Anda di halaman 1dari 20

Jurnal Inspirasi

BPSDM Provinsi Jawa Barat


Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

Pentingnya Kecerdasan Emosi bagi Kepemimpinan yang Efektif di


Era Milenial Revolusi 4.0.

The Importance of Emotional Intelligence for Millennium Leadership in


the Era of Revolution 4.0.

Suryana 1

Widyaiswara Ahli Madya


BPSDM Provinsi Jawa Barat
(Naskah Diterima Tanggal 14 Maret 2019—Direvisi Akhir Tanggal 10 Maret 2019—Disetujui Tanggal 28
Maret 2019)

Abstract

The study presented in this paper analyzes changes that make organizations ready to discuss complex
ones, this research will develop policies that will be carried out by balancing the interests of the
organization without the need to find resources. The research method used is a qualitative method,
research shows that leaders are indispensable in the era of globalization. Characteristics of leaders who
can realize the vision into a challenge have a long-term perspective, can develop subordinates, innovative,
creative, have transition intelligence and related characteristics is something that determines the success
of leaders to be able to compete in the era of globalization.

Keywords : Leadership, Emotional Intelligence, Revolution 4.0.

Abstrak

Studi yang disajikan dalam makalah ini menganalisis perubahan yang menjadikan organisasi
siap untuk menghadapi permasalahan yang kompleks, penelitian ini bertujuan untuk
menyusun kebijakan yang akan dilakukan dengan menyeimbangkan kepentingan organisasi
tanpa meninggalkan sumberdaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
kualitatif, hasil penelitian menunjukan pemimpin yang efektif sangat diperlukan di era
globalisasi. Karakteristik pemimpin yang dapat merealisasikan visi menjadi kenyataan,
memilik perspektif jangka panjang, dapat mengembangkan bawahan, inovatif, kreatif,
memiliki kecerdasan emosi dan karakteristik lainnya merupakan sesuatu yang menentukan
suksesnya pemimpin untuk bisa bersaing di era globalisasi.

Kata kunci : Kepemimpinan, Kecerdasan Emosional, Revolusi industri 4.0.

1. Pendahuluan
Sumber daya manusia merupakan topik yang menarik untuk dikaji dan diteliti, karena
Telah terjadi pergeseran kepemimpinan di bandingkan era tahun 1980-an dan 1990-an yang
akan berdampak pada pergeseran di bidang ekonomi global, kompetisi, dan kebutuhan akan
sumber daya manusia. Oleh karena itu, pemimpin harus multitalenta dalam mengendalikan
kegiatannya agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan baik.

1 Email: ingatsuryana@gmail.com

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 78


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

Era globalisasi tentu saja membawa banyak perubahan, baik yang bersifat positif
maupun negatif. Sisi positifnya adalah pada saat sekarang ini informasi/pengetahuan
mudah diperoleh meskipun juga mengalami masa yang cepat, sedangkan sisi yang lain
adalah bahwa permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari semakin kompleks
dan sekaligus tidak pasti.
Perubahan yang demikian drastis seringkali menjadikan organisasi menghadapi
permasalahan yang semakin kompleks dan tidak hanya menyangkut masalah finansial,
namun seringkali juga sumber daya manusia. Perubahan yang demikian tidak hanya
menuntut seorang manajer yang mempunyai kepandaian intelektual yang tinggi, namun
mampu menghitung seberapa banyak alokasi dana, berapa perkiraan keuntungan yang
harus diperolehnya, dan perhitungan perkembangan perusahaan secara angka saja. Justru
pada saat dinamika perusahaan naik turun, diperlukan seseorang yang mampu
menyeimbangkan kepentingan organisasi dengan tanpa meninggalkan sumber daya,
khususnya sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya, atau dengan kata lain
dibutuhkan suatu kepemimpinan yang tepat. Menurut Tanaka (1998) kepemimpinan
memang menempati posisi sentral dalam manajemen. Tugas seorang pemimpin memang
berkaitan dengan kegiatan manajemen dan kepemimpinan.
Melakukan kegiatan manajemen berarti mengerjakan segalanya secara benar, dan
melakukan kegiatan kepemimpinan berarti mengerjakan hal-hal yang benar. Seorang
pemimpin dituntut untuk dapat memenuhi kedua persyaratan di atas secara menyeluruh.
Seringkali para pemimpin menemui dilema dalam pengambilan keputusan karena hal benar
yang dibenarkan secara manajemen dalam kesempatan yang lain, artinya dimensi waktu
bisa menegatifkan pengambilan keputusan sebelumnya (Gunawan Samsu, 2009). Untuk
lebih mengantisipasi hal tersebut, maka dibutuhkan seorang pemimpin yang visioner dan
efektif.
Pemimpin visioner berarti seorang pemimpin yang dalam bertindak, berpikir
memandang jauh ke depan. Ia menetapkan tujuan perusahaan dalam visi dan misi, ia
menetapkan kebijakan dengan melihat baik buruknya alternatif dan resiko atau akibat yang
akan terjadi, sudah dipertimbangkan baik-baik. Setiap persoalan dipandang secara bijak
diambil hikmahnya, jika baik diambil, jika buruk kemudian diperbaiki agar tetap mengarah
dan fokus ke masa depan Agustian Ary Ginajar (2008) seorang visioner adalah mereka yang
memiliki tujuan jangka panjang. Mereka bekerja bukan untuk sesuatu yang bersifat fisik dan
sementara, namun untuk kepentingan orang banyak.
Menurut Gunawan Samsu (2008). ”Seorang visioner punya kearifan untuk bersinergi
dengan visioner lainnya, dengan semangat saling memperkuat seperti layaknya ikatan sapu
lidi. Seorang visoner juga harus punya kesabaran untuk merangkai tiap batang sapu lidi
untuk menjadi ikatan yang kuat. Hal ini berarti bahwa seorang visioner haruslah seorang
yang peduli dan empati dengan orang lain khususnya anak buah atau anggota-
anggotanya”. Sedangkan pemimpin efektif adalah seorang pemimpin yang mampu
memimpin dengan segala ucapan, perbuatan dan sikap atau perilaku hidup yang
mendorong dan mengantarkan bawahan pada tujuan yang hendak dicapai. Riyadiningsih
dan Ratna (2007) menyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif akan sangat berpengaruh
terhadap kinerja bawahan dalam suatu organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa
bawahan akan memiliki kinerja tinggi jika kepemimpinannya efektif. Kinerja bawahan
tinggi dengan sendirinya akan berimbas pada kinerja organisasi yang tinggi pula.
Di era globalisasi ini kecerdasan emosi memainkan peranan yang penting dalam semua
bidang kehidupan dan semua bidang pekerjaan. Sejak munculnya buku Emotional
Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (Goleman, 1995), kecerdasan emosi makin
popular dir ujuk sebag ai faktor penting dalam menjelaskan keberhasilan di tempat
kerja. Goleman berargumen dalam bukunya itu bahwa kecerdasan emosi mampu

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 79


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

menjelaskan 80% dari kesuksesan kerja, hanya 20% sisanya dijelaskan oleh faktor lain seperti
kecerdasan intelektual. Majalah Time edisi 2 Oktober 1995 menulis di cover-nya, “It's not your
IQ. It's even not a number. But emotional intelligence may be the best predictor of success in life,
redefining what it means to be smart (lihat juga Mayer, Salovey, Caruso, & Cherkasskiy, 2011).”
Banyak bukti penelitian mengungkap bahwa keberhasilan seseorang dalam kehidupan
tidak lagi mendasarkan pada aspek kognitif yaitu berupa inteligensi (IQ), tetapi aspek afektif
yaitu kecerdasan emosi (EQ) yaitu kemampuan menahan diri, mengendalikan emosi,
memahami emosi orang lain, motivasi tinggi, bersikap kreatif, memiliki empati, bersikap
toleransi dan sebagainya yang merupakan karakteristik yang jauh lebih penting dari sekedar
inteligensi.

2. Metodologi
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, tujuan penggunaan metode
ini untuk memahami dan meneliti fenomena secara holistik tentang karakteristik
kepemimpinan yang efektif dan kecerdasan emosional.
Disamping itu, dilaksanakan pula metode penelitian kepustakaan yaitu dengan
mempelajari dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan, data dan dokumen
yang berkaitan karakteristik kepemimpinan yang efektif dan kecerdasan emosional, untuk
memperoleh dan menggali informasi yang lebih dalam dan akurat, sehingga dapat
melengkapi penelitian ini.

