Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

EPILEPSI
STASE ILMU KESEHATAN SARAF

DISUSUN OLEH:
1. Jheslyn (216210037)
2. Leyda Pehulisa Br. Sembiring (211210299)
3. Meta Aubina Br. Sembiring (216210027)
4. Ruth Simanulang (216210003)
5. Serly Marlita Br. Tarigan (216210040)

PEMBIMBING:

dr. Toety M Simanjuntak, M.Ked (Neu), Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


RUMAH SAKIT TENTARA PUTRI HIJAU KESDAM I/BB
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
T.A 2020/2021

I
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. I
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………………. 1
1. Latar belakang ………………………………………………………….. 1
BAB II. PEMBAHASAN…………………………………………………………... 3
2.1 Definisi …………………………………………………………………. 3
2.2 Epidemologi…………………………………………………………….. 3
2.3 Etiologi………………………………………………………………….. 4
2.4 Patofisiologi …………………………..………………………………... 5
2.5 Klasifikasi ………………………………………………………………. 6
2.6 Gejala dan Tanda ……………………………………………………….. 10
2.7 Diagnosis ……………………………………………………………….. 11
2.8 Diagnosis Banding ……………………………………………………… 16
2.9 Penatalaksanaan ………………………………………………………… 19
2.10 Komplikasi …………………………………………………………….. 24
2.11 Prognosis ………………………………………………………………. 25
2.12 Pencegahan ……………………………………………………………. 26
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………. 27

I
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Epilepsi adalah salah satu penyakit saraf tidak menular yang paling sering terjadi
di dunia tanpa ada batasan usia, ras dan tingkat sosial. Epilepsi didefinisikan sebagai
kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan
epileptik yang terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis
dan sosial. Definisi ini membutuhkan setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau
satu bangkitan refleks yang berselang lebih dari 24 jam. (21)
Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan ada 50 juta kasus
epilepsi di seluruh dunia. (22) Secara keseluruhan insidensi epilepsi pada Negara maju
berkisar antara 40-70 kasus per 100.000 orang per tahun. Di negara berkembang,
insiden menjadi lebih tinggi berkisar antara 100-190 kasus per 100.000 orang per tahun.
Pendataan secara global ditemukan 3,5 juta kasus baru per tahun di antaranya 40%
adalah anak-anak, 40% dewasa dan 20% lansia. Rata-rata insidensi epilepsi setiap tahun
di Amerika Serikat diperkirakan 48 per 100.000 orang .(7)
Jumlah kasus epilepsi di Indonesia terbilang cukup tinggi. Rata-rata prevalensi
epilepsi aktif sebanyak 8,2 per 1.000 penduduk, sedangkan angka insidensi mencapai 50
per 100.000 penduduk. Jika jumlah penduduk Indonesia sekitar 230 juta, diperkirakan
masih ada 1,8 juta pasien epilepsi yang butuh pengobatan. Kelompok Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) mengadakan penelitian jumlah penderita
epilepsi pada 18 rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatkan
2.288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1.801 kasus lama.(15)
Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin di negara-negara asia, dilaporkan
laki-laki sedikit lebih tinggi dari pada wanita. Tingkat insidensi laki-laki lebih tinggi
merupakan kontribusi faktor risiko dari trauma kepala. Disamping itu tampak pula
perbedaan distribusi jenis kelamin pada beberapa jenis epilepsi yang berbeda. Kejadian

1
bangkitan umum diindikasikan sedikit lebih tinggi dari pada bangkitan fokal, meskipun
angka ini dapat berubah oleh beberapa faktor. Berkaitan dengan faktor usia, grafik
prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Insidensi epilepsi pada anak-anak cukup
tinggi dan memang merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia tersebut.
Pada usia dewasa kejadian epilepsi menurun. Epilepsi pada kelompok usia ini biasanya
dikarenakan cedera otak akut. Kemudian di usia tua, risiko terkena dan mengalami
kembali epilepsi meningkat.(14)
Epilepsi bisa mengakibatkan banyak hal salah satunya dari segi aspek psikososial
penderita, yang mana di lihat baik di lingkungan masyarakat seperti halnya ada rasa
malu sehingga menarik diri dari aktivitas sosial di masyarakat, penderita tidak di terima
di lingkungannya.10 Sedangkan komplikasi yang di akibatkan oleh epilepsi itu sendiri
adalah terjadinya gangguan listrik di otak yang terjadi terus menerus sehingga
mengakibatkan kerusakan otak akibat hypoksia bahkan bisa berakibat kematian. Maka
dari itu perlu sekali untuk melakukan pengobatan terhadap pasien Epilepsi. (19)

