Anda di halaman 1dari 21

MASA SEKOLAH

DAYAT
XII IPA 4
SAMA NEGERI 1 DUSUN TENGAH
Chapter 1
Teman Di Sebelahku Cewek

Menurut kebanyakan orang sekolah adalah tempat untuk belajar dan menuntut ilmu. Akan
tetapi menurutku tidak hanya itu, Sekolah adalah tempat di mana datangnya perasaan campur
aduk. Mulai dari menyenangkan, kesel, pusing, dan capek.
Pada saat awal tahun ajaran sekolah SMA, aku baru saja pindah rumah dari desa ke kota.
Aku berlari dengan cepat ke sekolah seperti dikejar - kejar anjing, melewati berbagai
simpangan dan gedung-gedung tinggi seperti pencakar langit. Pada saat sampai di depan
gerbang sekolah aku terengah - engah menghela nafas. Kemudian aku melihat sesuatu tidak
jauh dari gerbang.
"Nama pak guru adalah Budiman. kalian bisa memanggil dengan pak Budi."
Sampai di depan kelas, pak guru sedang melakukan orientasi di kelas dengan wajah
seram dan tegas. Para murid duduk di kursi dengan rapi. Aku masuk dengan perlahan kaki
berjingkat-jingkat, dadaku berdegub dengan kencang, dan aku ingin menutup mukaku karena
malu.
"Oh, hari pertama sudah kesiangan bangun, ya?"
Pak guru mengatakannya dengan pandangan dingin ke depan para murid.
"Bukan, saya…,"
Aku menjawab dengan ragu.
"Bapak akui keberanianmu itu."
"Bukan…,".
"Siapa namamu?"
Pak guru menoleh ke arahku dengan mata seperti ingin keluar.
"Nama saya Aditya."
"Baiklah, duduk saja."
"Ba-baik."
Aku langsung duduk di kursi yang kosong. Semua murid melihatin aku dengan
pandangan tidak baik. Aku tidak punya pilihan lain, aku harus berkenalan dengan mereka
biar tidak dicap sebagai siswa suka terlambat. itulah yang kupikirkan.
"Baiklah kita atur tempat duduk."
Kata pak Budi.
"Ehh"
Aku mendapatkan kursi paling belakang, kesialan apa yang aku dapat. Biasanya aku akan
senang, tapi ini tidak ada untungnya bagiku. Apalagi, di sampingku cewek, dengan rambut
yang panjang terurai dan memiliki wajah cantik.
"Kamu beneran ketiduran?"
"Eh..?"
Dia mengajak aku berbicara.
"Kamu seperti mau bilang sesuatu ke pak guru tadi."
"Ahh, ya..,. Sebenarnya sih...., ini gara - gara Nindy."
"Huh…,"
"triiiing….." Bel upacara awal perkenalan sekolah berbunyi.
"Jangan -jangan?"
Nindy kebingungan.
"Baiklah sampai di sini saja, jangan ada yang berlari - lari."
"Baik…"
Mendengarkan pidato dari Kepala Sekolah membuat mataku ingin tertutup dan berdiri
jadi tidak tegap. Setelah selesai semua murid kembali ke kelas, sambil saling berbicara
masing - masing. Seorang laki - laki menepuk pudakku.
"Kamu hebat juga ya.., terlambat di hari pertama."
"Ah,enggak…"
"Cukup mengocehnya dan duduklah," kata pak Budi.
"Loh..?"
Cewek yang duduk di sampingku masih belum kembali.
"Maaf saya terlambat," kata cewek itu.
"Ya, lekas duduk."
"Hei, Aditya,"
Cewek itu berbisik denganku.
"Huh?"
"Mau kutebak alasan kenapa kamu terlambat pagi ini? Kalau berhasil jawab aku yang
menang, ya."
Cewek itu mengatakannya dengan percaya diri.
"Boleh."
Aku berpikir mana mungkin berhasil dalam sekali tebak?
"Kamu mengantar barang yang jatuh, kan?
