Anda di halaman 1dari 3

Artikel:

https://www.academia.edu/9689873/Faktor_pendukung_kekurangan_gizi_dilihat_dariaspek_eko
nomi

Faktor pendukung kekurangan gizi dilihat dariaspek ekonomi

Krisis ekonomi meningkatkan angka kemiskinan dan diikuti dengan penurunan kualitas gizi masyarakat.
Indikatornya, di berbagai daerah terus ditemukan kasus busung lapar, gizi buruk, dan aneka penyakit
rakyat karena melemahnya fisik serta menurunnya daya tahan tubuh karena kualitas gizi yang rendah,
yang disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan dan ketidakberdayaan ekonomi. Banyak keluarga
menghabiskan uang untuk rokok daripada untuk susu bagi anaknya.

Kemiskinan memiliki hubungan yang timbal balik dengan gizi ini menyatakan
bahwa, kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi kurang.
Proporsi anak gizi kurang berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil
pendapatan penduduk, makin tinggi prosentase anak yang kekurangan gizi. Makin
tinggi pendapatan makin kecil prosentase anak yang kurang gizi, sementara itu  kurang
gizi pada anak akan berlanjut hingga dewasa akan berpotensi sebagai penyebab
kemiskinan melalui rendahnya prestasi pendidikan pada sekolah dan rendahnya
produktivitas pada sat mereka bekerja. Kemiskinan juga menjadi penyebab bagi
keluarga dalam memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan .  

    Faktor pendukung kelebihanan gizi dilihat dariaspek ekonomi

                Kelebihan gizi di kalangan menengah ke atas biasanya ditandai oleh


kegemukan.  Gemuk tak lagi menjadi simbol kemakmuran. Salah satu pemicunya adalah
kehadiran junk food dan gaya hidup yang tidak sehat. Konsumsi makanan ini sangat buruk bagi
kesehatan, apalagi jika tak diimbangi dengan olahraga seimbang.

Ekonomi sentris, adalah pola konsumsi makanan, dimana makanan yang telah dibeli/dibayar
dipaksakan untuk dikonsumsi habis tanpa memperhitungkan keseimbangan dan kecukupan gizi.
Seringkali orangtua memaksa anaknya untuk menghabiskan makanan karena semata-mata telah
membayar makanan tersebut. Kalangan “eksekutif muda” seringkali terjebak dalam promosi “all
you can eat” akibatnya kelompok ini mencoba mengkonsumsi makanan sebanyak-banyaknya
tanpa mempertimbangkan keanekaragaman makanan dan keseimbangan asupan gizi.

Tuntutan ekonomi dewasa ini membuat orang-orang begitu menghargai waktunya untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang produktif. Sehingga mereka akan berusaha memilih dan
memilah waktu dari aspek untuk apa dan berapa lama waktu tersebut dihabiskan. Tidak
terkecuali waktu untuk makan mereka. Makan (terkecuali jika diperlukan sebagai sarana lobby
dengan rekanan) umumnya dilakukan dengan singkat. Karena alokasi waktu yang singkat ini,
maka menimbulkan konsekuensi pemilihan makanan-makanan instan yang proses persiapannya
tidak membutuhkan terlalu banyak waktu.

                                                      
Faktor pendukung kekurangan gizi dilihat dari aspek gengsi social

tingkat pengetahuan yang belum memadai terutama pada golongan wanita, kebiasaan negatif yang
berlaku di masyarakat, adat istiadat, perilaku, dan kurangnya peran serta masyarakat dalam
pembangunan kesehatan.

Seperti misalnya persepsi masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan masih belum sesuai. Menurut
mereka, yang disebut dengan makan adalah makan sampai kenyang, tanpa memperhatikan jenis,
komposisi, dan mutu makanan, pendistribusian makanan dalam keluarga tidak berdasarkan debutuhan
untuk pertumbuhan dan perkembangan anggota keluarga, namun berdasarkan pantangan-pantangan
yang harus diikuti oleh kelompok khusus, misalnya ibu hamil, bayi, balita, dan sebagianya.

