Anda di halaman 1dari 12

DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW• VOL. 3 NO.

1 OKTOBER 2018

DASAR-DASAR PERUMUSAN HUKUM ISLAM


(Analisis Metodologis terhadap Perumusan Maqasid al-Shari’ah al-Shatibi)

Muhyidin, S.Ag, M.Ag, M.H & Triyono


Dosen Fakulktas Hukum Undip
Email : arfi27@gmail.com

ABSTRAKSI

Konsepsi Syatibi tentang maqasid al-syari’ah (tujuan hukum Islam) mempunyai keistimewaan
dan keunikan tersendiri yang membuatnya berbeda dengan para pendahulunya. Syatibi
melihat, pada satu sisi adanya keterpaduan dan kesatuan kehendak Tuhan dalam
menciptakan alam semesta. Konsep ini melahirkan suatu pandangan tentang kesatuan
syari’ah yang berarti bahwa semua hukum berasal dari satu sumber yang oleh karena itu
mustahil berbeda.Konsep kemaslahatan ini menuntut adanya pertimbagan maslahah dan
mafsadah. Pertimbangan ini mengimplikasikan hubungan yang sangat signifikan antara
hukum syari’ah dengan kondisi umat manusia. Hubungan ini pada gilirannya menimbulkan
adannya aturan-aturan hukum yang beragam dan berbeda.

Kata kunci: Syatibi, Maqashid al-Syari’ah, kemaslahatan, aturan hukum

ABSTRACT

Syatibi's conception of maqasid al-syari'ah (the purpose of Islamic law) has its own features and
uniqueness that make it different from its predecessors. Syatibi saw, on the one hand, the integration
and unity of God's will in creating the universe. This concept gave birth to a view of shari'ah unity
which means that all laws originate from a single source which is therefore impossible to differ. This
concept of well-being demands the existence of considerations of maslahah and mafsadah. This
consideration implies a very significant relationship between shari'ah law and the condition of
mankind. This relationship in turn raises the existence of diverse and different legal rules.

Keywords: Syatibi, Maqashid al-Shari'ah, benefit, rule of law

A. LATAR BELAKANG MASALAH sehingga tidak ada satupun peristiwa tanpa


Shahratsani menyatakan bahwa ijtihad.1
peristiwa yang dihadapi manusia tidak Mungkinkah tantangan-tantangan
dapat dihitung dan tak terhingga, maka baru yang tak terbatas dan terus-menerus
tidak masuk akal bila dalam setiap berubah dihadapi dengan konsepsi shari’ah
peristiwa telah tersedia keterangan (nash ) (hukum islam) yang tetap da tak berubah?
yang tegas. Dan jika keterangan itu terbatas Jawaban atas pertanyaan ini antara lain
sedangkan peristiwanya tidak terbatas, atau diberikan oleh Sayyid Qutb sebagai
jika yang tak terbatas tidak dapat
ditetapkan oleh yang terbatas dapatlah 1
dipastikan bahwa ijtihad harus diterima, Shahratsani, al-Milal wa al-Mihlm., Bairut;Dar al-
Fikr, t.t., hlm. 200.

354
DASAR-DASAR PERUMUSAN HUKUM ISLAM
(Analisis Metodologis terhadap Perumusan Maqasid al-Shari’ah al-Shatibi)

berikut. Rincian dan penerapan shari’ah memberikan zakat kepada muallaf3 yang
yang dibutuhkan manusia untuk secara tegas ditetapkan oleh al-Qur’an
menampung kebutuhan-kebutuhan Surat al-Taubah ayat 60 karena ia
kontemporer tidak keluar dari empat menganggap bahwa sifat muallaf adalah
kemungkinan, Pertama; shari’ah telah sifat yang tidak tetap, sehingga suatu saat
menetapkan suatu hukum tertentu dengan bila sifat itu sudah tidak ada maka
teks yang jelas dan tegas (qat’iy al- dialihkan kepada orang lain yang lebih
dilalah). Dalam kaitan ini penenuan hukum berhak.4 Sikap dan tindakan tersebut,
harus ditetapkan menurut “huruf”nya menurut Ahmad Amin, membuktikan
secara benar tanpa perubahan atau kepada kita bahwa ia tidak hanya sekedar
penyimpangan sedikitpun. Ketekntuan mengunakan ratio (ra’yu) dalam
yang ketat ini terutama yang menyangkut menetapkan hukum bagi peristiwa yang
materi hukum yang mengatur sendi-sendi tidak ada nasnnya, akan tetapi lebih jauh ia
kehidupan masyarakat, seperti kahidupan berusaha menenukan maslahah yang
hukum tentang riba yang secara principal menjadi tujuan dishari’atkannya sesuatu
bertentangan dengan kaidah social hukum.5
ekonomi yang berdemensi kemanusiaan.
Kedua; Shari’ah menetapkan hukum Para ulama ushul fiqh dipelopori
dengan teks yang bersifat ambigus yakni oleh Shafi’i telah bangkit dan berusaha
teks yang petunjuk hukumnya tidak jelas menggali sumber-sumber hukum
(zannity al-dilalah) sehingga terbuka yudisprudensi selain al-Qur’an dan
kemungkinan untuk ijtihad. Ketika; Sunnah. Kurang lebih mereka sepakat
shari’ah menetapkan hukum secara umum bahwa qiyas merupakan metode penentuan
tentang suatu masalah. hukum yang terpenting. Menurut
Ketentuan semacam ini juga mereka,ketika menetapkan suatu hukum
menjadi salah satu medan ijtihad. Dan ke Allah menghendaki suatu tujuan
empat; shari’ah tidak menyinggung danhikmah tertentu. Maka seandainya dua
masalah tertentu dengan ketentuan khusus peristiwa mempunyai aspek determinan
maka terbuka lebar pintu ijtihad, misalnya yang serupa dan salah satunnya terdapat
melakukan deduksi analogis (qiyas).2 nas yang tegas, dapatlah kita menetapkan
Di sini terletak fleksibelitas hukum (nas) itu kepada peristiwa lainnya.
shari’ah Islam yang sebagian besar tampil Sungguhpun demikian, deduktif analogis
dengan prinsip-prinsip yang global dan yang parsial dan individual ini dalam
umum, sehingga dibawah naungannya perkembangannya justru sulit menemukan
terpancar beragam bentuk masyarakat yang tujuan shari’ah yang besendikan maslahah.
aktif bergerak dan berubah dalam Sementara itu di Andalusia, tampil
lingkarannya yang amat luas. Untuk tujuan tokoh Ibnu Hazm6 yang mengembangkan
hidup dan kemanusiaan ini maka dicarilah
semangat dari shari’ah sebagai dimensi etis 3
Muallaf pengertiannya adalah orang
al-Qur’an dan Sunnah oleh pelaku-pelaku yang dilemahkan yakni lemah dalam keimanan.
ijtihad terdahulu. Namun pengertian itu para ulama’ membagi dalam
Adalah Umar bin Khattab dalam beberapa hlm. yang semuannya bertujuan agar
beberapa kasus menunjukkan kepiawaian para muallaf masuk dan atau memperkuat
keimanannya.
ijtihad yang sangat tajam visinnya dalam 4
M. Saud Ramdan al-Buti, Dawabit al-
pencarian tujuan huum. Umar menolak
Maslahah, Bairut: Muassasah al-Risalah, 1986,
hlm.. 140-151, lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayah al-
Mujtahid, Dar al-Fikr, t.t. hlm..333.
5
2
Sayyib Qutb, al-Muslimin, Kairo: Dar al Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Kairo:
Misriyyah, t.t., alih bahasa Mu’ti Nurdin, Maktabah al-Nahdiah al-Misriyah, 1975, hlm..238.
6
Masyarakat Islam, Jakarta Rajawali Press, 1985, Nama lengkapnya adalah Ali bin Ahmad
hlm.. 41-43. bin Sa’id bin Hazm. Ia menjuluki dirinya dengan