"Ehh, kok bisa?"
Saking terkejutnya aku sampai berdiri dari kursi.
"Hei, jangan berisik Aditya"
"Maaf, pak"
"Kok bisa, ya…?"
Dia memperlihatkan barangnya dengan bertuliskan nama Nindy.
"Huh, kamu Nindy?"
"Kamu tidak ada pas perkenalan diri, sih."
"Ahhh,urrrgh."
Berulang-ulang ku tunduk, naikkan kepalaku di atas meja.
"Hahaha, reaksi macam apaan itu?"
Melihat reaksiku, Nindy tertawa dengan keras.
"Woi, berdua dibelakang jangan berisik."
"Maaf."
"Makasih telah diambilkan, ya. Namaku Nindy salam kenal."
"Hah… ya, salam kenal juga."
Dadaku berdegub-degub seperti sedang bermain drum, dan setiap aku melihat Nindy
wajahku menjadi merah berseri-seri.
"Hari ini bapak cukupkan sampai di sini saja, tapi pelajaran akan di mulai besok."
"Baik."
Chapter 2
Ketua Kelas

Hari pertama SMAku memang apes banget, bukan hanya terlambat ke kelas tapi aku
mendapatkan kursi yang paling belakang. Karena kejadian itu aku tidur berganti-ganti posisi
terlentang bahkan menyamping, akan tetapi tetap saja aku kesusahan untuk tidur.
Pada saat aku bangun pagi, aku akhirnya bangun kesiangan. Aku bergegas mandi dan
tidak sempat sarapan. Saat aku sampai di kelas pak Budi baru saja duduk di kursi.
"Maaf, pak…"
"Cepat duduk di kursimu."
"I-iya."
"Hari ini kita memilih siapa yang akan menjadi ketua kelas."
Saat aku duduk Nindy tersenyum melihatku.
"Hari ini hampir saja, ya?"
Nindy berbicara denganku.
"Huh, iya"
"Bagaimana kalau kita bertanding lagi?
"Bertanding?"
"Iya, jika aku bisa menjawab, aku menang lagi."
"Oke."
"Kamu pasti… mmm… kesiangan?."
"Ehh.."
Aku terkejut dengan keras sampai-sampai seperti mengunakan pengeras suara.
"Yang di belakang jangan berisik."
"Ma-af."
"Haha...hehe…"
Entah kenapa? Aku merasa sedang dikerjai oleh dia.
"Baiklah untuk taruhannya…."
"Huh, ada taruhannya?"
"Iya, iyalah kalau tidak tidak akan seru."
"Huh…. baiklah."
"Mmm…? Sekarang kamu harus angkat tangan kananmu"
"Ehh..? memangnya ada apa?"
Aku langsung mengangkat tanganku tanpa pikir panjang.
"Baiklah Aditya yang akan menjadi ketua kelas."
Pak guru langsung menunjuk aku.
"Ehh… bu-bukan pak.?"
"Ini tidak bisa dibantah lagi."
"Tidak…"
"Hehehe…"
Nindy tertawa sambil memegang perutnya. Sudah kuduga dia sedang menjahiliku dengan
membuatku malu.
"Baiklah, sekarang siapa yang mau menjadi wakil ketua kelas?"
"Aku tidak mau."
"Ketuanya saja sering terlambat."
"Pasti akan menyusahin saja."
Semuanya siswa berbisik-bisik membicarakan aku.
"Pak."
Nindy mengangkat tangannya.
"Huh?"
Aku hanya berpikir sebenarnya dia itu baik atau tidak.
"Baiklah, Nindy yang akan menjadi wakilnya. Apakah ada yang lain?"
"Triiiiiiing" bel istirahat berbunyi
"Kita lanjutkan sisanya nanti, sekarang kalian istirahatlah."
Pada saat jam istirahat semuanya pergi dengan berbicara masing - masing. Tapi seorang
laki - laki menepuk pundak ku
"Yah…, kamu hebat sekali sering terlambat tapi ingin menjadi ketua kelas."
