Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS TINDAK TUTUR AUSTIN DALAM NOVEL AMBA

KARYA LAKSMI PAMUNTJAK

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester matakuliah
Filsafat Bahasa
Dosen Pengampu: H. Nurholis, M.Hum

Oleh
APRILIANISSA SASTIA RATRI
1175030037
5/A

BANDUNG
2019 M/1441 H
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................................ii
BAB I........................................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................................................6
BAB III...................................................................................................................................................12
BAB IV………………………………………………………………………………………………...18

KATA PENGANTAR

ii
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas karunia-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
mengenai Filsafat Analitik Austin dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para
pembaca.
Karena keterbatasan pengetahuan saya, saya yakin masih banyak kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaaan makalah ini.

Bandung, Desember 2019

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa adalah kumpulan simbol suara yang memiliki makna yang digunakan
sebagai alat untuk berkomunikasi. Bahasa merupakan sebuah ungkapan yang
mengandung makna yang bermaksud untuk menyampaikan sesuatu kepada orang
lain. Sesuatu yang dimaksudkan oleh pembicara tersebut diharapkan dapat
dipahami dan dimengerti oleh pendengar atau lawan bicara melalui bahasa yang
diungkapkan. Chaer dan Agustina (1995: 14) fungsi utama bahasa adalah sebagai
alat komunikasi. Hal ini sejalan dengan Soeparno (1993: 5) yang menyatakan
bahwa fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial.

Dapat diketahui bahwa bahasa dan filsafat saling berhubungan. Maka dalam
filsafat, bahasa dijadikan sebuah objek, maka dari itu dalam munculnya filsafat
bahasa dalam filsafat. Filsafat Bahasa pada dasarnya merupakan penyelidikan
secara mendalam terhadap bahasa yang dipergunakan dalam filsafat. Filsafat
Bahasa dapat dibedakan dalam dua kelompok (Kaelan, 1988: 6. , dan Alwasilah,
2008: 14). Pertama, perhatian filsuf terhadap bahasa dalam memecahkan dan
menjelaskan problema-problema dan konsep-konsep dalam filsafat dengan
bantuan analisis bahasa. Kedua, filsafat bahasa yang sejajar dengan bidang-bidang
filsafat lainnya seperti filsafat hukum, filsafat alam, dsb. Objek material dari
filsafat bahasa ini adalah bahasa itu sendiri, sehingga kerja filsafat dalam
kelompok ini adalah upaya menjawab pertanyaan-pertanya seputar hakikat
bahasa, fungsi bahasa, hubungan bahasa dan realitas, jenis-jenis simbol, dan
dasar-dasar untuk mengevaluasi bahasa.

Filsafat bahasa sebagai salah satu cabang filsafat yang mulai dikenal dan
berkembang pada abad XX karena para filsuf mulai menyadari bahwa terdapat
banyak masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat baru dapat dijelaskan melalui
analisis bahasa, karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat. Filsafat

1
Bahasa baru dikenal dan berkembang pada abad XX, namun berdasarkan fakta
sejarah yang ada, hubungan filsafat dengan bahasa telah berlangsung lama bahkan
sejak zaman yunani dimana dapat kita ketahui menjadi tempat lahirnya filsafat itu
sendiri. Perkembangan sejarah filsafat bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua
macam pengertian yaitu:

Pertama, Perhatian filsuf terhadap bahasa dalam memecahkan dan


menjelaskan problema-problema dan konsep-konsep dalam filsafat.  Pada periode
abad XX para filosof semakin sadar bahwa banyak problema-problema serta
konsep-konsep filsafat dapat dijelaskan melalui analisis bahasa misalnya berbagai
macam pertanyaan filosofis seperti ‘kebenaran’, keadilan, kewajiban, kebaikan
dan pertanyaan fundamental filosofis lainnya dapat dijelaskan dan diuraikan
melalui analisis bahasa atau analisis penggunaan ungkapan-ungkapan bahasa.

Kedua, Filsafat bahasa dalam bidang-bidang filsafat lainnya seperti filsafat


hukum, filsafat manusia, filsafat alam, filsafat sosial dan bidang-bidang filsafat
lainnya yang membahas , menganalisis dan mencari hakikat dari objek material
filsafat tersebut.

Jadi, bahasa sebagai objek material filsafat, sehingga filsafat bahasa


membahas hakikat bahasa itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang fundamental
tentang bahasa seperti apakah hakikat bahasa itu sebagai substansi yang
merupakan makna saja yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dan dimengerti.

Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya
merupakan urutan-urutan bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang
sifatnya non-empiris. Dengan demikian bahasa adalah merupakan sistem simbol
yang memiliki makna, merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi
manusia serta merupakan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam
kehidupan sehari-hari terutama dalam mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya.

Setiap gagasan yang dihasilkan seseorang tidak akan diketahui oleh khalayak
jika tidak dikomunikasikan melalui bahasa. Meskipun diakui bahwa bahasa
mungkin dipakai untuk melaksanakan banyak fungsi komunikasi, mereka tetap

2
menciptakan anggapan umum bahwa fungsi bahasa yang paling penting adalah
penyampaian informasi. Bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi untuk
mengantarkan proses hubungan antar manusia, tetapi juga bahasa mampu
mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya bahwa bahasa merupakan salah
satu aspek terpenting dari kehidupan manusia.

Wacana adalah suatu bahasan yang kompleks dan lengkap, karena di


dalamnya terdapat fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan
karangan utuh. Tetapi pada dasarnya wacana merupakan unsur bahasa yang
bersifat pragmatis. Pemakaian dan pemahaman wacana dalam komunikasi
memerlukan berbagai piranti yang cukup banyak, karena kajian tentang wacana
menjadi “wajib” ada dalam proses pembelajaran bahasa. Wacana fiksi terdiri dari
wacana prosa yaitu wacana yang disampaikan atau dituliskan dalam bentuk prosa
berupa novel, cerpen, artikel, makalah, skripsi, tesis, dan lain sebagainya. wacana
puisi yaitu jenis wacana yang dituturkan dalam bentuk puisi, wacana puisi
berbentuk tulisan dan lisan bahasa dan isinya berorientasi pada kualitas estetika
(keindahan). Wacana drama yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk drama
dan umumnya berbentuk percakapan dan dialog. Dalam wacana ini harus ada
penutur dan petutur. Wacana nonfiksi disebut juga wacana ilmiah yang mana
disampaikan dengan pola dan cara-cara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Bahasa yang digunakan bersifat denotatif, lugas, dan jelas. (band.
Mulyana, 2005:54-55).

Wacana tulis adalah wacana yang diwujudkan secara tertulis. Untuk


menerima dan memahaminya si penerima harus membacanya. Wacana ini sering
dikaitkan dengan wacana noninteraktif (noninteractive discourse) karena proses
pemproduksian wacana ini tidak dapat langsung ditanggapi oleh komunikan
(Baryadi 1984:4). Contoh jenis wacana ini adalah surat, telegram, pengumuman
tertulis, deskripsi, cerita pendek, novel, puisi, naskah, undang-undang, iklan
tertulis, dan wacana jurnalistik. Dalam Baryadi (2002 : 11).

Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis dalam bentuk cerita. Pada
dasarnya karya sastra seperti novel merupakan bentuk dan hasil sebuah pekerjaan

3
yang kreatif dan pada hakikatnya novel mendayagunakan bahasa untuk
mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Novel umumnya berisi tentang
permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia yang identik ditulis dengan
bentuk tulisan dan kata-kata yang dapat mengarahkan pembaca pada
gambarangambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel
tersebut. Berdasarkan ulasan tersebut, maka penulis ingin meneliti tuturan-tuturan
yang digunakan dalam karya fiksi novel.

John Langshaw Austin lahir di Lancaster pada 26 Maret 1911 dan meninggal
pada 8 Februari 1960 dalam usia 48 tahun. Ia adalah ahli filsafat bahasa
berkebangsaan Britania Raya. Ia juga seorang profresor di Universitas Oxford
yang nampaknya meneruskan garis pemikiran filsafat bahasa biasa Wittgenstein.
Namun demikian, Austin memiliki perhatian sangat kuat terhadap bahasa biasa
dalam arti penggunaanya dalam pergaulan hidup sehari-hari. 2 Austin mengambil
beasiswa di Klasik Shrewsbury School pada tahun 1924. Pada tahun 1929, ia
melanjutkan studi Classics di Balliol College-Oxford. Ia pertama kali mengajar di
Magdalen College-Oxford pada tahun 1935. Selama Perang Dunia II, Austin
bertugas di British Intelligence Corps. Pada saat itu, Austin meninggalkan
ketentaraan pada bulan September 1945 dengan pangkat letnan colonel.

