Suryana 1
Abstract
The study presented in this paper analyzes changes that make organizations ready to discuss complex
ones, this research will develop policies that will be carried out by balancing the interests of the
organization without the need to find resources. The research method used is a qualitative method,
research shows that leaders are indispensable in the era of globalization. Characteristics of leaders who
can realize the vision into a challenge have a long-term perspective, can develop subordinates, innovative,
creative, have transition intelligence and related characteristics is something that determines the success
of leaders to be able to compete in the era of globalization.
Abstrak
Studi yang disajikan dalam makalah ini menganalisis perubahan yang menjadikan organisasi
siap untuk menghadapi permasalahan yang kompleks, penelitian ini bertujuan untuk
menyusun kebijakan yang akan dilakukan dengan menyeimbangkan kepentingan organisasi
tanpa meninggalkan sumberdaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
kualitatif, hasil penelitian menunjukan pemimpin yang efektif sangat diperlukan di era
globalisasi. Karakteristik pemimpin yang dapat merealisasikan visi menjadi kenyataan,
memilik perspektif jangka panjang, dapat mengembangkan bawahan, inovatif, kreatif,
memiliki kecerdasan emosi dan karakteristik lainnya merupakan sesuatu yang menentukan
suksesnya pemimpin untuk bisa bersaing di era globalisasi.
1. Pendahuluan
Sumber daya manusia merupakan topik yang menarik untuk dikaji dan diteliti, karena
Telah terjadi pergeseran kepemimpinan di bandingkan era tahun 1980-an dan 1990-an yang
akan berdampak pada pergeseran di bidang ekonomi global, kompetisi, dan kebutuhan akan
sumber daya manusia. Oleh karena itu, pemimpin harus multitalenta dalam mengendalikan
kegiatannya agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan baik.
1 Email: ingatsuryana@gmail.com
Era globalisasi tentu saja membawa banyak perubahan, baik yang bersifat positif
maupun negatif. Sisi positifnya adalah pada saat sekarang ini informasi/pengetahuan
mudah diperoleh meskipun juga mengalami masa yang cepat, sedangkan sisi yang lain
adalah bahwa permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari semakin kompleks
dan sekaligus tidak pasti.
Perubahan yang demikian drastis seringkali menjadikan organisasi menghadapi
permasalahan yang semakin kompleks dan tidak hanya menyangkut masalah finansial,
namun seringkali juga sumber daya manusia. Perubahan yang demikian tidak hanya
menuntut seorang manajer yang mempunyai kepandaian intelektual yang tinggi, namun
mampu menghitung seberapa banyak alokasi dana, berapa perkiraan keuntungan yang
harus diperolehnya, dan perhitungan perkembangan perusahaan secara angka saja. Justru
pada saat dinamika perusahaan naik turun, diperlukan seseorang yang mampu
menyeimbangkan kepentingan organisasi dengan tanpa meninggalkan sumber daya,
khususnya sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya, atau dengan kata lain
dibutuhkan suatu kepemimpinan yang tepat. Menurut Tanaka (1998) kepemimpinan
memang menempati posisi sentral dalam manajemen. Tugas seorang pemimpin memang
berkaitan dengan kegiatan manajemen dan kepemimpinan.
Melakukan kegiatan manajemen berarti mengerjakan segalanya secara benar, dan
melakukan kegiatan kepemimpinan berarti mengerjakan hal-hal yang benar. Seorang
pemimpin dituntut untuk dapat memenuhi kedua persyaratan di atas secara menyeluruh.
Seringkali para pemimpin menemui dilema dalam pengambilan keputusan karena hal benar
yang dibenarkan secara manajemen dalam kesempatan yang lain, artinya dimensi waktu
bisa menegatifkan pengambilan keputusan sebelumnya (Gunawan Samsu, 2009). Untuk
lebih mengantisipasi hal tersebut, maka dibutuhkan seorang pemimpin yang visioner dan
efektif.
Pemimpin visioner berarti seorang pemimpin yang dalam bertindak, berpikir
memandang jauh ke depan. Ia menetapkan tujuan perusahaan dalam visi dan misi, ia
menetapkan kebijakan dengan melihat baik buruknya alternatif dan resiko atau akibat yang
akan terjadi, sudah dipertimbangkan baik-baik. Setiap persoalan dipandang secara bijak
diambil hikmahnya, jika baik diambil, jika buruk kemudian diperbaiki agar tetap mengarah
dan fokus ke masa depan Agustian Ary Ginajar (2008) seorang visioner adalah mereka yang
memiliki tujuan jangka panjang. Mereka bekerja bukan untuk sesuatu yang bersifat fisik dan
sementara, namun untuk kepentingan orang banyak.
Menurut Gunawan Samsu (2008). ”Seorang visioner punya kearifan untuk bersinergi
dengan visioner lainnya, dengan semangat saling memperkuat seperti layaknya ikatan sapu
lidi. Seorang visoner juga harus punya kesabaran untuk merangkai tiap batang sapu lidi
untuk menjadi ikatan yang kuat. Hal ini berarti bahwa seorang visioner haruslah seorang
yang peduli dan empati dengan orang lain khususnya anak buah atau anggota-
anggotanya”. Sedangkan pemimpin efektif adalah seorang pemimpin yang mampu
memimpin dengan segala ucapan, perbuatan dan sikap atau perilaku hidup yang
mendorong dan mengantarkan bawahan pada tujuan yang hendak dicapai. Riyadiningsih
dan Ratna (2007) menyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif akan sangat berpengaruh
terhadap kinerja bawahan dalam suatu organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa
bawahan akan memiliki kinerja tinggi jika kepemimpinannya efektif. Kinerja bawahan
tinggi dengan sendirinya akan berimbas pada kinerja organisasi yang tinggi pula.
Di era globalisasi ini kecerdasan emosi memainkan peranan yang penting dalam semua
bidang kehidupan dan semua bidang pekerjaan. Sejak munculnya buku Emotional
Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (Goleman, 1995), kecerdasan emosi makin
popular dir ujuk sebag ai faktor penting dalam menjelaskan keberhasilan di tempat
kerja. Goleman berargumen dalam bukunya itu bahwa kecerdasan emosi mampu
menjelaskan 80% dari kesuksesan kerja, hanya 20% sisanya dijelaskan oleh faktor lain seperti
kecerdasan intelektual. Majalah Time edisi 2 Oktober 1995 menulis di cover-nya, “It's not your
IQ. It's even not a number. But emotional intelligence may be the best predictor of success in life,
redefining what it means to be smart (lihat juga Mayer, Salovey, Caruso, & Cherkasskiy, 2011).”
