Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1 OKTOBER 2018
ABSTRAKSI
Konsepsi Syatibi tentang maqasid al-syari’ah (tujuan hukum Islam) mempunyai keistimewaan
dan keunikan tersendiri yang membuatnya berbeda dengan para pendahulunya. Syatibi
melihat, pada satu sisi adanya keterpaduan dan kesatuan kehendak Tuhan dalam
menciptakan alam semesta. Konsep ini melahirkan suatu pandangan tentang kesatuan
syari’ah yang berarti bahwa semua hukum berasal dari satu sumber yang oleh karena itu
mustahil berbeda.Konsep kemaslahatan ini menuntut adanya pertimbagan maslahah dan
mafsadah. Pertimbangan ini mengimplikasikan hubungan yang sangat signifikan antara
hukum syari’ah dengan kondisi umat manusia. Hubungan ini pada gilirannya menimbulkan
adannya aturan-aturan hukum yang beragam dan berbeda.
ABSTRACT
Syatibi's conception of maqasid al-syari'ah (the purpose of Islamic law) has its own features and
uniqueness that make it different from its predecessors. Syatibi saw, on the one hand, the integration
and unity of God's will in creating the universe. This concept gave birth to a view of shari'ah unity
which means that all laws originate from a single source which is therefore impossible to differ. This
concept of well-being demands the existence of considerations of maslahah and mafsadah. This
consideration implies a very significant relationship between shari'ah law and the condition of
mankind. This relationship in turn raises the existence of diverse and different legal rules.
354
DASAR-DASAR PERUMUSAN HUKUM ISLAM
(Analisis Metodologis terhadap Perumusan Maqasid al-Shari’ah al-Shatibi)
berikut. Rincian dan penerapan shari’ah memberikan zakat kepada muallaf3 yang
yang dibutuhkan manusia untuk secara tegas ditetapkan oleh al-Qur’an
menampung kebutuhan-kebutuhan Surat al-Taubah ayat 60 karena ia
kontemporer tidak keluar dari empat menganggap bahwa sifat muallaf adalah
kemungkinan, Pertama; shari’ah telah sifat yang tidak tetap, sehingga suatu saat
menetapkan suatu hukum tertentu dengan bila sifat itu sudah tidak ada maka
teks yang jelas dan tegas (qat’iy al- dialihkan kepada orang lain yang lebih
dilalah). Dalam kaitan ini penenuan hukum berhak.4 Sikap dan tindakan tersebut,
harus ditetapkan menurut “huruf”nya menurut Ahmad Amin, membuktikan
secara benar tanpa perubahan atau kepada kita bahwa ia tidak hanya sekedar
penyimpangan sedikitpun. Ketekntuan mengunakan ratio (ra’yu) dalam
yang ketat ini terutama yang menyangkut menetapkan hukum bagi peristiwa yang
materi hukum yang mengatur sendi-sendi tidak ada nasnnya, akan tetapi lebih jauh ia
kehidupan masyarakat, seperti kahidupan berusaha menenukan maslahah yang
hukum tentang riba yang secara principal menjadi tujuan dishari’atkannya sesuatu
bertentangan dengan kaidah social hukum.5
ekonomi yang berdemensi kemanusiaan.
Kedua; Shari’ah menetapkan hukum Para ulama ushul fiqh dipelopori
dengan teks yang bersifat ambigus yakni oleh Shafi’i telah bangkit dan berusaha
teks yang petunjuk hukumnya tidak jelas menggali sumber-sumber hukum
(zannity al-dilalah) sehingga terbuka yudisprudensi selain al-Qur’an dan
kemungkinan untuk ijtihad. Ketika; Sunnah. Kurang lebih mereka sepakat
shari’ah menetapkan hukum secara umum bahwa qiyas merupakan metode penentuan
tentang suatu masalah. hukum yang terpenting. Menurut
Ketentuan semacam ini juga mereka,ketika menetapkan suatu hukum
menjadi salah satu medan ijtihad. Dan ke Allah menghendaki suatu tujuan
empat; shari’ah tidak menyinggung danhikmah tertentu. Maka seandainya dua
masalah tertentu dengan ketentuan khusus peristiwa mempunyai aspek determinan
maka terbuka lebar pintu ijtihad, misalnya yang serupa dan salah satunnya terdapat
melakukan deduksi analogis (qiyas).2 nas yang tegas, dapatlah kita menetapkan
Di sini terletak fleksibelitas hukum (nas) itu kepada peristiwa lainnya.