Setelah Perang, Austin kembali ke Oxford. Ia menjadi Profesor Filsafat Moral


pada tahun 1952. Pada tahun yang sama, ia mengambil peran delegasi ke Oxford
University Press dan menjadi Ketua Komite Keuangan pada tahun 1957.
Pekerjaan administrasi lain untuk universitas adalah termasuk perannya sebagai
Junior Proctor (1949-1950), dan Ketua Sub-Fakultas Filsafat (1953-1955). Ia
adalah presiden dari Aristotelian Masyarakat (1956-1957) dan pernah
memberikan kuliah pada William James di Harvard pada tahun 1955. Walaupun
Austin menerbitkan sedikit sekali tulisan tentang pemikirannya, namun dengan
kuliah-kuliah dan diskusi-diskusinya yang berkala, ia mempunyai pengaruh besar
dalam kalangan filosofis Oxford. Sesudah ia meninggal, tiga buku tentangnya
diterbitkan oleh J.O. Urssin dan G.J. Warnock. Mereka mengumpulkan paper
yang pernah dibawakan Austin pada pelbagai kesempatan; bahkan memuat bahan

4
kuliah yang diberikannya di Oxford dan dalam How to do thing with words (1962)
dicantumkan The William Jame Lecturs yang pernah ia bawakan di Universitas
Harvard pada tahun 1955.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Apa itu Filsafat Analitik Austin?

2. Apakah yang dimaksud dengan analisis tindak tutur Austin?

3. Bagaimana analisis tindak tutur Austin dalam novel Amba karya Laksmi
Pamuntjak?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui apa dan bagaimana Filsafat Analitik Austin.

2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan analisis tindak tutur Austin.

3. Mengetahui analisis tindak tutur Austin yang ditemukan dalam novel Amba
karya Laksmi Pamuntjak.

5
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Filsafat Analitik Austin


Filsafat analitik atau filsafat linguistik atau filsafat bahasa, penggunaan
istilahnya tergantung pada preferensi filusuf yang bersangkutan. Namun pada
umumnya kita dapat menjelaskan pendekatan ini sebagai suatu yang menganggap
analisis bahasa sebagai tugas mendasar filusuf. 

Titik tolak Filsafat Analitik Austin adalah bahasa biasa, bahasa sehari-hari
dan bukan bahasa refleksi atau mistik. Pengertian biasa (ordinary) dapat berarti
umum (common), atau yang sedang berlangsung (current), bahasa pergaulan
sehari-hari (colloquial), atau bahasa harian, bahasa sederhana (vernacular),
bahasa alamiah (natural language). Dalam mendalami analisis bahasa biasa ini,
Austin menggunakan metode teknik laboratorium (laboratory technique).

Austin telah mengembangkan suatu metode yang digunakan untuk


memecahkan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan masalah penggunaan
bahasa. Metode ini disebutnya sebagai teknik laboratorium (laboratory
technique). Titik tolak pembahasan metode laboratory technique adalah dengan
mempertanyakan; apakah ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah khusus tersebut
sesuai dengan fungsi dan makna yang dimaksud oleh si pemakai bahasa? Metode
ini sejenis dengan metode diskusi.

Langkah dari metode ini, yakni membentuk suatu kelompok untuk


mengadakan diskusi, saling mempertanyakan, mengoreksi, memperbaiki untuk
mencapai persetujuan tentang fungsi makna kata, ataupun ungkapan dan bahkan
kalimat yang sedang dibicarakan. Menurut Austin sebagaimana dikutip Pius
Pandor, mengatakan begini;

Adalah baik untuk diingat… aturan umum bahwa kita harus mengharapkan
untuk menemukan label-label sederhana untuk kasus yang sulit… bagaimanapun
baiknya bahasa kita, hal itu tidak pernah mempersenjatai kita dengan segala

6
kemungkinan kasus yang dapat muncul dan harus dideskripsikan: fakta selalu
lebih kaya dari pada diksi.