Banyak bukti penelitian mengungkap bahwa keberhasilan seseorang dalam kehidupan
tidak lagi mendasarkan pada aspek kognitif yaitu berupa inteligensi (IQ), tetapi aspek afektif
yaitu kecerdasan emosi (EQ) yaitu kemampuan menahan diri, mengendalikan emosi,
memahami emosi orang lain, motivasi tinggi, bersikap kreatif, memiliki empati, bersikap
toleransi dan sebagainya yang merupakan karakteristik yang jauh lebih penting dari sekedar
inteligensi.
2. Metodologi
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, tujuan penggunaan metode
ini untuk memahami dan meneliti fenomena secara holistik tentang karakteristik
kepemimpinan yang efektif dan kecerdasan emosional.
Disamping itu, dilaksanakan pula metode penelitian kepustakaan yaitu dengan
mempelajari dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan, data dan dokumen
yang berkaitan karakteristik kepemimpinan yang efektif dan kecerdasan emosional, untuk
memperoleh dan menggali informasi yang lebih dalam dan akurat, sehingga dapat
melengkapi penelitian ini.
3. Tinjauan Pustaka
A. Karakteristik Kepemimpinan yang Efektif
Ada beberapa karakteristik dari kepemimpinan yang efektif yang dikemukan oleh
berbagai tokoh antara lain:
1. Gordon (1991) kepemimpinan yang efektif meliputi: (1) pemimpin harus mengenal dan
mengetahui kebutuhan bawahan, (2) pemimpin harus meningkatkan pemberian hadiah
kepada bawahannya yang berprestasi, (3) pemimpin harus dapat memfasilitasi jalan
untuk mendapatkan hadiah dengan memberi pengarahan dan bimbingan, (4) pemimpin
seharusnya membantu bawahan mengklarifikasi harapannya dengan memberi contoh
usaha yang mengarah pada kinerja yang tinggi, (5) pemimpin harus mengurangi
hambatan-hambatan yang membuat frustrasi bawahan dalam memperoleh hadiah dan
hasil, dan (6) pemimpin harus meningkatkan kesempatan untuk kepuasan pribadi yang
merupakan hasil dari kinerja yang efektif.
2. Bennis yang dikutip Bliss (1999) mengemukakan bahwa pemimpin adalah orang yang
memiliki karakteristik: (1) inovatif, (2) fokus pada orang, (3) membangun kepercayaan, (4)
memiliki perspektif jangka panjang, (5) menanyakan apa dan mengapa, (6) memiliki
pandangan yang luas dan melebar, (7) memiliki orisinalitas, dan (8) suka tantangan.
3. Hogan dkk (1994) dan Robinson (2000) mengemukakan 5 karakteristik khusus dari
kepemimpinan yang efektif, yaitu: (1)kecerdasan mental (mental agility), pemimpin
memiliki minat yang besar, rasa ingin tahu dalam segala hal, memiliki rasa ingin tahu
tentang orang lain dan motivasi yang mendasarinya, terbuka pada pengalaman baru,
suka membaca dan suka akan tantangan. (2) stabilitas emosi, pemimpin yang memiliki
nilai yang tinggi pada stabilitas emosi cenderung memiliki sifat: percaya diri, penerimaan
diri (self acepting), keseimbangan (balanced), tahan terhadap stress, toleran terhadap
ketidakpastian, dapat bekerja dibawah tekanan, fleksibel dan efektif dalam menangani
konflik dan umpan balik negatif, (3) (surgency), yaitu pemimpin selalu bersifat terbuka,
asertif, dan memiliki energi yang tinggi, berani mengambil keputusan, (4)
(conscientiousness), yaitu pemimpin memiliki sifat hati-hati dan sabar, motivasi yang tinggi
untuk berprestasi, tanggungjawab, integritas yang tinggi, memiliki etos kerja, memiliki
kemampuan mengorganisasi, dan (5) (agreeableness) yaitu pemimpin dapat kooperatif,
dapat berdiplomasi, bersahabat, pembicara yang efektif, dan dapat dipercaya.
4. Bliss (1999) semua pemimpin memiliki karakteristik sifat-sifat yang umum yaitu: (1)
mengarah pada visi dan tujuan, (2) memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan
kemauannya kepada orang lain, (3) memiliki integritas meliputi: pengetahuan diri (self
knowledge) yaitu tahu akan kelemahan dan kelebihan dirinya sendiri, terus terang (candor),
dan kematangan (maturity) yang merupakan hasil belajar yang telah dijalani.
5. Steers (1985) menyoroti rintangan-rintangan dalam keefektifan kepemimpinan, yaitu: (1)
ketrampilan dan sifat dari pemimpin dapat menjadi kendala dalam menjadi pemimpin
yang efektif. Misal, penelitian tentang kepemimpinan menunjukkan bahwa pemimpin
yang efektif memiliki karakteristik pribadi tertentu. Kekurangan dari ketrampilan
tersebut dapat menghalangi perilaku pemimpin yang efektif, (2) ketidakmampuan
pemimpin dalam membuat berbagai gaya kepemimpinan dalam situasi yang tepat, (3)
pada tingkat tertentu, pemimpin harus mengontrol sistim pemberian hadiah seperti
menaikkan gaji, promosi dan lain-lain, (4) karakteristik dari situasi kerja juga dapat
menyebabkan ketidakefektifan kepemimpinan.
6. Klemm (1999) menyoroti ciri-ciri pemimpin kreatif yang berkorelasi positif dengan
kepemimpinan yang efektif. Menurut Klemm ada 5 ciri-ciri pemimpin yang kreatif
meliputi: (1) memiliki tingkat kecerdasan yang cukup tinggi, (2) dapat menerima
informasi dengan baik (well informed), (3) memiliki pemikiran yang asli (original thinkers),
4) menjawab pertanyaan dengan benar (ask the right questions), dan 5) disiapkan untuk
menjadi kreatif (prepared to be creative).
7. Dunning (2000) mengemukakan 4 kompetensi yang menentukan keberhasilan pemimpin
yang baru di era milenium, yaitu: (1) harus memahami dan mempraktekkan pentingnya
suatu penghargaan terhadap kemampuan, sehingga pemimpin dituntut memiliki
kemampuan, (2) senantiasa mengingatkan bahwa pentingnya mengembangkan
bawahannya, (3) senantiasa memberikan kepercayaan kepada bawahannya, dan
(4)menjalin keakraban dengan rekan sekerja.