shari’ah Islam yang sebagian besar tampil Sungguhpun demikian, deduktif analogis
dengan prinsip-prinsip yang global dan yang parsial dan individual ini dalam
umum, sehingga dibawah naungannya perkembangannya justru sulit menemukan
terpancar beragam bentuk masyarakat yang tujuan shari’ah yang besendikan maslahah.
aktif bergerak dan berubah dalam Sementara itu di Andalusia, tampil
lingkarannya yang amat luas. Untuk tujuan tokoh Ibnu Hazm6 yang mengembangkan
hidup dan kemanusiaan ini maka dicarilah
semangat dari shari’ah sebagai dimensi etis 3
Muallaf pengertiannya adalah orang
al-Qur’an dan Sunnah oleh pelaku-pelaku yang dilemahkan yakni lemah dalam keimanan.
ijtihad terdahulu. Namun pengertian itu para ulama’ membagi dalam
Adalah Umar bin Khattab dalam beberapa hlm. yang semuannya bertujuan agar
beberapa kasus menunjukkan kepiawaian para muallaf masuk dan atau memperkuat
keimanannya.
ijtihad yang sangat tajam visinnya dalam 4
M. Saud Ramdan al-Buti, Dawabit al-
pencarian tujuan huum. Umar menolak
Maslahah, Bairut: Muassasah al-Risalah, 1986,
hlm.. 140-151, lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayah al-
Mujtahid, Dar al-Fikr, t.t. hlm..333.
5
2
Sayyib Qutb, al-Muslimin, Kairo: Dar al Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Kairo:
Misriyyah, t.t., alih bahasa Mu’ti Nurdin, Maktabah al-Nahdiah al-Misriyah, 1975, hlm..238.
6
Masyarakat Islam, Jakarta Rajawali Press, 1985, Nama lengkapnya adalah Ali bin Ahmad
hlm.. 41-43. bin Sa’id bin Hazm. Ia menjuluki dirinya dengan
355
DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW• VOL. 3 NO. 1 OKTOBER 2018
tradisi pemikiran zahiri (tekstualis) yang menjadi sunnatullah dalam kehidupan umat
cenderung ekstrim. Sungguhpun aliran manusia. Oleh karena itu, bagi Shatibi,
utama tradisi fiqh yang berkembang di asumsi teologi yang menafikan elaborasi
Andalusia adalah mazhab Maliki akan maqasid al-shari’ah (tujuan hukum) harus
tetapi warisan intelektual Ibnu Hazm tidak digeser dan diganti dengan yang
bisa dianggap kecil. Dialah yang secara mengakomodasinya. Pendapat ini selaras
sistematis menulis karya besar dalam ushul dengan asumsi teologi Mu’tazillah, maka
fiqh (al-ihkam fi Ushul al-Ahkam) dan fiqh Shatibi tanpa meninggalkan keterkaitannya
(al-Muhalla) yang banyak mendapat pujian secara formal dengan teologi Ash’ari,
ulama fiqh antara lain Ibnu Qudamah dan diam-diam ia mengadopsi pandangan
Syekh’Izzudin bin Abdu al-Salam al- Mu’tazilah. Lebih dari itu pandangan ini
Dimashqi. sudah dipegangi dan dilakukan oleh para
Dengan latar belakang intelektual mujtahid cerdas dikalangan sahabat Umar
yang punya ciri khas tersendiri maka bin Khattab sebagai tokoh utamanya.7