355
DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW• VOL. 3 NO. 1 OKTOBER 2018

tradisi pemikiran zahiri (tekstualis) yang menjadi sunnatullah dalam kehidupan umat
cenderung ekstrim. Sungguhpun aliran manusia. Oleh karena itu, bagi Shatibi,
utama tradisi fiqh yang berkembang di asumsi teologi yang menafikan elaborasi
Andalusia adalah mazhab Maliki akan maqasid al-shari’ah (tujuan hukum) harus
tetapi warisan intelektual Ibnu Hazm tidak digeser dan diganti dengan yang
bisa dianggap kecil. Dialah yang secara mengakomodasinya. Pendapat ini selaras
sistematis menulis karya besar dalam ushul dengan asumsi teologi Mu’tazillah, maka
fiqh (al-ihkam fi Ushul al-Ahkam) dan fiqh Shatibi tanpa meninggalkan keterkaitannya
(al-Muhalla) yang banyak mendapat pujian secara formal dengan teologi Ash’ari,
ulama fiqh antara lain Ibnu Qudamah dan diam-diam ia mengadopsi pandangan
Syekh’Izzudin bin Abdu al-Salam al- Mu’tazilah. Lebih dari itu pandangan ini
Dimashqi. sudah dipegangi dan dilakukan oleh para
Dengan latar belakang intelektual mujtahid cerdas dikalangan sahabat Umar
yang punya ciri khas tersendiri maka bin Khattab sebagai tokoh utamanya.7
muncullah seorang ulama bernama Abu Kedua: Konsepsi tradisional qat’i
Ishaq al-Shatibi (selanjutnya disebut (nas yang pasti) dan zanni (nas yang belum
Shatibi) yang selalu gelisah melihat kondisi pasti) terlalu sederhana dan tidak
intelektual dan moral umat Islam yang memuaskan disamping dasar asumsinya
dihadapinya. Oleh karena itu, Shatibi juga lemah. Klasifikasi ini hanya
menyusun dua karya besarnya untuk didasarkan pada pemaknaan parsial dan
memberikan jawaban alternatif bagi individual dengan logika deduktif dalam
perubahan dan perbaikan kondisi obyektif memahami teks-teks mas sha’i. Ada dua
umat Islam. kelemahan mendasar yang inheren dalam
Untuk merealisasikan obsesinnya, asumsi ini. Secara semiotic selalu terdapat
Shatibi meletakkan pemikiran kemungkinan pengertian multi makna
reformasinya dalam tiga agenda besarnya. sebagai akibat factor-faktor gramatikal dan
Pertama; melakukan rekontruksi sintaksis, seperti adannya perbedaan
terhadap perumusan maqasid al-shari’ah bacaan (qira’ah) kerena perbedaan analisis
(tujuan hukum). Rumus konvensional yang semantic. Adannya polisemi (al-isytirak)
didasarkan pada asumsi teologi Ash’ariyah dan lain sebagainya. 8 Disamping itu,
dianggapnya pendekatan ini kurang memberikan tempat
tidak mampu menghadapi tantangan zaman kepada kenyataan historis yang
dan perubahan social. Padahal melatarbelakangi sehingga teks menjadi
sebagaimana dinyatakan oleh sosiolog tercabut dari konteks yang
muslim Abdurrahman Ibn Khaldun, melatarbelakanginya, padahal ilmu asbab
keadaan dunia bangsa-bangsa,adat-istiadat al-nuzul yang dikembangkan dalam tradisi
dan keyakinan mereka tidak selalu intelektual umat Islam salah satu fungsinya
mengikuti suatu model dan system yang adalah untuk memahami dengan baik
tetap melainkan berubah. Hal ini sudah konteks suatu nas.9
Oleh karena itu dalam menganalisis
nama Abu Muhammad namun lebih terkenal suatu nas dalam kaitannya dengan
dengan julukan Ibnu Hazm. Ia sangat produktif perubahan social mau tidak mau harus
dalam karya penulisan hingga karyanya mencapai mengunakan pendekatan induksi empirik
131 buah dengan perincian 46 buah buku masih yang melibatkan kajian historis sosiologis
dapat ditemukan dan yang 85 buah sudah tidak dalam pemahaman nas. Induksi yang
dapat ditemukan karena hilang. Lebih jauh bias
dilihat dalam buku Ibnu hazm wa Minhajuh fi 7
Dirasah al-Adyan oleh Dr. Mahmud Ali Himayah Abu Ushaq al-Shatibi, al-Muwafaaqat,
alih bahasa Khlm.id al-Kaf, M.Ag : Ibnu Hazm: Bairut: dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t., vol. 1, hlm..
biografi, karya dan kajiannya tentang Agama- 18.
8
agama, Jakarta: Lentera, 2001, hlm..83. I b i d., vol III, hlm.. 13-14.
9
I b i d., vol IV, hlm.. 47-49.