8. Kane (1998) menyoroti aspek-aspek yang paling relevan untuk dimiliki pemimpin pada
era melinium yaitu: (1) kompetensi dasar (core competencies) seperti: inteligensi, integritas
(integrity) dan perhatian (caring), (2) ketrampilan/pengetahuan (skills/knowledge),
membangun tim (team building), mengorganisir bawahan (people management), keterlibatan
pada aktivitas di masyarakat (community involvement), dapat mengelola konflik secara
produktif (productive use of conflict) dan kecerdasan emosi (emotional intelligence), (3) sikap
terhadap keberhasian kepemimpinan (attitudes for successful leadership), yaitu: memiliki
komitmen (comitment), perbaikan yang terus menerus (continuous improvement) (Yoenanto,
Herry (2002).
B. Kecerdasan Emosi
Istilah kecerdasan emosi pertama kali berasal dari konsep kecerdasan sosial yang
dikemukakan oleh Thorndike pada tahun 1920 dengan membagi dalam tiga bidang
kecerdasan yaitu: (1) kecerdasan abstrak, seperti: kemampuan memahami dan memanipulasi
simbol verbal dan matematika, (2) kecerdasan kongkrit, yaitu kemampuan memahami dan
memanipulasi objek, dan (3) kecerdasan sosial, yaitu kemampuan berhubungan dengan
orang lain (Goleman, 1995). Kecerdasan sosial menurut Thorndike yang dikutip Goleman
(1995) adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang untuk bertindak bijaksana
dalam menjalin hubungan, meliputi: kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal.
pendidikan di dalam lingkungan keluarga, tempat lain untuk mengasah soft skill yang
dibutuhkan di dunia kerja adalah lembaga pendidikan.
Beberapa lembaga pendidikan pun, terutama perguruan tinggi, sudah menyadari
pentingnya pendidikan soft skill untuk para mahasiswanya. Perguruan tinggi saat ini tak
hanya membekali anak didiknya dengan ilmu pengetahuan dan hard skill, tetapi juga mulai
melakukan pengembangan soft skill. Salah satu lembaga pendidikan yang menerapkan
pengembangan soft, begitu juga dengan lembaga pendidikan dan latihan aparatur tentunya
sudah harus merubah arah kebijakan diklatnya dengan perkembangan jaman Revolusi
industri 4.0 secara umum diketahui sebagai perubahan cara kerja yang menitikberatkan pada
pengelolaan data, sistem kerja industri melalui kemajuan teknologi, komunikasi
dan peningkatan efisiensi kerja yang berkaitan dengan interaksi manusia.
Lembaga Diklat tidak hanya menghasilkan kuantitas lulusan tetapi kualitas lulusannya.
Kesuksesan sebuah negara dalam menghadapi revolusi industri 4.0 erat kaitannya dengan
inovasi yang diciptakan oleh sumber daya yang berkualitas, sehingga lembaga Diklat
Aparatur wajib dapat menjawab tantangan untuk menghadapi kemajuan teknologi dan
persaingan di era globalisasi. Dalam menciptakan sumber daya yang inovatif dan adaptif
terhadap teknologi dan pelayanan kepada masyarakat, diperlukan penyesuaian sarana dan
prasarana pembelajaran dalam hal teknologi informasi, internet, analisis big data dan
komputerisasi. Lembaga diklat yang menyediakan infrastruktur pembelajaran tersebut
diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang terampil dalam aspek literasi data, literasi
teknologi dan literasi manusia.
Terobosan inovasi akan berujung pada peningkatan produktivitas kerja dan melahirkan
kualitas pelayanan. Tantangan berikutnya adalah rekonstruksi kurikulum pendidikan yang
responsif terhadap revolusi industri juga diperlukan, seperti desain ulang kurikulum dengan
pendekatan human digital dan keahlian berbasis digital. Menteri Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi M. Nasir mengatakan, “Sistem perkuliahan berbasis teknologi informasi
nantinya diharapkan menjadi solusi bagi anak bangsa di pelosok daerah untuk menjangkau pendidikan
tinggi yang berkualitas.” Persiapan dalam menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi
dengan Revolusi Industri 4.0 adalah salah satu cara yang dapat dilakukan Lembaga Diklat
untuk meningkatkan kualitas pelyanan kepada masyarakat. Berbagai tantangan sudah hadir
di depan mata, sudah siap kah Perguruan Tinggi dan Lembaga Diklat menyiapkan generasi
penerus bangsa di era Revolusi Industri 4.0 dan persaingan global?
4. Pembahasan
A. Pemimpin Efektif dan Transformasional
Ukuran yang paling banyak digunakan untuk mengukur efektivitas pemimpin adalah
seberapa jauh unit organisasi pemimpin tersebut berhasil menunaikan tugas pencapaian
sasarannya (Yukl, 2006). Contoh ukuran kinerja yang obyektif mengenai pencapaian kinerja
atau sasaran adalah keuntungan, margin keuntungan, peningkatan penjualan, pangsa pasar,
penjualan dibanding target penjualan, pengembalian atas investasi, produktivitas, biaya per
unit keluaran, biaya yang berkaitan dengan anggaran pengeluaran dan seterusnya.
Sedangkan ukuran subyektifnya adalah tingkat efektivitas yang dihasilkan oleh pemimpin
tertinggi, para pekerja atau bawahan sikap para pengikut terhadap pemimpin merupakan
indikator umum lainnya dari pemimpin yang efektif (Yukl, 2006). Seberapa baik pemimpin
tersebut memenuhi kebutuhan dan harapan pengikutnya? Apakah para pengikut menyukai,
menghormati dan mengagumi pemimpinnya? Apakah pengikut benar-benar mau
mengerjakan keinginan pemimpinnya? Indikator berikutnya adalah berdasar kontribusi
pemimpin pada kualitas proses kelompok yang dirasakan oleh para pengikut. Apakah
pemimpin mampu meningkatkan kohesivitas anggota kelompok, kerjasama anggota,
(Sosik dan Megerian, 1999; Barling et al.,2000) Avolio mengemukakan bahwa para
pemimpin yang efektif adalah orang-orang yang mempunyai gaya kepemimpinan
transformasional daripada gaya kepemimpinan transaksional (1995). Kepemimpinan
Transformasional lebih berdasarkan emosi dibandingkan dengan kepemimpinan
transaksional dan melibatkan tingkat emosional tinggi (Yammarino dan Dubinsky, 1994).
yang perhatiannya tertuju kepada orang lain akan bersikap: 1) Lebih sadar akan
kepentingan dan kebutuhan orang lain; 2) Perhatiannya terhadap kepentingan diri sendiri
berkurang; 3) Bertambah kesadarannya bahwa setiap orang memiliki keunikan sendiri-
sendiri; 4) Bertambah keinginan untuk memberikan bantuan dan pertolongan bagi orang
lain; 5 ) Berkurangnya rasa kesedihan, karena melihat bahwa orang lain banyak yang
kurang beruntung.
