Anda di halaman 1dari 32

1

TUGAS MAKALAH IMUN HEMATOLOGI


AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA)
DAN KAITANNYA DENGAN
CROSSMATCING

NAMA : SRI WULANTANI


NIM : 183145358218
KELAS : 2018 F

PROGRAM STUDI DIV TEKNOLOGILABORATORIUM MEDIS


FAKULTS TEKNOLOGI RUMAH SAKIT DAN INFORMATIKA
UNIVERSITAS MEGA REZKY
2020
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah


melimpahkan rahmat,taufik,hidayah serta nikmatnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan lmakalah ini.
Makalah ini dapat diselesaikan dengan bantuan dari berbagai
pihak.oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya yang penuh dengan ketulusan telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan atau nasehat dan arahan
Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis haturkan kepada
semua pihak yang telah membantu baik moril maupun material dalam usaha
penyelesaian makalah ini
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
dan membutuhkan masukan untuk memperbaaikinya.untuk itu penulis
menghaarapkan saran,kritik,masukan,koreksi,dan tanggapan dari seluruh
pembaca untuk perbaikan laporan ini. Besar harapan penulis,semoga laporan
ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi pribadi penulis sendiri
khususnya.selanjutnya semoga budi baik dan dukungan yang telah diberikan
kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah swt.
Wassalamu’alaikum wr,wb

Makassar , 11 November 2020

Penulis
ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i


KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................... 2
C. Tujuan...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 5


A. Pengertian Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) ............... 5
B. mengetahui kaitan Autoimmune hemolytic anemia (AIHA)
Dengan cross matching.......................................................... 27

BAB III PENUTUP ................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 30


iv

DAFTAR TABEL

a. Perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang


diperlukan untuk pengiriman oksigen ..................................... 16

b.  Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d


nafsu makan menurun, mual ............................................... 17
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang
Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic
anemia /AIHA) merupakan salah satu penyakit otoimun di
bagian hematologi. AIHA tergolong penyakit yang jarang,
akan tetapi merupakan penyakit yang penting karena
berpotensi untuk menjadi suatu sindrom yang berat dan
dapat menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat.
Insiden AIHA diperkirakan 3 kasus per 100.000 orang
pertahun, dengan prevalensi 17/100.000/tahun. AIHA dapat
terjadi primer atau idiopatik, dan dapat terjadi akibat penyakit
lain atau adanya kondisi yang mendasarinya, yang disebut
AIHA sekunder. Kejadian AIHA primer lebih jarang
dibandingkan AIHA sekunder1,3. Angka kematian AIHA
berkisar antara 20-50%, bergantung kepada penyakit yang
mendasari munculnya penyakit AIHA.2
Pada AIHA terjadi pembentukan autoantibodi yang
menyelubungi permukaan eritrosit. Antigen target pada
sebagian besar kasus AIHA tipe hangat adalah protein Rh.
Apa yang menyebabkan sistem imun menargetkan protein ini
masih belum diketahui. Salah satu teori menyatakan bahwa
pada awal terjadinya respon imun terhadap antigen asing,
terjadi reaksi silang dengan protein Rh dan sistem imun
gagal untuk menekan respon autoreaktif ini. 4
Berdasarkan suhu optimal untuk autoantibodi
mengikat eritrosit, AIHA dikelompokkan menjadi AIHA tipe

1
2

hangat, AIHA tipe dingin, dan AIHA tipe


campuran1,5. Pada AIHA tipe hangat, eritrosit dilapisi oleh
molekul IgG, sehingga sel tersebut akan dikenal oleh sistem
retikuloendotelial untuk difagositosis oleh makrofag limfa.
Pada AIHA tipe dingin eritrosit diselubungi oleh molekul IgM
dan mengaktifkan sistem komplemen pada permukaan
eritrosit. Sistem komplenen dapat teraktivasi secara penuh
yang akan menyebabkan terjadinya lisis eritrosit
intravaskular.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana kaitan Autoimmune hemolytic anemia (AIHA)
Dengan cross matching

1.3. Tujuan
Untuk mengetahui kaitan Autoimmune hemolytic anemia (AIHA)
Dengan cross matching

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Autoimmune hemolytic anemia (AIHA)


Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah suatu kondisi
dimanaimunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen terikat
pada antigen permukaan sel darah merah dan menyebabkan
pengrusakan sel darah merah melaluiSistem Retikulo Endotelial (SRE).
3

Antibodi yang khas pada AIHA antara lain IgG,IgM atau IgA dan bekerja
pada suhu yang berbeda-beda. (Lanfredini, 2007).
Anemia hemolitik adalah anemia yang di sebabkan oleh proses
hemolisis, yaitu pemecahahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum
waktunya (normal umur eritrosit 100-120 hari). Anemia hemolitik adalah
anemia karena hemolisis, kerusakan abnormal sel-sel darah merah (sel
darah merah), baik di dalam pembuluh darah (hemolisis intravaskular)
atau di tempat lain dalam tubuh (extravascular).
Anemia hemolitik merupakan kondisi dimana jumlah sel darah
merah (HB) berada di bawah nilai normal akibat kerusakan (dekstruksi)
pada eritrosit yang lebih cepat dari pada kemampuan sumsum tulang
mengantinya kembali. Jika terjadi hemolisis (pecahnya sel darah merah)
ringan/sedang dan sumsum tulang masih bisa mengompensasinya,
anemia tidak akan terjadi, keadaan ini disebut anemia terkompensasi.
Namun jika terjadi kerusakan berat dan sumsum tulang tidak mampu
menganti keadaan inilah yang disebut anemia hemolitik. Anemia
hemolitik sangat berkaitan erat dengan umur eritrosit. Pada kondisi
normal eritrosit akan tetap hidup dan berfungsi baik selama 120 hari,
sedang pada penderita anemia hemolitik umur eritrosit hanya beberapa
hari saja.
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah suatu kondisi
dimanaimunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen terikat
pada antigen permukaan sel5 darah merah dan menyebabkan
pengrusakan sel darah merah melaluiSistem Retikulo Endotelial (SRE).
Antibodi yang khas pada AIHA antara lain IgG,IgM atau IgA dan bekerja
pada suhu yang berbeda-beda. (Lanfredini, 2007).
Tapi sebenarnya defenisi dari beberapa referensi diatas sama
yakni  karena terbentuknya autoantibody oleh eritrosit sendiri dan
akhirnya menimbulkan hemolisis. Hemolisis yakni pemecahan eritrosit
4

