Anda di halaman 1dari 140

UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA

PENERAPAN HUKUM DIVERSI TERAHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU


TINDAK PIDANA NARKOTIKA

TESIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk

Memperoleh Gelar Megister Hukum

OLEH :

Nama : ALIMUDIN

NPM : 1840060029

Kosentrasi : HUKUM PIDANA

PROGRAM PASCASARJANA MEGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSIIITAS TAMA JAGAKARSA

JAKARTA

2020

i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama : ALIMUDIN

NPM : 1840060029

Kosentrasi : HUKUM PIDANA

Judul Tesis : PENERAPAN HUKUM DIVERSI TERHADAP ANAK


PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Telah dibimbing dan disetujui untuk diuji oleh dewan penguji Program Pascasarjana
Universitas Tama Jagakarsa

Jakarta,…November 2020

Pembimbiing

(Dr. Surahman SH.,MH.,M.M)

Menyetujui

Dekan Fakultas Hukum

(Dr .H. Surahman SH.,MH.,M.M)

ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

Nama : ALIMUDIN

NPM : 1840060029

Kosentrasi : Hukum Pidana

Judul Tesis : PENERAPAN HUKUM DIVERSI TERHADAP ANAK


PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Telah diuji oleh Dewan Penguji Program Pascasarjana Universitas Tama Jagakarsa
pada tanggal ……… dengan syarat syah LULUS

Dewan Penguji

Penguji I Penguji II

(………………………………) (……………………………….)

Penguji III

(…………………………..)

Mengesahkan

Dekan Fakultas Hukum

(Dr. H Surahman SH.,MH.,M.M)

iii
KATA PENGANTA

Alhamdulillah, puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala

limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis senantiasa diberikan

kesehatan, kesabaran, dan keihklasan dalam menyusun dan menyelesaikan

tesis ini yang berjudul “PENERAPAN HUKUM DIVERSI TERHADAP

ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA” Ditinjau

Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Mengenai Sistem Peradilan

Anak (studi kasus putusan nomor 6/PID.SUS-ANAK/2017/PN.JKT.SEL).

Tak hentinya pula Penulis selalu mengirimkan salam dan shalawat kepada

Rasulullah Muhammad SAW yang telah menjadi panutan bagi umat Islam

dan Penulis pada khususnya untuk selalu belajar tentang ketaqwaan,

kesabaran, dan keihklasan dalam mengarungi hidup ini.

Yang pertama dan utama, dari lubuk hati yang paling dalam Penulis

menyampaikan rasa terima kasih yang amat besar kepada orang tua yang

sangat Penulis sayangi dan cintai Ayah MUSTAFA LABA dan Ibu JEBIA

yang telah merawat, membesarkan, dan membimbing Penulis dengan penuh

kasih sayang, teman- teman yang selalu memberikan dukungan baik moril

maupun materi kepada Penulis untuk terus berjuang menggapai cita-cita,

serta seluruh keluarga besar Penulis yang selalu mendoakan dan mendukung

untuk kesuksesan Penulis selama proses pendidikan hingga dapat

menyandang gelar Megister.

Tesis ini dapat terselesaikan berkat dorongan semangat, tenaga, dan

pikiran serta bimbingan dari berbagai pihak yang sangat membantu Penulis.

iv
Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis menyampaikan rasa terima

kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Drs. H. Tama Sembiring, SH, MM., Selaku Pembina

Yayasan Pendidikan Universtas Tama Jagakarsa

2. Bapak Dr. H.M.R. Ullung Sembiring, SE, MM., Selaku ketua

Yayasan Pendidikan Universitas Tama Jagakarsa

3. Bapak Dr. H.M. Noor Sembiring, SE. MM., Selaku Rektor

Universitas Tama Jagakarsa

4. Bapak Dr. H. Surahman SH, MH, MM Selaku Dekan Fakultas

Hukum Univrsitas Tama Jagakarsa

5. Bapak Dr. Nursyamsudin, SH.,MH., selaku Kaprodi Fakultas Hukum

Program Pasca Sarjana Universitas tama Jagakarsa

6. Ibu Dr. Syafrida SH.,MH., Selaku Sekretaris Prodi Fakultas Hukum

Universitas Universitas Tama Jagakarsa

7. Seluruh dosen/Asisten yang ada di program studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Tama Jagakarsa

yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama mengikuti

perkuliahan

8. Kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, baik seacara

Moril maupun Spiritual dari awal perkuliahan hingga sampai dengan

penyusunan Tesis

v
Akhirnya dengan segala hormat dan kerendahan hati, Penulis

persembahkan karya tulis ini untuk orang tua tercinta, semoga karya tulis dan

gelar yang diperoleh Penulis ini bisa membuat Ayah dan Mama bangga.

Semoga Tesis ini dapat memberi manfaat bagi kita semua walaupun

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan di dalamnya, karenanya Penulis

berbesar hati menerima kritik dan saran, karena sesungguhnya kesempurnaan

hanya milik Tuhan Yang Maha Esa. Sekian dan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr Wb.

Jakarta Sepetember 2020

Penyusun

ALIMUDIN

vi
ABSTRAK

Nama : ALIMUDUN
NPM : 1840060029
Kosentrasi : Hukum Pidana
Judul Tesis : PENERAPAN HUKUM DIVERSI TERHADAP ANAK PELAKU
TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Pembimbing : Dr. H. Surahman, SH.,MH.,M.M.
Kata Kunci : Penerapan, Diversi, Anak, Narkotika

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur penerapan diversi

terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika ditinjau dari putusan pengadilan

Jakarta Selatan (studi kasus Nomor 6/PID.SUS-ANAK/2017/PN.JKT.SEL).

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis Normatif yaitu dengan

mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum

sekumder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma

positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan

manusia. Jadi penelitian dipahami sebagai penelitian kepustakaan yaitu penelitian

terhadap data sekunder dengan memilih instansi yang terkait dengan perkara ini,

yakni penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta selatan. Metode

pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan yang kemudian data

yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil

yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.

Adapun hasil penelitian ini yaitu 1) Prosedur penerapan diversi terhadap

anak pelaku tindak pidana narkotika ditinjau dari putusan pengadilan Jakarta Selatan

(studi kasus Nomor 6/PID.SUS-ANAK/2017/PN.JKT.SEL ) dalam bentuk

vii
penjatuhan pidana oleh hakim, penulis menilai apakah penjatuhan pidana tersebut

layak atau tidak perlu dikaji lebih mendalam. Sesungguhnya mengenai kasus ini

tidak perlu sampai pada tahap di persidangan bahkan sampai penjatuhan pidana oleh

hakim, karena proses penyelesaian pidana untuk anak sebagaimana yang telah diatur

dalam Undang-Undang system peradilan pidana anak mengupayakan agar

penyelesaian dilakukan berdasarkan keadilan restoratif, dalam hal ini dengan

memaksimalkan upaya diversi. 2) Pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di

Indonesia secara bertahap dilakukan dengan proses penyelidikan penyidikan, proses

penuntutan, proses pemeriksaan di pengadilan dan proses pelaksanaan putusan

hakim. 3) Pengaturan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Untuk

Masa Yang Akan Datang yaitu mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi

terhadap pelaku anak (emphasized the rehabilitation of youthful offender) sebagai

orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang

dewasa.

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................

COVER ............................................................................................................... i

LEMBARAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... ii

LEMBAARAN PENGESAHAN PENGUJI...................................................... iii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv

ABSTRAK.......................................................................................................... vii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................... 10
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................................ 11
1. Tujuan Penelitian ................................................................................ 11
2. Manfaat Penelitian .............................................................................. 11
D. Kerangka Konseptual ............................................................................... 12
E. Metode Penelitian..................................................................................... 14
F. Sistematika Penulisan ............................................................................... 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 20

A. Tinjauan umum Tindak Pidana ............................................................... 20


B. Tinjauan Umum Narkotika ....................................................................... 26
C. Pidana dan Pemidanaan ........................................................................... 45
D. Hukum Pidana Anak ................................................................................ 54
E. Pengertian Diversi .................................................................................... 58
F. Tujuan Diversi.......................................................................................... 59
G. Syarat Diversi ........................................................................................... 62
H. Kewenangan Diversi ................................................................................ 64

BAB III TEMUAN PENELITIAN .................................................................... 66

A. Kedudukan Hukum Diversi Terhadap Anak Penyalahgunaan Narkotika


Dalam Perspektif Perkembangan Hukum pidana di Indonesia.................. 66
B. Kebijakan Diversi Berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan pidana Anak .................................................. 84
C. Konsep Ide Diversi Oleh Legislator Dalam beberapa Ketentuan Peraturan

ix
Perundang-Undangan Pidana Tentang Anak ................................................ 89

BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. 93

A. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Menjatuhkan Putusan


Nomor 6/PID.SUS-ANAK/2017/PN.JKT.SEL ........................................... 93
1. Pertimbangan Hakim ............................................................................... 93
2. Amar Putusan ..................................................................................... 96
3. Analisis Penulis ........................................................................................ 98
B. Implementasi Ide Diversi Dalam Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana

Anak (Kebijakan Aplikatif) yang Tertuang Dalam UU No. 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak .............................................. 101

C. Pengaturan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Untuk Masa Yang Akan Datang .................................................................. 108

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 120

A. Kesimpulan ............................................................................................. 120


B. Saran ............................................................................................................... 125

DAFTAR PUSTAK ........................................................................................... 127

LAMPIRAN ..................................................................................................................

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan

termasuk penanggulangan penyalahgunaan narkotika, sedang mendapat

sorotan tajam sekaligus menjadi topik perdebatan konseptual yang panjang.

Meski perdebatan koseptual tersebut masih melahirkan pro dan kontra

terhadap penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan

kejahatan.

Adanya pandangan bahwa penggunaan hukum pidana sebagai sarana

penanggulangan kejahatan tidak dapat dinisbikan dengan pengertian

penggunaannya tetap harus bersifat subsider. Artinya, sepanjang penggunaan

sarana di luar sistem peradilan pidana dipandang lebih efektif, maka

penggunaan peradilan pidana sedapat mungkin dihindarkan. Selain itu,

apabila (hukum) pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai

manusia Indonesia seutuhnya, maka pendekatan humanistis harus pula

diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu pada

hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada

hakikatnya hukum pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang

dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan

manusia.1 Karenanya penggunaan hukum pidana sebagai sarana

1
Barda Nawal Arif, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hlm 41.

1
2

penanggulangan kejahatan tidak dapat dinisbikan, bahkan

penggunaannya harus diintegrasikan dengan instrument/sarana di luar sistem

peradilan pidana.

Secara konseptual, penanggulangan kejahatan dapat dilakukan baik

dengan menggunakan peradilan pidana (yustisial) maupun sarana lain di luar

peradilan pidana (non yustisial). Upaya mengalihkan proses dari proses

yustisial menuju proses non yustisial dalam penanggulangan penyalahgunaan

narkotika oleh anak, pada dasarnya merupakan upaya untuk menyelesaikan

penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak ke luar jalur peradilan

pidana. Artinya, pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non

yustisial dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan

anak, pada dasarnya adalah upaya untuk menghindarkan anak dari penerapan

hukum pidana dan pemidanaan.

Diversi pada hakikatnya juga mempunyai tujuan agar anak terhindar

dan dampak negatif penerapan pidana. Diversi juga mempunyai esensi tetap

menjamin anak tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun mental.

Ditinjau secara teoretis dari konsep tujuan pemidanaan, maka pengalihan

proses dan proses yustisial menuju proses non yustisial terhadap anak yang

melakukan penyalahgunaan narkotika akan terlihat relevansinya. Secara

umum tujuan pemidanaan pada hakikatnya terdiri dan upaya untuk

melindungi masyarkat di satu sisi dan melindungi individu (pelaku) di sisi

yang lain. 2 Relevansi pengalihan proses dan proses yustisial menuju proses

non yustisial dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika oleh anak

2
Barda Nawawi Arif, op. Cit., hlm, 94.
3

terhadap dua aspek pokok tujuan pemidanaan tersebut, yaitu aspek

perlindungan masyarakat dan aspek perlindungan individu dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Dengan pengalihan tersebut, maka anak akan terhindar dan penerapan

hukum pidana yang dalam banyak teori telah didalilkan sebagai salah

satu faktor kriminogen. Dampak negatif penerapan hukum pidana,

termasuk kepada anak akan melahirkan stigmatisasi maupun

dehumanisasi yang justru dapat menjadi faktor kriminogen. Dengan

demikian, maka menghindarkan anak dan penerapan hukum pidana

(depenalisasi) justru dapat menghindarkan adanya faktor kriminogen,

berarti juga menghindarkan anak dan kemungkinan menjadi jahat

kembali (residivis), oleh karenanya juga berarti menghindarkan

masyarakat dan kemungkinan menjadi korban akibat kejahatan.

2. Dengan Diversi/pengalihan tersebut juga akan memberikan dua

keuntungan sekaligus terhadap individu anak. Pertama, dengan

pengalihan tersebut anak akan tetap dapat melakukan komunikasi

dengan lingkungannya, sehingga dengan demikian anak tidak perlu

lagi melakukan readaptasi sosial pasca terjadinya kejahatan. Kedua,

dengan pengalihan itu juga anak akan terhindar dari kemungkinan

dampak negatif prisonisasi yang seringkali merupakan sarana

“transfer” kejahatan.

Dalam perkembangannya, hukum pidana juga perlu memperhatikan

korban kejahatan. Orientasi hukum pidana yang hanya cenderung pada


4

persoalan perbuatan (pidana) dan pelaku (daad-dader strafrecht) telah

melahirkan konstruksi hukum pidana yang tidak respec terhadap korban.

Padahal dalam konteks, anak sebagai orang yang melakukan penyalahgunaan

narkotika, ia tidak dapat semata-mata dilihat sebagai pelaku, tetapi ia juga

harus dilihat sebagai korban yang membutuhkan prioritas pengentasan dari

ketergantungannya dengan narkotika.

Pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non yustisial

juga sangat relevan dengan falsafah pemidanaan yang dianut pada umumnya

yaitu falsafah pembinaan (philosopy treatment). Dengan demikian,

pengalihan proses dari yustisial menuju proses non yustisial juga mempunyai

relevansi dengan transformasi konseptual dalam sistem pidana dan

pemidanaan yang terjadi di dunia pada umumnya dan konsepsi retribusi ke

arah konsepsi reformasi. 3

Perkembangan pengaturan narkotika di Indonesia tidak terlepas dari

akibat hukum dari berbagai Konvensi Internasional tentang narkotika yang

diratifikasi oleh Indonesia. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai

puncaknya pada tahun 1970-an, hampir semua negara di dunia terutama di

Amerika Serikat penyalahgunaan narkotika sangat meningkat dan sebagian

besar korbannya adalah anak-anak muda.4 Adapun Konvensikonvensi

Internasional tentang Narkotika yang diratifikasi oleh Indonesia antara lain:

3
Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Dalam
Tradisi Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996,
hlm. 167.
4
R. Sujono, Bony Daniel, Komentar&Pembahasan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 8. 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika, 1988).
5

Convention on Psychotrophic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971)

dan United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and

Psychotropic Substances. Kedua konvensi tersebut telah menjadi hukum

nasional Indonesia lewat cara aksesi yang kemudian diratifikasi melalui

Undang-Undang. Convention on Psychtrophic substances 1971 diratifikasi

melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan

Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971).

Sedangkan diratifikasi Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs

and Psychotropic Substances, 1988 melalui Undang-Undang Nomor 07

Tahun 1997.

Pada dasarnya kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan

narkoba di Indonesia sudah sejak lama dilakukan. Diawali dengan berlakunya

Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Stbl.1927No.278

jo. No.536). Ordonansi ini kemudian diganti dengan UU No. 9 Tahun 1976

tentang Narkotika. Selanjutnya undangundang ini diganti menjadi UU No. 22

Tahun 1997 tentang Narkotika sampai dengan munculnya UU No. 35 Tahun

2009 sebagai pembaharuan terbaru dari undang-undang tentang Narkotika.

Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan

penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak hakikatnya merupakan

pilihan yang bersifat dilematis. Mengingat peradilan pidana sebagai sarana

penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak

seringkali menampilkan dirinya hanya sebagai “mesin” hukum yang hanya

akan menghasilkan “keadilan prosedural” (procedural justice). Sehingga


6

hasilnya seringkali tidak memuaskan dan jelas-jelas mengabaikan

kepentingan dan kesejahteraan anak. Sehingga hasilnya seringkali tidak

memuaskan dan jelas-jelas mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan anak.

Perlindungan anak sebagai usaha untuk melindungi anak agar anak

dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan manusiawi.

Perwujudan berupa pembinaan, pembimbingan, pendampingan, penyertaan,

pengawasan, pencegahan, pengaturan penjaminan yang edukatif yang

mendidik aspek-aspek kontruktif, integratif fisik dan sosial anak. Anak adalah

mereka yang belum dewasa dan menjadi dewasa karena peraturan tertentu

(mental, fisik dan sosial belum dewasa).5

Sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak dalam

proses peradilan, agar kepentingan dan kesejahteraan anak tetap diperhatikan

dan dapat diwujudkan, Sudarto mengatakan bahwa:6 “Segala aktivitas yang

dilakukan dalam rangka peradilan anak ini, apakah itu dilakukan oleh polisi,

jaksa ataukah pejabat-pejabat lainnya, harus didasarkan pada suatu prinsip:

demi kesejahteraan anak, demi kepentingan anak. jadi apakah hakim akan

menjatuhkan pidana ataukah tindakan harus didasarkan pada kriterium apa

yang paling baik untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan, tentunya tanpa

mengurangi perhatian kepada kepentingan masyarakat”.

Berdasarkan hal tersebut, kepentingan anak dan kesejahteraan anak

tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat, ataupun kepentingan

5
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, Jakarta, 1989, hlm. 2.
6
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 140.
7

nasional, mengingat hal itu tidak lain justru akan dapat menimbulkan bentuk

kejahatan lain atau korban lain, sebagaimana dikemukakan oleh Arief Gosita

yang menyatakan bahwa: 7 “Penghalangan „pengadaan‟ kesejahteraan anak

dengan prespektif kepentingan nasional, masyarakat yang adil dan makmur

spirituil dan materiil, adalah suatu penyimpangan yang mengandung faktor-

faktor kriminogen (menimbulkan kejahatan) dan Viktimogen (menimbulkan

korban)”.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, terhadap anak delinkuen yang

terbukti melakukan kejahatan tetap harus mendapat perlindungan dan

mendapatkan kesejahteraan, walaupun dalam kondisi anak delinkuen sudah

dijatuhi sanksi pidana. Maka demi kepentingan anak tersebut diperlukan

suatu kebijakan yang tepat, utamanya dalam kerangka penjatuhan sanksi

pidana terhadapnya.

Berawal dari pemikiran bahwa potensi timbulnya dampak negatif

terhadap anak akibat proses peradilan pidana sangat besar. Dampak negatif

proses peradilan pidana seperti prisonisasi, dehumanisasi dan stigmatisasi

akan mengganggu pertumbuhan jiwa anak.