Empati yang secara umum dikenal sebagai kebijakan universal, sangat berkaitan
dengan kebajikan lainnya seperti cinta, toleransi, kebaikan, kepedulian, penerimaan dan lain-
lain. Daniel Goleman menganggap empati sebagai komponen besar dalam kecerdasan emosi
sebab empati memungkinkan seseorang memahami dan memprediksi emosi dan kebutuhan
orang lain. Pengetahuan tersebut dapat membantu kita untuk mempengaruhi orang lain.
Empati dapat menjadi kunci menaikkan intensitas dan kedalaman hubungan dengan orang
lain (Connecting with). Menurut Daniel Goleman (ESQ Nebula, 2009), meningkatkan empati
dapat melalui beberapa cara yaitu : 1 ) Understanding Other, yaitu cepat menangkap isi
perasaan dan pikiran orang lain; 2) Service Orientation, yaitu memberikan pelayanan yang
dibutuhkan orang lain, bukan mengambil apalagi memanipulasi; 3) Developing Others yaitu
memberikan masukan-masukan positip atau membangun orang lain; 4) Leveraging Others
yaitu mengambil manfaat dari perbedaan, bukan menciptakan konflik dari perbedaan, da n
5 ) Political Awareness yaitu memahami aturan main yang tertulis atau yang tidak tertulis
dalam hubungannya dengan orang lain.
Sikap peduli dan empati dapat meningkatkan emosi positif, dimana emosi positif akan
mendorong orang untuk bereaksi positif juga. Dengan demikian jika pemimpin
menginginkan ada respon yang baik dan motivasi untuk bekerja menjadi lebih baik adalah
dengan menumbuhkan sikap peduli dan empati.
Selain kepedulian dan empati, ada beberapa dimensi keterampilan yang lain yang ada
dalam kecerdasan emosional. Dimensi ketrampilan tersebut meliputi Intrapersonal sebagai
indikator Kesadaran-diri dan ekspresi diri, Interpersonal digunakan untuk mengukur
Kesadaran sosial dan hubungan interpersonal, Manajemen Stress digunakan untuk Manajemen
dan Pengendalian Emosi, Adaptation digunakan sebagai indikator kemampuan untuk
Mengelola Perubahan, dan General Mood digunakan sebagai indikator Motivasi diri.
Pengukuran dimensi ketrampilan dan indicator kecerdasan emosional dapat dilakukan
dengan menggunakan Emosional Quotient Inventory (EQ-i). Menurut Bar-On (Stein, SJ. Et
al, 2009) model EQ-i melibatkan daftar kemampuan dan ketrampilan pribadi, emosional,
dan sosial. Skor yang lebih tinggi pada hasil EQ-i ini mengimplikasikan ketrampilan
Emotional Intelligence yang kuat dan lebih positif memprediksikan sebagai efektif dalam
memenuhi tuntutan dan tantangan. Sebaliknya, skor EQ-i yang lebih rendah menunjukkan
keterampilan EI yang buruk dan mengurangi kemampuan untuk menjadi efektif dalam
memenuhi tuntutan dan tantangan .
Keandalan dari EQ-i telah diselidiki oleh sejumlah peneliti seperti Matthews,
Newsome, Petrides dan Furnham (Stein, SJ. Et al, 2009) dengan konsensus temuan
mengungkapkan bahwa instrument ini dapat diandalkan, konsisten, dan stabil. Bar-
On melaporkan bahwa Reliabilitas konsistensi internal EQ-i secara keseluruhan adalah 0,76
dan Keandalan tes-tes ulang 0,85 setelah satu bulan dan 0,75 setelah empat bulan (Stein,
SJ. Et al, 2009).
Slaski dan Cartwright (Stein, SJ. Et al, 2009) menemukan bahwa hasil metode
pengukuran EQ-i secara signifikan berkorelasi dengan semangat (0,55), stres (0,41),
kesehatan umum (0,50), dan peringkat kinerja Supervisor (0.22) dalam penelitian mereka
terhadap manajer retail. Studi lain pada manajer Inggris, Slaski dan Cartwright
menemukan bahwa pelatihan dalam kecerdasan emosional menghasilkan peningkatan
skor EQ-i dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.
dan mengelola emosi. Tes ini lebih mengarah kepada mengukur kemampuan
kecerdasan emosi (ability measure).
(2) Baron EQ-I (Baron Emotional Quotient-Intelligence). Tes ini diciptakan oleh Baron.
Aspek-aspek yang diukur antara lain: a) ketrampilan intrapersonal seperti:
kesadaran diri, asertif, aktualisasi diri dan kemandirian, b) ketrampilan interpersonal
seperti: empati, hubungan interpersonal, dan tanggungjawab sosial, c)mengelola
stress seperti: pemecahan masalah, tes realitas dan fleksibilitas, dan d) kemampuan
beradaptasi (adaptability) seperti: toleransi terhadap stress, mengontrol impuls.Tes ini
mengarah pada bentuk self report.
(3) EQ Map (Emotional Quotient Map). Tes ini dikembangkan oleh Robert K. Cooper
dan Ayman Sawaf (2001) yang melakukan penelitian pada manajer eksekutif dan
profesional dari ratusan organisasi perusahaan. Aspek-aspek yang diukur antara
lain: a) ketrampilan kecerdasan emosi seperti: kesadaran diri emosi, kesadaran emosi
terhadap orang lain dan ekspresi emosi, b) kecakapan emosi seperti: intensionalitas,
kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi dan ketidakpuasan konstruktif, c)
nilai-nilai dan keyakinan seperti: belas kasihan, sudut pandang, intuisi, radius
kepercayaan, daya pribadi dan integritas.
(4) ECI (Emotional Competence Inventory). Tes ini mengukur aspek-aspek antara lain:
a) kesadaran diri (self awareness) seperti: kesadaran emosi diri, ketepatan mengases
diri (accurate self assesment) dan kepercayaan diri (self confidence) b) kesadaran sosial
(social awareness) seperti empati, kesadaran organisasi dan berorentasi pada
pelayanan, c) manajemen diri (self management), seperti: penguasaan diri (self control),
sifat dapat dipercaya (trustworthiness), kehati-hatian (consentiousness), kemampuan
beradaptasi (adaptability), orientasi berprestasi (achievement orientation), inisiatif
(initiative), d) ketrampilan sosial seperti: mengembangkan prang lain (developing
others), kepemimpinan, mempengaruhi, komunikasi, manajemen konflik (conflict
management), katalis perubahan (change catalist), kerjasama tim (teamwork) dan
menjalin hubungan dengan orang lain.
sementara orang pria rata rata lebih baik kecerdasan emosi dalam bidang kepercayaan diri,
optimistik, dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan daya tahan terhadap stres.