muncullah seorang ulama bernama Abu Kedua: Konsepsi tradisional qat’i
Ishaq al-Shatibi (selanjutnya disebut (nas yang pasti) dan zanni (nas yang belum
Shatibi) yang selalu gelisah melihat kondisi pasti) terlalu sederhana dan tidak
intelektual dan moral umat Islam yang memuaskan disamping dasar asumsinya
dihadapinya. Oleh karena itu, Shatibi juga lemah. Klasifikasi ini hanya
menyusun dua karya besarnya untuk didasarkan pada pemaknaan parsial dan
memberikan jawaban alternatif bagi individual dengan logika deduktif dalam
perubahan dan perbaikan kondisi obyektif memahami teks-teks mas sha’i. Ada dua
umat Islam. kelemahan mendasar yang inheren dalam
Untuk merealisasikan obsesinnya, asumsi ini. Secara semiotic selalu terdapat
Shatibi meletakkan pemikiran kemungkinan pengertian multi makna
reformasinya dalam tiga agenda besarnya. sebagai akibat factor-faktor gramatikal dan
Pertama; melakukan rekontruksi sintaksis, seperti adannya perbedaan
terhadap perumusan maqasid al-shari’ah bacaan (qira’ah) kerena perbedaan analisis
(tujuan hukum). Rumus konvensional yang semantic. Adannya polisemi (al-isytirak)
didasarkan pada asumsi teologi Ash’ariyah dan lain sebagainya. 8 Disamping itu,
dianggapnya pendekatan ini kurang memberikan tempat
tidak mampu menghadapi tantangan zaman kepada kenyataan historis yang
dan perubahan social. Padahal melatarbelakangi sehingga teks menjadi
sebagaimana dinyatakan oleh sosiolog tercabut dari konteks yang
muslim Abdurrahman Ibn Khaldun, melatarbelakanginya, padahal ilmu asbab
keadaan dunia bangsa-bangsa,adat-istiadat al-nuzul yang dikembangkan dalam tradisi
dan keyakinan mereka tidak selalu intelektual umat Islam salah satu fungsinya
mengikuti suatu model dan system yang adalah untuk memahami dengan baik
tetap melainkan berubah. Hal ini sudah konteks suatu nas.9
Oleh karena itu dalam menganalisis
nama Abu Muhammad namun lebih terkenal suatu nas dalam kaitannya dengan
dengan julukan Ibnu Hazm. Ia sangat produktif perubahan social mau tidak mau harus
dalam karya penulisan hingga karyanya mencapai mengunakan pendekatan induksi empirik
131 buah dengan perincian 46 buah buku masih yang melibatkan kajian historis sosiologis
dapat ditemukan dan yang 85 buah sudah tidak dalam pemahaman nas. Induksi yang
dapat ditemukan karena hilang. Lebih jauh bias
dilihat dalam buku Ibnu hazm wa Minhajuh fi 7
Dirasah al-Adyan oleh Dr. Mahmud Ali Himayah Abu Ushaq al-Shatibi, al-Muwafaaqat,
alih bahasa Khlm.id al-Kaf, M.Ag : Ibnu Hazm: Bairut: dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t., vol. 1, hlm..
biografi, karya dan kajiannya tentang Agama- 18.
8
agama, Jakarta: Lentera, 2001, hlm..83. I b i d., vol III, hlm.. 13-14.
9
I b i d., vol IV, hlm.. 47-49.