Pembelajaran filsafat “bahasa biasa” oleh Austin memiliki dua


maksud. Pertama, mendorong filsuf untuk memperhatikan cara mereka
menjelaskan teorinya pada konsistensi penggunaan istilah dan konteks. Kedua,
membantu menginformasikan teori aksi pembicaraan atau pragmatika yang
menjadi pusat pemikiran filsafat dan bahasa. Maka, kekhasan filsafat bahasa
Austin, terletak pada prespektifnya yang menyeluruh dalam hal bahasa. Hal ini
bisa dipahami, mengingat Austin menegaskan, jangan sampai kita hanya
membatasi diri pada makna ujaran saja, tetapi juga mempelajari akibat yang
ditimbulkan oleh ujaran itu. Hal baru lain yang ditemukan dalam pemikiran
Austin, yakni membagi jenis ucapan dan tindakan bahasa (Speech Acts). Jenis
ucapan ini Austin bagi menjadi dua yaitu constantive utterance and performative
utterance. Kemudian untuk tindakan bahasa atau tindak tutur ia bagi menjadi tiga
yaitu tindakan lokusi, tindakan ilokusi, serta tindakan perlokusi. Namun, dalam
makalah ini, hanya akan membahas temuan analisis tindak tutur Austin dalam
novel Amba karya Laksmi Pamuntjak.

2.2 Analisis Tindak Tutur Austin


a. Tindak Tutur (Speech Acts)

Tindak tutur adalah sepenggal tutur yang dihasilkan sebagai bagian interaksi
sosial. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan contoh-contoh kalimat yang
diberikan oleh para linguis dan filosof yang lepas dari konteks. Salah satu teori
Austin yang banyak dikutip adalah perbedaan antara daya ilokusioner dan daya
perlokusioner yang ada pada tindak tutur, daya lokusi. (Sumarsono, 2013:322-
323).

Kesatuan bahasa yang lengkap sebenarnya bukanlah kata atau kalimat,


sebagaiman dianggap beberapa kalangan dewasa ini, melainkan wacana atau
discourse. Sebab itu penyelidikan dan deskripsi sintaksis tidak boleh dibatasi pada

7
satuan kalimat saja, tetapi harus melanjutkan ke kesatuan yang lebih besar yaitu
wacana. Wacana adalah suatu bahasan yang kompleks dan lengkap, karena di
dalamnya terdapat fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan
karangan utuh. Tetapi pada dasarnya wacana merupakan unsur bahasa yang
bersifat pragmatis. Pemakaian dan pemahaman wacana dalam komunikasi
memerlukan berbagai piranti yang cukup banyak, karena kajian tentang wacana
menjadi “wajib” ada dalam proses pembelajaran bahasa. Wacana fiksi terdiri dari
wacana prosa yaitu wacana yang disampaikan atau dituliskan dalam bentuk prosa
berupa novel, cerpen, artikel, makalah, skripsi, tesis, dan lain sebagainya. wacana
puisi yaitu jenis wacana yang dituturkan dalam bentuk puisi, wacana puisi
berbentuk tulisan dan lisan bahasa dan isinya berorientasi pada kualitas estetika
(keindahan). Wacana drama yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk drama
dan umumnya berbentuk percakapan dan dialog. Dalam wacana ini harus ada
penutur dan petutur. Wacana nonfiksi disebut juga wacana ilmiah yang mana
disampaikan dengan pola dan cara-cara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Bahasa yang digunakan bersifat denotatif, lugas, dan jelas. (band.
Mulyana, 2005:54-55).

Wacana tulis adalah wacana yang diwujudkan secara tertulis. Untuk


menerima dan memahaminya si penerima harus membacanya. Wacana ini sering
dikaitkan dengan wacana noninteraktif (noninteraktive discourse) karena proses
pemproduksian wacana ini tidak dapat langsung ditanggapi oleh komunikan
(Baryadi 1984:4). Contoh jenis wacana ini adalah surat, telegram, pengumuman
tertulis, deskripsi, cerita pendek, novel, puisi, naskah, undang-undang, iklan
tertulis, dan wacana jurnalistik. Dalam Baryadi (2002 : 11).

Novel adalah karya sastra yang termasuk kedalam jenis prosa yang di
bukukan dimana didalamnya terdapat sebuah alur cerita yang menggambarkan
kehidupan tokoh yang hadir dalam alur cerita tersebut. Menurut Oxford Advanced
Learner's Dictionary, novel is a long story long enough to fill a complete book, in
which the characters and events are usually imaginary: to write/publish/read. Pada
dasarnya karya sastra seperti novel merupakan bentuk dan hasil sebuah pekerjaan

8
yang kreatif dan pada hakikatnya novel mendayagunakan bahasa untuk
mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Novel umumnya berisi tentang
permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia yang identik ditulis dengan
bentuk tulisan dan kata-kata yang dapat mengarahkan pembaca pada
gambarangambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel
tersebut. Berdasarkan ulasan tersebut, maka penulis ingin meneliti tuturan-tuturan
yang digunakan dalam karya fiksi novel.

