PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Lanjut usia merupakan sebuah proses alami bagi setiap individu yang tidak dapat dihindari dan
merupakan tahapan akhir dalam daur kehidupan manusia. Tahapan tersebut dimulai dari proses
kelahiran, tumbuh menjadi dewasa dan berkembang biak sampai tua dan mengalami kematian
(Suardiman, 2011). Sedangkan menurut Nugroho (2006) proses menua terjadi secara bertahap mulai
dari awal sampai akhir kehidupan, yaitu: anak, dewasa dan menjadi tua. Menurut Peraturan
Pemerintah RI No. 43 Tahun 2004, dijelaskan bahwa yang disebut dengan lansia adalah individu
yang telah mencapai usia 60 tahun keatas (Kemenkes, 2017)
WHO telah mengidentifikasi bahwa lansia merupakan kelompok masyarakat yang paling
mudah terserang kemunduran fisik dan mental, salah satu gangguan mental yang sering dialami lansia
adalah depresi (Nugroho, 2008). Depresi merupakan penyakit mental yang paling sering terjadi pada
pasien berusia di atas 60 tahun atau lansia (Amir, 2005)
Depresi merupakan masalah psikologis yang banyak terjadi pada lanjut usia. Masalah tersebut
ditandai dengan perasaan sedih mendalam yang berdampak pada gangguan interaksi sosial. Tidak
jarang gejala depresi juga berupa gangguan fisik seperti insomnia dan berkurangnya napsu makan.
Depresi seringkali tidak terdeteksi pada lanjut usia karena dianggap sebagai akibat dari proses
penuaan dan penyakit kronis yang dialami oleh lanjut usia. Padahal deteksi dini dan penanganan yang
tepat terhadap depresi dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup bagi lanjut usia (Dewi,
2014). Depresi yang sering dialami lansia tersebut juga menyebabkan gangguan mekanisme koping
pada penderitanya, kebanyakan pada klien lansia dengan depresi mengalami koping individu yang
tidak efektif (Irawan, 2013).
Menurut WHO (2013), depresi merupakan gangguan psikologis terbesar ketiga yang
diperkirakan terjadi pada 5% penduduk di dunia. Penelitian yang dilakukan oleh Pracheth &Chowti
(2013) di India, memberikan hasil dari 218 lanjut usia yang diteliti, terdapat 64 orang (29,36%) yang
mengalami depresi. Di Indonesia, belum ada penelitian yang menyebutkan secara pasti tentang
jumlah prevalensi lanjut usia yang mengalami depresi. Namun peningkatan jumlah penderita depresi
dapat diamati bertambah dari waktu ke waktu melalui peningkatan jumlah kunjungan pasien yang
berobat ke pelayananan kesehatan maupun peningkatan obat psikofarmaka yang diresepkan oleh
dokter (Hawari, 2013). Diperkirakan dari jumlah lanjut usia di Indonesia pada tahun 2013 yaitu 24
juta jiwa, 5% mengalami depresi. Akan meningkat 13,5% pada lanjut usia yang memiliki penyakit
kronis dan dirawat inap. Dari hasil pendahuluan kasus bulan November tahun 2018 di Pelayananan
Sosial Tresna Werdha tercatat 13 orang lansia tersebut mengalami keadaan depresi.
Depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh
proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Pada umumnya mood yang secara
dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan (Rice PL 1992, dalam
Journal An-nafs: Kajian dan Penelitian Psikolog 2016).
Depresi dapat menyebabkan mekanisme koping yang sering dialami lansia yaitu
ketidakmampuan klien untuk menerima realita yang terjadi pada usia lanjutnya dan beberapa faktor
yang menyebabkan hal tersebut adalah kurangnya kasih sayang dari keluarga dan perasaan tidak
diinginkan oleh keluarganya serta faktor tidak mempunyai keluarga atau disebut juga sebatang kara.
Batasan karakteristik yang terjadi yaitu perubahan pada pola komunikasi yang biasa. Depresi pada
lanjut usia telah menjadi masalah utama yang dihubungkan dengan kematian dan kejadian bunuh diri
(Jones, 2003). Hasil penelitian menyebutkan 15% lanjut usia memiliki kecenderungan bunuh diri
karena depresi (Subrata, 2003). Risiko bunuh diri pada lanjut usia wanita yang mengalami depresi
dua atau tiga kali lebih tinggi daripada lanjut usia laki-laki (Jones 2003). Bila hal ini tidak disikapi
dengan benar dapat membahayakan lanjut usia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Depresi sebagai suatu gangguan mood yang dicirikan tak ada harapan dan patah hati,
ketidakberdayaan yang berlebihan, tak mampu mengambil keputusan memulai sautu kegiatan, tak
mampu berkonsentrasi, tak punya semangat hidup, selalu tegang, dan mencoba bunuh diri (Atkinson,
1991) dalam (Lubis, 2016).
