Anda di halaman 1dari 7

MATERI PERKULIAHAN PERTEMUAN KE-16

Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar


Kode : FBS1.60.1102
SKS : 2
Dosen Pengampu : Nursaid
Materi Pokok : Manusia dan Harapan
No Ponsel/WA : 085263003365 (Hanya diperbolehkan SMS)
WA: 082169216931
Email : nursaid.poerba@gmail.com, enespoerba18@gmail.com

A. Renungan Filantropis
Materi perkuliahan kita yang terakhir adalah tentang harapan. Yah, harapan
yang merupakan kunci utama bagi kita untuk selalu tabah dan sabar, selalu
memperbaharui diri, selalu bersemangat, dan selalu menunduk untuk tidak
menyombongkan diri.
Mungkin kita masih ingat kata-kata guru Biologi bahwa salah satu ciri
makhluk hidup adalah berkembang, atau dalam pengungkapan yang sederhana:
bergerak. Cermatilah makhluk hidup di sekitar kita, tarmasuk manusia. Ternyata
memang makhluk hidup yang kasat mata itu selalu bergerak diselingi dengan diam,
mungkin beristirahat. Tetapi apakah motif yang menggerakan makhluk hidup
nonmanusia dengan manusia itu sama? Tentu tidak. Makhluk hidup nonmanusia
bergerak secara instingtif atau vegetatif bagi tumbuh-tumbuhan. Sementara itu,
manusia bergerak karena insting, naluri, pikiran, dan perasaannya. Salah satu faktor
yang menggerakkan manusia adalah adanya harapan.
Harapan merupakan suatu keinginan tentang suatu hal supaya terjadi atau
tentang suatu hal sesuatu hal supaya terwujud dan didapatkan. Harapan berhubungan
dengan sesuatu hal yang selama ini belum didapatkan dan diinginkan pada kemudian
hari didapatkan. Harapan adalah idealisme seseorang di luar realita yang dihadapinya.
Harapan dapat berupa konsep ideal karena ketidakpuasan terhadap realita.
Sejalan dengan hararapan adalah angan-angan, keinginan, dan cita-cita. Per-
bedaannya hanyalah dari sudut sikap memandang idealisme dan cara mewu-
judkannya. Angan-angan merupakan sesuatu yang masih mengambang dan belum
terarah, sedangkan cita-cita merupakan sesuatu yang memberikan gambaran yang
jelas tentang apa yang kita inginkan. Pada cita-cita, telah terdapat langkah-langkah
yang harus diusahakan untuk mendapatkan keinginan itu, sedangkan pada angan-

1
2

anagn belum ada dan bahkan masih kabur dan samar langkah-langkah yang harus
ditempuh. Sehubungan dengan itu, dalam konteks budaya dasar, maka angan-angan
bersifat negatif sedangkan cita-cita bersifat posistif.