"Bukan…"
"Perkenalkan namaku Alvin, salam kenal."
"Iya… Adit, salam kenal juga."
"Bagaimana kalau kita ke kantin?"
"Oh… Iya."
Di kantin ramai sekali murid yang ada, membuat kami tidak bisa duduk.
"Bagaimana kalau kita duduk di sana saja" kata Alvin.
Di meja itu ada cewek dari kelas yang sama.
"Boleh kami duduk di sini?"
Cewek itu menatapku dengan mata yang tidak enak.
"Ohh… ternyata ketua kelas yang
sering terlambat."
"Ehh…?"
Cewek itu langsung berdiri dan pergi.
"Ahh… aku sudah dicap sebagai siswa sering telat."
"Tenang Dit, masih banyak cewek lain."
"Huh…? Aku mau makan duluan."
Aku menghabiskan makananku dengan cepat karena aku tidak sempat sarapan pagi tadi.
"Adit, apa kamu baru saja di kota ini?"
"Ahh…? ya. Aku baru pindah rumah."
"Ehh…"
"Bagaimana denganmu?"
"Aku?"
"Iya."
"Aku dari kecil tinggal di toko buku tidak jauh dari sini."
"Ohh… kamu yang punya toko buku itu?"
"Ya, bisa dikatakan begitu."
"Oh, kalau begitu nanti aku mampir."
"Iya, silahkan saja."
"Baiklah, ayo kita kembali"
"Iya."
Setelah itu, sampai di kelas semua murid duduk di kursinya masing-masing dengan rapi
tidak ada suara sedikit pun, pak guru melanjutkan memilih seksi-seksi lainnya.
"Siapa bersedia menjadi sekretaris?"
Cewek yang berada di kantin tadi mengangkat tangannya. Namanya Yuli, tubuh
tinggi tidak kurus, tidak juga gemuk.
"Sekarang sekretaris dua?"
Alvin mengangkat tangannya.
"Terakhir bendahara?"
"Pak."
Yang terakhir cewek dengan kacamata, rambut dikepang seperti kutu buku.
"Baiklah, untuk yang lain harus bekerja sama. Dan Aditya."
"I-iya."
"Jangan terlambat datang lagi"
"Baik."
Menjadi ketua adalah sesuatu yang tidak disangka-sangka. Semuanya itu gara-gara
Nindy.
"Ada apa, Aditya?"
"Huh...? Emangnya kenapa, Nindy?"
"Kamu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu."
"Aku tidak ada… memikirkan apapun?"
Aku memalingan mataku dengan wajah merah berseri-seri ke samping.
"hmm…. benarkah?"
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Aku terdiam dan kutunduk kepalaku di atas meja.
Pokoknya aku tidak ingin lagi berurusan dengan Nindy, kalau tidak akan terjadi masalah lagi.
Saat aku menoleh ke arah Nindy, dia juga melihat ke arahku dengan wajahnya yang cantik
dan tersenyum seperti bidadari kahyangan.
Chapter 3
Piket Pagi

Saat pagi-pagi aku berjalan dengan santainya ke sekolah langkah demi langkah aku
minginjakkan kakiku perlahan. Aku bangun pagi-pagi sekali, karena sekarang aku menjadi
ketua kelas harus bisa mencontohkan seorang siswa yang rajin dan hari ini aku kebagiaan
piket membersihkan kelas. Pada saat di bawah kelas, aku melihat Nindy sedang duduk di
samping jendela seperti sedang menunggu seseorang.
"Apakah dia kena piket juga untuk apa dia pagi-pagi kesekolah?."
Saat aku sampai di kelas pintu terbuka dan tidak ada seorang pun di sana.
"Ke mana wanita yang ada di jendela tadi. Apakah hanya imajinasiku saja?"
