0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
11 tayangan3 halaman
Stereotipe Masyarakat
Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip adalah sebuah keyakinan positif ataupun negatif yang dipegang terhadap suatu kelompok sosial tertentu.
Stereotipe Masyarakat
Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip adalah sebuah keyakinan positif ataupun negatif yang dipegang terhadap suatu kelompok sosial tertentu.
Stereotipe Masyarakat
Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip adalah sebuah keyakinan positif ataupun negatif yang dipegang terhadap suatu kelompok sosial tertentu.
Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap
kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip adalah sebuah keyakinan positif ataupun negatif yang dipegang terhadap suatu kelompok sosial tertentu. Setelah munculnya stereotip maka akan munculah prejudice/prasangka yang merupakan sikap negatif yang tidak dapat dibenarkan terhadap anggota kelompok tersebut. Di Indonesia sendiri stereotip tumbuh karena menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan inilah yang melahirkan sebuah budaya. Budaya identik dengan istilah perkumpulan atau kelompok. Tidak sedikit individu atau sekelompok menjadikan stereotip sebagai sebuah alasan untuk mengucilkan atau mengejek kelompok lain, dengan kata lain tidak menghargai bahwa setiap individu memiliki keunikan yang beragam. Stereotip itu berada dalam ranah kognitif sedangkan prasangka dalam ranah afektif dan diskriminasi berada dalam ranah perilaku yang munculnya. Dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa dipungkiri, stereotipe kerap dijumpai, sayangnya masih banyak yang belum sadar akan hal itu. Pada era yang dianggap modern ini karena perkembangan teknologi yang jauh lebih maju, nyatanya tidak sejalan dengan perubahan pola pikir manusianya. Nampak dari masih dipertahankannya sikap diskriminasi terhadap etnis tertentu. Beberapa abad yang lalu, bahkan hingga kini, stereotip bahwa bangsa kulit putih lebih superior dari bangsa kulit hitam masih menjadi panutan. Sesuatu yang wajar bahwa jika kulit hitam menjadi budak kulit putih. Pada masa lampau, Amerika Serikat juga menerapkan pardigma ini di mana masyarakat kulit hitam, yaitu negro sebagai warga negara mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan masyarakat kulit putih. Bahkan pada 1856, di negara tersebut berdiri Ku Klux Khan, sebuah organisasi ekstremis yang bertujuan untuk memusnahkan bangsa kulit hitam di negara tersebut. Tidak jarang tindakan mereka sadis dan berani untuk membunuh. Organisasi ini mulai turun pamor mulai tahun 1960 ketika pemerintah setempat mulai menyamakan hak-hak sipil orang negro dengan warga negara lainnya. Kini dikabarkan organisasi ini mulai bangkit kembali. Terkait dengan hal ini Dr. Kenneth Clark melakukan sebuah penelitian The Clark Doll Test pada tahun 1954. Penelitian ini berusaha untuk mengekspos stereotip dan persepsi diri anak-anak terkait dengan asal etnis mereka. Penyelidikan ini bertujuan untuk membujuk Mahkamah Agung AS bahwa sekolah "terpisah namun setara" untuk orang kulit hitam dan kulit putih memiliki yayasan yang tidak setara. , dan karena itu bertentangan dengan hukum, yang membela integrasi dan kesetaraan anak-anak di sekolah. Selama percobaan, Clark menunjukkan anak-anak Afrika-Amerika enam hingga sembilan tahun dua boneka kain, salah satunya kulit putih (Yang berhubungan dengan citra orang Kaukasia) dan yang lainnya kulit hitam (Yang berhubungan dengan orang kulit hitam). Pertanyaan-pertanyaan disajikan dalam urutan ini: Tunjukkan boneka yang Anda sukai atau yang ingin Anda mainkan. Tunjukkan boneka yang "bagus". Tunjukkan boneka yang terlihat "buruk". Berikan saya boneka yang terlihat seperti gadis kulit putih. Berikan saya boneka yang terlihat seperti gadis kulit berwarna. Berikan saya boneka yang terlihat seperti hitam. Berikan aku