Anda di halaman 1dari 8

LPII Bandung, 26 Desember 2020

www.altanwir.net

PENULISAN HADIS
Oleh Dr Muhammad Babul Ulum, M.Ag

BANGSA Arab sebelum Islam tidak pernah mengandalkan tulisan dalam menjaga syair, roman
kehidupan mereka dan juga nasab. Mereka hanya mengandalkan ingatan sehingga potensi
hafalannya berkembang. Konon mereka dikenal dengan kekuatan dan kecepatan hafalan. Meski
demikian, bukan berarti di antara mereka tidak ada yang mengenal baca tulis, karena masyarakat
Makkah yang berprofesi sebagai pedagang membutuhkan keahlian menulis dan berhitung.

Memang jumlahnya sangat sedikit. Oleh karena, itu Al-Quran menyebut bangsa Arab sebagai bangsa
ummî. Perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi. Nabi sendiri sangat concern dalam
mengajarkan baca tulis kepada umatnya. Beliau mengizinkan tawanan perang Badar untuk menebus
dirinya dengan mengajarkan baca tulis kepada sepuluh putra-putri Anshar. Sebagian sukarelawan,
seperti Abdullah bin Said bin al-Ash, Said bin Rabi’ al-Khazraji, Basyir bin Tsa’labah, Aban bin Said al-
Ash mengajarkan baca tulis di Masjid Madinah. Sehingga jumlah penulis pun bertambah banyak, para
penulis wahyu mencapai empat puluh orang, ini belum dihitung para pencatat sedekah, surat-surat,
dan perjanjian-perjanjian.

Meski di zaman Rasulullah Saw sudah banyak sekretaris yang menulis Al-Quran, pendapat umum
mengatakan, hadis belum ditulis seperti Al-Quran. Pada umumnya hanya disimpan dalam ingatan.
Menurut riwayat, Nabi tidak pernah menyuruh mencatat hadis, bahkan cenderung melarang.
Meskipun ada riwayat lain yang membolehkan. Mungkin beliau ingin menjaga potensi hafalan
mereka. Terlebih bahwa hadis boleh diriwayatkan dengan makna, berbeda dengan Al-Quran yang
harus dengan lafadz dan makna. Oleh karena itu, kerja keras hanya ditujukan untuk menulis AlQuran
saja. Adanya riwayat yang membolehkan dan melarang penulisan hadis akan kita lihat dalam
pembahasan berikut.

LARANGAN PENULISAN
1. “Jangan kalian menulis dariku, barang siapa yang menulis selain Al-Quran, hapuslah. Sampaikan
apa saja dariku dengan lisan.”1

2. Abu Said al-Khudri berkata, “Kami berusaha keras membujuk Nabi agar membolehkan kami
menulis, beliau menolaknya.”2

3. Hadis Abu Hurairah, “Rasulullah Saw keluar menemui kami saat kami sedang menulis. Beliau
bertanya, ‘Apa yang kalian tulis?’ Kami menjawab, ‘Hadis-hadis yang kami dengar darimu.’ Beliau
berkata lagi, ‘Kitab selain Kitab Allah? Tahukah kalian, umatumat terdahulu tidak sesat kecuali karena
kitab yang mereka tulis di samping Kitab Allah ta’ala.’.”3

Dari Ketiga hadis larangan di atas, yang paling kuat adalah riwayat Abu Said yang pertama.

KEBOLEHAN PENULISAN
1. Riwayat Abdullah bin Amru bi Ash, “Aku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah Saw. Aku
LPII Bandung, 26 Desember 2020
www.altanwir.net

ingin menjaga hadis, tapi orang-orang Quraisy melarangku, ‘Apakah kamu menulis semua
yang kamu dengar dari Rasulullah Saw, padahal Rasulullah manusia biasa yang berkata dalam
keadaan marah dan ridha?’ Aku pun berhenti menulis sampai aku melapor kepada Rasulullah
Saw. Beliau memberi isyarat dengan jarinya sambil bersabda, ‘Tulislah, demi yang jiwaku berada di
tangan-Nya, tidak akan keluar dariku kecuali yang benar.’.”4

2. Hadis Abu Hurairah, “Tidak ada sahabat Nabi yang hadisnya lebih banyak dariku selain Abdullah bin
‘Amru. Ia menulis apa yang tidak aku tulis.”5