Penulis memilih novel Amba sebagai bahan untuk dijadikan pembahasan


dikarenakan ditemukannya percakapan antar tokoh yang termasuk kedalam teori
tindak tutur milik Austin.

Dan dalam usahanya mempelajari speech acts, Austin membedakan tiga


macam acts atau perbuatan yang dapat memainkan peranan jika kita
mengucapkan satu kalimat, yakni:

a. Tindak Lokusi (Lucotionary Acts) Menurut pandangan Austin, tindakan


lokusi lebih umum sifatnya dibandingkan jenis bahasa yang lain. Dalam tindakan
lokusi, si penutur melakukan tindakan bahasa dengan sesuatu yang pasti. Artinya,
gaya bahasa si penutur dihubungkan dengan sesuatu yang diutarakan dalam isi
tuturnya. Jadi yang diutamakan isi tuturan yang diungkapkan itu dimaksukan
untuk memperjelas tindakan bahasa yang dilakukan itu sendiri. Contoh “Ia
mengatakan kepada saya: “Tembaklah dia!” berarti melalui ucapan “tembaklah”
mengarah dan mengacu pada orang ketiga. Di sini tidak ada keharusan bagi
“saya” (si penutur) untuk melaksanakan isi ucapan itu. Artinya, tindakan lokusi
tidak mencerminkan tanggungjawab si penutur untuk melaksanakan isi
tuturannya. Bagi Austin tindakan lokusi itu merupakn dasar untuk melaksanakan
tindakan bahasa lainnya, terutama tindakan lokusi.

b. Tindak Illokusi (Illocutionary Acts) Dalam pembahasan tindakan illokusi


ini, Austin lebih menitikberatkan pada “tindakan dalam pengetahuan sesuatu”
sebab di situ terkandung sesuatu daya atau kekuatan (force) yang mengharuskan si
penutur untuk melaksanakan isi tuturannya. Contoh:

9
1) Saya berjanji akan menghadiri pesta perkawinannya.

2) Saya menyarankan kepadanya untuk bertingkah laku yang baik.

3) Saya menduga pencuri memasuki rumah saya melalui jendela.

Contoh di atas merupakan tindakan illokusi sebab dalam berjanji,


menyarankan, menduga terkandung suatu daya yang menuntut tanggungjawab si
penutur untuk melaksanakan isi tuturannya. Namun tindakan illokusi itu terlebih
dahulu harus dilihat apakah situasi dan kondisi yang melingkupi memang sesuai
dengan ini tuturannya. Misalnya kita ambil contoh: “Saya berjanji akan
menghadiri pesta perkawinannya”. Padahal tidak ada pesta perkawinan yang akan
dilaksanakan atau sudah selesai acaranya. Ini berarti tindakan illokusi itu tidak
akan mencerminkan tanggungjwab si penutur terhadap isi tuturannya. Akibatnya
timbul kejanggalan-tidak semestinya-dalam pengungkapan isi tuturan itu. Perlu
diketahui juga bahwa “Situasi atau keadaan yang dikemukakan di atas bukanlah
merupakan syarat yang mutlak bagi suatu tindakan illokusi karena mungkin saja
dalam kasus tertentu si penutur tidak mengeetahui berlakunya keaddaan yang
demikian. Misalnya saja dalam tuturan “saya berjanji akan mengadiri pesta
perkawinannya”, mungkin si penutur memang benar-benar tidak mengetahui
bahwa pesta perkawinan yang akan dihadirinya itu telah selesai. Jadi kita tidak
dapat menyalahkannya sebagai orang yang tidak bertanggungjaawab terhadap isi
tuturannya. Di sini hanya diandaikan bahwa seseorang yang melakukan tindakan
illokusi itu telah mengetahui terlebih dahulu situasi dan keadaan tertentu yanng
berkenaan dengan isi tuturanya.

c. Tindak Perlokusi (Perlocutionary Acts) Dalam tindakan illokusi kita


melihat isi tuturan lebih mengena diri si penutur jadi tindakan perlokusi ini adalah
akibat atau pengaruh yang ditimbulkan oleh isi tuturan, baik nyata maupun tidak.
Disini terkandung unsur kesengajaan dari si penutur untuk mempengaruhi
pendengarnya melalui isi tuturan yang dilontarkannya. Menurut Austin
mengatakan sesuatu acapkali menimbulkan pengaruh yang pasti terhadap
perasaan, pemikiran atau perilaku si pendengar atau si penutur itu sendiri, ataupun

10
bagi orang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan cara merancang, mengarahkan
atau menetapkan tujuan tertentu pada perkataan yang akan kita ungkapkan. Inilah
yang dinamakan tindakan perlokusi. Contoh:

1) Saya telah membuat temanku mampu mengatasi kesedihannya.

