubah besiku.

Waktu terus berjalan dan orang orang memuakkan yang tumbuh semakin
subur itu siap melakukan fungsinya bahkan tanpa ada tanda peringatan.
Mereka yang berpundi, melalui pengkhinat yang bekerja untukku,
menukarnya lebih banyak hanya untuk disimpan dan dipamerkan kepada
mereka yang terlunta.

Kututup kubah besi kebanggaanku karena demi Tuhan.. aku hanya ingin
membuat keadaan sedikit membaik bukan malah memperumitnya! Ada
apa sih dengan orang orang itu? Apa harus aku lagi yang mencari
solusinya? Tidak! Tidak sudi.
Kalau sudah tau begini, kenapa dulu mereka tidak memperbanyak apa
yang sering mereka sebut ‘sampah’?

Demi Tuhan kurindu dengan semua zamrud itu. Sungguh.

Anda mungkin juga menyukai