boneka yang mirip denganmu. Para peneliti mengungkapkan hal itu anak-anak kulit hitam memilih untuk bermain lebih sering dengan boneka putih. Ketika anak-anak diminta untuk menggambar sosok manusia dengan warna kulit yang sama, mereka biasanya memilih warna kulit yang lebih terang daripada kulit mereka sendiri. Anak-anak mengaitkan kata sifat yang lebih positif dengan warna "putih", seperti cantik dan bagus. Sebaliknya, warna "hitam" dikaitkan dengan atribut buruk dan jelek Pertanyaan terakhir yang diajukan para siswa adalah salah satu yang paling kontroversial. Sampai saat itu, kebanyakan anak-anak kulit hitam mengidentifikasi boneka hitam itu sebagai "si jahat." Di antara peserta, 44% mengatakan bahwa boneka putih adalah yang paling mirip dengan mereka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kulit putih, secara keseluruhan, mengidentifikasi warna kulit putih dengan atribut positif dan kulit yang lebih gelap dengan atribut negatif. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa bayi tidak buta warna. Penelitian yag dilakukan oleh Dr. Mary Ellen Goodman menemukan bahwa pada usia 2,5 tahun hingga 5 tahun, mereka mulai mencari tahu identitas ras saat mulai belajar warna. Bahkan diusia ini pula mereka sudah bisa membuat stereotip. Yang menakutkan adalah ketika pada usia ini mereka terus menerus menerima stereotip negatif dari lingkungan termasuk dari media yang mereka konsumsi, maka lama-kelamaan mereka akan percaya bahwa kenyataan yang ada disekitarnya adalah seperti apa yang digambarkan oleh informasi yang mereka dapat. Contohnya, “hitam itu buruk dan saya hitam berarti saya buruk” maka disaat itu pula mereka akan merasa bahwa ras mereka itu buruk. Dan hal inilah yang ditunjukkan oleh penelitian tersebut. Hampir serupa dengan yang terjadi di Amerika, nyatanya hingga sekarang, di Indonesia diskriminasi yang mengarah pada penghinaan etnis tertentu masih saja sering terjadi. Bahkan penghinaan tersebut telah mengarah pada stereotip yang didasarkan hanya dari penampilan fisik. Menurut Badan Pusat Statistik di Indonesia sendiri ada lebih dari 300 kelompok etnis yang menempati nusantara. Jadi bukan hal yang mudah juga untuk memahami setiap suku tersebut, negara kita sudah merdeka 74 tahun namun tetap saja saya merasa masih ada batas atau benteng antar entnis. Sebagai negara yang selalu bangga berslogan menjunjung tinggi kebinekaan, Indonesia masih dikatakan belum bisa menerima perbedaan warna kulit orang Papua dan orang timur pada umumnya. Biasanya hal yang terekam dalam memori banyak orang ketika membicarakan Papua untuk pertama kalinya adalah kulit hitam dan rambut kriting yang diartikan sebagai sesuatu yang jelek. Stereotip yang telah dibentuk sedemikian rupa yang mengakibatkan frekuensi interaksi sosial yang rendah antara masyarakat papua dengan etnis lainnya. Pradigma bahwa tradisi hidup orang Papua dianggap kuno, tertingggal, tidak sesuai norma yang berlaku, menyeramkan, sering kali membuat mereka dikasihani bahkan tidak jarang dihina. Jika stereotip seperti ini terus menerus mewarnai media kita maka generasi muda yang memiliki potensi besar untuk berkembang akan mengalami krisis percaya diri yang akhirnya akan mengalami self loathing atau kebencian terhadap diri sendiri. Kembali belajar dari pengalaman di Amerika Serikat, meskipun masyarakatnya masih belum dapat sepenuhnya berbaur, tetapi dalam segi pemerintahan orang kulit hitam telah dapat diterima. Hal ini dibuktikan dengan terpilihnya seorang keturunan kulit hitam menjadi presiden, memimpin selama dua periode. Sedangkan di Indonesia, hal tersebut masih belum dapat terjadi. Hanya mereka yang berasal dari etnis Melayu yang diberikan kesempatan besar untuk dapat menjadi pemimpin. Untuk mencegah timbulnya konflik di Papua, dapat diawali dengan memperbaiki interaksi sosial dengan kesediaan seluruh masyarakat untuk menghilangkan stigma negatif orang Papua.