3. Hadis Abu Hurairah, “Seorang Anshar mengeluhkan sedikitnya hadis yang ia hafal. Beliau berkata,
“Tulislah.”6

4. Seorang penduduk Yaman minta dituliskan khutbah Nabi pada hari penaklukkan Mekkah. Sahabat
meminta izin beliau. “Tulislah untuk Abu Syah,” jawab Nabi.7

5. Hadis Anas, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.”8

6. Hadir Rafi’ bin Hadij, “Wahai Rasulullah, kami mendengar banyak hadis darimu, bolehkah
menulisnya? “Tulislah, tak mengapa,” jawab Nabi Saw.

7. Nabi menuliskan hukum-hukum sedekah, diyat, [dan] faraidh kepada Amru bin Hazm.9

8. Di dalam sakitnya, sebelum meninggal, Rasulullah Saw bersabda, “Bawakan kepadaku sebuah
kertas, akan aku tuliskan sesuatu untuk kalian agar kalian tidak sesat.”

PENDAPAT ULAMA TENTANG PERTENTANGAN HADIS TERSEBUT


Nabi melarang penulisan hadis karena khawatir bercampur dengan Al-Quran yang pada waktu itu
belum dihimpun. Juga khawatir bila kaum Muslim, yang saat itu masih baru, melalaikan Al-Quran dan
sibuk dengan hadis Nabi. Ini pendapat Ar-Ramahurmuzi (W. 360 H) dalam mengomentari riwayat Abu
Sa’id al-Khudri, “Kami membujuk Nabi agar dibolehkan menulis hadis, beliau menolaknya.”

Menurut Ramahurmuzi, pada tahun pertama Hijrah, hadis sudah tertulis. Larangan penulisan baru
muncul saat kaum Muslim dikhawatirkan akan sibuk dengan penulisan hadis dan meninggalkan
penulisan Al-Quran.” Adapun Abu Sulaiman al-Khithabi (W. 388 H) berkata, “Wallahu A‘lam, larangan
berlaku untuk penulisah hadis dengan Al-Quran dalam satu lembar atau menghimpunnya dalam satu
tempat, untuk menghormati Al-Quran dan memisahkan antara kalâmullah dengan kalam
makhluk.”10

Oleh karena itu, Rasulullah Saw mengizinkan sebagian sahabat yang sudah mahir baca tulis untuk
menulis hadis, seperti Abdullah bin Amru bin Ash, yang yakin tidak akan mencampurnya dengan Al-
Quran. Sebagian ulama berpendapat, bahwa hadis larangan telah dihapus oleh hadis pembolehan
yaitu setelah sahabat benar-benar mengenal Al-Quran dan tidak dikhawatirkan bercampur dengan
Al-Quran. Di antara ulama terdahulu yang berpendapat nasakh adalah Ibnu Qutaibah ad-Dainuri,11
dan dari ulama kiwari Ahmad Muhammad Syakir.12 Pendapat ini tidak bertentangan dengan
LPII Bandung, 26 Desember 2020
www.altanwir.net

dispensasi yang diperoleh sebagian sahabat, seperti Abdullah bin Amru, saat sedang berlakunya
larangan umum.13

PENULISAN HADIS DI MASA SAHABAT


Adanya hadis larangan dan pembolehan penulisan membuat Sahabat berbeda sikap. Di antara
mereka ada yang menolak menuliskan dan/atau sebaliknya. Adapula yang meriwayatkan dua hadis
yang saling bertentangan; larangan dan pembolehan. Berikut ini beberapa sahabat yang menolak:

Abu Bakar mengumpulkan lima ratus hadis lalu membakarnya.14

1. Umar bin Khaththab bermusyawarah dengan para sahabat untuk menghimpun hadis. Kemudian ia
meminta petunjuk Allah selama satu bulan. Hasilnya, tidak menuliskannya. “Aku ingin menuliskan
sunah Nabi, lalu Aku ingat umat sebelum kalian mereka telah menulis sebuah kitab dan
meninggalkan kitâbullah. Sungguh demi Allah, aku tidak akan mencampur kitab Allah dengan sesuatu
pun untuk selamanya.”15

2. Kepada Abdullah bin Mas’ud didatangkan sebuah lembaran yang berisikan hadis Nabi, ia minta
dibawakan air dan, menghapusnya. Kemudian berkata, “Dengan yang seperti inilah ahlul kitab
sebelum kalian binasa, ketika mencapakkan AlQuran di belakang punggung mereka seolah-olah
mereka tidak mengetahuinya.”