dalam pembuluh darah sebelum waktunya.  Anemia hemolitik autoimun


memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian  besar penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik). Kadang-kadang tubuh mengalami  gangguan fungsi
dan menghancurkan selnya sendiri karena keliru mengenalinya  sebagai
bahan asing (reaksi autoimun), jika suatu reaksi autoimun ditujukan
kepada sel darah merah, akan terjadi anemia hemolitik autoimun
1. Etiologi
a) Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam eritrosit kelainan
karena faktor ini dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1) Gangguan struktur dinding eritrosit
Sferositosis
Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga disebabkan oleh
kelainan membran eritrosit. Kadang-kadang penyakit ini
berlangsung ringan sehingga sukar dikenal. Pada anak gejala
anemianya lebih menyolok daripada dengan ikterusnya,
sedangkan pada orang dewasa sebaliknya. Suatu infeksi yang
ringan saja sudah dapat menimbulkan krisi aplastik.Kelainan
radiologis tulang dapat ditemukan pada anak yang telah lama
menderita kelainan ini. Dalam keadaan normal bentuk eritrosit
ini ditemukan kira-kira 15-20% saja. Penyakit ini diturunkan
secara dominan menurut hukum mendel. Hemolisis biasanya
tidak seberat sferositosis. Kadang-kadang ditemukan kelainan
radiologis tulang. Splenektomi biasanya dapat mengurangi
proses hemolisis dari penyakit ini.
A-beta lipropoteinemia
Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk eritrosit yang
menyebabkan umur eritrosit tersebut menjadi pendek. Diduga
kelainan bentuk eritrosit tersebut disebabkan oleh kelainan
5

komposisi lemak pada dinding sel.


2) Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah
pecah, misalnya pada panmielopatia tipe fanconi. Anemia
hemolitik oleh karena kekurangan enzim sbb:
 Definisi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
 Defisiensi Glutation reduktase
 Defisiensi Glutation
  Defisiensi Piruvatkinase
 Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
 Defisiensi difosfogliserat mutase
 Defisiensi Heksokinase
 Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehydrogenase
3) Hemoglobinopatia
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar
dari hemoglobinnya (95%), kemudian pada perkembangan
selanjutnya konsentrasi HbF akan menurun, sehingga pada
umur satu tahun telah mencapai keadaan normal Sebenarnya
terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan
hemoglobin ini, yaitu:
 Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin
abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain .
 Gangguan jumblah (salah satu atau beberapa) rantai globin.
Misal talasemia
b) Faktor Ekstrinsik :
1) Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
2)  Akibat reaksi non imunitas : karena bahan kimia / obat.
3) Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh
antibodi yang dibentuk oleh tubuh sendiri.
6

4) Infeksi, plasmodium, boriella

2. Klasifikasi
a) Tipe Hangat
Yaitu hemolitik autoimun yang terjadi pada suhu tubuh
optimal (37 derajat celcius). Anemia Hemolitik Antibodi Hangat
adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang
bereaksi terhadap sel darah merah pada suhu tubuh. Autoantibodi
ini melapisi sel darah merah, yang kemudian dikenalinya sebagai
benda asing dan dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau
kadang dalam hati dan sumsum tulang. Penyakit ini lebih sering
terjadi pada wanita. Sepertiga penderita anemia jenis ini menderita
suatu penyakit tertentu (misalnya limfoma, leukemia atau penyakit
jaringan ikat, terutama lupus eritematosus sistemik) atau telah
mendapatkan obat tertentu, terutama metildopa.
Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan,
mungkin karena anemianya berkembang sangat cepat. Limpa
biasanya membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa
terasa nyeri atau tidak nyaman. Pengobatan tergantung dari
penyebabnya. Jika penyebabnya tidak diketahui, diberikan
kortikosteroid (misalnya prednison) dosis tinggi, awalnya melalui
intravena, selanjutnya per-oral (ditelan). Sekitar sepertiga penderita
memberikan respon yang baik terhadap pengobatan tersebut.
Penderita lainnya mungkin memerlukan pembedahan untuk
mengangkat limpa, agar limpa berhenti menghancurkan sel darah
merah yang terbungkus oleh autoantibodi. Pengangkatan limpa
berhasil mengendalikan anemia pada sekitar 50% penderita. Jika
pengobatan ini gagal, diberikan obat yang menekan sistem
kekebalan (misalnya siklosporin dan siklofosfamid).
7