3. Tinjauan Pustaka
A. Karakteristik Kepemimpinan yang Efektif
Ada beberapa karakteristik dari kepemimpinan yang efektif yang dikemukan oleh
berbagai tokoh antara lain:
1. Gordon (1991) kepemimpinan yang efektif meliputi: (1) pemimpin harus mengenal dan
mengetahui kebutuhan bawahan, (2) pemimpin harus meningkatkan pemberian hadiah
kepada bawahannya yang berprestasi, (3) pemimpin harus dapat memfasilitasi jalan
untuk mendapatkan hadiah dengan memberi pengarahan dan bimbingan, (4) pemimpin
seharusnya membantu bawahan mengklarifikasi harapannya dengan memberi contoh
usaha yang mengarah pada kinerja yang tinggi, (5) pemimpin harus mengurangi
hambatan-hambatan yang membuat frustrasi bawahan dalam memperoleh hadiah dan
hasil, dan (6) pemimpin harus meningkatkan kesempatan untuk kepuasan pribadi yang
merupakan hasil dari kinerja yang efektif.
2. Bennis yang dikutip Bliss (1999) mengemukakan bahwa pemimpin adalah orang yang
memiliki karakteristik: (1) inovatif, (2) fokus pada orang, (3) membangun kepercayaan, (4)
memiliki perspektif jangka panjang, (5) menanyakan apa dan mengapa, (6) memiliki
pandangan yang luas dan melebar, (7) memiliki orisinalitas, dan (8) suka tantangan.
3. Hogan dkk (1994) dan Robinson (2000) mengemukakan 5 karakteristik khusus dari
kepemimpinan yang efektif, yaitu: (1)kecerdasan mental (mental agility), pemimpin
memiliki minat yang besar, rasa ingin tahu dalam segala hal, memiliki rasa ingin tahu
tentang orang lain dan motivasi yang mendasarinya, terbuka pada pengalaman baru,
suka membaca dan suka akan tantangan. (2) stabilitas emosi, pemimpin yang memiliki
nilai yang tinggi pada stabilitas emosi cenderung memiliki sifat: percaya diri, penerimaan
diri (self acepting), keseimbangan (balanced), tahan terhadap stress, toleran terhadap
ketidakpastian, dapat bekerja dibawah tekanan, fleksibel dan efektif dalam menangani
konflik dan umpan balik negatif, (3) (surgency), yaitu pemimpin selalu bersifat terbuka,
asertif, dan memiliki energi yang tinggi, berani mengambil keputusan, (4)
(conscientiousness), yaitu pemimpin memiliki sifat hati-hati dan sabar, motivasi yang tinggi

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 80


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

untuk berprestasi, tanggungjawab, integritas yang tinggi, memiliki etos kerja, memiliki
kemampuan mengorganisasi, dan (5) (agreeableness) yaitu pemimpin dapat kooperatif,
dapat berdiplomasi, bersahabat, pembicara yang efektif, dan dapat dipercaya.
4. Bliss (1999) semua pemimpin memiliki karakteristik sifat-sifat yang umum yaitu: (1)
mengarah pada visi dan tujuan, (2) memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan
kemauannya kepada orang lain, (3) memiliki integritas meliputi: pengetahuan diri (self
knowledge) yaitu tahu akan kelemahan dan kelebihan dirinya sendiri, terus terang (candor),
dan kematangan (maturity) yang merupakan hasil belajar yang telah dijalani.
5. Steers (1985) menyoroti rintangan-rintangan dalam keefektifan kepemimpinan, yaitu: (1)
ketrampilan dan sifat dari pemimpin dapat menjadi kendala dalam menjadi pemimpin
yang efektif. Misal, penelitian tentang kepemimpinan menunjukkan bahwa pemimpin
yang efektif memiliki karakteristik pribadi tertentu. Kekurangan dari ketrampilan
tersebut dapat menghalangi perilaku pemimpin yang efektif, (2) ketidakmampuan
pemimpin dalam membuat berbagai gaya kepemimpinan dalam situasi yang tepat, (3)
pada tingkat tertentu, pemimpin harus mengontrol sistim pemberian hadiah seperti
menaikkan gaji, promosi dan lain-lain, (4) karakteristik dari situasi kerja juga dapat
menyebabkan ketidakefektifan kepemimpinan.
6. Klemm (1999) menyoroti ciri-ciri pemimpin kreatif yang berkorelasi positif dengan
kepemimpinan yang efektif. Menurut Klemm ada 5 ciri-ciri pemimpin yang kreatif
meliputi: (1) memiliki tingkat kecerdasan yang cukup tinggi, (2) dapat menerima
informasi dengan baik (well informed), (3) memiliki pemikiran yang asli (original thinkers),
4) menjawab pertanyaan dengan benar (ask the right questions), dan 5) disiapkan untuk
menjadi kreatif (prepared to be creative).
7. Dunning (2000) mengemukakan 4 kompetensi yang menentukan keberhasilan pemimpin
yang baru di era milenium, yaitu: (1) harus memahami dan mempraktekkan pentingnya
suatu penghargaan terhadap kemampuan, sehingga pemimpin dituntut memiliki
kemampuan, (2) senantiasa mengingatkan bahwa pentingnya mengembangkan
bawahannya, (3) senantiasa memberikan kepercayaan kepada bawahannya, dan
(4)menjalin keakraban dengan rekan sekerja.
8. Kane (1998) menyoroti aspek-aspek yang paling relevan untuk dimiliki pemimpin pada
era melinium yaitu: (1) kompetensi dasar (core competencies) seperti: inteligensi, integritas
(integrity) dan perhatian (caring), (2) ketrampilan/pengetahuan (skills/knowledge),
membangun tim (team building), mengorganisir bawahan (people management), keterlibatan
pada aktivitas di masyarakat (community involvement), dapat mengelola konflik secara
produktif (productive use of conflict) dan kecerdasan emosi (emotional intelligence), (3) sikap
terhadap keberhasian kepemimpinan (attitudes for successful leadership), yaitu: memiliki
komitmen (comitment), perbaikan yang terus menerus (continuous improvement) (Yoenanto,
Herry (2002).

B. Kecerdasan Emosi
Istilah kecerdasan emosi pertama kali berasal dari konsep kecerdasan sosial yang
dikemukakan oleh Thorndike pada tahun 1920 dengan membagi dalam tiga bidang
kecerdasan yaitu: (1) kecerdasan abstrak, seperti: kemampuan memahami dan memanipulasi
simbol verbal dan matematika, (2) kecerdasan kongkrit, yaitu kemampuan memahami dan
memanipulasi objek, dan (3) kecerdasan sosial, yaitu kemampuan berhubungan dengan
orang lain (Goleman, 1995). Kecerdasan sosial menurut Thorndike yang dikutip Goleman
(1995) adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang untuk bertindak bijaksana
dalam menjalin hubungan, meliputi: kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal.

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 81


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan untuk mengelola diri sendiri, sedangkan


kecerdasan interpersonal adalah kemampuan memahami orang lain.
Kemudian, konsep kecerdasan emosi berkembang menjadi istilah emosi yang
dikemukakan oleh Mayer dan Salovey pada tahun 1993 (Davies,1998; Kierstead, 1999; Caruso,
2000; Simmons, 2001 dan Goleman, 2000) dengan memberikan definisi emosi yang
merupakan kompilasi dari 4 macam ketrampilan, yaitu: 1) mengidentifikasi emosi (identifying
emotions), yaitu kemampuan mengenali dan merasakan perasaannya, 2) menggunakan emosi
untuk memfasilitasi pikiran (using emotion to facilitate thought), yaitu kemampuan
mengekspresikan emosi dan kemudian memberi alasan dengan emosinya, 3) memahami
emosi (understanding emotions), yaitu kemampuan emosi secara kompleks dan rangkaian
emosi serta bagaimana emosi berpindah dari satu tahap ke tahap lainnya, dan 4) mengelola
emosi (managing emotions), yaitu kemampuan untuk mengelola emosi diri sendiri dan dalam
berhubungan dengan orang lain.
Dewasa ini, pengertian kecerdasan emosi berkembang tidak hanya sekedar 4
ketrampilan, tetapi lebih luas. Menurut Goleman yang dikutip Bliss (1999), kecerdasan emosi
didefinisikan suatu kesadaran diri, rasa percaya diri, penguasaan diri, komitmen dan
integritas dari seseorang, dan kemampuan seseorang dalam mengkomunikasikan,
mempengaruhi, melakukan inisiatif perubahan dan menerimanya. Atau dengan kata lain
Goleman (2000) memberi pengertian kecerdasan emosi merujuk kepada kemampuan untuk
mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri
sendiri dan kemampuan mengelola emosi secara baik pada diri sendiri dan dalam
hubungannya dengan orang lain.
Dalam buku yang terbaru bekerja dengan kecerdasan emosi dalam konteks dunia kerja,
Goleman yang dikutip oleh Blisss, (1999); Simon (2001) membagi 2 wilayah dari kerangka
kecerdasan emosi, yaitu: (1) kompetensi pribadi (personal competency), yaitu bagaimana
mengatur diri sendiri yang terdiri dari: a) kesadaran diri (self awareness), yaitu kemampuan
untuk mengenal perasaan dirinya sendiri, b) kemampuan mengatur diri sendiri (self regulation/
self management) yaitu kemampuan mengatur perasaannya dan c) motivasi (motivating) yaitu
kecenderungan yang memfasilitasi dirinya sendiri untuk mencapai tujuan walaupun
mengalami kegagalan dan kesulitan. (2) kompetensi sosial ( social competence), yaitu
kemampuan mengatur hubungan dengan orang lain, yang terdiri dari (a) empati, yaitu
kesadaran untuk memberikan perasaan/perhatian, kebutuhan dan kepedulian kepada orang
lain, dan (b) memelihara hubungan sosial, yaitu mengatur emosi dengan orang lain,
ketrampilan sosial seperti: kepemimpinan, kerja tim, kerjasama dan negosiasi.

