Anda di halaman 1dari 20

NAMA : Carolin Wijaya

NIM : 1971152001
PRODI : Mikrobiologi Klinik

1. Jelaskan metode penalaran ilmiah Yang Anda ketahui!


2. Jelaskan prinsip-prinsip etika penelitian menurut konvensi Helsinki 1!
3. Perubahan apa yang mendasar menurut konvensi Helsinki 2?
4. Jelaskan perbedaan complementary medicine dengan alternative medicine!
5. Jelaskan apa yang anda ketahui tentang integrative medicine!
6. Jelaskan bagaimana perlakuan pada hewan coba sesuai bioetika medis!
7. Publikasi merupakan kewajiban atau hak, bagaimana menurut anda? Jelaskan!
8. Jelaskan jenis kontribusi authors dalam publikasi ilmiah!
9. Mohon dijelaskan dari perspektif Neurobiologis Hubungan Ketuhanan dan Kemanusian!
10. Jelaskan tujuan hidup Anda?
1. Metode penalaran ilmiah

a. Penalaran Induktif

Penalaran Induktif Induksi / induktif adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari
sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi). Proses
penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomena-fenomena yang ada.
Karena semua fenomena harus diteliti dan dievaluasi terlebih dahulu sebelum melangkah
lebih jauh ke penalaran induktif, maka proses penalaran itu juga disebut sebagai corak
berpikir yang ilmiah. Namun induksi sendiri tak akan banyak manfaatnya kalau tidak diikuti
oleh proses penalaran deduktif. Pengertian fenomena-fenomena individual sebagai landasan
penalaran induktif harus diartikan pertama-tama sebagai data-data maupun sebagai
pernyataan-pernyataan, yang tentunyabersifatfaktualpula. Proses penalaran induktif dapat
dibedakan lagi atas bermacam-macam variasi seperti generalisasi, hipotese dan teori, analogi
induktif, kausal dan sebagainya.

Macam-macam Penalaran Induktif

Generalisasi adalah pernyataan yang berlaku umum untuk semua atau sebagian besar
gejala yang diminati generalisasi mencakup ciri – ciri esensial, bukan rincian. Dalam
pengembangan karangan, generalisasi dibuktikan dengan fakta, contoh, data statistik, dan
lain-lain.

Analogi adalah membandingkan dua hal yang banyak persamaanya. Kesimpulan


yang diambil dengan jalan analogi, yakni kesimpulan dari pendapat khusus dari beberapa
pendapat khusus yang lain, dengan cara membandingkan situasi yang satu dengan yang
sebelumnya.

b. Penalaran Deduktif

Penalaran deduktif / deduksi adalah merupakan suatu proses berpikir (penalaran) yang
bertolak dari sesuatu proposisi yang sudah ada, menuju kepada suatu proposisi baru yang
berbentuk suatu kesimpulan. Dari pengalaman-pengalaman hidup kita, kita sudah membentuk
bermacam-macam proposisi, baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus. Proposisi
baru itu tidak lain dari kesimpulan kita mengenai suatu fenomena yang telah kita identifikasi
dengan mempertalikannya dengan proposisi yang umum. Dalam penalaran deduktif, penulis
tidak perlu mengumpulkan fakta-fakta. Yang perlu baginya adalah suatu proposisi umum dan
suatu proposisi yang mengidentifikasi suatu peristiwa khusus yang bertalian dengan suatu
proposisi umum tadi. Bila identifikasi yang dilakukannya itu benar, dan kalau proposisinya
itu juga benar, maka dapat diharapkan suatu kesimpulan yang benar. Uraian mengenai proses
berpikir deduktif ialah seperti silogisme kategorial, entimem, rantai deduksi, silogisme
alternatif, silogisme hipotesis dan sebagainya. Contoh: Masyarakat Indonesia konsumtif
(umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi
(khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi
sosial dan penanda status sosial.

Macam-macam penalaran deduktif diantaranya :

Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme


disusun dari dua proposi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan). Dengan fakta lain
bahwa silogisme adalah rangkaian 3 buah pendapat, yang terdiri dari 2 pendapat dan 1
kesimpulan.

Entimen adalah penalaran deduksi secara langsung. Dan dapat dikatakan pula
silogisme premisnya dihilangkan atau tidak diucapkan karena sudah sama-sama diketahui.

Contoh penalaran deduktif :

semua makhluk mempunyai mata (premis mayor)

Si Manis adalah seorang makhluk (premis minor)

Jadi Si Manis mempunyai mata (kesimpulan)

Kesimpulan yang diambil bahwa Si Manis mempunyai mata adalah sah menurut
penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang
mendukungnya.
2. Prinsip prinsip etika menurut konvensi Helsinki 1 adalah
Pada tahun 1964, word medical Association (WMA ) menerbitkan deklarasi Helsinki I yang
berisi panduan bagi para dokter pada penelitian klinis.Pada deklarasi ini, kebijakan
dilaksanakan
oleh peneliti sendiri dan tidak diharuskan adanya pengawasan oleh pihak lain. Peneliti harus
memutuskan sendiri, apakah ada penyimpangan dalam penelitiannya atau tidak. Namun
ternyata, norma etik tanpa pengawasan sering terjadi penyimpangan etik

3. Perubahan yang mendasar menurut konvensi Helsinki 2 adalah


Pada tahun 1975 World Health Assembly ke-20 di Tokyo menerbitkan Deklarasi Helsinki II
yang merupakan revisi Deklarasi Helsinki I deklarasi ini mengharuskan protocol penelitian
pada manusia ditinjau terlebih dahulu oleh panitia untuk dilakukan pertimbangan, tuntunan,
dan diberi komentar Deklarasi ini juga mengharuskan peneliti untuk mencantumkan
pertimbangan etik (etichal clearance) Penelitian belum dapat dipublikasikan sebelum ada
etichal clearance perubaham pada konvensi Helsinki :
1) pada penelitian kesehatan yang melibatkan manusia sebagai subyek penelitian, peneliti
harus
memberi informasi tentang tujuan, metode, sumber biaya, segala kemungkinan konflik
kepentingan yang terjadi, institusi asal dan peneliti, manfaat dari penelitian, serta prosedur
untuk mencegah resiko yang dirugikan akan terjadi.
2) subyek yang menjadi subyek penelitian diberikan informasi mengenai hak untuk menjadi
subyek penelitian/ keluar ketika penelitian berlangsung
3) setelah memeastikan calon subyek mengerti tentang informasi penelitian, peneliti memberi
formulir yang disetujui oleh calon subyek
4) seluruh penelitian kesehatan memberi informasi tentang hasil yang akan dicapai
5) perhatian khusus untuk kelompok Wilnerable population