3. Masih banyak riwayat lain yang menolak penulisan hadis di antara sahabat penganut madzhab ini
Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abu Sa’id al-Khudri, Abdullah bin Umar, Abu Musa
al-‘Asy’ari. Alasan mereka jelas, khawatir orang-orang akan sibuk dengan hadis dan meninggalkan
AlQuran.

Adapun sahabat yang membolehkan penulisan, di antaranya:

1. Abu Bakar ash-Shiddiq menuliskan untuk Anas bin Malik kewajiban zakat yang telah ditetapkan
oleh Rasullah saw.16

2. Umar bin Khaththab menuliskan sebagian sunah kepada Utbah bin Farqad. Pada ujung pedangnya
tergantung sebuah lembaran yang berisikan zakat binatang gembalaan.17

3. Ali memiliki sahifah yang isinya tentang akal dan tebusan tawanan dan orang seorang Muslim tidak
diqishas bila membunuh seorang kafir.18

4. Banyak riwayat yang menunjukkan sebagian sahabat membolehkan penulisan hadis bagi sahabat
lain, seperti Aisyah, Abu Hurairah, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Umar, Abdullah bin ‘Amru bin Ash, Bara` bin Azib, Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa. Mereka itu
pada awalnya melarang lalu membolehkan. Keduanya tidak bertentangan. Karena penolakan mereka
adanya kekhawatiran bercampur dengan AlQuran. Dan ketika sebab ini hilang, mereka
membolehkanya.
LPII Bandung, 26 Desember 2020
www.altanwir.net

Oleh karena itu sebagian sahabat, ketika Rasulullah masih hidup juga sepeninggalnya, telah
menuliskan hadis di dalam lembaran-lembaran yang dikenal dengan shahâif.

SAHIFAH HADIS YANG DITULIS OLEH SAHABAT


1. Sahifah Sa’ad bin Ubadah al-‘Anshari.19
2. Sahifah Abdullah bin Abi ‘Aufa.
3. Naskah Samrah bin Jundub (W. 60 H)
4. Kitab Abu Rafi` sahaya Nabi.
5. Kitab-kitab Abu Hurairah.
6. Sahifah Abu Musa al-‘Asy’ari (W. 50 H)
7. Sahifah Jabir bin Abdullah al-‘Anshari (W. 78 H)
8. Sahifah Shadiqah Abdullah bin Amru bin Ash (W. 65 H) Imam Ahmad menukil isinya dalam
Musnadnya.
9. Sahifah Abu Salmah Nabith bin Syarith al-‘Asyja’I al-Kufi.
10. Sahifah Hamam bin Munabbih (W. 131 H) dihimpun dan diriwayatkan dari Abu Hurairah (W. 59 H)
berisikan 138 hadis. Kitab ini dimasukkan dalam karya sahabat karena sebenarnya memang karya
Abu Hurairah.

PENULISAN HADIS PADA MASA TABIIN


Sebagian besar tabiin menolak penulisan hadis seperti Ubaidah bin Amru as-Silmani (W. 72 H)
Ibrahim bin Yazid at-Tamimi (W.92 H) Jabir bin Zaid (W. 93 H) Ibrahim bin Yazid an-Nakh’I (W.
96 H) Amir asy-Sya’bi (W. 103 H).20 Akan tetapi sebagian lain membolehkan, seperti Said bin Jubair
dan Said bin Musayab (W. 94 H) Amir asy-Sya’bi dan Dhahhak bin Mazahim (W. 105 H) Hasan Bashri
(W. 110 H) Mujahid bin Jabr (W. 103 H) Raja` bin Hayawah (W. 112 H) Atha` bin Abi Rabah (W. 114 H)
Nafi` sahaya Ibnu Umar (W. 117 H) Qatadah as-Sadusi (W. 118 H).21

Dari generasi tabiin muncul sejumlah Ulama yang menonjol dalam penulisan hadis, mereka itu,
diantaranya;