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak


terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan
otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang
epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial
yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang
epileptik sebelumnya. Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau
kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.(1)
Definisi epilepsi menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI) adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini membutuhkan sedikitnya
satu riwayat bangkitan epilepsi sebelumnya.(8)
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik
otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan yang berulang-ulang yang terjadi
akibat akibat ketidaknormalan kerja di sebagian atau seluruh jaringan otak karena
cetusan listrik pada neuron (sel saraf).(22)

2.2 Epidemiologi

Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka
kejadian kira-kira 60.000-160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang
terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus , status epileptikus
merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga

3
kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan
dalam memakan obat antikovulsan. (13)
Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi
mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus
kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal
dengan puncak pada neonates, anak-anak dan usia tua. (13)
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari status
epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua status
epileptikus kebanyakan skunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi
jantung, dementia. Pada Negara miskin, epilepsi merupakan kejadian yang tak
tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi. (13)

2.3 Etiologi

1. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum,


penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai
inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi
genetik.(10)
2. Kriptogenik epilepsi : dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui.
Kebanyakan lokasi yang berhubugan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang
mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma
west. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.(10)
3. Simptomatik epilepsi : pada simptomatik terdapat lesi structural di otak yang
mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan
saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh
darah diotak, toksik (alcohol,obat), gangguan metabolic dan kelainan
neurodegeneratif.(10)

4
2.4 Patofisiologi

Penyebab yang berperan pada onset dan progresivitas epilepsi ada tiga faktor
utama yaitu: 1) faktor genetik, 2) gangguan perkembangan dan atau malformasi susunan
saraf pusat, 3) cedera otak atau interaksi dari ketiga faktor tersebut. Perubahan seluler
dan molekuler yang terjadi akibat cedera otak dan menyebabkan kejang berulang tanpa
provokasi dinamakan epileptogenesis. Kematian neuron di otak dipercaya sebagai
faktor propagasi yang menyebabkan epilepsi dan banyak bukti menunjukkan bahwa
kematian neuron di otak menyebabkan kejang dan sebaliknya kejang menimbulkan
kematian neuron. Kematian neuron terlibat dalam eksitoksisitas dimana kelebihan
glutamate menyebabkan stimulasi berlebihan terhadap reseptor N-methil-D-aspartat
(NMDA), dan menyebabkan akumulasi kalsium di dalam sel dan diikuti dengan cedera
dan kematian neuron. Proses seluler lain yang terlibat pada epileptogenesis adalah
neurogenesis, gliosis, axonal sprouting, cedera axon, remodeling dendrit, angiogenesis,
stres oksidatif, inflamasi, perubahan matriks ekraseluler, dan perubahan saluran
ion.(17,2)
Proses epileptogenesis dapat dibagi menjadi tiga fase yakni: 1) cedera otak
awal, 2) fase laten, tanpa aktivitas kejang berlangsung beberapa bulan sampai beberapa
tahun, 3) fase kronis, dengan kejang spontan berulang. Walaupun mekanisme yang
mendasari terjadinya epilepsi belum sepenuhnya dipahami, tetapi dipercaya bahwa
terjadi interaksi akut dan kronis secara anatomis, molekuler, dan fisiologis yang
kompleks dan bersifat multifaktor. Faktor-faktor pencetus awal mengaktivasi berbagai
jalur sinyal, seperti inflamasi, stress oksidatif, apoptosis, neurogenesis, dan plastisitas
sinap yang akhirnya menyebabkan perubahan struktur dan fungsi neuro-neuron di otak.
Perubahan ini bermanifestasi sebagai hipereksitabilitas abnormal dan terjadi kejang
spontan berulang, yang disebut epilepsi. (17)