Tapi aku merasakan sesuatu yang mengganjal seakan-akan sedang dimata-matai. Aku
menjadi waspada. Aku melihat sekeliling kelas dengan mata tidak berkedip. Dari kursi paling
belakang aku melihat ada sepatu di bawah meja guru. Tidak salah lagi itu pasti punya wanita
yang sering menjahiliku, dia pasti keluar dengan tiba-tiba saat aku membersihkan papan tulis.
"Ahhh… piket pagi itu bikin malas, mending tak usah aja, ah. Lagi pula tidak akan
ada yang tahu kalau aku tidak piket."
Aku mengatakannya dengan keras.
Dia pasti akan kesal menungguku karena tidak berjalan sesuai rencananya dan dengan
begini aku yang akan menang.
Akan tetapi aku berpikir tidak mungkin dia akan secoroboh itu meninggalkan sepatunya
kelihatan pas lagi sembunyi di bawah meja? Itu pasti hanya tipuan saja. Aku hampir saja
terkecoh.
Aku kembali mencari dia mulai dari depan pintu, akan tetapi satu tempat saja yang
mungkin, yaitu di lemari tempat peralatan untuk membersihkan kelas.
"Aku ingin ke toilet dulu, ah"
Aku beralasan dan kembali dengan perlahan-lahan menginjakkan kakiku ke depan lemari
untuk mengagetkannya.
"Kena kau… ehh…?
Di dalam lemari itu tidak ada seseorang pun hanya berisi sapu dan pembersih kelas.
Begitu juga dengan di bawah meja guru juga hanya ada sepatu sepasang yang tidak ada
pemiliknya.
Aku menyerah dan duduk di kursiku. Aku tidak tahu sebenarnya sedang apa tadi?
"Baa…!"
Nindy keluar dari tirai dan membuat aku terjatuh dari kursi.
"Hahaha. kamu tidak apa-apa?"
"Ternyata kamu sembunyi di balik tirai."
"Tidak diduga-duga, kan? Tirai ini agak tembus pandang, jadi aku bisa melihat
semuanya tadi."
Nindy tersenyum dengan girang. Dia berhasil mengerjai aku lagi.
"Tidak sia-sia aku bangun pagi-pagi."
"Bangun pagi hanya untuk ini?"
"Iyap."
"Cih. Dia benar-benar mengerjai aku"
"Hei, Adit."
"Hmm?"
"Rasanya, momen kita berdua lagi duduk di kelas yang senyap ini, seperti dunia ini
milik kita aja, ya"
Dia mengatakannya dengan tersenyum.
"Andai saja, tidak ada orang yang masuk ke sini."
"Huh…?"
Wajahku jadi merah berseri-seri.
"Anu, Nindy…. jangan-jangan kamu itu….?"
"Selamat pagi."
Beberapa murid masuk ke kelas.
"Cuacanya cerah sekali, ya!"
"Hei, Ina jangan terlalu semangat."
"Iya, pagi-pagi sudah berisik."
"Ehh, ini normal tahu."
"Bikin capek saja."
"Jangan begitu. Bersemangat itu bikin bahagia."
"Hmm. baiklah."
"Kamu ingin bilang apa tadi, Aditya?"
"Huh… tidak bilang apa pun tadi."
"Heh…? Ohh iya, Adit bagaimana dengan tugas piketmu hari ini?"
"Waah! aku lupa!"
Saking terkejutnya aku sampai terjatuh.
"Aduhh."
"Hahaha…"
Saat pelajaran sudah di mulai pak Budi sedang mengajarkan Bahasa inggris di depan
semua murid. Hari ini aku kena kerjai lagi oleh Nindy. Pokoknya aku harus membalasnya
hari ini. "Apakah ada cara agar membuat dia malu?"
"Lalu, dilanjukan oleh… Aditya."
"Ah, baik."
"Jangan berlama-lama lagi. Cepatlah baca."
Aku terdiam kaku tidak tahu apa yang harus aku baca.
"Enam belas."
Nindy berbisik mengatakannya kepadaku.
"Enam belas!"
Kapur tulis melayang ke arahku dengan cepat.