1. Abu Zubair Muhammad bin Muslim al-Asadi (W. 126 H) yang menulis sebagian hadis Jabir bin
Abdullah.22
2. Abu ‘Uday az-Zubair bin ‘Uday al-Hamdani al-Kufi (W. 131 H).
3. Abu al-‘Usyara ad-Darimi: Usamah bin Malik.
4. Zaid bin Abi Unaisah Abu Usamah ar-Rahawi (W. 125 H).
5. Ayub bin Abu Tamimah as-Sakhtiyani (W. 139 H)
6. Yunus bin Ubaid bin Dinar al-‘Abdi (W. 139 H)
7. Abu Burdah Burayyid bin Abdullah bin Abi Bardah.
8. Hamid bin Abi Hamid ath-Thawil (W. 143 H)
9. Hisyam bin Urwah bin Zubair (W. 146 H)
10. Abu Usman Ubaidillah bin Umar bin Hafs bin Ashim bin Umar bin Khaththab (W. 147 H).

Alasan sebagian tabiin yang menolak penulisan hadis karena mereka tidak ingin menghimpun
LPII Bandung, 26 Desember 2020
www.altanwir.net

pendapat dan fatwa mereka dengan hadis Nabi. Demikian juga mereka khawatir bila hanya
mengandalkan tulisan dan melupakan hafalan.

Abdul Aziz bin Marwan, gubernur Mesir (berkuasa dari tahun 65 H sampai 85 H) berusaha
menghimpun hadis Nabi. Ia menulis surat perintah kepada Katsir bin Murrah al-Hadhrami yang
bertemu dengan 70 veteran Badar, untuk menuliskan hadis-hadis sahabat selain Abu Hurairah yang
hadisnya sudah ada padanya.23 Akan tetapi, tidak ada informasi tentang kelanjutannya sampai
datang putranya, Umar bin Abdul Aziz. Saat menjabat Khalifah ia menulis surat perintah
kepada gubernurnya di Madinah, Abu Bakar bin Hazm, “Lihatlah hadis Rasulullah saw atau catatan
masa lalunya atau hadis Umrah, lalu tulislah. Sesungguhnya Aku mengkhawatirkan hilangnya ilmu
dengan meninggalnya para Ulama.” Ia ingin mencatat dokumen yang dipegang oleh Umrah bin
Abdurrahman al-Anshariah (W. 98 H) dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (W. 120 H).24

Umar bin Abdul Aziz juga menulis perintah kepada para gubenurnya di wilayah lain. Akan tetapi
beliau keburu mangkat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil karyanya.25 Kodifikasi pada
masa ini dapat dikatakan belum sempurna.

Adapun upaya yang lebih sempurna telah dirintis oleh Muhammad bin Syihab az-Zuhri (W. 124 H)
yang juga untuk memenuhi perintah Umar bin Abdul Aziz. Ia sangat bersemangat dalam menghimpun
hadis dan sîrah. Ia pun mengumpulkan hadis yang beredar di Madinah dan mengirimkannya kepada
Umar bin Abdul Aziz yang salinannya dikirim ke berbagai wilayah.26 Inilah rintisan penulisan hadis
secara sempurna dan menyeluruh. Dengan demikian terbuka jalan bagi para Ulama generasi
berikutnya untuk menghimpun hadis. Dan maraknya pemalsuan hadis juga berpengaruh dalam
proses penulisan hadis sebagai upaya menjaga sunah Nabi dari tangan-tangan jahil.

Di antara mereka yang terkenal dengan publikasi hadis:

1. Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (W.
150 H) di Mekkah.
2. Muhammad bin Ishak (W. 151 H) di Madinah.
3. Ma’mar bin Rasyid (W. 153 H) di Yaman.
4. Said bin Abi ‘Arubah (W. 156 H) di Bashrah.
5. Abu ‘Amru Abdurrahman bin ‘Amru al-‘Auza’I (W. 156 H) di Syam.
6. Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Dzuaib (W. 158 H) di Madinah.
7. Rubai’ bin Shubaih (W. 169 H) di Bashrah.
8. Syu’bah bin Hajaj (W. 160 H) di Bashrah.
9. Abu Abdillah Sofyan bi Said ats-Tsauri (W. 161 H) di Kufah.
10. Laits bin Sa’ad (W. 175 H) di Mesir.
11. Abu Salmah Hamad bin Salmah bin Dinar (W. 176 H) di Bashrah.
12. Imam Malik bin Anas (W. 179 H) di Madinah dengan alMuwatha’ dan Tawakhi Fîhi al-Quwâ min
Hadîtsi Ahli al-Hijâz telah dicetak.
13. Abdullah bin Mubarak (W. 181 H) di Khurasan.
14. Husyaim bin Basyir (W. 188 H) di Wasith.
15. Jarir bin Abdul Humaid adh-Dhabbi (W. 188 H) di Ray.
LPII Bandung, 26 Desember 2020
www.altanwir.net

