Anda di halaman 1dari 14

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA
---------------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 85/PUU-XVII/2019

PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014
TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23
TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945

MENDENGARKAN KETERANGAN PEMERINTAH DAN DPR


(III)

JAKARTA
RABU, 29 JANUARI 2020
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 85/PUU-XVII/2019

PERIHAL

Pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak [Pasal 74 ayat (1),
Pasal 74 ayat (2) sepanjang frasa dalam hal diperlukan, kata dapat, dan frasa atau
lembaga lainya yang sejenis, dan Pasal 76 huruf a] terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON

1. Dr. Susanto, M.A.


2. Ayu Ningsih, S.H.
3. Alik Ruslaini Rosyad, S.T.
4. Meidy Hendrianus, A.Md.Par.

ACARA
Mendengarkan Keterangan Pemerintah dan DPR (III)

Rabu, 29 Januari 2020, Pukul 10.00 – 12.00 WIB


Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi
RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta
Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Shafira Karenina (Ketua)


2) Dewi Maesyaroh (Anggota)
3) Putri Kaela (Anggota)
4) Sherlly Monica Silvianty (Anggota)
5) Qotrun Nada (Anggota)
6) Fadhilatul Laela Qodriyah (Anggota)
7) Ahus Fahmi (Anggota)

Maya Dwi Ambarwati Panitera


Pihak yang Hadir:

A. DPR
1. Ester Wijaya Anggara, S.H.M.I.Pol

B. Pemerintah
1. Purwoko Atmojo, S.H.M.Sos
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.10 WIB

1. KETUA: SHAFIRA KARENINA


Sidang Perkara Nomor 85/PUU-XVII/2019, saya nyatakan dibuka dan
terbuka untuk umum.

KETUK PALU 3X

Baik, assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita
semua. Hari ini kita akan mendengarkan keterangan dari Pemerintah dan
DPR. Kalau demikian, kita mengecek dahulu dari Pihak DPR dan Pihak
Pemerintah. Silakan, siapa yang hadir pada kesempatan ini.

2. DPR : ESTER

Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang hadir dari
DPR, pertama, saya Ester Wijaya Anggara, S.H.M.I.Pol dari Anggota
Komisi III DPR RI terima kasih.

3. KETUA: SHAFIRA KARENINA


Ya baik, dari pemerintah silahkan.

4. PEMERINTAH : PURWOKO
Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang hadir dari
Pemerintah, saya Purwoko Atmojo, S.H.M.Sos dari Anggota terima kasih.

5. KETUA: SHAFIRA KARENINA


Baik, terima kasih. Baiklah saya persilakan Pihak DPR terlebih dahulu untuk
memberikan tanggapan atas permohonan ini dan nanti keterangannya akan
dikirimkan pada Para Pemohon yang dalam perkara ini. Saya persilakan
Bapak untuk memberikan tanggapan.