C. Revolusi Industri 4.0


Seiring dengan dunia yang memasuki revolusi industri 4.0, maka pemanfaatan robot
dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam proses produksi manufaktur akan
semakin lazim. Perubahan ke arah automasi tersebut bisa mendatangkan berbagai dampak
kepada para pekerja industri. Seperti dilansir Kompas.com, Selasa (24/4/2018), Kementerian
Tenaga Kerja (Kemenaker) menyatakan bahwa akan ada jenis pekerjaan yang hilang seiring
berkembangnya revolusi industri 4.0. Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan, Pelatihan, dan
Produktivitas Kemenaker Bambang Satrio Lelono menyampaikan, sebanyak 57 persen
pekerjaan yang ada saat ini akan tergerus oleh robot. Namun, masih menurut artikel tersebut,
di balik hilangnya beberapa pekerjaan akan muncul juga beberapa pekerjaan baru. Bahkan,
jumlahnya diprediksi sebanyak 65.000 pekerjaan. Bambang mengatakan, yang harus
dilakukan sekarang adalah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Untuk itu,
generasi milenial yang lahir pada medio 1980--1999 harus mulai mengasah soft skill mereka.
Hal itu, karena masa depan manufaktur Indonesia berada di tangan mereka. Selain

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 82


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

pendidikan di dalam lingkungan keluarga, tempat lain untuk mengasah soft skill yang
dibutuhkan di dunia kerja adalah lembaga pendidikan.
Beberapa lembaga pendidikan pun, terutama perguruan tinggi, sudah menyadari
pentingnya pendidikan soft skill untuk para mahasiswanya. Perguruan tinggi saat ini tak
hanya membekali anak didiknya dengan ilmu pengetahuan dan hard skill, tetapi juga mulai
melakukan pengembangan soft skill. Salah satu lembaga pendidikan yang menerapkan
pengembangan soft, begitu juga dengan lembaga pendidikan dan latihan aparatur tentunya
sudah harus merubah arah kebijakan diklatnya dengan perkembangan jaman Revolusi
industri 4.0 secara umum diketahui sebagai perubahan cara kerja yang menitikberatkan pada
pengelolaan data, sistem kerja industri melalui kemajuan teknologi, komunikasi
dan peningkatan efisiensi kerja yang berkaitan dengan interaksi manusia.
Lembaga Diklat tidak hanya menghasilkan kuantitas lulusan tetapi kualitas lulusannya.
Kesuksesan sebuah negara dalam menghadapi revolusi industri 4.0 erat kaitannya dengan
inovasi yang diciptakan oleh sumber daya yang berkualitas, sehingga lembaga Diklat
Aparatur wajib dapat menjawab tantangan untuk menghadapi kemajuan teknologi dan
persaingan di era globalisasi. Dalam menciptakan sumber daya yang inovatif dan adaptif
terhadap teknologi dan pelayanan kepada masyarakat, diperlukan penyesuaian sarana dan
prasarana pembelajaran dalam hal teknologi informasi, internet, analisis big data dan
komputerisasi. Lembaga diklat yang menyediakan infrastruktur pembelajaran tersebut
diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang terampil dalam aspek literasi data, literasi
teknologi dan literasi manusia.
Terobosan inovasi akan berujung pada peningkatan produktivitas kerja dan melahirkan
kualitas pelayanan. Tantangan berikutnya adalah rekonstruksi kurikulum pendidikan yang
responsif terhadap revolusi industri juga diperlukan, seperti desain ulang kurikulum dengan
pendekatan human digital dan keahlian berbasis digital. Menteri Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi M. Nasir mengatakan, “Sistem perkuliahan berbasis teknologi informasi
nantinya diharapkan menjadi solusi bagi anak bangsa di pelosok daerah untuk menjangkau pendidikan
tinggi yang berkualitas.” Persiapan dalam menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi
dengan Revolusi Industri 4.0 adalah salah satu cara yang dapat dilakukan Lembaga Diklat
untuk meningkatkan kualitas pelyanan kepada masyarakat. Berbagai tantangan sudah hadir
di depan mata, sudah siap kah Perguruan Tinggi dan Lembaga Diklat menyiapkan generasi
penerus bangsa di era Revolusi Industri 4.0 dan persaingan global?

4. Pembahasan
A. Pemimpin Efektif dan Transformasional
Ukuran yang paling banyak digunakan untuk mengukur efektivitas pemimpin adalah
seberapa jauh unit organisasi pemimpin tersebut berhasil menunaikan tugas pencapaian
sasarannya (Yukl, 2006). Contoh ukuran kinerja yang obyektif mengenai pencapaian kinerja
atau sasaran adalah keuntungan, margin keuntungan, peningkatan penjualan, pangsa pasar,
penjualan dibanding target penjualan, pengembalian atas investasi, produktivitas, biaya per
unit keluaran, biaya yang berkaitan dengan anggaran pengeluaran dan seterusnya.
Sedangkan ukuran subyektifnya adalah tingkat efektivitas yang dihasilkan oleh pemimpin
tertinggi, para pekerja atau bawahan sikap para pengikut terhadap pemimpin merupakan
indikator umum lainnya dari pemimpin yang efektif (Yukl, 2006). Seberapa baik pemimpin
tersebut memenuhi kebutuhan dan harapan pengikutnya? Apakah para pengikut menyukai,
menghormati dan mengagumi pemimpinnya? Apakah pengikut benar-benar mau
mengerjakan keinginan pemimpinnya? Indikator berikutnya adalah berdasar kontribusi
pemimpin pada kualitas proses kelompok yang dirasakan oleh para pengikut. Apakah
pemimpin mampu meningkatkan kohesivitas anggota kelompok, kerjasama anggota,

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 83


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

motivasi anggota, penyelesaian masalah, pengambilan keputusan dan mendamaikan konflik


antaranggota? Apakah pemimpin berkontribusi terhadap efisiensi pembagian peran,
pengorganisasian aktivitas, pengakumulasian sumber-sumber dan kesiapan kelompok untuk
menghadapi perubahan atau krisis? Apakah pemimpin dapat memperbaiki kualitas
kehidupan kerja, membangun rasa percaya diri pengikutnya, meningkatkan ketrampilan
mereka dan berkontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan psikologis para
pengikutnya.
Dalam kebanyakan konteks organisasi, kepemimpinan transformasional dianggap
sebagai gaya kepemimpinan yang lebih efektif dibandingkan dengan transaksional dan
secara konsisten ditemukan meningkatkan kinerja organisasi yang lebih besar (Lowe dan
Kroeck, 1996). Kepemimpinan transformasional secara tradisional didefinisikan sebagai
perwujudan komponen-komponen karisma, stimulasi intelektual, dan pertimbangan
individual (Avolio et al., 1999). Dimensi karisma terkait dengan pemimpin yang
menanamkan kebanggaan, iman, dan rasa hormat pada bawahan dan yang menetapkan
visi dan misi untuk sebuah tim melalui keterampilan komunikasi yang baik. Stimulasi
Intelektual ciri seorang pemimpin yang meningkatkan kecerdasan, rasionalitas, kehati-
hatian dalam pemecahan masalah, dan yang mendorong bawahan untuk melakukan
inovatif dalam menyelesaikan suatu masalah. Seorang pemimpin yang memberikan
perhatian pribadi kepada bawahan, memperlakukan setiap karyawan sebagai seorang
individu, dan mengambil minat dalam jangka panjang pengembangan kepribadian setiap
karyawan merupakan komponen kepemimpinan transformasional Kepemimpinan
Transformasional (Sivanathan, Niroshaan dan G.Chinthia F, 2002) adalah kemampuan
pemimpin untuk memotivasi pengikutnya untuk mencapai melebihi apa yang mulanya
dianggap mungkin. Bass (1985) mengusulkan empat faktor karakteristik kepemimpinan
transformasional yang sering disebut sebagai ”Four I’s :
1. Pengaruh ideal/Idealized Influence yakni pengikut mengidealkan dan meniru
perilaku pemimpin terpercaya mereka;
2 Inspirasional motivasi/Inspirational Motivation yaitu pengikut termotivasi oleh
pencapaian tujuan yang sama;
3. Stimulasi intelektual/Intellectual Stimulation yakni pengikut didorong untuk
melepaskan diri dari cara berpikir lama dan didorong untuk mempertanyakan nilai-
nilai, keyakinan dan harapan mereka; dan
4. Pertimbangan individual/Individualized Consideartion yaitu kebutuhan pengikut
yang ditujukan baik secara individu dan tujuan keadilan (Bass dan Avolio,
1997).
Kepemimpinan transformasional secara konsisten menunjukkan efek menguntungkan
pada berbagai hasil individu dan organisasi (Bass, 1998). Sebagai contoh, Barling et al.
(1996) menemukan bahwa komitmen organisasi bawahan berkorelasi positif dengan
perilaku kepemimpinan transformasional supervisor mereka.
Kelloway dan Barling (1993) juga telah menunjukkan prediksi kuat kesetiaan
seseorang kepada organisasinya, sejauh mana dipraktikkan kepemimpinan transformasi.
Selain itu, hubungan yang positif juga telah ditemukan antara kepemimpinan
transformasional dan motivasi bawahan (Masi dan Cooke, 2000). Beberapa penelitian yang
lain menunjukkan bukti-bahwa kepemimpinan transformasional secara positif
berhubungan dengan kinerja bisnis intinya (Barling et al.,1996; Howell dan Avolio, 1993).
Menurut Bass (1998) kepemimpinan transformasi adalah berhubungan secara positif
dengan efektivitas pemimpin.
Karena hasil organisasi positif berhubungan dengan kepemimpinan transformasi,
para peneliti mengeksplorasi faktor-faktor yang memprediksi perilaku kepemimpinan
transformasional (Rost, 1991). Faktor yang banyak dinyatakan adalah kecerdasan emosional

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 84


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

(Sosik dan Megerian, 1999; Barling et al.,2000) Avolio mengemukakan bahwa para
pemimpin yang efektif adalah orang-orang yang mempunyai gaya kepemimpinan
transformasional daripada gaya kepemimpinan transaksional (1995). Kepemimpinan
Transformasional lebih berdasarkan emosi dibandingkan dengan kepemimpinan
transaksional dan melibatkan tingkat emosional tinggi (Yammarino dan Dubinsky, 1994).

