EPILEPSI
STASE ILMU KESEHATAN SARAF
DISUSUN OLEH:
1. Jheslyn (216210037)
2. Leyda Pehulisa Br. Sembiring (211210299)
3. Meta Aubina Br. Sembiring (216210027)
4. Ruth Simanulang (216210003)
5. Serly Marlita Br. Tarigan (216210040)
PEMBIMBING:
I
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. I
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………………. 1
1. Latar belakang ………………………………………………………….. 1
BAB II. PEMBAHASAN…………………………………………………………... 3
2.1 Definisi …………………………………………………………………. 3
2.2 Epidemologi…………………………………………………………….. 3
2.3 Etiologi………………………………………………………………….. 4
2.4 Patofisiologi …………………………..………………………………... 5
2.5 Klasifikasi ………………………………………………………………. 6
2.6 Gejala dan Tanda ……………………………………………………….. 10
2.7 Diagnosis ……………………………………………………………….. 11
2.8 Diagnosis Banding ……………………………………………………… 16
2.9 Penatalaksanaan ………………………………………………………… 19
2.10 Komplikasi …………………………………………………………….. 24
2.11 Prognosis ………………………………………………………………. 25
2.12 Pencegahan ……………………………………………………………. 26
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………. 27
I
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Epilepsi adalah salah satu penyakit saraf tidak menular yang paling sering terjadi
di dunia tanpa ada batasan usia, ras dan tingkat sosial. Epilepsi didefinisikan sebagai
kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan
epileptik yang terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis
dan sosial. Definisi ini membutuhkan setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau
satu bangkitan refleks yang berselang lebih dari 24 jam. (21)
Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan ada 50 juta kasus
epilepsi di seluruh dunia. (22) Secara keseluruhan insidensi epilepsi pada Negara maju
berkisar antara 40-70 kasus per 100.000 orang per tahun. Di negara berkembang,
insiden menjadi lebih tinggi berkisar antara 100-190 kasus per 100.000 orang per tahun.
Pendataan secara global ditemukan 3,5 juta kasus baru per tahun di antaranya 40%
adalah anak-anak, 40% dewasa dan 20% lansia. Rata-rata insidensi epilepsi setiap tahun
di Amerika Serikat diperkirakan 48 per 100.000 orang .(7)
Jumlah kasus epilepsi di Indonesia terbilang cukup tinggi. Rata-rata prevalensi
epilepsi aktif sebanyak 8,2 per 1.000 penduduk, sedangkan angka insidensi mencapai 50
per 100.000 penduduk. Jika jumlah penduduk Indonesia sekitar 230 juta, diperkirakan
masih ada 1,8 juta pasien epilepsi yang butuh pengobatan. Kelompok Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) mengadakan penelitian jumlah penderita
epilepsi pada 18 rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatkan
2.288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1.801 kasus lama.(15)
Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin di negara-negara asia, dilaporkan
laki-laki sedikit lebih tinggi dari pada wanita. Tingkat insidensi laki-laki lebih tinggi
merupakan kontribusi faktor risiko dari trauma kepala. Disamping itu tampak pula
perbedaan distribusi jenis kelamin pada beberapa jenis epilepsi yang berbeda. Kejadian
1
bangkitan umum diindikasikan sedikit lebih tinggi dari pada bangkitan fokal, meskipun
angka ini dapat berubah oleh beberapa faktor. Berkaitan dengan faktor usia, grafik
prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Insidensi epilepsi pada anak-anak cukup
tinggi dan memang merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia tersebut.