5
2.5 Klasifikasi

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against


Epilepsi (ILAE) terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk
jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsy:(5)
1. Bangkitan parsial/fokal;

1.1 Bangkitan parsial sederhana;


1.1.1 Dengan gejala motoric,
1.1.2 Dengan gejala somatosensorik,
1.1.3 Dengan gejala otonom,
1.1.4 Dengan gejala psikis,

1.2 Bangkitan parsial kompleks;

1.2.1 Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan


gangguan kesadaran,

1.2.2 Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal


bangkitan,
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder;
1.3.1 Parsial sederhana yang menjadi umum,
1.3.2 Parsial kompleks menjadi umum,
1.3.3 Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi
umum,
2. Bangkitan umum;
2.1 Lena (absence);
2.1.1 Tipikal lena,
2.1.2 Atipikal lena
2.2 Mioklonik,
2.3 Klonik,

6
2.4 Tonik,
2.5 Tonik – klonik,
2.6 Atonik/astatik,

3. Bangkitan tak tergolongkan.

Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsy; (6)


1. Fokal/partial (localized related)

1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)


1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di
daerah sentrotemporal (childhood epilepsi
with centrotemporal spikesI).
1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang
paroksismal pada daerah oksipital.

1.1.3 Epilepsi prmer saat membaca (primary reading epilepsi).

1.2 Simtomatis

1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang


kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikow’s Syndrome).

1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang


dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang
tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi,
refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal
tinggi, membaca).
1.2.3 Epilepsi lobus temporal.

1.2.4 Epilepsi lobus frontal.

1.2.5 Epilepsi lobus parietal.

1.2.6 Epilepsi oksipital.

1.3 Kriptogenik

7
2 Epilepsi umum

2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan).

2.1.1 Kejang neonates familial benigna,

2.1.2 Kejang neonates benigna,

2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi,

2.1.4 Epilepsi lena pada anak,

2.1.5 Epilepsi lena pada remaja,

2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja,

2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat


terjaga,

2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah


satu di atas,

2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi


yang spesifik,

2.2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan


usia)

2.2.1 Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam),

2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut,

2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik,

2.2.4 Epilepsi mioklonik lena,

2.3 Simtomatis

2.3.1 Etiologi nonspesifik,

• Ensefalopati mioklonik dini,

8
• Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst
suppression,

• Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di


atas,

2.3.2 Sindrom spesifik,


2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.
2.4 Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau
umum ,Bangkitan umum dan fokal
2.4.1 Bangkitan neonatal
2.4.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi
2.4.3 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu
selama tidur dalam
2.4.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom
Landau-Kleffner)
2.4.5 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
2.5 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

3. Sindrom khusus

3.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu


3.1.1 Kejang demam
3.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya
sekali isolated
3.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian
metabolic akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan,
eklamsia, hiperglikemi nonketotik.
3.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi
refrektorik).

9
2.6 Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi,
yaitu;(5,6)
1. Kejang parsial

Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak
atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
▪ Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.
▪ Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana,
tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme.

2. Kejang umum

Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak
atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
▪ Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
▪ Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,
leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.

10
▪ Kejang Mioklonik

Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
▪ Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat
dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata
mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan
diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase
tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
▪ Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
▪ Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan

2.7 Diagnosis

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung


dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.(15)
1. Tentukan tipe bangkitan
2. Tentukan tipe epilepsi
3. Tentukan sindrom epilepsi
Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan
diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau
saksi mata mengenai hal-hal terkait dibawah ini:
1. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan:

▪ Sebelum bangkitan/gejala prodomal

11
▪ Kondisi fisik dan psikis yang
mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar,
berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi
sensitif, dan lain-lain.
• Selama bangkitan/ iktal:

▪ Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan


pada awal bangkitan?

▪ Bagaimana deskripsi bangkitan, mulai dari


deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh
, vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah
satu atau kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah
tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain.
Akan lebih baik bila keluarga dapat diminta
menirukan gerakan bangkitan atau merekam
video saat bangkitan.
▪ Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?