356
DASAR-DASAR PERUMUSAN HUKUM ISLAM
(Analisis Metodologis terhadap Perumusan Maqasid al-Shari’ah al-Shatibi)

dimaksud Shatibi ialah upaya


pengumpulan dan pengunaan nas yang C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
mempunyai indikasi dukungan makna yang PENELITIAN
serupa secara bersama-sama. Ini Penelitian ini dimaksud sebagai
didasarkan pada asumsi bahwa salah satu upaya untuk mengisi
kebersamaan mempunyai kekuatan yang kelangakaan dalam studi yang dikhususkan
tidak dimiliki oleh kesendirian sehingga pada pemikiran Shatibi tentang tujuan
seberapa jauh tingkat kepastian suatu nas hukum (maqasid al-shari’ah) dalam
parallel dengan bukti-bukti yang berhasil magnum opusnya, al-Muwafaqat.
dikumpulkan. Semakin banyak bukti nas Penelitian ini diharapkan mampu
yang berhasil dikumpulkan semakin tinggi memberikan sedikit sumbangan yang
tingkat kepastiannya. Bagitu pula berarti bagi khasanah pemikiran Islam.
sebaliknya. Selain juga diharapkan mampu
Ketiga: Pengembangan konsepsi menumbuhkan rasa optimisme dalam masa
maslahah mursalah yang khas mazhab depan kajian Islam.
Maliki yang ditopang dengan pendekatan
ganda, mengikat diri secara proporsional D. PEMBAHASAN
pada pemahaman tekstual dan pencarian Untuk menelusuri pemikiran
tiada henti akan tujuan hukum (maqasid al- Shatibi tentang tujuan hukum (maqasid al-
shari’ah). Bagi Shatibi, ia memandang shari’ah) penulis akan merujuk kepada
shari’ah secara esensial dihubungkan buku utamanya, yaitu: al-Muwafaqat11
dengn wahyu dan bisa dipertahankan Buku ini sebagaimana telah
dalam rangka kelansungan dan kebutuhan dijalaskan merupakan rujukan terpenting
ijtihad.10 dalam
Dengan latar belakang yang mengelaborasikan pemikiran Shatibi
demikian, maka sangat menarik untuk tentang tujuan hukum. Dari buku ini akan
mengkaji lebih jauh pemikiran Shatibi diketahui bagaimana kerangka pemikiran
yang meliputi metodologi hukum Islam Shatibi tentang tujuan hukum. Metodologi
yang membentuk konstruk hukumnya. yang digunakan untuk memahami
perbadaan rumusan hukum. Cara
B. RUMUSAN MASALAH membandingkan antara suatu maksud
Dari paparan latar belakang dengan maksud lainnya sekaligus cara
masalah di atas dapat dirumuskan beberapa menginduksinya.
pokok masalah, yakni: Penelitian buku Syatiby ini
1. Bagaimana kerangka pikiran Shatibi merupakan sumber data primer yang akan
dalam memahami tujuan hukum digunakan dalam ini. Sedangkan untuk
(maqasid al-shari’ah) dalam sistem membantunnya akan digunakan juga buku-
hukum Islam? buku usul fiqh mulai dari yang klasik
2. Apa landasan pemikiran Shatibi yang seperti al-Risalah karya Imam Shafi’i dan
melatarbelakangi konsep-konsepnya lain-lain sampai yang mutakhir seperti usul
tentang tujuan hukum (maqasid al-
shari’ah)? Bagaimana kontroversi yang
11
terjadi dalam dinamika pemikiran Judul buku ini sesuai dengan apa yang
filsafat hukum Islam dalam kaitannya disampaikan oleh Shatibi sendiri dalam
pembukaannya, dan juga sebagaimana yang
dengan konsep tujuan hukum?
dicatat oleh Zarikhli, Kahhlm.ah dan Brocklemann
adalah al-Muwafaqat saja tanpa ada tambahan
10
Khlm.id Mas’ud, Islamic Legal apa-apa. Anehnya Abdu al-Darras dan Muhammad
Philosopy: a study of Abu Ishaq al-Shatibi’s Life Khadir Khusain masing-masing menamakannya
and Thought, diterjemahkan Yudian W Asmin, dengan al-Muwafaqat fi Usul al Shari’ah dan al-
Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Muwafaqat fi Usul al-Ahkam.
Surabaya: al-Ikhlas, cet.I, hlm.224.