Dalam konteks yang demikian upaya untuk mengalihkan penanganan

anak dari jalur yustisial menuju jalur non-yustisial (diversi) menjadi sangat

urgen. Melalui upaya diversi terhadap perilaku anak yang menyimpang atau

melakukan kejahatan kiranya dapat dilakukan penyelesaian yang lebih baik,

tanpa mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan anak, serta dapat

7
Arief Gosita, Op.Cit., hlm. 33.
8

dilakukan tindakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan

anak. Kebijakan pengalihan atau diversi ini, merupakan penyelesaian yang

terbaik yang dapat dijadikan formula dalam penyelesaian beberapa kasus

yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana, khususnya

dalampenanganan anak penyalahguna narkotika. Sehingga akan lebih tepat

dalam menentukan tindakantindakan (treatment) yang perlu diterapkan

terhadapnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak mengubah pandangan bahwa pemidanaan seharusnya

merupakan jalan terakhir bagi anak yang berhadapan dengan hukum,

sehingga pendekatan pemidanaan pun berubah. Undang-Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak ini mengedepankan model pemidanaan retributive

justice. Model pemidanaan retributive justice yaitu pemulihan ke kondisi

semula dan pemidanaan sebagai jalan terakhir sehingga didahulukan cara lain

di luar pengadilan. Salah satunya dengan cara diversi yakni pengalihan

penyelesaiaan perkara anak dari proses di peradilan pidana ke proses di luar

peradilan pidana. Diversi merupakan jalan keluar yang paling tepat agar anak

tidak dibawa ke pengadilan. Oleh karena itu, diversi ini haruslah menjadi

kewajiban polisi dalam setiap penanganan baik itu di tingkat penyidikan,

penuntutan, sampai dengan pemeriksaan perkara di pengadilan.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak mewajibkan setiap aparat penegak hukum baik itu

kepolisian, jaksa dan hakim untuk melakukan diversi terhadap perkara tindak
9

pidana yang dilakukan oleh anak. Hal ini ditegaskan pada Pasal 7 ayat 1

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak menyebutkan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan

pemerikasaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.

Pernyataan pasal ini menunjukan bahwa sedapat mungkin tindak pidana yang

dilakukan oleh anak diusahakan tidak berlanjut ke tingkat pemeriksaan di

pengadilan hingga ke pemidanaan, namun diusahakan ke pemulihan kembali

ke kondisi semula karena berkaitan dengan kondisi dan perkembangan mental

anak yang masih labil.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sitem Peradilan

Pidan Anak memberikan peran dan kewajiban baru kepada kepolisian selain

kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam menangani

tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Kewenangan itu adalah kewenangan

melakukan diversi dalam tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan

mengusahakan perkara tidak berlanjut ke tingkat penuntutan dan pemeriksaan

perkara di pengadilan.

Pada kenyataan, terdapat kasus tindak pidana yang dilakukan oleh

anak berproses ke tingkat penuntutan oleh kejaksaan hingga ke proses

pemeriksaan di pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari contoh kasus narkotika

pada anak dalam kasus putusan dengan Nomor registeasi perkara :

6/PID.SUS-ANAK/2017/PN/JKT.SEL. Dalam kasus ini terdakwa dituntut

dengan pasal 111 ayat (1) undnag-undang No 35 tahun 2009 tentang

Narkotika yang berbunyi “ setiap orang yang menguasai atau menyediakan


10

narkotika Golongan 1 dalam bentuk tanaman, dippidan dengan pidana

penjara paling singkat 4 tahun dan paling lam 12 tahun dan denda paling

sedikit Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah ) dan paling banyak Rp

8.000.000.000 (selapan miliar rupiah ). Sedangkan dalam Undang-Undang

sistem Peradilan pidana Anak pasal 1 angka 7 UU No. 11 tahun 2012 tentang

SPPA yang yang seharusnya diadakan upaya diversi yang berbunyi “

Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses

peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana. Jadi berdasarkan uraian

diatas maka seharusnya pelaku dikembalika terhadap orang tuanya.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi diatas, maka penulis

tertarik untuk mengkaji masalah Tindak Pidana Nartkotika khususnya

kejahatan yang dilakukan oleh anak yang terjadi di kota Depok dalam suatu

bentuk karya ilmiah dengan judul “ PENERAPAN HUKUM DIVERSI

TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

NARKOTIKA” Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Mengenai Sistem Peradilan Anak (studi kasus putusan nomor 6/PID.SUS-

ANAK/2017/PN.JKT.SEL)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka masalah

yang dapat dirumuskan sebagai berikut :


11

1. Bagaimanakah prosedur penerapan diversi terhadap anak pelaku tindak

pidana narkotika ditinjau dari putusan pengadilan Jakarta Selatan (studi

kasus Nomor 6/PID.SUS-ANAK/2017/PN.JKT.SEL)

2. Apakah ketentuan hokum diversi dalam impelementasinya sesuai dengan

undang- undang No 11 Tahun 2011 tentang system peradilan pidana

Anak ?

3. Bagaimanakah pengaturan penerapan diversi terhadap anak pelaku tindak

pidana untuk masa yang akan datang ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan diatas, ada beberapa tujuan penelitian ini

yang menjadi acuan, adalah:

1) Untuk mengetahui dan memahami prosedur penerapan diversi

terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika ditinjau dari putusan

pengadilan Jakarta Selatan (studi kasus Nomor 6/PID.SUS-

ANAK/2017/PN.JKT.SEL)

2) Untuk mengetahui dan memahami ketentuan hukum Diversi dalam

impelementasinya apakah sesuai undang-undang nomor 11 tahun

2021 tentang sistem peradilan pidana anak

3) Untuk mengetahui dan memahami pengaturan penerapan diversi

terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika dimasa yang akan

datang

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:


12

1) Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam

pengembangan kajian khususnya hukum pidana, dalam rangka memberikan

penjelasan mengenai penerapan upaya diversi terhadap anak pelaku

penyalahgunaan narkotika.

2) Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi pihak

kepolisian dan majelis Hakim dalam melaksanakan peranannya sebagai

aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara yang dilakukan oleh

oleh anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika, yang berhadapan dengan

hukum dan memberikan pengetahuan bagi mahasiswa bagi mahsiswa

khususnya fakultas hukum program Pascasarjana Universitas Tama

Jagakarsa

D. Kerangka Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus

pengamatan dalam melaksanakan penelitian. Berdasarkan definisi tersebut,

maka konseptualisasi dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Anak menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah anak yang

berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak

yang telah berumur 12 (duabelas) tahun, tetapi belum berumur 18

(delapanbelas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Penyalah

guna menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35


13

b. Diversi menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengalihkan

penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di

luar proses peradilan pidana.

c. Pengertian Tindak Pidana menurut istilah adalah terjemahan paling

umum untuk istilah”straafbaar feit” dalam belanda walaupun secara

resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaar feit

Pendapat beberapa pendapat ahli tentang tindak pidana

a) Menurut simons

Pengertian tidak pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan

yang diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana,

bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan dengan

kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

b) Menurut pompe

Pengertian tindak pidana suatu pelangaran norma (gangguan

terhadap tata tertip hukum yang dengan sengaja ataupun dengan

tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana

penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi

terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.

c) Menurut E. Utrecht

Tindak pidana dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia

sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan ( andelen atau

doen positif) atau suatu tidakan melalaikan ( natalen – negatif),


14

mau akibatnya ( keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau

melalaikan itu).

d) Menurut Moeljanto

Tindak pidana berarti perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana, terhadap siapa saja yang melangar larangan

tersebut. Perbuatan tersebut harus juga dirasakan oleh masyarakat

sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita – citakan oleh

masyarakat.

d. Narkotika menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang

dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya

rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-

golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. 8

E. Metode Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan

suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati,

tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan

manusia.9

Jadi metode penelitian dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip dan tata

cara untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam melakukan


8
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
9
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 6
15

penelitian. Dalam penelitian tesis ini penulis menggunakan metode observasi

diantaranya :

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini mengunakan pendekatan yuridis Normatif yaitu

dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-

bahan hukum sekumder dengan memahami hukum sebagai perangkat

peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan

yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Jadi penelitian dipahami

sebagai penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. 10

2. Spesfikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian Deskriptif Analitis

yang merupakan penelitian untuk menggambarkan dan menganalisa

masalah yang ada dan termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan

(library research) yang akan disajikan secara deskriptif.

3. Sumber Data

Penelitian ini termasuk penelitian hukum Normatif, maka jenis

data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang diteliti

adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum Primer

yaitu bahan hukum yang mengikat seperti Undang-undang Dasar,

(bahan hokum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat,

dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan perundang-

10
Soejono soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, 1985,
hal, 15
16

udangan yang berlaku, bahan hukum primer yang digunakan dalam

penelitian ini adalah:

1) Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Sistem Peradilan

Pidana Anak

2) Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika),

3) Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan

Anak

4) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia (HAM)

5) Undang -undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan

Kehakiman.

6) Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan

anak

7) Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang tugas

pembimbing kemasarakatan

8) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

9) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Republik Indonesia

b. Bahan hukum sekunder

yaitu bahan yang memberikan bahan penjelasan tentag bahan hukum

primer yaitu berupa:


17

1) dokumen atau risalah perundang-undangan, bahan hokum

yang erat bimbinganya dengan bahan hokum primer dan dapat

membantu menganalisis serta memahami bahan hokum

primer,

2) buku-buku

3) putusan dari pengadilan dan bahan pustaka lainya yang

berkaitan dengan penelitian anatara lain berupa buku-buku

atau

4) Makalah,

5) skripsi

6) Tesis

7) Literatur yang berkaitan atau membahas tentang penerapan

sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana Narkotika yang

tidak sesuai atau bertentangan dengan Undang-undang Nomor

35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

serat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan hokum yang memberikan penjelasan lebih mendalam

mengenai bahan hukum primer maupun bahan Hukum sekunder

antara lain

1) Ensiklopedi Indonesia;
18

2) Kamus Hukum;

3) Kamus bahasa Indonesia

4) Berbagai Majalah maupun Jurnal hukum.

F. Sistematika penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Rumusan

masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka

konseptual, Metode penelitian dan Sistematika penulisan

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Bab ini menguraikan tentang data kepustakaan, tinjauan umum

tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, tinjauan umum

tentang Narkotika, Pidana dan pemidanaan, hukum pidana

anak, penegertian diversi, tujuan diversi, ketentuan diversi,

sarat Diversi dan kewenangan Diversi.

BAB III TEMUAN PENELITIAN

Bab ini menguraiakan data lapangan (empiris), ketentuan

hukum Kebijakan Hukum Dalam UU No 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Kedudukan Hukum

Diversi Terhadap Anak Penyalahguna Narkotika Dalam

Perspekti Perkembangan Hukum Pidana dan Konsepsi Ide

Diversi Oleh Legislator Dalam Beberapa Ketentuan Peraturan


19

Perundang-Undangan Pidana Tentang Anak Sebagai

Kebijakan Pidana di Indonesia

BAB IV PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan pembahasan materi ketentuan hukum

Implementasi Ide Diversi Dalam Pelaksanaan Sistem Peradilan

Pidana Anak (Kebijakan Aplikatif) yang Tertuang Dalam UU

No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

Pengaturan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

Narkotika Untuk Masa Yang Akan Datang dan Prosedur

penerapan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana

narkotika ditinjau dari putusan pengadilan Jakarta Selatan

(studi kasus Nomor 6/PID.SUS-ANAK/2017/PN.JKT.SEL )

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini memberikan kesempatan pada penulis untuk

menguraikan kesimpulan dan saran-sarana.


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum

pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain

halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang

melanggar uu pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang

oleh uu harus dihindari dan barang siapa yang melanggarnya maka

akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-

kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga negara wajib

dicantumkan dalam uu maupun peraturanperaturan pemerintah, baik

tingkat pusat maupun daerah. 11

Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara istilah pidana dengan

istilah hukuman. Sudarto mengatakan bahwa “istilah hukuman

kadang-kadang digunakan untuk pergantian perkataan straft, tetapi

menurut beliau istilah pidana lebih baik daripada hukuman,”


12
sedangkan menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief

Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan

konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-


11
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996,
hlm. 7
12
Bassar, S, Tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, CV Remadja Karya, Bandung, 1986, hlm. 15

20
21

ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang

cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan

dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari

dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh

karena pidana merupakan istilah yang khusus, maka perlu ada

pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat

menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa

Belanda yaitu Strafbaarfeit atau delict yang berasal dari bahasa Latin

delictum. Sedangkan perkataan ”feit” itu sendiri di dalam bahasa

Belanda berarti ”sebagian dari kenyataan” atau ”een gedeelte van

werkelijkheid” sedangkan ”strafbaar” berarti ”dapat dihukum” ,

sehingga secara harfiah perkataan ”strafbaar feit ” itu dapat

diterjemahkan sebagai ”sebagian dari suatu kenyataan yang dapat

dihukum.” 13

Sedangkan Menurut Amir Ilyas,

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung

suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum sebagai istilah yang

dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada

peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang

abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum

pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat

13
P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hlm. 181
22

ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan

istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.14

Terdapat beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa)

mengenai pengertian Strafbaar feit, antara lain sebagai berikut:

a. Menurut Simons, Strafbaar feit yaitu suatu tindakan melanggar

hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang

olehUU telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum.

b. Pompe, Strafbaar feit yaitu suatu pelanggaran norma

(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja

ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang

pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut

adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.12

c. Hasewinkel Suringa, Strafbaar feit yaitu suatu perilaku

manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam

suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku

yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan

menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang

terdapat didalam undang-undang.

14
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia,
Yogyakarta, 2012, hlm. 18
23

Sedangkan menurut beberapa pakar hukum pidana di

Indonesia, pengertian tindak pidana adalah sebagai berikut:

a. Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja

yang melanggar larangan tersebut.

b. Soerdatoyang, Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum

yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang

memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.

Wirjono Prodjodikoro, Beliau mengemukakan definisi tindak

pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat

dikenakan hukuman pidana.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Menurut Satochid Kartanegara menjelaskan bahwa “Unsur

delik terdiri dari atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur yang

objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia yaitu, suatu

tindakan, suatu akibat, dan keadaan (omstandigheid). Kesemuanya itu

dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

Sedangkan unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan berupa

kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid),

dan kesalahan”.
24

Unsur-unsur tindak pidana terdiri atas unsur subjektif dan

unsur objektif. Terhadap unsur-unsur tersebut dapat diutarakan

sebagai berikut :

a. Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam

diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada

hukuman tanpa ada kesalahan” (Anact does not make a person

guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi

mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah

kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan

(intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld).

Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa

“kesengajaan” terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yaitu:

Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)

1) Kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opset als

zekerheidsbewustzijn), dan

2) Kesengajaan dengan keinsyafan akan kemungkinan

(dolus evantualis).

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih

ringan dari kesengajaan. Kealpaan terdiri atas 2 (dua)

bentuk, yaitu:

1) Tak berhati-hati, dan

2) Dapat menduga akibat itu.


25

b. Unsur Objektif

Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri si

pelaku yang sebagai berikut:

1) Perbuatan manusia, berupa:

a) Act, yaitu perbuatan aktif, dan

b) Ommission, yaitu perbuatan pasif (perbuatan

yang mendiamkan atau membiarkan).

2) Akibat (result)

perbuatan manusia Akibat tersebut membahayakan

atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-

kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya

nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan

dan sebagainya.

3) Keadaan-keadaan (circumstances)

(1). Keadaan pada saat perbuatan dilakukan, dan

(2). Keadaan setelah perbuatan dilakukan. 14

4) Sifat dapat dihukum dan melawan hukum

Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan.

Salah satu unsur saja tidak terbukti, bisa menyebabkan

terdakwa dibebaskan oleh hakim di pengadilan.

Seorang ahli hukum yaitu Simon merumuskan unsur-unsur

tindak pidana sebagai berikut :

a. Diancam pidana oleh hukum;


26

b. Bertentangan dengan hukum;

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah, dan

d. Orang itu dipandang dapat bertanggungjawab atas

perbuatannya. 15

B. Tinjauan Umum Tentang Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika, narkotika dapat diartikan sebagai zat atau obat yang

berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun

semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,

dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika yang terkenal di

Indonesia sekarang ini berasal dari kata Narkoties, yang sama artinya

dengan kata narcosis yang berarti membius.

Narkotika atau nama lazim yang diketahui oleh orang awam

berupa narkoba tidak selalu diartikan negatif, didalam ilmu kedokteran

narkotika dengan dosis yang tepat digunakan sebagai obat bagi pasien.

Selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang

merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif.

Sudarto mengatakan bahwa “kata narkotika berasal dari perkataan

Yunani “Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa”.16

15
Andi Hamzah dan A.Z. Abidin, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia. PT Yarsif
Watampone, Jakarta, 2010 hal.88
16
Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta , 2005, hlm. 17
27

Selanjutnya, Smith Kline dan Frech Clinical Staff mendefinisikan bahwa

Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidak

sadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja

mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam defenisi narkotika ini sudah

termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, dan

methadone).17

Di dalam bukunya, Ridha Ma’roef mengatakan bahwa narkotika

ialah candu, ganja, cocaine, dan zat-zat yang bahan mentahnya diambil

dari benda-benda termasuk yakni morphine, heroin, codein hashisch,

cocaine. Dan termasuk juga narkotika sintetis yang menghasilkan zat-zat,

obat yang tergolong dalam hallucinogen dan stimulan. 18

Narkotika mengacu pada sekelompok senyawa kimia yang

berbahaya apabila digunakan tidak pada dosis yang tepat. Bahaya itu

berupa candu dan ketagihan yang tidak bisa berhenti. Hal ini dikarenakan

di dalam narkotika terkandung senyawa adiktif yang bersifat adiksi bagi

pemakainya. Penggunaan narkotika dapat menyebabkan hilangnya

kesadaran dan pengguna dapat dengan mudah melupakan segala

permasalahan yang dihadapi. Pemakai dibuat seperti berada diatas awan

dan selalu merasa bahagia. Inilah yang kemudian mendorong banyak

orang yang sedang diliputi masalah beralih mencari kesenangan dengan

mengkonsumsi obat-obatan terlarang ini.

17
Ibid, hlm. 18
18
Ridha Ma’roef, Narkotika, Masalah dan Bahayanya, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987 hlm.15
28

Sebenarnya narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan

sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi

ilmiah diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para

penderita tersebut. Dalam dasar menimbang UU Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan

obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan

kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan disisi lain dapat pula

menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila

disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang

ketat dan saksama. Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur

menurut takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental

bagi yang menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan

pada pengguna itu sendiri. Artinya keinginan sangat kuat yang bersifat

psikologis untuk mempergunakan obat tersebut secara terus menerus

karena sebab-sebab emosional.

2. Jenis-jenis Tindak Pidana Narkotika

Umumnya, jenis-jenis tindak pidana narkotika dapat dibedakan menjadi

berikut ini :

a. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan narkotika.

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dibedakan menjadi dua

macam yaitu perbuatannya untuk orang lain dan untuk diri sendiri.

b. Tindak pidana yang menyangkut produksi dan jual beli narkotika.

Tindak pidana yang menyangkut produksi dan jual beli disini


29

bukan hanya dalam arti sempit, akan tetapi termasuk pula

perbuatan ekspor impor dan tukar menukar narkotika.

c. Tindak pidana yang menyangkut pengangkutan narkotika. Tindak

pidana dalam arti luas termasuk perbuatan membawa, mengirim,

mengangkut, dan mentrasito narkotika. Selain itu, ada juga tindak

pidana di bidang pengangkutan narkotika yang khusus ditujukan

kepada nahkoda atau kapten penerbang karena tidak

melaksanakan tugasnya dengan baik sebagaimana diatur dalam

Pasal 139 UU Narkotika, berbunyi sebagai berikut: Nakhoda atau

kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak

melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27

atau Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1

(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda

paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

d. Tindak pidana yang menyangkut penguasaan narkotika.

e. Tindak pidana yang menyangkut tidak melaporkan pecandu

narkotika. Orang tua atau wali memiliki kewajiban untuk

melaporkan pecandu narkotika. Karena jika kewajiban tersebut

tidak dilakukan dapat merupakan tindak pidana bagi orang tua

atau wali dan pecandu yang bersangkutan.

f. Tindak pidana yang menyangkut label dan publikasi. Seperti yang

diketahui bahwa pabrik obat diwajibkan mencantumkan label pada

kemasan narkotika baik dalam bentuk 18 obat maupun bahan baku


30

narkotika (Pasal 45). Kemudian untuk dapat dipublikasikan Pasal

46 UU Narkotika syaratnya harus dilakukan pada media cetak

ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. Apabila tidak

dilaksanakan dapat merupakan tindak pidana.

g. Tindak pidana yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan

narkotika. Barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana

dilakukan penyitaan untuk dijadikan barang bukti perkara

bersangkutan dan barang bukti tersebut harus diajukan dalam

persidangan. Status barang bukti ditentukan dalam Putusan

pengadilan. Apabila barang bukti tersebut terbukti dipergunakan

dalam tindak pidana maka harus ditetapkan dirampas untuk

dimusnahkan. Dalam tindak pidana narkotika ada kemungkinan

barang bukti yang disita berupa tanaman yang jumlahnya sangat

banyak, sehingga tidak mungkin barang bukti tersebut diajukan

kepersidangan semuanya. Dalam hal ini, penyidik wajib membuat

berita acara sehubungan dengan tindakan penyidikan berupa

penyitaan, penyisihan, dan pemusnahan kemudian dimasukkan

dalam berkas perkara. Sehubungan dengan hal tersebut, apabila

penyidik tidak melaksanakan tugasnya dengan baik merupakan

tindak pidana.

h. Tindak pidana yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah umur

19 Tindak pidana dibidang narkotika tidak seluruhnya dilakukan

oleh orang dewasa, tetapi ada kalanya kejahatan ini dilakukan pula

bersama-sama dengan anak dibawah umur (belum genap 18 tahun


31

usianya). Oleh karena itu perbuatan memanfaatkan anak dibawah

umur untuk melakukan kegiatan narkotika merupakan tindak

pidana.