B. Hakikat Harapan, Angan-angan, Pikiran, dan Cita-cita


Setiap manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari harapan, baik yang berupa
angan-angan maupun yang berupa cita-cita. Oleh sebab itu, sebagai makhluk yang
memiliki pikiran tentulah sebaiknya manusia itu mempunyai harapan yang berupa
cita-cita dan menghindarkan yang berupa angan-angan. Angan-angan tidak dapat
dihilangkan dalam diri manusia, namun dapat dibelokkan dan dialihkan menjadi cita-
cita.
Tentang angan-angan dan cita-cita ini, Armin Pane menjelaskan pendapatnya
melalui dialog Hartono dan Sukartono dalam novel Belenggu. Hartono mengatakan
bahwa: “Semua manusia, demikian juga sebagai dibelenggu oleh angan-angan,
masing-masing oleh angannya sendiri-sendiri. Belenggu itu berangsur-angsur
mengikat dan menghimpit semangat, pikiran, dan jiwa, makin lama makin keras,
sebagai orang rantai yang dibelenggu kaki dan tangannya, kedua belahnya, sedang
lehernya kena kongkong pula”. Ucapan Hartono ini dijawab oleh Sukartono dengan:
“Memang benar demikian, yaitu kalau kita biarkan kita dibelenggu, tetapi kalau kita
pada mulanya benar sudah memasang segala tenaga kita, kalau kita terus bersikeras
untuk melepaskan belenggu itu, kalau kita pakai segaala alat yang mungkin diperoleh
pasti kita akan terlepas juga dari ikatan belenggu itu. Lagipula angan-angan tidak jauh
dari cita-cita, angan-angan dapat menjadi cita-cita yang menggembirakan hati dan
menghidupkan jiwa, mengangkat diri melepaskan segala belenggu yang mengikat
semangat yang muda. Cuma cita-cita yang baru saja dapat membawa kehidupan baru.
Angan-angan yang hidup menjadi cita-cita dan cita-cita menghidupkan manusia,
membuat dia bernyawa dan bergerak” (Pane,1977:117).
Perbedaan angan-angan dan cita-cita bertolak dari kenyataan bahwa manusia
mempunyai perasaan dan pikiran. Perasaan mendasari angan-angan dan pikiran
mendasari cita-cita. Keinginan manusia yang muncul dari kemauan perasaan, akan
melihat sesuatu yang ingin didapatkan diwujudkan itu tidak jelas dan mengambang,
karena perjalanan perasaan tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu angan-angan
tidak dapat dirumuskan langkah-langkahnya, sebab proses perasaan dalam diri
manusia tidaklah sistematis. Perasaan bergerak tanpa memperhitungkan faktor-faktor
3

hambatan. Maka angan-angan yang bersumber dari perasaan tidaklah daapt


diwujudkan atau direalisasikan. Keinginan yang tidak dapat direalisasikan akan tetap
jadi bumerang dalam diri manusia.
Berbeda dengan keinginan manusia yang muncul dari kemauan pikiran,
keinginan tersebut diyakini dapat direalisasikan karena pikiran memprosesnya dengan
sistematis. Melalui pikiran, dapat dirumuskan langkah-langkah apa yang harus di-
lakukan, pikiran dapat memperhitungkan hambatan-hambatan dan sekaligus meng-
usahakan jalan keluarnya. Oleh sebab itu, cita-cita yang bersumber dari penjelajahan
pikiran mungkin dan dapat terealisasikan. Oleh sebab itu, cita-cita diperlukan pada
setiap manusia sebagai pertanda bahwa pikirannya masih berproses dan mampu me-
ngendalikan perasaan. Cita-cita, dengan demikian, merupakan sumber kreativitas
manusia. Tanpa cita-cita, manusia tidaklah akan berusaha dan mengerahkan segenap
daya upayanya. Cita-cita merupakan pertanda bahwa manusia itu masih hidup.
Namun demikian, bukan berarti pula angan-angan tidak penting, angan-angan
penting dalam arti sebagai sumber cita-cita. Cita-cita tumbuh dan berkembang dari
angan-angan, persis bahwa tindakan manusia selalu dirangsang oleh perasaannya,
yang kemudian diarahkan oleh pikirannya. Refkleksi pertama tetap dari perasaan
sedangkan pikiran berupa alat kontrolnya. Perasaan dan pikiran merupakan
rangsangan yang saling menunjang dalam diri manusia, angan-angan dan cita-cita
juga merupakan pasangan yang saling menunjang. Dalam hal ini yang penting adalah
bagaimana supaya semua angan-angan itu berkembang menjadi cita-cita, inilah tugas
manusia yang diberi akal.
Harapan yang berupa cita-cita merupakan landasan dan pangkal tolak
kehidupan manusia yang ideal. Dengan cita-citanya itu manusia merumuskan tujuan
hidupnya, memikirkan cara kehidupan yang layak bagi dirinya, mengoreksi
kelemahan-kelemahan dan kekurangannya di masa lalu, menetapkan tindakan-
tindakan yang tidak pantas dilakukannya lagi. Cita-cita menjadikan manusia dapat
berasumsi tentang kebenaran dan kebaikan, sekurang-kurangnya untuk dirinya
sendiri. Dengan demikian cita-cita merupakan konsep sikap manusia dalam menjalani
kehidupannya.
Setiap manusia mempunyai cita-cita dan cita-cita itu berbeda antara manusia
yang satu dengan manusia yang lain. Setiap masyarakat mempunyai cita-cita, dan
cita-cita sekelompok masyarakat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal
ini tergantung terhadap konsep sikap hidup manusia dan kelompok masyarakat itu.
4