Transfusi darah dapat menyebabkan masalah pada


penderita anemia hemolitik autoimun. Bank darah mengalami
kesulitan dalam menemukan darah yang tidak bereaksi terhadap
antibodi, dan transfusinya sendiri dapat merangsang pembentukan
lebih banyak lagi antibodi. Manifestasi klinis: gejala tersamar,
gejala2 anemia, timbul perlahan, menimbulkan demam bahkan
ikterik. Jika diperiksa urin pada umumnya berwarna gelap karena
hemoglobinuri. Bisa juga terjadi splenomegali, hepatomegali dan
limfadenopati. Pemeriksaan Lab: Coomb’s test direk positif.
Prognosis: hanya sedikit yang bisa sembuh total, sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang kronis namun terkendali.
Survival 70%. Komplikasi bisa terjadi, seperti emboli paru, infark
limpa, dan penyakit kardiovaskuler. Angka kematian 15-25%.
Terapi: (1) pemberian kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari, jika
membaik dalam 2 minggu dosis dikurangi tiap minggu 10-20
mg/hari. (2) splenektomi, jika terapi kortikosteroid tidak adekuat; (3)
imunosupresi: azatioprin 50-200 mg/hari atau siklofosfamid 50-150
mg/hari; (4) terapi lain: danazol, imunoglobulin; (5) tansfusi jika
kondisinya mengancam jiwa (misal Hb <3mg/dl)

b) Tipe Dingin
Anemia Hemolitik Antibodi Dingin adalah suatu keadaan
dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel
darah merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin.
Anemia jenis ini dapat berbentuk akut atau kronik. Bentuk yang
akut sering terjadi pada penderita infeksi akut,
terutama pneumonia tertentu atau mononukleosis infeksiosa.
Bentuk akut biasanya tidak berlangsung lama, relatif ringan dan
menghilang tanpa pengobatan. Bentuk yang kronik lebih sering
8

terjadi pada wanita, terutama penderita rematik atau artritis yang


berusia diatas 40 tahun. Bentuk yang kronik biasanya menetap
sepanjang hidup penderita, tetapi sifatnya ringan dan kalaupun
ada, hanya menimbulan sedikit gejala.
Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel darah
merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan
dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan lengan. Penderita
yang tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih
berat dibandingkan dengan penderita yang tinggal di iklim hangat.
Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan antibodi pada permukaan sel darah merah yang lebih
aktif pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh. Tidak ada
pengobatan khusus, pengobatan ditujukan untuk mengurangi
gejala-gejalanya. Bentuk akut yang berhubungan dengan infeksi
akan membaik degnan sendirinya dan jarang menyebabkan gejala
yang serius. Menghindari cuaca dingin bisa mengendalikan bentuk
yang kronik terjadi pada suhu tubuh dibawah normal. Antibodi yang
memperantarai biasanya adalah IgM. Antibodi ini akan langsung
berikatan dengan eritrosit dan langsung memicu
fagositosis.Manifestasi klinis: gejala kronis, anemia ringan
(biasanya Hb:9-12g/dl), sering dijumpai akrosianosis dan
splenomegali.pemeriksaan lab: anemia ringan, sferositosis,
polikromasia, tes coomb positif, spesifisitas tinggi untuk antigen
tertentu seperti anti-I, anti-Pr, anti-M dan anti-P.Prognosis:baik,
cukup stabil. Terapi hindari udara dingin, terapi prednison,
klorambusil 2-4 mg/hari, dan plasmaferesis untuk mengurangi
antibodi IgM.
3. Patofisiologi
Hemolisis adalah acara terakhir dipicu oleh sejumlah
9

besar diperoleh turun-temurun dan gangguan. etiologi dari


penghancuran eritrosit prematur adalah beragam dan dapat
disebabkan oleh kondisi seperti membran intrinsik cacat,
abnormal hemoglobin, eritrosit enzimatik cacat, kekebalan
penghancuran eritrosit, mekanis cedera, dan
hypersplenism. Hemolisis dikaitkan dengan pelepasan
hemoglobin dan asam laktat dehidrogenase (LDH). Peningkatan
bilirubin tidak langsung dan urobilinogen berasal dari
hemoglobin dilepaskan.
Seorang pasien dengan hemolisis ringan mungkin
memiliki tingkat hemoglobin normal jika peningkatan produksi
sesuai dengan laju kerusakan eritrosit. Atau, pasien dengan
hemolisis ringan mungkin mengalami anemia ditandai jika
sumsum tulang mereka produksi eritrosit transiently dimatikan
oleh virus (Parvovirus B19) atau infeksi lain, mengakibatkan
kehancuran yang tidak dikompensasi eritrosit (aplastic krisis
hemolitik, di mana penurunan eritrosit terjadi di pasien dengan
hemolisis berkelanjutan). Kelainan bentuk tulang tengkorak dan
dapat terjadi dengan ditandai kenaikan hematopoiesis,
perluasan tulang pada masa bayi, dan gangguan anak usia dini
seperti anemia sel sabit atau talasemia.
1. .Mekanisme pemecahan eritrosit ektravaskular
Terjadi dalam sel makrofag dan sistem retikuloendotelial
terutama di organ hati, limpa/pankreas dan sumsum tulang.
Pemecahan eritrosit terjadi di dalam sel organ-organ tersebut
karena organ-organ tersebut mengandung enzim heme
oxygenase yang berfungsi sebagai enzim pemecah.
Eritrosit yang lisis akibat kerusakan membran, gangguan
pembentukan hemoglobin dan gangguan metabolisme ini, akan
10