Secara aktual, penyalahgunaan narkotika sampai saat ini

mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Hampir seluruh

penduduk dunia dapat dengan mudah mendapatkan narkotika,

misalnya dari bandar/pengedar yang menjual di daerah sekolah,

diskotik, dan berbagai tempat lainnya. Bisnis narkotika telah tumbuh

dan menjadi bisnis yang banyak diminati karena keuntungan

ekonomis.

Didalam uu narkotika telah diatur sedemikian rupa mengenai

bentuk penyalahgunaan narkotika, misalnya dalam Pasal 114 Ayat (1)

UU Narkotika menyatakan bahwa: Setiap orang yang tanpa hak atau

melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara

seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Larangan-larangan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal

114 Ayat (1) UU Narkotika diatas menunjukkan bahwa undang-

undang menentukan semua perbuatan dengan tanpa tanpa hak atau


32

melawan hukum untuk menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan narkotika 20 golongan I karena sangat membahayakan

dan berpengaruh terhadap meningkatnya kriminalitas. Apabila

perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang dengan tanpa

hak, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan penyalahgunaan

narkotika atau merupakan suatu tindak pidana khusus yang dapat

diancam dengan sanksi hukum yang berat.

Ketentuan mengenai sanksi dalam UU Narkotika sangat besar.

Sanksi pidana paling sedikit 4 (empat) tahun penjara sampai 20 (dua

puluh) tahun penjara bahkan pidana mati jika memproduksi narkotika

golongan I lebih dari 1 (satu) atau 5 (lima) kilogram. Denda yang

dicantumkan dalam UU Narkotika tersebut berkisar antara

Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai dengan

Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

3. Jenis-jenis dan Penggolongan Narkotika

Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1997 Narkotika

diklasifikasikan menjadi 3 (Tiga) golongan, yaitu:

a. Narkotika Golongan I

Adalah Narkotika yang paling berbahaya dengan daya

Adiktif yang sangat tinggi. Karenanya tidak diperbolehkan

penggunaannya untuk terapi pengobatan, kecuali penelitian

dan pengembangan pengetahuan. Narkotika yang termasuk


33

golongan ini adalah Ganja, Heroin, Kokain, Morfin, Opium,

dan lain sebagainya.

b. Narkotika Golongan II

Adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat,

tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Meskipun

demikian penggunaan narkotika golongan II untuk terapi atau

pengobatan sebagai pilihan terakhir jika tidak ada pilihan lain.

Contoh dari narkotika golongan II ini adalah Benzetidin,

Betametadol, Petidin dan turunannya, dan lain-lain.

c. Narkotika Golongan III

Adalah jenis Narkotika yang memiliki daya adiktif atau

potensi ketergantungan ringan dan dapat dipergunakan secara

luas untuk terapi atau pengobatan dan penelitian. Adapun jenis

narkoba yang termasuk dalam golongan III adalah Kodein dan

turunannya, Metadon, Naltrexon dan sebagainya.

Berdasarkan cara pembuatannya, Narkotika dibedakan

ke dalam 3 (tiga) jenis yaitu:

1) Narkotika alami

Narkotika Alami adalah Narkotika yang zat adiktifnya

diambil dari tumbuhtumbuhan (alam), seperti :

a) Ganja

Ganja adalah tanaman dengan daun yang

menyerupai daun singkong yang tepinya bergerigi

dan berbulu halus dengan jumlah jari yang selalu


34

ganjil (5,7, dan 9). Biasa tumbuh di daerah tropis.

Di Indonesia tanaman ini banyak tumbuh di

beberapa daerah,seperti Aceh, Sumatera Utara,

Sumatera Selatan,Pulau Jawa, dan lain-lain. 22

Cara penyalahgunaannya adalah dengan

dikeringkan dan dijadikan rokok yang dibakar dan

dihisap. Nama jalanan yang sering digunakan ialah

: Grass. Cimeng, Ganja dan Gelek, Hasish,

Marijuana, bhang. Ganja berasal dari tanaman

Kanabis Sativa dan Kanabis Indica. Pada tanaman

ganja terkandung tiga zat utama yaitu Tetrehidro

Kanabinol, kanabinol dan Kanabidiol.

Cara penggunaannya adalah dihisap dengan

cara dipadatkan mempunyai rokok atau dengan

menggunakan pipa rokok. Efek rasa dari kanabis

tergolong cepat,sipemakai : cenderung merasa

lebih santai,rasa gembira berlebih (euforia), sering

berfantasi. Aktif berkomunikasi,selera makan

tinggi, Sensitif, Kering pada mulut dan

tenggorokan

b) Opium

Opium adalah bunga dengan bentuk dan

warna yang indah, dimana getahnya dapat

menghasilkan candu (opiat). Opium tumbuh


35

didaerah yang disebut dengan Segitiga

Emas(Burma – Laos -Thailand) dan Bulan Sabit

Emas (Iran, Afganistan dan Pakistan). Opium pada

masa lalu digunakan oleh masyarakat Mesir dan

Cina untuk mengobati penyakit, memberikan

kekuatan, dan/atau menghilangkan rasa sakit pada

tentara yang terluka sewaktu berperang atau

berburu.

c) Hasis Hasis Adalah tanaman serupa ganja yang

tumbuh di Amerika Latin dan Eropa yang biasanya

digunakan para pemadat kelas tinggi. 23

Penyalahgunaannya adalah dengan menyuling daun

hasis/ganja untuk diambil sarinya dan digunakan

dengan cara dibakar.

d) Daun Koka Kering – Cocain & Crack Daun Koka

kering adalah tanaman perdu mirip dengan pohon

kopi dengan buah yang berwarna merah seperti biji

kopi. Wilayah kultivasi tumbuhan ini berada di

Amerika Latin (Kolombia, Peru, Bolivia, dan

Brazilia). Koka diolah dan dicampur dengan zat

kimia tertentu untuk menjadi kokain yang memiliki

daya adiktif yang lebih kuat.

2) Narkotika Semi-Sintesis
36

Narkotika Semi Sintetis adalah berbagai jenis

narkotika alami yang diolah dan diambil zat adiktifnya (

Intisarinya ) agar memiliki khasiat yang lebih kuat

sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

kedokteran. Beberapa jenis Narkotika Semi-Sintesis yang

disalah gunakan adalah sebagai berikut:

a) Getah Opium / Morfin Mentah

Kodein adalah Alkaloida yang terkandung

dalamopiumdan banyak dipergunakan untuk

keperluanmedis. Dengan khasiat analgesic yang

lemah, kodein dipakai untuk obat penghilang

(peredam) batuk.

Heroin / Black Heroin, Heroin yang

dicampur obat-obatan Putaw yang beredar di

Indonesia dihasilkan dari cairan Getah

Opiumpoppy yang diolah menjadi morfin

kemudian dengan proses tertentu menghasil

putauw, dimana putauw mempunyai kekuatan 10

kali melebihi Morfin.

Opioid sintetik yang mempunyai kekuatan

400 kali lebih kuat dari Morfin. Artinya merupakan

turunan kualitas terendah dari opium atau 24 dapat

dianggap sebagai sisa opium yang telah diproses

menjadi Morfin yang diolah lebih lanjut secara


37

kimiawi dan memiliki daya adiktif yang sangat

tinggi. Jenis Narkotika semi sentesis yang paling

banyak disalahgunakan dengan cara dihirup atau

disuntikkan.

Reaksi dari pemakaian ini sangat cepat

yang kemudian timbul rasa ingin menyendiri untuk

menikmati efek rasanya dan pada taraf kecanduan

si pemakai akan kehilangan rasa percaya diri

hingga tak mempunyai keinginan untuk

bersosialisasi. mereka mulai membentuk dunia

mereka sendiri.

Morfin adalah getah opium yang diolah

dan dicampur dengan zat kimia tertentu yang

memiliki daya analgesik yang kuat berbentuk

kristal, berwarna putih dan berubah menjadi

kecoklatan serta tidak berbau. Biasa dipakai di

dunia kedokteran sebagai penghilang rasa sakit

atau pembiusan pada operasi (pembedahan).

Mereka merasa bahwa lingkungannya

adalah musuh. mulai sering melakukan manipulasi

dan akhirnya menderita kesulitan keuangan yang

mengakibatkan mereka melakukan pencurian atau

tindak criminal lainnya.


38

Kokain adalah serbuk kristal berwarna

putih yang diperoleh dari sari tumbuhan koka yang

memiliki dampak ketergantungan yang tinggi.

Kokain mempunyai dua bentuk yaitu : kokain

hidroklorid dan free base. Rasa sedikit pahit dan

lebih mudah larut dari free base. Free base tidak

berwarna/putih, tidak berbau dan rasanya pahit.

Nama jalanan dari kokain 25 adalah koka, coke,

happy dust, charlie, srepet, snow (salju putih).

Biasanya dalam bentuk bubuk putih.

Cara pemakaiannya : dengan membagi

setumpuk kokain menjadi beberapa bagian berbaris

lurus diatas permukaan kaca atau benda-benda

yang mempunyai permukaan datar kemudian

dihirup dengan menggunakan penyedot seperti

sedotan atau dengan cara dibakar bersama

tembakau yang sering disebut cocopuff. Ada juga

yang melalui suatu proses menjadi bentuk padat

untuk dihirup asapnya yang populer disebut

freebasing. Penggunaan dengan cara dihirup akan

berisiko kering dan luka pada sekitar lubang hidung

bagian dalam. Efek rasa dari pemakaian kokain ini

membuat kehilangan nafsu makan, merasa kuat dan

dapat merasa hilang dari rasa sakit dan lelah.


39

3) Narkotika sintesis

Narkotika Sintetis adalah Narkotika Palsu yang

dibuat dari bahan kimia dan digunakan untuk pembiusan

atau pengobatan bagi mereka yang mengalami

ketergantungan narkoba. Narkotika sintesis berfungsi

sebagai pengganti sementara untuk mencegah rehabilitasi

sehingga penyalahgunaan dapat menghentikan

ketergantungannya. Adapun contoh dari narkotika sintetis

adalah :

Naltrexon adalah antagonis reseptor opioida yang

digunakan secara primer dalam terapi ketergantungan

alkohol dan opioida. Naltrexon seringkali digunakan untuk

rapid detoxification terhadap ketergantungan opioida. 26

Buprenorfin atau Subutex merupakan opioida

semi-sintesis yang juga digunakan untuk pengobatan

ketergantungan opioida.

4. Unsur-unsur Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111

sampai dengan Pasal 148 UU Narkotika yang merupakan ketentuan

khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam UU Narkotika

bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah kejahatan, akan

tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana

didalam undangundang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya,

kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu


40

pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-

kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya

akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah

sangat membahayakan bagi jiwa manusia. 19

Menurut Soedjono Dirjosisworo, Penggunaan narkotika

secara legal hanya bagi kepentingankepentingan pengobatan atau

tujuan ilmu pengetahuan. Menteri Kesehatan dapat memberi ijin

lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan untuk

membeli atau menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk

persediaan ataupun menguasai tanaman papaver, koka dan ganja.20

Di dalam UU Narkotika, perbuatan-perbuatan yang dinyatakan

sebagai tindak pidana adalah sebagai berikut:

a. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,

atau menyediakan narkotika Golongan I dalam bentuk

tanaman (Pasal 111); Memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan narkotika Golongan I bukan tanaman (Pasal

112);

b. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

narkotika golongan I (Pasal 113);

19
Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2001 hlm. 5
20
Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990

hlm.15
41

c. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan

narkotika golongan I (Pasal 114);

d. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika

golongan I (Pasal 115);

e. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau

memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain

(Pasal 116);

f. Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,

menguasai, atau menyediakan narkotika golongan II (Pasal

117);

g. Tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan II (Pasal

118);

h. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan

narkotika golongan II (Pasal 119);

i. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika

golongan II (Pasal 120); 28

j. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menggunakan narkotika golongan II terhadap orang lain atau

memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain

(Pasal 121);
42

k. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan

III (Pasal 122);

l. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

narkotika golongan III (Pasal 123);

m. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan

narkotika dalam golongan III (Pasal 124);

n. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika

golongan III (Pasal 125);

o. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menggunakan narkotika golongan III terhadap orang lain atau

memberikan narkotika golongan III untuk digunakan orang

lain (Pasal 126);

p. Setiap penyalahguna (Pasal 127 Ayat (1)) a. Narkotika

golongan I bagi diri sendiri b. Narkotika golongan II bagi diri

sendiri c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri 29

q. Pecandu narkotika yang belum cukup umur (Pasal 55 Ayat (1)

yang sengaja tidak melapor (Pasal 128);

r. Setiap orang tanpa hak melawan hukum (Pasal 129)

1) Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan

prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika;


43

2) Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

Prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika;

3) Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan prekursor narkotika untuk pembuatan

narkotika;

4) Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito

prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika.

Sedangkan untuk sanksi pidana dan pemidanaan terhadap tindak

pidana narkotika adalah sebagai berikut :

a. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan, penjara

dalam waktu tertentu/seumur hidup, dan pidana mati), pidana

tambahan (pencabutan izin usaha/pencabutan hak tertentu), dan

tindakan pengusiran (bagi warga Negara asing).

b. Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara Rp

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai Rp

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana

narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 tahun sampai 20 tahun

dan seumur hidup.

c. Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara

kumulatif (terutama penjara dan denda); 30

d. Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana

minimal khusus (penjara maupun denda);


44

e. Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului

dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi,

dilakukan oleh korporasi dilakukan dengan menggunakan anak

belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive)

Kebijakan kriminalisasi dari UU Narkotika tampaknya tidak terlepas

dari tujuan dibuatnya UU itu, antara lain:

a. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika/ psikotropika.

b. Memberantas peredaran gelap narkotika/psikotropika.

Oleh karena itu, semua perumusan delik dalam UU Narkotika

terfokus pada penyalahgunaan dari peredaran narkobanya (mulai dari

penanaman, produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai ke

pemakaiannya, termasuk pemakaian pribadi, bukan pada kekayaan

(property/assets) yang diperoleh dari tindak pidana “narkobanya” nya itu

sendiri.

Dalam ilmu hukum pidana, orang telah berusaha memberikan

penjelasan tentang siapa yang harus dipandang sebagai pelaku suatu tindak

pidana. Van Hamel telah mengartikan

Pelaku dari suatu tindak pidana dengan membuat suatu definisi bahwa

pelaku tindak pidana itu hanyalah dia, yang tindakannya atau kealpaannya

memenuhi semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan

delik yang bersangkutan, baik yang telah dinyatakan secara tegas maupun
45

yang tidak dinyatakan secara tegas. Jadi pelaku itu adalah orang yang dengan

seseorang diri telah melakukan sendiri tindak pidana yang bersangkutan.21

C. Pidana dan Pemidanaan

1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan

Pidana berasal dari kata Straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat

dikatakan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dikenakan/dijatuhkan

kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak

pidana. Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran

hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan

penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan

dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum

pidana dengan hukum yang lainnya.

Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum,

sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Pemidanaan

adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman/sanksi

terhadap orang yang telah melakukan tindak kejahatan (rechtsdelict)

maupun pelanggaran (wetsdelict). Pidana dan pemidanaan ialah suatu

perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis

kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.

2. Jenis-jenis Pemidanaan

21
Lamintang, P.A.F, Hukum Penitersier Indonesia, Sinar Grafika , Bandung, 1984, hlm 556
46

Menurut Lamintang, Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(selanjutnya disingkat KUHPidana) dahulu bernama Wetboek va

Strafrecht voor Indonesia yang kemudian berdasarkan ketentuan di dalam

Pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 kemudian diubah menjadi

Kitab Undang-undang Hukum Pidana. KUHPidana sebagai induk atau

sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pemidanaan,

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHPidana.

Menurut ketentuan di dalam Pasal 10 KUHPidana, pidana pokok

itu terdiri atas: 22

a. Pidana mati

b. Pidana penjara

c. Pidana kurungan

d. Pidana denda

Adapun pidana tambahan dapat berupa :

a. Pencabutan dari hak-hak tertentu

b. Penyitaan atau perampasan dari barang-barang tertentu

c. Pengumuman dari putusan hakim

Berdasarkan ketentuan diatas, untuk mengetahui lebih jelas mengenai

jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHPidana, akan diuraikan

sebagai berikut:

a. Pidana Mati

22
Lamintang, P.A.F, Ibid., hlm. 35
47

Pidana mati adalah suatu hukuman atau vonis yang

dijatuhkan oleh pengadilan ataupun tanpa pengadilan sebagai

bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat

perbuatannya. Jenis pidana ini merupakan pidana yang terberat

dan paling banyak mendapat sorotan dan menimbulkan banyak

perbedaan pandapat.

Terhadap penjatuhan pidana mati, KUHPidana membatasi

atas beberapa kejahatan- kejahatan tertentu yang berat saja,

seperti Kejahatan terhadap Negara ( Pasal 104, Pasal 105, Pasal

111 Ayat (3), 124 Ayat (3) KUHPidana).

1) Pembunuhan dengan berencana ( Pasal 130 Ayat (3)),

Pasal 140 Ayat (3), Pasal 340 KUHPidana).

2) Pencurian dan pemerasan yang dilakukan dalam keadaan

yang memberatkan sebagai yang disebut dalam Pasal 363

Ayat (4) dan Pasal 368 Ayat (2) KUHPidana.

3) Pembajakan di laut, di pantai, di pesisir dan di sungai yang

dilakukan dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 444

KUHPidana.

a. Pidana Penjara

Pidana penjara adalah adalah untuk sepanjang hidup atau

sementara waktu (Pasal 12 KUHPidana). Lamanya hukuman

penjara untuk sementara waktu berkisar antara 1 hari

sedikitdikitnya dan 15 tahun berturut-turut paling lama. Akan

tetapi dalam beberapa hal lamanya hukuman penjara sementara itu


48

dapat ditetapkan sampai 20 tahun berturut-turut. Maksimum lima

belas tahun dapat dinaikkan menjadi dua puluh tahun apabila :

1) Kejahatan diancam dengan pidana mati

2) Kejahatan diancam dengan pidana penjara seumur hidup.

3) Terjadi perbuatan pidana karena adanya perbarengan,

recidive atau karena yang ditentukan dalam Pasal 52 dan

52 bis KUHPidana. 34

4) Karena keadaan khusus, seperti misalnya Pasal 347 Ayat

(2), Pasal 349 KUHPidana.

Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-sekali tidak

boleh lebih dari dua puluh tahun. Hal ini hendaknya benar-benar

diperhatikan oleh pihak yang berwenang memutus perkara. Untuk

menghindari kesalahan fatal ini para penegak hukum harus

benarbenar mengindahkan/memperhatikan asas-asas dan

peraturanperaturan dasar yang telah ditetapkan oleh perundang-

undangan pidana kita, yaitu batas maksimum penjatuhan pidana.

b. Pidana Kurungan

Pidana ini seperti halnya dengan hukuman penjara, maka

dengan hukuman kurunganpun, terpidana selama menjalani

hukumannya, kehilangan kemerdekaannya. Menurut pasal 18

KUHPidana, lamanya hukuman kurungan berkisar antara 1 hari

sedikit-dikitnya dan 1 tahun paling lama. Pidana kurungan lebih

ringan daripada pidana penjara dan ditempatkan dalam keadaan

yang lebih baik, seperti diuraikan sebagai berikut :


49

1) Terpidana penjara dapat diangkut kemana saja untuk

menjalani pidananya, sedangkan bagi yang terpidana

kurungan tanpa persetujuannya tidak dapat diangkut

kesuatu tempat lain diluar daerah tempat ia tinggal

pada waktu itu (Pasal 21 KUHPidana).

2) Pekerjaan terpidana kurungan lebih ringan dari pada

pekerjaan yang diwajibkan kepada terpidana penjara

(Pasal 19 Ayat (2)) KUHPidana.

3) Orang yang dipidana kurungan boleh memperbaiki

nasibnya dengan biaya sendiri (Pasal 23 KUHPidana).

Lembaga yang diatur dalam Pasal ini terkenal dengan

nama pistole.

d. Pidana denda

Pidana denda adalah hukuman yang dijatuhkan dengan

membayar sejumlah denda sebagai akibat dari tindak pidana

yang dilakukan oleh seseorang. Hasil dari pembayaran denda

ini disetor ke kas negara. Pidana denda adalah kewajiban

seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh

Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu

oleh karana ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat

dipidana. Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan,

berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Walaupun denda

dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika


50

denda ini secara sukarela dibayar oleh orang atas nama

terpidana.

Selanjutnya akan dibahas mengenai pidana tambahan seperti berikut

ini :

a. Pencabutan hak-hak tertentu

Pencabutan hak-hak tertentu adalah pencabutan segala hak

yang dipunyai atau diperoleh orang sebagai warga negara. Pidana

tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hakhak

terpidana dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi

pencabutan hak-hak kehidupan, hak-hak sipil (perdata), dan

hakhak ketatanegaraan. Menurut Vos, pencabutan hak-hak tertentu

36 itu ialah suatu pidana dibidang kehormatan, berbeda dengan

pidana hilang kemerdekaan, pencabutan hak-hak tertentu dalam

dua hal :

1) Tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan

keputusan hakim.

2) Tidak berlaku seumur hidup, tetapi menurut jangka waktu

menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim.

Hakim boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak

tertentu apabila diberi wewenang oleh UU yang diancamkan pada

rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang

diancam dengan pencabutan hak-hak tertentu dirumuskan dalam

Pasal 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375.
51

Sifat hak-hak tertentu yang dicabut oleh hakim tidak untuk

selamalamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali

apabila terpidana dijatuhi hukuman seumur hidup.

Hak-hak yang dapat dicabut telah diatur dalam Pasal 35

KUHP. Sedangkan berapa lama pencabutan-pencabutan hak-hak

tertentu itu dapat dilakukan oleh hakim telah diatur di dalam Pasal

38 Ayat (1) KUHP.

b. Perampasan barang-barang tertentu

Biasa disebut dengan pidana kekayaan, seperti juga halnya

dengan pidana benda. Dalam pasal 39 KUHP, dijelaskan

barangbarang yang dapat dirampas yaitu barang-barang yang

berasal/diperoleh dari hasil kejahatan dan barang-barang yang 37

sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan. Barang-barang

yang dapat dirampas menurut ketentuan Pasal 39 Ayat (1) KUHP,

antara lain:

1) Benda-benda kepunyaan terpidana yang diperoleh

karena kejahatan, misalnya uang palsu.

2) Benda-benda kepunyaan terpidana yang telah

digunakan untuk melakukan suatu kejahatan dengan

sengaja, misalnya pisau yang digunakan terpidana

untuk membunuh.

Sebagaimana prinsip umum pidana tambahan, pidana

perampasan barang tertentu bersifat fakultatif, tidak merupakan


52

keharusan (imperatif) untuk dijatuhkan. Akan tetapi, ada juga

pidana perampasan barang tertentu yang menjadi keharusan

(imperatif), misalnya pada Pasal 250 bis (pemalsuan mata uang),

Pasal 205 (barang dagangan berbahaya), Pasal 275 (menyimpan

bahan atau benda, seperti surat dan sertifikat hutang, surat

dagang).

c. Pengumuman putusan hakim

Di dalam pasal 43 KUHP, ditentukan bahwa apabila

hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan

kitab undang-undang ini atau aturan yang lain. Maka harus

ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya

terpidana. Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan

suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang

dari pengadilan pidana. Jadi dalam pengumuman putusan hakim

ini, 38 hakim bebas untuk menentukan perihal cara pengumuman

tersebut, misalnya melalui surat kabar, papan pengumuman, radio,

televisi, dan pembebanan biayanya ditanggung terpidana.

3. Teori dan Tujuan Pemidanaan

Ada beberapa teori-teori yang telah dirumuskan oleh para ahli

untuk menjelaskan secara lebih mendetail mengenai pemidanaan dan apa

tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Ada berbagai macam pendapat

mengenai teori pemidanaan ini, namun yang banyak itu dapat

dikelompokkan kedalam tiga golongan besar, yaitu:

a. Teori absolut atau teori


53

pembalasan Teori ini merupakan alasan pembenar dari

penjatuhan penderitaan berupa pidana terhadap seseorang yang

melakukan tindak pidana. Bila seseorang melakukan kejahatan, ada

kepentingan hukum yang terlanggar. Akibat yang timbul, tiada lain

berupa suatu penderitaan baik fisik maupun psikis, ialah berupa

perasaan tidak senang, sakit hati, amarah, tidak puas, dan

terganggunya ketentraman batin. Timbulnya perasaan seperti ini

bukan saja bagi korban langsung, tetapi juga pada masyarakat pada

umumnya. Untuk memuaskan dan atau menghilangkan penderitaan

seperti ini (sudut subjektif), kepada pelaku kejahatan harus diberikan

pembalasan yang setimpal (sudut objektif), yakni berupa pidana yang

tidak lain suatu penderitaan pula.23

b. Teori relatif atau teori tujuan

Berdasarkan teori ini bahwa pemidanaan bukan sebagai

pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang

bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan

masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah

agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk

pemuasan absolut atas keadilan. Dari teori ini muncul tujuan

pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan

khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum

yang ditujukan ke masyarakat.

23
Ibid, hlm. 158
54

Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan

yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif

(prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan

pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakut-nakuti

(detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan yang

bisa dibedakan untuk individual, publik, dan jangka panjang. Ada dua

macam prevensi yang dikenal yaitu prevensi khusus dan prevensi

umum. Keduanya berdasarkan atas gagasan, bahwa sejak mulai

dengan ancaman akan pidana sampai kemudian dengan dijatuhkannya

pidana, orang akan takut menjalankan kejahatan. Dalam prevensi

khusus, suatu hukuman atau ancaman pidana ditujukan kepada si

penjahat agar si penjahat takut melakukan kejahatan, sedangkan

dalam prevensi umum suatu 40 hukuman atau ancaman pidana

dimaksudkan agar semua oknum takut melakukan kejahatan.

c. Teori gabungan

Teori ini dibagi menjadi dua golongan besar yaitu teori yang

mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasannya tidak boleh

melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup agar ketertiban

masyarakat dapat dipertahankan. Serta teori yang kedua adalah teori

gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,

tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari

perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang tersebut.

D. Hukum Pidana Anak


55

Pengertian anak secara nasional didasarkan pada batasan usia menurut

hukum pidana, hukum perdata , hukum adat, dan hukum islam. Secara

internasional pengertian anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-

Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of

The Child tahun 1989, aturan standar minimum PBB mengenai Pelaksanaan

Peradilan Anak dan Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948. Secara

nasional definisi anak menurut perundang-undangan, diantaranya

menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau

belum menikah.24 Menurut Nicholas McBala, dalam buku Juvenile Justice

Sistem, mengatakan anak yaitu periode diantara kelahiran dan permulaan

kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa

dalam keterbatasan kemampuan termasuk keterbatasan untuk membahayakan

orang lain.

Menurut Zakariya Ahmad Al Barry yang dikutip oleh Maidin Gultom,

dewasa maksudnya adalah cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda

laki-laki dewasa pada putra, muncul tanda-tanda wanita dewasa pada putri.

Inilah dewasa yang wajar, yang biasanya belum ada sebelum anak putra

berumur 12 tahun dan putri berumur 9 tahun. Apabila anak mengatakan

bahwa ia dewasa, keterangannya dapat diterima karena dia sendiri yang

mengalami. Apabila sudah melewati usia tersebut di atas tetapi belum

24
Ayu Nahdia Tuzzahra, Kekerasan Terhadap Anak, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman, 2013 hlm. 15.


56

nampak tanda-tanda yang menunjukan bahwa ia telah dewasa, harus ditunggu

sampai ia berumur 15 tahun. 25

Pengertian anak sendiri juga diatur dalam berbagai peraturan

perundang-undangan di Indonesia, diantaranya yaitu:

a. Anak berdasarkan KUHPidana

Seorang anak yang belum dewasa, sebagai orang yang mempunyai

hak-hak khusus dan perlu mendapatkan perlindungan menurut ketentuan

hukum yang berlaku. Pengertian anak dalam hukum pidana menimbulkan

aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku

menyimpang untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang

pada akhirnya anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak.

Pengertian anak dalam KUHPidana dapat kita ambil contoh dalam Pasal

287 KUHPidana, dalam Pasal disebutkan bahwa anak di bawah umur

adalah apabila anak tersebut belum mencapai usia 15 (lima belas) tahun.

b. Anak berdasarkanUndang-Undang HAM

Pengertian anak berdasarkan UU HAM, terdapat dalam Bab I

Ketentuan Umum. Pasal 1 Ayat (5) menyebutkan “anak adalah setiap

seseorang yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum

menikah, termasuk anak yang masih ada dalam kandungan apabila hal

tersebut adalah demi kepentingannya”.

c. Anak berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

25
Ibid,, hlm. 15-16.
57

Pasal 1 UU Pelindungan Anak menyebutkan, ”anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan”.

d. Anak berdasarkan UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Undang-Undang Kesejahteraaan Anak dalam Pasal 1 Ayat (2)

menyebutkan, “anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21

(dua puluh satu) tahun dan belum pernah menikah”. Jadi seseorang

dikatakan anak apabila usianya belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun

dan belum pernah melakukan pernenikahan. 43

e. Anak Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Adapun pengertian anak dalam UU ini yaitu anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan.

f. Anak Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak

Pasal 1 angka 3 menentukan bahwa:

“Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak

adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum

berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.

Pasal 1 angka 4 menentukan bahwa:

“Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut

Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun
58

yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi

yang disebabkan oleh tindak pidana”.

Pasal 1 angka 5 menentukan bahwa:

“Anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak

Saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat,

dan/atau dialaminya sendiri”.

E. Pengertian Diversi

Di bawah ini penulis sebutkan pengertian diversi, sebagai berikut.

“Diversion as program and practices which are employed for young people

who have initial contact with the police, but are diverstedfrom the traditional

juvenile justice processes before children's court adjudication.”

Diversi adalah suatu program dan latihan-latihan yang mana diajarkan bagi

anakanak yang mempunyai urusan dengan polisi, sebagai pengalihan dari

proses peradilan anak seperti biasanya, sebelum diajukan ke pemeriksaan

pengadilan).26

Ide diversi sebagai bentuk pengalihan atau penyampingan penanganan

kenakalan anak dari proses peradilan anak konvesional, ke arah penanganan

anak yang lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan, dan ide diversi dilakukan

untuk menghindarkan anak pelaku dari dampak negatif praktek

penyelenggaraan peradilan anak. ("persisten delinquent is the result of

26
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bhakti, Bandung, 2001 hal.165.
59

treating first- offenders ash they were become persistently delinquent.

Juvenile justice system processing therefore does more harm than good.)27

Ide dasar diversi atau pengalihan ini adalah untuk menghindari efek

negatif pemeriksaan konvensional peradilan pidana anak terhadap anak, baik

efek negatif proses peradilan maupun efek negatif stigma (cap jahat) proses

peradilan, maka pemeriksaan secara konvensional dialihkan, dan kepada anak

tersebut dikenakan program-program diversi.

F. Tujuan Diversi

Penjelasan umum Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa substansi yang paling mendasar

dalam Undang-Undang No.11 tahun 2012 adalah pengaturan secara tegas

mengenai keadilan restoratif dan diversi. Hal ini dimaksudkan untuk

menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan, sehingga dapat

mencegah stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan di

harapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Maksud dari diversi tersebut, kemudian dijabarkan dalam pasal 6 Undang-

Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang

menentukan bahwa tujuan dari diversi adalah: 28

1. Mencapai perdamaian antara korban dan anak:

2. Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan;

3. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

27
Paulus Hadisoeprapto, Juvenile Delinquency(Pemahaman dan penaggulangannya), Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hlm. 101
28
Pasal 6 undang-uundang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana Anak
60

4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;

5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak;

Menurut Chris Graveson diversi adalah proses yang telah diakui

secara inrternasional sebagai cara terbaik yang paling baik dalam menangani

anak yang berhadapan dengan hukum. Intervensi terhadap anak yang

berhadapan dengan hukum sangat luas dan beragam, tetapi lebih banyak

menekankan pada penahanan dan penghukuman, tanpa peduli betapa

ringannya pelanggaran tersebut atau betapa mudahnya usia anak tersebut.

Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan

aparat penegak hukum yang disebut discrection atau dalam bahasa indonesia

diskresi. Diskresi telah diketahui dengan baik oleh polisi, tetapi diversi

merupakan istilah diluar dari kepolisian yang digunakan untuk menyebut

tindakan di luar sistem peradilan yang diambil terhadap anak yang melakukan

pelanggaran hukum. Diskresi bukanlah konsep baru dipolisi. Ini adalah salah

satu dari konsep] yang paling mendasar dalam pemolisian baik secara historis

maupun didalam masyarakat modern. Polisi telah mempraktikan penggunaan

diskresi sejak pertama kali polisi ada atau sebelumnya oleh mereka yang

dalam komunitas atau masyarakat memiliki tanggung jawab serupa. Diskresi

didasarkan pada prinsip bahwa setiap orang dapat melakukan pelanggaran

ringan yang tidak memerlukan intervensi hukum/atau pengadilan. Diskresi

adalah prinsip yang telah ditetapkan dalam hukum yang berlaku umum,
61

artinya mungkin saja secara formal tidak ada dalam 17 hukum tertulis tapi

telah dikembangkan menjadi praktik yang dapat diterima 29

Menurut Loraine Gethorpe bahwa diversi adalah wewenang dari

aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil

tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil

tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya. Kebijakan yang

diambil oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan diskresi

menimbulkan kontroversial karena pengambilan kebijakan penghukuman

mengikuti sifat kebijakan pri

badi seseorang. Diskresi mengijinkan suatu pembedaan tindakan

terhadap kasus pidana oleh pelakunya, sehingga hal ini dapat menimbulkan

permasalahan dalam hal keadilan terhadap masyarakat. Apabila melihat

tujuan diversi tidaklah jauh berbeda dari diskresi yaitu menangani

pelanggaran hukum diluar pengadilan atau sistem peradilan yang formal,

diversi dan diskresi memiliki makna yang hampir sama karena keduanya

dapat digunakan untuk menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana anak.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan

pidana formal ke proses di luar peradilan pidana dengan atau tanpa syarat.

Hakikatnya, tujuan diversi adalah sebagai berikut:30

1. Untuk menghindari penahanan.

2. Untuk menghindari cap/label sebagai penjahat.

29
Marlina ,Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justive
30
Elisabeth Juniarti, Fatwa Fadilah, Edy Ikhsan, Marjoko, M.Mitra Lubis, Diversi dan Keadilan Restoratif:
Kesiapan Aparat Penegak Hukum dan Masyarakat stdudi di 6 kota di Indonesia, Pusaka Indonesia, Medan, 2014,
hlm, 111-112.
62

3. Untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku. Agar pelaku

bertanggungjawab atas perbuatanya.

4. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana.

5. Untuk memajukan intervensi- intervensi yang diperlukan bagi korban

dan pelaku tanpa harus melalui proses formal.

6. Program diversi akan menghindarkan anak mengikuti proses

peradilan.

7. Menjauhkan anak-anak dari pengaruh-pengaruh dan implikasi negatif

dari proses peradilan.

G. Syarat Diversi

Syarat diversi tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang terdapat dalam pasal 8 dan

pasal 9 yang menentukan sebagai berikut:

1. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan

anak dan orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan

pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan Restoratif.

2. Dalam hal ini di perlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud ayat

(1) dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau

masyarakat.

3. Proses diversi wajib memperhatikan:

a. Kepentingan korban;

b. Kesejahteraan dan tanggung jawab anak;

c. Penghindaran stigma negatif;

d. Penghindaran pembalasan
63

e. Keharmonisan masyarakat;dan

f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum,

Dapat diuraikan berdasarkan Pasal 8 penjelasanya yaitu: 31 Proses

diversi itu dilakukan harus melalui musyawarah dan melibatkan anak, orang

tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional bila

ada, penasehat hukum anak, korban.

1. Jika diperlukan dalam ayat (1) boleh melibatkan masyarakat, tokoh

masyarakat.

2. Proses diversi ini harus lebih mementingkan hak-hak korban dan

kesejahteraan tanggung jawab anak.

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, menentukan sebagai berikut:32

1. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan diversi

harus mempertimbangkan:

a. Kategori tindak pidana;

b. Umur anak;

c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas;dan

d. Dukungan lingkungan

31
Pasal 8 Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

32
Pasal 9 Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
64

2. Kesepakatan diversi harus mendapat persetujuan korban dan/atau

keluarga korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali

untuk:

a. Tindak pidana yang berupa pelanggaran;

b. Tindak pidana ringan;

c. Tindak pidana tanpa korban; atau

d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum

provinsi setempat.

H. Kewenangan Diversi

Kewenangan diversi tercantum dalam Undang-Undang No 11 tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terkait pasal 7 ayat (1) dan ayat

(2) yang menentukan sebagai berikut:33

1. Pada tingkat penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan perkara anak

di Pengadilan Negeri wajib diupayakan diversi.

2. Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal

tindak pidana yang dilakukan;

a. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun,dan

b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Dapat diuraikan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan (2) penjelasanya yaitu:

1. Dapat simpulkan bahwa diversi tidak hanya dilakukan dalam

pemeriksaan dipengadilan anak saja tetapi dalam tingkat penyidikan

dan penunututan perkara anak wajib mengupayakan diversi.

33
Pasal 7 ayat (1),(2) Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
65

2. Mengisyaratkan bahwa ada ketentuan-ketentuan tertentu dalam

pelaksanaan diversi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal tersebut

bahwa diversi hanya dilakukan dalam hal tindak pidana yang

dilakukan oleh anak yang ancaman pidananya dibawah 7 tahun dan

bukan merupakan pengulangan tindak pidana, artinya seorang anak

yang telah melakukan tindak pidana berulang-ulang tidak layak

baginya untuk diupayakan diversi.