Perbedaan konsep sikap ini tergantung kepada latar belakang yang membentuk
manusia itu. Akan berbeda sikap hidup manusia yang berpendidikan dengan yang
tidak, berbeda pula antara orang tua dengan anak-anak dan pemuda, berbeda antara
pria dan wanita, berbeda antara orang desa dengan orang kota, berbeda antara
masyarakat sekarang dengan masyarakat sebelumnya, semuanya itu tergantung
kepada faktor-faktor yang melatarbelakangi kehidupan manusia itu sendiri. Perbedaan
sikap hidup manusia itu membawa perbedaan pula terhadap harapan-harapannya,
angan-angannya dan cita-citanya.
Taufik Abdullah, berdasarkan hasil penelitiannya, telah memberikan konklusi
tentang harapan orang Minangkabau masa kini. Ia mengatakan bahwa hasrat orang
tua dan keinginan para remaja Minangkabau yang sangat dominan adalah
mendapatkan pendidikan yang setinggi mungkin. Dengan pendidikan yang baik, kerja
yang baik pun lebih dimungkinkan untuk tercapai, terutama tidaklah untuk mencari
kaya, tetapi status sosial dan manusia yang berguna (Abdullah,1983:7). Beberapa
perbedaan cita-cita masyarakat Minangkabau ini dapat dibandingkan dengan
perbedaannya dengan masa sebelumnya. Cita-cita akhir masih tetap sama, yaitu status
sosial dan manusia yang berguna. Namun pada langkah-langkahnya atau cita-cita
pembatas telah terdapat perbedaan. Dulu, status sosial bukanlah ditentukan oleh ke-
tinggian pangkat dan ketinggian pendidikan, tetapi oleh keturunan dan lingkungan
keluarganya. Sebagai contoh, dulu orang mencari menantu akan bertanya „anak sia
tu? Apo sukunyo?‟ tetapi sekarang yang ditanyakan adalah „apo karajonyo?‟ atau ka-
lau belum bekerja yang ditanyakan „di ma sikola?‟. Kenyataan ini telah meperli-
hatkan bahwa keturunan Sidi, Bagindo dan Sutan, saat ini tidak lagi terlalu
dipentingkan, yang dipentingkan ialah titel kesarjanaan dan instansi atau tempat
bekerjanya.
Kenyataan seperti itu menjelaskan kepada kita bahwa cita-cita manusia itu
dapat berubah, tergantung pada faktor-faktor yang melatarbelakangi perkembangan
kehidupan manusia itu. Faktor yang melatarbelakangi itu adalah berupa kenyataan-
kenyataan hidup manusia di masa lalu dan masa kini. Berdasarkan kenyataan itulah,
dirumuskan cita-cita sebagai sesuatu hal yang hendak dicapai pada kemudian hari.
Berdayev mengatakan bahwa kesejarahan itu mengandung dua unsur yaitu destruktif
serta kreatif. Unsur yang pertama mengikat manusia pada sesuatu yang telah lampau
dan manusia tak berdaya untuk mengubahnya lagi. Unsur kedua justru membuka
kesempatan bagi manusia untuk mewujudkan cita-citanya serta bertindak secara
5

kreatif. Apa yang dirasakan sebagai hutang dalam masa lampaunya, haruslah dihayati
sebagai tugasnya untuk masa depannya (Hassan,1973:66).