dipecah menjadi globin dan heme. Globin akan disimpan


sebagai cadangan, sedang heme akan dipecah lagi menjadi
besi dan protoforfirin. Besi disimpan sebagai cadangan.
Protoforpirin akan terurai menjadi gas CO dan bilirubin. Bilirubin
dalam darah berikatan dengan albumin akan membentuk
bilirubin indirect (bilirubin I). Bilirubin indirect yang terkonjugasi
di organ hati menjadi bilirubin direct (bilirubin II). Bilirubin direct
diekresikan (disalurkan) ke empedu sehingga meningkatkan
sterkobilinogen (mempengaruhi warna feses) dan urobilinogen
(mempengaruhi warna urin/air seni).
2. Mekanisme pemecahan eritrosit intravascular
Terjadi dalam sirkulasi darah. Eritrosit yang lisis melepaskan
HB bebas ke dalam plasma. Haptoglobin dan hemopektin
mengikat HB bebas tersebut ke sistem retikuloendotelial untuk
dibersihkan. Dalam kondisi hemolisis berat, jumlah haptoglobin
dan hemopektin mengalami penurunan, akibatnya Hemoglobin
bebas beredar dalam darah (hemoglobinemia). Pemecahan
eritrosit yang berlebihan akan membuat hemoglobin dilepaskan
ke dalam plasma. Jumlah hemoglobin yang tidak terakomodasi
seluruhnya oleh sistem keseimbangan darah itulah yang
menyebabkan hemoglobinemia.
Hemoglobin juga dapat melewati glomelurus ginjal
sehingga terjadi hemoglobinuria. Hemoglobin yang terdapat di
tubulus ginjal akan diserap oleh sel-sel epitel, sedang
kandungan besi yang terdapat di dalamnya akan disimpan
dalam bentuk hemosiderin. Jika epitel ini mengalami
deskuamasi akan terjadi hemosiderinuria (hemosiderin hanyut
bersama air seni). Hemosiderinuria merupakan tanda hemolisis
intravaskular kronis. Berkurangnya jumlah eritrosit diperifer juga
11

memicu ginjal mengeluarkan eritropoetin untuk merangsang


eritropoesis di sumsum tulang. Hal ini menyebabkan terjadinya
peningkatan retikulosit (sel eritrosit muda di paksa matang)
sehingga mengakibatkan polikromasia.

4. Manifestasi Klinis
Kadang – kadang Hemolosis terjadi secara tiba- tiba dan
berat, menyebabkan krisis hemolotik, yang menyebakan krisis
hemolitik yang di tandai dengan:
a) Demam
b) Mengigil
c)  Nyeri punggung dan lambung
d) Perasaan melayang
e)  Penurunan tekana darah yang berarti
 Secara mikro dapat menunjukan tanda-tanda yang khas yaitu:
a) Perubahan metabolisme bilirubin dan urobilin yang merupakan
hasil     pemecahan eritrosit. Peningkatan zat tersebut akan dapat
terlihat pada hasil ekskresi yaitu urin dan feses.2.
b)  Hemoglobinemia : adanya hemoglobin dalam plasma yang
seharusnya tidak   ada karena hemoglobin terikat pada eritrosit.
Pemecahan eritrosit yang berlebihan akan membuat hemoglobin
dilepaskan kedalam plasma. Jumlah hemoglobin yang tidak dapat
diakomodasi seluruhnya oleh sistem keseimbangan darah akan
menyebabkan hemoglobinemia.
c) Masa hidup eritrosit memendek karena penghancuran yang
berlebih4.
d) Retikulositosis : produksi eritrosit yang meningkat sebagai
kompensasi banyaknya eritrosit yang hancur sehingga sel muda
seperti retikulosit banyak ditemukan.
12

Gejala umum pada anemia adalah nilai kadar HB <7g/dl,


sedang gejala hemolisisnya berupa ikterus (kuning) akibat
peningkatan kadar bilirubin indirect dalam darah,
pembengkakan limfa (splenomegali), pembengkakan organ hati
(hepatomegali) dan kandung batu empedu (kholelitiasis). Tanda
dan gejala lebih lanjut sangat tergantung pada penyakit yang
menyertai.

5. Pemeriksaan Diagnostik
Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat:
a) Bilirubin serum meningkat
b) Urobilinogen urin meningkat, urin kuning pekat
c) Strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam
 Gambaran peningkatan produksi eritrosit
a) Retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital
b) hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang
Gambaran rusaknya eritrosit:
a) morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom
mikrositer, target cell, sickle cell, sferosit.
b)  fragilitas osmosis, otohemolisis
c) umur eritrosit memendek. pemeriksaan terbaik dengan labeling
crom. persentasi aktifikas crom dapat dilihat dan sebanding dengan
umur eritrosit. semakin cepat penurunan aktifikas Cr maka semakin
pendek umur eritrosit
6. Penatalaksanaan
Lebih dari 200 jenis anemia hemolitik ada, dan tiap jenis
memerlukan perawatan khusus.
a) Terapi transfuse
13

b)  Hindari transfusi kecuali jika benar-benar diperlukan, tetapi mereka


mungkin penting bagi pasien dengan angina atau cardiopulmonary
terancam status.
c) Administer dikemas sel darah merah perlahan-lahan untuk
menghindari stres jantung.
d) Pada anemia hemolitik autoimun (AIHA), jenis pencocokan dan
pencocokan silang mungkin sulit. Gunakan paling tidak kompatibel
transfusi darah jika ditandai. Risiko hemolisis akut dari transfusi
darah tinggi, tetapi derajat hemolisis tergantung pada laju infus..
Perlahan-lahan memindahkan darah oleh pemberian unit setengah
dikemas sel darah merah untuk mencegah kehancuran cepat
transfusi darah.
e) Iron overload dari transfusi berulang-ulang untuk anemia kronis
(misalnya, talasemia atau kelainan sel sabit) dapat diobati dengan
terapi khelasi. Tinjauan sistematis baru-baru ini dibandingkan besi
lisan chelator deferasirox dengan lisan dan chelator deferiprone
parenteral tradisional agen, deferoxamine.

