Mukhoyyam
Mukhoyyam
Bismillahirrahmanirrahim
Mukhoyyam Qur’an seperti yang kita ketahui bersama ialah sebuah sarana
atau wadah yang memfasilitasi kita untuk membina keakraban dengan al-
kembali resolusi-resolusi kita terhadap kitab ilahi yang barang kali resolusi
itu antara ada dan tiada, namun masih memiliki keutuhan harapan di dalam
serangkaian acara yang kesemuanya itu ditujukan dengan satu visi dan misi
Singkat cerita, saya merupakan satu dari ratusan peserta yang ikut waktu
itu, kami sama-sama mengisi draft registrasi untuk mengikuti dan patuh
terhadap arahan ketua pelaksana mukhoyyam saat itu. Seperti biasa acara
demi acara dilaksanakan dengan penuh hikmat, mulai dari acara setoran,
melafalkan ayat yang dihafal dan terdapat kesalahan, seketika itu juga ibu-
ibu yang merupakan salah satu peserta langsung mengoreksi, meskipun dalam
keadaan tengah memilih coffe break yang disajikan oleh pihak hotel, ada pula
yang ketika salah satu temannya melaflkan kalimat dari surat tertentu, lalu
dengan ringan lisan, peserta yang lain pun ikut meneruskan kalimat dalam
menyapa satu sama lain, menyemangati satu sama lain, bahkan sharing satu
sama lain. di mana hal inilah yang selalu mereka sebut dengan kesan yang
Setiap kita punya kesan yang berbeda, hal itu wajar, ada yang kesan
ada yang kesannya ialah tentang acara yang disetting begitu bermakna
semua ini adalah liburan bagi ibu-ibu rumah tangga dari seabrek rutinitas
rumah yang selalu ada di setiap harinya, dan ketika event ini hadir, “horeee”
begitu kata mereka, liburan telah datang, dengan berbekal izin dari qowam
rumah tangganya dan semangat yang tinggi, akhirnya merekapun ikut, hehe,
beragam memang.
Kalau kesan bagi saya pribadi ialah tentang mindset yang diajarkan oleh
ustadz Abdul Aziz Abdurra’uf Lc. Al-Hafidz (semoga Allah jaga setiap detik
kesan mana yang mau saya utarakan di sini, tapi memang rutinitas yang di
sajikan dalam mukhoyyam pada umumnya adalah rutinitas yang sudah saya
pengemasannya yang sedikit berbeda. Kalau yang dulu, yang pernah saya ikuti
adalah tentang betapa urgent nya peran wanita, karena wanita adalah pangkal,
maka harus didekatkan dengan al-qur’an sedekat dekatnya (Teladan dari para
rahmatNya).
Nah menurut saya, hal yang paling berkesan sekaligus penting buat saya
adalah rekontruksi mindset shohibul qur’an itu sendiri. Yup saat itu beliau
adalah bentuk dari keimanan kita kepadaNya, maka sudah seharusnya al-
Qur’an inilah yang membuat kita lebih mengenal Allah, lebih dekat
Mindset inilah yang perlu dibangun, karena membersamai al-Qur’an bukan soal
al-Qur’an ini adalah salah satu jalan dari pentarqiyah iman (Tarqiyah:
iman kita kepada Allah, maka saat itu juga, diri kita akan terlatih untuk
meningkatkan kualitas hati kita. Hal ini sesuai yang disabdakan Rosulullah
Muhammad, bahwasanya ketika segumpal daging (hati) jika baik, maka baiklah
semuanya.
Pola pikir ini memang jarang digaungkan oleh berbagai pihak, karena selama
kalamullah, sehingga tak jarang kita jumpai, ada penghafal al-Qur’an yang
mohon maaf, sholatnya masih jarang-jarang, hafalan lancar tapi zinanya juga
tidak kalah lancar, kasus kasus seperti inilah yang barang kali muncul karena
ketidak siapan kita dalam menghadirkan hati saat kita memulai komitmen
untuk terus menjaga interaksi kita dengan al-Qur’an, bahkan kita kadang
tidak pernah muhasabah, “mengapa ya, saya ini penghafal al-Qur’an tapi
merasa tidak tenang, kenapa ya kok saya ini menghafal al-Qur’an seperti
tidak ada efeknya sama sekali, rasanya hambar, tidak memiliki rasa, katanya
interaksi dengan al-Qur’an itu manis, tapi kok saya belum merasakan”.