357
DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW• VOL. 3 NO. 1 OKTOBER 2018

fiqh al-islam karya Wahdah al-Zuhaily dan konsep maslahah menurut Shatibi
lain-lainnya. Doktrin maqasid al-shari’ah sebagaimana terdapat dalam al-Muwafaqat
merupakan kontiuitas dan pengembangan juga sebuah disertasi yang ditulis oleh
dari konsep maslahah sebagaimana Hamka Haq15 dan Konsep Maqasid
dikembangkan pada masa pra Shafi’i. Shari’ah, sebuah buku yang berasal dari
Shatibi berpendapat bahwa kesatuan disertasi yang disusun oleh Asafri Jaya
hukum Islam berarti kesatuan dalam asal- Bakri.16
muasalnya terutama lagi dalam Hamka Haq mengungkapkan secara
maksudnya. Ia juga menyentuh masalah khusus pemikiran Shatibi dalam aspek
teologis terutama bagi dalam maksudnya. teologis sebagaimana dipahami dari
Ia juga menyentuh masalah teologis pandangan-pandangan teologis Shatibi
dimana kelompok Asy’ariyah tidak tentang tahsin (kewajiban mengerjakan
sependapat dengannya. Menurut ia Tuhan perbuatan baik) dan taqbih (kewajiban
melembagakan shari’ah demi kebaikan meninggalkan perbuatan jelek) sehingga
manusia, baik jangka pendek maupun kurang memuaskan.17
jangka panjang.12 Penetapan hukum Dari penjelasan Haq bila
didasarkan atas pertimbangan sebab atau dibandingkan dengan cara Fazlur Rahman
motif dalam usul fiqh disebut dengan ‘illah terhadap karya Shatibi ini menampilkan
(jamak:‘ilal). Hal inilah bagi kelompok perbedaan yang sangat tajam. Disamping
Ash’ari tidak sependapt dengannya karena itu tentu saja Hamka Haq tidak
menganggap bahwa perbuatan Tuhan harus membicarakan ide-ide Shatibi tentang
punya kebaikan (maslahah) terhadap hukum (shari’ah).
Makhluk-Nya sehingga Ia tidak punya Sementara itu Khalid Mas’ud
kehedak sendiri. Namun kaum Mu’tazilah sekalipun secara khusus menguraikan
meyakini bahwa perintah-perintah Tuhan pandangan filosofis Shatibi dibidang
disebabkan oleh maslahah manusia . hukum Islam, namun ia tidak
Kebanyakan fukaha’ menerima pendapat mengungkapkan pandangan Shatibi tentang
yang terakhir ini karena tidak bisa metodologi yang digunakannya untuk
dihindari bahwa illah ditegakkan demi merumuskan tujuan hukum. Bakri
hukum shar’iah. sebenarnya telah mengarahkan
Shatibi berpendapat bahwa pembahasannya pada tujuan hukum yang
maslahah ditegakkan dalam shari’ah mengungkapkan relevansinya dengan serta
melalui metode induksi sebagai tema signifikansinya dalam ijtihad hukum Islam
umum dalam hukum maupun sebagai dewasa ini. Hanya saja penjelasannya tidak
deskripsi illah dari berbagai perintah secara menyinggung aspek metodologi dalam
rinci.13
Perlu dikemukakan juga disini
tulisan-tulisan yang pernah di publikasikan
sebelumnya tentang pemikiran Shatibi.
dengan judul Filsafat Hukum Islam dan Perubahan
Sepanjang pengetahuan penulis, publikasi
Sosial, diterbitkan oleh al-Ikhlas, Surabaya, tahun
tulisan yang secara khusus membicarakan 1995.
pemikiran Shatibi secara mendetail adalah 15
Hamka Haq, Aspek-Aspek Teologis
Islamic Legal Philosophy, sebuah disertasi dalam Konsep Maslahah menurut al-Syatibi sebagai
yang ditulis olehMuhammad Kholid yang terdapat dalam al-Muwaffagat, Jakarta:
Mas’ud14. Aspek-aspek teologis dalam Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
1989.
16
12
Asfri Jaya Bakri, Konsep Maqasid
Abu Ishaq al-Syatibi, op. cit., juz II, t.th, Syari’ah Menurut al-Syatibi, Jakarta: Rajawali Press,
hlm.2. 1996.
13
I b i d., hlm. 3. 17
Tentang arti tahsin dan taqbih lihat al-
14
Buku ini telah diterjemahkan oleh ke Bazdawi, Ushul al-Din, Kairo: Isa al-Badi al-
dalam bahasa Indonesia oleh Yudian W. Asmin Hlm.abi, 1963, hlm.

358
DASAR-DASAR PERUMUSAN HUKUM ISLAM
(Analisis Metodologis terhadap Perumusan Maqasid al-Shari’ah al-Shatibi)

konsep tujuan hukum.18 Padahal menurut pengunaan daya akal itu untuk menemukan
hemat penulis, aspek inilah yang tujuan hukum.
semestinnya dikembangkan untuk
meningkatkan peran hukum Islam Cara Mengetahui Maqasid al-syaria’ah
(Shari’ah) pada dataran percaturan hukum 1. Kepastian dan Kemungkinan
dalam dimensi global. Para ulama sudah menegaskan
Perbincangan tentang Shatibi juga bahwa segala keputusan dan peryataan kita
telah dilakukan oleh Fazlur Rahman harus berdasarkan pengetahuan
meskipun secara singkat. Dalam bukunya sebagaimana firman Allah
Islamic Methodology in History yang (Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
diterbitkan pertama kali pada tahun 1964, kamu tidak mempunyai pengetahuan
Fazlur Rahman menemukan Shatibi sedikit tenatangnya) baik yang bersifat
berbeda dengan pemikir-pemikir muslim keduniawian maupun lebih-lebih
lainnya yang dalam argument- keakhiratan.
argumentasinya, Rahman melihat suatu Akan tetapi dalam praktek, kita
penolakan terhadap kekuatan intelektual sering dihadapkan pada kenyataan bahwa
dan moral manusia.19 sungguhpun kita tidak selalu menemukan bukti-bukti
demikian Rahman enggan membawa yang dapat memberikan kepastian seperti
kesimpulan di atas kepada pemikir Shatibi itu. Kita dalam banyak hal terpaksa harus
secara kategoris menolak bahwa akal merasa puas denga potongan-potongan
mempunyai peran utama dalam membuat kecil bukti yang tidak menghasilkan
hukum atau bahkan dalam pengetahuan pasti dam konklusi melainkan
formulasi kewajiban-kewajiban moral, hanya menghasilkan suatu persepsi
tetapi ia (Shatibi) sendiri telah mengunakan hubungan yang tidak sepenuhnya
kemampuan rasional untuk mencanangkan mengambarkan validitas deduktif rasional.
tujuan-tujuan shari’ah.20Hanya saja Demi alasan pragmatis, prinsip seperti ini
Rahman tidak menjelaskan lebih jauh diklalangan sebagian besar ulama ushul
bagaimana ancaman Shatibi dalam fikih terpaksa diterima. Sebab kalau tidak
diterima akan banyak bagian hukum-
hukum agama akan terabaikan.21 Akan
tetapi walaupun kita dapat merasa puas
18
Dalam membaca pemikiran Shatibi dengan potongan-potongan bukti yang
tentang cara mengetahui maksud-maksud Shari’ah, kecil untuk melakukan istimbat
Bakri hanya mengungkapkan apa yang ditulis oleh
(perumusan) hukum, namun bukti-bukti itu
Shatibi ketika membicarakan hlm. yang dimaksud,
sementara metodologi penting yang membedakan harus sedemikian rupa sehingga
Shatibi dengan yang lainnya tidak dijelaskannya. pengetahuan hukum yang kita peroleh
Metodologi tersebut adalah Istiqra’. Memang melaluinya cukup dipertanggungjawabkan
metode ini tidak disebut oleh Shatibi dalam dan dibenarkan secara metodologi
pembahasan khusus tentang cara mengetahui hukumnya.
maksud shari’ah, namun demikian siapapun yang Untk mengambarkan apa yang
meneliti Shatibi dengan sungguh-sungguh akan
dikemukakan terdahulu para ulama usul
menemukan bahwa metode ini seringkali
diungkapkan oleh Shatibi dalam berbagai
mengintrodusir dua konsep penting, yaitu
kesempatan. al-ilm (pengetahuan) dan al-zann
19
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in
History, terjemahan Anas Mahyudin, Membuka
Pintu Ijtihad, Bandung: Pustaka, 1995, hlm. 205.
21
Lihat juga karya Rahman, Islam and Modernity Ghazali mengutip beberapa orang yang
Transformation of an Intellectual Tradition, menolak khabar ahad (laporan tunggal) sebagai
terjemah Ahsin Muhammad, Islam dan Modernitas: sumber pengetahuan tentang hukum agama karena
Tentang Transformasi Intelektual, Bandung: tidak menimbulkan kepastian melainkan
Pustaka, cet.II, 1995, hlm. 23-24. kemungkinan belaka. Al-Ghazali, op.cit., vol. I,
20
I b i d., hlm.. 142-143. hlm. 172.

