Anda di halaman 1dari 8

Horison, Ciledug, 2020.

Bismillahirrahmanirrahim

Mukhoyyam Qur’an seperti yang kita ketahui bersama ialah sebuah sarana

atau wadah yang memfasilitasi kita untuk membina keakraban dengan al-

Qur’an, merevitalisasi pola pikir kita terhadap al-qur’an, serta memupuk

kembali resolusi-resolusi kita terhadap kitab ilahi yang barang kali resolusi

itu antara ada dan tiada, namun masih memiliki keutuhan harapan di dalam

menjemput kesusksesan membersamai al-Qur’an kini dan nanti. Jadi bisa

dibilang, kegiatan semacam ini adalah kegiatan yang dirancang dengan

serangkaian acara yang kesemuanya itu ditujukan dengan satu visi dan misi

yang erat kaitannya dengan kehidupan Qur’ani.

Singkat cerita, saya merupakan satu dari ratusan peserta yang ikut waktu

itu, kami sama-sama mengisi draft registrasi untuk mengikuti dan patuh

terhadap arahan ketua pelaksana mukhoyyam saat itu. Seperti biasa acara

demi acara dilaksanakan dengan penuh hikmat, mulai dari acara setoran,

sholat berjama’ah, kajian, makan-makan, dan ditutup dengan istirahat di

malam harinya. Semuanya hampir berjalan lancar, sebagaimana mukhoyyam-

mukhoyyam pada umumnya. Ukhuwah yang terbina pun terbilang sangat

terasa, betapa tidak? Di sela-sela makanpun, ketika ada satu temannya

melafalkan ayat yang dihafal dan terdapat kesalahan, seketika itu juga ibu-

ibu yang merupakan salah satu peserta langsung mengoreksi, meskipun dalam

keadaan tengah memilih coffe break yang disajikan oleh pihak hotel, ada pula

yang ketika salah satu temannya melaflkan kalimat dari surat tertentu, lalu
dengan ringan lisan, peserta yang lain pun ikut meneruskan kalimat dalam

surat tersebut, begitulah harmoni yang tercipta meskipun tidak dalam

kegiatan murojaah ataupun ziyadah. Sehingga wajar jika mayoritas peserta

sangat menikmati acara tersebut, karena atmosfer qur’annya begitu terasa,

kemana-mana selalu membawa mushaf, dan tidak pernah bosan tilawah,

menyapa satu sama lain, menyemangati satu sama lain, bahkan sharing satu

sama lain. di mana hal inilah yang selalu mereka sebut dengan kesan yang

menyenangkan pasca acara penutupan.

Setiap kita punya kesan yang berbeda, hal itu wajar, ada yang kesan

terbesarnya adalah tentang ukhuwah yang dipersatukan melalui al-Qur’an,

ada yang kesannya ialah tentang acara yang disetting begitu bermakna

baginya, sehingga selama kurang lebih tiga hari ia bisa menikmati

kedekatannya dengan al-Qur’an, ada pula yang kesannya ialah menganggap

semua ini adalah liburan bagi ibu-ibu rumah tangga dari seabrek rutinitas

rumah yang selalu ada di setiap harinya, dan ketika event ini hadir, “horeee”

begitu kata mereka, liburan telah datang, dengan berbekal izin dari qowam

rumah tangganya dan semangat yang tinggi, akhirnya merekapun ikut, hehe,

beragam memang.

Kalau kesan bagi saya pribadi ialah tentang mindset yang diajarkan oleh

ustadz Abdul Aziz Abdurra’uf Lc. Al-Hafidz (semoga Allah jaga setiap detik

menitnya dengan keberkahan al-Qur’an). Jujur saya tidak pernah memilih

kesan mana yang mau saya utarakan di sini, tapi memang rutinitas yang di

sajikan dalam mukhoyyam pada umumnya adalah rutinitas yang sudah saya

dapati di event mukhoyyam-mukhoyyam yang sudah-sudah, hanya saja

pengemasannya yang sedikit berbeda. Kalau yang dulu, yang pernah saya ikuti
adalah tentang betapa urgent nya peran wanita, karena wanita adalah pangkal,

maka harus didekatkan dengan al-qur’an sedekat dekatnya (Teladan dari para

ummahaat Ghaza Palestina) pangkal peradaban, ada juga tentang membina

sifat-sifat mulia yang seharusnya menghiasi pribadi para huffadz. Begitulah

kira-kira moment- moment mukhoyyam yang dulu diadakan oleh pondok

tercinta (semoga Allah senantiasa menaungi dengan ridhoNya dan

rahmatNya).