16. Abdullah bin Wahab (W. 197 H) di Jamiah.


17. Sofyan bin Uyainah (W. 198 H) di Makkah.
19. Waki’ bin Jarah ar-Ru’asi (W. 197 H)
20. Abdur Razak bin Hamam ash-Shan’ani (W. 211 H)27
21.Said bin Manshur pengarang as-Sunnan.28
22. Ibnu Abi Syaibah penyusun al-Mushannaf.29

Cara mereka dalam menghimpun hadis dengan meletakan hadis-hadis yang cocok dalam satu bab,
kemudian membuatkan beberapa bab untuk hadis-hadis yang lain. Semuanya dihimpun
dalam satu karya. Mereka mencampur antara perkataan sahabat dan fatwa tabiin dengan hadis
Nabi.30 Publikasi generasi pertama ini diberi judul dengan Mushannaf, Sunan, Muwaththa`, Jâmi’
yang materinya dihimpun dari beberapa bagian dan sahifah yang dihimpun sebelum periode
tashnif.31

Pada abad ketiga aktifitas tadwîn terus berlangsung. Saat itu hanya hadis Nabi yang dihimpun.
Pendapat sahabat dan tabiin dipisahkan. Hadis-hadis disusun dengan memakai sistem masânid,
riwayat setiap sahabat yang berserakan dijadikan satu. Mereka yang terkenal dengan publikasi jenis
ini:

1. Abdul Malik bin Abdurrahman adz-Dzimari (W. 200 H)


2. Abu Dawud ath-Thayalisi (W. 204 H).32
3. Muhammad bin Yusuf al-Faryabi (W. 212 H)
4. Asad bin Musa al-Umawi (W. 212 H)
5. Ubaidillah bin Musa al-‘Abasi (W. 313 H)
6. Abdullah bin Zubair al-Humaidi (W. 219 H)
7. Ahmad bin Muni’ al-Baghawi (W. 228 H)
8. Nuaim bin Hamad al-Khaza’I (W. 228 H)
9. Musaddab bin Musarhid al-Bishri (W. 228 H)
10. Abu al-Hasan Ali al-Ja’d al-Jauhari (W. 230 H)
11. Abdullah bin Muhammad al-Ja’fi al-Musnadi (W. 229 H) ilmu hadis: pendekatan baru 55
12. Yahya bin Main (W. 233 H)
13. Abu Khaitsumah Zahir bin Harb (W. 234 H)
14. Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Ustman atau Ibnu Abi Syaibah (W.235 H)
15. Ishaq bin Rahaweh (W. 238 H).
16. Ahmad bin Hanbal (W. 240 H)
17. Khalifah bin Khayath (W. 240 H)
18. Ishaq bin Ibrahim bin Nashr as-Sa’di (W. 242 H)
19. Abu Muhammad al-Hasan bin Ali al-Hilwani (W. 242 H)
20. Abd bin Hamid (W. 249 H)
21. Ishaq bin Manshur (W. 251 H)
22. Muhammad bin Hisyam as-Sadusi (W. 351 H)
23. Abdullah bin Abdurrahman ad-Darimi (W. 255 H)
24. Ahmad bin Sinan al-Qaththabn al-Wasithi (W. 259 H)
25. Muhammad bin Mahdi (W. 272 H)
LPII Bandung, 26 Desember 2020
www.altanwir.net