2) Saya meyakinkan dia bahwa belajar secara rutin akan memberikan hasil
yang lebih baik.

3) Saya membujuk adik agar menghentikan tangisannya.

Jenis-jenis kata kerja lainnya yang merupakan ciri khas tindakan perlokusi ini
adalah: “membimbing dan mempelajari sesuatu, memperdayakan, mengajak,
merangsang, mengejutkan, menggembirakan, menyebabkan dan melakukan
sesuatu, membangkitkan, membingungkan, menyebabkan dan memikirkan
tentang sesuatu, meredakan ketegangan, mempermalukan, menarik perhatian,
mengemukakan, dan lain-lain. Dalam tindakan perlokusi, akibat yang timbul
memang dirancang dan diarahkan sedemikian rupa, sehingga ada upaya untuk
mempengaruhi pendengar secara maksimal. Apabila dikatakan “saya
membutuhkannya agar ia mau meminjami saya uang”, maka di sini terkandung
upaya si penutur (saya) untuk memperoleh pinjaman uang dari seseorang melalui
cara-cara tertentu. Artinya, sesuatu tindakan perlokusi merupakan hasil yang
diinginkan atau telah diperhitungkan sebelumnya oleh si penutur. Jadi, tujuan si
penutur untuk mempengaruhi pendengarnya itulah yang paling menonjol dalam
tindakan perlokusi ini.

11
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Filsafat Analitik Austin


Titik tolak Filsafat Analitik Austin adalah bahasa biasa, bahasa sehari-hari
dan bukan bahasa refleksi atau mistik. Pengertian biasa (ordinary) dapat berarti
umum (common), atau yang sedang berlangsung (current), bahasa pergaulan
sehari-hari (colloquial), atau bahasa harian, bahasa sederhana (vernacular),
bahasa alamiah (natural language). Dalam mendalami analisis bahasa biasa ini,
Austin menggunakan metode teknik laboratorium (laboratory technique).

Pembelajaran filsafat “bahasa biasa” oleh Austin memiliki dua


maksud. Pertama, mendorong filsuf untuk memperhatikan cara mereka
menjelaskan teorinya pada konsistensi penggunaan istilah dan konteks. Kedua,
membantu menginformasikan teori aksi pembicaraan atau pragmatika yang
menjadi pusat pemikiran filsafat dan bahasa. Maka, kekhasan filsafat bahasa
Austin, terletak pada prespektifnya yang menyeluruh dalam hal bahasa. Hal ini
bisa dipahami, mengingat Austin menegaskan, jangan sampai kita hanya
membatasi diri pada makna ujaran saja, tetapi juga mempelajari akibat yang
ditimbulkan oleh ujaran itu. Hal baru lain yang ditemukan dalam pemikiran
Austin, yakni membagi jenis ucapan dan tindakan bahasa (Speech Acts).

Jenis Ucapan menurut Austin

Jenis ucapan ini Austin bagi menjadi dua yaitu constantive utterance and
performative utterance. Kemudian untuk tindakan bahasa atau tindak tutur ia bagi
menjadi tiga yaitu tindakan lokusi, tindakan ilokusi, serta tindakan perlokusi.

Ucapan Konstantif (constantive utterance) adalah jika kita mengatakan


sesuatu yang memiliki property menjadi benar atau salah. Yang termasuk kedalam
ucapan konstantif adalah semua ucapan yang deskriptif, pernyataan fakta, definisi,
dsb, yaitu tuturan yang melaporkan, menginformasikan, dan menyatakan.

12
Sedangkan Ucapan Performatif adalah ucapan yang tujuannya untuk
membentuk atau menciptakan tindakan. Ucapan performatif ini akan tercapai
apabila dapat memenuhi kondisi felisitas (happy) atau bahagia. Bahagia disini
adalah ketika pelaku dan situasi harus sesuai, tindakan harus dilakukan dengan
benar dan lengkap oleh semua pelaku serta pelaku tersebut ketika melakukan
tindakan dengan niat yang tulus. Jika tidak dapat memenuhi kondisi happy, maka
disebut kondisi unhappy, tidak senang atau kondisi infelicities. Austin membagi
kondisi infelicities dalam dua jenis, yakni misfires atau salah sasaran dan abuses
atau salah penggunaan. Kondisi salah sasaran dibagi lagi menjadi dua kategori,
yakni misinvocations atau salah penempatan dan misexecutions atau salah
eksekusi. Salah penempatan terjadi pada tuturan yang sebenarnya tidak ada
konvensi tentang penerapan yang benar pada suatu tindakan. Kondisi infelicities
yang kedua, yakni abuses yang berkaitan dengan perasaan, ketulusan, dan
tindakan penutur.