▪ Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan


sebelumnya

▪ Waktu terjadi bangkitan : saat tidur, saat


terjaga, bermain video game, berkemih, dan
lain- lain.
• Pasca bangkitan/ post- iktal: Bingung, langsung sadar, nyeri
kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal,
stress psikologis, alkohol.
c. Faktor lain : usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi
bangkitan, interval terpanjang antara bangkitan, kesadaran
antara bangkitan.

12
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE
sebelumnya

i. Jenis, dosis, jadwal minum, kepatuhan minum obat; dan

ii. Kadar OAE dalam plasma.

e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit


neurologis psikiatrik maupun sistemik yang
mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat pre-natal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan
neonatal/kejang demam.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


▪ Pemeriksaan umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi,
misalnya:
• Trauma kepala

• Tanda-tanda infeksi

• Kelainan congenital

• Kecanduan alcohol atau napza

• Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)

• Tanda-tanda keganasan.
▪ Pemeriksaan neurologis

Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau


difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika
dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan, maka
akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang
tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:

13
• Paresis Todd

• Gangguan kesadaran pascaiktal

• Afasia pascaiktal
3. Pemeriksaan penunjang

• Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling


berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk:
o Membantu menunjang diagnosis

o Membantu penentuan tipe bangkitan maupun sintrom


epilepsi.

o Membatu menentukan prognosis

o Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.

o Membantu menentukan penghentian OAE

• Pemeriksaan pencitraan otak

• CT scan kepala pada kasus kejang pertama kali usia dewasa,


lebih ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan.

• MRI (minimal 1,5 Tesla)

• Positron Emission Tomography Scan (PET-Scan)

• Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)

• Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)

• USG Doppler (pada neonatus)

• Pemeriksaan laboratorium

o Pemeriksaan hematologis

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit


dan hitung jenis, hematokrit, trombosit, apusan

14
darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,
magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi
hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan
albumin.
▪ Awal pengobatan sebagai salah satu
acuan dalam menyingkirkan diagnosis
banding dan pemilihan OAE
▪ Dua bulan setelah pemberian OAE untuk
mendeteksi samping OAE
▪ Rutin diulang setiap tahun sekali untuk
memonitor samping OAE, atau bila
timbul gejala klinis akibat efek samping
OAE.

• Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar


OAE dalam plasma saat bangkitan belum
terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitorkepatuhan
pasien.
• Pemeriksaan penunjang lainnya

Dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:

o Punksi lumbal

o EKG

15
2.8 Diagnosis Banding

• Anak
• Sinkop
Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara akibat hipoperfusi
serebral global transien dikarakteristikkan dengan onset cepat, durasi
yang pendek, dan pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran dikarenakan
penurunan aliran darah ke sistem aktivasi retikular yang berlokasi pada
batang otak dan tidak membutuhkan terapi listrik atau kimia untuk
kembali normal.(12)

• Masturbasi infantil
Dapat ditemukan sejak anak berumur 2 bulan. Sebagian besar terjadi
pada umur 4 tahun sampai masa remaja. Aktifitas masturbasi pada bayi
dan anak sulit dikenali karena sering dilakukan tanpa merangsang
genital. Gejala tersering adalah anak berbaring kemudian merapatkan
atau menyilangkan pahanya, kedua pahanya digerak-gerakan atau
digoyang-goyangkan ke depan dan belakang, sampai berkeringat. Mata
terpejam, setelah itu tampak lemas, lalu tertidur atau bermain kembali.
Bentuk masturbasi yang lain misalnya menekannekankan kemaluan pada
seseorang atau suatu benda misalnya guling atau meja, tangan satu
memegang kemaluannya, sedangkan tangan lain diangkat ke atas atau
berpegangan, sambil bergerak-gerak dan matanya melotot, berkeringat,
setelah itu tampak lemas dan selesai. Berbeda dengan epilepsi, penderita
tetap sadar dan marah atau menangis bila kegiatannya dihentikan.
Kelainan ini tidak berbahaya, tidak perlu pengobatan, dan biasanya akan
berhenti sendiri. Diagnosis dapat ditegakkan semata-mata dengan
pengamatan tanpa perlu pemeriksaan penunjang lain.(20)