66

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kedudukan Hukum Diversi Terhadap Anak Penyalahgunaan Narkotika

Dalam Perspekti Perkembangan Hukum Pidana

1. Diversi Dalam Perspektif Perkembangan Hukum Pidana Anak

Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan

kejahatan termasuk penanggulangan penyalahgunaan narkotika, sedang

mendapat sorotan tajam sekaligus menjadi topik perdebatan konseptual

yang panjang. Meski perdebatan koseptual tersebut masih melahirkan pro

dan kontra terhadap penggunaan hukum pidana sebagai sarana

penanggulangan kejahatan, namun dalam penelitian Disertasi ini, upaya

untuk mencari alternatif di luar sistem peradilan pidana sebagai sarana

penanggulangan kejahatan juga patut mendapatkan perhatian.

Adanya pandangan bahwa penggunaan hukum pidana sebagai

sarana penanggulangan kejahatan tidak dapat dinisbikan dengan

pengertian penggunaannya tetap harus bersifat subsider. Artinya,

sepanjang penggunaan sarana di luar sistem peradilan pidana dipandang

lebih efektif, maka penggunaan peradilan pidana sedapat mungkin

dihindarkan. Selain itu, apabila (hukum) pidana akan digunakan sebagai

sarana untuk mencapai manusia Indonesia seutuhnya, maka pendekatan

humanistis harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena

kejahatan itu pada hakikatnya

66
67

merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakikatnya

hukum pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat

menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan

manusia.34 Karenanya penggunaan hukum pidana sebagai sarana

penanggulangan kejahatan tidak dapat dinisbikan, bahkan

penggunaannya harus diintegrasikan dengan instrument/sarana di luar

sistem peradilan pidana.

Secara konseptual, penanggulangan kejahatan dapat dilakukan

baik dengan menggunakan peradilan pidana (yustisial) maupun sarana

lain di luar peradilan pidana (non yustisial). Upaya mengalihkan proses

dari proses yustisial menuju proses non yustisial dalam penanggulangan

penyalahgunaan narkotika oleh anak, pada dasarnya merupakan upaya

untuk menyelesaikan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh

anak ke luar jalur peradilan pidana. Artinya, pengalihan proses dari

proses yustisial menuju proses non yustisial dalam penanggulangan

penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak, pada dasarnya adalah

upaya untuk menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana dan

pemidanaan.

Diversi pada hakikatnya juga mempunyai tujuan agar anak

terhindar dan dampak negatif penerapan pidana. Diversi juga mempunyai

esensi tetap menjamin anak tumbuh dan berkembang baik secara fisik

maupun mental. Ditinjau secara teoretis dari konsep tujuan pemidanaan,

34
Barda Nawal Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hlm. 41.
68

maka pengalihan proses dan proses yustisial menuju proses non yustisial

terhadap anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika akan terlihat

relevansinya sebagai berikut:

Secara umum tujuan pemidanaan pada hakikatnya terdiri dan

upaya untuk melindungi masyarkat di satu sisi dan melindungi individu

(pelaku) di sisi yang lain. 35 Relevansi pengalihan proses dan proses

yustisial menuju proses non yustisial dalam penanggulangan

penyalahgunaan narkotika oleh anak terhadap dua aspek pokok tujuan

pemidanaan tersebut, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek

perlindungan individu dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Dengan pengalihan tersebut, maka anak akan terhindar dan

penerapan hukum pidana yang dalam banyak teori telah

didalilkan sebagai salah satu faktor kriminogen. Dampak negatif

penerapan hukum pidana, termasuk kepada anak akan melahirkan

stigmatisasi maupun dehumanisasi yang justru dapat menjadi

faktor kriminogen. Dengan demikian, maka menghindarkan anak

dan penerapan hukum pidana (depenalisasi) justru dapat

menghindarkan adanya faktor kriminogen, berarti juga

menghindarkan anak dan kemungkinan menjadi jahat kembali

(residivis), oleh karenanya juga berarti menghindarkan

masyarakat dan kemungkinan menjadi korban akibat kejahatan.

35
Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 94.
69

b. Dengan Diversi/pengalihan tersebut juga akan memberikan dua

keuntungan sekaligus terhadap individu anak. Pertama, dengan

pengalihan tersebut anak akan tetap dapat melakukan komunikasi

dengan lingkungannya, sehingga dengan demikian anak tidak

perlu lagi melakukan readaptasi sosial pasca terjadinya kejahatan.

Kedua, dengan pengalihan itu juga anak akan terhindar dari

kemungkinan dampak negatif prisonisasi yang seringkali

merupakan sarana taransfer kejahatan.36

2. Diversi Dalam Instrumen Hukum Internasional

Mandat untuk menghindarkan anak dari penerapan pidana diserukan

masyarakat internasional dalam berbagai instrumen hukum internasional

yang berkaitan dengan penerapan pidana bagi anak dapat disebut antara

lain:

a. The United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile

Delinquency (The Riyadh GuideIines)

Salah satu instrumen internasional yang berkaitan dengan

penerapan pidana bagi anak adalah The United Nations Guidelines

for the Prevention of Juvenile Delinquency yang tercantum dalam

Resolusi PBB 45/112 tanggal 14 Desember 1990. Beberapa hal

36
Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana
Dalam Tradisi Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Penerbit Angkasa, Bandung,
1996, hlm. 167.
70

penting yang tertuang dalam Resolusi PBB 45/112 terkait dengan

penerapan pidana bagi anak antara lain : 37

1) Pengembangan sikap non-kriminogen (koersif dan penulis)

di kalangan anak dan di masyarakat perlu dilakukan,

dengan cara mendayagunakan undang-undang aktifitas

sosial yang bermanfaat, meningkatkan pendekatan manusia

terhadap segala aspek kehidupan kemasyarakatan, termasuk

memperhatikan dan memperlakukan anak dan remaja

secara manusiawi (koersif dan penulis).

2) Mengusahakan terjaminnya perkembangan usia muda

secara harmonis, demi terlangsungnya pertumbuhan

personalitas anak sejak usia dini, anak dan remaja tidak

harus dijadikan objek pengawasan dan sosialisasi, dalam

hal ini termasuk juga pemahaman, bahwa anak dan remaja

yang melakukan perbuatan pelanggaran ringan tidak harus

direaksi dengan pengkriminalisasian dan penghukuman.

Merujuk pada substansi The Riyadh Guidelines

sebagaimana terurai dalam dua hal tersebut di atas, dapat diambil

pengertian bahwa berkaitan dengan penerapan pidana bagi anak

terdapat berbagai hal yang harus diperhatikan, antara lain:

1) Ada kesepakatan internasional, bahwa terhadap anak dan

remaja yang melakukan pelanggaran ringan tidak harus

37
Paulus Hadisoeprapto, Juvenile Delinquency(Pemahaman dan penaggulangannya), Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997, hlm. 101
71

direaksi dengan penggunaan hukum pidana apalagi

penjatuhan pidana. Instrumen internasional ini hakikatnya

juga menegaskan, bahwa upaya non penal sebagai langkah

antisipatif mengurangi dampak negatif penerapan hukum

pidana menjadi hal yang patut diprioritaskan khususnya

terhadap pelanggaran ringan. Dengan demikian The Riyadh

Guidelines juga menjadi filter terhadap kemungkinan

penerapan pidana, meskipun terbatas pada perbuatan yang

dianggap sebagai pelanggaran ringan. Semangat yang

diusung instrumen internasional ini adalah perlakuan yang

bersifat manusiawi khususnya terhadap anak dan remaja.

Dengan demikian, melalui instrumen internasional ini juga

terkandung pesan, bahwa segala bentuk perlakuan,

termasuk perlakuan aparat penegak hukum, dalam proses

peradilan pidana yang tidak manusiawi harus dihindarkan.

Oleh karena itu, berbagai perlakuan aparat penegak hukum

baik yang bersifat sistemik maupun yang bersifat individual

seperti menempatkan pelaku anak bersamaan dengan pelaku

dewasa dalam satu ruang tahanan, kekerasan terhadap anak

yang melakukan tindak pidana dan sejenisnya tidak dapat

ditoleransi oleh instrumen internasional ini. Perlakuan-

perlakuan yang tidak manusiawi pada akhirnya justru akan

bersifat kriminogen yang justru bersifat kontra-produktif


72

terkait dengan proses pembinaan anak yang menjadi tujuan

akhir penerapan pidana terhadap anak.

2) The Riyadh Guidelines hakikatnya ingin memberikan ruang

yang cukup dalam menjamin pertumbuhan jiwa anak.

Instrumen internasional ini juga mengisyaratkan, bahwa

pertumbuhan anak dan remaja harus dihindarkan dan

kemungkinan perlakuan yang buruk termasuk oleh aparat

penegak hukum. Sebagai subyek hukum yang bersifat

khusus, anak juga harus diperlakukan secara khusus dalam

proses peradilan pidana. Perlakukan yang khusus terhadap

anak dalam proses peradilan pidana ini dimaksudkan untuk

menghindarkan anak dan dampak negatif proses peradilan

pidana yang bersifat kriminogen.

b. The United Nations for the Administration of Juvenile Justice

(The Beijing Rules) The United Nations for the

Administration of Juvenile Justice

yang disetujui pada tanggal 6 September 1985 dan dijadikan

Resolusi PBB pada tanggal 29 Nopember 1985 dalam Resolusi

40/33. Secara umum The Beijing Rules memuat ketentuan-

ketentuan pokok sebagai berikut :38

a. Perlunya kebijakan sosial yang komprehensif yang

bertujuan untuk mendukung tercapainya sebesar mungkin

38
Ibid., hlm. 109
73

kesejahteraan anak, yang pada gilirannya akan

mengurangi campur tangan sistem peradilan pidana anak.

b. Anak dalam proses penyidikan dan penuntutan harus

dihindarkan dan hal-hal yang dapat merugikan anak.

Kontak awal antara anak dengan polisi harus terhindarkan

dan penanganan-penanganan yang berupa gertakan,

kekerasan fisik dan sebagainya. Diversi (pengalihan)

merupakan suatu mekanisme yang memungkinkan anak

dialihkan dan proses peradilan menuju proses pelayanan

sosial diprioritaskan, karena keterlibatan anak dalam

proses peradilan sebetulnya telah mengalami proses

stigmatisasi.

c. Di dalam proses ajudikasi dan disposisi, dalam rangka

pemberian pertimbangan yang sebaik-baiknya, laporan

penyelidikan sosial anak, prinsip dan pedoman

penyelesaian perkara dan penempatan anak menjadi syarat

yang penting untuk diperhatikan (Rule 14-18). Satu asas

penting yang harus diingat dalam kaitan ini, ialah

penempatan anak di dalam lembaga koreksi (penjara)

hendaknya ditempatkan sebagai usaha terakhir, itupun

hanya untuk jangka pendek.

d. Anak setelah melalui proses ajudikasi, pada akhirnya

dapat ditempatkan di dalam Lembaga atau mungkin di

luar Lembaga untuk dibina. Pembinaan anak di luar


74

Lembaga dalam pelaksanaannya perlu dipersiapkan

matang dengan cara melibatkan suatu lembaga yang

independen, misalnya Parole, Probation, Lembaga-

lembaga Kesejahteraan Anak dengan petugas yang

berkualitas, ditunjang dengan fasilitas yang memadai

dalam kerangka rehabilitasi anak (Rule 23-25). Sementara

pembinaan anak di dalam Lembaga diarahkan agar

pembinaan tidak bersifat umum, melainkan

memperhatikan kondisi sosial, ekonomi dan budaya anak

bersangkutan, penyediaan tenaga-tenaga medis, ahli jiwa,

khusus bagi pecandu narkotika.

c. The United Nations Rules for the Protection of Juve nile

Deprived of Liberty

Instrumen internasional ini termuat dalam Resolusi PBB

45/113 yang mulai berlaku tanggal 14 Desember 1990. Secara

substansial The United Nations Rules for the Protection of

Juvenile Deprived of Liberty memuat tentang pemantapan.

Standart Minimum perlindungan anak yang dirampas

kemerdekaannya, sekaligus sebagai acuan bagi aparat penegak

hukum yang berurusan dengan Peradilan Anak. 39

Berbagai ketentuan yang termuat dalam The United

Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of

Libertydapat disimpulkan bahwa meskipun perampasan

39
Ibid.hlm. 123.
75

kemerdekaan terhadap anak (pelaku kejahatan) dimungkinkan,

tetapi prasyarat dasar untuk melakukan perampasan kemerdekaan

terhadap anak demikian ketat. Artinya, perampasan terhadap anak

tidak boleh dilakukan hanya atas alasan anak yang bersangkutan

telah melakukan tindak pidana. Perampasan kemerdekaan

terhadap anak menurut The United Nations Rules for the

Protection of Juvenile Deprived of Liberty membawa

konsekuensi sedemikian rupa sehingga anak tetap harus

memperoleh penghormatan hak asasinya.

Perampasan kemerdekaan terhadap anak dapat dilakukan

dalam hal telah ada ketentuan tentang batas usia minimum anak

yang dijatuhi pidana dalam undang-undang, tersedianya sarana

kegiatan anak yang memungkinkan untuk terbentuknya self-

respect pada diri anak, adanya laporan lengkap tentang diri anak

baik mengenai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan

kejiwaan anak, program pembinaan Lembaga yang beronientasi

pada reintegrasi anak, tanpa kekerasan maupun ancaman

kekerasan, laporan secara periodik kepada orang tua tentang

kesehatan fisik dan mental anak, dan adanya petugas atau

lembaga independen yang diberi otoritas pengawasan terhadap

lembaga.

Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam instrumen

internasional tersebut di atas, kebijakan untuk menghindarkan

anak dan proses peradilan harus dilakukan secara komprehensif.


76

Penanganan anak secara parsial justru akan menempatkan anak

pada kondisi yang tidak menguntungkan bagi proses pembinaan

anak. Melalui kebijakan sosial yang komprehensif anak diarahkan

untuk tumbuh secara sehat baik secara jasmani maupun jiwanya.

Upaya ini hakikatnya merupakan usaha untuk menjauhkan anak

dan kemungkinan terlibat dalam proses peradilan secara prefentif

yang bersifat non-penal.

Apabila hal anak dihadapkan pada proses peradilan, maka

anak harus dihindarkan dan kemungkinan memperoleh perlakuan

yang buruk oleh aparat penegak hukum, terutama dalam proses

penyidikan oleh polisi. Perlakuan polisi terhadap anak dalam

proses penyidikan memperoleh perhatian demikian besar dalam

instrumen internasional ini mengingat, pada tahap inilah anak

yang memasuki proses peradilan akan memperoleh pengalaman

pertama dalam proses peradilan. Tahap ini juga menjadi tahap di

mana anak akan mengalami kontak awal dengan aparat penegak

hukum. Oleh karenanya, menghindarkan anak dan kemungkinan

memperoleh perlakuan yang buruk pada tahap penyidikan

menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Selain itu, pada

tahap penyidikan ini stigmatisasi terhadap anak yang melakukan

kejahatan hakikatnya telah terjadi. Stigmatisasi tidak saja terjadi

setelah anak memasuki lembaga penjara, tetapi sudah terjadi pada

proses penyidikan.
77

Pada konteks sosial sudah menjadi pandangan umum,

bahwa berhubungan dengan polisi menjadi indikasi, bahwa yang

bersangkutan adalah orang jahat. Dengan demikian, dapat

dimengerti kiranya apabila instrumen internasional ini juga

mengisyaratkan perlu diprioritaskannya pengalihan penanganan

dan proses yustisial menuju proses non yustisial (diversi).

Menurut peneliti, diversi sebagai upaya pengalihan dari

proses yustisial ke proses non-yustisial merupakan jawaban atas

realitas bahwa perlakuan buruk dan dampak negatif dalam proses

peradilan pidana, terutama pada tahap penyidikan terhadap anak

tidak dapat dihindarkan.

3. Diversi Dalam Perkembangan Hukum Pidana Indonesia

Salah satuwujud pembaharuan hukum nasional adalah penciptaan

ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan

perkembangan masyarakat, sehinga dirasakan tepat dan adil.

Pembaharuan sistem peradilan pidana anak merupakan penyusunan

peraturan perundang-undangan yang baru karena peraturan perundang-

undangan yang lama yaitu Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan

kebutuhan hukum masyarakat dan belum secara komprehensif

memberikan perlindungan hukum kepada anak.

Sebenarnya dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, sudah ada

upaya pengubahan paradigma pemidanaan anak di Indonesia yang bukan

lagi ditujukan kepada pembalasan atau retributif tetapi lebih diarahkan


78

kepada proses pembinaan agar masa depannya lebih baik. Paradigma

tersebut dirasakan tidak cukup karena perkembangan kebutuhan anak

lebih jauh dari pengaturan dalam undang-undang tersebut, dimana

paradigma yang berkembang kemudian bukan lagi sekedar mengubah

jenis pidana menjadi jenis pidana yang bersifat mendidik, tetapi

seminimal mungkin memasukan anak ke dalam proses peradilan pidana

anak.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak istilah restorative justice dikenal dengan Keadilan

Restoratif yang pengertiannya adalah suatu proses penyelesaian yang

melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait

dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian

terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan

pada pemulihan bukan pembalasan.

Beberapa hal yang menjadi landasan berfikir atas penerapan

restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak adalah sebagai

berikut:

a. Sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang ada saat ini dalam

praktiknya kerap menimbulkan permasalahan dan dinilai tidak

efektif. Sistem pemidanaan model pemasyarakatan (Undang-

Undang No. 12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan)

masih dianggap tidak lebih dari proses pemenjaraan yang

tujuannya adalah penjeraaan, balas dendam dan pemberian derita

sebagai konsekuensi perbuatannya. Sistem penjara yang ada saat


79

ini, pendekatan yang menonjol lebih kepada pengamanan (security

approach). Konsep pembinaan yang dapat bermanfaat bagi bakal

hidup anak setelah bebas belum mengemuka, akibatnya stigma

negatif yang melekat pada diri anak mantan narapidana agaknya

justru akan menyulitkan mereka dalam menapaki kehidupan

selanjutnya.

b. Pemenjaraan membawa akibat yang tidak menguntungkan bagi

narapidana maupun keluarganya, selain itu sistem ini juga dinilai

tidak memuaskan atau memenuhi rasa keadilan korban di samping

membebani anggaran negara yang tinggi serta jangka waktu yang

lama, dan lembaga pemasyarakatan sendiri yang pada umumnya

sudah overcapacity. Ide mengenai restorative justice masuk ke

dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, bahwa sistem peradilan pidana anak wajib

mengutamakan keadilan restoratif, meliputi:

1) Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

kecuali ditentukan lain oleh undang-undangini;

2) Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di

lingkungan peradilan umum;

3) Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau

pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau

tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

Restorative Justice sebagai sebuah pendekatan dalam


80

menyelesaikan perkara anak juga sedang gencarnya

dipraktekan oleh beberapa Negara seperti Selandia baru,

Australia, belanda yang telah memasukan konsep Diversi

ke dalam peraturan perundang-undangan Pengadilan Anak

di negaranya.

Mengaitkan antara kondisi Indonesia saat ini sebenarnya memiliki

mekanisme penyelesaian hukum yang berdasarkan kearifan lokal (local

wisdom). Sila Keempat Pancasila adalah suatu nilai yang sangat

memungkinkan untuk mempraktikan keadilan restoratif karena musyawarah

lebih menekankan jalan terbaik dan kebaikan untuk bersama, bukan jalan

menang dan kalah sebagai cerminan kelompok yang kuat dan lemah.

Implementasi keadilan restoratif tidak akan sulit dilaksanakan khususnya

untuk pelaku delikuensi anak apabila kembali kepada akar filosofi bangsa dan

penghargaan akan eksistensi hukum adat sebagai hukum dasar nasional.

Pemahaman bahwa menjauhkan anak dari proses peradilan pidana

menjadi penting karena hal ini merupakan bagian dari upaya perlindungan

hak anak sebagaimana yang tercantum dalam Konensi Hak Anak Pasal 37

(b), The Beijing Rules butir 6 dan Pasal 11 butir (1), (2), (3),dan (4))

diberikan peluang bagi dilakukannya diversi atau pengalihan perkara dari

proses peradilan formal.

Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang

diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke

penyelesaian damai antara pelaku tindak pidana dengan korban yang


81

difasilitasi oleh keluarga atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan

anak, Polisi, Jaksa, dan Hakim. Tujuan diversi tersebut merupakan

implementasi dari keadilan restoratif yang berupaya mengembalikan

pemulihan terhadap sebuah permasalahan bukan sebuah pembalasan yang

selama ini dikenal dalam hukum pidana.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) diversi wajib diupayakan pada tingkat

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri.

Kata Kata “wajib diupayakan” mengandung makna bahwa penegak hukum

anak dari penyidik penuntut, dan juga hakim diwajibkan untuk melakukan

upaya agar proses diversi dilaksanakan. Hal inilah yang membuat perdebatan

dalam Panja RUU SPPA, bahwa bagi penegak hukum anak apabila tidak

melakukan upaya diversi haruslah diberi sanksi. Proses diversi ditiap

tingkatan pemeriksaan diberi waktu selama 30 hari pelaksanaannya untuk

menghasilkan suatu kesepakatan diversi. Hal ini juga berbeda dengan

peraturan perundang-undangan sebelumnya yang hanya menyiratkan

mengenai pelaksanaan diversi ini sebagai implementasi diskresi penegak

hukum.

Kewajiban mengupayakan diversi dari mulai penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, dalam Rapat Panja

dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;dan

b. Bukan merupakan pengulangan tindakpidana.


82

Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana

yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah

pengulangan tindak pidana maka tidak wajib diupayakan diversi, hal ini

memang penting mengingat bahwa ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh)

tahun tergolong pada tindak pidana berat, sedangkan merupakan pengulangan

tindak pidana baik itu sejenis ataupun tidak maka anak tersebut tidak perlu

lagi untuk diselesaikan lewat diversi.

Pengulangan tindak pidana menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak

tercapai yakni menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak

mengulangi perbuatan yang berupa tindakpidana. Anak yang melakukan

tindak pidana yang diancam pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun meskipun

tidak melalui tahap diversi namun diusahakan ditiap tingkat pemeriksaannya

wajib mengutamakan keadilan restoratif. Pertimbangan dalam memberikan

sanksi hukuman baik berupa pidana atau tindakan diserahkan kewenangannya

kepada hakim terkecuali kepada anak yang berada di bawah usia 14 (empat

belas) tahun wajib dikenai tindakan. Salah satu yang menjadi sorotan adalah

tetap adanya pidana penjara bagi anak sebagai salah satu pidana pokok,

namun dengan hadirnya putusan MK No. I/PUUVIII/2010 dinyatakan bahwa

keberadaan pidana penjara bukan merupakan salah satunya pilihan pidana

bagi anak sehingga tidak secara mutlak dapat merugikan hak konstitusional

anak.

Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak

dan orangtua/walinya, korban/orang tua/walinya, Pembimbing


83

Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan

Keadilan Restoratif (Pasal 8 ayat (1). Hal ini yang memperjelas hubungan

antara diversi dan restorative justice, yang mana diversi adalah proses

keadilan restoratif dengan melibatkan segala pihak yang terkait.

Diversi sebagai suatu kebijakan pidana, baru dianggap efektif jika

sistem pemidanaan yang digunakan dapat memenuhi tujuan dan sasaran

(pemidanaan) yang telah ditentukan. Dalam konteks penyalahgunaan

narkotika oleh anak yang mana dalam penanganannya perlu dilakukan

Diversi mengingat ketentuan Pasal 7 UndangUndang No. 11 Tahun 2012,

maka pada dasarnya Diversi mempunyai relevansi dengan tujuan pemidanaan

anak, yang mana nampak dari hal-hal sebagai berikut:40

a. Diversi sebagai proses pengalihan dari proses yustisial ke proses non

yustisial, bertujuan menghindarkan anak dari penerapan hukum

pidana yang seringkali menimbulkan pengalaman yang pahit berupa

stigmatisasi (cap negatif) berkepanjangan, dehumanisasi (pengasingan

dari masyarakat) menghindarkan anak dari kemungkinan terjadinya

prisionisasi yang menjadi sarana transfer kejahatan terhadap anak.

b. Perampasan kemerdekaan terhadap anak baik dalam bentuk pidana

penjara maupun dalam bentuk perampasan yang lain melalaui

meknisme peradilan pidana, memberi pengalaman traumatis terhadap

anak, sehingga anak terganggu perkembangan dan pertumbuhan

jiwanya. Pengalaman pahit bersentuhan dengan dunia peradilan akan

40
Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak,
UMM Press, Malang, 2009, hlm. 129.
84

menjadi bayang-bayang gelap kehidupan anak yang tidak mudah

dilupakan.

c. Dengan Diversi tersebut, maka anak terhindar dari penerapan hukum

pidana yang dalam banyak teori telah didalilkan sebagai salah satu

faktor kriminogen, berarti juga menghindarkan anak dari

kemungkinan menjadi jahat kembali (residive), menghindarkan

masyarakat dari kemungkinan menjadi korban akibat kejahatan.

Dengan Diversi akan memberikan 2 (dua) keuntungan sekaligus terhadap

individu anak. Pertama; anak tetap dapat berkomunikasi dengan lingkungannya

sehingga tidak perlu beradaptasi sosial pasca terjadinya kejahatan. Kedua; anak

terhindar dari dampak negatif prisionisasi yang seringkali merupakan sarana

transfer kejahatan

B. Kebijakan Diversi Berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Indonesia memiliki konsep diversi pertama kali diatur di dalam UU

No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana

konsep diversi merupakan satu terobosan baru dalam sistem peradilan 44

anak di Indonesia yang mana konsep diversi merupakan suatu pengalihan

penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana

tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara

tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi


85

oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemsayarakatan Anak,

Polisi, Jaksa atau Hakim. 41

Konsep diversi memiliki tujuan seperti yang tertuang dalam Pasal 6

UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;

b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses pengadilan;

c. Mengindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Diversi juga memiliki tujuan untuk menghindari stigmatisasi

terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana, sehingga

diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan social yang wajar

dan juga menegakkan hukum tanpa melakukan tindakan kekerasan yang

menyakitkan dengan memberi kesempatan kepada seseorang untuk

memperbaiki kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara

yang mempunyai otoritas penuh, salah satu contoh latar belakang

pentingnya penerapan konsep diversi dilakukan karena tingginya jumlah

anak yang masuk ke peradilan pidana dan diputus dengan penjara dan

mengalami kekerasan saat menjalani rangkaian proses dalam sistem

peradilan pidana.42

41
Lidya Rahmadani Hasibuan, Diversi dan Keadilan Restoratif Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, 2014, hlm 11
42
bid, hlm. 13-14
86

Pertimbangan lain berlakunya konsep diversi dalam sistem

peradilan pidana anak didasarkan pada alasan untuk memberikan

keadilan kepada pelaku yang telah terlanjur melakukan tindak pidana

serta memberikan kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki dirinya.

Terdapat 3 jenis pelaksanaan diversi, yaitu :

a. Berorientasi kontrol sosial (social control orientation), dalam hal

ini aparat penegak hukum menyerahkan anak pelaku pada

pertanggungajwaban dan pengawasan masyarakat;

b. Berorientasi pada social service, yaitu pelayaa sosial oleh

masyarakat dengan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan dan

menyediakan pelayanan bagi pelaku dan keluarganya;

c. Berorientsi pada restorative justice, yaitu memberikan

kesempatan kepada pelaku untuk bertanggung jawab atas

perbuatannya kepada korban dan masyarakat. Semua pihak yang

terlibat dipertemukan untuk bersama-sama mencapai

kesepakatan, apa tindakan yang terbaik untuk anak pelaku ini. 43

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak dengan tegas menyatakan bahwa dalam

penanganan anak 31 Ibid, hlm. 13-14 32 Ibid, hlm. 73 46 yang

berkonflik hukum maka penyidik, jaksa, hakim wajib mengupayakan

tindakan diversi. 44

43
Ibid, hlm. 73
44
Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan pidana Anak
87

Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi dapat

diberlakukan jika pelaku anak diancam dengan pidana penjara

dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak

pidana, dengan mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur

anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan

lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 9 UU No. 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Peraturan lain yang mengatur tentang diversi juga terdapat

dalam Peraturan Pemerintah Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam

Sistem Peradilan Pidana Anak dan juga dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman

Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12

(dua belas) tahun.

1. Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Indonesia memiliki pengaturan mengenai restorative justice yang

diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak mengatakan bahwa keadilan restoratif (restorative justice) merupakan

penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,

keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama


88

mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali

pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Pengertian diatas meyatakan bahwa restorative justice memiliki

hubungan yang erat dengan diversi yang mana mempunyai tujuan yang sama

yaitu mengalihkan proses peradilan anak dari peradilan formal ke dalam

peradilan nonformal dengan cara melibatkan pelaku, korban, keluarga,

masyarakat, pembimbing kemasyarakatan anak, polisi, jaksa atau hakim

melalui suatu bentuk penyelesaian yang menekankan pemulihan kembali

pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Susan Sharpe berpendapat ada 5 (lima) prinsip dalam restorative

justice, yakni :

a. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus.

Dalam hal ini korban dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam

perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif.

Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama

ini merasa terganggu keamanan dan ketertibannya oleh pelaku untuk

ikut duduk bersama memecah persoalan itu;

b. Restorative justice mencari solusi untuk mengembalikan dan

menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang

dilakukan oleh pelaku. Hal ini juga termasuk upaya penyembuhan

atau pemulihan korban atas tindak pidana yang menimpanya;

c. Restorative justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi

pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus

menunjukan rasa penyesalannya dan mengakui semua kesalahannya


89

serta menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan

kerugian bagi orang lain;

d. Restorative justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai

warga masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah

akibat tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan

rekonsilisasi antara korban dan pelaku serta mengintegrasikan

kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal.

Keduanya harus dibebaskan dari masa lalunya demi masa depan yang

lebih cerah;

e. Restorative justice memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk

mencegah supaya tindakan kejahatan tidak terulang kembali.

Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat,

tetapi kejahatan juga dapat memberikan pembelajaran bagi

masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenarnya bagi semua

masyarakat.45

C. Konsepsi Ide Diversi Oleh Legislator Dalam Beberapa Ketentuan

Peraturan Perundang-Undangan Pidana Tentang Anak Sebagai

Kebijakan Pidana di Indonesia

Kejadian tentang implementasi ide diversi dalam ketentuan (kebijakan

formulasi) sistem peradilan pidana anak, berupa ketentuan yang langsung

mengatur sistem peradilan pidana anak dan ketentuan yang tidak langsung

mengatur sistem peradilan pidana anak. Kebijakan formulasi yang langsung

mengatur sistem peradilan pidana anak terdiri dari hukum pidana materiel

45
Marlina, Hukum Penentensier, sinar Grafika, Bandung, 1984, hlm 74-75
90

anak, hukum pidana formal anak, dan hukum pelaksanaan sanksi hukum

pidana anak.

1. Ide Diversi dalam Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Materiel Anak

Hukum pidana materiel memuat aturan-aturan yang menetapkan

dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan

yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan

ketentuan mengenai pidana. 46 Selain mengatur memuat syarat-syarat

untuk dapat menjatuhkan pidana, maka hukum pidana materiel juga

mengatur tentang syarat-syarat untuk tidak menjatuhkan pidana, atau

penghapus pidana.

2. Ide Diversi Terdapat Dalam KUHP (UU No. 1 Tahun 1946 jo UU No. 73

Tahun 1958)

bahwa ide diversi ini merupakan pemberian kewenangan bagi

penegak hukum anak, setelah dengan pertimbangan yang layak, maka

penegak hukum akan mengambil tindakan-tindakan kebijakan dalam

menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak

mengambil jalan formal, antara lain menghentikan atau tidak meneruskan/

melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan/

menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan

sosial lainnya, seperti penyerahan kepada orang tua/wali, pembinaan

sosial, pemberian peringatan/nasihat/ konseling, pengenaan denda

46
Azwad Rahmat Hambali, Penerapan Diversi Terhadap Anak yang berhadapan dengan Hukum dalam
sistem peradilan Pidana, skripsi, Universitas Muhadiyah Jakarta, Jakarta, Desember 2018
91

ataupun memberi ganti rugi kepada korban. Dengan batasan tersebut,

maka hal-hal yang terdapat dalam ide diversi yaitu:

a. Demi untuk kepentingan perlindungan anak, yaitu untuk

menghindari efek negatif proses pemeriksaan terhadap anak, maka

perkara anak dihentikan dalam tahap penyidikan, penuntutan,

pemeriksaan pengadilan dan tahap pelaksanaan putusan

pengadilan;

b. Terhadap perkara anak tersebut dilakukan diversi, maka terhadap

anak dikenakan programprogram diversi, seperti:

1) anak diserahkan kembali untuk dibimbing oleh orang

tua/walinya;

2) anak tersebut dapat diberi peringatan, nasihat, konseling

atau pembinaan sosial lainnya;

3) anak dapat dibebani denda ataupun memberi ganti rugi

kepada korban.

3. Ide Diversi Terdapat Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak (UU No. 3

Tahun 1997)

UU Pengadilan Anak tidak merumuskan tindak pidana, tetapi

mengatur tentang ketentuan sanksi hukum pidana yang dapat dijatuhkan

pada anak pelaku tindak pidana (Anak Nakal), sehingga menurut penulis

UU Pengadilan Anak merupakan sumber hukum pidana materiel anak

pula, walaupun terbatas. Sebagai hukum pidana materiel terbatas, yaitu

dengan adanya ketentuan sanksi hukum pidana bagi pelaku anak (Anak

Nakal).
92

Ketentuan sanksi bagi Anak Nakal yang diatur dalam UU

Pengadilan Anak, sebagai 12 ketentuan yang menggantikan sanksi bagi

anak-anak sebagaimana diatur dalam Pasal 45, 46, 47 KUHP yang telah

dinyatakan tidak berlaku. Sanksi hukum pidana yang dapat dijatuhkan

pada Anak Nakal diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 UU No.

3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Terhadap Anak Nakal hanya

dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-

undang ini.

4. Ide Diversi Dalam Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Formal Anak

Hukum pidana formal mengatur bagaimana negara dengan

perantara alat-alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk

mengenakan pidana. Hukum pidana formal bisa juga disebut hukum

acara pidana. Beranjak dari pengertian ini maka hukum pidana formal

anak yaitu ketentuan mengatur bagaimana negara dengan perantara alat-

alat perlengkapannya (para penegak hukum) melaksanakan haknya untuk

mengenakan pidana terhadap anak, sebagaimana diatur dalam hukum

acara pidana bagi anak.

Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan

Convention On the Rights of The Child (Convensi Hak-Hak Anak)

Ketentuan dalam konvensi HakHak Anak sebagai standar perlindungan

ataupun perlakuan terhadap anak-anak berkonflik dengan hukum

(standards regarding children in conflict with the law


BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Nomor 6/PID.SUS-ANAK/2017/PN.JKT.SEL

Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim dalam membuat

keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Dalam pengambilan

keputusan ini hendaknya hakim dapat melihat dengan cermat kesesuaian

faktor-faktor yang ada dengan bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan

sehingga dalam menjatuhkan suatu keputusan tidak menyimpang dari yang

seharusnya dan tidak melanggar hak asasi yang dimiliki oleh terdakwa.

1. Pertimbangan Hakim

Dalam perkara Nomor:6/Pid.Sus-Anak/2017/PN. Jkt. Sel dalam hal

ini terdakwa diajukan ke persidangan berdasarkan surat dakwaan yang

diajukan oleh penuntut umum dimana terdakwa melanggar ketentuan dalam

dakwaan primair yaitu Pasal 114 Ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2009 tentang

Narkotika. Tindakan yang dilakukan oleh hakim harus dibuktikan dengan

mengkaji unsur-unsur dari Pasal tersebut kemudian disesuaikan dengan fakta-

fakta yang terungkap di persidangan serta alat bukti dengan menganalisanya.

Adapun unsur-unsur dari Pasal 114 Ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2009

tentang Narkotika adalah sebagai berikut:

1. Barangsiapa;

2. Tanpa hak atau melaw

93
94

3. an hukum;

4. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi

perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika

golongan

Menimbang bahwa selanjutnya majelis akan mempertimbangkan

apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi atau tidak Pasal 114 Ayat (1) UU

RI No. 35 tahun 2009 tersebut yaitu sebagai berikut:

a. Unsur Barang siapa

Bahwa pengertian barangsiapa di sini adalah siapa saja orang atau

subjek hukum yang melakukan perbuatan pidana dan dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya. 73 Bahwa terdakwa ANAS

ROFIUDDIN yang dihadapkan di persidangan ini dengan saksi, alat

bukti, dan keterangan terdakwa sendiri yang membenarkan identitasnya

dalam surat dakwaan penuntut umum, maka terdakwa yang diajukan

dalam perkara ini adalah ANAS ROFIUDDIN sebagai manusia yang

dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Berdasarkan fakta

tersebut di atas, maka unsur barangsiapa telah terbukti secara sah dan

meyakinkan menurut hukum.

b. Unsur tanpa hak atau melawan hukum

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yang

diperoleh dari keterangan para saksi dan keterangan terdakwa, bahwa

terdakwa dalam hal membeli atau menerima atau menyerahkan narkotika

golongan I tanpa izin dari pihak yang berwenang memberikan izin.


95

Dengan demikian unsur “tanpa hak atau melawan hukum” telah terbukti

secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

c. Unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan

narkotika golongan I

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yang

diperoleh dari keterangan para saksi dan keterangan terdakwa, bahwa

terdakwa mendapatkan barang narkotika tersebut dari TEDY (DPO)

dengan cara terdakwa membeli dengan harga Rp.450.000,- (empat ratus

lima puluh ribu rupiah). Dengan demikian unsur menawarkan untuk

dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,

menukar atau 74 menyerahkan narkotika golongan I telah terbukti secara

sah dan meyakinkan menurut hukum.

Menimbang bahwa dari uraian-uraian yang telah dikemukakan di

atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan terdakwa anak telah

dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan memenuhi rumusan tindak

pidana yang didakwakan dalam dakwaan primair yakni Pasal 114 Ayat

(1) UU RI No. 35 tahun 2009.

Menimbang bahwa di persidangan Penuntut Umum telah

menghadapkan 2 (dua) orang saksi yang masing-masing saksi Arisuteja

dan saksi Darmawansyah yang pada pokoknya memberatkan terdakwa

anak sebagaimana termuat putusan pengadilan diagenda pemeriksaan

saksi. Menimbang bahwa keterangan saksi dan keterangan terdakwa anak

saling menunjukkan kesesuaian yang didukung pula dengan bukti yang


96

ada, sehingga melahirkan kesimpulan bahwa terdakwa anak telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak

atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan

narkotika golongan I” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

Pasal 111 Ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2009.

2. Amar Putusan

Bahwa karena terbukti bersalah maka ia terdakwa anak akan dijatuhi

pidana yang dipandang setimpal dengan perbuatannya serta memperhatikan

hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan sebagai berikut:

Hal-Hal yang memeberatkan:

a. Perbuatan tidak mendukung perogram pemerintah dalam

pemberantasan tindak pidana Narkotika.