Berbicara soal rasa memang tidak pernah bisa dibohongi, setiap dari kita,
tidak akan bisa menafikan hal tersebut atau malah mengada-ngada akan hal
barang kali hal ini merupakan tanda betapa kita masih susah menghadirkan
hati saat interaksi dengan al-Qur’an, oleh karenanya beliau dengan tegas
mengatakan “illa man ataa Allaha bi qolbin saliim” siapa saja yang senantiasa
tentang bagaimana kita mengahadirkan hati untuk hal-hal yang kita cintai
Barang kali urusan kita dengan al-Qur’an adalah urusan kita dalam mengelola
hati kita, mengkondisikan hati agar menjadi hati yang bersih, yang lembut dan
berharap agar hati kita selalu dijaga dari sifat kerasnya hati atau buruknya
hati, karena sebagaimana yang kita tahu, sabda Rosulullah ialah “bahwasanya
Allah tidak melihat rupa kita, akan tetapi lebih melihat hati kita” inilah
terdiri dari tiga aspek, yaitu mu’amalah lisan, mu’amalah ‘uquul (akal), dan
mu’amalah quluub (hati). mu’amalah lisan berarti gerak lisan kita dalam
digunakan ketika kita tadabbur terhadap ayat-ayat yang kita yakini ia adalah
adalah sebagai pedoman dalam hidup, dan yang tidak kalah penting ialah
mu’amalah qulub, yakni menghadirkan hati, karena saat hati itu benar-benar
demikian hati kita siap dibersihkan, siap dilembutkan melalui wasilah al-
Qur’an. Inilah yang sesungguhnya paling kita butuhkan, hati yang bersih,
hati yang suci, yang sensitive karena ketakutannya terhadap Allah, dan
Jujur, mungkin hingga saat ini, kematian itu masih menjadi momok bagi saya
pribadi atau mungkin ada di antara kita yang masih sama sepemikiran, belum
siap, takut, nanti kalau disana sama siapa, bakal disiksa atau enggak, atau
orang yang begitu ringan lisannya “nanti kita akan ketemu sama Allah, maka
kita harus persiapkan dari sekarang segalanya, nanti kita akan pulang, kita
nggak akan capek-capek lagi di dunia ini, kita nanti akan bertemu dan diiring
oleh panji rosulullah, kita reunion di surga.” Dua pikiran yang sangat
bertentangan, satu masih takut mati, yang satunya begitu merindukan
kepulangan. Inilah gambaran kondisi hati, tingkatan hati yang sering beliau
sebut saat menyampaikan kajian untuk kami ialah, semakin tinggi tingkat
kesucian hati maka akan semakin merindukan kehidupan akhirat yang penuh
kedamaian, hal ini digambarkan oleh perjuangan para sahabat awal-awal islam,
dimana mereka merelakan dirinya sebagai jaminan untuk membela Allah dan
digambarkan juga mereka tilawah minimal 10 juz sehari, ada juga yang dalam
menemukan hal yang beda di setiap amal satu dengan amal yang lain, amalan
hari ini beda dengan amalan yang kemarin, amalan hari ini harus lebih baik
dari hari esok, sehingga mereka tak pernah merasakan hambarnya beribadah,
tilawah, karena mereka yakin tilawah adalah urusan keimanan dengan Allah,
yatsluunahu haqqo tilawatih” bagi mereka dan bagi setiap orang yang beriman
juga menegaskan kembali, jika hatinya biasa-biasa saja dia juga akan
belum sampai di tingkatan ini ?, kata beliau “ selama masih ada niat dan
azzam, maka sudah sepatutnya kita harus optimis meskipun kita memiliki
banyak keterbatasan”.
Maka ketika ada yang mempertanyakan tujuan kita kenapa dengan al-Qur’an,
mulailah jawab dengan alasan “li tazkiyatinnafs” untuk mensucikan hati dan
yang salah terhadap al-Qur’an, alias tidak memberi manfaat barang kali
sedikitpun, kata Allah kita boleh bucin (cinta berat) terhadap hal-hal yang di
ridhoi Allah, sedangkan selainnya tidak, kenapa? Karena akibat dari fitnah
itulah yang sering kali bukan malah mendekatkan kita terhadap kebaikan
kok hafidz gitu sih, atau kok hafidzhoh begitu sih kelakuannya” maka dengan