16
• Breath holding spells
Kadang disebut menangis biru adalah reflek yang tidak disengaja yang
dilakukan anak-anak. Meskipun terlihat mengkhawatirkan, BHS tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan risiko kesehatan yang serius. BHS
biasanya berlangsung kurang dari satu menit sebelum anak mulai
bernapas dengan normal lagi.(20)

• Migren
Sakit kepala dalam berbagai intensitas, sering disertai mual dan kepekaan
terhadap cahaya dan suara. Migrain terkadang didahului oleh gejala-
gejala peringatan. Pemicunya termasuk perubahan hormonal, makanan
dan minuman tertentu, stres, dan olahraga. Sakit kepala migrain dapat
menyebabkan sakit yang berdenyut di satu wilayah tertentu yang
intensitasnya dapat bervariasi. Mual dan kepekaan terhadap cahaya serta
suara juga merupakan gejala umum.(9)

• Vertigo
Vertigo bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan kumpulan
gejala atau sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada
sistem vestibular ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Selain itu,
vertigo dapat pula terjadi akibat gangguan pada alat keseimbangan tubuh
yang terdiri dari reseptor pada visual (retina), vestibulum (kanalis
semisirkularis) dan proprioseptif (tendon, sendi dan sensibilitas
dalam).(9)

• Dewasa
• Sinkop
Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara akibat hipoperfusi
serebral global transien dikarakteristikkan dengan onset cepat, durasi
yang pendek, dan pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran dikarenakan
penurunan aliran darah ke sistem aktivasi retikular yang berlokasi pada

17
batang otak dan tidak membutuhkan terapi listrik atau kimia untuk
kembali normal.(16)

• Serangan iskemik sepintas


Gangguan neurolgis fokal atau saraf pusat yang timbul secara mendadak
dan menghilang beberapa menit sampai beberapa jam. Stroke ini bersifat
sementara, namun jika tidak ditanggulangi akan berakibat pada serangan
yang lebih fatal.(16)

• Serangan psikogenik
Gejala yang dapat membedakannya dari epilepsi adalah durasi yang
lama, tidak pernah terjadi waktu tidur, perjalanan penyakit yang
berfluktuasi, gerakan asinkron, gerakan pelvis, gerakan kepala ke kiri dan
kanan, menutup mata saat serangan, menangis saat serangan, ingat dan
mengetahui apa yang terjadi saat serangan, dan tidak adanya gejala
bingung pasca serangan. Serangan hampir selalu terjadi bila ada orang
lain di sekitarnya. Serangan non-epileptik psikogenik sering disertai
berbagai gangguan psikiatrik.(16)

• Serangan panic
Gangguan panik adalah kondisi yang tergolong ke dalam gangguan
kecemasan yang ditandai dengan terjadinya serangan panik secara tiba-
tiba, kapan dan di mana saja, serta dialami berulang-ulang.(16)

• Vertigo
Vertigo bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan kumpulan
gejala atau sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada
sistem vestibular ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Selain itu,
vertigo dapat pula terjadi akibat gangguan pada alat keseimbangan tubuh
yang terdiri dari reseptor pada visual (retina), vestibulum (kanalis

18
semisirkularis) dan proprioseptif (tendon, sendi dan sensibilitas
dalam).(16)

• Hipoglikemi
Hipoglikemia adalah kondisi ketika kadar glukosa (gula darah) berada di
bawah normal. Umumnya, seseorang dianggap mengalami hipoglikemia
saat kadar gula darahnya kurang dari 60 mg/dl. Hipoglikemia adalah
salah satu komplikasi akut pada pengidap diabetes dan umumnya
berkaitan dengan penggunaan obat dari golongan sulfonilurea
(glibenclamide, gliklazida, glimepiride, glipizide, dan tolbutamide) atau
insulin.(16)

2.9 Penatalaksanaan

▪ Tatalaksana saat kejang

Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan


oksigenasi yang adekuat dan mengakhiri kejang sesegera mungkin.
Yang pertama dapat diberikan saat kejang adalah diazepam per rektal
dengan dosis 5 mg bila berat badan 10kg. Jika masih kejang dapat
diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat dan sama.
Jika setelah pemberian 2 kali diazepam, namun masih tetap kejang
sesegera mungkin di bawa ke rumah sakit.(3)