356
DASAR-DASAR PERUMUSAN HUKUM ISLAM
(Analisis Metodologis terhadap Perumusan Maqasid al-Shari’ah al-Shatibi)
357
DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW• VOL. 3 NO. 1 OKTOBER 2018
fiqh al-islam karya Wahdah al-Zuhaily dan konsep maslahah menurut Shatibi
lain-lainnya. Doktrin maqasid al-shari’ah sebagaimana terdapat dalam al-Muwafaqat
merupakan kontiuitas dan pengembangan juga sebuah disertasi yang ditulis oleh
dari konsep maslahah sebagaimana Hamka Haq15 dan Konsep Maqasid
dikembangkan pada masa pra Shafi’i. Shari’ah, sebuah buku yang berasal dari
Shatibi berpendapat bahwa kesatuan disertasi yang disusun oleh Asafri Jaya
hukum Islam berarti kesatuan dalam asal- Bakri.16
muasalnya terutama lagi dalam Hamka Haq mengungkapkan secara
maksudnya. Ia juga menyentuh masalah khusus pemikiran Shatibi dalam aspek
teologis terutama bagi dalam maksudnya. teologis sebagaimana dipahami dari
Ia juga menyentuh masalah teologis pandangan-pandangan teologis Shatibi
dimana kelompok Asy’ariyah tidak tentang tahsin (kewajiban mengerjakan
sependapat dengannya. Menurut ia Tuhan perbuatan baik) dan taqbih (kewajiban
melembagakan shari’ah demi kebaikan meninggalkan perbuatan jelek) sehingga
manusia, baik jangka pendek maupun kurang memuaskan.17
jangka panjang.12 Penetapan hukum Dari penjelasan Haq bila
didasarkan atas pertimbangan sebab atau dibandingkan dengan cara Fazlur Rahman
motif dalam usul fiqh disebut dengan ‘illah terhadap karya Shatibi ini menampilkan
(jamak:‘ilal). Hal inilah bagi kelompok perbedaan yang sangat tajam. Disamping
Ash’ari tidak sependapt dengannya karena itu tentu saja Hamka Haq tidak
menganggap bahwa perbuatan Tuhan harus membicarakan ide-ide Shatibi tentang
punya kebaikan (maslahah) terhadap hukum (shari’ah).
Makhluk-Nya sehingga Ia tidak punya Sementara itu Khalid Mas’ud
kehedak sendiri. Namun kaum Mu’tazilah sekalipun secara khusus menguraikan
meyakini bahwa perintah-perintah Tuhan pandangan filosofis Shatibi dibidang
disebabkan oleh maslahah manusia . hukum Islam, namun ia tidak
Kebanyakan fukaha’ menerima pendapat mengungkapkan pandangan Shatibi tentang
yang terakhir ini karena tidak bisa metodologi yang digunakannya untuk
dihindari bahwa illah ditegakkan demi merumuskan tujuan hukum. Bakri
hukum shar’iah. sebenarnya telah mengarahkan
Shatibi berpendapat bahwa pembahasannya pada tujuan hukum yang
maslahah ditegakkan dalam shari’ah mengungkapkan relevansinya dengan serta
melalui metode induksi sebagai tema signifikansinya dalam ijtihad hukum Islam
umum dalam hukum maupun sebagai dewasa ini. Hanya saja penjelasannya tidak
deskripsi illah dari berbagai perintah secara menyinggung aspek metodologi dalam
rinci.13
Perlu dikemukakan juga disini
tulisan-tulisan yang pernah di publikasikan
sebelumnya tentang pemikiran Shatibi.
dengan judul Filsafat Hukum Islam dan Perubahan
Sepanjang pengetahuan penulis, publikasi
Sosial, diterbitkan oleh al-Ikhlas, Surabaya, tahun
tulisan yang secara khusus membicarakan 1995.
pemikiran Shatibi secara mendetail adalah 15
Hamka Haq, Aspek-Aspek Teologis
Islamic Legal Philosophy, sebuah disertasi dalam Konsep Maslahah menurut al-Syatibi sebagai
yang ditulis olehMuhammad Kholid yang terdapat dalam al-Muwaffagat, Jakarta:
Mas’ud14. Aspek-aspek teologis dalam Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
1989.