359
DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW• VOL. 3 NO. 1 OKTOBER 2018

(asumsi).22 Dalam kaitan ini kita sering tetapu dalil tersebut tudak menghasilkan
mendegar istilah dalil yang qat’i dan dalil kepastian (ihatah) tentang kebenaran
zanni serta hukum yang qat’i dan hukum seperti kepastian yang ditimbulkan oleh
yang zanni. Perkataan al-ilm, al-qat’, dan nas al-Qur’an dan khabar mutawatir.
al-yaqin adalah kita istilah yang digunakan Kebenaran huku yang dihasilkan
secara sinonim oleh para ulama ushul fikih. oleh khabar ahad itu bersifat lahir, karena
Dalam al-ilm (pengetahuan) dimaksudkan itu orang yang meragukannya tidak sampai
keyakinan yang sesuai dengan kenyataan keluar dari Islam dan tidak disunnahkan
obyek dan menimbulkan kepastian serta bertoubat. Seperti halnya keputusan hakim
ketenangan jiwa subyek bersangkutan.23 yang berdasarkan keterangan seorang saksi
Dalam al-ilm terdapat kepastian kebenarannya hanya lajirnya saja, karena
sedemikian rupa dimana tidak ada tempat mungkin saja saksi itu bohong. Sedangkan
bagi keragu-raguan sedikitpun. Sedangkan dalil nas yang berupa al-Qur’an yang jelas
al-zann (asumsi) adalah dugaan kuat yang dan Sunnah yang yang telah disepakati
mempunyai peluang yang amat besar untuk menimbulkan kepastian (ihatah) dan
benar dan kita mempunyai cukup alasan barang siapa mengingkarinya berarti keluar
untuk meyakini kebenarannya. Meskipun dari agama Islam dan ia harus bertaubat
para ahli ushul fikih membedakan secra untuk dapat menjadi muslim kembali.24
tegas antara ‘ilm dan zann, namun mereka Pada tempat lain ketika menjelaskan
kadang-kadang menetapkan penamaan apakah orang yang melakukan qiyas
zann dengan ‘ilm. (analogi) yakin dan pasti bahwa mereka
Sepanjang yang dapat ditelusuri dapat memperoleh kebenaran yang
dengan karya-karya ushul fikih yang ada, sesungguhnya mengenai hukum yang
adalah Syafi’i orang pertama yang dikendaki Allah, Syafi’i mengatakan
mengagas konsep qat’i dan zanni, bahwa kebenaran itu ada yang bersifat lahir
walaupun ia belum mempunyai istilah dan batin, dan ada yang hanya merupakan
khusus untuk menampung konsep tersebut. kebenaran pada lahirnya saja, yaitu
Dalam al-Risalah, Syafi’i mengambarkan sepanjang dapat kita buktikan. Dalil yang
ide tentang qat’i dan zanni pada dua diriwayatkan berupa nas al-Qur’an dan
tempat. Sunnah Rasul yang diriwayatkan secara
Pertama, ketika menjelaskan pengetahuan mutawatir menghasilkan kebenaran yang
hukum yang diperoleh melalui khabar lahir dan batin, sedangkan dalil yang
ahad, dan kedua, ketika menjelaskan berupa khabar ahad melahirkan kebenaran
otoritas qiyas. Ketika menjelaskan otoritas pada lahirnya saja seperti kebenaran yang
khabar ahad, Syafi’i ditanya apakah disimpulkan hakim berdasarkan keterangan
pengetahuan yang diperoleh melalui dalil- para saksi yang mungkin saja berbohong.
dalil itu berbeda-beda. Ia mengatakan Termasuk kebenaran pada lahirnya yaitu
bahwa dalil yang merupakan khabar ahad sepanjang yang dapat kita capai dengan
yang diriwayatkan melalui jalur tunggal bukti kongkrit yang ada adalah kebenaran
(al-tariq al-infirad) dan mengadung yang dihasilkan oleh qiyas. 25
kemungkinan-kemungkinan mengikat bagi Dikalangan ulama ushul fikih yang
semua orang dan tidak boleh ditolak. Akan dating kemudian barulah Syatibi yang
melakukan rekonstruksi pemahaman qat’i
22
Terjemahan zanny dengan kata asumsi dan zanni. Sebelumnya dikalangan mereka
diambil dari Peters, God ‘syari’ah Created Speech, pemahaman qat’i dan zanni tidak banyak
Leiden: E. J. Brill, 1976, hlm. 45. berbeda dengan pengertian sebagaimana
23
Uraian tentang konsep pengetahuan
dikemukakan di atas. Dalam hal ini seriing
dikalangan ulama ushul fikih menurut Qadi Abd
Jabbar lihat Peters, I b i d., hlm. 40-104; Sedangkan
menurut ulama Islam secara umum lihat F. Al-Syafi’i, I b i d, al-Risalah, Kairo:
24

Rozenthlm., Knowlegde Triumphant, Leiden; E. J. Maktabah Dar al-Turas, 1979, hlm. 460-461.
25
Brill, 1970, hlm 71-79. I b i d., hlm. 477-483.