A. Asuhan Keperawatan
1. Pemeriksaan fisik
a) Data demografi
b)  Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dahulu
1) Kemungkinan klien pernah terpajan zat-zat kimia atau
mendapatkan pengobatan seperti anti kanker, analgetik dll.
2) Kemungkinan klien pernah kontak atau terpajan radiasi
dengan kadar ionisasi yang besar.
3) Kemungkinan klien kurang mengkonsumsi makanan yang
mengandung as. Folat,Fe dan Vit12.
14

4) Kemungkinan klien pernah menderita penyakit-penyakit


infeksi.
5) Kemungkinan klien pernah mengalami perdarahan hebat
Riwayat kesehatan keluarga
1) Penyakit anemia dapat disebabkan olen kelainan/kegagalan
genetik yang berasal dari orang tua yang sama-sama trait
sel sabit
Riwayat kesehatan sekarang
1) Klien terlihat keletihan dan lemah
2) Muka klien pucat dan klien mengalami palpitasi
3) Mengeluh nyeri mulut dan lidah
c) Kebutuhan dasar
1) Pola aktivitas sehari-hari
 Keletihan, malaise, kelemahan
  Kehilangan produktibitas : penurunan semangat untuk
bekerja
2) Sirkulasi
 Palpitasi, takikardia, mur mur sistolik, kulit dan membran
mukosa (konjungtiva, mulut, farink dan bibir) pucat
  Sklera : biru atau putih seperti mutiara
 Pengisian kapiler melambat atau penurunan aliran darah
keperifer dan vasokonstriksi (kompensasi).
  Kuku : mudah patah, berbentuk seperti sendok.
 Rambut kering,mudah putus,menipis dan tumbuh uban
secara prematur
3) Eliminasi
 Diare dan penurunan haluaran urin
4) Integritas ego
 Depresi, ansietas, takut dan mudah tersinggung
15

5) Makanan dan cair


 Penurunan nafsu makan
  Mual dan muntah
  Penurunan BB
 Distensi abdomen dan penurunan bising usus
 Nyeri mulut atau lidah dan kesulitan menelan
6) Higiene
 Kurang bertenaga dan penampilan tidak rapi
7) Neurosensori
 Sakit kepala, pusing, vertigo dan ketidak mampuan
berkonsentrasi.
 Penurunan penglihatan.
 Gelisah dan kelemahan
8) Nyeri atau kenyamanan
 Nyeri abdomen samar dan sakit kepala.
9) Keamanan
 Gangguan penglihatan, jatuh, demam dan infeksi
10)Seksualitas
 Perubahan aliaran menstruasi ( menoragia/amenore)
 Hilang libido
 Impoten

2. Diagnose Keperawatan
a. Perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman oksigen
b.  Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d nafsu makan
menurun, mual
16

c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan


antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan ditandai dengan
klien mengeluh tubuh lemah, lebih banyak memerlukan istirahat.
d. Risiko infeksi berhubungan dengan  tidak adekuatnya pertahanan
sekunder (penurunan hemoglobin leucopenia, atau penurunan
granulosit (respons inflamasi tertekan).
e. Resiko jatuh berhubungan dengan kelemahan atau intoleransi
aktifitas
f. Defisit perawatan diri berhubungan dengan tirah baring
3. Intervensi Keperawatan
a. Perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman oksigen
Dengan tujuan : Peningkatan perfusi jaringan dengan Kriteria hasil:
Keadaan umum. TD: 120/80 mmHg. Suhu 36,5 0 – 370 C. Jumlah
Eritrosit 5000 – 9000 sel/mm3
Intervensi Rasional
 Awasi tanda vital kaji  Memberikan informasi
pengisian kapiler, warna tentang derajat /
kulit/membrane   mukosa, keadekuatan perfusi
dasar kuku. jaringan dan membantu
 Tinggikan kepala tempat menetukan kebutuhan
tidur sesuai toleransi.  Memberikan informasi
 Awasi upaya pernapasan ; tentang
auskultasi bunyi napas derajat/keadekuatan perfusi
perhatikan jaringan dan membantu
bunyiadventisius menetukan kebutuhan
 Selidiki keluhan nyeri intervensi.
dada, palpitasi  Meningkatkan ekspansi paru
 Hindari penggunaan botol dan memaksimalkan
17

penghangat atau botol air oksigenasi untuk kebutuhan


panas, ukur suhu air seluler.
mandi dengan  Dispenia Gemericik
thermometer menununjukkan gangguan
 Kolaborasi pegawasan jajntung karena regangan
hasil jantung lama/peningkatan
kompensasi curah jantung.
 Iskemia seluler
mempengaruhi jaringan
miokardial/ potensial risiko
infark.

b.  Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d nafsu makan


menurun, mual
Tujuan kebutuhan nutrisi sesuai dengan kebutuhan tubuh dengan
criteria hasil : keadaan umum membaik. Dapat menghabiskan porsi
makanan yang di berikan. Mengalami peningkatan BB.
Intervensi Rasional
 Kaji riwayat nutrisi, termasuk  Mengidentifikasi defisiensi,
makan yang disukai. memudahkan intervensi.
 Observasi dan catat  Mengawasi masukkan kalori
masukkan makanan pasien. atau kualitas kekurangan
 Timbang berat badan setiap konsumsi makanan.
hari.  Mengawasi penurunan berat
 Berikan makan sedikit badan atau efektivitas
dengan frekuensi sering dan intervensi nutrisi.
atau makan diantara waktu
makan  Menurunkan kelemahan,
 Observasi dan catat kejadian meningkatkan pemasukkan
18

mual/muntah, flatus dan dan dan mencegah distensi


gejala lain yang gaster.
berhubungan.
 Kolaborasi pada ahli gizi  Gejala GI dapat menunjukkan
untuk rencana diet. efek anemia (hipoksia) pada
organ.
 Meningkatakan efektivitas
program pengobatan,
termasuk sumber diet nutrisi
yang dibutuhkan.