4. Jelaskan perbedaan complementary medicine dengan alaternative medicine


Perbedaan mendasar
 Praktik pelengkap (complementary medicine) bekerja bersama dengan obat konvensional
untuk hasil yang lebih baik. Teknik-teknik ini memperkuat hasil pengobatan tradisional.
 Pengobatan alternatif (alternative medicine) di sisi lain berfungsi sebagai pengganti
pengobatan konvensional.
Praktek
 Obat-obatan pelengkap melibatkan berbagai praktik dan teknik seperti terapi pijat,
akupunktur, yoga, meditasi, dan teknik relaksasi lainnya yang berfungsi luar biasa dengan
bantuan pengobatan konvensional.
 Prosedur alternatif memiliki teori dan teknik mereka sendiri dan tidak memerlukan
dukungan obat tradisional. Praktik-praktik ini independen dan kembali lebih awal dari obat
tradisional yang kita gunakan saat ini. Contoh-contoh terbaik dari pengobatan alternative
termasuk pengobatan naturopati, pengobatan homeopati dan pengobatan tradisional Tiongkok

Batasan
 Obat pelengkap memberikan hasil terbaik bila dikombinasikan dengan metode tradisional.
Tetapi kadang-kadang mereka mengganggu obat tradisional dan dapat menyebabkan efek
samping. Misalnya obat-obatan herbal tertentu dapat membatasi efek dari beberapa obat resep
seperti antidepresan dan pil KB.
 Pengobatan alternatif memiliki prosedur sendiri-sendiri dan meskipun sebagian besar
waktu
mereka memberikan hasil yang menguntungkan dalam beberapa kasus mereka tidak bekerja.
Seperti dalam kasus infeksi bakteri, metode ini tidak memberikan hasil yang diinginkan
sebagai pengobatan tradisional dengan anti-biotik.

Perbedaan penggunaan
 Obat komplementer dapat digunakan bersamaan dengan obat tradisional. Ini dapat
membantu pasien untuk merasa lebih baik dan mengatasi penyakit. Jenis obat ini melengkapi
efek obat konvensional.
 Pengobatan alternatif digunakan sebagai pengganti perawatan medis tradisional. Jenis obat
ini telah menunjukkan hasil yang menguntungkan tetapi dalam banyak kasus seperti pada
alternatif kanker

5. Integrative medicine
Integrative medicine (IM) atau kedokteran integrative adalah sebuah pengobatan yang
holistik/menyeluruh dalam mengobati individu. Dalam IM, pengobatan/perawatan individu
bukan hanya menyentuh aspek fisik namun juga psikologis,sosial dan spiritual. IM
mengedepankan pengobatan komplementer/alternatif atau Complementary Alternatif
Medicine (CAM), yang terbukti efektif secara evidence based dengan pengobatan
allopathic/konvensional.

Keunggulan dari IM?

-IM memilih sisi pengobatan terbaik dalam allopathic medicine/kedokteran


konvensional dengan kedokteran alternatif komplementer (Complementary Alternatif
Medicine) berdasarkan evidence based medicine, sehingga metode yang digunakan sudah
didasarkan evidence/bukti medis dari berbagai penelitian medis yang terpercaya, hal ini
penting agar hasil kesembuhan lebih cepat,lebih baik dan lebih aman.

-Pengobatan IM dapat digabungkan dengan metode pengobatan lainnya karena


prinsip pengobatannya yang memang memilih sisi terbaik dari kedokteran konvensional dan
CAM tersebut

-IM mengobati secara komprehensif/menyeluruh, bukan hanya aspek fisiknya saja,


aspek psikologis,sosial,spiritual juga disentuh agar penyembuhan/perawatan mencapai hasil
yang optimum.

-IM mengedepankan hubungan pasien dokter yang baik,dengan demikian pasien tidak
merasa sebagai objek penyembuhan namun turut terlibat aktif dan kooperatif dalam upaya
mencapai kesembuhan dan kesehatan yang optimal.Hubungan yang baik ini membuat pasien
tidak merasa sendiri dalam melawan penyakit yang dideritanya dan memiliki pembimbing
kesehatah individu yang terpercaya yang memahami dirinya secara menyeluruh

Integrative medicine: konsep pengetahuan yang menggabungkan berbagai macam


pengobatan baik conventional medicine, alternative, maupun complementary.

• Integrative Medicine adalah sebuah konsep pengobatan yang menggabungkan


berbagai macam pengobatan, baik pengobatan barat (conventional medicine), pengobatan
alternatif, maupun pengobatan komplementer. dengan memilih kelebihan masing-masing dari
semua pengobatan yang ada dan yang terbaik untuk pasien, yang mengobati tubuh secara
menyeluruh baik fisik, mental (emotional), dan spiritual. Pengobatan integratif
menggabungkan terapi komplementer yang ada beberapa bukti ilmiah berkualitas tinggi dan
pengobatan konvensional atas rekomendasi dokter konvensional.
• Menurut Hoenders dkk, Integrative Medicine adalah Kombinasi CAM
(Complementary and Alternative Medicine) dan biomedis. Pengobatan integratif dapat
didefinisikan sebagai “praktik kedokteran yang menegaskan kembali pentingnya hubungan
antara praktisi dan pasien, berfokus pada seluruh orang, diinformasikan oleh bukti, dan
memanfaatkan semua pendekatan terapi yang tepat, pelayanan kesehatan profesional dan
disiplin ilmu untuk mencapai kesehatan dan penyembuhan yang optimal” (Konsorsium,
2009). Bagian yang paling kontroversial adalah penggunaan "semua pendekatan terapi yang
tepat" karena termasuk penggunaan obat komplementer dan alternatif (CAM) dalam rumah
sakit konvensional / sistem perawatan (Hoffer & Hoenders, 2010).