B. Kompetensi Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient)


Kompetensi didefinisikan sebagai kapabilitas atau kemampuan (Boyatzis,2008) dan
kompetensi Kecerdasan Emosional (EQ) merujuk pada kemampuan seseorang untuk
menyadari perasaan sendiri, sadar akan perasaan orang lain, membedakan diantara
keduanya, dan menggunakan informasi untuk membimbing seseorang berpikir dan
berperilaku. Definisi ini terdiri dari tiga kategori kemampuan: evaluasi dan ekspresi emosi,
regulasi emosi dan menggunakan emosi dalam pengambilan keputusan. Goleman
(Polychroniou, PV, 2009) memberikan definisi yang sama: "kemampuan untuk mengatur
perasaan kita sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri kita sendiri, dan untuk
mengelola emosi dengan baik dalam diri kita sendiri dan dalam berhubungan orang lain
"Bar-On (Stein, SJ. Et al, 2009) menyatakan bahwa orang dengan tingkat emosional lebih tinggi
memiliki kemampuan untuk menangani situasi yang menekan tanpa kehilangan kontrol dan
dapat mempertahankan ketenangannya ketika berhubungan dengan orang lain bahkan
ketika intens mengalami emosi. Sosik dan Megerian (Stein, SJ. Et al, 2009) menyatakan bahwa
orang yang cerdas secara emosional merasa lebih aman dalam kemampuan mereka untuk
mengontrol dan pengaruh peristiwa kehidupan dan, sebagai hasilnya, individu memberikan
fokus pada orang lain serta merangsang intelektual dan memotivasi pengikutnya.
Stein dan Book (2000) berpendapat bahwa para pemimpin dengan kecerdasan
emosional yang lebih besar akan menjadi pemimpin yang efektif. Barling dari suatu studi
menemukan bahwa para manajer di pabrik yang kecerdasan emosionalnya ditingkatkan
(diperhatikan dan dijaga) menunjukkan pengaruh yang lebih besar pada faktor pengaruh
ideal, inspirasional motivasi dan pertimbangan individual (Barling, et al., 2000). Menurut
Goleman (2000) kecerdasan emosi berperan dua kali lipat bahkan lebih dalam menentukan
kesuksesan seseorang di tempat kerja. Bahkan jika dikombinasikan dengan kecerdasan
spiritual (ESQ) mampu menjadi benteng dalam pelaksanaan tanggungjawab atas
pekerjaaannya (Hidayat, Riskin, 2008)
Kepedulian dan sikap berempati terhadap bawahan atau pengikutnya merupakan
salah satu indikator adanya kecerdasan emosional pada orang tersebut. Semenjak
ditemukannya konsep EQ (Kecerdasan Emosi) oleh Daniel Goleman, peduli dan empati
menjadi sesuatu yang teramat penting. Masyarakat barat yang cenderung individualis
seakan tersadarkan akan pentingnya nilai-nilai yang selama ini dianggap kurang penting
terhadap kesuksesan seseorang. Peduli berarti mampu untuk memahami kebutuhan orang
lain, merasakan persaannya serta menempatkan diri dalam posisi orang lain. Seseorang
yang memiliki kepedulian tinggi adalah orang yang peka, yang bukan saja perhatian pada
dirinya sendiri (self-centered), melainkan juga tertuju kepada orang lain (extra centered
sensitivity) sehingga mudah merasa iba pada orang lain. Kepedulian membuat orang
melihat keluar dari dirinya dan menyelami perasaan dan kebutuhan orang lain, lalu
menanggapi dan melakukan perbuatan yang diperlukan untuk orang-orang disekelilingnya
(ESQ Nebula, 2009).
Ada dua jenis cara pandang, pertama melalui cermin dan kedua melalui kaca jendela.
Seseorang yang self centered memandang hanya melalui kaca cermin sehingga yang ia lihat
hanya dirinya sendiri. Sedangkan seorang extracetered memandang melalui kaca jendela,
yang dilihat bukanlah dirinya sendiri. melainkan orang lain dan kebutuhannya. Orang

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 85


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

yang perhatiannya tertuju kepada orang lain akan bersikap: 1) Lebih sadar akan
kepentingan dan kebutuhan orang lain; 2) Perhatiannya terhadap kepentingan diri sendiri
berkurang; 3) Bertambah kesadarannya bahwa setiap orang memiliki keunikan sendiri-
sendiri; 4) Bertambah keinginan untuk memberikan bantuan dan pertolongan bagi orang
lain; 5 ) Berkurangnya rasa kesedihan, karena melihat bahwa orang lain banyak yang
kurang beruntung.
Empati yang secara umum dikenal sebagai kebijakan universal, sangat berkaitan
dengan kebajikan lainnya seperti cinta, toleransi, kebaikan, kepedulian, penerimaan dan lain-
lain. Daniel Goleman menganggap empati sebagai komponen besar dalam kecerdasan emosi
sebab empati memungkinkan seseorang memahami dan memprediksi emosi dan kebutuhan
orang lain. Pengetahuan tersebut dapat membantu kita untuk mempengaruhi orang lain.
Empati dapat menjadi kunci menaikkan intensitas dan kedalaman hubungan dengan orang
lain (Connecting with). Menurut Daniel Goleman (ESQ Nebula, 2009), meningkatkan empati
dapat melalui beberapa cara yaitu : 1 ) Understanding Other, yaitu cepat menangkap isi
perasaan dan pikiran orang lain; 2) Service Orientation, yaitu memberikan pelayanan yang
dibutuhkan orang lain, bukan mengambil apalagi memanipulasi; 3) Developing Others yaitu
memberikan masukan-masukan positip atau membangun orang lain; 4) Leveraging Others
yaitu mengambil manfaat dari perbedaan, bukan menciptakan konflik dari perbedaan, da n
5 ) Political Awareness yaitu memahami aturan main yang tertulis atau yang tidak tertulis
dalam hubungannya dengan orang lain.
Sikap peduli dan empati dapat meningkatkan emosi positif, dimana emosi positif akan
mendorong orang untuk bereaksi positif juga. Dengan demikian jika pemimpin
menginginkan ada respon yang baik dan motivasi untuk bekerja menjadi lebih baik adalah
dengan menumbuhkan sikap peduli dan empati.
Selain kepedulian dan empati, ada beberapa dimensi keterampilan yang lain yang ada
dalam kecerdasan emosional. Dimensi ketrampilan tersebut meliputi Intrapersonal sebagai
indikator Kesadaran-diri dan ekspresi diri, Interpersonal digunakan untuk mengukur
Kesadaran sosial dan hubungan interpersonal, Manajemen Stress digunakan untuk Manajemen
dan Pengendalian Emosi, Adaptation digunakan sebagai indikator kemampuan untuk
Mengelola Perubahan, dan General Mood digunakan sebagai indikator Motivasi diri.
Pengukuran dimensi ketrampilan dan indicator kecerdasan emosional dapat dilakukan
dengan menggunakan Emosional Quotient Inventory (EQ-i). Menurut Bar-On (Stein, SJ. Et
al, 2009) model EQ-i melibatkan daftar kemampuan dan ketrampilan pribadi, emosional,
dan sosial. Skor yang lebih tinggi pada hasil EQ-i ini mengimplikasikan ketrampilan
Emotional Intelligence yang kuat dan lebih positif memprediksikan sebagai efektif dalam
memenuhi tuntutan dan tantangan. Sebaliknya, skor EQ-i yang lebih rendah menunjukkan
keterampilan EI yang buruk dan mengurangi kemampuan untuk menjadi efektif dalam
memenuhi tuntutan dan tantangan .
Keandalan dari EQ-i telah diselidiki oleh sejumlah peneliti seperti Matthews,
Newsome, Petrides dan Furnham (Stein, SJ. Et al, 2009) dengan konsensus temuan
mengungkapkan bahwa instrument ini dapat diandalkan, konsisten, dan stabil. Bar-
On melaporkan bahwa Reliabilitas konsistensi internal EQ-i secara keseluruhan adalah 0,76
dan Keandalan tes-tes ulang 0,85 setelah satu bulan dan 0,75 setelah empat bulan (Stein,
SJ. Et al, 2009).
Slaski dan Cartwright (Stein, SJ. Et al, 2009) menemukan bahwa hasil metode
pengukuran EQ-i secara signifikan berkorelasi dengan semangat (0,55), stres (0,41),
kesehatan umum (0,50), dan peringkat kinerja Supervisor (0.22) dalam penelitian mereka
terhadap manajer retail. Studi lain pada manajer Inggris, Slaski dan Cartwright
menemukan bahwa pelatihan dalam kecerdasan emosional menghasilkan peningkatan
skor EQ-i dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 86


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

Tabel I. Karakteristik Ketrampilan dan Arah Pengukuran Kecerdasan emotional


(Emotional Intelligence)

Karakteristik Ketrampilan Arah Pengukuran


Intrapersonal Kesadaran-diri dan ekspresi diri:
1. Anggapan Diri (Self Regard) 1. Kemampuan Memahami, mengerti dan
menerima diri sendiri
2. Kesadaran Emosi Diri 2. Kemampuan mengetahui dan
(Emotional Self Awareness memahami emosi seseorang
3. Ketegasan (Assertiveness) 3. Kemampuan mengekspresikan emosi
seseorang dan diri sendiri
4. Menjadi mandiri dan bebas dari
ketergantungan emosional pada orang lain
4. Kemandirian (independence) 5. Berusaha untuk mencapai tujuan pribadi dan
mengaktualisasikan potensi seseorang
5. Aktualisasi diri (Self Actualization)

Interpersonal Kesadaran sosial dan hubungan


interpersonal:
1. Empati (Empaty) 1. Kemampuan mengetahui dan
memahami bagaimana orang lain merasa
2. Tanggung jawab sosial

(Social Responsibility) 2. Kemampuan mengidentifikasi


3. Hubungan interpersonal yang saling dengan salah satu kelompok sosial dan
memuaskan (Interpersonal bekerjasama dengan orang lain
Relationship) 3. Kemampuan membangun hubungan
dan berhubungan baik dengan yang lain

Stress Management Manajemen dan Pengendalian


1. Toleransi Stres (Stress Emosi
Tolerance) 1.Kemampuan mengelola emosi
2. Pengendalian Rangsangan (Impulse 2.Kemampuanmengendalikan emosi
Control)

Adaptability Mengelola Perubahan:


1. Uji Realitas (Reality Testing) 1.Kemampuan seseorang untuk
merasakan dan berpikir obyektif dengan
kenyataan eksternal
2.Kemampuan beradaptasi dan menyesuaikan
2. Fleksibilitas (Flexibility) perasaan seseorang dan berpikir untuk situasi
General Mood baru
Motivasi Diri:
1. Optimis (Optimism) 3.Kemampuan
1.Menjadi positif memecahkan
dan melihat sisimasalah
terang secara
efektif memecahkan masalah alamiah personal
kehidupan
3. Pemecahan
2. KebahagiaanMasalah (Problem
(Happiness) dan interpersonal
2.Merasa puas dengan diri sendiri dan
Solving) kehidupan pada umumnya

Sumber : Stein, SJ. et al, 2009 (dalam Nurtantiono, Andri (2012))

C. Alat Ukur Kecerdasan Emosi


Hingga saat ini banyak alat ukur yang mengungkap kecerdasan emosi. Pada kajian ini
penulis hanya menguraikan alat ukur yang pernah dikembangkan oleh beberapa peneliti,
yaitu:
(1) MSCEIT (Mayer, Salovey, Caruso emotional intelligence test) yang dikembangkan
oleh Dr. Jack Mayer, Dr. Peter Salovey dan Dr. David Caruso yang terdiri dari 4
ketrampilan yaitu: mengidentifikasi emosi, menggunakan emosi, memahami emosi

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 87


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

dan mengelola emosi. Tes ini lebih mengarah kepada mengukur kemampuan
kecerdasan emosi (ability measure).
(2) Baron EQ-I (Baron Emotional Quotient-Intelligence). Tes ini diciptakan oleh Baron.
Aspek-aspek yang diukur antara lain: a) ketrampilan intrapersonal seperti:
kesadaran diri, asertif, aktualisasi diri dan kemandirian, b) ketrampilan interpersonal
seperti: empati, hubungan interpersonal, dan tanggungjawab sosial, c)mengelola
stress seperti: pemecahan masalah, tes realitas dan fleksibilitas, dan d) kemampuan
beradaptasi (adaptability) seperti: toleransi terhadap stress, mengontrol impuls.Tes ini
mengarah pada bentuk self report.
(3) EQ Map (Emotional Quotient Map). Tes ini dikembangkan oleh Robert K. Cooper
dan Ayman Sawaf (2001) yang melakukan penelitian pada manajer eksekutif dan
profesional dari ratusan organisasi perusahaan. Aspek-aspek yang diukur antara
lain: a) ketrampilan kecerdasan emosi seperti: kesadaran diri emosi, kesadaran emosi
terhadap orang lain dan ekspresi emosi, b) kecakapan emosi seperti: intensionalitas,
kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi dan ketidakpuasan konstruktif, c)
nilai-nilai dan keyakinan seperti: belas kasihan, sudut pandang, intuisi, radius
kepercayaan, daya pribadi dan integritas.
(4) ECI (Emotional Competence Inventory). Tes ini mengukur aspek-aspek antara lain:
a) kesadaran diri (self awareness) seperti: kesadaran emosi diri, ketepatan mengases
diri (accurate self assesment) dan kepercayaan diri (self confidence) b) kesadaran sosial
(social awareness) seperti empati, kesadaran organisasi dan berorentasi pada
pelayanan, c) manajemen diri (self management), seperti: penguasaan diri (self control),
sifat dapat dipercaya (trustworthiness), kehati-hatian (consentiousness), kemampuan
beradaptasi (adaptability), orientasi berprestasi (achievement orientation), inisiatif
(initiative), d) ketrampilan sosial seperti: mengembangkan prang lain (developing
others), kepemimpinan, mempengaruhi, komunikasi, manajemen konflik (conflict
management), katalis perubahan (change catalist), kerjasama tim (teamwork) dan
menjalin hubungan dengan orang lain.

D. Pentingnya Kecerdasan Emosi bagi Pemimpin yang Efektif


Kepemimpinan (leadership) diartikan sebagai kemampuan untuk memegaruhi suatu
kelompok guna mencapai visi atau serangkaian tujuan yang sudah ditetapkan.
Kepemimpinan adalah kebutuhan dasar umat manusia, tetapi tidak sembarang pemimpin
dapat melakukannya. Tidak mudah mencari sosok pemimpin ideal. Selama ribuan tahun, tak
terhitung banyaknya penobatan, kudeta, pelantikan, pemilu dan perubahan rezim. Raja,
perdana menteri, pangeran, presiden, sekretaris jendral dan diktator datang silih berganti.
Sejarah membuktikan seorang penguasa biasanya akan mendapat respek dan dukungan
rakyat jika ia memberi kadar kedamaian yang masuk akal dan kondisi hidup yang terjamin.
Jika rakyat hilang percaya, orang lain mungkin akan segera mengantikan.
Kondisi hidup yang buruk, kediktatoran dan keinginan akan perubahan biasanya
menjadi pemicu pergantian. Penulis mencoba mengurai ciri-ciri pemimpin yang ideal untuk
dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih pemimpin efektif.
Karismatik, bila kita menengok sejarah para pemimpin yang kuat seperti Napoleon,
Mao Tze Tung, Churchil, Margaret Thatcher, Ronald Reagen, Bung Karno, Gandhi, semuanya
merupakan orang-orang yang sering kali disebut sebagai pemimpin karismatik. Apa yang
dimaksud dengan kepemimpinan karismatik, ilmuwan dan sosiolog Max Weber punya
definisi sendiri. Lebih dari seabad lalu ia mengatakan karismatik sebagai sifat dari seseorang
yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai
kemampuan atau kualitas supernatural. Artinya tidak dimiliki oleh orang biasa, karena
merupakan kekuatan yang bersumber dari Ilahi. Telaah literatur menunjukan adanya empat

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 88


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

karakteristik sehubungan dengan pemimpin karismatik. Yaitu memiliki visi, bersedia


mengambil risiko pribadi untuk mencapai visi tersebut, sensitif terhadap kebutuhan bawahan
dan memiliki prilaku yang luar biasa. Indonesia pernah memiliki Bung karno yang masuk
dalam kategori pemimpin karismatik. Memiliki visi memerdekakan Indonesia walau dengan
risiko harus keluar masuk bui. Dia juga berani mengambil sikap demi mencapai visi.
Penulis berpendapat kepemimpinan karismatik merupakan salah satu dari jenis
kategori ideal. Tetapi untuk mencari sosok pemimpin yang benar-benar ideal, karismatik saja
belumlah cukup. Perlu kecerdasan emosional yang membuat kepemimpinan seseorang
menjadi lebih efektif.
Kecerdasan emosi dewasa ini sangat dibutuhkan dalam semua bidang kerja. Yate (1997)
yang dikutip Caruso (2000) membuat penelitian yang sangat menarik dengan mengungkap
peranan kecerdasan emosi dalam karir dan tempat kerja dengan mengacu seberapa besar
kecerdasan emosi sebagai syarat yang dibutuhkan untuk keberhasilan kerja. Berikut daftar
pekerjaan yang membutuhkan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi (dari tertinggi hingga ke
terendah): (1) dokter jiwa, (2) pekerja sosial, (3) spesialis merawat orang manula, (4) dokter
medis keluarga, (5) ahli terapi fisik, (6) guru/kepala sekolah, (7) manajer sumber daya
manusia, (8) perawat, (9) humas, (10) manajer pelatihan, (11) polisi, (12) dokter gigi, (13)
wartawan, (15) pemasar, (16) editor, (17) agen asuransi, (18) ahli kacamata, (19) sekretaris, (20)
agen perjalanan, (21) asisten medis, (22) pelayan, (23) insinyur piranti lunak, (24) ahli geofisik,
(25) akunta, (26) insinyur listrik, (27) analis sistem, (28) teller, dan (29) ahli botani.
Dari berbagai penelitian juga dibuktikan bahwa kecerdasan emosi sangat dibutuhkan
bagi pemimpin yang efektif. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Patricia Pitcher’s yang
dikutip oleh Bliss (1999) menyimpulkan bahwa pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi
tinggi lebih berhasil dibandingkan dengan pemimpin yang tanpa kecerdasan emosi. Bennis
yang dikutip Simmons (2001) juga mendukung peneliti sebelumnya dengan mengatakan
bahwa kecerdasan emosi lebih berpengaruh dibandingkan dengan inteligensi (IQ) dalam
menentukan pemimpin yang efektif. Penelitian yang dilakukan Cooper (1997) menyebutkan
bahwa orang dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi lebih berhasil dalam karir
pekerjaan, dapat membangun hubungan personal yang lebih baik, memimpin lebih efektif,
dapat menikmati kesehatan lebih baik dan dapat memotivasi dirinya sendiri dan orang lain.
Lebih lanjut Cooper menjelaskan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dapat
meningkatkan kekuatan intuisi, senantiasa mempercayai dan dipercayai oleh orang lain,
memiliki integritas, dapat memecahkan solusi dalam keadaan yang darurat dan dapat
melakukan kepemimpinan yang efektif.
Seorang pemimpin yang efektif menggunakan pengaruh hubungan personil dalam
mempengaruhi orang lain. Hubungan personil dibangun menggunakan ketrampilan
kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi tidak hanya membedakan pemimpin yang menonjol
dengan yang tidak, tetapi juga berkaitan dengan kinerja yang baik (Goleman, 1998). Penelitian
lain yang sejenis dilakukan Fieldman yang dikutip Simmon (2001), menyimpulkan bahwa
pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi yang baik secara langsung dapat mempengaruhi
kinerja bawahannya dan produktivitas dalam segala hal. Cooper dan Sawaf (1998 dan 2001)
yang menyoroti perbedaan kecerdasan emosi dari pemimpin dapat membuat faktor
keberhasilan karir dan organisasi dalam hal: 1) pengambilan keputusan, (2) kepemimpinan,
(3) komunikasi secara jujur dan terbuka, (4) hubungan yang saling mempercayai dan
kerjasama tim, dan (5) kepuasan pelanggan.
Penelitian lain yang berkaitan dengan kecerdasan emosi juga dilakukan oleh beberapa
ahli. Seperti yang dilakukan oleh Simmon (2001) dengan mengaitkan antara jenis kelamin
(gender) dengan kecerdasan emosi didapatkan kesimpulkan bahwa orang wanita rata-rata
lebih baik kecerdasan emosi dalam hal kesadaran dirinya, empati dan ketrampilan sosialnya,