Tapi sebenarnya defenisi dari beberapa referensi diatas sama


yakni  karena terbentuknya autoantibody oleh eritrosit sendiri
dan akhirnya menimbulkan hemolisis. Hemolisis yakni
pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya.
Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi
sebagian  besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik).
Kadang-kadang tubuh mengalami  gangguan fungsi dan
menghancurkan selnya sendiri karena keliru mengenalinya
sebagai bahan asing (reaksi autoimun), jika suatu reaksi
autoimun ditujukan  kepada sel darah merah, akan terjadi
anemia hemolitik autoimun

Proses pembentukan autoantibodi yang menyebabkan


terjadinya AIHA melibatkan peran yang besar dari sel limfosit
B (Sel B). Sel B berasal dari prekursor stem-cell
hematopoetik pada sumsum tulang yang berkembang
menjadi sel pro B, sel pre B, sel B imatur, dan sel B matur.
Sel B matur kemudian meninggalkan sumsum tulang dengan
19

antigen spesifik reseptor sel B (BCR) pada permukaannya.


Sel B mengalami pematangan dalam dua tahap, fase
pertama pematangan sel B bersifat independent-antigen.
Sedangkan fase kedua bersifat dependent-antigen, yaitu jika
BCR pada sel B matur bertemu dengan antigen yang sesuai,
sel B akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang memproduksi imunoglobulin berupa IgM, IgG
dan isotope Ig lain (seperti IgG1, IgG2), atau menjadi sel B
memori yang berumur panjang.8,9
Selain berperan pasif dalam memproduksi antibodi sel
B juga berperan sebagai APC yang efisien, mengaktivasi sel
T, memediasi kerusakan akibat otoimun yang independen
terhadap antibodi, serta melepaskan molekul kostimulator
dan sitokin (TNF-α, IL-4 dan 10).9,10
Sel limfosit B memiliki berbagai antigen pada
permukaannya yang dapat digunakan sebagai penanda
berbagai tingkat diferensiasinya dan
20

mengklasifikasikannya. Pada tahun 1980, Stashenko dkk.


memperkenalkan antigen permukaan yang spesifik pada sel
B yang saat ini dikenal sebagai CD20. Dengan pengecualian
terhadap sel plasma, molekul CD20 terdapat pada
permukaan semua sel B setelah bentuk sel pro B. 11
Molekul CD20 adalah molekul permukaan sel
tetraspan dengan berat molekul sekitar 33-37 kDa dengan
bentuk setengah lingkaran ekstraseluler terdiri dari 44 asam
amino. Ekspresinya dibatasi pada sel-B dari tahap pra-sel B
sampai akhir dalam diferensiasi. Sebagian besar sel plasma
adalah CD20 negatif, meskipun sel ini dapat didorong untuk
mengekspresikan CD20 oleh kultur dengan interferon-γ.12,13
Molekul CD20 merupakan target efektif dalam
imunoterapi. Hal ini dikarenakan molekul CD20 sangat
diekspresikan pada permukaan sel B (sekitar
100.000 molekul/sel). Selain itu molekul CD20 tidak rusak,
tidak mengalami internalisasi, dan umumnya tidak larut,
dalam respon mengikat antibodi.13,14
Dari berbagai penelitian didapatkan peningkatan
jumlah limfosit B CD20 pada pasien AIHA maupun pada
penyakit otoimun lainnya. Suatu kasus AIHA dengan
autoantibodi IgM yang reaktif pada suhu hangat didapatkan
kadar limfosit B CD20 yang meningkat hingga 34%. 15
Penelitian lain yang dilakukan oleh Barcellini W dkk (2012)
mendapatkan nilai median dari limfosit B CD20 pada
penderita AIHA adalah 180 sel/uL (range 90-490).16
Pada penelitiannya terhadap pasien CAD, Berentsen
melakukan pemeriksaan limfosit B CD20 pada sumsum
21

tulang penderita, dan mendapatkan persentase CD20


sebanyak 24%. Sedangkan kadar IgM serum didapatkan
median 5,2 g/L.17 Mustofa dkk (2010) juga mendapatkan
peningkatan limfosit B CD20 pada suatu penyakit otoimun
yaitu penderita arthritis rheumatoid, tetapi pada penelitian ini
tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada berbagai
derajat penyakit dan kelompok kontrol.18
Aktivasi sel B diawali dengan pengenalan spesifik oleh
reseptor permukaan. Antigen dan perangsang lain termasuk
Th merangsang proliferasi dan diferensiasi klon sel B
spesifik. Atas pengaruh antigen dan sel T, sel B berproliferasi
dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mampu
membentuk dan melepas Ig dengan spesifisitas yang sama
seperti reseptor yang ada pada permukaan sel prekursornya.
Biasanya sel B akan dirangsang menjadi sel plasma yang
membentuk antibodi atas pengaruh antigen yang sel T
dependen, tetapi sel B dapat pula membentuk antibodi atas
rangsangan antigen tanpa bantuan sel T (T independen).
Semua sel B hanya dapat memiliki satu jenis molekul Ig saja
pada permukaannya, hanya IgM, IgG dan sebagainya.8
Autoantibodi yang tedapat pada AIHA tipe hangat
sebagian besar merupkan IgG sedangkan pada AIHA tipe
dingin sebagian besar merupakan IgM. Das SS dkk (2009)
pada penelitiannya mendapatkan 72,1% pasien AIHA
memiliki autoantibodi IgG. Selain itu juga didapatkan eritrosit
yang diselubungi dengan imunoglobulin/komplemen yang
multipel dan IgG sub klas IgG1 dan/atau IgG3 memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami hemolisis. 19
Chaudhary dkk (2009) melakukan suatu penelitian
22