Analisis Tindak Tutur Austin

Dalam usahanya mempelajari speech acts, Austin membedakan tiga macam


acts atau perbuatan yang dapat memainkan peranan jika kita mengucapkan satu
kalimat, yakni:

a. Tindak Lokusi (Lucotionary Acts)

Menurut pandangan Austin, tindakan lokusi lebih umum sifatnya


dibandingkan jenis bahasa yang lain. Dalam tindakan lokusi, si penutur
melakukan tindakan bahasa dengan sesuatu yang pasti. Artinya, gaya bahasa si
penutur dihubungkan dengan sesuatu yang diutarakan dalam isi tuturnya. Jadi
yang diutamakan isi tuturan yang diungkapkan itu dimaksudkan untuk
memperjelas tindakan bahasa yang dilakukan itu sendiri.

b. Tindak Illokusi (Illocutionary Acts)

Dalam pembahasan tindakan illokusi ini, Austin lebih menitikberatkan pada


“tindakan dalam pengetahuan sesuatu” sebab di situ terkandung sesuatu daya

13
ataukekuatan (force) yang mengharuskan si penutur untuk melaksanakan isi
tuturannya.

c. Tindak Perlokusi (Perlocutionary Acts)

Dalam tindakan illokusi kita melihat isi tuturan lebih mengena diri si penutur
jadi tindakan perlokusi ini adalah akibat atau pengaruh yang ditimbulkan oleh isi
tuturan, baik nyata maupun tidak. Disini terkandung unsur kesengajaan dari si
penutur untuk mempengaruhi pendengarnya melalui isi tuturan yang
dilontarkannya. Menurut Austin mengatakan sesuatu acapkali menimbulkan
pengaruh yang pasti terhadap perasaan, pemikiran atau perilaku si pendengar atau
si penutur itu sendiri, ataupun bagi orang lain.

Namun, dalam makalah ini, hanya akan membahas temuan analisis tindak
tutur (speech acts) Austin dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak.

3.2 Analisis Tindak Tutur Austin

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa dalam usahanya


mempelajari speech acts, Austin membedakan tiga macam acts atau perbuatan
yang dapat memainkan peranan jika kita mengucapkan satu kalimat. Yaitu: tindak
lokusi, tindak ilokusi, serta tindak perlokusi.

3.3 Analisis Tindak Tutur (Speech Acts) Austin dalam novel Amba karya
Laksmi Pamuntjak

Berikut ini merupakan hasil temuan untuk analisis tindak tutur Austin (tindak
lokusi, tindak ilokusi, serta tindakan perlokusi) yang ditemukan dalam novel
Amba karya Laksmi Pamuntjak.

14
a. Tindak Lokusi (Lucotionary Acts)

Tindak Lokusi yaitu tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti
“bermakna” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna yang dapat
dipahami.

Berikut Tindak Lokusi yang terdapat dalam novel Amba:

“Saya tahu tempat pertemuan itu,” kata Salwa lagi. “Saya


sendiri harus ada di sana lima menit lagi. Bagaimana kalau kita
jemput suami Ibu? Mungkin Ibu juga bisa duduk di dalam ruang
pertemuan. Di sini panas.” (hal. 124)

Dalam dialog ini, Salwa menawarkan diri untuk dapat membawa Ibu (Ibunya
Amba) yang dalam cerita kelak hampir akan menikah dengan Amba karena
Ibunya Amba ini senang terhadap Salwa dan ingin menjadikannya sebagai calon
menantu, maka mereka bertunangan. Salwa menawarkan tawaran tersebut
dikarenakan cuaca diluar yang sedang panas, agar Ibu tersebut tidak kepanasan.
Makna dari tawaran serta saran yang diberikan Salwa terhadap Ibunya Amba ini
sebagai sebuah bentuk kepedulian, kasih sayang serta rasa hormat kepada orang
yang lebih tua.

b. Tindak Ilokusi (Illocutionary Acts)

Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan


kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan
dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan
menjanjikan.. Berikut tindak ilokusi yang ditemukan dalam novel Amba:

“Aku tahu apa yang akan kukatakan mungkin tidak masuk akal,
sejenis keputusan yang dating dalam sedetik tapi akan memengaruhi
hidup seterusnya. Tapi faktanya adalah bahwa kamu sedang
mengandung seorang bayi. Kamu harus melahirkan, merawat dan
membesarkan anak itu. Itu bukan tanggung jawab kecil, dan kamu
memerlukan pasangan dalam menjalin tanggung jawabitu. Nah,

15
apabila kamu ingin berada di sebuah tempat di mana aku tak menjadi
bagiannya, atau kalau kamu kamu merasa tak akan sanggup
menerima apa yang akan kukatakan, katakanlah sekarang. Sebab aku
hanya akan berkemas dan kembali ke New Jersey, tempat yang bukan
pilihan hatiku, tapi apa boleh buat, orang melakukan hal itu
sepanjang zaman, menjalani apa yang bukan pilihan hatinya. Tapi,
kalau rasa-rasanya kamu bias menerimaku, menerima hidup
denganku, inilah usulku.” (hal. 354)

Dalam dialog ini, Adalhard secara tidak langsung mengutarakan


keinginannya sekaligus menawarkan dirinya untuk dapat menjadi suami dan ayah
dari anak yang sedang dikandung oleh Amba.

c. Tindak Perlokusi

Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan
orang lain sehubungan dengan sikap yang mana tuturan yang diutarakan oleh
penutur dapat membuat lawan tutur merespon seperti apa yang didengarnya.
Berikut tindak perlokusi yang terdapat dalam novel Amba:

“Kamu pasti informan polisi. Benar, kan? Kamu membawa Julius


ke dalam rombongan dan Julius-lah yang membawa intel tentara
itu…” Samuel diam.

“Dengar, Samuel,” kini suara Amba seperti seorang Ibu yang


marah. “Aku sudah membuka diri padamu tentang mengapa aku ke
sini. Kenapa kamu nggak membuka dirimu? Apa pekerjaanmu,
Samuel?”

Kata-kata itu agresif. Samuel tidak biasa membiarkan perempuan


marah, apalagi dengan kemarahan yang ditujukan kepadanya.
Sesuatu nyaris meluap dalam dirinya, tapu ia buru-buru menahannya.

“Kamu nggak mau mengatakannya. Kamu pengecut.”

16
Samuel telah lama hidup dengan salak senapan dan jerit
kesakitan. Tapi ia tak akan pernah paham soal kemarahan. Dan
meskipun pacar-pacarnya pasti pernah berpikiran sama, ia tak
pernah menghadapi perempuan yang menyebutnya pengecut. Sejenak,
ia tak suka pada Amba.” (hal. 454)

Dialog diatas termasuk ke dalam tindak perlokusi karena ucapan Amba


sejenak membuat Samuel merasa marah, seperti yang dapat kita ketahui dan
pahami bahwa saat Amba mengucapkan kata-kata tersebut kepada Samuel, Amba
sedang dalam kondisi marah. Maka, disini dengan ucapan yang dilontarkan oleh
Amba kepadanya membuat Samuel marah.

17
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Bentuk tindak tutur dalam pendapat Austin yang ada dalam novel Amba karya
Laksmi Pamuntjak ini untuk ketiga tiga nya dapat ditemukan, yaitu tindak ilokusi,
lokusi, serta perlokusi.
4.2 Saran
Penulis berharap penulisan tentang tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi
dapat dilakukan oleh penulis lain dengan menggunakan konsep dan objek yang
berbeda dari penulisan ini

18
REFERENSI

Abdul Chaer, L. A. (1995). Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Rinelka


Cipta.
Alwasilah, A.Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Penerbit
PT. Remaja Rosdakarya.
Baryadi, Praptomo. April 2002. Dasar-Dasar Analisis Wacana dalam Ilmu
Bahasa. Jogjakarta : Pustaka Gondho Suli.
Hornby, A. S. (2015). Oxford Advanced Learner's Dictionary International
Student's Edition. United Kingdom: Oxford University Press.

Kaelan, M.S. 1998. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya.


Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta : Tiara wacana.
Pamuntjak, L. (2013). Amba. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Saifudin, A. (2019). TEORI TINDAK TUTUR DALAM STUDI LINGUISTIK
PRAGMATIK. LITE: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya, 2-5.

Soeparno. (1993). Dasar-Dasar Linguistik. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.


Sumarsono. 2013. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

19

Anda mungkin juga menyukai