6. DPR : ESTER
Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi. Saya akan membacakan opening statement DPR atas
Permohonan Pengujiian Undang-Undang Pengujian Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak [Pasal 74 ayat (1), Pasal 74 ayat (2) sepanjang
frasa dalam hal diperlukan, kata dapat, dan frasa atau lembaga lainya yang
sejenis, dan Pasal 76 huruf a] terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
A. Pokok Permohonan Para Pemohon
Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian materiil
terhadap ketentuan Pasal 74 ayat (1), Pasal 74 ayat (2), dan Pasal 76 huruf
a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 35)
(Selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014),
yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 74 ayat (1)
“Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan
pemenuhan Hak Anak, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi
Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen”
Pasal 74 ayat (2)
“Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi
Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk
mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah”
Pasal 76 huruf a
“Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan
pemenuhan Hak Anak”
Bahwa pasal a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B
ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut UUD 1945)
yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 28B ayat (2)
”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi”
Pasal 28D ayat (1)
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”
Pasal 28I ayat (4)
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”
B. Penjelasan Terhadap Materi Permohonan
Bahwa pembentukan Undang-Undang a quo sudah sejalan dengan
amanat UUD RI Tahun 1945 dan telah memenuhi syarat dan ketentuan
sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perybahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Peradilan Anak dengan argumentasi sebagai berikut:
Bahwa tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam alinea ke-4
UUD Tahun 1945 yaitu, “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam
suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Pancasila”;
Bahwa Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945
menyebutkan ”kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. Hal tersebut mengandung makna
bahwa Undang-Undang Dasar adalah merupakan sumber hukum tertulis
tertinggi dalam hierarki perundang-undangan yang menjadi sumber
hukum bagi setiap komponen bangsa untuk menjalankan kedaulatannya
berupa pelaksanaan fungsi, tugas, dan kewenangannya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Bahwa DPR RI berdasarkan UUD Tahun 1945
adalah lembaga negara yang merupakan representasi rakyat yang
diberikan kedualatan/kekuasaan oleh UUD Tahun 1945 untuk membuat
undang-undang.
Bahwa pada batang tubuh UUD Tahun 1945 diatur lebih lanjut bahwa
Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945),
maka undang-undang merupakan hukum yang harus dijunjung tinggi dan
dipatuhi oleh setiap komponen masyarakat termasuk didalamnya
Pemohon dan juga negara dalam menyelenggarakan negara dan
pemerintahan. Gagasan negara hukum yang dianut UUD Tahun 1945 ini
menegaskan adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip
supremasi hukum (supremacy of law) yaitu bahwa semua masalah
diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
Bahwa Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan
negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang
secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi
anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup
umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B UUD Tahun 1945
perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan negara yang bertujuan
melindungi anak, khususnya perlindungan terbaik bagi anak yang
berhadapan dengan hukum. Perlindungan yang dimaksud salah satunya
adalah dengan mengundangkan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak.
Bahwa tujuan Pemerintah mengesahkan Undang-Undang tersebut,
yang secara substantif telah mengatur beberapa hal antara lain persoalan
Anak yang sedang berhadapan dengan hukum, Anak dari kelompok
minoritas, Anak dari korban eksploitasi ekonomi dan seksual, Anak yang
diperdagangkan, Anak korban kerusuhan, Anak yang menjadi pengungsi
dan Anak dalam situasi konflik bersenjata, Perlindungan Anak yang
dilakukan berdasarkan prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi
anak, penghargaan terhadap pendapat anak, hak untuk hidup, tumbuh dan
berkembang. Dalam pelaksanaanya Undang-Undang tersebut telah sejalan
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 terkait jaminan hak asasi manusia, yaitu Anak sebagai manusia
memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang.
Bahwa undang-undang tersebut mempertegas tentang perlunya
pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap
Anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah
konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban
dan/atau Anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk
mengantisipasi Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di kemudian
hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.

5. KETUA : SHAFIRA KARENINA


Apakah sudah cukup?

6. DPR : ESTER
Belum yang mulia saya akan melanjutkan yang keterangan selanjutnya.
Bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan
perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum untuk memenuhi hak-
hak anak sehingga Anak ditempatkan pada posisi yang mulia sebagai amanah
Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki peran strategis dalam menjamin
kelangsungan eksistensi Negara ini.
Bahwa melalui Undang-Undanng tersebut, jaminan hak anak dilindungi,
bahkan dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang
memiliki tanggungjawab untuk meningkatkan efektivitas perlindungan anak.
Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah
menggariskan pada Pasal 28B ayat (2) bahwa : “setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi”.
Bahwa dengan dicantumkannya hak anak tersebut dalam batang tubuh
konstitusi, maka bisa diartikan bahwa kedudukan dan perlindungan hak anak
merupakan hal penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan
dalam kenyataan sehari-hari.
Bahwa Pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu sebagai berikut:
a. Kejelasan tujuan
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
d. Dapat dilaksanakan
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. Kejelasan rumusan
g. keterbukaan
Asas dapat dilaksanakan memiliki arti bahwa suatu peraturan haruslah
memperhitungkan efektivitasnya dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis.

7. KETUA : SHAFIRA KARENINA


Apakah sudah cukup DPR?