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 89


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

sementara orang pria rata rata lebih baik kecerdasan emosi dalam bidang kepercayaan diri,
optimistik, dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan daya tahan terhadap stres.
Sementara itu Baron menyelidiki pengaruh kecerdasan emosi dengan tingkat usia,
diperoleh hasil ada pengaruh yang konsisten antara usia dengan kecerdasan emosi, yaitu
nilai total kecerdasan emosi meningkat dengan pertambahan usia dan puncaknya pada akhir
tahun ke-40 dan awal tahun ke-50. Penelitian ini menunjukkan bahwa kematangan emosi
berasal dari usia dan pengalaman, dimana orang yang lebih tua dapat mengatasi tuntutan
lingkungan dari orang yang lebih muda. Atau secara umum orang yang lebih tua memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan orang yang lebih muda yaitu: (1) mandiri dalam cara
berfikir dan bertindak, (2) sadar akan perasaan orang lain, (3) memiliki tanggung jawab
sosial, (4) dapat beradaptasi, (5) dapat mengatasi masalah, dan (6) dapat mengatur tingkat
stres.
Tetapi mengapa Emotional Intelligence begitu penting bagi kemimpinan yang efektif? Ini
jawabnya, salah satu komponen inti Emotional Intelligence adalah empati. Sejarawan Fred
Greenstein mengadakan penelitian dan menunjukan Emotional Intelligence merupakan salah
satu unsur terpenting untuk meramalkan kebesaran seorang pemimpin. Jelas argumen dari
sejarawan ini bisa dikatakan benar, karena jika seorang pemimpin tidak memilki sifat empati
dan mendengar apa yang dikatakan oleh bawahan ataupun masyarakat yang dipimpinnya,
maka akan menjadikan dia pemimpin yang cendrung diktator.
Di Amerika Serikat, cendrung memilih pemimpin (presiden) yang memiliki Emotional
Intelligence tinggi dibanding pemimpin yang cerdas dalam berpolitik. Hal ini terlihat ketika
George W Bush memenangkan Pemilu 2004, mengalahkan lawannya Jhon Kerry. Seorang
komentator politik menjelaskan sikap mayoritas suara rakyat USA, “Rakyat menangkap
bahwa Kerry memiliki Emotional Intelligence lebih rendah dari pada Bush. Walaupun Kerry
memiliki kecerdasan politik yang lebih tinggi, tetapi Bush memiliki kecerdasan bangsa yang
jauh lebih baik. Tercermin dari sikap Bush saat melakukan kampanye yang lebih memberi
kesan secara emosional, berbicara dengan jelas, sederhana, penuh semangat dan Dia
menang.“ Musuh utama dari kepemimpinan yang efektif adalah kekuasaan yang dapat
merubah visi utama dari seorang pemimpin.
Kekuasaan selama ini dianggap sebagai kata yang paling kotor. Mereka yang
mencoba dan belum mendapatkan kekuasaan akan terus mengejar. Mereka yang pandai
mendapatkan akan merahasiakan cara untuk memenangkannya. Kita mungkin sudah
mendengar ungkapan power corroupts, absolute power corroupts absolutely (kekuasaan itu korup
dan kekuasaan penuh akan sepenuhnya korup). Para pemimpin akan menggunakan
kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan kelompok, dan kekuasaan adalah
sarana untuk memudahkan usaha mereka.
Kekuasaan terfokus bukan hanya pengaruh kepada pengikut atau bawahan, tapi
melebarkan pengaruh ke samping atau dengan kata lain ingin menguasai secara
menyeluruh. Padahal pemimpin memiliki keterbatasan sebagai pribadi-pribadi yang tidak
sempurna.
Pemimpin ideal harus memenuhi aspek-aspek kepribadian yang unggul. Berikut ini
adalah ciri dari kepribadian seorang pemimpin yang ideal:
Pertama, Memiliki integritas, berprilaku jujur dan lurus sehingga dapat menantang
musuh-musuhnya dihadapan umum. Tidak munafik, sehingga masyarakat akan tergerak
untuk menjadi pendukungnya (karismatik).
Kedua, Peduli terhadap masyarakat, memberi dukungan moril, materil, penghiburan
bagi orang-orang yang tertekan, mendengarkan dan empati (emotional Intellgence).
Ketiga, Mau bekerja, menyelesaikan semua tugas-tugas sebagai seorang pemimpin,
tanggap ketika rakyatnya membutuhkan pertolongan, mau melayani masyarakat bukan
hanya dilayani turun kebawah).

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 90


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

Penulis melihat ciri-ciri dari sosok pemimpin yang ideal di atas, masih jauh dari
kenyataan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak masyarakat hilang harapan
untuk mendapatkan pemimpin ideal. Tapi bukan berarti sosok pemimpin yang ideal itu
tidak ada. Melihat kondisi sekarang, penulis berharap masyarakat bisa berpikir luas, lebih
cerdas, lebih objektif, tidak terpengaruh bujuk manis atau politik uang dalam menentukan
pilihan kepada calon–calon pemimpin di daerahnya.
Pemimpin memiliki manajemen diri dan manajemen waktu yang baik dan efektif .
Tanggung jawab kepemimpinan bukanlah sesuatu hal yang dapat dijalankan dengan
mudah. Tetapi, semakin besar tanggung jawab kepemimpinan itu, semakin besar pula
penghargaan yang diberikan jika dapat memenuhi peranan tersebut.
Jika suatu bangsa dapat memilih para pemimpinnya dengan baik, maka bangsa tersebut
akan berkembang dan menjadi negara yang besar. Tetapi, jika salah memilih pemimpin,
bangsa tersebut akan menuju kehancuran. Keberhasilan dan jatuhnya suatu negara berada
di tangan para pemimpinnya. Ini sama halnya seperti dalam dunia bisnis. Tidak peduli
betapa hebatnya kemampuan para pekerja di suatu perusahaan, jika kepemimpinannya
kurang, maka perusahaan tersebut akan segera mengalami kebangkrutan. Tetapi, jika sang
pemilik atau para direksi menyediakan suatu kepemimpinan yang handal, maka perusahaan
tersebut akan berkembang dan berhasil. Orang biasa cenderung untuk meniru para
pemimpinnya. Mereka mulai meniru para pemimpinnya bukan hanya dalam hal
penggunaan kata-kata dan kelakuan, tetapi mereka juga meniru cara berpikir para
pemimpin mereka. Coba kita lihat komunitas milist (mailing list). Jika pemimpin milist ini
handal, maka seluruh komunitas milist ini akan meningkat hari demi hari. Sebaliknya, jika
komunitas milist ini kurang dalam hal kepemimpian maka komunitas milist ini akan
mengalami banyak penurunan.
Ada empat kualitas yang dapat membantu kita untuk mengembangkan kepemimpinan kita:
1. Seorang pemimpin yang handal, kita harus dengan cepat memahami kebutuhan
orang-orang dan memenuhinya. Sebagai contoh, seorang pedagang harus dengan
cepat memahami kebutuhan para produsen, konsumen dan situasi terkini dalam
pendistribusian order agar dapat meraih sukses dalam bisnisnya. Ketika kita
melakukan suatu bisnis di pasar dunia, perluasan kapasitas produksi tidak akan
menjamin kesuksesan dalam bisnis kita. Ketika melakukan produksi, kita harus
memahami dan menganalisa status produksi dari barang-barang di seluruh dunia
dan berdasarkan itu kita harus mencocokkannya dengan pabrik kita. Hanya analisa
yang teliti dan pemahaman yang sepenuhnya yang dapat membawa kesuksesan.
Sama seperti hal di atas, mereka yang kurang memiliki kemampuan dalam
memahami dan menganalisa kebutuhan orang lain tidak dapat menjadi seorang
pemimpin. Seorang pemimpin harus terus menerus tanggap dan harus bisa
menganalisa. Apa yang dibutuhkan pasar? Apa yang sedang mereka pikirkan?
Dalam hal apa mereka membutuhkan pembaharuan? Pertanyaan-pertanyaan ini
harus selalu ada di dalam pikiran para pemimpin.
2. Seorang pemimpin yang handal, kita harus memiliki kemampuan untuk membuat
orang lain sukses. Di antara berbagai macam tipe pemimpin, ada tipe pemimpin
otoriter. Para pemimpin otoriter tidak mempedulikan ide-ide atau pendapat dari
orang yang berada di bawahnya. Para pemimpin tipe ini menyuruh orang-orang
agar mematuhi perintah-perintahnya. Mereka ini akan memanfaatkan bawahan
mereka, lalu mengabaikannya. Tipe lainnya yaitu tipe pemimpin mekanis. Mereka
ini sangat terikat dengan aturan-aturan yang mereka ikuti. Tipe pemimpin seperti
ini telah kehilangan rasa kemanusiaannya dan menjadi mesin virtual. Pemimpin
seperti ini tidak dapat membantu orang lain agar menjadi sukses. Ada beberapa
pemimpin yang dengan senang hati membantu orang lain agar menjadi sukses.