• Dalam pengobatan integratif, prinsip kedokteran berbasis bukti diterapkan


pada perawatan reguler, komplementer dan alternatif. Ini menyiratkan bahwa dalam memilih
intervensi, seseorang harus memperhitungkan tingkat tertinggi bukti ilmiah yang tersedia
tentang berbagai opsi perawatan; nilai-nilai, preferensi dan kerangka acuan pasien; serta
profesionalisme dan pengalaman terapis (Sackett, Straus, Scott Richardson, Rosenberg, &
Haynes, 2000). Jumlah opsi dalam kedokteran terintegrasi lebih besar daripada dalam
perawatan kesehatan reguler karena mengikutsertakan CAM.

• Pengobatan komplementer dan alternatif bukanlah bidang tunggal. Ada


banyak sekali ide, termasuk seluruh sistem pengobatan (misalnya, TCM, Ayurveda,
homeopati), modalitas (misalnya, pijatan, pengobatan botani, praktik manipulasi), dan terapi
(misalnya, Reiki, sentuhan penyembuhan). Perawatan yang berpusat pada pasien dan
pemberdayaan pasien adalah komponen utama dari bidang-bidang ini, seperti halnya
komitmen untuk menangani aspek pikiran, tubuh, dan spiritual dari kesehatan. Sebagai
bidang kedokteran yang sedang berkembang, integrative medicine berupaya membangun
jembatan antara sistem medis konvensional dan alternatif serta menemukan cara terapeutik
dengan keefektivitasan biaya untuk menggabungkannya sehingga memiliki "the best of both
worlds" dengan tetap mempertahankan integritas setiap sistem.

• Integratif medicine memiliki beberapa komponen dan prinsip dalam


penerapannya dalam praktek sehari – hari yaitu patient-centered care, self management and
patient empowerment, communication and behavior change, continuity of care, new provider
models and group models.
• Salah satu contoh pelayanan kesehatan integrative medicine ialah yang ada di
Groningen, Belanda yaitu pusat psikiatri integratif yang menawarkan pelayanan kesehatan
mental konvensional dan komplementer.

6. Jelaskan bagaimana perlakuan hewan coba sesuai bioetik


Penelitian yang menggunakan hewan coba juga harus mengacu pada peraturan
perundang-undangan Nasional dan International, Komisi Etik Penelitian Kesehtan (KEPK)
dan Komisi Pemnfaatan dan Pemeliharaan Hewan (KPPH), dan prinsip dasar etik pengguna
hewan coba yang sudah di lakukan revisi deklarasi Helsinki Tokyo tahun 2014, yang
berbunyi:
• Butir 11: Penelitian kesehatan yang mengikutsertakan MSDP harus memenuhi
prinsip-prinsip ilmiah yang sudah diterima secara umum, didasarkan pada pengetahuan
seksama dari kepustakaan ilmiah dan sumber informasi lain, percobaan laboratorium yang
memadai, dan jika layak percobaan hewan.
• Butir 12: Keberhatian (caution) yang tepat harus diterapkan pada penelitian yang
dapat mempengaruhi lingkungan dan kesejahteraan hewan yang digunakan dalam penelitian
harus dihormati (respect).

Penelitian dengan menggunakan hewan percobaan secara etis dapat di


pertanggunganjawabkan hanya jika:
• Tujuan penelitian bernilai manfaat.
• Desain penelitian dibuat sedemikian rupa sehingga besar kemungkinan tujuan
penelitian tersebut akan dapat tercapai.
• Tujuan penelitain tidak mungkin dapat dicapai dengan menggunakan alternative
subyek atau prosedur yang secara etis lebih dapat diterima dan tidak mengurangi
semua
kaidah ilmiah yang diperlukan.
• Manfaat lebih besar dibandingkan dengan penderitaan yang di alami hewan coba.

Penelitian medis dan biologi yang menggunakan hewan coba menyepakati bahwa, hewan
percobaan yang menderita dan mati untuk kepentingan manusia perlu dijamin
kesejahteraannya serta diperlakukan secara manusiawi. Tiga prinsip dasar etik pelaksanaan
penelitian menggunakan hewan percobaan sebagai berikut:

1. Tiga pilar prinsip etik penelitian


a. Respect for Animal: setiap peneliti yang menggunakan hewan coba harus
menghormati hewan tersebut
b. Beneficence: bermanfaat bagi manusia dan makhluk lain
c. Justice: bersikap adil dan memanfaatkan hewan percobaan.

2. Prinsip etik penggunaan hewan percobaan


a. Reduction: penggunaan hewan dalam jumlah sekecil mungkin tetapi memverikan hasil
penelitian yang sahih
b. Replacement: 1) relatif, mengganti hewan percobaan dengan memakai organ, jaringan
hewan dari rumah potong, atau dari ordo yang lebih rendah; 2) Absolut, mengganti hewan
percobaan dengan memakai kultur sel jaringan/tissue culture, program computer
c. Refinement: mengurangi rasa distress dengan memakai obat analgetik, sedativa, anestesi
atau dengan melakukan prosedur secara benar oleh tenaga ahli teknisi yang terlatih.