Sementara itu Baron menyelidiki pengaruh kecerdasan emosi dengan tingkat usia,
diperoleh hasil ada pengaruh yang konsisten antara usia dengan kecerdasan emosi, yaitu
nilai total kecerdasan emosi meningkat dengan pertambahan usia dan puncaknya pada akhir
tahun ke-40 dan awal tahun ke-50. Penelitian ini menunjukkan bahwa kematangan emosi
berasal dari usia dan pengalaman, dimana orang yang lebih tua dapat mengatasi tuntutan
lingkungan dari orang yang lebih muda. Atau secara umum orang yang lebih tua memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan orang yang lebih muda yaitu: (1) mandiri dalam cara
berfikir dan bertindak, (2) sadar akan perasaan orang lain, (3) memiliki tanggung jawab
sosial, (4) dapat beradaptasi, (5) dapat mengatasi masalah, dan (6) dapat mengatur tingkat
stres.
Tetapi mengapa Emotional Intelligence begitu penting bagi kemimpinan yang efektif? Ini
jawabnya, salah satu komponen inti Emotional Intelligence adalah empati. Sejarawan Fred
Greenstein mengadakan penelitian dan menunjukan Emotional Intelligence merupakan salah
satu unsur terpenting untuk meramalkan kebesaran seorang pemimpin. Jelas argumen dari
sejarawan ini bisa dikatakan benar, karena jika seorang pemimpin tidak memilki sifat empati
dan mendengar apa yang dikatakan oleh bawahan ataupun masyarakat yang dipimpinnya,
maka akan menjadikan dia pemimpin yang cendrung diktator.
Di Amerika Serikat, cendrung memilih pemimpin (presiden) yang memiliki Emotional
Intelligence tinggi dibanding pemimpin yang cerdas dalam berpolitik. Hal ini terlihat ketika
George W Bush memenangkan Pemilu 2004, mengalahkan lawannya Jhon Kerry. Seorang
komentator politik menjelaskan sikap mayoritas suara rakyat USA, “Rakyat menangkap
bahwa Kerry memiliki Emotional Intelligence lebih rendah dari pada Bush. Walaupun Kerry
memiliki kecerdasan politik yang lebih tinggi, tetapi Bush memiliki kecerdasan bangsa yang
jauh lebih baik. Tercermin dari sikap Bush saat melakukan kampanye yang lebih memberi
kesan secara emosional, berbicara dengan jelas, sederhana, penuh semangat dan Dia
menang.“ Musuh utama dari kepemimpinan yang efektif adalah kekuasaan yang dapat
merubah visi utama dari seorang pemimpin.
Kekuasaan selama ini dianggap sebagai kata yang paling kotor. Mereka yang
mencoba dan belum mendapatkan kekuasaan akan terus mengejar. Mereka yang pandai
mendapatkan akan merahasiakan cara untuk memenangkannya. Kita mungkin sudah
mendengar ungkapan power corroupts, absolute power corroupts absolutely (kekuasaan itu korup
dan kekuasaan penuh akan sepenuhnya korup). Para pemimpin akan menggunakan
kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan kelompok, dan kekuasaan adalah
sarana untuk memudahkan usaha mereka.
Kekuasaan terfokus bukan hanya pengaruh kepada pengikut atau bawahan, tapi
melebarkan pengaruh ke samping atau dengan kata lain ingin menguasai secara
menyeluruh. Padahal pemimpin memiliki keterbatasan sebagai pribadi-pribadi yang tidak
sempurna.
Pemimpin ideal harus memenuhi aspek-aspek kepribadian yang unggul. Berikut ini
adalah ciri dari kepribadian seorang pemimpin yang ideal:
Pertama, Memiliki integritas, berprilaku jujur dan lurus sehingga dapat menantang
musuh-musuhnya dihadapan umum. Tidak munafik, sehingga masyarakat akan tergerak
untuk menjadi pendukungnya (karismatik).
Kedua, Peduli terhadap masyarakat, memberi dukungan moril, materil, penghiburan
bagi orang-orang yang tertekan, mendengarkan dan empati (emotional Intellgence).
Ketiga, Mau bekerja, menyelesaikan semua tugas-tugas sebagai seorang pemimpin,
tanggap ketika rakyatnya membutuhkan pertolongan, mau melayani masyarakat bukan
hanya dilayani turun kebawah).
Penulis melihat ciri-ciri dari sosok pemimpin yang ideal di atas, masih jauh dari
kenyataan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak masyarakat hilang harapan
untuk mendapatkan pemimpin ideal. Tapi bukan berarti sosok pemimpin yang ideal itu
tidak ada. Melihat kondisi sekarang, penulis berharap masyarakat bisa berpikir luas, lebih
cerdas, lebih objektif, tidak terpengaruh bujuk manis atau politik uang dalam menentukan
pilihan kepada calon–calon pemimpin di daerahnya.
Pemimpin memiliki manajemen diri dan manajemen waktu yang baik dan efektif .
Tanggung jawab kepemimpinan bukanlah sesuatu hal yang dapat dijalankan dengan
mudah. Tetapi, semakin besar tanggung jawab kepemimpinan itu, semakin besar pula
penghargaan yang diberikan jika dapat memenuhi peranan tersebut.
Jika suatu bangsa dapat memilih para pemimpinnya dengan baik, maka bangsa tersebut
akan berkembang dan menjadi negara yang besar. Tetapi, jika salah memilih pemimpin,
bangsa tersebut akan menuju kehancuran. Keberhasilan dan jatuhnya suatu negara berada
di tangan para pemimpinnya. Ini sama halnya seperti dalam dunia bisnis. Tidak peduli
betapa hebatnya kemampuan para pekerja di suatu perusahaan, jika kepemimpinannya
kurang, maka perusahaan tersebut akan segera mengalami kebangkrutan. Tetapi, jika sang
pemilik atau para direksi menyediakan suatu kepemimpinan yang handal, maka perusahaan
tersebut akan berkembang dan berhasil. Orang biasa cenderung untuk meniru para
pemimpinnya. Mereka mulai meniru para pemimpinnya bukan hanya dalam hal
penggunaan kata-kata dan kelakuan, tetapi mereka juga meniru cara berpikir para
pemimpin mereka. Coba kita lihat komunitas milist (mailing list). Jika pemimpin milist ini
handal, maka seluruh komunitas milist ini akan meningkat hari demi hari. Sebaliknya, jika
komunitas milist ini kurang dalam hal kepemimpian maka komunitas milist ini akan
mengalami banyak penurunan.