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 91


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

3. Seorang pemimpin yang handal, kita harus selalu memiliki semangat untuk
mempelopori dan harus selalu bergerak maju. Kebanyakan orang hanya diam di
tempat, mereka hanya berusaha agar keadaan tetap seperti itu. Ini dikarenakan
mereka lebih memilih untuk amannya saja daripada hidup dalam ketidakpastian.
Apabila seorang pemimpin hanya mencari rasa aman saja sewaktu ia memimpin
suatu kelompok, maka ia telah kehilangan tujuannya sebagai seorang pemimpin.
Seorang pemimpin yang handal harus mempunyai sifat petualang dan agresif. Ide-
ide baru harus dipikirkan dan diterapkan meskipun ide-ide tersebut mungkin
mengakibatkan ketidakpastian dan membawa bahaya. Pertumbungan dan
perkembangan selalu diikuti oleh sejumlah bahaya. Seorang pemimpin harus terus
mengembangkan dan memperluas dirinya agar dapat menjadi pemimpin yang lain
daripada yang lain. Saya telah mendapatkan banyak kesempatan untuk bertemu
dengan para pemimpin yang terkenal di dunia dan berbicara dengan mereka. Saya
telah menemukan bahwa mereka semua mempunyai satu persamaan yaitu: mereka
semua terlihat sedikit fanatik di dalam beberapa hal tertentu. Mereka kadang-
kadang mengatakan hal-hal yang sulit dimengerti dengan sudut pandang biasa.
Mereka semakin menjauh dari realita dan menemukan hal-hal yang baru untuk
dikerjakan. Oleh karena itu, orang-orang yang benar-benar berpegang pada realita
akan mengalami kesulitan untuk memahami mereka. Untuk menjadi seorang
pemimpin yang handal, pikiran kita harus lebih maju daripada orang lain, dan kita
harus menjadi pemimpin yang selalu bekerja keras.Oleh karena itu, kita harus
memiliki gol yang jauh ke depan dan berusaha keras untuk meraihnya dengan
segala usaha. Maka kita dapat menjadi pemimpin-pemimpin yang handal.
4. Seorang pemimpin yang handal, kita harus menginvestasikan semua usaha kita
untuk pengembangan diri. Kita harus membayangkan seberapa banyak kita telah
mengembangkan dan meningkatkan diri sejak tahun lalu sambil bertanya, "Apa
yang bisa saya lakukan untuk menjadi seorang pemimpin yang lebih baik lagi?
Bagaimana caranya agar saya dapat menjalankan tugas saya sebagai pemimpin
dengan lebih efektif?". Selain itu, kita harus melakukan yang terbaik untuk
pengembangan diri kita. Saya menghabiskan banyak energi untuk melakukan
pengembangan dan peningkatan diri. Saya selalu berpikir tentang bagaimana
meningkatkan diri saya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Lihatlah para CEO
atau para eksekutif perusahaan. Tentu saja mereka sangat sibuk dengan pekerjaan
mereka. Tetapi jika kita melihat mereka lebih dekat, kita akan terkejut karena kita
akan menemukan bahwa mereka banyak menghabiskan waktu mereka untuk
mengembangkan dan meningkatkan diri. Ketika kita tidak bisa merefleksikan pada
diri kita sendiri untuk menemukan kelemahan-kelemahan yang perlu dikuatkan,
maka kita akan menemukan bahwa kita tidak akan mampu memimpin.
Apabila kita mengikuti panduan ini, maka kita pasti akan menjadi pemimpin-pemimpin yang
handal dan kita akan mampu memimpin orang-orang yang berada di bawah kita secara
efektif dan bijaksana agar mereka dapat mencapai kesuksesan.

E. Revolusi Industri 4.0


Saat ini Indonesia belum masuk dalam kategori negara industri. Indonesia baru
masuk sebagai kategori negara berkembang. Tetapi ada baiknya kita juga mengetahui
perkembangan pasar tenaga kerja di negara industri pada lima tahun yang akan datang.
Rasanya belum ketinggalan untuk meliput apa yang dihasilkan oleh Forum International
yang diadakan tahuan bertemakan “Mastering the Fourth Industrial Revolution” yang terjadi
di Davos dari tanggal 20 sampai 23 Januari 2016. Prediksi Perubahan dalam lima tahun
mendatang ini perlu adanya skill atau ketrampilan tenaga kerja yang diperlukan untuk

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 92


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

menyelaraskan perubahan baru ini. Dalam waktu lima tahun yang akan datang dimulai
dengan saat ini, hanya sepertiga dari skill yang dianggap penting dalam ketenaga-kerjaan
akan berubah secara drastis.
Para pakar meramalkan bahwa di tahun 2020, dunia akan memasuki era Industri 4.0.
Di era tersebut, akan banyak bermunculan robot canggih, superkomputer, kendaraan
otonom, 3D printing, serta pengoptimasian fungsi otak manusia dengan editing genetik dan
perkembangan neuroteknologi.
Mungkin terlihat canggih dan membuat takjub, akan tetapi bukan berarti tidak ada
kerugian yang ditimbulkan oleh revolusi industri tersebut. Mengutip dari hasil Forum
Internasional tahunan yang bertemakan “Mastering the Fourth Industrial Revolution” pada 2016
lalu, Revolusi Industri 4.0 ini akan menyebabkan disrupsi atau gangguan bukan hanya di
bidang bisnis saja, namun juga pada pasar tenaga kerja. Hal ini berarti akan ada banyak jenis
pekerjaan yang hilang dan tergantikan oleh fungsi robot atau artificial intelligence. Para tenaga
kerja manusia pun tidak menutup kemungkinan akan menghadapi jenis pekerjaan baru yang
tidak pernah terpikirkan sebelumnya, sehingga revolusi ini mau tak mau menuntut kita
untuk terus mengembangkan skill yang sekiranya dapat bermanfaat serta mumpuni di masa
depan. Lantas, apa saja skill yang dibutuhkan untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0?
Berikut jawabannya!
1. Complex problem solving
Complex problem solving disini merupakan kemampuan penyeleasaian masalah kompleks
dengan dimulai dari melakukan identifikasi, menentukan elemen utama masalah, melihat
berbagai kemungkinan sebagai solusi, melakukan aksi/tindakan untuk menyelesaikan
masalah, serta mencari pelajaran untuk dipelajari dalam rangka penyelesaian masalah.
2. Critical thinking
Critical thinking atau kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir masuk
akal, kognitif dan membentuk strategi yang akan meningkatkan kemungkinan hasil yang
diharapkan. Berpikir kritis juga bisa disebut berpikir dengan tujuan yang jelas, beralasan, dan
berorientasi pada sasaran.
3. Creativity
Creativity atau kreatifitas adalah kemampuan dan kemamuan untuk terus berinovasi,
menemukan sesuatu yang unik serta bermanfaat bagi masyarakat dan
lingkungan. Creativity disini dapat juga diartikan mengembangkan sesuatu hal yang sudah
ada sehingga dapat menjadi lebih baik.

4. People management
People management adalah kemampuan untuk mengatur, memimpin dan memanfaatkan
sumber daya manusia secara tepat sasaran dan efektif.
5. Coordinating with other
Kemampuan untuk kerjasama tim ataupun bekerja dengan orang lain yang berasal dari luar
tim.
6. Emotion intelligence
Emotion intelligence atau kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk
mengatur, menilai, menerima, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya.
7. Judgment and decision making
Judgement and decision making adalah kemampuan untuk menarik kesimpulan atas situasi
yang dihadapi serta kemampuan untuk mengambil keputusan dalam kondisi apapun,
termasuk saat sedang berada di bawah tekanan.
8. Service orientation

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 93


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

Service orientation adalah keinginan untuk membantu dan melayani orang lain sebaik
mungkin untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan memiliki service orientation, kita akan
selalu berusaha memberikan yang terbaik pada pelanggan tanpa mengharapkan
penghargaan semata.
9. Negotiation
Kemampuan berbicara, bernegosiasi, dan meyakinkan orang dalam aspek pekerjaan. Tidak
semua orang secara alamiah memiliki kemampuan untuk mengadakan kesepakatan yang
berbuah hasil yang diharapkan, namun hal ini dapat dikuasai dengan banyak latihan dan
pembiasaan diri.
10. Cognitive flexibility
Cognitive flexibility atau fleksibilitas kognitif adalah kemampuan untuk menyusun secara
spontan suatu pengetahuan, dalam banyak cara, dalam memberi respon penyesuaikan diri
untuk secara radikal merubah tuntutan situasional.
Sumber: Future of Jobs Reports, World Economic Forum.

5. Kesimpulan
Pemimpin yang efektif sangat diperlukan di era globalisasi. Karakteristik pemimpin
yang dapat merealisasikan visi menjadi kenyataan, memilik perspektif jangka panjang, dapat
mengembangkan bawahan, inovatif, kreatif, memiliki kecerdasan emosi dan karakteristik
lainnya merupakan sesuatu yang menentukan suksesnya pemimpin untuk bisa bersaing di
era globalisasi.
Kecerdasan emosi merupakan aspek sangat dibutuhkan dalam semua bidang kerja dan
dalam kehidupan bermasyarakat. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa orang yang
memiliki kecerdasan emosi yang tinggi lebih cenderung sukses dalam dunia kerja dan dalam
hidup di masyarakat. Dengan demikian orang yang memiliki kompetensi pribadi (kesadaran
diri dan kemampuan mengelola diri sendiri) dan kompetensi sosial (motivasi, empati dan
ketrampilan sosial) yang merupakan aspek dari kecerdasan emosi cenderung lebih berhasil
dalam segala bidang pekerjaan dan kehidupan.
Seorang pemimpin yang mampu memberikan perhatian pribadi pada bawahan,
memperlakukan setiap karyawan sebagai individu yang unik, dan melakukan
pengembangan kepribadian terhadap setiap karyawan merupakan komponen
kepemimpinan transformasional. Perilaku yang ditunjukkan dalam kepemimpinan
transformasional adalah cerdas secara emosional.
Seorang pemimpin yang mampu memberikan perhatian pribadi pada bawahan,
memperlakukan setiap karyawan sebagai individu yang unik, dan melakukan
pengembangan kepribadian terhadap setiap karyawan merupakan komponen
kepemimpinan transformasional. Perilaku yang ditunjukkan dalam kepemimpinan
transformasional adalah cerdas secara emosional, Intelligence adalah Intrapersonal, sebagai
indikator Kesadaran-diri dan ekspresi diri, Interpersonal digunakan untuk mengukur
Kesadaran sosial dan hubungan interpersonal , Manajemen Stress digunakan untuk
Manajemen dan Pengendalian Emosi, Adaptation digunakan sebagai indikator kemampuan
untuk Mengelola Perubahan, dan General Mood digunakan sebagai indikator Motivasi diri.