"Ah..aduh."
"Kita bukan belajar matematika, tapi bahasa inggris. Bapak mintanya diterjemahkan."
"Ma-maaf pak."
"Sudahlah, duduk saja."
Nindy tertawa dengan girangnya
"Padahal sudah kubilang ada di barisan ke enam belas."
"Dia pasti sengaja biar aku salah sebutin."
"Gak nyangka kamu bakal salah sebut tadi."
"Benar, kan..?"
"Apakah kamu lagi mikirin sesuatu?"
"Iya, ada deh."
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Yah, tak penting-penting amat."
"Ohh, berarti… kamu lagi mikirin hal kotor, ya?"
"Huh. Bukan, jelas sekali bukan."
"Iya deh. Sebenarnya kamu lagi mikirin bagaimana menjahiliku, kan?"
"Ehh… Entahlah."
"Berarti benar. Kamu lihatin aku terus, sih. Jadi aku langsung tahu."
"Kalau sudah tahu, gak usah nanya lagi, dong"
"Melihat reaksi kamu lucu, sih. Terus, sudah kepikiran caranya?"
"Iya, tentu saja. Siasat paling sempurna lagi."
"Hmm… Semoga saja benar."
Nindy percaya diri sekali, bahkan dia tidak cemas sama sekali.
"Terus, bagaimana siasatnya?"
"Tidak mungkin kuberi tahu."
"Petunjuknya saja."
"Tidak akan. Lagian kita sedang bela… Oh."
Aku melihat papan tulis bertanggal 12. Kalau tidak salah nomor absen Nindy juga 12.
Kalau aku bisa mengalihkan perhatiannya dari pelajaran, dia pasti tidak akan tahu bacaannya
sudah dimana dan setelah itu kena marah pak guru. Aku berusaha mengalihkan perhatian
Nindy dengan berbicara dengannya. Ku sipitkan mataku seperti orang licik.
"Nindy."
"Huh?"
"Pagi tadi kamu sarapan apa?"
"Nasi campur ayam, sih. Kenapa?"
"Yah, pengen tahu aja, sih."
Dia langsung fokus dengan pelajaran.
"Ehh, jadi kamu suka ayam, ya?"
"Yah, lumayan suka . Dengan sarapan itu,aku membuatku bertenaga seharian."
"Ya, kamu benar."
"Kalo kamu gimana?"
"Aku? Aku sih….Coba tebak."
"Apa, ya….? Nasi."
"Kok nasi saja."
"Ehh.? Emangnya salah.?"
"Yah, aku memang makan nasi."
Nindy terus teralihkan dari pelajaran.
"Baiklah, untuk halaman selanjutnya. Karena hari ini tanggal 12…. Nindy!"
"Ehh." Nindy seakan-akan terkejut dipanggil pak Budi.
"Kena dia!"
Nindy perlahan berdiri, dengan begini sudah pasti dia akan malu di depan semuanya.
Akan tetapi dia membaca halaman yang benar.
"Haah?"
"Sayang banget, ya."
"A-apa maksudmu?"
Sial dia memang hebat, walaupun dialihkan dia tetap bisa menjawabnya. Pokoknya aku
harus mikirin siasat selanjutnya. Ahh kepalaku pusing.
"Aditya, kamu mikirin apa, sih?"
"Ya-yah, bukan apa-apa."
"Kamu mikirin aku lagi, ya?"
"E-enggak mikirin kayak gitu juga…"
Wajahku jadi merah dan kupalingkan mataku ke samping.
"Lagian buat apa mikirin kamu?"
"Berarti mikirin hal-hal kotor."
"Ehh,bukan."
"Hahaaha. Aku sendiri, selalu mikirin kamu, kok."
"Ehhh…."
"Tersipu deh dia."
"Gak tersipu, kok! Kamu pasti mikirin aku untuk dijahilin kayak sekarang, kan?"
Dia tersenyum manis melihatku.
"Ohh?"
"Entahlah."
"Kenapa sampai dijeda-jeda?"