Ada empat kualitas yang dapat membantu kita untuk mengembangkan kepemimpinan kita:
1. Seorang pemimpin yang handal, kita harus dengan cepat memahami kebutuhan
orang-orang dan memenuhinya. Sebagai contoh, seorang pedagang harus dengan
cepat memahami kebutuhan para produsen, konsumen dan situasi terkini dalam
pendistribusian order agar dapat meraih sukses dalam bisnisnya. Ketika kita
melakukan suatu bisnis di pasar dunia, perluasan kapasitas produksi tidak akan
menjamin kesuksesan dalam bisnis kita. Ketika melakukan produksi, kita harus
memahami dan menganalisa status produksi dari barang-barang di seluruh dunia
dan berdasarkan itu kita harus mencocokkannya dengan pabrik kita. Hanya analisa
yang teliti dan pemahaman yang sepenuhnya yang dapat membawa kesuksesan.
Sama seperti hal di atas, mereka yang kurang memiliki kemampuan dalam
memahami dan menganalisa kebutuhan orang lain tidak dapat menjadi seorang
pemimpin. Seorang pemimpin harus terus menerus tanggap dan harus bisa
menganalisa. Apa yang dibutuhkan pasar? Apa yang sedang mereka pikirkan?
Dalam hal apa mereka membutuhkan pembaharuan? Pertanyaan-pertanyaan ini
harus selalu ada di dalam pikiran para pemimpin.
2. Seorang pemimpin yang handal, kita harus memiliki kemampuan untuk membuat
orang lain sukses. Di antara berbagai macam tipe pemimpin, ada tipe pemimpin
otoriter. Para pemimpin otoriter tidak mempedulikan ide-ide atau pendapat dari
orang yang berada di bawahnya. Para pemimpin tipe ini menyuruh orang-orang
agar mematuhi perintah-perintahnya. Mereka ini akan memanfaatkan bawahan
mereka, lalu mengabaikannya. Tipe lainnya yaitu tipe pemimpin mekanis. Mereka
ini sangat terikat dengan aturan-aturan yang mereka ikuti. Tipe pemimpin seperti
ini telah kehilangan rasa kemanusiaannya dan menjadi mesin virtual. Pemimpin
seperti ini tidak dapat membantu orang lain agar menjadi sukses. Ada beberapa
pemimpin yang dengan senang hati membantu orang lain agar menjadi sukses.
3. Seorang pemimpin yang handal, kita harus selalu memiliki semangat untuk
mempelopori dan harus selalu bergerak maju. Kebanyakan orang hanya diam di
tempat, mereka hanya berusaha agar keadaan tetap seperti itu. Ini dikarenakan
mereka lebih memilih untuk amannya saja daripada hidup dalam ketidakpastian.
Apabila seorang pemimpin hanya mencari rasa aman saja sewaktu ia memimpin
suatu kelompok, maka ia telah kehilangan tujuannya sebagai seorang pemimpin.
Seorang pemimpin yang handal harus mempunyai sifat petualang dan agresif. Ide-
ide baru harus dipikirkan dan diterapkan meskipun ide-ide tersebut mungkin
mengakibatkan ketidakpastian dan membawa bahaya. Pertumbungan dan
perkembangan selalu diikuti oleh sejumlah bahaya. Seorang pemimpin harus terus
mengembangkan dan memperluas dirinya agar dapat menjadi pemimpin yang lain
daripada yang lain. Saya telah mendapatkan banyak kesempatan untuk bertemu
dengan para pemimpin yang terkenal di dunia dan berbicara dengan mereka. Saya
telah menemukan bahwa mereka semua mempunyai satu persamaan yaitu: mereka
semua terlihat sedikit fanatik di dalam beberapa hal tertentu. Mereka kadang-
kadang mengatakan hal-hal yang sulit dimengerti dengan sudut pandang biasa.
Mereka semakin menjauh dari realita dan menemukan hal-hal yang baru untuk
dikerjakan. Oleh karena itu, orang-orang yang benar-benar berpegang pada realita
akan mengalami kesulitan untuk memahami mereka. Untuk menjadi seorang
pemimpin yang handal, pikiran kita harus lebih maju daripada orang lain, dan kita
harus menjadi pemimpin yang selalu bekerja keras.Oleh karena itu, kita harus
memiliki gol yang jauh ke depan dan berusaha keras untuk meraihnya dengan
segala usaha. Maka kita dapat menjadi pemimpin-pemimpin yang handal.
4. Seorang pemimpin yang handal, kita harus menginvestasikan semua usaha kita
untuk pengembangan diri. Kita harus membayangkan seberapa banyak kita telah
mengembangkan dan meningkatkan diri sejak tahun lalu sambil bertanya, "Apa
yang bisa saya lakukan untuk menjadi seorang pemimpin yang lebih baik lagi?
Bagaimana caranya agar saya dapat menjalankan tugas saya sebagai pemimpin
dengan lebih efektif?". Selain itu, kita harus melakukan yang terbaik untuk
pengembangan diri kita. Saya menghabiskan banyak energi untuk melakukan
pengembangan dan peningkatan diri. Saya selalu berpikir tentang bagaimana
meningkatkan diri saya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Lihatlah para CEO
atau para eksekutif perusahaan. Tentu saja mereka sangat sibuk dengan pekerjaan
mereka. Tetapi jika kita melihat mereka lebih dekat, kita akan terkejut karena kita
akan menemukan bahwa mereka banyak menghabiskan waktu mereka untuk
mengembangkan dan meningkatkan diri. Ketika kita tidak bisa merefleksikan pada
diri kita sendiri untuk menemukan kelemahan-kelemahan yang perlu dikuatkan,
maka kita akan menemukan bahwa kita tidak akan mampu memimpin.
Apabila kita mengikuti panduan ini, maka kita pasti akan menjadi pemimpin-pemimpin yang
handal dan kita akan mampu memimpin orang-orang yang berada di bawah kita secara
efektif dan bijaksana agar mereka dapat mencapai kesuksesan.
menyelaraskan perubahan baru ini. Dalam waktu lima tahun yang akan datang dimulai
dengan saat ini, hanya sepertiga dari skill yang dianggap penting dalam ketenaga-kerjaan
akan berubah secara drastis.
Para pakar meramalkan bahwa di tahun 2020, dunia akan memasuki era Industri 4.0.
Di era tersebut, akan banyak bermunculan robot canggih, superkomputer, kendaraan
otonom, 3D printing, serta pengoptimasian fungsi otak manusia dengan editing genetik dan
perkembangan neuroteknologi.