16
12
Asfri Jaya Bakri, Konsep Maqasid
Abu Ishaq al-Syatibi, op. cit., juz II, t.th, Syari’ah Menurut al-Syatibi, Jakarta: Rajawali Press,
hlm.2. 1996.
13
I b i d., hlm. 3. 17
Tentang arti tahsin dan taqbih lihat al-
14
Buku ini telah diterjemahkan oleh ke Bazdawi, Ushul al-Din, Kairo: Isa al-Badi al-
dalam bahasa Indonesia oleh Yudian W. Asmin Hlm.abi, 1963, hlm.
358
DASAR-DASAR PERUMUSAN HUKUM ISLAM
(Analisis Metodologis terhadap Perumusan Maqasid al-Shari’ah al-Shatibi)
konsep tujuan hukum.18 Padahal menurut pengunaan daya akal itu untuk menemukan
hemat penulis, aspek inilah yang tujuan hukum.
semestinnya dikembangkan untuk
meningkatkan peran hukum Islam Cara Mengetahui Maqasid al-syaria’ah
(Shari’ah) pada dataran percaturan hukum 1. Kepastian dan Kemungkinan
dalam dimensi global. Para ulama sudah menegaskan
Perbincangan tentang Shatibi juga bahwa segala keputusan dan peryataan kita
telah dilakukan oleh Fazlur Rahman harus berdasarkan pengetahuan
meskipun secara singkat. Dalam bukunya sebagaimana firman Allah
Islamic Methodology in History yang (Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
diterbitkan pertama kali pada tahun 1964, kamu tidak mempunyai pengetahuan
Fazlur Rahman menemukan Shatibi sedikit tenatangnya) baik yang bersifat
berbeda dengan pemikir-pemikir muslim keduniawian maupun lebih-lebih
lainnya yang dalam argument- keakhiratan.
argumentasinya, Rahman melihat suatu Akan tetapi dalam praktek, kita
penolakan terhadap kekuatan intelektual sering dihadapkan pada kenyataan bahwa
dan moral manusia.19 sungguhpun kita tidak selalu menemukan bukti-bukti
demikian Rahman enggan membawa yang dapat memberikan kepastian seperti
kesimpulan di atas kepada pemikir Shatibi itu. Kita dalam banyak hal terpaksa harus
secara kategoris menolak bahwa akal merasa puas denga potongan-potongan
mempunyai peran utama dalam membuat kecil bukti yang tidak menghasilkan
hukum atau bahkan dalam pengetahuan pasti dam konklusi melainkan
formulasi kewajiban-kewajiban moral, hanya menghasilkan suatu persepsi
tetapi ia (Shatibi) sendiri telah mengunakan hubungan yang tidak sepenuhnya
kemampuan rasional untuk mencanangkan mengambarkan validitas deduktif rasional.
tujuan-tujuan shari’ah.20Hanya saja Demi alasan pragmatis, prinsip seperti ini
Rahman tidak menjelaskan lebih jauh diklalangan sebagian besar ulama ushul
bagaimana ancaman Shatibi dalam fikih terpaksa diterima. Sebab kalau tidak
diterima akan banyak bagian hukum-
hukum agama akan terabaikan.21 Akan
tetapi walaupun kita dapat merasa puas
18
Dalam membaca pemikiran Shatibi dengan potongan-potongan bukti yang
tentang cara mengetahui maksud-maksud Shari’ah, kecil untuk melakukan istimbat
Bakri hanya mengungkapkan apa yang ditulis oleh
(perumusan) hukum, namun bukti-bukti itu
Shatibi ketika membicarakan hlm. yang dimaksud,
sementara metodologi penting yang membedakan harus sedemikian rupa sehingga
Shatibi dengan yang lainnya tidak dijelaskannya. pengetahuan hukum yang kita peroleh
Metodologi tersebut adalah Istiqra’. Memang melaluinya cukup dipertanggungjawabkan
metode ini tidak disebut oleh Shatibi dalam dan dibenarkan secara metodologi
pembahasan khusus tentang cara mengetahui hukumnya.