"Selanjutnya, nomor absen pertama Aditya." pak guru menunjukku.

Chapter 4
Menikmati Masa Muda

Saat pulang sekolah aku dipanggil pak Budi ke ruangannya. Mata pak Budi begitu tajam dan
menakutkan. Aku hanya bisa diam saja.
"Hei, Aditya. Kamu belakangan ini sering sekali ribut pas pelajaran. Jangan diulangi
lagi, ya."
"Ba-baik."
"Untuk hukumannya bersihkan lab IPA nanti, ya."
"Eh?."
"Usahakan semua tempatnya menjadi bersih dan rapi."
"Ehh, baik pak."
"Ohh…. kenapa cuman aku, padahal ini semua karena Nindy terus menjahiliku."
Pundakku terasa berat sekali, dan kakiku susah untuk digerakkan. Saat aku membuka
lemari, dan Nindy keluar dari dalam lemari mengagetkanku seperti harimau ingin
menerkamku.
"Heh.!"
Jantungku terasa ingin copot.
"Duh, sudahlah jangan mengerjai aku lagi."
"Huh, tapi seru melihat ekpresimu."
"Aku yang kesusahan, tahu!"
"Baiklah akan aku usahakan."
"Huh? Kamu usahakan?"
"Eh, kamu membersihkan kelas juga, Nindy?"
"Ayo cepat kita selesaikan!"
"O-oke…. kenapa cuman aku yang dipanggil pak guru?"
"Bagaimana buat lebih seru kita bikin game."
"Game?"
"Iya, kita hompimpa yang kalah akan membersihkan seperempat ruangan, gimana?"
"Oh, Berarti jika menang empat kali, aku tidak perlu ngapa-ngapain. Boleh."
Aku langsung menyetujuinya dengan percaya diri aku pasti akan memenangkan gamenya,
tapi….
"Baiklah ronde pertama, ya. Aku akan keluarin batu."
"Huh,?"
Dia langsung bilang duluan mau keluarin batu. Jika aku keluarin kertas aku yang akan
menang, masa sih?.
"Hom-pim-pa!"
Karena tidak percaya, aku malah mengeluarin gunting.
"Hahaha,… padahal sudah kubilang akan keluarin batu tadi! Kamu meragukan aku,
sih."
"Berarti selanjutnya aku akan mendengarkan dia saja."
"Oh, selanjutnya tidak ada bocoran lagi."
Tidak lama setelah itu Alvin menyapaku. Dia bersama dengan July
"Aditya."
"Heh, Alvin."
"Kalian ngapain berduaan di sini?"
"Gara-gara sering ribut di kelas, aku disuruh membersihkan ini."
"Susah juga, ya"
"Kamu sendiri?"
"Oh, aku sih…. sedang jalan-jalan sebentar."
"Ohh, begitu."
"Alvin, jangan ganggu mereka." kata july sambil menarik bajunya.
"Oh, iya. Baiklah kami duluan."
"Ah, iya, dah."
"Benar juga, Aditya semangat ya!"
"Eh? Oh oke, bersih-bersihnya?"
"Ayo, cepatlah. Maaf ya, Nindy."
"Gapapa, dadah."
Aku melanjutkan menyapu dengan cepat agar bisa membuat Nindy kalah saat hompimpa
nanti.
"Kamu tahu? Mereka berdua pacaran, loh."
"Eh? Apa? Benarkah? Aku baru tahu. Emang sering melihat mereka berduaan."
"Bukannya mereka nyembunyiin soal ini, cuma hanya saja tak suka bicara soal diri
sendiri."
"Oh."
"Katanya mereka ingin jalan-jalan sebentar, tapi aslinya mereka hanya ingin
berduaan."
"Berduaan?"
"Gak, lanjut nyapu?"
"Ah, masih. masih kok!"
"Yah, menikmati masa muda."
Aku membayangkan bagaimana rasanya hanya berduaan, menikmati masa muda, entah
gimana…
"Entah gimana rasanya, ya?