3. Prinsip etik pemeliharaan / perlakuan terhadap hewan percobaan 5F (fredom)


a. Freedom from hunger and thirst, misalnya: pada Mencit, 1) pakan: kandungan nutrisi:
protein: 20-25%, lemak: 10-12% pati: 45-55%, serat kasar: max 4%, Abu 5-6%. Plus vit A:
15.000-20.000 IU/Kg, Vit D: 5.000 IU/Kg, Vit E: 50 mg/kg, Asam linoleat: 5-10 g/Kg, B1:
15-20 mg/Kg, Vit
B12: 30 ug/Kg; 2) jumla yang dimakan: 305 g per hari.
b. Freedom from pain,injury, diseases (bebas dari rasa nyeri, trauma dan penyakit), Caranya:
1) program promotif; 2) pencegahan penyakit: bioskurity, vaksinasi, dan medikasi; 3)
pengobatan: sesuai penyakitnya; 4) meminimalkan rasa nyeri: analgesik anathesia dan
euthania (metode fisik, inhalasi obat bius, suntikan obat bius).
c. Freedom from discomfort (ketidaksenangan) caranya: membuatkan kandang dengan
ukuran yang sesuai dengan lingkungan yang nyaman sebagai tempat tinggal, seperti suhu,
kelembaban, lampu penerangan, ventilasi, kebersihan kandang terkontrol, dan lain-lain.
d. Freedom from fear and distres (ketakutan dan kesusahan), caranya: 1) memberi kondisi
(lingkungan, perlakuan) kandang yang nyaman, 2) memberikan masa adaptasi dan latihan
sebelum diberi perlakuan, personil menangani hewan coba yang profesional.
e. Freedom express natural behavior (mengekspresikan tingkah laku alami): 1) memberikan
ruang dan fasilitas yang sesuai (pengayaan lingkungan yang sesuai dengan biologi dan
tingkah laku sp), mencari makan, dll., 2) memberikan sarana untuk kontak sosial (bagi sp
yang bersifat sosial) berpasangan atau berkelompok, memberikan kesempatan untuk
prooming, mating bemain, dll. 3) program pengayaan lingkungan (environmental dan
enrichment).

7. Publikasi merupakan hak tau kewajiban


Menurut KBBI, publikasi adalah pengumuman atau penerbitan tentangh objek-objek
tertentu. Kegiatan publikasi adalah kegiatan membuat konten yang diperuntukkan bagi publik
atau umum Sementara penggunaan yang lebih spesifik dapat bervariasi dimasing-masing
negara, biasanya diterapkan untuk teks, gambar, atau konten audio visual lainnya di media
apapun, termasuk kertas (seperti surat kabar, majalah, katalog, dll) atau bentuk penerbitan
elektronik seperti situs, buku elektronik, CD, dan MP3.
Publikasi ilmiah sistem publikasi yang dilakukan berdasarkan peer review dalam
rangka untuk mencapai tingkat objektifitas setinggi mungkin. "Sistem" ini, bervariasi
tergantung bidang masing-masing, dan selalu berubah, meskipun sering kali secara perlahan.
Sebagian besar karya akademis diterbitkan dalam jurnal ilmiah atau dalam bentuk buku.
Publikasi sebagai kewajiban artinya sebagai mahasiswa kedokteran (PPDS) membuat
suatu publikasi merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi sebagai salah satu syarat
kelulusan. Untuk itu setiap mahasiswa wajib untuk membuat suatu karya ilmiha yang
kemudian di tulis dalam artikel ilmiah, serta disebarkan (dipublikasikan) dalam suatu forium
ilmiah bisa dalam seminar ataupun dicetak dalam sebuah jurnal ilmiah yang terstandar, baik
secara nasional ataupun internasional.
Selain sebagai mahasiswa, seorang profesional (dokter) juga memiliki suatu
kewajiban terhadap komintasnya untuk terus dapat bersama-sama maju dan mengembangkan
ilmu pengetahuan. Maka dari itu, jika menemukan suatu hal baru (memiliki nilai noverly),
sudah menjadi wajib untuk dipublikasikan, agar bisa berbagi ilmu baru tersebut, dan semua
wpihak lain bisa memanfaatkan pengetahuan baru tersebut guna meningkatkan derajat
kesehatan masayarakat umum serta meningkatkan keilmuan mereka sendiri.
Di saat bersamaan bisa dikatakan bahwa publikasi juga dapat dilihat sebagai suatu
hak, baik sebagai mahasiswa ataupun sebagai profesional di bidang kesehatan. Sebagai
mahasiswa, meskipun mungkin publikasi dianggap sebagai beban tambahan dalam padatnya
jadwal perkuliaahn, namun bagi beberapa individu, dapat mempublikasikan karya/tulisan
ilmiahnya merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Jadi selain bisa mendapatkan keuntungan
berupa materi (dari orang yang membayar untuk hadir di seminar publikasi/ royalti orang
yang mengunduh tulisan di jurnal ilmiah), mahasiswa tersebut juga bisa meningkatkan
kebanggan dirinya di depan guru serta koleganya jika berhasil melakukan publikasi, terutama
jika dilakukan di jurnal internasional.
Jadi menurut hemat saya, jika harus mennetukan apakah publikasi adalah sebuah hal
atau kewajiban, menurut saya publikasi adalah keduanya. Sebagai mahasiswa PPDS saya
memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi guna memenuhi syarat kelulusan. Namun
sebagai dokter, saya punya hak melakukan publikasi dimanapun sesuai kemampuan saya
untuk meningkatkan kebanggan diri saya serta meningkatkan kemampuan dan keilmuan saya.
Karena setiap kali melakukan publikasi, pasti saya harus melakukan suatu penelitian dulu,
menulis artikelnya, dan dalam prosesnya pasti ada hal yang bisa saya pelajari.