Pada usia dewasa kejadian epilepsi menurun. Epilepsi pada kelompok usia ini biasanya
dikarenakan cedera otak akut. Kemudian di usia tua, risiko terkena dan mengalami
kembali epilepsi meningkat.(14)
Epilepsi bisa mengakibatkan banyak hal salah satunya dari segi aspek psikososial
penderita, yang mana di lihat baik di lingkungan masyarakat seperti halnya ada rasa
malu sehingga menarik diri dari aktivitas sosial di masyarakat, penderita tidak di terima
di lingkungannya.10 Sedangkan komplikasi yang di akibatkan oleh epilepsi itu sendiri
adalah terjadinya gangguan listrik di otak yang terjadi terus menerus sehingga
mengakibatkan kerusakan otak akibat hypoksia bahkan bisa berakibat kematian. Maka
dari itu perlu sekali untuk melakukan pengobatan terhadap pasien Epilepsi. (19)
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka
kejadian kira-kira 60.000-160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang
terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus , status epileptikus
merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga
3
kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan
dalam memakan obat antikovulsan. (13)
Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi
mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus
kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal
dengan puncak pada neonates, anak-anak dan usia tua. (13)
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari status
epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua status
epileptikus kebanyakan skunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi
jantung, dementia. Pada Negara miskin, epilepsi merupakan kejadian yang tak
tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi. (13)
2.3 Etiologi
4
2.4 Patofisiologi
Penyebab yang berperan pada onset dan progresivitas epilepsi ada tiga faktor
utama yaitu: 1) faktor genetik, 2) gangguan perkembangan dan atau malformasi susunan
saraf pusat, 3) cedera otak atau interaksi dari ketiga faktor tersebut. Perubahan seluler
dan molekuler yang terjadi akibat cedera otak dan menyebabkan kejang berulang tanpa
provokasi dinamakan epileptogenesis. Kematian neuron di otak dipercaya sebagai
faktor propagasi yang menyebabkan epilepsi dan banyak bukti menunjukkan bahwa
kematian neuron di otak menyebabkan kejang dan sebaliknya kejang menimbulkan
kematian neuron. Kematian neuron terlibat dalam eksitoksisitas dimana kelebihan
glutamate menyebabkan stimulasi berlebihan terhadap reseptor N-methil-D-aspartat
(NMDA), dan menyebabkan akumulasi kalsium di dalam sel dan diikuti dengan cedera
dan kematian neuron. Proses seluler lain yang terlibat pada epileptogenesis adalah
neurogenesis, gliosis, axonal sprouting, cedera axon, remodeling dendrit, angiogenesis,
stres oksidatif, inflamasi, perubahan matriks ekraseluler, dan perubahan saluran
ion.(17,2)
Proses epileptogenesis dapat dibagi menjadi tiga fase yakni: 1) cedera otak
awal, 2) fase laten, tanpa aktivitas kejang berlangsung beberapa bulan sampai beberapa
tahun, 3) fase kronis, dengan kejang spontan berulang. Walaupun mekanisme yang
mendasari terjadinya epilepsi belum sepenuhnya dipahami, tetapi dipercaya bahwa
terjadi interaksi akut dan kronis secara anatomis, molekuler, dan fisiologis yang
kompleks dan bersifat multifaktor. Faktor-faktor pencetus awal mengaktivasi berbagai
jalur sinyal, seperti inflamasi, stress oksidatif, apoptosis, neurogenesis, dan plastisitas
sinap yang akhirnya menyebabkan perubahan struktur dan fungsi neuro-neuron di otak.
Perubahan ini bermanifestasi sebagai hipereksitabilitas abnormal dan terjadi kejang
spontan berulang, yang disebut epilepsi. (17)
5
2.5 Klasifikasi
6
2.4 Tonik,
2.5 Tonik – klonik,
2.6 Atonik/astatik,
1.2 Simtomatis
1.3 Kriptogenik
7
2 Epilepsi umum
2.3 Simtomatis
8
• Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst
suppression,
3. Sindrom khusus
9
2.6 Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi,
yaitu;(5,6)
1. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak
atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
▪ Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.
▪ Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana,
tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme.
2. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak
atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
▪ Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
▪ Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,
leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
10
▪ Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
▪ Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat
dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata
mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan
diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase
tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
▪ Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
▪ Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan
2.7 Diagnosis
11
▪ Kondisi fisik dan psikis yang
mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar,
berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi
sensitif, dan lain-lain.