untuk melihat korelasi antara kuantitas imunoglobulin G (IgG)


pada eluasi dengan reaktivitas tes antiglobulin (direct
antiglobulin test/DAT) pada AIHA tipe hangat. Hasilnya
didapatkan korelasi yang signifikan antara konsentrasi IgG
pada eluasi dengankekuatan DAT, kadar Hb, bilirubin serum,
dan LDH serum. Jumlah molekul IgG per eritrosit juga
berkorelasi secara signifikan dengan kekuatan DAT. 20
Hingga saat ini pengobatan lini pertama untuk AIHA
tipe hangat adalah dengan menggunakan kortikosteroids
dengan dosis inisial 1 mg/kgBB/hari prednison oral atau metil
prednisolon intra vena. Sekitar 60-70 % pasien AIHA tipe
hangat mencapai respon komplit atau respon parsial dengan
prednison pada awal pengobatan. Namun, sebagian besar
pasien memerlukan dosis pemeliharaan steroid untuk
mempertahankan kadar hemoglobin yang diharapkan (Hb 9-
10 g/dL). Pada suatu penelitian dilaporkan hanya sepertiga
pasien tetap dalam remisi dalam jangka waktu yang panjang
saat pemberian kortikosteroid dihentikan, dan lebih dari 50%
membutuhkan dosis pemeliharaan.1,2,3
Secara umum belum ada angka yang pasti berapa
banyak pasien akan tetap dalam remisi setelah penghentian
steroid dan mungkin disembuhkan, tetapi diperkirakan bahwa
hal ini terjadi pada kurang dari 20% dari pasien. 3
Pada AIHA tipe dingin penggunaan kortikosteroid tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Berentsen dkk (2006)
melaporkan respon yang sangat rendah terhadap pemberian
kortikosteroid pada pasien cold agglutinin disease (CAD)
pemberian steroid hanya memberikan respon 14%. 17 Pada
cold hemoglobinuria disease (CHD), kortikosteroid hanya
23

efektif pada 1 dari 6 pasien, dan terapi lainnya (seperti


alkylating agents, IFN-γ, dan dosis rendah cladiribin) hanya
memiliki efikasi yang rendah.21
Permasalahan lain dalam penggunaan kortikosteroid
adalah sering didapatkan efek samping yang tidak dapat
ditolerir oleh pasien, walaupun tidak terdapat data
tentang efek samping pemberian kortikosteroid ini.
Pemberian kortikosteoid jangka panjang ini, walaupun hanya
dalam dosis kecil, sangat berpotensi menimbulkan efek
samping yang membahayakan.3
Terapi lini kedua dengan obat sitotoksik dan
imunosupresan seperti azathioprin, siklofosfamid, dan
siklosporin dilaporkan memberikan respon 40%-60%, tetapi
penggunaannya sangat berhubungan dengan efek samping
yang serius, dan efektifitas dari pilihan lain seperti
imunoglobulin, plasmapharesis, dan danazol masih
kontroversial.21
Penelitian yang saat ini dikembangkan adalah
penggunaan rituximab untuk terapi lini kedua AIHA. 1,2,3 Obat
ini pertama kali dikembangkan untuk pengobatan keganasan
hematologi dan diindikasikan untuk limfoma non-Hodgkin
baik tipe lambat maupun agresif dan leukemia limfositik
kronis. Penggunaan rituximab, antibodi anti-CD20, dalam
beberapa tahun terakhir telah dikembangkan dalam
pengobatan berbagai penyakit otoimun. Rituximab
ditargetkan kepada limfosit B CD20 yang dengan cepat
menghilangkan sel B dari darah, kelenjar getah bening dan
sumsum tulang. Alasan utama untuk mencoba terapi ini pada
berbagai penyakit otoimun adalah untuk menekan
24

pembentukan autoantibodi.12,22,23
Dari berbagai laporan tentang penggunaan rituximab
dalam penatalaksanaan AIHA telah dilakukan, sebagian
besar data penggunaan rituximab hanya berupa laporan
kasus dan kelompok kasus, belum dilakukan suatu penelitan
dengan jumlah sampel yang besar dan jangka waktu yang
lama.
Selain itu bagaimana korelasi antara sel B CD20
dengan imunoglobulin anteritrosit belum diketahui secara
jelas. Berdasarkan kondisi itulah dirasakan perluuntuk
mengetahui korelasi jumlah sel limfosit B (CD20) dengan
imunoglobulin antieritrosit pada penderita AIHA yang
diharapkan dapat menjadi tambahan literatur dalam
penggunaan antibodi monoklonal anti CD20 (rituximab)
dalam penatalaksanaan AIHA.
Penyakit anemia hemolitik otoimun dapat terjadi primer
(idiopatik), maupun sekunder, akibat penyakit otoimun lain
seperti SLE, penyakit infeksi, dan penyakit malignansi seperti
CLL. Antigen asing ataupun autoantigen dari eritrosit akan
dikenali oleh sel B dan APC lainnya yaitu makrofag, monosit,
dan sel dendritik. APC akan akan memicu aktivasi dan
diferensiasi sel T menjadi sel Th, Tc atau Treg. Sel Th akan
membentuk sitokin yang akan merangsang proliferasi sel B.
Atas pengaruh sel limfosit T, sel limfosit B berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang membentuk dan
melepas imunoglobulin atau antibodi antieritrosit. Proses
proliferasi dan diferensiasi ini terjadi pada darah perifer,
kelenjar limfe dan sumsum tulang Antibodi yang terbentuk
kemudian akan berikatan dengan antigen yang terdapat pada
25