360
DASAR-DASAR PERUMUSAN HUKUM ISLAM
(Analisis Metodologis terhadap Perumusan Maqasid al-Shari’ah al-Shatibi)

ditemukan ungkapan “khabar mutawatir dalil syari’ harus digunakan secara


menimbulkan kepastian”, seperti bersama-sama apabila dikehendaki suatu
disinggung terdahulu, adalah al’ilm, al- tingkatan kepastian lebih tinggi dalam
yaqin dan al-qat’.” Disamping itu ulama kesimpulan. Qat’i dalam masing-masing
juga mengatakan “khabar ahad yang dalil secara individual tidak ada atau amat
menimbulkan zanni (dugaan kuat).”26 langka. Apabila dalil-dalil ini berupa
Kutipan ini menunjukkan bahwa qat’I dan khabar ahad, maka kesimpulan yang
zanni digunakan untuk menjelaskan dihasilkan berbentuk zanni. Adanya
otoritas dalil-dalil untuk melandasi beberapa kemungkinan hisrotis, misalnya
pengetahuan ditinjau dari segi asal-usul telah dinasakh oleh dalil lain. Oleh
histori dalil-dalil itu (wurud). Memang perbedaan analisis sintaksis, adanya
demikianlah pengertian yang selalu dipakai polisemi (al-isytirak; makna ganda) dan
dalam karya-karya klasik ushul fikih. banyak hal lainnya.28
Perbedaan pengetahuan hukum Sifat qat’i lahir dari pengunaan
menjadi qat’i dan zanni sebenarnya dalil-dalil secara bersama-sama. Dari
bukanlah perbedaan kategoris, melainkan gabungan dalil-dalil itulah ditarik secara
lebih merupakan penjenjangan tingkat- deduktif suatu kesimpulan dimana dalil-
tingkat kepastian dan probabilitas dalam dalil tersebut saling berkorobosi
pengetahuan itu. Sejauh mana kepastian mendukung kesimpulan itu sehingga dapat
kita tentang suatu hukum syari’ yang diperoleh suatu kepastian. Kebenaran
diistimbatkan sangat tergantung kepada mengandung kekuatan yang tidak terdapat
sejauh manan kita berhasil mengumpulkan dalam kesendirian. Pola argumentasi yang
potonga-potongan bukti (dalil) yang disarankan disini terasuk dalam termasuk
memberikan dukungan atau konfirmasi dalam kategori demikianjadi apabila dari
kepada hukum bersangkutan. Ini kumpulan sejumlah bukti (dalil) ditarik
mengingatkan kita kepada semacam secara induktif suatu kesimpulan yang
pengetian tentang kolaborasi indulsi yang memebrikan kepastian, maka itulah model
mana bukti tidak menelorkan konklusi argumentasi yang kita inginkan.
yang pasti dalam pengertian argument Kepastiannya adalah sedemikian rupa
deduktif, melainkan lebih memberikan seperti kepastian kita tentang keberanian
dukungan dan penguatan terhadapnya atau Ali Ibn Abi Talib dan kedermawanan
dengan kata lain kebenaran premis tidak Hatim yang kita peroleh dari banyak kasus
menghasilkan kebenaran konklusi secara yang dilaporkan tentang kedua orang itu.
demonstrasi, tapi memberikan alasan yang Rukun Islam yang lima itu qat’i dan qat’i-
cukup untuk mempercayainya. 27 nya diperoleh dengan cara demikian itu.
Pengertian koroborasi induktif ini Kepastian kita tentang wajibnya shalat
memainkan peranan yang sukup bebarti fardu yang lima, umpamanya, tidak
dalam elaborasi banyak konsep-konsep semata-mata ditunjukkan firman Allah
penting dalam teori hukum Islam. Apabila “dan dirikanlah shalat…..” dan apabila
penegasan pengertian ini kita dapatkan orang yang berargumentasi atas wajibnya
dalam karya-karya mengenai teori hukum shalat dengan semata-mata ayat tersebut
Islam, maka tidak ada yang lebih jelas dari argumentasinya akan mengadung
penegasan Syatibi. Menurut Syatibi dalil- kekurangan dari beberapa segi. Kita
mengetahui wajibnya adalah dari
kebersamaan firman tersebut dengan
26
Ghazali, al-Mustasfa, vol. I, hlm. 146; sejumlah bukti lain yang saling
Syaukani, op.cit., hlm. 48.
berkorobosi untuk mendukung pemaknaan
27
Wael B. Hlm.laq “ Inductive
Corroboration, Probability and Certainly”, dalam perintah (amr) dalam firman Allah tersebut
Nicholas Heer, (ed), Islamic Law and
Jurisprudence, Seattle and London: University of
28
Washington Press, 1990, hlm. 7-8. Syatibi, op.cit., hlm. 13-14.