• Selama bangkitan/ iktal:
12
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE
sebelumnya
• Tanda-tanda infeksi
• Kelainan congenital
• Tanda-tanda keganasan.
▪ Pemeriksaan neurologis
13
• Paresis Todd
• Afasia pascaiktal
3. Pemeriksaan penunjang
• Pemeriksaan laboratorium
o Pemeriksaan hematologis
14
darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,
magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi
hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan
albumin.
▪ Awal pengobatan sebagai salah satu
acuan dalam menyingkirkan diagnosis
banding dan pemilihan OAE
▪ Dua bulan setelah pemberian OAE untuk
mendeteksi samping OAE
▪ Rutin diulang setiap tahun sekali untuk
memonitor samping OAE, atau bila
timbul gejala klinis akibat efek samping
OAE.
o Punksi lumbal
o EKG
15
2.8 Diagnosis Banding
• Anak
• Sinkop
Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara akibat hipoperfusi
serebral global transien dikarakteristikkan dengan onset cepat, durasi
yang pendek, dan pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran dikarenakan
penurunan aliran darah ke sistem aktivasi retikular yang berlokasi pada
batang otak dan tidak membutuhkan terapi listrik atau kimia untuk
kembali normal.(12)
• Masturbasi infantil
Dapat ditemukan sejak anak berumur 2 bulan. Sebagian besar terjadi
pada umur 4 tahun sampai masa remaja. Aktifitas masturbasi pada bayi
dan anak sulit dikenali karena sering dilakukan tanpa merangsang
genital. Gejala tersering adalah anak berbaring kemudian merapatkan
atau menyilangkan pahanya, kedua pahanya digerak-gerakan atau
digoyang-goyangkan ke depan dan belakang, sampai berkeringat. Mata
terpejam, setelah itu tampak lemas, lalu tertidur atau bermain kembali.
Bentuk masturbasi yang lain misalnya menekannekankan kemaluan pada
seseorang atau suatu benda misalnya guling atau meja, tangan satu
memegang kemaluannya, sedangkan tangan lain diangkat ke atas atau
berpegangan, sambil bergerak-gerak dan matanya melotot, berkeringat,
setelah itu tampak lemas dan selesai. Berbeda dengan epilepsi, penderita
tetap sadar dan marah atau menangis bila kegiatannya dihentikan.
Kelainan ini tidak berbahaya, tidak perlu pengobatan, dan biasanya akan
berhenti sendiri. Diagnosis dapat ditegakkan semata-mata dengan
pengamatan tanpa perlu pemeriksaan penunjang lain.(20)
16
• Breath holding spells
Kadang disebut menangis biru adalah reflek yang tidak disengaja yang
dilakukan anak-anak. Meskipun terlihat mengkhawatirkan, BHS tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan risiko kesehatan yang serius. BHS
biasanya berlangsung kurang dari satu menit sebelum anak mulai
bernapas dengan normal lagi.(20)
• Migren
Sakit kepala dalam berbagai intensitas, sering disertai mual dan kepekaan
terhadap cahaya dan suara. Migrain terkadang didahului oleh gejala-
gejala peringatan. Pemicunya termasuk perubahan hormonal, makanan
dan minuman tertentu, stres, dan olahraga. Sakit kepala migrain dapat
menyebabkan sakit yang berdenyut di satu wilayah tertentu yang
intensitasnya dapat bervariasi. Mual dan kepekaan terhadap cahaya serta
suara juga merupakan gejala umum.(9)
• Vertigo
Vertigo bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan kumpulan
gejala atau sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada
sistem vestibular ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Selain itu,
vertigo dapat pula terjadi akibat gangguan pada alat keseimbangan tubuh
yang terdiri dari reseptor pada visual (retina), vestibulum (kanalis
semisirkularis) dan proprioseptif (tendon, sendi dan sensibilitas
dalam).(9)
• Dewasa
• Sinkop
Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara akibat hipoperfusi