8. DPR : ESTER
Belum yang mulia, saya akan menyampaikan tentang landasan filosofis,
yuridis, dan sosiologis.
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau ulasan yang
menggambarkan atau alsan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan
Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain
peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau
tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang
sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak
memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada. Unsur yuridis
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan filosofis, sosiologis,dan yuridis dimuat dalam pokok pikiran pada
konsideran setiap undang-undang. Unsur tersebut menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari
filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Menurut Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234, landasan yuridis
merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan
yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang
akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan
rasa keadilan masyarakat.
Pancasila sebagai dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga,
bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis pelaksanaan
perlindungan anak.
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa UU yang dibentuk mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
UUD NRI Tahun 1945 (Pusat Perancangan Undang-Undang, 2017:26).
Perlindungan anak merupakan bagian hak asasi manusia. Sehingga, landasan
filosofi perlindungan anak sebagaimana diatas dapat disederhanakan sebagai
dasar kebijakan untuk memenuhi hak anak menuju hak asasi manusia yang
dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh Negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua. Dengan kata lain semua lapisan ikut berperan dan
wajib menjaga, melindungi hak-hak anak demi terciptanya cita-cita bangsa.
Bahwa dari kejelasan norma a quo telah memenuhi ketiga asas hukum yakni
kepastian, kemanfaatan dan keadilan sehingga dalam pelaksanaannya norma
a quo memberikan nilai seperti apa yang tertuang dalam norma a quo.
Bahwa Perkembangan kehidupan masyarakat yang terjadi di Indonesia selalu
memberikan dampak kepada pada perundang-undangan kita, kebutuhan
manusia dengan perubahan nilai-nilai tersebut menuntuk pembaharuan
hukum untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan
Pancasila.
Bahwa dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Anak maka Negara
telah memberikan kepastian hukum dalam kaitannya dengan jaminan dan
perlindungan hukum terhadap anak. Undang-Undang Perlindungan Anak
dalam penyusunanannya telah memperhatikan aturan dari beberapa
perundang-undangan yang lain, artinya peraturan perundang-undangan
tentang perlindungan anak ini sudah melewati tahap pengharmonisasian
peraturan perundang-undangan terkait, baik secara horizontal maupun secara
vertikal, sehingga tidak terdapat aturan yang mengandung multitafsir yang
mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum di dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak yang dimaksud. Sehingga sudah sesuai dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD NRI 1945.
Bahwa dii dalam dunia perlindungan hukum, seiring berjalannya waktu pasti
terjadi perubahan yang mempengaruhi perkembangan secara langsung
maupun tidak langsung terhadap sistem perlindungan anak yang ada pada
saat ini. Perkembangan ini dapat terjadi baik secara lingkup daerah hingga
lingkup nasional yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak
langsung terhadap kegiatan perlindungan yang sebagian besar telah tertuang
dalam ketentuan-ketentuan yang bersifat daerah maupun nasional seperti
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, terkait dengan perlindungan terhadap
anak telah ditetapkan pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan,
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait pemidanaan terhadap
pornografi anak dan peraturan-peraturan lainnya yang mengatur.
Untuk mengakomodasi hal-hal tersebut dalam memberikan kepastian hukum
baik terhadap perlindungan anak untuk memberikan hak anak, dan
pemerintah sebagai pembina perlindungan anak, perlu ditetapkan UU Nomor
35 Tahun 2014 yang bertujuan menjawab masalah-masalah yang timbul
dalam perkembangan sistem perlindungan anak, serta untuk melengkapi atau
komplementer dengan UU Nomor 11 Tahun 2013 tentang Sistem Peradilan
Anak, dimana ada amanat bagi Pemerintah untuk memberikan
perlindunganvanak sebagai hak nya.

Demikian, Yang Mulia Ketua Majelis Hakim, keterangan dan opening


statement yang kami sampaikan, terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb.

9. KETUA : SHAFIRA KARENINA


Baik terimakasih. Dari Pihak Pemerintah silahkan untuk memberikan
keterangan.