Mungkin terlihat canggih dan membuat takjub, akan tetapi bukan berarti tidak ada
kerugian yang ditimbulkan oleh revolusi industri tersebut. Mengutip dari hasil Forum
Internasional tahunan yang bertemakan “Mastering the Fourth Industrial Revolution” pada 2016
lalu, Revolusi Industri 4.0 ini akan menyebabkan disrupsi atau gangguan bukan hanya di
bidang bisnis saja, namun juga pada pasar tenaga kerja. Hal ini berarti akan ada banyak jenis
pekerjaan yang hilang dan tergantikan oleh fungsi robot atau artificial intelligence. Para tenaga
kerja manusia pun tidak menutup kemungkinan akan menghadapi jenis pekerjaan baru yang
tidak pernah terpikirkan sebelumnya, sehingga revolusi ini mau tak mau menuntut kita
untuk terus mengembangkan skill yang sekiranya dapat bermanfaat serta mumpuni di masa
depan. Lantas, apa saja skill yang dibutuhkan untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0?
Berikut jawabannya!
1. Complex problem solving
Complex problem solving disini merupakan kemampuan penyeleasaian masalah kompleks
dengan dimulai dari melakukan identifikasi, menentukan elemen utama masalah, melihat
berbagai kemungkinan sebagai solusi, melakukan aksi/tindakan untuk menyelesaikan
masalah, serta mencari pelajaran untuk dipelajari dalam rangka penyelesaian masalah.
2. Critical thinking
Critical thinking atau kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir masuk
akal, kognitif dan membentuk strategi yang akan meningkatkan kemungkinan hasil yang
diharapkan. Berpikir kritis juga bisa disebut berpikir dengan tujuan yang jelas, beralasan, dan
berorientasi pada sasaran.
3. Creativity
Creativity atau kreatifitas adalah kemampuan dan kemamuan untuk terus berinovasi,
menemukan sesuatu yang unik serta bermanfaat bagi masyarakat dan
lingkungan. Creativity disini dapat juga diartikan mengembangkan sesuatu hal yang sudah
ada sehingga dapat menjadi lebih baik.
4. People management
People management adalah kemampuan untuk mengatur, memimpin dan memanfaatkan
sumber daya manusia secara tepat sasaran dan efektif.
5. Coordinating with other
Kemampuan untuk kerjasama tim ataupun bekerja dengan orang lain yang berasal dari luar
tim.
6. Emotion intelligence
Emotion intelligence atau kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk
mengatur, menilai, menerima, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya.
7. Judgment and decision making
Judgement and decision making adalah kemampuan untuk menarik kesimpulan atas situasi
yang dihadapi serta kemampuan untuk mengambil keputusan dalam kondisi apapun,
termasuk saat sedang berada di bawah tekanan.
8. Service orientation
Service orientation adalah keinginan untuk membantu dan melayani orang lain sebaik
mungkin untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan memiliki service orientation, kita akan
selalu berusaha memberikan yang terbaik pada pelanggan tanpa mengharapkan
penghargaan semata.
9. Negotiation
Kemampuan berbicara, bernegosiasi, dan meyakinkan orang dalam aspek pekerjaan. Tidak
semua orang secara alamiah memiliki kemampuan untuk mengadakan kesepakatan yang
berbuah hasil yang diharapkan, namun hal ini dapat dikuasai dengan banyak latihan dan
pembiasaan diri.
10. Cognitive flexibility
Cognitive flexibility atau fleksibilitas kognitif adalah kemampuan untuk menyusun secara
spontan suatu pengetahuan, dalam banyak cara, dalam memberi respon penyesuaikan diri
untuk secara radikal merubah tuntutan situasional.
Sumber: Future of Jobs Reports, World Economic Forum.
5. Kesimpulan
Pemimpin yang efektif sangat diperlukan di era globalisasi. Karakteristik pemimpin
yang dapat merealisasikan visi menjadi kenyataan, memilik perspektif jangka panjang, dapat
mengembangkan bawahan, inovatif, kreatif, memiliki kecerdasan emosi dan karakteristik
lainnya merupakan sesuatu yang menentukan suksesnya pemimpin untuk bisa bersaing di
era globalisasi.
Kecerdasan emosi merupakan aspek sangat dibutuhkan dalam semua bidang kerja dan
dalam kehidupan bermasyarakat. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa orang yang
memiliki kecerdasan emosi yang tinggi lebih cenderung sukses dalam dunia kerja dan dalam
hidup di masyarakat. Dengan demikian orang yang memiliki kompetensi pribadi (kesadaran
diri dan kemampuan mengelola diri sendiri) dan kompetensi sosial (motivasi, empati dan
ketrampilan sosial) yang merupakan aspek dari kecerdasan emosi cenderung lebih berhasil
dalam segala bidang pekerjaan dan kehidupan.
Seorang pemimpin yang mampu memberikan perhatian pribadi pada bawahan,
memperlakukan setiap karyawan sebagai individu yang unik, dan melakukan
pengembangan kepribadian terhadap setiap karyawan merupakan komponen
kepemimpinan transformasional. Perilaku yang ditunjukkan dalam kepemimpinan
transformasional adalah cerdas secara emosional.
Seorang pemimpin yang mampu memberikan perhatian pribadi pada bawahan,
memperlakukan setiap karyawan sebagai individu yang unik, dan melakukan
pengembangan kepribadian terhadap setiap karyawan merupakan komponen
kepemimpinan transformasional. Perilaku yang ditunjukkan dalam kepemimpinan
transformasional adalah cerdas secara emosional, Intelligence adalah Intrapersonal, sebagai
indikator Kesadaran-diri dan ekspresi diri, Interpersonal digunakan untuk mengukur
Kesadaran sosial dan hubungan interpersonal , Manajemen Stress digunakan untuk
Manajemen dan Pengendalian Emosi, Adaptation digunakan sebagai indikator kemampuan
untuk Mengelola Perubahan, dan General Mood digunakan sebagai indikator Motivasi diri.
Daftar Pustaka:
Agustian, Ary Ginanjar, 2008, Visioner, ESQ Magazine, No. 9/Thn IV/Agustus
2008, PT.Arga Tilanta
Barling,J ,Weber,T and kelloway,EK, 1996,”Effect of transformational leadership training
and attitudinal and fiscal outcomes, S field experiment”, Journal of Apllied
Psychology, Vol. 81, pp 823-832
Bass,B.M., 1985, Leadership and performance Beyond Expectation, Free Press, New
York,NY
Bass, BM, 1998, Transformational Leadership Indutrial. Military, and Educational Impact,
Lawrence Erlhaum Associates, Mahwah, NJ
Bass,B.M. and Avolio, BJ, 1997, Full Range Leadership Development, Manual for the
Multifactor Leadership Questionaire, Mind Garden, Palo Alto, CA.