361
DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW• VOL. 3 NO. 1 OKTOBER 2018

sebagai menunjukkan waajib. Misalnya mengembangkan pola piker induktif secara


kita menemukan pujian terhadap orang luas. Pola piker semacam ini sekarang
yang mengerjakan shalat, celaan terhadap semakin dirasakan urgensinya karena
orang yang meninggalkannya, adanya pemikiran model induktif diyakini akan
perintah untuk mengerjakannya dalam membawa kepada kemajuan.
keadaan duduk tidak mampu berdiri, Pendekatan tengah antara Dua Ekrtrim
bahkan berbaring apabila tidak bisa duduk Dalam pembahasan terdahulu telah
dan sejumlah bukti lain. Kebenaran dalil- dikemukakan dua aliran dalam sejarah
dalil ini yang menhasilkan kepastian Islam yang apabila ditarik garisnya akan
kepada kita atas wajibnya shalat. melahirkan dua teori yang paradoksal;
Prinsip kebersamaan seperti subyektivisme teistik dan obyektivisme
dikemukakan terdahulu tidak selalu rasionalistik.30 Hanya saja dalam
dipahami dalam arti formal, yaitu kenyataaan para penganut teori
dilekatkan pada ekspresi verbal formal obyektivisme rasionalistik belum mampu
yang terkandung dalam teks-teks al-Qur’an melahirkan mazhab hukum tersendiri
atau sunnah. Akan tetapi dikaitkan dengan sehingga dalam pamikiran hukum
makna dan substansi bersama yang mengikuti teori-teori hukum yang
meresapi keseluruhan sumber material dikembangkan oleh pemikir dari kalangan
syari’ah. Induksi dalam teori ini bukanlah subyektivisme teistik (baca Asy’ariyah).
sejumlah besar laporan yang dikaitkan Bukti paling jelas adalah Qadi Abd Al-
pada suatu isu pertikular, melainkan suatu Jabbar pemikir besar obyektivisme
induksi tematik (istiqra’ maknawi) dari rasionalistik (baca Mu’tazilah), yang
semangat dan urf syari’ah. Dalil yang ternyata mengikuti mazhab Syafi’i dalam
terlibat mungkin tidak semuanya langsung bidang hukum.
secara khusus melandasi kasus khusus atau Dalam kaitan ini Syatibi bisa
bahkan tidak meyentuh permasalahan yang disebut sebagai tokoh yang selalu berupaya
dibicarakan. Hanya saja hubungannya tidak mencari jalan tengah diantara polaborasi
langsung dan dukungan subsidenya pemikiran di atas. Misalnya saja ketika
terhadap masalah tersebut membawa
kepada suatu kepastian dan keyakinan
30
tentang kebenaran hukum yang Nama inin diberikan oleh George F.
Hourani dalam karyannya Islamic Rtionalism,
disimpulkan. Syatibi menjelaskan “apa
Oxford: Clarendoon Press, 1971, hlm. 3, 10 dan 12.
yang mengandung pengulangan, Menurut teori yang pertama hukunhanya dapat
penekanan dan tema yang sama serta dikenali melalui wahyu ilahi yang dibakukan dalam
dikuatkan oleh berbagai indikasi luar kata-kata yang dilaporkan dari Nabi berupa al-
menjadi setingkat dengan nas qat’i yang Qur’an dan sunnahnya. Kata-kata tersebut
merupakan sumber pokokhukum dan disebut dalil.
tidak mengandung kemungkinan-
Analisis hukum pada gilirannya hanya terfokus
kemungkinan interpretasi lain.29 pada analisi teks-teks suci itu. Waji, haram, baik,
Jadi dengan demikian adalah buruk dan seterusnya hanya dapat diketahui melalui
keberulangan makna dan tema dalam teks sumber-sumber tersebut.
dan konteks yang membawa kepada Sementara itu menurut teori obyektivisme
hukum dapat dikenal oleh akal tanpa bantuan
kepastian pada kita, bukan semata-mata
wahyu, Hukum bersifat obyektif dan telah tertanam
analisis teks secara individual. Analisi teks sebagai bagian dalam susunan alam. Demi
murni bahkan tidak akan pernah membawa keadilannya Tuhan tidak menghendali keburukan,
kepada kepastian. Ajakan yang kuat dari karena itu Dia menaganjurkan yang maslahah. Ilmu
Syatibi untuk melakukan analisis teks hukum golongan ini diarahkan pada analisis
kenyataan historis untukmenemukan tonggak dasar
dengan pendekatan induktif
hukum yaitu maslahah dan mafsadah. Wajib,
mengimplikasikan seruanya untuk haram, dan kategori hukum yang lain dapat
diketahui dengan pertimbangan segi-segi maslahah
dan mafsadah dalam perbuatan manusia. Pandangan
29
I b i d., vol. III. 174. ini merupakan pemikiran Mu’tazilah.

362
DASAR-DASAR PERUMUSAN HUKUM ISLAM
(Analisis Metodologis terhadap Perumusan Maqasid al-Shari’ah al-Shatibi)

mengemukakan prmis teologis untuk yang relative sama untuk ditarik makna
memberikan landasan yang kokoh bagi sentral yang dikandungnya. Upaya ini
hasil penelitiannya yang menyimpulkan dilakukan untuk menemukann cita hukum
bahwa ayari’ah semata-mata ditetapkan syar’I yang ideal. Kedua, melakukan
untuk kemaslahatan manusia (konsep ta’lil analisi terhadap sosio histori realitas
isa dikatakan ia Mu’tazilah), Syatibi segera masyarakat untuk menemukan inti
menyusulinya dengan mengatakan bahwa persoalan yang sebenarnya. Hal ini
tidak ada tahsin dan taqbih (akal tidak dilakukan untuk menemukan relevansi
mutlak mengetahui apa yang baik dan pa antara cita hukum yang ideal tersebut
yang buruk). dengan makna dan maslahah yang sangat
Syatibi juga melihat perlunya terkait dengan historisitas umat manusia.
menyeimbang antara analisi teks dan Kedua level analisis ini mungkin akan
analisis realitas masyarakat dalam memperlihatkan adannya jarak tertentu
penalaran dan argumentasi hukum. Syatibi antara hukum ideal sebagai tertuang dalam
menjelaskan bahwa ijtihad hukum bergerak teks dengan kenyataan masyarakat dan
dalam dua arah menuju ke titik yang sama. perkembangan social taua tidak. Jika
Arah pertama merupakan analisis tekstual memang terdapat jarak yang unreasonable
untuk menemukan inti dan illat hukum. maka dilakukan usaha pendekatan antara
Arah kedua melakukan analisis terhadap keduanya dengan menyesuaikan hukum
kasus untuk menemukan inti permasalahan ideal tadi sampai batas tertentu dengan
yang sebenarnya.31 pada bagian lain ia perkembangan masyarakat dan keligus
menyarankan apa yang sekarang kita sebut melakukan social engineering terhadap
pendekatan sosio historis, yaitu masyarakat sesuai dengan tuntutan yang
mempelajari teks yang berasal dari suatu dikendaki oleh kuhun syari’i.
sumber bersejarah di lafalkan secara
tercabut dari konteksnya, sehingga E. KESIMPULAN
pemahaman teks itu semata-mata Teori maqasid al-syari’ah Syatibi
berdasarkan teks itu sendiri bisa dibangun di atas premis yang sangat
menyesatkan. Karena itu analisis historis meyakinkan bahwa semua hukum syari’ah
terhadap konteks yang dilahirkan mutlak ditetapkan dengan satu tujuan. Syari’ah
diperlukan.32 deberlakukan bukan untuk dirinya sendiri
Dari apa yang dikemukakan di atas tetapi “mengabdi” untuk kepentingan
secara keseluruhan kita dapat mengambil diluar dirinya yaitu kemaslahatan manusia.
garis besar metodologi ijtihad yang Kemaslahatan manusia paling pokok dan
ditawarkan Syatibi. Pilar untuma ijtihad bersifat universal yang menjadi tujuan
terletak pada unsure sebagaimana telah utama ditetapkan syari’ah adalah
disinggung dalam pendahuluan tesis ini, kebebasan baragama, keselamatan jiwa,
yaitu analisi teks dan elaborasi maqasid al- keselamatan akal (intelek), kehormatan
syari’ah,33 dengan demikian metodologi keluarga dan keamanan harta benda.
yang dimaksudkan oleh Syatibi ialah pola Konsepsi Syatibi ini didasarkan pada hasil
penalaran dan argumentasi hukum yang penelitiannya terhadap nas-nas dan tradisi
bergerak dalam dua level. Pertama, Syari’ dalam menetapkan hukum. Dari
analisis teks dengan mengunakan pengamatannya yang mendalam terhadap
pendekatan induktif (istiqra’ ma;nawi) nas-nas syari’ah, Syatibi sampai pada suatu
yakni mengumpulkan sebanyak mungkin kesimpulan yang sangat meyakinkan
data-data tekstual yang mempunyai makna bahwa syari’ah ditetapkan dengan landasan
ta’lil maslahi (mempunyai tujuan untuk
31
Syatibi, op.cit., vol. IV, hlm. 47-49. kemaslahatan).
32
I b i d., vol III, hlm. 201. Metodologi pendekatan ijtihad
33
Lihat penyataan Abd. Darraz ketika hukum yang disarankan Syatibi adalah
mengomentari kitab al-Muwafaqatnya Syatibi.