▪ Terapi medikamentosa
Tabel Antiepilepsi pada anak berdasar tipe kejang

19
Tipe Kejang OAE Lini Pertama
Penyebab genetik Asam valproate, lamotrigine,
• Myoklonik, tonik klonik levetiracetam, topiramate,
umum zonisamide, benzodiazepine
• Epilepsi genetic dengan Levetiracetam, lamotrigine, asam
kejang febrile. valproat

Umum, struktural atau penyebab Asam valproate, lamotriginem


tidak diketahui topiramate, clobazam, rufinamide

• Lennox – Gastaut,
myoklonik atonik

Fokal, struktural/metabolic, Carbamazepine,oxcarbazepine,


penyebab tidak diketahui levetiracetam, asam valproate
West syndrome ACTH, Prednisolone dosis tinggi,
vigabatrin
Dravet syndrome Asam valproate, benzodiazepine,
tpiramate, stiripentol

▪ Terapi bedah

Intervensi bedah di indikasikan pada pasien anak yang telah


mengonsumsi OAE selama 18 bulan secara teratur dan adekuat namun
tidak menunjukkan penurunan frekuensi dan durasi kejang atau respon
pengobatan terhadap OAE yang buruk. Hal itu disebut sebagai
epilepsi intraktabel. Pada penderita epilepsi, terapi bedah dilakukan
dengan memotong bagian otak yang menjadi fokus sumber serangan
epilepsi. Berikut adalah jenis terapi bedah epilepsi berdasarkan letak
focus; (21)

• Lobektomi temporal
• Eksisi korteks ekstratemporal

20
• Hemisferektomi
• Callostomi

▪ Status epileptikus

Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic. Harus


ditindaki secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera
saraf permanen. Biasanya dilakukan dua tahap tindakan: (21)

a. Stabilitas Penderita

Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan


memperbaiki fungsi vital yang mungkin terganggu. Prioritas pertama
adalah memastikan jalan napas yang adekuat dengan cara pemberian
oksigen melalui nasal canul atau mask ventilasi. Tekanan darah juga
perlu diperhatikan, hipotensi merupakan efek samping yang umum
dari obat yang digunakan untuk mengontrol kejang. Darah diambil
untuk pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum,
kreatinin. Harus diperiksa gas-gas darah arteri untuk melacak adanya
asidosis metabolic dan kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di
koreksi dengan bikarbonat intravena. Segera diberi 50 ml glukosa
50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg im.

b. Menghentikan Kejang
• Status Epileptikus Konvulsif

Stadium Penatalaksanaan

Stadium I ( 0 – 10 • Memperbaiki fungsi kardio-respirasi


menit ) • Memperbaiki jalan nafas, pemberian
oksigen, resusitasi bila perlu

Stadium II ( 10 – 60 • Pemeriksaan status neurologic


menit ) • Pengukuran tekanan darah, nadi dan

21
suhu
• Monitor status metabolic, AGD dan
status hematologi
• Pemeriksaan EKG
• Memasangi infus pada pembuluh darah
besar dengan NaCl 0,9%. Bila akan
digunakan 2 macam OAE pakai jalur
infus
• Mengambil 50-100 cc darah untuk
pemeriksaan laboratorium (AGD,
Glukosa, fungsi ginjal dan hati, kalsium,
magnesium, pemeriksaan lengkap
hematologi, waktu pembekuan dan kadar
OAE), pemeriksaan lain sesuai klinis
• Pemberian OAE emergensi : Diazepam
0.2 mg/kg dengan kecepatan pemberian
5 mg/menit IV dapat diulang bila kejang
masih berlangsung setelah 5 menit
• Berilah 50 cc glukosa 50% pada keadaan
hipoglikemia
• Pemberian tiamin 250 mg intervena pada
pasien alkoholisme Menangani asidosis
dengan bikarbonat
Stadium III ( 0 – 60 • Menentukan etiologi
/90 menit ) • Bila kejang berlangsung terus setelah
pemberian lorazepam / diazepam, beri
phenytoin iv 15 – 20 mg/kg dengan
kecepatan < 50 mg/menit. (monitor
tekanan darah dan EKG pada saat
pemberian) Atau dapat pula diberikan
fenobarbital 10 mg/kg dengan kecepatan