maksud shari’ah, namun demikian siapapun yang Untk mengambarkan apa yang
meneliti Shatibi dengan sungguh-sungguh akan
dikemukakan terdahulu para ulama usul
menemukan bahwa metode ini seringkali
diungkapkan oleh Shatibi dalam berbagai
mengintrodusir dua konsep penting, yaitu
kesempatan. al-ilm (pengetahuan) dan al-zann
19
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in
History, terjemahan Anas Mahyudin, Membuka
Pintu Ijtihad, Bandung: Pustaka, 1995, hlm. 205.
21
Lihat juga karya Rahman, Islam and Modernity Ghazali mengutip beberapa orang yang
Transformation of an Intellectual Tradition, menolak khabar ahad (laporan tunggal) sebagai
terjemah Ahsin Muhammad, Islam dan Modernitas: sumber pengetahuan tentang hukum agama karena
Tentang Transformasi Intelektual, Bandung: tidak menimbulkan kepastian melainkan
Pustaka, cet.II, 1995, hlm. 23-24. kemungkinan belaka. Al-Ghazali, op.cit., vol. I,
20
I b i d., hlm.. 142-143. hlm. 172.
359
DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW• VOL. 3 NO. 1 OKTOBER 2018
(asumsi).22 Dalam kaitan ini kita sering tetapu dalil tersebut tudak menghasilkan
mendegar istilah dalil yang qat’i dan dalil kepastian (ihatah) tentang kebenaran
zanni serta hukum yang qat’i dan hukum seperti kepastian yang ditimbulkan oleh
yang zanni. Perkataan al-ilm, al-qat’, dan nas al-Qur’an dan khabar mutawatir.
al-yaqin adalah kita istilah yang digunakan Kebenaran huku yang dihasilkan
secara sinonim oleh para ulama ushul fikih. oleh khabar ahad itu bersifat lahir, karena
Dalam al-ilm (pengetahuan) dimaksudkan itu orang yang meragukannya tidak sampai
keyakinan yang sesuai dengan kenyataan keluar dari Islam dan tidak disunnahkan
obyek dan menimbulkan kepastian serta bertoubat. Seperti halnya keputusan hakim
ketenangan jiwa subyek bersangkutan.23 yang berdasarkan keterangan seorang saksi
Dalam al-ilm terdapat kepastian kebenarannya hanya lajirnya saja, karena
sedemikian rupa dimana tidak ada tempat mungkin saja saksi itu bohong. Sedangkan
bagi keragu-raguan sedikitpun. Sedangkan dalil nas yang berupa al-Qur’an yang jelas
al-zann (asumsi) adalah dugaan kuat yang dan Sunnah yang yang telah disepakati
mempunyai peluang yang amat besar untuk menimbulkan kepastian (ihatah) dan
benar dan kita mempunyai cukup alasan barang siapa mengingkarinya berarti keluar
untuk meyakini kebenarannya. Meskipun dari agama Islam dan ia harus bertaubat
para ahli ushul fikih membedakan secra untuk dapat menjadi muslim kembali.24
tegas antara ‘ilm dan zann, namun mereka Pada tempat lain ketika menjelaskan
kadang-kadang menetapkan penamaan apakah orang yang melakukan qiyas
zann dengan ‘ilm. (analogi) yakin dan pasti bahwa mereka
Sepanjang yang dapat ditelusuri dapat memperoleh kebenaran yang
dengan karya-karya ushul fikih yang ada, sesungguhnya mengenai hukum yang
adalah Syafi’i orang pertama yang dikendaki Allah, Syafi’i mengatakan
mengagas konsep qat’i dan zanni, bahwa kebenaran itu ada yang bersifat lahir
walaupun ia belum mempunyai istilah dan batin, dan ada yang hanya merupakan
khusus untuk menampung konsep tersebut. kebenaran pada lahirnya saja, yaitu
Dalam al-Risalah, Syafi’i mengambarkan sepanjang dapat kita buktikan. Dalil yang
ide tentang qat’i dan zanni pada dua diriwayatkan berupa nas al-Qur’an dan
tempat. Sunnah Rasul yang diriwayatkan secara
Pertama, ketika menjelaskan pengetahuan mutawatir menghasilkan kebenaran yang
hukum yang diperoleh melalui khabar lahir dan batin, sedangkan dalil yang
ahad, dan kedua, ketika menjelaskan berupa khabar ahad melahirkan kebenaran
otoritas qiyas. Ketika menjelaskan otoritas pada lahirnya saja seperti kebenaran yang
khabar ahad, Syafi’i ditanya apakah disimpulkan hakim berdasarkan keterangan
pengetahuan yang diperoleh melalui dalil- para saksi yang mungkin saja berbohong.