C. Usaha Mewujudkan Harapan, Angan-angan, Pikiran, dan Cita-cita


Cita-cita haruslah diusahakan dengan penuh kesadaran, dan setiap usaha me-
nuntut kesediaan untuk bersusah payah. Tidak mungkin sesuatu itu didapatkan de-
ngan usaha yang tidak serius. Usaha yang serius menuntut kesediaan untuk bersusah
payah, merangkak setahap demi setahap, biar merangkak asal pasti langkahnya ke
depan. Dalam hal ini, diperlukan ketabahan, karena orang yang tabahlah yang dapat
mencapai cita-citanya. Tanpa usaha dan tanpa kesediaan bersusah payah menghadapi
tantangan serta ketabahan, cita-cita itu tidaklah lebih dari sekedar angan-angan.
Sebagai angan-angan, tidaklah mungkin sesuatu yang diharapkan itu menjadi
kenyataan, jika pun datang kenyataan itu hanya dalam mimpi. Sehubungan dengan
ini, jika benar pendapat sinis Mochtar Lubis yang mengatakan bahwa: “Generasi
muda, semuanya pada mau seketika jadi kaya, berpangkat, jadi wartawan ulung, jadi
pengarang kelas satu, jadi pelukis terkenal, jadi jago ini dan jago itu, tanpa harus
bersusah payah, menderita dahulu puluhan tahun sebelum mencapai sukses”
(Lubis,1978:42), maka tentulah generasi muda masa kini itu hanya sekedar berangan-
angan dan bermimpi di siang bolong. Hal ini perlu dihindarkan.
Cita-cita harus diperjuangkan dan direbut, tidak cukup hanya dengan penantian
pemberian dari pihak lain. Tentang perjuangan cita-cita ini, Sori Siregar melalui
ucapan tokoh Daud dalam novel Telepon mengatakan hal berikut ini.
“Semua harus dicapai dengan perjuangan. Dan tidak semua pejuanagan
itu, berakhir dengan sesuatu yang kita harapkan. Bisa saja kita menemui akhir
perjalanan yang sangat menakutkan dan sama sekali tidak memberikan
harapan. Ketika itulah kita bisanya menilai kembali, siapa diri kita ini
sebenarnya. Apakah kehadiran kita memang dibutuhkan disini, ataukah kita
hanya sampah yang tidak seharusnya menumpuk dan menyesakkan udara yang
memang sudah sesak itu. Dapat pula perjuangan kita berakhir dengan
gemilang, melebihi apa yang kita harapkan. Segala kemungkinan tersedia di
sini dan kita baru mengetahui dalam kemungkinan mana kita ditempatkan,
setelah kita menempuh perjuangan itu. Persaingan di sini harus dilihat dalam
konotasi yang baik. Bahwa manusia harus memiliki yang terbaik dari dirinya.
Bahwa dengan yang dimiliknya itu ia harus siap pula untuk berhadapan dengan
orang lain yang akan menyingkirkannya, dengan yang terbaik yang dimiliknya
pula” (Siregar,1982:37).

Perjuangan sebagaimana dikemukakan Sori Siregar mempunyai alternatif:


berhasil atau tidak berhasil. Keberhasilan merupakan sumber kebahagiaan. Ketidak-
6