"Huh?"
"Menikmati masa muda, iya kan?"
"Mana aku tahu…"
"Baiklah saatnya ronde kedua."
"Hom-pim…."
Pada akhirnya aku kalah empat kali dan membersihkan semua tempat.
"Ah, akhirnya kelar juga! Pulang yuk Aditya."
"Dasar kamu ini! Setelah melihat semua ini, kuharap kamu jera menjahili aku, ya."
"Iya, nanti aku akan lebih berhati-hati lagi menjahili kamu."
"Kita bakal dihukum lagi, tahu!"
"Yah, kalau terjadi lagi, ya biar saja terjadi."
"Ehh?"
"Lagian aku sendiri, tidak disuruh bersihin lab, kok."
"Huh, Benarkah? Berarti kamu di sini cuman untuk menjahili aku saja?"
"Salah satunya termasuk itu…. Aku juga ingin menikmati masa mudaku."
"Me….Menikmati masa muda"
Wajahku langsung merah berseri-seri memikirkan apakah yang dikatakan Nindy itu
benar?

Chapter 5
Pulang Bersama

Di kelas, suasananya begitu tenang dan senyap hanya ada suara pak Budi yang sedang
mangajar dengan berdiri dan buku ditangannya. Aku meletakkan buku di depan mejaku.
Tanganku tidak berhenti bergerak seakan sedang menulis. Aku diam-diam membuat kotak
kejutan buat Nindy agar dia terkejut dan merasa malu.
Tapi dia sepertinya sedang kesusahan membuka kotak pensilnya.
"Kamu kenapa, Nindy?"
"Yah, ini susah sekali bukanya, mungkin karena jatuh tadi. Aditya bisa tolong
bukain."
"Oh, Iya. Eh, bukannya ini gam….aaaa…."
Sesuatu keluar dari dalamnya seperti wajah monster yang mengerikan.
"Aditya jangan berisik."
"Ma-af."
Dia tertawa tidak ada henti, lagian aneh juga melihat dia meminta bantuan ke aku.
Rasanya aku ingin sekali membalasnya tapi dia selalu tahu apa yang aku rencanakan dan
bahkan dia sampai sama dengan pkiranku.
"Aditya, bisa pinjam penghapusnya."
"Yah, kamu ini ceroboh sekali, ya sampai tidak membawa penghapus."
"Ya, begitulah."
Aku menunggu-nunggu dia mengembalikan penghapusku tapi dia lama sekali.
"Hei, Aditya kamu tahu, jika kamu menulis nama seseorang di penghapusmu, cintamu
akan tercapai."
"Iya, aku pernah dengar. Jika dipirkan seperti anak-anak saja."
"Seperti anak-anak…., ya!"
Dia membuka penghapusnya dengan perlahan sedikit demi sedikit. Dia terkejut saat
melihat penghapusnya seakan-akan ada tulisannya.
"Oh, ternyata seperti itu."
Aku menjadi panik, aku bahkan tidak ingat ada menulis nama seseorang di sana. Dia
semakin lama tidak mengembalikannya dan terus melihat penghapusnya.
"Kembalikan penghapusku."
"Ini."
"Aku yakin tidak ada nama di sini."
Penhapus itu tidak ada tulisan apapun hanya warna putih yang bersih. Dan saat aku
melihat ke meja Nindy, sebenarnya dia membawa penghapusnya.
"Pak saya ingin ke toilet."
"Iya, cepatlah."
Saat dia keluar, dia tersenyum melihat ke arahku. Aku melihat penghapusnya dan
mengambilnya. Jika aku menulis nama seseorang dia pasti akan terkejut. Saat aku membuka
penghapusnya ternyata sudah ada namanya dengan dua huruf terlihat "Li…".
"Ternyata bukan namaku."
Aku bukannya kesal atau apa, akan tetapi aku tetap ingin melihat semua nama yang
tertulis. Kubuka dengan cepat, tapi yang tertulis malah "Lihat ke pintu." Di pintu ada Nindy
sedang melihatiku.