10. PEMERINTAH : PURWOKO


Baik Yang Mulia terimakasih atas waktu yang telah diberikan.
Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak
konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 55 UU
MK yang pada intinya mewajibkan Mahkamah Agung (MA) untuk
menghentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undnag, apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian sedang dalam
proses pengujian sampai ada putusan MK. Kerugian konstitusional Pemohon
akibat pasal a quo karena Para Pemohon tidak dapat menguji materiil
ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No.
35 Tahun 2014):
Bahwa pasal a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut: “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Perihal Alasan Pengujian Ketentuan Pasal 76 huruf a UU Nomor 35 Tahun
2014 yang bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28I ayat (4) UUD RI Tahun 1945. Bahwa Komisi Perlindungan Anak
Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang
melaksanakan tugas tertentu dalam pengawasan pelaksanaan hak-hak anak
yang dirumuskan dalam Pasal 76 UU Nomor 35 Tahun 2015. Bahwa
ketentuan hukum mengenai Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang
dirumuskan dalam Pasal 76 UU Nomor 35 Tahun 2014 merupakan
pengakuan dibutuhkannya sistem kelembagaan pengawasan hak-hak anak
yang bersifat independen dalam melaksanakan hak konstitusional anak Pasal
28B ayat (2) UUD RI Tahun 1945 dan jaminan HAM cq. hak-hak anak
sebagai anasir dari negara demokrasi konstitusional yang sebangun dengan
negara hukum yang demokratis (democratish rechstaat).
Dalam permohonan ini, Para Pemohon menjelaskan legal standing nya
sebagai berikut:
1) Bahwa Pemohon I, suatu lembaga negara yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juncto
Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo.
Peraturan Presiden RI Nomor 61 Tahun 2016 tentang Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, tanggal 17 Juni 2016, dengan pengurus atau komisioner
yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia, terakhir
berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77/P Tahun
2017 tentang Pemberhentian Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Periode 2014-2017 dan Pengangkatan Anggota Komisi Perlindungan Anak
Indonesia Periode 2017-2022 tanggal 15 Juni 2017, yang mempunyai tugas
sesuai ketentuan Pasal 76 UU Nomor 35 Tahun 2014, dan Pemohon I cq.
KPAI di tingkat pusat berfungsi dan bertindak sebagai institusi nasional hak
asasi manusia (national human rights institution/NHRI), oleh karena adanya
kerugian konstitusional Pemohon I terhadap norma-norma yang diujikan
dalam perkara aquo sehingga Pemohon I mempunyai kedudukan hukum
(legal standing) dalam perkara a quo;
2) Bahwa Pemohon II, III, IV, V, VI, VII, VIII masing-masing adalah
lembaga komisi perlindungan anak daerah, yang secara eksplisit disebutkan
dalam norma UU Nomor 23 Tahun 2002 Jo. UU Nomor 34 Tahun 2014 Pasal
74 ayat (2) yang masing-masing mempunyai status dan kedudukan sebagai
badan hukum yang bertugas untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan
Perlindungan Anak di daerah masing-masing, baik tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota, yang sudah nyata bekerja dalam pengawasan dan
perlindungan anak di daerah masing-masing, namun terganggu hak
konstitusionalnya karena tidak adanya jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum terhadap komisi perlindungan anak daerah dalam norma UU Nomor
35 Tahun 2014, sehingga mengalami hambatan kapasitas kelembagaan yang
tidak sebangun dan tersistem dengan KPAI dalam menjalankan fungsi
institusi HAM yang menjangkau anak-anak di daerah. Keadaan itu
menimbulkan pelemahan dan pembiaran yang terjadi karena ketidakpastian
hukum Komisi Perlindungan Anak Daerah sebagai bagian dari sistem
pengawasan yang terintegrasi dengan KPAI yang menimbulkan kerugian
konstitusional, dan karenanya Pemohon II, III, IV, V, VI, VII, VIII memiliki
kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara a quo;
3) Bahwa Pemohon II, III, IV, V, VI, VII, VIII secara konkrit telah turut
berperan dalam menjalankan pemihakan, hak dan tanggung jawabnya dalam
perlindungan hak-hak anak sebagai HAM dimana anak-anak merupakan
kelompok rentan (vulnerable group) dan membutuhkan perlindungan bahkan
perlindungan khusus (special protection) terhadap anak-anak yang dalam
berada dalam pusaran permasalahan khusus, yang secara yuridis penting
perlindungan khusus anak diakui termasuk ketentuan dalam Pasal 59, 59A,
60, 64, 65, 66, 67, 67A, 67B, 67C, 68, 69, 69A 69B, 70, 71, 71A, 71B, 71C,
71D UU Nomor 35 Tahun 2014;
4) Bahwa Pemohon II, III, IV, V, VI, VII, VIII walaupun telah ada dan
dibentuk namun adanya ketidakpastian hukum dalam hal norma Komisi
Perlindungan Anak Daerah mengakibatkan tidak terjamin dan terlindunginya
hak-hak anak yang diamanatkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sehingga tidak
menjangkau pengawasan terhadap segenap anakanak di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu Pemohon II, III, IV,
V, VI, VII, VIII mempunyai kedudukan hukum (legal standing) mengajukan
pengujian materil terhadap normanorma UU Nomor 35 Tahun 2014
sebagaimana objek pengujian materil dalam perkara a quo;
5) Bahwa Pemohon IX, dan Pemohon XI adalah orang perorangan Warga
Negara Indonesia yang berkepentingan terhadap perlindungan dan
pengawasan anak di daerah, yang pernah mengabdi dan menjalankan tugas
dan fungsi perlindungan anak dan pengawasan perindungan anak di Provinsi
Sumatera Utara dengan mengacu dan berdasarkan Pasal 74 ayat (2) UU