8. Jenis kontribusi authors dalam publikasi ilmiah

Sekumpulan kriteria dikumpulkan oleh Komite Editor Jurnal ICMJE, menentukan


apakah seorang peneliti mempunyai hak untuk menempati posisi sebagai author antara lain :
terlibat dalam rancangan proyek penelitian, mengumpulkan data atau menganalisis hasil,
terlibat pada penyusunan draft atau revisi karya ilmiah, dan mereka harus setuju dengan hasil
akhir yaitu paper yang terpublikasi. Definisi tersendiri yang diajukan oleh Kosslyn (peneliti
bidang psikologi dari Stanford University in California), yaitu adanya elemen “kreatifitas”
yang dapat mempertajam konten penelitian dan menambah kontribusi penelitian berupa
seberapa banyak persentasenya, sehingga bobot penelitian menjadi bertambah. Pendekatan
yang paling netral dilakukan adalah langkah melalui kesepakatan bersama. Kadang
kesepakatan ini tetap saja bisa menimbulkan masalah, karena perbedaan posisi dan pengaruh.
Contoh yang paling nyata adalah seorang mahasiswa bimbingan, dimana
pembimbing “memaksa” mahasiswa bimbingannya ingin namanya ditempatkan sebagai
penulis pertama, sehingga mahasiswa akan sangat sulit menolak pembimbingnya jika sang
pembimbing “ngotot”  dan mungkin juga akan terjadi kasus sebaliknya, dimana mahasiswa
merasa bahwa dirinya berhak menjadi penulis pertama dengan berbagai alasan pendukung.
Berdasarkan dari sumber Falahah dan Abdul hamid bahwa penentuan posisi penulis pertama
ini terkait oleh berbagai kepentingan, misalnya:
1. Inisiatif : disini siapa yang pertama kali mempunyai inisiaif mempublikasikan tulisan
tersebut.  Jika inisiatif datangnya dari dosen pembimbing dan melibatkan mahasiswa,
kemungkinan besar penulis pertamanya adalah dosen tersebut.
2. Pengerjaan manuskrip : disini siapa yang paling dominan dalam mengerjakan
manuskrip. Topik yang diambil dari penelitian berupa skripsi, proyek akhir atau tugas
akhir, biasanya tidak langsung siap menjadi paper yang harus ditulis dengan format
dan standar tertentu. Dosen biasanya lebih mahir mengubah dokumen tugas akhir
tersebut menjadi sebuah paper dalam format yang lebih layak, oleh karena itu
seringkali laporan tugas akhir atau proyek akhir tersebut mengalami perbaikan atau
perubahan besar sebelum menjadi paper yang layak.
3. Isu utama: disini siapa yang pertama kali menginisiasi isu utama atau usulan solusi
yang paling signifikan pada laporan tersebut.  Topik ini dapat berasal dari mahasiswa
maupun dosen pembimbing dan seberapa besar kontribusi ide atau pengembangan
topik tersebut, sehingga menjadi sebuah produk penelitian yang layak.
4. Tanggung jawab konten : disini siapa yang merasa paling bertanggung jawab terhadap
konten tulisan secara ilmiah.  Jika tanggung jawabnya dominan di mahasiswa maka
nama mahasiswa berhak dicantumkan sebagai penulis pertama. Bentuk tanggung
jawab ini misalnya jika kemudian hari terjadi klaim atas karya ilmiah tersebut, maka
yang terkena sanksi akademik terberat adalah penulis pertama atau penulis utama.
5. Dukungan biaya : disini ini tentunya merupakan penentuan terakhir, yaitu penulis
pertama adalah mereka yang akan menanggung pembiayaan atas publikasi karya
ilmiah tersebut, mengingat di Indonesia, masih banyak publikasi karya ilmiah yang
memerlukan biaya.

Kesepakatan bersama bisa dijadikan solusi yang paling cocok, dan tentunya semua pihak
yang namanya dicantumkan pada karya ilmiah sebaiknya ada hitam diatas putih semacam
persetujuan baik lisan maupun tertulis. Nama penulis yang ditempatkan pada posisi karya
ilmiah maupun artikel tidak hanya sekedar mendatangkan point tambahan bagi nama-nama
tersebut tetapi juga harus diikuti oleh etika dan tanggung jawab yang besar atas konten karya
ilmiah yang ditulis.

9. Perspektif Neurobiologis Hubungan Ketuhanan dan Kemanusian


Pendekatan neurobiologis adalah pendekatan yang menjelaskan hubungan antara
perilaku yang dapat diamati dan kejadian mental/jiwa
- Adanya hubungan transenden (suatu hal yang supranatural), dimana Tuhan
menciptakan struktur nanobiologi, lalu mengatur proses sadarnya. Sedangkan manusia
adalah bagian imanen, bersifat fisik, yang neurobiologiknya berjalan dengan evolusinya.
- Selain itu prinsip hubungan ini mereka yang percaya pada Tuhan dan melakukan
tindakan – tindakan kemanusiaan dan memiliki kesehatan mental yang lebih baik dari
yang percaya tapi tidak melakukan kegiatan kemanusiaan atau malah merusak
kemanusiaan itu sendiri.
- Jika diumpamakan bahwa agama adalah nucleus, sebuah sel yang berisi sejumlah
genetika manusia yang membentuk genotip manusia makan kemanusiaan adalah
fentipnya (sesuatu yang di tampilkan alias tampak dari luar dan bisa dilihat dengan mata
telanjang) meski genotip dan fenotip itu memiliki dimensi sendiri sendiri, tetatpi terdapat
suatu hubungan yang sangat kuat diantara keduanya
Uraian Romo Franz Magnis-Suseno dalam orasi ilmiahnya, “Agama, Demokrasi dan
Kebangsaan”, memberikan suatu kesan bahwa, sebagaimana dia bersetuju dengan almarhum
Nurcholish Madjid (Cak Nur), agama hanya akan menjadi bernilai jika agama itu tidak
mengabaikan kemanusiaan. Agama justru tampak sebagai sebuah jalan keluar positif hanya
jika ia memberikan porsi penghormatan yang tinggi bagi kemanusiaan. Jika diumpakan
bahwa agama adalah nucleus sebuah sel yang berisi sejumlah materi genetika manusia yang
membentuk genotip manusia, maka kemanusiaan adalah fenotip-nya; sesuatu yang
ditampilkan alias yang tampak dari luar dan bisa dilihat dengan mata telanjang. Meski
genotip dan fenotip itu memiliki dimensi sendiri-sendiri, tetapi terdapat suatu hubungan yang
sangat kuat di antara keduanya.   

Perwujudan kemanusiaan dari agama antara lain berbentuk penghormatan atas hak-hak asasi
manusia (HAM). HAM tidak saja menjadi asasi (dasar) bagi manusia. Lebih dari itu, HAM
merupakan sebagian kemuliaan Tuhan yang diberikan pada manusia. Mereka yang tidak
menghormati HAM, menurut Romo Magnis, tergolong mereka yang tidak menghormati
Tuhan yang menciptakan manusia. 