dalil itu berbeda-beda. Ia mengatakan Termasuk kebenaran pada lahirnya yaitu
bahwa dalil yang merupakan khabar ahad sepanjang yang dapat kita capai dengan
yang diriwayatkan melalui jalur tunggal bukti kongkrit yang ada adalah kebenaran
(al-tariq al-infirad) dan mengadung yang dihasilkan oleh qiyas. 25
kemungkinan-kemungkinan mengikat bagi Dikalangan ulama ushul fikih yang
semua orang dan tidak boleh ditolak. Akan dating kemudian barulah Syatibi yang
melakukan rekonstruksi pemahaman qat’i
22
Terjemahan zanny dengan kata asumsi dan zanni. Sebelumnya dikalangan mereka
diambil dari Peters, God ‘syari’ah Created Speech, pemahaman qat’i dan zanni tidak banyak
Leiden: E. J. Brill, 1976, hlm. 45. berbeda dengan pengertian sebagaimana
23
Uraian tentang konsep pengetahuan
dikemukakan di atas. Dalam hal ini seriing
dikalangan ulama ushul fikih menurut Qadi Abd
Jabbar lihat Peters, I b i d., hlm. 40-104; Sedangkan
menurut ulama Islam secara umum lihat F. Al-Syafi’i, I b i d, al-Risalah, Kairo:
24
Rozenthlm., Knowlegde Triumphant, Leiden; E. J. Maktabah Dar al-Turas, 1979, hlm. 460-461.
25
Brill, 1970, hlm 71-79. I b i d., hlm. 477-483.
360
DASAR-DASAR PERUMUSAN HUKUM ISLAM
(Analisis Metodologis terhadap Perumusan Maqasid al-Shari’ah al-Shatibi)
361
DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW• VOL. 3 NO. 1 OKTOBER 2018
362
DASAR-DASAR PERUMUSAN HUKUM ISLAM
(Analisis Metodologis terhadap Perumusan Maqasid al-Shari’ah al-Shatibi)
mengemukakan prmis teologis untuk yang relative sama untuk ditarik makna
memberikan landasan yang kokoh bagi sentral yang dikandungnya. Upaya ini
hasil penelitiannya yang menyimpulkan dilakukan untuk menemukann cita hukum
bahwa ayari’ah semata-mata ditetapkan syar’I yang ideal. Kedua, melakukan
untuk kemaslahatan manusia (konsep ta’lil analisi terhadap sosio histori realitas
isa dikatakan ia Mu’tazilah), Syatibi segera masyarakat untuk menemukan inti
menyusulinya dengan mengatakan bahwa persoalan yang sebenarnya. Hal ini
tidak ada tahsin dan taqbih (akal tidak dilakukan untuk menemukan relevansi
mutlak mengetahui apa yang baik dan pa antara cita hukum yang ideal tersebut
yang buruk). dengan makna dan maslahah yang sangat
Syatibi juga melihat perlunya terkait dengan historisitas umat manusia.