Nomor 35 Tahun 2014, namun karena kelembagaan KPAID Provinsi
Sumatera Utara telah dibubarkan dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera
Utara Nomor 9 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan Anak sehingga sampai saat permohonan pengujian material ini
diajukan tidak ada lagi kelembagaan KPAID Provinsi Sumatera Utara yang
bertugas melakukan perlindungan dan pengawasan anak sebagaimana
maksud ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2014;
6) Bahwa Pemohon X adalah orang perseorangan dari kolega yang memiliki
anak yang membuat laporan pengaduan dan menggunakan jasa KPAI dan
berhasil memenuhi hak-hak anak tersebut, dan karenanya memiliki
kepentingan terhadap adanya kelembagaan perlindungan anak seperti halnya
KPAI dan KPAD sebagaimana maksud Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) UU
Nomor 35 Tahun 2014;
7) Bahwa berdasarkan ketentuan dan syarat-syarat di atas, bahwasanya para
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara
pengujian Undang-undang a quo;
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon, PEMERINTAH RI
berpandangan bahwa:
a. Pemohon yang memohon agar Mahkamah menambahkan frasa “termasuk
Komisi Perlindungan Anak Daerah” dalam Pasal 74 ayat (1) UU
Perlindungan Anak terlebih lagi jika hal tersebut didalilkan para Pemohon
agar wajib dibentuk oleh daerah (Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak)
adalah dalil yang tidak mendasar. Namun demikian, sesuai dengan amanat
Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak, daerah dapat membentuk
kelembagaan dimaksud sepanjang dibutuhkan oleh daerah yang bersangkutan
sesuai dengan situasi dan kondisi serta kompleksitas persoalan perlindungan
anak di daerah. Kebutuhan demikian sekaligus menjawab amanat Pasal 28B
ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya, pembentukan KPAID berdasarkan Pasal
74 ayat (2) UU Perlindungan Anak tidaklah dimaksudkan untuk menggerus
kewenangan daerah atas penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan yang
telah diserahkan sebagai urusan daerah, in casu urusan perlindungan anak.
Dengan demikian Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan
inkonstitusionalitas norma Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) UU Perlindungan
Anak sehingga dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
b. Tidak jelas kerugian konstitusional seperti apa, jika pasal a quo tidak
dimaknai sebagaimana yang dikehendaki dalam petitum permohonan. Posita
tidak menjelaskan mengapa Para Pemohon berkesimpulan pada petitum
bersyarat. Pada dasarnya tidak ada elaborasi dan korelasi antara posita dengan
petitum bersyarat.
c. Para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional apapun dari pasal a
quo, sebagaimana yang Pemohon dalilkan bahwa Para Pemohon masih
sebatas hendak menguji ke MK Pasal 74 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014.
PEMERINTAH RI berpandangan setidaknya Para Pemohon perlu
membuktikan terlebih dahulu berdasarkan penalaran yang wajar bahwa niat
Para Pemohon untuk menguji PP Pengupahan telah dilakukan supaya unsur
kerugian terbukti. Dengan demikian, Para Pemohon juga tidak mengalami
kerugian apapun dari dalil-dalil yang diungkapkannya.
Dengan demikian, dalil-dalil permohonan tidak jelas dan tidak fokus (obscuur
libels), karena Para Pemohon tidak menguraikan dan mengkonstruksikan
secara jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas
berlakunya pasal a quo yang bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya
potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Oleh
karena itu, terhadap legal standing Para Pemohon yang tidak memiliki
keterkaitan dengan pasal a quo dan tidak mengalami kerugian konstitusional,
PEMERINTAH RI memberikan pandangan senada dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam
Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 6
Desember 2019, yang pada pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa menurut Mahkamah:
Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka
tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point 7 d’interest,
point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen
rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam
Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut
ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without
legal connection.
Dengan demikian, PEMERINTAH RI melalui Majelis memohon kiranya
Para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang
dirugikan atas berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal
standing) Para Pemohon, PEMERINTAH RI menyerahkan sepenuhnya
kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk
mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi

11. KETUA : SHAFIRA KARENINA


Dari pihak pemerintah apakah sudah cukup?

12. PEMERINTAH : PURWOKO


Sudah Yang Mulia.

13. KETUA : SHAFIRA KARENINA


Baik. Saya kira demikian, dari Pihak DPR maupun Pemerintah ada yang
saudara hendak sampaikan sebelum sidang ini ditutup?

14. PEMERINTAH : PURWOKO


Tidak Yang Mulia.

15. DPR : ESTER


Cukup Yang Mulia.

16. KETUA : SHAFIRA KARENINA


Baik, terima kasih. Nanti jawaban itu bisa diserahkan pada Panitera atau
majelis. Oh yaa, baik kalau begitu, sidang ini ditunda hari Rabu 5 Februari
2020, pukul 10.10 WIB, dengan acara mendengar keterangan ahli. Dengan
demikian, sidang selesai dan ditutup.

KETUK PALU 3X

SIDANG DITUTUP PUKUL 12.00 WIB


Jakarta, 29 Januari 2020
Panitera,

Maya Dwi Ambarwati, S.H.,M.H.


NIP. 19710818 199302 1 001

Anda mungkin juga menyukai