26. Baqi bin Mukhlid (W. 287 H)


27. Abu Muhammad al-Haris bin Muhammad bin Abi Usamah Dahir at-Tamimi (W. 282 H)
28. Abu Bakar Ahmad bin ‘Amru al-Bazzar (W. 292 H)
29. Ibrahim bin Ma’qal an-Nasfi (W. 295 H)
30. Abu al-Abbas al-Hasan bin Sofyan bi Amir an-Naswi (W. 303 H)
31. Abu Ya’la Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna at-Tamimi al-Moshuli (W. 3308 H)
32. Abu Bakar Muhammad bin Harun ar-Rayani (W. 307 H)
33. Abu Hafsh Umar bin Muhammad bin Bujair al-Hamdani as-Samarqandi al-Bujairi (W. 311 H) dalam
kitabnya al-Jâmi’ al-Musnad.
34. Abu al-Abbas Muhammad bin Ishaq as-Siraj (W. 313 H)
35. Abu Muhammad Abdur Rahman bin Abi Hatim ar-Razi (W.327 H)
36. Abu Said al-Haitsam bin Kalib bin Syuraih asy-Syasyi (W. 335 H) di dalam al-Musnad al-Kabîr.

Menurut laporan Seizqin sebagian karya di atas berhasil sampai kepada kita sekarang. Adapun karya
lain yang tidak ia laporkan belum tentu hilang. Masih ada ribuan manuskrip yang tersebar di berbagai
perpustakaan di Istanbul, Maroko dan perpustakaan lain di seluruh dunia yang daftarnya tidak kita
memiliki, siapa tahu di situ terdapat beberapa karya yang kita anggap hilang.

‘Ala kullihâl, musnad-musnad tersebut bukan hanya menghimpun hadis sahih saja, tetapi juga
memuat hadis-hadis yang dhaif bahkan palsu. Karena tidak semua orang dapat menggunakannya
kecuali mereka yang telah menguasai ulûm al-hadîts dengan sempurna.

Demikian juga sistematika penyusunannya menyulitkan kita untuk mengetahui hadis-hadis tentang
hukum perbuatan tertentu karena tidak disusun berdasarkan bab fikih. Hal inilah yang membuat
Bukhari (W. 256 H) menyusun karyanya ash-Shahîh yang hanya berisikan hadis-hadis yang sahih saja,
meski tidak semua hadis sahih ia himpun dalam adikaryanya ini. Cara yang sama kemudian diikuti
oleh Imam Muslim (W. 361 H) di dalam kitab shahîhnya. Karya kedua
maestro ini disusun berdasarkan bab fikih untuk memudahkan para ulama dan fuqaha dalam
menetapkan hukum tertentu.

Mayoritas Ulama menganggap karya Bukhari Muslim sebagai kitab hadis yang paling sahih. Dalam
menyusunnya mereka mengandalkan kitab-kitab musnad dan lembaran-lembaran hadis
lain yang ia dapatkan dengan cara mendengar langsung dari gurugurunya atau menukilnya dari karya-
karya mereka dengan sanadnya yang lengkap, selain riwayat lisan yang ditambahkan oleh keduanya
di dalam karyanya masing-masing. Dengan demikian mereka telah berhasil menyelamatkan banyak
materi kitab-kitab musnad yang telah hilang.

Sistematika penyusunan hadis berdasarkan bab fikih juga diikuti oleh para ulama lain baik yang
sezaman dengan mereka atau yang sesudahnya seperti:

1. Abu Daud, Sulaiman bin Asy’ats as-Sajistani (W. 275 H) di dalam as-Sunan.
2. Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid (W. 273 H) di dalam as Sunan.
3. At-Tirmidzi, Muhammad bin Isa bin Surah as-Silmi (W. 279 H) di dalam al-Jâmi’.
LPII Bandung, 26 Desember 2020
www.altanwir.net

4. An-Nisai, Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali (W.303 H) di dalam as-Sunan.

Abad ketiga dianggap sebagai zaman keemasan hadis. Al-Kutub as-Siitah yang menjadi pegangan
umat disusun pada masa itu. Rihlah mencari ilmu semarak. Pemeliharaan hadis dilakukan dengan
hafalan dan tulisan. Aktivitas ilmiah sangat kental. Di mana-mana muncul para ahli dan kritikus hadis.
Buah dari aktivitas ini tampak dengan munculnya pelbagai publikasi hadis di atas. Adapun ulama
abad sesudahnya hanya menghimpun karya yang sudah ada, atau meringkasnya dengan menghapus
sanadnya, atau menertib ulang sistematikanya. Saat itu, perhatian mereka difokuskan pada karya
yang telah ada, dan akfitas lisan (hafalan) mulai berkurang. Oleh karena itu, Imam adz-Dzahabi
menganggap permulaan tahun tiga ratus hijriah sebagai pemisah antara masa al-mutaqaddimûn
dengan al-mutaakhirrûn.33 ***