22
< 100 mg/menit (monitor respirasi pada
saat pemberian)
• Memulai terapi dengan vasopressor
(dopamine) bila diperlukan Mengoreksi
komplikasi
Stadium IV( 30/90 Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60
menit ) menit, pasien dipindah ke ICU, diberi Propofol
(2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu) atau
Thiopenton (100-250 mg bolus iv pemberian
dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50 mg
setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam
setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG
terakhir, lalu dilakukan tapering off. Iviemonitor
bangkitan dan EEG, tekanan intracranial,
memulai pemberian OAE dosis rumatan

• Status Epileptikus Non Konvulsif


Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain

SE Lena Benzodiazepin Valproate IV


IV/Oral

SE Parsial Complex Klobazam Oral Lorazepam/ Fenintoin/


Fenobarbital IV

SE Lena Atipikal Valproat Oral Benzodiazepin,


Lamotrigin, Topiramat,
Metilfenidat, Steroid Oral

SE Tonik Lamotrigine Oral Metilfenidat, Steroid

SE Non-konvulsif Fenitoin IV atau Anastesi dengan

23
pada pasien koma Fenobarbital tiopenton,
Penobarbital,Propofol
atau Midazolam.

• Status Epileptikus Refrakter


▪ Terapi bedah epilepsy
▪ Stimulasi N.Vagus
▪ Modifikasi tingkah laku
▪ Relaksasi
▪ Mengurangi dosis OAE
▪ Kombinasi OAE

Kombinasi OAE Indikasi

Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan Lena

Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan Parsial Kompleks

Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum

Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum

2.10 Komplikasi

1. Komplikasi
Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan
memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan
reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron
lainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan metabolik,
sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi
sistemik.Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE konvulsif

24
dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal
ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme
anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi
saraf otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau
aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia
akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa
akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan
oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan
otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan
vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.(4)

2. Komplikasi sekunder

Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah


depresi napas serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan
fenobarbital. Efek samping propofol yang harus diwaspadai adalah propofol
infusion syndrome yang ditandai dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal
ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis metabolik. Pada sebagian
anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia.
Selain efek samping akibat obat antikonvulsan, efek samping terkait
perawatan intensif dan imobilisasi seperti emboli paru, trombosis vena
dalam, pneumonia, serta gangguan hemodinamik dan pernapasan harus
diperhatikan.(4)

2.11 Prognosis

Prognosis epilepsi dapat diklasifikasikan berdasar kelompok prognosis, yaitu


sangat baik, baik, bergan- tung obat antiepilepsi (OAE), dan buruk. Kelompok
prognosis sangat baik ditemukan pada 20%-30% dari semua orang yang
mengalami bangkitan kejang tanpa provokasi dan kemungkinan besar remisi
spontan. Kelompok prognosis baik ditemukan pada 30%-40% kasus, kejang

25
biasanya terkontrol dengan baik dengan OAE dan ketika remisi tercapai sifatnya
permanen dan OAE dapat dengan baik diturunkan atau dihentikan. Kelompok
tergantung OAE terdapat pada 10%- 20% kasus, kejang dapat ditekan dan
mengalami remisi, tetapi kemudian relaps jika OAE dihentikan. Kelompok
prognosis buruk terdapat pada 10%-20% kasus epilepsi, kejang sulit diatasi
meskipun telah mendapat terapi OAE generasi baru. (18)