berhasilan dapat berakibat frustrasi dan melumpuhkan semangat pada masa-masa


mendatang, serta hilangnya harapan-harapan untuk selanjutnya. Maka, dalam per-
juangan, diperlukan kesadaran akan dua alternatif ini. Kesadaran sejak semula diper-
lukan agar setelah menemukan ketidakberhasilan tidak putus asa, tetapi melihat
ketidakberhasilan sebagai bukti bahwa perhitungan dalam perjuangan yang ditempuh-
nya sebelumnya keliru. Hal ini sebagai bahan pelajaran agar tidak terulang kembali
kesalahan-kesalahan yang sama.
Dalam perjuangan, di samping diperlukan kesadaran tentang akibat dari perju-
angan itu, diperlukan pula suatu keberanian dalam menjalankan perjuangan tersebut.
Keberanian diperlukan untuk tidak bimbang karena membayangkan perjuangan yang
belum tentu berhasil. Keberanian merupakan realisasi atas keyakinan yang dimiliki
dalam melanjutkan perjuangan yang telah dipilih. Nietzsche mengatakan tentang sya-
rat keberanian yang diperlukan, yaitu bahwa keberanian yang sejati itu tidak mem-
butuhkan kesaksian siapa pun, tidak orang lain, tidak juga Tuhan. Keberanian yang
sejati hanyalah menjelma sebagai gairah yang hebat untuk hidup dan kehendak
yang kuat untuk lebih menjulangkan diri (Hassan,1973:47). Keberanian, bagi
Nietzsche di atas, adalah dalam bentuk percaya kepada diri sendiri tanpa mengha-
rapkan sokongan dari pihak lain. Selanjutnya, dari pendapat Nietzsche, juga
terlihat bahwa keberanian merupakan syarat mutlak dalam melanjutkan hidup.
Dengan kata lain, perjuangan itu dilakukan sendiri karena itu diperlukan keberanian
yang bersangkutan.
Keberanian dalam perjuangan mencapai cita-cita memang diperlukan, tetapi
dalam batas kontrol kesadaran bahwa perjuangan yang dilandasi oleh keberanian
semata menjadikan manusia itu seorang yang ambisius. Dalam hal ini, perlulah
dipertimbangkan ucapan Fuyoko Ciang yang mengatakan: “Dengarlah, bila saya
bernyala-nyala dalam gairah untuk hidup, saya tahu, saya akan hangus terbakar oleh
api hidup yang penuh emosi dan sukses menggenggam dunia. Keinginan saya hanya
sederhana, kebaikan, kejujuran yang murni” (Djamin,1976:222).
Setiap manusia punya harapan dan harus berusaha memperjuangkannya.
Namun, harapan harus dapat disesuaikan dengan kemampuan dan kenyataan potensi
diri sendiri. Hanya harapan yang demikianlah yang dapat memberikan manfaat bagi
hidup dan kehidupan manusia, harapan yang memberikan keseimbangan dan keman-
tapan diri sendiri.
7

D. Renungan Budaya
Jika hidup manusia digerakkan oleh harapan, konsekuensi sebaliknya adalah
harapan mungkin akan menghentikan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, kita harus
mampu memilah-milah dan merumuskan harapan yang mana yang mampu meng-
gerakkan kehidupan manusia dan yang mana yang menghentikan gerak kehidupan
manusia. Dalam cuplikan lagu Dust in The Wind ada ungkapan, “Oh, we are just dust
in the wind”, kita, manusia, pada kenyataannya hanya serpihan debu yang
diterbangkan angin. Oleh sebab itu, kurang bijaksana jika manusia menggantungkan
angan-angan yang sekiranya tidak mungkin tercapai. Artinya, manusia harus realistis.
Di satu sisi, kita temukan sekelompok kata, yaitu: harapan, angan-angan,
keinginan, dan cita-cita. Di kelompok lain, kita jumpai juga sekelompok kata yaitu:
gerak, perjuangan, kemandirian, gairah, pikiran yang sistematis, kebaikan, dan
kejujuran. Coba Sdr. tulis dan ungkapkan harapan Sdr. berkaitan dengan kehidupan
masa mendatang selaku pribadi (individu). Kaitkan pengungkapan Sdr. dengan
menggunakan kata-kata gerak, perjuangan, kemandirian, gairah, pikiran yang
sistematis, kebaikan, dan kejujuran.

Anda mungkin juga menyukai