HAM menjadi sangat penting terutama dalam kaitannya dengan demokrasi dan keadilan
sosial. Dengan demokrasi, karena demokrasi memberdayakan masyarakat dan HAM
membuat pemberdayaan itu nyata. Dengan keadilan social, karena keadilan sosial tidak
tercipta dengan percaya pada kebaikan hati saja melainkan dengan memberdayakan rakyat,
dan pemberdayaan itu tercapai dengan penghormatan atas HAM. 
Fenotip kemanusiaan dari agama juga harus menampilkan penghormatan yang tinggi
terhadap kemajemukan. Penghormatan terhadap kemajemukan diwujudkan dengan sikap
menolak setiap wajah keras, mengancam, membenci dan meremehkan mereka yang berbeda. 

Sudut Pandang 

Tulisan ini mencoba menelusuri hubungan ketuhanan dan kemanusiaan dari perspektif
neurobiologi. Saya percaya bahwa hubungan Tuhan dan manusia tidak semata-mata soal
hubungan sosiologis atau paling jauh filosofis, sebagaimana diurai Romo Magnis (dengan
mengacu pada ide Cak Nur) tentang kemestian kepercayaan pada Tuhan atau beragama yang
wajib mewujud dalam bentuk kemanusian. Hubungan itu juga bersifat biologis, yang
setidaknya tampak pada kenyataan bahwa mereka yang percaya pada Tuhan dan melakukan
tindakan-tindakan kemanusian memiliki kesehatan mental yang lebih baik dari yang percaya
tapi tidak melakukan kegiatan-kegiatan kemanusia atau malah merusak kemanusiaan itu
sendiri. 

Saya juga ingin menyatakan bahwa mewujudkan sisi kemanusiaan dari agama tidak bisa
dilepaskan dari aspek-aspek internal diri manusia, seperti tipe kepribadian dan watak (trait)
yang memengaruhi cara manusia memersepsi Tuhan (atau agama) yang dipercayainya.
Karena itu, membicarakan sisi kemanusian dari agama tidak bisa dilepaskan begitu saja dari
pemahaman atas dunia internal manusia, yakni dunia persepsional. Kemanusiaan juga
mewajibkan pemahaman yang sungguh-sungguh tentang manusia. Teori-teori kepribadian
menyatakan bahwa kepribadian dan watak manusia meski ditentukan secara genetika, tetapi
sangat dipengaruhi oleh interaksi manusia dengan lingkungannya. Hubungan timbal balik
manusia dan lingkungannya harus menjadi titik penting dalam memahami perwujudkan
kemanusian dari agama. 

Kita boleh saja memercayai Tuhan yang sama, mengikuti ajaran yang sama, tetapi kita belum
tentu memiliki pemahaman mengenai-Nya, alih-alih perwujudan kemanusiaan yang sama
dari-Nya. Cara seseorang mengimplementasikan kemanusiaannya seringkali merupakan hasil
dari cara dia memandang lingkungannya. Sangat masuk akal jika penulis seperti Karen
Armstrong—dalam karyanya Sejarah Tuhan (Mizan, 2001) menyadari bahwa Tuhan yang
dipercaya manusia itu memiliki “sejarah” dan memiliki “masa depan”. “Sejarah” dan “masa
depan” Tuhan nyatanya tidak sama sepanjang waktu. Tuhan “menyejarah” dalam setiap tapak
jalan kehidupan manusia dan sangat bergantung pada aspek persepsional dan kondisional
manusia. 

Aspek persepsional dan kondisional inilah yang membuat agama seperti naik-turun dan
penuh dinamika dalam perwujudan kemanusiaannya. Pikiran manusia menjadi variabel
sangat penting dalam hal ini dan, sialnya, pikiran itu juga bisa dikondisikan oleh lingkungan.
Studi sejumlah ilmuwan otak tentang apa yang disebut neuroplastisitas otak menunjukkan
bahwa otak pun secara mikrostruktur bisa berubah sebagai respon terhadap lingkungan.
Orang yang sejak lahir mengalami kerusakan otak parietal kanan, yang berfungsi sebagai area
bagi pemetaan ruang (spasial mapping), akan memindahkan tugas itu ke otak parietal kiri,
yang sejatinya berfungsi untuk matematika. Demikian juga sebaliknya. Penderita yang
diamputasi tangannya sehingga bagian motorik otak kehilangan fungsi atau kurang berfungsi.
Dari sejumlah riset diketahui bahwa penderita yang kehilangan kemampuan bergerak akibat
tanganya diamputasi oleh pelbagai sebab, akan menunjukkan penurunan kinerja dalam bagian
yang mengurus pergerakan di otak. 

Dari perspektif di atas kita sepatutnya meletakkan dengan tepat bagaimana posisi manusia di
belantara lingkungannya di saat dia harus mewujudkan sisi kemanusiaan dari agama dan
Tuhan yang diyakininya. Studi Gallup-Baylor (2006) perihal empat wujud Tuhan menurut
persepsi orang Amerika membuktikan bahwa dalam lingkungan yang sudah begitu terkondisi
dengan baik pun masih saja ada orang yang memersepsi Tuhan sebagai figur yang “jauh”,
suka menghukum dan menekan. Persepsi seperti ini kemudian melahirkan radikalisme
sebagai “prajurit-prajurit Tuhan”. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman: 

Aku berada pada sangkaan hamba-Ku, Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku, jika ia
mengingat-Ku pada dirinya maka Aku mengingatnya pada diri-Ku, jika ia mengingat-Ku
dalam suatu kaum, maka Aku mengingatnya dalam suatu kaum yang lebih baik darinya, dan
jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku mendekat padanya satu hasta, jika ia
mendekat pada-Ku satu hasta maka Aku mendekat padanya satu depa, jika ia datang kepada-
Ku dengan berjalan kaki, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari. (HR Abu
Hurairah, ditulis dalam kitab Turmudzi nomor hadits 2310) 

Terdapat suatu hubungan yang jelas antara persepsi seseorang tentang Tuhan dan pengalaman
relijius yang mereka rasakan dan pada gilirannyanya nanti dalam perilaku kemanusiaan yang
mereka tunjukan. Persepsi tentang Tuhan membentuk perilaku kemanusiaan
seseorang.           