serebral global transien dikarakteristikkan dengan onset cepat, durasi
yang pendek, dan pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran dikarenakan
penurunan aliran darah ke sistem aktivasi retikular yang berlokasi pada
17
batang otak dan tidak membutuhkan terapi listrik atau kimia untuk
kembali normal.(16)
• Serangan psikogenik
Gejala yang dapat membedakannya dari epilepsi adalah durasi yang
lama, tidak pernah terjadi waktu tidur, perjalanan penyakit yang
berfluktuasi, gerakan asinkron, gerakan pelvis, gerakan kepala ke kiri dan
kanan, menutup mata saat serangan, menangis saat serangan, ingat dan
mengetahui apa yang terjadi saat serangan, dan tidak adanya gejala
bingung pasca serangan. Serangan hampir selalu terjadi bila ada orang
lain di sekitarnya. Serangan non-epileptik psikogenik sering disertai
berbagai gangguan psikiatrik.(16)
• Serangan panic
Gangguan panik adalah kondisi yang tergolong ke dalam gangguan
kecemasan yang ditandai dengan terjadinya serangan panik secara tiba-
tiba, kapan dan di mana saja, serta dialami berulang-ulang.(16)
• Vertigo
Vertigo bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan kumpulan
gejala atau sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada
sistem vestibular ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Selain itu,
vertigo dapat pula terjadi akibat gangguan pada alat keseimbangan tubuh
yang terdiri dari reseptor pada visual (retina), vestibulum (kanalis
18
semisirkularis) dan proprioseptif (tendon, sendi dan sensibilitas
dalam).(16)
• Hipoglikemi
Hipoglikemia adalah kondisi ketika kadar glukosa (gula darah) berada di
bawah normal. Umumnya, seseorang dianggap mengalami hipoglikemia
saat kadar gula darahnya kurang dari 60 mg/dl. Hipoglikemia adalah
salah satu komplikasi akut pada pengidap diabetes dan umumnya
berkaitan dengan penggunaan obat dari golongan sulfonilurea
(glibenclamide, gliklazida, glimepiride, glipizide, dan tolbutamide) atau
insulin.(16)
2.9 Penatalaksanaan
▪ Terapi medikamentosa
Tabel Antiepilepsi pada anak berdasar tipe kejang
19
Tipe Kejang OAE Lini Pertama
Penyebab genetik Asam valproate, lamotrigine,
• Myoklonik, tonik klonik levetiracetam, topiramate,
umum zonisamide, benzodiazepine
• Epilepsi genetic dengan Levetiracetam, lamotrigine, asam
kejang febrile. valproat
• Lennox – Gastaut,
myoklonik atonik
▪ Terapi bedah
• Lobektomi temporal
• Eksisi korteks ekstratemporal
20
• Hemisferektomi
• Callostomi
▪ Status epileptikus
a. Stabilitas Penderita
b. Menghentikan Kejang
• Status Epileptikus Konvulsif
Stadium Penatalaksanaan
21
suhu
• Monitor status metabolic, AGD dan
status hematologi
• Pemeriksaan EKG
• Memasangi infus pada pembuluh darah
besar dengan NaCl 0,9%. Bila akan
digunakan 2 macam OAE pakai jalur
infus
• Mengambil 50-100 cc darah untuk
pemeriksaan laboratorium (AGD,
Glukosa, fungsi ginjal dan hati, kalsium,
magnesium, pemeriksaan lengkap
hematologi, waktu pembekuan dan kadar
OAE), pemeriksaan lain sesuai klinis
• Pemberian OAE emergensi : Diazepam
0.2 mg/kg dengan kecepatan pemberian
5 mg/menit IV dapat diulang bila kejang
masih berlangsung setelah 5 menit
• Berilah 50 cc glukosa 50% pada keadaan
hipoglikemia
• Pemberian tiamin 250 mg intervena pada
pasien alkoholisme Menangani asidosis
dengan bikarbonat
Stadium III ( 0 – 60 • Menentukan etiologi
/90 menit ) • Bila kejang berlangsung terus setelah
pemberian lorazepam / diazepam, beri
phenytoin iv 15 – 20 mg/kg dengan
kecepatan < 50 mg/menit. (monitor
tekanan darah dan EKG pada saat
pemberian) Atau dapat pula diberikan
fenobarbital 10 mg/kg dengan kecepatan
22
< 100 mg/menit (monitor respirasi pada
saat pemberian)