CATATAN
1. Hadis riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, hlm. 2298. Kitab az-Zuhd wa ar-Riqâq bab at-Tatsabbut fi al-Hadîts.
2. Al-Khathib al-Baghdadi, Taqyîd al-‘Ilmi, hlm. 32-33.
3. Ibid.
4. Sunan ad-Darimi, 1/125.
5. Shaheh Bukhari, 1/38.
6. Al-Khathib, Taqyîd al-‘Ilmi, hlm. 67. At-Tirmidzi, 5/39. Kitab al-‘Ilmu.
7. Shaheh Bukhari, 1/38. Ia tidak menyebut Abu Syah tapi Fulan.
8. Ibnu Abdul Barr, Jâmi’ Bayân al-‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/72. hadis ini
diriwayatkan melalui banyak jalur, sebagiannya lemah. Lihat juga Taqyîd al-‘Ilmi, hlm. 68 dan 70. Subhi ash-Shalih, ‘Ulûm al-Hadîts wa
Mushthalahuhu, hlm. 21.
9. Ibnu Abdul Barr, ibid., 1/71.
10. Al-Khithabi, Gharîb al-Hadîts, 1/632.
11. Lihat Ta`wîl Mukhtalaf al-Hadîts, hlm. 365.
12. Lihat al-Bâits al-Hatsîts, hlm. 133.
13. Subhi ash-Shalih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu, hlm. 11.
14. Adz-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffâdz, 1/5.
15. Ibnu Abdul Barr, Jâmi’ Bayân al-‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/64. Al-Khathib, Taqyîd al-‘Ilmi, hlm. 50.
16. Musnad Ahmad, 1/11.
17. Al-Khathib, al-Kifayah, hlm. 353.
18. Saheh Bukhari, 1/38. Barangkali sahifah ini bagian dari dokumen yang ditulis Nabi di Madinah untuk mengatur pola interaksi
penduduknya. Ibnu Saad menyebutkan bahwa sahifah ini pada mulanya tersimpan di gagang pedang Nabi, Dzulfikar, kemungkinan Ali
mengambilnya dari dalam pedang. Lihat Ibnu Sa’ad, ath-Thabaqât al-Kubrâ, 1/486.
19. Sunan Tirmidzi, kitab al-Ahkâm bab al-Yamîn ma’a asy-Syâhid.
20. Ibnu Abdul Barr, Jâmi’ Bayân al-‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/67. Al-Khathib, Taqyîd al-‘Ilmi, hlm. 45, 46, 48.
21. Sunan ad-Darimi, 1/126, 129. Ibnu Abdul Barr, Ibid, 1/82, 83, 84, 85; Al-Khathib, ibid., hlm. 99, 100, 102, 103, 105, 108.
22. Sebagian peninggalannya, Min Ahâdîtsi Abi Zubair ‘an Ghairi Jâbir, yang dihimpun oleh Abu Syaikh al-Anshari (W. 369 H) berhasil
sampai kepada kita. Manuskripnya tersimpan di perpustakaan Dzahiriyah dalam 18 lembar kertas. Seizqin, Târîkh at-Turâts, hlm. 257-
258.
23. Ibnu Sa’ad, ath-Thabaqât al-Kubrâ, 7/448. al-‘Asqalani, Tahdzîb atTahdzîb, 8/429.
24. Ibnu Abi Hatim, Taqdimah al-Ma’rifah, hlm. 21.
25. Al-Kattani, Ar-Risâlah al-Mustathrafah, hlm. 4.
26. Ibnu Abdul Barr, Jâmi’ Bayân al-‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/76.
27. Telah dicetak dengan ditahqiq oleh Habiburrahman al-A’dzami.
28. Telah dicetak dengan ditahqiq oleh Habiburrahman al-A’dzami.
29. Juga telah dicetak dan ditahqiq oleh Habiburrahman al-A’dzami.
30. Muhammad Abu Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, hlm. 244.
31. Seizqin, Târîkh at-Turâts al-‘Arabi, hlm. 262.
32. Diterbitkan di Haydarabab tahun 1321 H.
33. Adz-Dzahabi, Lisân al-Mîzân, 1/8.

Anda mungkin juga menyukai