menyeimbang antara analisi teks dan Kedua level analisis ini mungkin akan
analisis realitas masyarakat dalam memperlihatkan adannya jarak tertentu
penalaran dan argumentasi hukum. Syatibi antara hukum ideal sebagai tertuang dalam
menjelaskan bahwa ijtihad hukum bergerak teks dengan kenyataan masyarakat dan
dalam dua arah menuju ke titik yang sama. perkembangan social taua tidak. Jika
Arah pertama merupakan analisis tekstual memang terdapat jarak yang unreasonable
untuk menemukan inti dan illat hukum. maka dilakukan usaha pendekatan antara
Arah kedua melakukan analisis terhadap keduanya dengan menyesuaikan hukum
kasus untuk menemukan inti permasalahan ideal tadi sampai batas tertentu dengan
yang sebenarnya.31 pada bagian lain ia perkembangan masyarakat dan keligus
menyarankan apa yang sekarang kita sebut melakukan social engineering terhadap
pendekatan sosio historis, yaitu masyarakat sesuai dengan tuntutan yang
mempelajari teks yang berasal dari suatu dikendaki oleh kuhun syari’i.
sumber bersejarah di lafalkan secara
tercabut dari konteksnya, sehingga E. KESIMPULAN
pemahaman teks itu semata-mata Teori maqasid al-syari’ah Syatibi
berdasarkan teks itu sendiri bisa dibangun di atas premis yang sangat
menyesatkan. Karena itu analisis historis meyakinkan bahwa semua hukum syari’ah
terhadap konteks yang dilahirkan mutlak ditetapkan dengan satu tujuan. Syari’ah
diperlukan.32 deberlakukan bukan untuk dirinya sendiri
Dari apa yang dikemukakan di atas tetapi “mengabdi” untuk kepentingan
secara keseluruhan kita dapat mengambil diluar dirinya yaitu kemaslahatan manusia.
garis besar metodologi ijtihad yang Kemaslahatan manusia paling pokok dan
ditawarkan Syatibi. Pilar untuma ijtihad bersifat universal yang menjadi tujuan
terletak pada unsure sebagaimana telah utama ditetapkan syari’ah adalah
disinggung dalam pendahuluan tesis ini, kebebasan baragama, keselamatan jiwa,
yaitu analisi teks dan elaborasi maqasid al- keselamatan akal (intelek), kehormatan
syari’ah,33 dengan demikian metodologi keluarga dan keamanan harta benda.
yang dimaksudkan oleh Syatibi ialah pola Konsepsi Syatibi ini didasarkan pada hasil
penalaran dan argumentasi hukum yang penelitiannya terhadap nas-nas dan tradisi
bergerak dalam dua level. Pertama, Syari’ dalam menetapkan hukum. Dari
analisis teks dengan mengunakan pengamatannya yang mendalam terhadap
pendekatan induktif (istiqra’ ma;nawi) nas-nas syari’ah, Syatibi sampai pada suatu
yakni mengumpulkan sebanyak mungkin kesimpulan yang sangat meyakinkan
data-data tekstual yang mempunyai makna bahwa syari’ah ditetapkan dengan landasan
ta’lil maslahi (mempunyai tujuan untuk
31
Syatibi, op.cit., vol. IV, hlm. 47-49. kemaslahatan).
32
I b i d., vol III, hlm. 201. Metodologi pendekatan ijtihad
33
Lihat penyataan Abd. Darraz ketika hukum yang disarankan Syatibi adalah
mengomentari kitab al-Muwafaqatnya Syatibi.
363
DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW• VOL. 3 NO. 1 OKTOBER 2018
DAFTAR PUSTAKA
364
DASAR-DASAR PERUMUSAN HUKUM ISLAM
(Analisis Metodologis terhadap Perumusan Maqasid al-Shari’ah al-Shatibi)
365