Dunia Persepsional

Menurut pendapat para psikolog kognitif, dunia ini sejatinya ada tiga wujud. Ketiganya
berada dalam ruang berbeda sekalipun ketiganya berposisi tumpang tindih. Yang pertama
adalah dunia proporsional, dunia faktual sebagaimana adanya, sebagaimana dihamparkan di
alam semesta dan dihamparkan di depan manusia. Dunia ini sering disebut realita. 

Yang kedua adalah dunia persepsional, dunia sebagaimana dipahami oleh manusia atas
segala realitas yang dihamparkan di depannya. Dunia ini ada dalam benak setiap orang.
Menurut kajian para psikolog kognitif, dunia ini adalah dunia paling rumit. Di sinilah terjadi
abstraksi atas segala sesuatu yang memungkinkan hal-hal atau sesuatu yang sama pada dunia
proporsional menjadi berbeda saat masuk ke dunia ini. Ajaran agama (disebut syari”i dalam
istilah islamologi) berada dalam dunia proporsional yang kemudian menjadi berbeda
(disebut fiqh) dalam dunia persepsional. Fenomena ini dapat menjelaskan mengapa
kata jihad memiliki pengertian yang berbeda dalam benak seorang teroris dan seorang
Muslim moderat. Juga, mengapa Tuhan yang Satu itu dipahami menjadi empat bentuk
berbeda dalam benak orang Amerika sebagaimana disimpulkan dari riset oleh Baylor
Institute for studies of religion (BISR; 2006). (Frose and Bader, America’s Four
Gods, Oxford 2010). Riset yang dilakukan Daniel Amin (Healing the hardware of the
Soul, Free Press, 2002) menemukan fakta bahwa pada mereka yang otaknya sehat Tuhan
sering dipersepsi dalam kaitan dengan cinta, semangat, permaafan dan harapan. Sementara
pada mereka yang mengalami gangguan otak, seperti pada penderita depresi dan obsesif-
kompulsif Tuhan dipersepsi dalam kaitan dengan kemarahan, kejauhan, suka menghukum,
kaku dan mengawasi.

Dalam konteks dunia persepsional ini, persoalan kita tidak sesederhana dinyatakan oleh
Romo Magnis, bahwa “kita harus menolak agama dengan wajah keras, keagamaan yang
mengancam dan membenci dan meremehkan mereka berbeda.” Benar bahwa kekerasan atau
ancam-mengancam tidak baik dalam beragama, tetapi jangan sampai kita lupa bahwa agama
(tepatnya ajaran agama) adalah suatu dunia sendiri dan persepsi penganutnya terhadap ajaran
agamanya adalah suatu dunia yang lain juga. Ajaran Islam penuh kekerasan yang ditampilkan
oleh para teroris atau yang ditampilkan anggun oleh para mujahid ilmuwan (para saintis yang
menguak fenomena ciptaan Tuhan) tentulah berbeda dari agama yang ditampilkan oleh para
sufi, fisuf atau pengikut tarikat tertentu. Disinilah letak masalahnya. Musuh kita
sesungguhnya bukanlah tindakan kekerasan atau ancam-mengancam itu sendiri, tetapi justru
pikiran yang berisi tafsiran-tafsiran yang memicu tindakan. Meminjam istilah ilmu
hukum, mens rea-nya manusia harus dipahami secara lebih baik dibandingkan actus reus-
nya. Komponen mental (mens rea) itu menjadi variabel penting menemukan akar kekerasan
atas nama agama ataupun penodaan kemanusiaan dalam hubungan antaragama. Sejarah
agama-agama – bahkan sejarah Tuhan versi Karen Armstrong – adalah sejarah pikiran
manusia alias sejarah persepsi tentang Tuhan. 

Tuhan yang dipikirkan manusia 

Dengan melukiskan figur Tuhan sebagai figur yang terlibat dalam kehidupan manusia
(engaged) dan Tuhan sebagai pemberi hukuman (judgemental) para peneliti yang tergabung
dalam studi Gallup-Baylor (BISR, 2006) tentang pandangan orang Amerika terhadap Tuhan
menemukan adanya empat persepsi atau empat bentuk Tuhan: “Benevolent God” (more
engaged, less judgmental), “Authoritative God” (more engaged, more judgmental), “Critical
God” (less engaged, more judgmental), dan “Distant God” (less engaged, less judgmental).
Menarik untuk disimak bahwa persepsi perihal empat wujud Tuhan itu dipengaruhi
lingkungan keluarga di mana seseorang dibentuk dan kemudian menentukan perilaku seperti
apa yang ditunjukkan seseorang dalam kehidupannya sehari-hari, termasuk afiliasi seseorang
dengan partai politik.

Mereka yang memersepsi Tuhan sebagai Authoritative God dan Benovalent God merasakan


adanya panggilan Tuhan dan seperlima di antara mereka melaporkan mendengar Tuhan
“berbicara” pada mereka. Ini tentu bukan halusinasi pendengaran sebagaimana dimaksudkan
dalam ilmu kedokteran jiwa, yang menandai seseorang yang menderita gangguan jiwa. Ini
jelas, karena subyek yang diteliti bukanlah penderita gangguan jiwa. Namun, “mendengar
bisikan atau perintah Tuhan” merupakan salah satu ciri dari mereka yang menjadi pembawa
suara Tuhan atau prajurit-prajurit Tuhan. Mereka yang melihat Tuhan sebagai figur
otoritarian memahami hukuman Tuhan dalam bentuk bencana atau penyakit sebagai bagian
dari tindakan Tuhan bagi manusia. Dalam bentuk ini kita bisa meletakkan para teroris atau
yang berjuang dengan alasan bahwa Tuhan sudah murka dengan manusia sehingga Dia
menimpakan pelbagai penyakit dan bencana bagi manusia. 