Nah menurut saya, hal yang paling berkesan sekaligus penting buat saya

adalah rekontruksi mindset shohibul qur’an itu sendiri. Yup saat itu beliau

bilang, “coba pola pikirnya yang dirubah” bahwasanya menghafal al-Qur’an

adalah bentuk dari keimanan kita kepadaNya, maka sudah seharusnya al-

Qur’an inilah yang membuat kita lebih mengenal Allah, lebih dekat

denganNya, dan lebih bergantung di setiap keadaan. Makanya do’a yang

diajarkan ialah “allahumma ij’alna minman yaqro’ul qur’ana fayarqo, wala

taj’alna minman yaqro’ul qur’ana fa yasyqo.” Ya Allah jadikan kami diantara

orang yang membaca al-Qur’an yang ditinggikan derajatnya, dan jangan

jadikan kami diantara orang yang membaca al-Qur’an kemudian sengsara.

Mindset inilah yang perlu dibangun, karena membersamai al-Qur’an bukan soal

memenuhi target, ataupun prestasi di mata manusia, akan tetapi memandang

al-Qur’an ini adalah salah satu jalan dari pentarqiyah iman (Tarqiyah:

meningkatkan). Dengan demikian, ketika focus kita arahnya adalah membenahi

iman kita kepada Allah, maka saat itu juga, diri kita akan terlatih untuk

meningkatkan kualitas hati kita. Hal ini sesuai yang disabdakan Rosulullah

Muhammad, bahwasanya ketika segumpal daging (hati) jika baik, maka baiklah

semuanya.
Pola pikir ini memang jarang digaungkan oleh berbagai pihak, karena selama

ini yang masih menjadi focus adalah bagaimana meningkatkan hafalan,

melancarkan hafalan, dan memutqinkan hafalan, tapi lupa dengan bagaimana

memaknai hidup dengan al-Qur’an, lupa dengan esensi al-Qur’an sebagai

kalamullah, sehingga tak jarang kita jumpai, ada penghafal al-Qur’an yang

mohon maaf, sholatnya masih jarang-jarang, hafalan lancar tapi zinanya juga

tidak kalah lancar, kasus kasus seperti inilah yang barang kali muncul karena

ketidak siapan kita dalam menghadirkan hati saat kita memulai komitmen

untuk terus menjaga interaksi kita dengan al-Qur’an, bahkan kita kadang

tidak pernah muhasabah, “mengapa ya, saya ini penghafal al-Qur’an tapi

merasa tidak tenang, kenapa ya kok saya ini menghafal al-Qur’an seperti

tidak ada efeknya sama sekali, rasanya hambar, tidak memiliki rasa, katanya

interaksi dengan al-Qur’an itu manis, tapi kok saya belum merasakan”.

Berbicara soal rasa memang tidak pernah bisa dibohongi, setiap dari kita,

tidak akan bisa menafikan hal tersebut atau malah mengada-ngada akan hal

tersebut, maka ketika kita masih merasakan hambarnya tilawah al-Qur’an,

barang kali hal ini merupakan tanda betapa kita masih susah menghadirkan

hati saat interaksi dengan al-Qur’an, oleh karenanya beliau dengan tegas

mengatakan “illa man ataa Allaha bi qolbin saliim” siapa saja yang senantiasa

mentazkiyah hatinya, ia akan dibangkitkan dalam keadaan hati yang bersih.

Kira-kira inilah muhasabah yang pertama yang disampaikan beliau, yakni

tentang bagaimana kita mengahadirkan hati untuk hal-hal yang kita cintai

agar lebih hidup (Al-Qur’an).

Barang kali urusan kita dengan al-Qur’an adalah urusan kita dalam mengelola

hati kita, mengkondisikan hati agar menjadi hati yang bersih, yang lembut dan
berharap agar hati kita selalu dijaga dari sifat kerasnya hati atau buruknya

hati, karena sebagaimana yang kita tahu, sabda Rosulullah ialah “bahwasanya

Allah tidak melihat rupa kita, akan tetapi lebih melihat hati kita” inilah

mengapa kedekatan kita dengan al-Qur’an ada korelasinya dengan keadaan

hati kita. Beliau menuturkan bahwasanya mu’amalah dengan al-qur’an itu

terdiri dari tiga aspek, yaitu mu’amalah lisan, mu’amalah ‘uquul (akal), dan

mu’amalah quluub (hati). mu’amalah lisan berarti gerak lisan kita dalam

mentajwidkan al-qur’an ketika sedang mentilawahinya, sedangkan akal

digunakan ketika kita tadabbur terhadap ayat-ayat yang kita yakini ia adalah

adalah sebagai pedoman dalam hidup, dan yang tidak kalah penting ialah

mu’amalah qulub, yakni menghadirkan hati, karena saat hati itu benar-benar

hadir, maka ayat-ayat yang didawamkan akan memberi makna. Dengan

demikian hati kita siap dibersihkan, siap dilembutkan melalui wasilah al-

Qur’an. Inilah yang sesungguhnya paling kita butuhkan, hati yang bersih,

hati yang suci, yang sensitive karena ketakutannya terhadap Allah, dan

ketika ketakutan itu semakin hari semakin meningkat, ia mudah

merindukan kehidupan akhirat, merindukan yang paling berhak dirindukan.