363
DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW• VOL. 3 NO. 1 OKTOBER 2018

pertama, melakukan istiqra’ ma’nawi (zanni). Dan kedua, melakukan elaborasi


(kolaborasi induktif) atau induksi tematik terhadap maqasid al-syari’ah dengan cara
terhadap teks-teks nas. Yaitu suatu metode berimbang bertumpu pada pendekatan
berpikir yang tidak semata berpijak pada tekstual dan analisis sosio historis.
pemahaman individual terhadap suatu nas Pendekatan istiqra’ ma’nawi
(cara berpikir deduktif rasinal), akan tetapi mengindikasikan bahwa analisis terhadap
lebih mengutamakan pada menulusuran nas tidak cukum dengan pendekatan
dan inventarisasi nas-nas yang mempunyai sintaksis semata akan tetapi lebih
tema dan makna yang saling mendukung ditekankan pada upaya pengumpulan
(kolaboratif). Inventarisasi nas itu bukti-bukti tekstual yang mempunyai
dilakukan sampai pada suatu tingkat yang makna dan tema yang sama. Sementara itu
sedemikian rupa sehingga secara dalam elaboraasi maqasid al-syari’ah,
akumulatif makna sentral dari nas-nas itu dilakukan dengan mengunakan pendekatan
mencapai derajat meyakinkan (qat’i). tekstual dan analisi terhadap kondisi sosio
Seandainya kita tidak berhasil historis masyarakat dimana nas itu lahir.
mengumpulkan bukti-bukti (dalil-dalil) Pendekatan ini sangat penting untuk
sampai pada tingkat yang mencapai melihat nas secara arfi sesuai dengan
kepastian maka kesimpulan yang didapat tuntutan perkembangan masnyarakat.
hanya mengimplikasikan kemungkinan

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat, George F. Hourani dalam karyannya


Bairut: dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Islamic Rtionalism, Oxford:
t.t., vol. 1 Clarendoon Press, 1971

Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Kairo:


Maktabah al-Nahdiah al- Hamka Haq, Aspek-Aspek Teologis dalam
Misriyah, 1975 Konsep Maslahah menurut al-
Syatibi, Jakarta: Fakultas Pasca
Al-Syafi’i,al-Risalah, Kairo: Maktabah Sarjana IAIN Syarif
Dar al-Turas, 1979 Hidayatullah, 1989.

Asfri Jaya Bakri, Konsep Maqasid Syari’ah


Menurut al-Syatibi, Khalim al-Kaf, M.Ag : Ibnu Hazm:
Jakarta: Rajawali Press, 1996. biografi, karya dan kajiannya
tentang Agama-agama, Jakarta:
F.Rozenthlm, Knowlegde Triumphant, Lentera, 2001.
Leiden; E. J. Brill, 1970.
Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosopy: a
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in study of Abu Ishaq al-Shatibi’s
History, terjemahan Anas Life and Thought, diterjemahkan
Mahyudin, Membuka Pintu Yudian W Asmin, Filsafat
Ijtihad, Bandung: Pustaka, 1995 Hukum Islam dan Perubahan
Sosial, Surabaya: al-Ikhlas, cet.I

364
DASAR-DASAR PERUMUSAN HUKUM ISLAM
(Analisis Metodologis terhadap Perumusan Maqasid al-Shari’ah al-Shatibi)

Rahman, Islam and Modernity


Transformation of an Shahratsani, al-Milal wa al-Mihal,
Intellectual Tradition, terjemah Bairut;Dar al-Fikr, t.t.
Ahsin Muhammad, Islam dan
Modernitas: Tentang Wael B. Hlm.laq “ Inductive
Transformasi Intelektual, Corroboration, Probability and
Bandung: Pustaka, cet.II, 1995 Certainly”, dalam Nicholas
Heer, (ed), Islamic Law and
Sayyib Qutb, al-Muslimin, Kairo: Dar al Jurisprudence, Seattle and
Misriyyah, t.t., alih bahasa Mu’ti London: University of
Nurdin, Masyarakat Islam, Washington Press, 1990
Jakarta Rajawali Press, 1985

365

Anda mungkin juga menyukai