Hal-Hal yang meringankan:

a. Anak belum pernah dihukum.

b. Anak masih mudah dan masih panjang masa depanya dan dapat

diharapkan memperbaiki kelakuanya.

c. Anak sopan dipersidangan, mengakuhi terusterang perbuatanya dan

berjanji tidak mengulaing lagi.

d. Anak masih sekolah dan ingin melanjutkan sekolanya lagi

Berdasarkan fakta- fakta Hukum diatas maka Amar Putusan dalam

perkara Nomor:6/Pid.Sus-Anak/2017/PN.JKT,Sel. Majelis Hakim

memutuskan:

MENGADILI;
97

1. Menyatakan anak yang bernama ANAS ROFIUDIN SETIAWAN Alias

KAMARUDIN MANGGULING telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan tindak pidana

tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,menjual,

membeli, menerima menjad perantar dalam jual beli menuakar atau

menyerahkan Narkotika Golongan 1, sebagaiman dalam dakawaan Primer;

2. Membebaskan Anak oleh karena itu dari dakwaan primer tersebut

3. Menyatakan Anak ANAS ROFIUDIN ROFIUDIN SETIAWAN Alias

KAMARUDIN MANGGULING tersebut diatas, terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakuakan tindak pidana menguasai Narkotika

Golongan 1 dalam bentuk tanaman sebagaimana dalam dakwaan Subsidair

4. Menjatuhkan pidana kepada anak tersebut dengan pidana penjara di

Lembaga pembinaan khusus Anak (LPKA) selama 2 (dua) tahun dan

denda sejumlah Rp 800.000.000,00 (Delapan ratus juta rupiah) dengan

ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan

pelatihan kerja selama 1 (satu) bulan

5. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani anak

pelaku dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan

6. Menetapkan Anak tetap berada dalam tahanan

7. Memerintahkan barang bukti berupa : 1 (satu ) buah tas warna hitam yang

didalamnya berisi 1 (satu) paket besar dibungkus dengan lakban warna

cokelat berisikan daun-daun kering yang biasa disebut Narkotika jenis

ganja dengan berat Netto 723 (Tujuh ratus dua puluh tiga ) gram, dirampas

untuk dimusnakan
98

8. Membebankan kepada Anak membayar biaya perkara sejumlah Rp 2.000

(dua ribu rupiah)

3. Analisis Penulis

Sebagai ujung tombak terakhir untuk mencapai keadilan hakim

memiliki peranan yang sangat vital untuk menemukan kebenaran dari suatu

perkara yang ditanganinya. Oleh karena itu untuk mengambil sebuah

keputusan dalam suatu perkara hakim wajib menelusuri secara cermat setiap

rangkaian kejadian atau fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan agar

hakim mampu menghasilkan suatu keputusan yang mencerminkan rasa

keadilan. Sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-

undangan, yaitu dalam Undang-Undang sistem Peradilan pidana Anak pasal 1

angka 7 UU No. 11 tahun 2012 tentang SPPA yang yang seharusnya

diadakan upaya diversi yang berbunyi “ Diversi merupakan pengalihan

penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar

peradilan pidana. Jadi berdasarkan uraian diatas maka seharusnya pelaku

dikembalika terhadap orang tuanya.

Terkait kasus ini sebagaimana diketahui bahwa terdakwa adalah

seorang anak. Hakim yang menangani kasus ini menjatuhkan putusan

pemidanaan, yang artinya hakim berkesimpulan bahwa terdakwa anak

terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melanggar Pasal 111

Ayat (1) UU RI No. 35 tahun 200947 dan menjatuhkan pidana pada anak

tersebut dengan pidana penjara di Lembaga Pemibinaan Khusus Anak

(LPKA) selama dua tahun dan denda sejumlah RP 800.000.000,- (delapan


47
Pasal 111 undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
99

ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka

diganti dengan pelatihan kerja selama 1 (satu) bulan. Penulis menilai bahwa

keputusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa anak bersalah melakukan

tindak pidana sudah tepat karena dalam persidangan sendiri terdakwa

mengakui perbuatan tersebut. Selain itu berdasarkan fakta persidangan semua

unsur-unsur dalam Pasal 111 ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2009 telah

terpenuhi. Namun untuk bentuk penjatuhan pidana oleh hakim, penulis

menilai apakah penjatuhan pidana tersebut layak atau tidak perlu dikaji lebih

mendalam.

Sesungguhnya mengenai kasus ini tidak perlu sampai pada tahap di

persidangan bahkan sampai penjatuhan pidana oleh hakim, karena proses

penyelesaian pidana untuk anak sebagaimana yang telah diatur dalam UU

SPPA mengupayakan agar penyelesaian dilakukan berdasarkan keadilan

restoratif, dalam hal ini dengan memaksimalkan upaya diversi. Itulah

sebabnya dalam UU SPPA tepatnya pada Pasal ini 78 ditentukan bahwa pada

tingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan wajib diupayakan diversi.

Oleh sebab itu, apabila diversi gagal pada tahap penyidikan dan penuntutan,

maka hakim sebelum memasuki proses persidangan wajib mengupayakan

diversi terlebih dahulu, sehingga hasil yang bisa didapatkan dalam

penyelesaian perkara anak ini tidak perlu sampai penjatuhan pidana,

meskipun pidana anak memang relatif lebih ringan.

Adapun syarat-syarat agar anak memenuhi syarat untuk

dilaksanakan diversi berdasarkan Pasal 7 Ayat (2) yaitu:


100

a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun; dan

b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Melihat kasus di atas, terdakwa anak didakwa dengan dakwaan

Primair yaitu Pasal 111 Ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2009 yang mana

ancaman pidananya minimum 4 tahun dan maksimum 12 tahun. Penulis

menilai bahwa karena ancaman pidananya minimum 4 tahun sehingga masih

termasuk ke dalam kategori dalam poin a pasal 7 Ayat (2), dan dalam

persidangan juga terungkap bahwa terdakwa anak baru pertama kali

menghadapi proses hukum sebagai terdakwa sehingga membuktikan bahwa

tindakan terdakwa anak tidak tergolong ke dalam pengulangan tindak pidana

(residivis). Oleh karena itu, terdakwa anak dalam kasus ini wajib diupayakan

diversi dalam proses penyelesaian perkaranya.

Selain itu, bentuk kesepakatan diversi sebagaimana diatur dalam

Pasal 10 Ayat (2) UU SPPA yaitu: 79 Kesepakatan diversi dilakukan oleh

penyidik atas rekomendasi pembimbing kemasyarakatan dapat berbentuk:

a. Pengembalian kerugian dalam hal ada korban;

b. Rehabilitasi medis dan psikososial;

c. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;

d. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan

atau LPKS paling lama 3 bulan; atau

e. Pelayanan masyarakat paling lama 3 bulan.

Apabila hakim dalam kasus ini dapat memaksimalkan upaya

diversi maka terdakwa anak akan menerima hasil diversi seperti yang

dipaparkan dalam Pasal 10 Ayat (2) di atas, tanpa harus mengikuti proses
101

persidangan dan menerima penjatuhan pidana. Namun, sama seperti

penuntut umum, hakim dalam menangani perkara anak ini juga tidak

melakukan upaya diversi. Proses tetap berlanjut ke persidangan setelah

ada pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum ke pengadilan.

Hakim dalam hal ini telah mengabaikan ketentuan dalam UU SPPA.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis berpendapat

bahwa apabila hakim telah mengupayakan diversi namun gagal, maka

penjatuhan pidana yang ada saat ini sudah tepat, namun jika hakim dalam

menangani kasus ini mengabaikan ketentuan mengenai diversi maka

penulis menilai penjatuhan pidana tersebut tidak tepat karena seharusnya

hakim menjalani tahap diversi terlebih dahulu agar hasil yang bisa

didapatkan untuk penyelesaian kasus ini tidak harus berupa penjatuhan

pidana di persidangan.

B. Implementasi Ide Diversi Dalam Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana

Anak (Kebijakan Aplikatif) yang Tertuang Dalam UU No. 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia secara

bertahap dilakukan dengan proses penyelidikan penyidikan, proses

penuntutan, proses pemeriksaan di pengadilan dan proses pelaksanaan

putusan hakim. Adapun lembaga-lembaga yang terkait dengan proses

pemeriksaan pengadilan anak yaitu: Kepolisian; Balai Pemasyarakatan

(Bapas); Kejaksaan; Pengadilan; Penasehat Hukum dan Lembaga

Pemasyarakatan Anak. Sehubungan dengan tahapan dan lembaga yang terkait

dengan proses peradilan pidana anak ini, maka uraian dalam sub bab ini
102

tentang implementasi ide diversi dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana

anak mulai dari tahap penyidikan/ penyelidikan, tahap penuntutan, dan tahap

pemeriksaan di pengadilan. Untuk penguraian implementasi ide diversi dalam

praktek pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan tidak diuraikan.

1. Implementasi Ide Diversi dalam Bentuk Penyelesaian Secara

Kekeluargaan/Perdamaian atau Non-Litigasi

pada Tahap Praktik Penyidikan Anak Penyidikan adalah

serangkaian tindakan penyidik (pejabat polisi negara Rl atau pejabat

pegawai negeri sipil tertentu) dalam hnl dan menurut cara yang diatur

dalam undangundang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi

dan guna menemukan tersangkanya. Sebelum dilakukan penyidikan

maka dilakukan penyelidikan oleh penyelidik seperti tersurat dalam

Pasal 1 angka 1, 1 dan angka 5 UU No. 8 Tahun 1981 tentang

KUHAP. Kegiatan penyidikan ini dilakukan oleh atau merupakan

kewenangan pihak kepolisian negara RI maupun oleh pejabat

pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus, oleh

karena itu setidaknya ketentuanketentuan yang digunakan berkaitan

untuk mengatur penyidikan ini, yaitu UU No. 8 Tahun 1981 tentang

KUHAP; UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; dan UU

No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Di

dalam Rancangan Undang Undang tentang peradilan Anak telah

disebutkan ketentuan mengenai Diversi yang antara lain disebutkan :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang


103

Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan dalam Pasal 1 angka 5.

“Keadilan Restoratif adalah suatu penyelesaian secara adil yang

melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang

terkait dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari

penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya,

dengan 14 menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan

bukan pembalasan”. Sedangkan dalam angka 6 dinyatakan “Diversi

adalah suatu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses

peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana”.

Pembahasan selanjutnya tercermin dalam ketentuan : Pasal 5 :

a. Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan

pendekatan Keadilan Restoratif.

b. Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi:

1) penyidikan dan penuntutan pidana Anak dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundangan, kecuali ditentukan lain dalam

Undang-Undang ini;

2) pemeriksaan Anak di sidang pengadilan yang diadili

dalam sidang Anak yang berada di lingkungan

peradilan umum;dan
104

3) pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau

pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau

tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

c. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilakukan Diversi.

Pasal 6 : Diversi bertujuan untuk:

1) mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

2) menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

3) menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

4) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

5) menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Pasal 7 :

1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri

wajib diupayakan Diversi.

2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang

dilakukan:

a. diancam dengan pidana penjara paling lama 7

(tujuh) tahun; dan

b. bukan merupakan pengulangan tindak

pidana.

Pasal 8 :
105

1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah yang

melibatkan Anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau

orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja

Sosial Profesional berdasarkan prinsip Keadilan Restoratif.

2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial,

dan/atau masyarakat.

3) Proses Diversi wajib memperhatikan:

a. kepentingan korban; 15

b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;

c. penghindaran stigma negatif;

d. penghindaran pembalasan;

e. keharmonisan masyarakat; dan

f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pasal 9 :

1) enyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan

Diversi harus mempertimbangkan:

a. kategori tindak pidana;

b. umur Anak;

c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Balai

Pemasyarakatan;

d. kerugian yang ditimbulkan;

e. tingkat perhatian masyarakat; dan


106

f. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

2) Keputusan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan

keluarganya serta kesediaan Anak dan keluarganya.

3) Dalam hal tindak pidana yang dilakukan Anak tidak ada

korban, syarat persetujuan korban dan keluarganya

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperlukan.

Pasal 10 : Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk:

1) perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

2) penyerahan kembali kepada orang tua/wali;

3) keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan ke lembaga

pendidikan, lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial

atau lembaga kesejahteraan sosial; atau

4) pelayanan masyarakat.

Pasal 11:

1) Kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10

dituangkan dalam suatu keputusan yang berlaku sejak

dicapainya kesepakatan.

2) Keputusan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disampaikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan ke pengadilan

negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling

lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk

memperoleh penetapan.
107

3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak

diterimanya keputusan Diversi.

4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan

kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut

Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari

sejak ditetapkan.

Pasal 12 : Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal:

a. proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau

b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.

Pasal 13 : Register perkara Anak pada kepolisian, kejaksaan,

pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan dibuat secara khusus.

16 Pasal 14 :

1) Pengawasan atas proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan

yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang

bertanggung jawab pada setiap tingkat pemeriksaan.

2) Selama proses Diversi berlangsung dan setelah Diversi

dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan

pembimbingan dan pengawasan.

3) Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam

waktu yang ditentukan dalam kesepakatan, Pembimbing


108

Kemasyarakatan segera melaporkan kepada pejabat yang

bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

4) Pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) wajib menindaklanjuti laporan.

Pasal 15 :

1) Anak yang keberadaan orang tua/walinya tidak diketahui

maka pengasuhannya menjadi tanggung jawab kementerian

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial

dan dinas/instansi sosial.

Pengasuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di

Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang direkomendasikan oleh

kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial

dan dinas/instansi sosial.

C. Pengaturan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Untuk Masa Yang Akan Datang

Filosofi sistem peradilan pidana anak yaitu mengutamakan

perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak (emphasized the

rehabilitation of youthful offender) sebagai orang yang masih mempunyai

sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa. Anak

memerlukan perlindungan dari negara dan masyarakat dalam jangka waktu ke

depan yang masih panjang. 48 Terhadap anak yang terlanjur menjadi pelaku

48
Nicholas M.C. Bala dan Rebecca Jaremko Bromwich Chapter 1, Introduction: An International
Perspective On Youth Justice dalam buku Nicholas M.C. Bala, et al..Juvenile Justice System an International
Comparison of Problem and Solutions, Eduacational Publishing Inc, Toronto,2002,hlm. 5.
109

tindak pidana diperlukan strategi sistem peradilan pidana yaitu

mengupayakan seminimal mungkin intervensi sistem peradilan pidana. 49

Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan

kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak seperti

pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Untuk melakukan

perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan

pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan

kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove)

seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak

pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang

dianggap lebih baik untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah

konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau

pengalihan.

Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “diversion”

pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan

peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana Australia di

Amerika Serikat pada tahun 1960.50 Sebelum dikemukakannya istilah diversi

praktek pelaksanaan yang berbentuk sepertidiversi telah ada sebelum tahun

1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (Children”s Courts)

sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan

formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning).

49
Kevin Haines dan Mark Drakeford, Young People and Youth Justice, Macmillan Press Ltd,
London,1998,hlm. 73.
50
C. Cunneen and R. White, Juvenile justice: An Australian erspective, Oxford University Press, Oxford,
1995, hlm. 247
110

Prakteknya telah berjalan di Negara bagian Victoria Australia pada tahun

1959 diikuti oleh negara bagian Queensland pada tahun 1963. 51

Menurut Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Delinquency

a SociologicalApproach, yaitu: “Diversion is an attempt to divert, or

channel out, youthful offenders from the juvenilejustice

system”(diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk

mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari

sistem peradilanpidana). 52

Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses

peradilan pidana terhadapanak pelaku tindak pidana melalui sistem

peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahayadaripada

kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan

stigmatisasi terhadapanak atas tindakan yang dilakukannya seperti

anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untukmenghindarkannya ke

luar sistem peradilan pidana. 53

Berdasarkan United NationsStandard Minimum Rules for the

Administration of Juvenile Justice atau yang disebut dengan The

Beijing Rules(Office of the High Commissioner for Human Rights,

1985) pada butir 6 dan 11 terkandung pernyataan mengenai diversi

51
D. Challinger, Police Action and the prevention of juvenile delinquency. In A. Borowski and JM.Murray

(eds.) Juvenile Delinquency in Australia,Methuen Australia, NSW, 1985, hlm.290-302.

52
Jack E Bynumn & William E. Thompson, Juvenile Delinquency a Sociological Approach., Allyn and
Bacon A Peason Education Company, Boston,2002, hlm. 430.
53
Randall G. Shelden, Detention Diversion Advocacy: An Evaluation,Department of Justice, Washington
DC U.S. 1997, hlm. 1.
111

yakni sebagai proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan hukum

dari sistem peradilan pidana ke proses informal seperti

mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah

atau non pemerintah.

Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi

sistem peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi

(protection and rehabilitation) anak pelaku tindak pidana. 54 Tindakan

diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang pelaku anak

menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan anak inilah yang

membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang

diskresi atau diAmerika serikat sering disebut juga dengan istilah

deinstitutionalisation dari sistem peradilanpidana formal.

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan

persuasif atau pendekatan non penal yang memberikan kesempatan

kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.Salah satu latar

belakang pentingnya kebijakan diversi dalam penanganan anak yang

berkonflik dengan hukum dilakukan karena tingginya jumlah anak

yang masuk ke peradilan pidana dan diputus dengan penjara dan

mengalami kekerasan saat menjalani rangkaian proses dalam sistem

peradilan pidana.

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu

kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik

kembali melalui jalur non formal denganmelibatkan sumber daya

54
Jack E Bynum, Thompson, Op.Cit. hlm. 430.
112

masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada anak yang

berkonflik dengan hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan

melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk

memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriatetreatment).55

Setidaknya terdapat 3 (tiga) jenis pelaksanaan program diversi yaitu: 56

a. Pelaksanaan kontrol secara social(social control orientation),

yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam

tanggungjawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan

ketaatan pada persetujuan atauperingatan yang diberikan. Pelaku

menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidakdiharapkan

adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

b. Pelayanan sosialoleh masyarakat terhadap pelaku (social service

orientation), yaitu melaksanakan fungsi untukmengawasi,

mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada

pelaku dankeluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga

pelaku untuk memberikan perbaikan ataupelayanan.

c. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or

restorativejustice orientation), yaitu melindungi masyarakat,

memberi kesempatan pelaku bertanggungjawab langsung pada

korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara

korbanpelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak

55
Walker, Training The System The Control of Discretion in Criminal Justice 1950-1990, Oxford
University Press, New York, 1993, hlm. 1-2
56
Peter C. Kratcoski, Correctional Counseling and Treatment, Waveland Press Inc, USA, 2004, hlm. 160.
113

yang. terkait dipertemukan untukbersama-sama mencapai

kesepakatan tindakan pada pelaku.

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek

negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan

sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum

didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau

dalam bahasa Indonesia diskresi. Sebagai perbandingan pelaksanaan diversi di

New Zealand (Selandia Baru) dapat menjadi gambaran keberhasilan

penerapan fungsi aparat penegak hukum dalam menangani masalah anak yang

terlibat kasus pidana. Di New Zealand sejarah diversi dimulai dengan

kesuksesan family group conferencing yaitu perundingan antara pihak korban

dan pelaku dalam penyelesaian tindak pidana di masyarakat, yang akhirnya

dilakukan reformasi terhadap hukum peradilan anak pada tahun 1989.

Dengan penerapan konsep diversi, penanganan anak yang berkonflik

dengan hukum diorientasikan untuk memberikan perlindungan bagi anak dari

tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan

kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari

masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan.

Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka tidak perlu

diproses ke dalam proses peradilan pidana.

Selanjutnya jika anak yang melakukan pelanggaran sudah terlanjur

ditangkap oleh polisi, polisi dapat melakukan diversi tanpa meneruskan ke

jaksa penuntut. Kemudian apabila kasus anak sudah sampai di pengadilan,

maka hakim dapat melakukan peradilan sesuai dengan prosedurnya dan


114

diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana penjara. Terakhir bila anak

sudah terlanjur berada di dalam penjara, maka petugas penjara dapat membuat

kebijakan diversi terhadap anak sehingga anak dapat di limpahkan ke lembaga

sosial, atau sanksi alternatif yang berguna bagi perkembangan dan masa depan

anak. 57

Di Indonesia, konsep diversi terhadap anak hanyalah sebuah

komponen dari perbaikan struktur sistem peradilan pidana anak sebagai

alternatif dari peradilan pidana formal, dengan meletakkan upaya Diversi

dalam setiap tahap proses peradilan (penyidikan, Penuntutan dan Pengadilan).