Mereka yang memersepsi Tuhan sebagai Critical God  dan Distant God merasakan dipanggil


Tuhan, meskipun tidak ada seorang pun dari mereka yang melaporkan mendengar Tuhan
“berbicara” pada mereka. Mereka juga merasakan adanya mukjizat dalam kehidupan ini.
Sedangkan mereka yang memersepsi Tuhan sebagai Distant God atau mereka yang tidak
percaya pada Tuhan (atheis) tidak menerima adanya mukjizat dalam kehidupan ini meskipun
masih memahami dengan pandangan religius bahwa Tuhan terlibat dalam kehidupan ini.
Menarik untuk dicatat adanya kesamaan antara mereka yang tak percaya pada Tuhan (atheis)
yang merasakan penyatuan dengan alam semesta seperti dirakan oleh mereka yang percaya
pada Tuhan sebagai Distant God. 

Beragam persepsi mengenai Tuhan ini juga membentuk perilaku para subyek, dalam hal ini
ketika mereka memilih identitas politik mereka. Identitas politik kalangan konservatif adalah
prosentase terbesar dari mereka yang melihat figur Tuhan sebagai Authoritative
God. Sedangkan identitas politik liberal besar prosentasenya pada kelompok atheis. 

Ketuhanan dan Kemanusiaan 

Dengan mengacu kepada studi Gallup-Barley (2006) di atas tampak jelas bahwa cara persepsi
seseorang terhadap Tuhan memberikan pengaruh terhadap beberapa aspek kehidupan,
termasuk identitas politik. Ini menjadi serangkaian bukti bahwa implementasi kepercayaan
dan keyakinan seseorang pada Tuhan – dalam bentuk kemanusiaan sejati – memiliki domain
kognitif yang besar. 

Ini dapat diartikan bahwa cara berpikir manusia menempati posisi penting dalam merangkai
kemanusiaannya. Sejauh persepsi dan cara berpikir seseorang tidak tercerahkan, maka
kemanusiaan atas nama agama akan menjadi hal yang absurd. Kita tidak cukup hanya dengan
berkata-kata, menulis atau melakukan sesuatu yang bersifat simtomatis (merespon apa yang
ditunjukkan). Kita harus masuk ke dalam cara manusia berpikir untuk menemukan sesuatu
yang bersifat etiologis (sebab-musabab)-nya. Sejauh ini, dalam pengamatan saya, sisi
kemanusiaan dari agama masih dipahami sebagai suatu gejala atau suatu yang bersifat
simtomatis. Akibatnya, ibarat ibarat sebuah penyakit, kita hanya dapat menuntaskan keluhan
(simtom) tanpa bisa membasmi sebab-musababnya. 

Mengubah cara pandang menjadi suatu yang niscaya dalam hal ini. Di sinilah saatnya kita
bicara pendidikan sebagai sarana penyadaran, sarana brain-washing yang sangat canggih.
Pendidikan harus direkayasa sedemikian rupa sehingga kita masuk pada jantung dari
perubahan persepsi. 

Sekolah terbaik adalah keluarga, karena di sinilah tempatnya persepsi manusia tentang Tuhan
yang diyakininya dibentuk. Tanpa menyentuh sisi keluarga sebagai bagian penting
pendidikan akan terasa sulit membangun persepsi yang tercerahkan. Itulah sebabnya,
program-program pendidikan harus bisa menjangkau hingga level keluarga. Membangun
pandangan tentang ketuhanan yang mewujud dalam kemanusiaan tidak akan selesai dalam
sekolah formal saja. 

Sudah waktunya, para pejuang kemanusiaan memberi perhatian yang serius pada level
keluarga. Sejauh pengamatan saya selama ini, perhatian lebih banyak dicurahkan pada level-
level formal atau setidaknya dalam diskusi-diskusi di ruang publik. Ruang privat dalam
keluarga baru sedikit dijamah. Saya membayangkan adanya suatu kurikulum pendidikan
yang dilakukan dalam keluarga (bukan di sekolah formal) perihal ketuhanan dan
kemanusiaan ini.

Selain dunia proporsional dan dunia persepsional di atas, dunia yang ketiga adalah
dunia kultural, dunia tempat di mana nilai-nilai sudah tersistematisasi sebagai sains, filsafat
dan teknologi. Dunia ini kuat pengaruhnya pada dunia persepsional. Dengan menggunakan
pendekatan neuroplastisitas otak dapat dikatakan bahwa dunia kultural inilah yang bisa
mengubah dunia persepsional manusia. Dunia ini bisa mengubah struktur otak manusia, agar
menyesuaikan-diri dengan dunia kultural itu sendiri. 

Dalam karya bersama mereka, The Self and its Brain (1977), filsuf terkenal Karl Popper dan
ahli otak dan perilaku (neuropsikolog) John Eccles berusaha membuat sistematisasi perihal
tiga dunia yang dimiliki manusia di atas dan menjadikannya lebih ilmiah. Dunia proporsional
atau dunia-1 mereka sebut sebagai physical object and states, dunia persepsional atau dunia-
2 mereka sebut state of consciousness, dan dunia kultural atau dunia-3 mereka
sebut knowledge in objective sense. Teori tiga dunia dari Eccles dan Popper ini menjadi
rujukan menarik untuk memahami survey Gallup-Baylor tentang God Perception masyarakat
Amerika, seperti akan saya diskusikan di bawah

10. Tujuan Hidup Saya


Dalam hidup saya ada target 5 tahun ke depan yaitu
1. Menyelesaikan kuliah PPDS MIkrobiologi Klinik tepat waktu sekitar 3,5 -4 tahun
2. Mengambil Kuliah S2 M. Biomedik dan menyelesaikan dalan waktu 2 tahun
3. Setelah selesai kuliah maka saya akan kembali ke daerah saya yaitu di NTT
kabupaten Kupang untuk bertugas di RS dan juga sebagai akademisi di Fakultas
Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang NTT.
4. Mengabdikan ilmu dan kompetensi saya sebagai dokter untuk membangun jejaring
kesehatan yang memadai di Indonesia Timur khususnya NTT
5. Menikmati peran saya sebagai Ibu dan istri ,anak di keluarga saya
6. Senantiasa bersyukur dan berusaha menjadi orang yang berguna bagi orang di sekitar
kita

Anda mungkin juga menyukai