Jujur, mungkin hingga saat ini, kematian itu masih menjadi momok bagi saya

pribadi atau mungkin ada di antara kita yang masih sama sepemikiran, belum

siap, takut, nanti kalau disana sama siapa, bakal disiksa atau enggak, atau

bayangan-bayangan yang menakutkan lainnya. Namun saya suka takjub, dengan

orang yang begitu ringan lisannya “nanti kita akan ketemu sama Allah, maka

kita harus persiapkan dari sekarang segalanya, nanti kita akan pulang, kita

nggak akan capek-capek lagi di dunia ini, kita nanti akan bertemu dan diiring

oleh panji rosulullah, kita reunion di surga.” Dua pikiran yang sangat
bertentangan, satu masih takut mati, yang satunya begitu merindukan

kepulangan. Inilah gambaran kondisi hati, tingkatan hati yang sering beliau

sebut saat menyampaikan kajian untuk kami ialah, semakin tinggi tingkat

kesucian hati maka akan semakin merindukan kehidupan akhirat yang penuh

kedamaian, hal ini digambarkan oleh perjuangan para sahabat awal-awal islam,

dimana mereka merelakan dirinya sebagai jaminan untuk membela Allah dan

Rosulnya sebagai bukti kerinduan yang dijanjikan oleh sabda Rosulullah,

sehingga mereka tidak gentar sedikitpun terhadap ragam tekanan,

digambarkan juga mereka tilawah minimal 10 juz sehari, ada juga yang dalam

seharinya 30 juz khatam, mereka selalu mengevaluasi amalan-amalan, selalu

menemukan hal yang beda di setiap amal satu dengan amal yang lain, amalan

hari ini beda dengan amalan yang kemarin, amalan hari ini harus lebih baik

dari hari esok, sehingga mereka tak pernah merasakan hambarnya beribadah,

mereka tak pernah merasakan hambarnya tilawah, mereka selalu menikmati

tilawah, karena mereka yakin tilawah adalah urusan keimanan dengan Allah,

sebagaimana yang Allah sudah firmankan, “ alladzina aatainahumul kitaaba,

yatsluunahu haqqo tilawatih” bagi mereka dan bagi setiap orang yang beriman

tilawah adalah kewajiban yang harus ditunaikan. Kondisi inilah yang

mengantarkan hati seseorang pada tingkatan “Dzaaqo” yakni hati yang

sensitive ketika mendengar peringatan peringatan Allah. Namun beliau

juga menegaskan kembali, jika hatinya biasa-biasa saja dia juga akan

biasa-biasa saja ketika mendengar peringatan Allah. Oleh karenanya Al-

Qur’an seharusnya memberi sesuatu yang baru, sehingga tidak ada

terbersit kebosanan ketika membersamainya, namun bagaimana jika

belum sampai di tingkatan ini ?, kata beliau “ selama masih ada niat dan
azzam, maka sudah sepatutnya kita harus optimis meskipun kita memiliki

banyak keterbatasan”.

Maka ketika ada yang mempertanyakan tujuan kita kenapa dengan al-Qur’an,

mulailah jawab dengan alasan “li tazkiyatinnafs” untuk mensucikan hati dan

sebagai upaya membenahi keimanan, dengan demikian bisa ditarik kesimpulan

bahwasanya fitnah yang beredar di kalangan para penghafal al-Qur’an

bukanlah karena hafalannya, bukan karena Qur’annya, tapi karena pola

pikirnya yang salah terhadap al-Qur’an, sehingga akibatnya adalah interaksi

yang salah terhadap al-Qur’an, alias tidak memberi manfaat barang kali

sedikitpun, kata Allah kita boleh bucin (cinta berat) terhadap hal-hal yang di

ridhoi Allah, sedangkan selainnya tidak, kenapa? Karena akibat dari fitnah

itulah yang sering kali bukan malah mendekatkan kita terhadap kebaikan

namun malah penyelewengan, hingga akhirnya orang dengan mudah melabeli “

kok hafidz gitu sih, atau kok hafidzhoh begitu sih kelakuannya” maka dengan

ini barometernya adalah kedekatan kita dengan Allah, ketika kita

memperbaiki hati kita, maka lahirlah pemahaman yang sehat, bahwasanya

interaksi al-Qur’an tidak hanya dilafadzkan saja, akan tetapi juga

diamalkan nilai-nilainya. Apapun yang al-Qur’an perintah maka itulah

kebaikan, dan yang al-Qur’an larang wajib kita usahakan untuk

menghindari sebisa mungkin.

Wallahu a’lam bishowaab.

Al-faqiir ila rohmati robbiha, Bintu Rosyid

24, Januari 2020

Anda mungkin juga menyukai