permukaan eritrosit. Terdapatnya antibodi antieritrosit pada


permukaan eritrosit ini ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan
direct Coombs test (DCT) yang positif. Selanjutnya
autoantibodi yang berikatan dengan antigen pada permukaan
eritrosit ini akan menginisiasi penghancuran eritrosit melalui
sistem retikuloendotelial (RES) dan sistem komplemen.
Adanya penghancuran eritrosit ini ditandai dengan
terdapatnya penurunan kadar hemoglobin dan peningkatan
persentase retikulosit. Kondisi inilah yang akan
menyebabkan suatu keadaan anemia hemolisis otoimun
((AIHA). APC=Antigen presenting cell; Th=T helper, Tc=T
cytotoxic; Treg=T regulatory

B. Kaitan Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) Dengan cross


matching
Uji cocok serasi Uji cocok serasi adalah reaksi silang invitro
antara darah pasien yang akan ditransfusi dengan darah
donornya yang akan ditransfusikan . Reaksi ini dimaksudkan
untuk mengetahui apakah nantinya sel darah donor yang akan
ditransfusikan bisa hidup di dalam tubuh pasien dan untuk
mengetahui ada tidaknya antibodi komplit ( tipe IgM ) maupun
antibody incomplit ( tipe IgG ) dalam serum pasien ( mayor )
maupun dalam serum donor yang melawan pasien ( minor )
sehingga akan memperberat anemia, disamping adanya reaksi
hemolitik transfusi yang bisa membahayakan pasien ( Pelatihan
Analis Bank Darah, 1998 ) 1. Metode Pemeriksaan uji cocok
serasi (cross matching) dengan Gel Test a) Terbentuk aglutinasi
sel berupa garis merah pada permukaan gel atau aglutinasi
menyebar di dalam gel dikatakan positif . 15 b) Terbentuk garis
26

yang kompak (padat) pada dasar microtube dikatakan negatif. 2.


Prinsip uji cocok serasi ( cross matching ) 1234567Uji cocok
serasi yang dijalankan adalah suatu test invitro yaitu
mereaksikan darah pasien dengan darah donor melalui proses
yang dibagi menjadi 2 : a) Mayor cross matching ( uji cocok
serasi mayor ) 1234567Mereaksikan serum pasien terhadap sel
donor, untuk mencari apakah ada antibodi irregular yang
melawan sel donor. ( Pelatihan Analis Bank Darah, 1998 ) b)
Minor cross matching ( uji cocok serasi minor )
1234567Mereakasikan serum donor terhadap sel pasien, untuk
mencari apakah ada irregular antibodi di dalam serum donor
yang melawan sel pasien. 3. Tujuan Uji cocok serasi adalah: a)
Mencegah terjadinya reaksi hemolotik transfusi pada pasien yang
ditransfusi. b) Supaya darah yang ditransfusikan itu benar-benar
ada manfaatnya bagi kesembuhan pasien. 4. Interprestasi hasil
uji cocok serasi ada 2 yaitu: 16 a) Hasil uji cocok serasi
kompatibel artinya bahwa hasil tersebut cocok, atau tidak
terdapat aglutinasi antara darah pasien dengan darah donor baik
mayor maupun minor. b) Hasil uji cocok serasi inkompatibel
artinya bahwa hasil tersebut tidak cocok atau terdapat aglutinasi
baik mayor dan atau minor. 1234567Darah yang dilakukan uji
cocock serasi juga harus sesuai dengan golongan ABO dan
Rhesus darah pasien dan semestinya harus diperiksa terlebih
dahulu sebelumnaya.( Pelatihan Analis Bank Darah,
27

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia
/AIHA) merupakan salah satu penyakit otoimun di bagian
hematologi. AIHA tergolong penyakit yang jarang, akan tetapi
merupakan penyakit yang penting karena berpotensi untuk
menjadi suatu sindrom yang berat dan dapat menimbulkan
kematian dalam waktu yang singkat

B. Saran
Dalam penanganan suatu penyakit memerlukan kehati-hatian
dalam mengagnosi

29
28

DAFTAR PUSTAKA

Berentsen dkk (2006) melaporkan respon yang sangat rendah terhadap


pemberian kortikosteroid pada pasien cold agglutinin disease (CAD)

Dian Lestari Effendi. 2018. Laporan Autoimmune Hemolytic Abenia (AIHA)

Handayani Wiwik dan Andi Sulistyo. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien


dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta : Salemba Medika

Lanfredini, 2007. Autoimmune hemolytic anemia (AIHA)

Nikena. 2017. Pemeriksaan dengan crossmatcing

Price, Sylvia. 2010. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.


Jakarta : EGC

Smeltzer, Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &


Suddarth. Edisi 8. Jakarta, EGC.

Stashenko dkk.1980 antigen permukaan yang spesifik pada sel B yang saat
ini dikenal sebagai CD20.

Anda mungkin juga menyukai