"Tok tok tok… saya masuk."
"Iya, duduklah."
Nindy berjalan sambil tersenyum lebar melihat aku.
"Yah, reaksi kamu tidak ada duanya. Apalagi sesuai dengan yang kurencanakan."
"Awas nanti aku pasti akan membuatmu malu."
"Semoga saja benar."
"Kamu pikir tidak bisa."
"Ya, begitulah."
Aku memalingkan wajahku memikirkan rencana membuatnya malu. Langit menjadi
mendung dan hujan turun hingga pulang sekolah. Sepulang sekolah, Nindy tidak bergerak
dari tempat duduknya menunggu hujan reda.
"Kamu tidak pulang, Nindy?"
"Iya, aku lupa bawa jas dan payung."
"Kamu ternyata ceroboh sekali, Nindy! Ketinggalan payung itu menyusakan, ya?"
Dia hanya diam termenung melihatku.
"Kalau tidak salah payungmu besar, Aditya, kan?"
"Eh?"
Di bawah air hujan yang tidak berhenti turun dengan derasnya, kami berdua pulang
bersama dengan satu payung. Rasa grogi tidak bisa hilang dari dariku, napasku terasa sesak
sekali, tanganku gemetaran memegang payung, dan mulutku susah untuk digerakkan.
"Aditya, bahu kananmu agak basah."
"Yah, cuman tidak apa-apa cuman sedikit."
"Jangan gitu, nanti kena demam. Aku coba mepet sedikit biar kamu kena payung
juga."
Dia dekat sekali denganku sampai menyentuh bahuku, jantungku sampai berdebar-debar.
Aku tidak bisa tenang kalau dia dekat sekali. Aku berusaha mencari sebuah pembicaraan.
"Nindy!"
"Hmm?"
"Tidak biasa kamu lupa bawa payung begini. Jangan-jangan kamu orang suka lupa?"
Nindy melototin aku.
"Iya sih, aku orang yang sedikit pelupa."
Mendengar Nindy mengaku dia pelupa, membuatku seakan-akan berada di awan.
"Sekarang pun, ada hal-hal yang sulit aku ingat."
"Ehh, sulit diingat kayak gimana?"
"Seperti sekarang, kita lagi berdua begini…. namanya apa, ya?"
"Ehh?"
"Aku agak susah ingat namanya."
"Ah…. emm…."
"Apa namanya, ya?"
"Sepayung berdua." suaraku jadi susah keluar.
"Eh, apa? gak kedengaran."
Aku jadi kesulitan untuk menjawabnya.
"Oh iya, aku ingat. Sepayung berdua."
"Aslinya, pasti kamu ingat, kan?"
"Ah, ini juga, apa namanya…. saat sepasang kekasih sedang menempelkan bibir
sebagai tanda cinta?"
Aku tidak bisa berpura-pura tidak tahu, kalau tidak aku akan kalah.
"Ci-ciuman…"
"Gak kedengaran karena hujan."
"Jangan pura-pura tidak dengar, dong. Lagi pula hujannya tidak deras lagi. Nmanya
ciuman."
"Benar juga."
"Bagaimana dengan ini apa bahasa inggrisnya aku cinta kamu."
"Hah?"
"Awalnya… I…. lanjutannya apa ya?"
Aku tidak sanggup menjawabnya lagi
"Lo… lov….? terakhirnya You, loh."
"Ah…., sudahlah."
Semakin lama aku dibuatnya malu, akhirnya matahari bersinar dan muncul pelangi. Aku
tidak sanggup lagi mengantarnya sampai rumahnya. Tubuhku jadi panas dingin dibuatnya.
"Hujannya reda, ya."
"Iya."
"Baiklah aku duluan Nindy, aku pulang lewat sini. Sampai ketemu nanti."
"Aku lupa…. ke mana jalan pulangnya"
"Duh…. hentikan bercandanya."

Anda mungkin juga menyukai