Malu karena berat badan berlebih ingin diet

Faktor pendukung kelebihanan gizi dilihat dari aspek gengsi social

Cara pandang terhadap penyakit, penyembuhan, makanan, dan obat  merupakan proses pewarisan
budaya yang terkait dengan pandangan masyarakat terhadap alam atau lingkungan sekitar. Timbullah
perbedaan pada berbagai bentuk masyarakat yang didasarkan  pada asumsi bahwa nilai-nilai yang
mereka anut adalah yang benar dan yang terbaik.

Salah satu dampak dari arus globalisasi yang paling nyata terlihat pada warga perkotaan adalah
perubahan pola makan, yang termasuk didalamnya bagaiman memilih tempat makan dan jenis makanan
yang dikonsumsi. Pergeseran pola makan ini terutama dipicu oleh perbaikan/peningkatan pendapatan
(ekonomi), kesibukan kerja yang tinggi (waktu yang terbatas) dan promosi makanan trendy ala barat,
utamanya fast food maupun health food yang populer di Amerika dan Eropa, namun tidak diimbangi
dengan pengetahuan dan kesadaran gizi. Akhirnya budaya makan berubah menjadi tinggi lemak jenuh
dan gula, rendah serat dan rendah zat gizi mikro.

Pola makan tinggi lemak jenuh dan gula, rendah serat dan rendah zat gizi mikro akan menyebabkan
masalah kegemukan, gizi lebih, serta meningkatkan radikal bebas yang akhirnya mengakibatkan
perubahan pola penyakit, dari infeksi ke penyakit kronis non infeksi atau memicu munculnya penyakit
degeneratif.

Gengsi sentris merupakan gaya konsumsi makanan yang berorientasi pada makanan yang bergengsi
tinggi seperti makanan impor khususnya fast food. Makanan tradisional yang lebih menjamin asupan gizi
seimbang tidak lagi menjadi pilihan kelompok gengsi sentris, karena makanan tradisional dinilai tidak
bergengsi. Disini tampak sekali bahwa makanan yang di negeri asalnya tidak memiliki gengsi, dengan
trick promosi yang gencar berhasil naik peringkat menjadi makanan bergengsi di Indonesia.

Faktor pendukung kekurangan gizi dilihat dari aspek suku bangsa

Tabu makanan yang merupakan bagian dari budaya menganggap makanan makanan tertentu berbahaya
karena alasan-alasan yang tidak logis. Hal ini mengindikasikan masih rendahnya pemahaman gizi
masyarakat dan oleh sebab itu perlu berbagai upaya untuk memperbaikinya. Pantangan atau tabu
adalah suatu larangan untuk mengonsumsi suatu jenis makanan tertentu karena terdapat ancaman
bahaya atau hukuman terhadap yang melanggarnya. Dalam ancaman bahaya ini terdapat kesan magis
yaitu adanya kekuatan supernatural yang berbau mistik yang akan menghukum orang-orang yang
melanggar pantangan atau tabu tersebut. Selain itu unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu
kebiasaan makan penduduk yang kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi.

Faktor pendukung kelebihanan gizi dilihat dari aspek suku bangsa

Begitu kuatnya kontrol kebudayaan terhadap kebiasaan makanan, mempengaruhi  aspek psikologi
masyarat penganut kebudayaan tersebut. Timbul perbedaan selera makan yang dipengaruhi faktor
kebiasaan. Nafsu lapar  sering dipicu oelh aspek psikologi yang diatur oleh budaya. Nafsu lapar akan
terbit kalau melihat atau membaui makanan yang sudah dikenal, dan yang selama ini telah memberikan
dampak rasa enak, selera ketika mengkonsumsi makanan tersebut.  Bagi yang terbiasa makan rawon,
masakan daging sapi dengan kuah berwarna hitam, atau  rujak cingur yang diolah dengan bumbu petis
yang  berwarna hitam pekat pasti terbit seleranya melihat makana tersebut. Namun bagi yang belum
pernah melihat dan merasakan, reaksi pertama mungkin akan takut untuk mencoba, mucul perasaan
mual atau jijik, apalagi kalau mengetahui bahwa  cingur  adalah bagian dari hidung sapi.

Anda mungkin juga menyukai