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 94


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

Daftar Pustaka:
Agustian, Ary Ginanjar, 2008, Visioner, ESQ Magazine, No. 9/Thn IV/Agustus
2008, PT.Arga Tilanta
Barling,J ,Weber,T and kelloway,EK, 1996,”Effect of transformational leadership training
and attitudinal and fiscal outcomes, S field experiment”, Journal of Apllied
Psychology, Vol. 81, pp 823-832
Bass,B.M., 1985, Leadership and performance Beyond Expectation, Free Press, New
York,NY
Bass, BM, 1998, Transformational Leadership Indutrial. Military, and Educational Impact,
Lawrence Erlhaum Associates, Mahwah, NJ
Bass,B.M. and Avolio, BJ, 1997, Full Range Leadership Development, Manual for the
Multifactor Leadership Questionaire, Mind Garden, Palo Alto, CA.
1. Bliss, S.E. 1999. The Affect of Emotional Intelligence on a Modern Organizational Leader’s
Ability to Make Effective Decision, (Online), (htpp://eqi.org/mgtpaper.htm,
diakses 23 Febrari 2019)
2. Bliss, S.E. 1999. The Affect of Emotional Intelligence on a Modern Organizational Leader’s
Ability to Make Effective Decision, (Online), (htpp://eqi.org/mgtpaper.htm,
diakses 23 Januari 2019)

Boyatzis,RE, 2008; “Competencies in the twenty-first century”, Journal of Management


Development, Vol. 25, No.7, pp 607-623.
Cooper, R.K., & Sawaf, A. 1998. Emotional Intelligence in the Leadership Organizations, (Online),
(htpp://www.feel.org/articles/cooper_sawaf.html, diakses 25 Januari 2019)
Cooper, R.K & Sawaf, A. 2001. Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Alih
Bahasa: Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: Penerbit PT.Gramedia Pustaka
Utama
Davies, M. 1998. Emotional Intelligence-Old Wine in New Bottles ?,(Online),
(htpp://www.humanassets.co.uk/EQ0999.htm, diakses 23 Januari 2019)
Duning, D. 2000. Leadership in the Millenium, (Online),
(htpp://www.unm.edu/hrinfo/leadershipmillenium.html, diakses 24 Januari
2019)
ESQ Nebula, 2009, Peduli dan Empati, ESQ Nomor 11, Product Leader Pahami Suara
Hati Konsumen, PT Arga Tilanta, Jakarta
Goleman, D. 1995. Emotion and Emotional Intelligence, (Online),
(htpp://trochim.human.cornell.edu/gallery/young/emotion.html, diakses 24
Januari 2019)
…………., 2000, Kecerdasan Emosional : mengapa Emotional Intelligence lebih penting dari pada
IQ, Penerbit Gramedia Pustaka Utama
………., 2002, Esensi Manajemen dan Kepemimpinan Spiritual, ESQ Nebula, Product
Leader, Pahami Suara Hati Konsumen, PT. Arga Tilanta, Jakarta

Gordon, J.R. 1991. Organizational Behaviour: A Diagnostic Approch (3rd edition). Boston: Allyn
Bacon.
Gunawan Samsu ,2008, , Visi Seorang Visioner, ESQ Magazine, No. 9/Thn IV/Agustus
2008, PT.Arga Tilanta.
Hidayat, Riskin, 2008, Sinergi Parktek ESQ dan Budaya Organsiasi dalam mencapai kinerja
perusahaan yg tinggi dan berkelanjutan keunggulan Kompetitif, Jurnal Bisnis &
manajemen Vol. 8, No.1, 2008, 71-82

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 95


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

Hogan, R., Curphy, G.J, & Hogan, J. 1994. What We Know About Leadership Effectiveness and
Personality, Journal of American Psychological Association June 1994 vol.49. no.6,
p.493-504, (Online),
(htpp://prodevweb.prodev.usna.edu/LEL/n1311/Leadership%20and%20Pers
onality.txt, diakses 29 Februari 2019)
Howell,JM and Avolio,BJ, 1993, “Transformational leadership, transactional leadership, locus
of control and support for innovation : key predictors of consolidated business unit
performance”, Journal of Apllied Psychology, Vol. 78, pp 891-902
Kane, P.R. 1998. Leadership Poised at the Millenium, Independent School Magazine,(Online),
(htpp://www.klingenstein.org/additional Resources/articles/Leadership
poised at the millenium.htm, diakses 29 Februari 2019)
Kierstead, J. 1999. Human Resources Management TREDS and Issues: Emotional Intelligence In
the Workplace, (Online), (htpp://www.psc-
cfp.gc.ca/reserch/personnel/ei_e.htm, diakses 23 Februari 2019)
Klemm, W.R. 1999. Leadership: Creativity and Innovation, (Online),
(htpp://www.au.af.mil/au/cpd/cpdgate/au24-401.htm, diakses 28 September
2001)
Lowe,KB and Kroeck,KG, 1996, ”Effectiveness.correlateds of transformational
andtransaktional leadership : a meta analytic review”, Leadership Quarterly, Vol.7,
pp.385-426.
Nurtantiono, Andri (2012) : Kecerdasan Emosional, Kompetensi Kepemimpinan Transformasional,
Jurnal Graduasi Vol. 27 Edisi Maret
Polychroniou, PV, 2009, Relationship between emotional intelligence and
transformational leadership of supervisors : The impact on team effectiveness, Team Performance
Management, Vol. 15 No. 7/8 2009, pp 343-356, Emerald Group Publishing
Limited.
Riyadiningsih,H dan Ratna Pujiastuti, 2007, Analisis Tipe kepemimpinan dalam
meningkatkan Kinerja Organisasi, Jurnal Bisnis & Manajemen Vol.7, No.2, hal 147-
156
Robbinson, C. 2000. Leading Effectively: Leadership Can be Taught, But Commitment Needed,
(Online), (htpp://seattle.bcentral,com/seattle/stories/2000/08/smallb5.html,
diakses 30 Februari 2019)
Simmons, K. 2001. Emotional Intelligence: What Smart Manager Know Success in the Workplace
takes to strengthen this essential professional skill, (Online),
(htpp://www.gwsae.org/ExecutiveUpdate/2001/April/emotional.htm,
diakses 24 Februari 2019)
Steers, R.M., Ungson, G.R. & Mowday. 1985. Managing Effective Organizations: An
Introduction. Boston: Kent Publishing Company.
Rost, JC, 1991,”Leadership for the Twenty-first Century”, Greenwood, NewYork, NY
Sivanathan, Niroshaan dan G.Chinthia F, 2002, Emotiuonal Intelligence, moral reasoning,
and transformational leadership, Ledership & Organization Development Journal,
23/4 pp 198-204
Sosik,JJ and Megerian,LF, 1999, ”Understanding leader emotional intelligence and
performance : the role of self other agreement on transformational leadership perceptions”,
Group and Organizational Management, Vol 24, pp 367-390.
Stein, SJ. Et al, 2009, Emotional intelligence of leaders : a profile of top executives, Leadership
& Organization Development Journal, Vol. 30 No. 1, 2009, pp 87-101, Emerald
Group Publishing Limited.
Stein, SJ and Book,HE, 2000,The EQ Edge : Emotional Intelligence and Your Succes, Stoddart
Publishing, Toronto

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 96


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 1 | April 2019

Steers, R.M., Ungson, G.R. & Mowday. 1985. Managing Effective Organizations: An Introduction.
Boston: Kent Publishing Company
Tanaka, 1998, “Plato on Leadership” Journal of Business Ethics, Vol 17,:pp 785-798.
Yammarino,FJ and Dubinsky,AJ, 1994, ”Transformational leadership theory: using levels of
analysis to determine boundary conditions”, Personnel Psychology, Vol.47, pp. 787-
811.
Yukl,Gary, 2006, Kepemimpinan Dalam Organisasi, PT. Indeks, Jakarta
Yoenanto, Herry (2002) : Pentingnya Kecerdasan Emosi Bagi Kepemimpinan Yang Efektiuf Jurnal
Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APO)
https://hmtp.unpas.ac.id/10-kemampuan-untuk-menghadapi-revolusi-industri-4-0/
Diakses 5 Maret 2019
https://www.kompasiana.com/www.inatanaya.com/576e40a8769773d60b9450d6/10-
skill-untuk-hadapi-era-revolusi-industri-keempat?page=all Diakses 9 Maret
20`19
https://teknologi.id/insight/keterampilan-yang-perlu-kamu-miliki-untuk-menghadapi-
revolusi-industri-4-0/ Diakses 9 Maret 2019
https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/31/10222981/ingat-ini-skill-yang-harus-
dimiliki-di-era-industri-40 diakses 9 Maret 2019
https://www.researchgate.net/publication/263810269_Emotional_intelligence_and_transf
ormational_leadership. Diakses 10 maret 2019

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 1 | April 2019 | 97

Anda mungkin juga menyukai