• Memulai terapi dengan vasopressor
(dopamine) bila diperlukan Mengoreksi
komplikasi
Stadium IV( 30/90 Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60
menit ) menit, pasien dipindah ke ICU, diberi Propofol
(2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu) atau
Thiopenton (100-250 mg bolus iv pemberian
dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50 mg
setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam
setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG
terakhir, lalu dilakukan tapering off. Iviemonitor
bangkitan dan EEG, tekanan intracranial,
memulai pemberian OAE dosis rumatan
23
pada pasien koma Fenobarbital tiopenton,
Penobarbital,Propofol
atau Midazolam.
2.10 Komplikasi
1. Komplikasi
Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan
memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan
reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron
lainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan metabolik,
sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi
sistemik.Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE konvulsif
24
dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal
ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme
anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi
saraf otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau
aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia
akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa
akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan
oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan
otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan
vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.(4)
2. Komplikasi sekunder
2.11 Prognosis
25
biasanya terkontrol dengan baik dengan OAE dan ketika remisi tercapai sifatnya
permanen dan OAE dapat dengan baik diturunkan atau dihentikan. Kelompok
tergantung OAE terdapat pada 10%- 20% kasus, kejang dapat ditekan dan
mengalami remisi, tetapi kemudian relaps jika OAE dihentikan. Kelompok
prognosis buruk terdapat pada 10%-20% kasus epilepsi, kejang sulit diatasi
meskipun telah mendapat terapi OAE generasi baru. (18)
2.12 Pencegahan
26
DAFTAR PUSTAKA:
27
13. Mardjono M, Agoes A.2003. Pandangan umum Tentang Epilepsi dan
Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi dan Neurologi,
14. PERDOSSI. 2016. Pedoman Tatalaksana Epilepsi: Kelompok Studi Epilepsi
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Edisi ke-5. Kusumastuti K,
Gunadharma S, Kustiowati E, penyunting. Surabaya: Airlangga University
Press.
15. PERDOSSI. 2019.Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta : Perdosi;13-19
16. Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI)., 2013 .Penegakan Diagnosis
Pada Pasien Epilepsi. Jakarta : PERDOSSI
17. Pitkänen A, Lukasiuk K. Mechanisms of epileptogenesis and potential treatment
targets. Lancet Neurol. 2011; 10(2):173-86. doi: 10.1016/S1474-
4422(10)70310-0. PMID: 21256455. Accessed on 28 November 2020.
18. Sander JW.2003.The natural history of epilepsy in the era of new antiepileptic
drugs and surgical treatment. Epilepsia ;44(Suppl 1):17-20.
19. Todorova, K.S et all. 2013. Seizure saverity as an alternative measure of
outcome in epilepsy.Jounal of IMAB.
20. Vera R, Dewi MR, Nursiah.2014. Sindrom Epilepsi pada Anak. MKS.4(1):72-
76.
21. Vonck, K., deHerdt, V. Sprenger, M., Ben-Menachem, E. 2012.
Neurostimulation for epilepsy. Dalam: Stefan H, Theodore WH, penyunting.
Handbook of Clinical Neurology. Birmingham: Elsevier Inc.
22. World Health Organization (WHO). 2019. Epilepsy Fact Sheet. Tersedia dari:
https://www.who.int/news-room /fact-sheets/detail/epilepsy
28