Hal tersebut berbeda dengan negara Australia, yang menerapkan konsep

diversi terhadap anak bukan merupakan sebuah program alternatif, tapi diversi

untuk mengeluarkan dari sistem peradilan. Bentuk diversi di atas mulai di

laksanakan di negara bagian Victoria pada tahun 1959, Queensland tahun

1963 dan New South Wales tahun 1985 semuanya berada di Negara Australia.

Selain daripada itu di Australia bagian selatan tahun 1964 dan

Australia bagian barat 1972 konsep diversi yang diterapkan berupa pertemuan

pelaku anak dan orang tuanya dengan polisi dan sebuah pekerja sosial negara.

Tujuan dari pertemuan tersebut merupakan diversi sebelum masuk ke

pengadilan formal. Di dalamnya terdapat peringatan dan konseling dalam

suasana relatif informal. Proses diversi yang dilangsungkan tersebut bertujuan

mengeluarkan anak dari sistem peradilan pidana jika anak tidak mengulangi

tindak pidana, akan tetapi jika anak melakukan kejahatan telah berulang kali

57
Kenneht Folk, Early Intervention: Diversion and Youth Conferencing, A national review of current
approach to diverting juvenile from the criminal justice system, Commonwealth of Australia Government
Attorney-general’s Departement Australia, Canberra, 2003,hlm. 4.
115

(residivis) dikenakan proses selanjutnya. Cressey dan Mc Dermott dalam

bukunya menganggap apa yang dilakukan di Australia sebagai true diversion¥

Negara-negara bagian seperti Victoria, New South Wales dan

Queensland berani melakukan reformasi terhadap sistem hukumnya yang ada

untuk mendukung pelaksanaan program diversi secara sempurna. Wundersitz

menyebut pelaksanaan diversi di negara-negara tersebut dengan istilah

“principle of the frugality of punishment” (prinsip kesederhanaan dalam

menghukum)”.58

Konsep diversi yang seharusnya diterapkan di Indonesia dimasa yang

akan datang, tidak jauh berbeda dengan konsep diversi yang diterapkan di

Australia yaitu Police Diversion. Hal ini didasarkan pada pertimbangan Polisi

sebagai gerbang pertama yang menangani anak yang berkonflik dengan

hukum menjadi penentu apakah seorang anak akan dilanjutkan ke proses

peradilan atau tindakan informal lainnya.

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana

secara prosedural sebagaimana dijelaskan di atas tentunya dimulai dari tingkat

kepolisian, baik sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik. Artinya,

penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana selalu

dimulai dan tingkat kepolisian.

Sebagai bagian dan sub-sistem peradilan pidana kepolisian merupakan

lembaga hukum yang mempunyai kewenangan yang begitu luas sebagai

lembaga yang mengawali bekerjanya sistem peradilan pidana, sehingga

kinerja kepolisian sangat menentukan arah penegakkan hukum pidana.Dengan

58
Ibid,hlm. 6.
116

demikian, pengalaman pertama dalam proses peradilan pidana bagi seorang

tersangka adalah bersentuhan dengan aparat kepolisian.

Tanpa bermaksud memberikan excuse terhadap berbagai kelemahan

dan kekurangan lembaga kepolisian sebagai salah satu sub sistem peradilan

pidana, menurut peneliti diversi dalam penyelesaian penyalahgunaan

narkotika oleh anak lebih tepat dilakukan di tingkat kepolisian (Police

Divertion). Pandangan peneliti yang demikian didasarkan pada beberapa

argumentasi sebagai berikut:

Pertama, sebagai lembaga penegak hukum yang pertama dan langsung

bersinggungan dengan masyarakat, Polisi pada dasarnya mempunyai potensi

yang demikian besar untuk merubah kultur masyarakat. Kewenangan dan

otoritas polisi apabila dikemas secara dinamis akan menjadi sarana bagi polisi

dalam membangun masyarakat.

Kedua, bahwa anak harus sejauh mungkin dihindarkan dari proses

peradilan. Anak harus tetap diprioritaskan untuk dijauhkan dari bersinggungan

dengan aparat penegak hukum pidana, tetapi tidak berarti harus dibebaskan

dari tanggungjawabnya. Dalam batas toleransi yang tetap menjamin

terlindunginya hak-hak dan kepentingan anak, proses di luar hukum pidana

tetap dimungkinkan. Oleh karenanya, dalam peran dan fungsinya sebagai

penyidik parat kepolisian juga dapat diberi otoritas untuk mengalihkan proses

pemeriksaannya dan proses yustisial menuju proses non-yustisial.

Ketiga, dengan pengalihan proses terjadi ditingkat kepolisian, maka

polisi tetap dapat melakukan tugas pemeriksaan tentu dengan wajah dan

substansi pemeriksaan yang berbeda dengan penyidik pada umumnya,


117

sehingga upaya untuk menghindarkan anak dari proses peradilan tetap dapat

diwujudkan. Kebutuhan pemeriksaan oleh polisi dibatasi hanya berkaitan

dengan seberapa jauh keterlibatan anak dalam penyalahgunaan narkotika,

sehingga proses rehabilitasinya segera dapat dilakukan tanpa melalui proses

peradilan pidana.

Selain ketiga alasan tersebut di atas, Diversi terhadap anak

penyalahguna narkotika di tingkat kepolisian juga mempunyai keuntungan

apabila dibandingkan pengalihan itu terjadi pada tahap setelah tahap di

kepolisian. Beberapa keuntungan terhadap pengalihan di tingkat kepolisian

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kepolisian merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum dalam

sub sistem peradilan pidana yang mempunyai jaringan hingga di

tingkat kecamatan. Dengan demikian, secara struktural lembaga

kepolisian merupakan satu-satunya lembaga yang paling dekat dan

paling mudah dijangkau oleh masyarakat. Dengan potret kelembagaan

yang demikian, polisi merupakan lembaga penegak hukum yang

paling memungkinkan untuk memiliki jaringan sampai di tingkat yang

paling bawah (tingkat desa).

b. Mengingat penyalahgunaan narkotika merupakan jenis kejahatan yang

potensial terjadi di mana saja, baik di perkotaan maupun di perdesaan,

maka akan menjadi lebih efektif penanggulangannya manakala

penanganannya diserahkan kepada lembaga yang secara struktural

mempunyai jaringan sampai di tingkat desa.


118

c. Secara kuantitas aparat kepolisian juga jauh lebih banyak apabila

dibandingkan dengan aparat penegak hukum yang lain, sekalipun juga

disadari bahwa tidak setiap aparat kepolisian mempunyai kompetensi

untuk menangani kejahatan anak, tetapi ketersediaan personil yang

cukup memadai juga akan sangat membantu proses penyelesaian

kejahatan anak, termasuk penyalahgunaan narkotika yang dilakukan

oleh anak.

d. Oleh karena lembaga kepolisian merupakan aparat penegak hukum

pertama yang akan bergerak dalam proses peradilan pidana, maka

pengalihan proses peradilan di tingkat kepolisian juga berarti

memberikan jaminan kepada anak untuk sedini mungkin dihindarkan

dan bersinggungan dengan proses peradilan pidana. Dengan demikian,

dampak negatif akibat anak bersinggungan dengan aparat penegak

hukum dapat diminimalisir.

e. Oleh karena anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika juga

harus dilihat sebagai korban, maka upaya mempercepat proses

penyelesaian penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak adalah

juga berarti mempercepat proses rehabilitasi yang dibutuhkan oleh

anak.

f. Dengan pengalihan proses dan proses yustisial menuju proses non-

yustisial di tingkat kepolisian, maka berarti juga akan menghindarkan

anak dan kemungkinan anak menjadi korban kekerasan di tingkat

penyidikan yang seringkali menjadi momok dalam pnoses penadilan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka peneliti berpendapat bahwa


119

proses pengalihan dan proses yustisial menuju proses non-yustisial

dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh

anak lebih efektif apabila dilakukan di tingkat kepolisian (Police

Diversion).
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dari penelitian terhadap Penerapan Upaya

Diversi Terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Studi Surat

Keputusan Diversi Nomor: (studi kasus Nomor 6/PID.SUS-

ANAK/2017/PN.JKT.SEL), maka kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai

berikut:

1. Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing

Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.

Pihak kepolisian maupun Balai Pemasyarakatan menginginkan

tercapainya diversi untuk menghindari adanya penjatuhan sanksi

terhadap anak pelaku penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, anak pelaku penyalahgunaan narkotika yang didakwa

oleh pihak Jaksa penuntut umum dengan dakwaan subsider karena ada

perbuatan dengan ancaman pidana di bawah 7 (tujuh) tahun yang

salah satu ancaman pidananya termasuk didalamnya pasal 111 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan

ancaman bagi penyalah guna narkotika golongan 1 dengan ancaman

pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun wajib diupayakan diversi

oleh pihak kepolisian.

120
121

Apabila hakim dalam kasus ini dapat memaksimalkan upaya diversi

maka terdakwa anak akan menerima hasil diversi seperti yang

dipaparkan dalam Pasal 10 Ayat (2) di atas, tanpa harus mengikuti

proses persidangan dan menerima penjatuhan pidana. Namun, sama

seperti penuntut umum, hakim dalam menangani perkara anak ini juga

tidak melakukan upaya diversi. Proses tetap berlanjut ke persidangan

setelah ada pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum ke

pengadilan. Hakim dalam hal ini telah mengabaikan ketentuan dalam

UU SPPA.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis berpendapat bahwa

apabila hakim telah mengupayakan diversi namun gagal, maka

penjatuhan pidana yang ada saat ini sudah tepat, namun jika hakim

dalam menangani kasus ini mengabaikan ketentuan mengenai diversi

maka penulis menilai penjatuhan pidana tersebut tidak tepat karena

seharusnya hakim menjalani tahap diversi terlebih dahulu agar hasil

yang bisa didapatkan untuk penyelesaian kasus ini tidak harus berupa

penjatuhan pidana di persidangan.

2. Pelaksanaan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Di tinjau dari kedudukan hukum diversi

terhadap anak penyalahguna narkotika dalam perspektif

perkembangan hukum pidana merupakan langkah kebijakan non-

penal penanganan anak pelaku tindak pidana anak, karena

penanganannya dialihkan dari jalur sistem peradilan anak. Diversi


122

berangkat dari asumsi bahwa proses penanganan anak lewat sistem

peradilan anak lebih besar kemungkinan negatifnya daripada

positifnya bagi perkembangan anak. Berkaitan dengan

penanganananak penyalahguna narkotika, permasalahan pokok yang

ditimbulkan dari proses peradilan pidana anak atau suatu putusan

pidana adalah Stigma yang melekat pada terpidana penyalahgunaan

narkotika setelah selesai proses peradilan pidana. Kecenderungan

meningkatnya penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak,

mendorong upaya penanggulangan dan penanganannya secara khusus

dalam bidang hukum pidana anak. Diversi dengan pendekatan

Restorative Justice dalam perkembangannya merupakan penyelesaian

perkara pidana anak yang sudah dipraktekkan oleh berbagai Negara,

termasuk di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang No. 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Konsep diversi

yang diatur dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia adalah

meletakkan kewajiban untuk melakukan Diversi dalam setiap tahap

proses peradilan (penyidikan, Penuntutan dan Pengadilan).

Implementasi Ide Diversi dalam Bentuk Penyelesaian Secara

Kekeluargaan/Perdamaian atau Non-Litigasi pada Tahap Praktik

Penyidikan Anak Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik

(pejabat polisi negara Rl atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu)

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang untuk

mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat

terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan


123

tersangkanya. Sebelum dilakukan penyidikan maka dilakukan

penyelidikan oleh penyelidik seperti tersurat dalam Pasal 1 angka 1

dan angka 5 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Kegiatan

penyidikan ini dilakukan oleh atau merupakan kewenangan pihak

kepolisian negara RI maupun oleh pejabat pegawai negeri sipil

tertentu yang diberi kewenangan khusus, oleh karena itu setidaknya

ketentuanketentuan yang digunakan berkaitan untuk mengatur

penyidikan ini, yaitu UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP; UU No.

3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; dan UU No. 2 tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Di dalam Rancangan

Undang Undang tentang peradilan Anak telah disebutkan ketentuan

mengenai Diversi yang antara lain disebutkan : Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak disebutkan dalam Pasal 1 angka 5. “Keadilan Restoratif

adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban,

keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak

pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak

pidana tersebut dan implikasinya, dengan 14 menekankan pemulihan

kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan”. Sedangkan

dalam angka 6 dinyatakan “Diversi adalah suatu pengalihan

penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di

luar peradilan pidana”.

3. konsep diversi yang dimplementasikan di Indonesia hanyalah sebuah

komponen dari perbaikan struktur Sistem Peradilan Pidana Anak


124

sebagai alternatif dari peradilan pidana formal, dengan meletakkan

upaya Diversi dalam setiap tahap proses peradilan (penyidikan,

Penuntutan dan Pengadilan). Konsep diversi terhadap anak di masa

yang akan datang bukan merupakan sebuah program alternatif

penanganan anak yang berhadapan dengan hukum semata, tapi diversi

yang benar-benar mengeluarkan anak dari proses peradilan pidana.

Konsep diversi tersebut tidak jauh berbeda dengan konsep diversi

yang diterapkan di Australia yaitu Police Diversion. Hal ini

didasarkan pada pertimbangan Polisi sebagai gerbang pertama yang

menangani anak yang berkonflik dengan hukum menjadi penentu

apakah seorang anak akan dilanjutkan ke proses peradilan atau

tindakan informal lainnya seperti mediasi penal.Berkaitan dengan

penanganan anak penyalahguna narkotika polisi sebagai pemegang

kewenangan diskresi seharusnya melakukan Diversi melalui program

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial tanpa harus dihadapkan

dengan proses peradilan pidana. Berdasarkan United NationsStandard

Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice atau yang

disebut dengan The Beijing Rules(Office of the High Commissioner

for Human Rights, 1985) pada butir 6 dan 11 terkandung pernyataan

mengenai diversi yakni sebagai proses pelimpahan anak yang

berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses

informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat

baik pemerintah atau non pemerintah. Pertimbangan dilakukan diversi

oleh pengadilan yaitu filosofi sistem peradilan pidana anak untuk


125

melindungi dan merehabilitasi (protection and rehabilitation) anak

pelaku tindak pidana. Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya

pencegahan seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa.

Usaha pencegahan anak inilah yang membawa aparat penegak hukum

untuk mengambil wewenang diskresi atau diAmerika serikat sering

disebut juga dengan istilah deinstitutionalisation dari sistem

peradilanpidana formal. Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi

yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal yang memberikan

kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Salah

satu latar belakang pentingnya kebijakan diversi dalam penanganan

anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan karena tingginya

jumlah anak yang masuk ke peradilan pidana dan diputus dengan

penjara dan mengalami kekerasan saat menjalani rangkaian proses

dalam sistem peradilan pidana. Diversi dilakukan dengan alasan untuk

memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi

orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan

sumber daya masyarakat.

B. Saran

Adapun saran dari penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Kepada aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas baik

penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dan penentuan putusan perkara

pada sidang pengadilan hendaknya mengutamakan pelaksanaan

diversi sebagai salah satu alternatif dari pelaksanaan pidana penjara

dalam hal ini khusus Anak yang melakukan tindakan criminal.


126

2. Kepada pihak-pihak terkait (Penegak Hukum, Bapas dan lembaga

lainya yang memiliki kewenangan khusus anak). Perlu dilakukan

sosialisasi secara masif mengenai diversi kepada masyarakat.

3. Kepada pemerintah, perlunya menyediakan sarana dan prasarana

diversi dalam rangka memberikan jaminan perlindungan kepada anak.


127

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Abdussalam. R, Hukum Penentensier, PTIK, Jakarta, 2003.

Adi Koesno, kebijakan criminal dalam system peradilan pidana yang


berorentasi pada kepentingan terbaik bagi anak, malang, 2009.

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, Jakarta, 1989.

Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta dan


Pukap Indonesia, Yogyakarta, 2012.

Andi Hamzah dan A.Z. Abidin, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia. PT
Yarsif Watampone, Jakarta, 2010.

Arief Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan


Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

Ayu Nahdia Tuzzahra, Kekerasan Terhadap Anak, Skripsi, Fakultas Hukum


Universitas Jenderal Soedirman, 2013.

Bassar, S, Tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, CV Remadja Karya,


Bandung, 1986.

Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan


dengan Pidana Penjara, Universitas Diponegoro, Semarang, 1994.

Barda Nawawi Arif, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan


Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001.

Cunneen and R. White, Juvenile justice: An Australian erspective, Oxford


University Press, Oxford, 1995.

D. Challinger, Police Action and the prevention of juvenile delinquency. In A.


Borowski and JM.Murray (eds.) Juvenile Delinquency in
Australia,Methuen Australia, NSW, 1985.

Elisabeth Juniarti, Fatwa Fadilah, Edy Ikhsan, Marjoko, M.Mitra Lubis, Diversi
dan Keadilan Restoratif: Kesiapan Aparat Penegak Hukum dan
128

Masyarakat stdudi di 6 kota di Indonesia, Pusaka Indonesia, Medan,


2014.

Hadisuprapto Paulus, Peradilan Restoratif Model Peradilan anak Indonesia


masa yang akan datang, Semarang, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Studi tentang


Bentuk-Bentuk Pidana Dalam Tradisi Fiqh dan Relevansinya Bagi
Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Penerbit Angkasa, Bandung,
1996.

Jack E Bynumn & William E. Thompson, Juvenile Delinquency a Sociological


Approach., Allyn and Bacon A Peason Education Company,
Boston,2002, hlm. 430.

Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana


Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009.

Kenneht Folk, Early Intervention: Diversion and Youth Conferencing, A


national review of current approach to diverting juvenile from the
criminal justice system, Commonwealth of Australia Government
Attorney-general’s Departement Australia, Canberra, 2003.

Lidya Rahmadani Hasibuan, Diversi dan Keadilan Restoratif Pembaharuan


Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, 2014.

Marlina ,Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi


dan Restoratif Justive Justice, Refika Aditama, Bandung, Cetakan ke-
I, 2009.

Marlina, Hukum Penentensier, sinar Grafika, Bandung, 1984.

Nicholas M.C. Bala dan Rebecca Jaremko Bromwich Chapter 1, Introduction:


An International Perspective On Youth Justice dalam buku Nicholas
M.C. Bala, et al..Juvenile Justice System an International Comparison
of Problem and Solutions, Eduacational Publishing Inc, Toronto,2002.

R. Sujono, Bony Daniel, Komentar&Pembahasan Undang Undang Nomor 35


Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
129

Ridha Ma’roef, Narkotika, Masalah dan Bahayanya, PT. Bina Aksara, Jakarta,
1987.

Randall G. Shelden, Detention Diversion Advocacy: An Evaluation,Department


of Justice, Washington DC U.S. 1997.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981. Soejono


Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.

Soejono soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali,


Jakarta, 1985.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981.

Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2001.

Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,


Bandung, 1990.

Soejono soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali,


Jakarta, 1985.

Sambas Nandang, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen


Internasional Perlindungan Anak serta Penerapnnya, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2013.

Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta , 2005.

Peter C. Kratcoski, Correctional Counseling and Treatment, Waveland Press


Inc, USA, 2004.

Walker, Training The System The Control of Discretion in Criminal Justice


1950-1990, Oxford University Press, New York, 1993.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum


Acara Pidana (KUHAP)
130

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-undang


Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

Undang -undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak

Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang tugas pembimbing


kemasarakatan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia

C. Jurnal

Angga Paramitra, Penerapan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak


pidana, Makalah, Universitas Pembangunan Nasional, 2011

Azwad Rahmat Hambali, Penerapan Diversi Terhadap Anak yang berhadapan


dengan Hukum dalam sistem peradilan Pidana, Universitas
Muhadiyah Jakarta, Jakarta, Desember 2018

Andi Putri Rasid, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana

penyalahgunaan Penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan oleh

Anak, Tesis, Pascasarjan Universitas Nasional, Jakarta, Maret 2017

Anda mungkin juga menyukai