1. Bliss, S.E. 1999. The Affect of Emotional Intelligence on a Modern Organizational Leader’s
Ability to Make Effective Decision, (Online), (htpp://eqi.org/mgtpaper.htm,
diakses 23 Febrari 2019)
2. Bliss, S.E. 1999. The Affect of Emotional Intelligence on a Modern Organizational Leader’s
Ability to Make Effective Decision, (Online), (htpp://eqi.org/mgtpaper.htm,
diakses 23 Januari 2019)
Gordon, J.R. 1991. Organizational Behaviour: A Diagnostic Approch (3rd edition). Boston: Allyn
Bacon.
Gunawan Samsu ,2008, , Visi Seorang Visioner, ESQ Magazine, No. 9/Thn IV/Agustus
2008, PT.Arga Tilanta.
Hidayat, Riskin, 2008, Sinergi Parktek ESQ dan Budaya Organsiasi dalam mencapai kinerja
perusahaan yg tinggi dan berkelanjutan keunggulan Kompetitif, Jurnal Bisnis &
manajemen Vol. 8, No.1, 2008, 71-82
Hogan, R., Curphy, G.J, & Hogan, J. 1994. What We Know About Leadership Effectiveness and
Personality, Journal of American Psychological Association June 1994 vol.49. no.6,
p.493-504, (Online),
(htpp://prodevweb.prodev.usna.edu/LEL/n1311/Leadership%20and%20Pers
onality.txt, diakses 29 Februari 2019)
Howell,JM and Avolio,BJ, 1993, “Transformational leadership, transactional leadership, locus
of control and support for innovation : key predictors of consolidated business unit
performance”, Journal of Apllied Psychology, Vol. 78, pp 891-902
Kane, P.R. 1998. Leadership Poised at the Millenium, Independent School Magazine,(Online),
(htpp://www.klingenstein.org/additional Resources/articles/Leadership
poised at the millenium.htm, diakses 29 Februari 2019)
Kierstead, J. 1999. Human Resources Management TREDS and Issues: Emotional Intelligence In
the Workplace, (Online), (htpp://www.psc-
cfp.gc.ca/reserch/personnel/ei_e.htm, diakses 23 Februari 2019)
Klemm, W.R. 1999. Leadership: Creativity and Innovation, (Online),
(htpp://www.au.af.mil/au/cpd/cpdgate/au24-401.htm, diakses 28 September
2001)
Lowe,KB and Kroeck,KG, 1996, ”Effectiveness.correlateds of transformational
andtransaktional leadership : a meta analytic review”, Leadership Quarterly, Vol.7,
pp.385-426.
Nurtantiono, Andri (2012) : Kecerdasan Emosional, Kompetensi Kepemimpinan Transformasional,
Jurnal Graduasi Vol. 27 Edisi Maret
Polychroniou, PV, 2009, Relationship between emotional intelligence and
transformational leadership of supervisors : The impact on team effectiveness, Team Performance
Management, Vol. 15 No. 7/8 2009, pp 343-356, Emerald Group Publishing
Limited.
Riyadiningsih,H dan Ratna Pujiastuti, 2007, Analisis Tipe kepemimpinan dalam
meningkatkan Kinerja Organisasi, Jurnal Bisnis & Manajemen Vol.7, No.2, hal 147-
156
Robbinson, C. 2000. Leading Effectively: Leadership Can be Taught, But Commitment Needed,
(Online), (htpp://seattle.bcentral,com/seattle/stories/2000/08/smallb5.html,
diakses 30 Februari 2019)
Simmons, K. 2001. Emotional Intelligence: What Smart Manager Know Success in the Workplace
takes to strengthen this essential professional skill, (Online),
(htpp://www.gwsae.org/ExecutiveUpdate/2001/April/emotional.htm,
diakses 24 Februari 2019)
Steers, R.M., Ungson, G.R. & Mowday. 1985. Managing Effective Organizations: An
Introduction. Boston: Kent Publishing Company.
Rost, JC, 1991,”Leadership for the Twenty-first Century”, Greenwood, NewYork, NY
Sivanathan, Niroshaan dan G.Chinthia F, 2002, Emotiuonal Intelligence, moral reasoning,
and transformational leadership, Ledership & Organization Development Journal,
23/4 pp 198-204
Sosik,JJ and Megerian,LF, 1999, ”Understanding leader emotional intelligence and
performance : the role of self other agreement on transformational leadership perceptions”,
Group and Organizational Management, Vol 24, pp 367-390.
Stein, SJ. Et al, 2009, Emotional intelligence of leaders : a profile of top executives, Leadership
& Organization Development Journal, Vol. 30 No. 1, 2009, pp 87-101, Emerald
Group Publishing Limited.
Stein, SJ and Book,HE, 2000,The EQ Edge : Emotional Intelligence and Your Succes, Stoddart
Publishing, Toronto
Steers, R.M., Ungson, G.R. & Mowday. 1985. Managing Effective Organizations: An Introduction.
Boston: Kent Publishing Company
Tanaka, 1998, “Plato on Leadership” Journal of Business Ethics, Vol 17,:pp 785-798.
Yammarino,FJ and Dubinsky,AJ, 1994, ”Transformational leadership theory: using levels of
analysis to determine boundary conditions”, Personnel Psychology, Vol.47, pp. 787-
811.
Yukl,Gary, 2006, Kepemimpinan Dalam Organisasi, PT. Indeks, Jakarta
Yoenanto, Herry (2002) : Pentingnya Kecerdasan Emosi Bagi Kepemimpinan Yang Efektiuf Jurnal
Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APO)
https://hmtp.unpas.ac.id/10-kemampuan-untuk-menghadapi-revolusi-industri-4-0/
Diakses 5 Maret 2019
https://www.kompasiana.com/www.inatanaya.com/576e40a8769773d60b9450d6/10-
skill-untuk-hadapi-era-revolusi-industri-keempat?page=all Diakses 9 Maret
20`19
https://teknologi.id/insight/keterampilan-yang-perlu-kamu-miliki-untuk-menghadapi-
revolusi-industri-4-0/ Diakses 9 Maret 2019
https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/31/10222981/ingat-ini-skill-yang-harus-
dimiliki-di-era-industri-40 diakses 9 Maret 2019
https://www.researchgate.net/publication/263810269_Emotional_intelligence_and_transf
ormational_leadership. Diakses 10 maret 2019