2.12 Pencegahan

Diperkirakan 25% kasus epilepsi dapat dicegah:

o Mencegah cedera kepala adalah cara paling efektif untuk


mencegah epilepsi pasca trauma.
o Perawatan perinatal yang memadai dapat mengurangi kasus baru
epilepsi yang disebabkan oleh cedera lahir.
o Penggunaan obat-obatan dan cara lain untuk menurunkan suhu
tubuh anak yang demam dapat mengurangi kemungkinan kejang
demam.
o Pencegahan epilepsi yang berhubungan dengan stroke difokuskan
pada pengurangan faktor risiko kardiovaskular, misalnya tindakan
untuk mencegah atau mengontrol tekanan darah tinggi, diabetes
dan obesitas, dan menghindari tembakau dan penggunaan alkohol
yang berlebihan.
o Infeksi sistem saraf pusat adalah penyebab umum epilepsi di
daerah tropis, di mana banyak negara berpenghasilan rendah dan
menengah terkonsentrasi. Penghapusan parasit di lingkungan ini
dan pendidikan tentang cara menghindari infeksi dapat menjadi
cara efektif untuk mengurangi epilepsi di seluruh dunia, misalnya
kasus-kasus akibat neurocysticercosis.(15)

26
DAFTAR PUSTAKA:

1. Accessed on September 5th 2013 :


http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
2. Asla pitkanen, Katarzyna Lukasiuk.2009.Neurogenesis dan angiogenesis.
3. Bagian Neurologi FKUH. 2011.Standar Pelayanan Medik Neurologi. Makassar
: bagian Neurologi FKUH.
4. Budikayanti A, Islamiyah WR, Lestari ND. Diagnosis dan Diagnosis Banding.
In: Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E, editors. 2014. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. 4th ed. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan
Unair.p.19-32
5. Commission on Classification and Therminology of the International League
Against Epilepsy.1981. Proposal for revised clinical and
electroencephalographic classification of epileptic seizures.
Epilepsia.22(4):489-501
6. Commission on Classification and Therminology of the International League
Against Epilepsy.1989. Proposal for revised clinical and
electroencephalographic classification of epileptic seizures.
Epilepsia.30(4):389-399
7. Gunawan, P.Y., Stephanie, E.D. 2014. Karakteristik Pasien Epilepsi di Rumah
Sakit Siloam Lippo Village Tahun 2013. Medicinus 4:2-5.
8. Harsono, dkk. 2011. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. PERDOSSI. Jakarta: 1-6.

9. Ikawati, Z.2011.Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Bursa Ilmu,


Yogyakarta.
10. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A .2003.Pedoman Tatalaksana
Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Pardossi.
11. Leach JP, O’Dwyer R.2011. Diagnosis of Epilepsy. 1st ed. Epilepsy Simplified.
Malta: Gutenberg Press.p. 51-67
12. Mangunatmadja I, Handryastuti S, Risan NA. 2016.Epilepsi pada anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 1:5-6

27
13. Mardjono M, Agoes A.2003. Pandangan umum Tentang Epilepsi dan
Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi dan Neurologi,
14. PERDOSSI. 2016. Pedoman Tatalaksana Epilepsi: Kelompok Studi Epilepsi
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Edisi ke-5. Kusumastuti K,
Gunadharma S, Kustiowati E, penyunting. Surabaya: Airlangga University
Press.
15. PERDOSSI. 2019.Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta : Perdosi;13-19
16. Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI)., 2013 .Penegakan Diagnosis
Pada Pasien Epilepsi. Jakarta : PERDOSSI
17. Pitkänen A, Lukasiuk K. Mechanisms of epileptogenesis and potential treatment
targets. Lancet Neurol. 2011; 10(2):173-86. doi: 10.1016/S1474-
4422(10)70310-0. PMID: 21256455. Accessed on 28 November 2020.
18. Sander JW.2003.The natural history of epilepsy in the era of new antiepileptic
drugs and surgical treatment. Epilepsia ;44(Suppl 1):17-20.
19. Todorova, K.S et all. 2013. Seizure saverity as an alternative measure of
outcome in epilepsy.Jounal of IMAB.
20. Vera R, Dewi MR, Nursiah.2014. Sindrom Epilepsi pada Anak. MKS.4(1):72-
76.
21. Vonck, K., deHerdt, V. Sprenger, M., Ben-Menachem, E. 2012.
Neurostimulation for epilepsy. Dalam: Stefan H, Theodore WH, penyunting.
Handbook of Clinical Neurology. Birmingham: Elsevier Inc.
22. World Health Organization (WHO). 2019. Epilepsy Fact Sheet. Tersedia dari:
https://www.who.int/news-room /fact-sheets/detail/epilepsy

28

Anda mungkin juga menyukai