Depresi merupakan kondisi emosional yang biasanya ditandai dengan kesedihan yang amat
sangat, perasaan tidak berarti dan bersalah (menarik diri, tidak dapat tidur, kehilangan selera, minat
dalam aktivitas sehari-hari) (Gerald C. Davison, 2004) dalam (Miftahudin, 2016).
Depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh
proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Pada umumnya mood yang secara
dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan (Rice PL, 1992) dalam
(Miftahudin, 2016).
B. Etiologi
Etiologi diajukan para ahli mengenai depresi pada usia lanjut adalah:
1. Polifarmasi
Terdapat beberapa golongan obat yang dapat menimbulkan depresi, antara lain: analgetika, obat
antiinflamasi nonsteroid, antihipertensi, antipsikotik, antikanker, ansiolitika, dan lain-lain.
2. Kondisi medis umum
Beberapa kondisi medis umum yang berhubungan dengan depresi adalah gangguan endokrin,
neoplasma, gangguan neurologis, dan lain-lain.
3. Teori neurobiology
Para ahli sepakat bahwa faktor genetik berperan pada depresi lansia. Pada beberapa penelitian
juga ditemukan adanya perubahan neurotransmiter pada depresi lansia, seperti menurunnya
konsentrasi serotonin, norepinefrin, dopamin, asetilkolin, serta meningkatnya konsentrasi
monoamin oksidase otak akibat proses penuaan. Atrofi otak juga diperkirakan berperan pada
depresi lansia.
4. Teori psikodinamik
Elaborasi Freud pada teori Karl Abraham tentang proses berkabung menghasilkan pendapat
bahwa hilangnya objek cinta diintrojeksikan ke dalam individu tersebut sehingga menyatu atau
merupakan bagian dari individu itu. Kemarahan terhadap objek yang hilang tersebut ditujukan
kepada diri sendiri. Akibatnya terjadi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri, merasa
diri tidak berguna, dan sebagainya.
5. Teori kognitif dan perilaku
Konsep Seligman tentang learned helplessness menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
kehilangan yang tidak dapat dihindari akibat proses penuaan seperti keadaan tubuh, fungsi
seksual, dan sebagainya dengan sensasi passive helplessness pada pasien usia lanjut.
6. Teori psikoedukatif
Hal-hal yang dipelajari atau diamati individu pada orang tua usia lanjut misalnya
ketidakberdayaan mereka, pengisolasian oleh keluarga, tiadanya sanak saudara ataupun
perubahan-perubahan fisik yang diakibatkan oleh proses penuaan dapat memicu terjadinya
depresi pada usia lanjut.
Dukungan sosial yang buruk dan kegiatan religius yang kurang dihubungkan dengan
terjadinya depresi pada lansia. Suatu penelitian komunitas di Hongkong menunjukkan hubungan
antara dukungan sosial yang buruk dengan depresi. Kegiatan religius dihubungkan dengan
depresi yang lebih rendah pada lansia di Eropa. “Religious coping” berhubungan dengan
kesehatan emosional dan fisik yang lebih baik. “Religious coping” berhubungan dengan
berkurangnya gejala-gejala depresif tertentu, yaitu kehilangan ketertarikan, perasaan tidak
berguna, penarikan diri dari interaksi sosial, kehilangan harapan, dan gejala-gejala kognitif lain
pada depresi .
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Geriatric Depression Scale (GDS-30)
Skrining depresi pada lansia pada layanan kesehatan primer sangat penting. Hal ini
penting karena frekuensi depresi dan adanya gagasan untuk bunuh diri pada lansia adalah tinggi .
Skrining juga perlu dilakukan untuk membantu edukasi pasien dan pemberi perawatan tentang
depresi, dan untuk mengikuti perjalanan gejala-gejala depresi seiring dengan waktu. Skrining tidak
ditujukan untuk membuat diagnosis depresi mayor, namun untuk mendokumentasikan gejala-
gejala depresi sedang sampai berat pada lansia apapun penyebabnya
Skrining depresi pada lansia memiliki kekhususan tersendiri. Gejala-gejala depresi
seperti kesulitan-kesulitan tidur, energi yang berkurang, dan libido yang menurun secara umum
ditemukan pada penderita depresi lansia . Pemikiran tentang kematian dan keputusasaan akan
masa depan mempunyai makna yang berbeda bagi mereka yang berada pada fase terakhir
kehidupan. Lagipula, kondisi medik kronik lebih umum pada pasien geriatri dan dapat
berhubungan dengan retardasi motorik dan tingkat aktivitas yang berkurang. Komorbiditas dengan
demensia dapat mempengaruhi konsentrasi dan proses kognitif.
Geriatric Depression Scale (GDS) dirancang untuk menjadi tes untuk skrining depresi
yang mudah untuk dinilai dan dikelola . Geriatric Depression Scale memiliki format yang
sederhana, dengan pertanyaan-pertanyaan dan respon yang mudah dibaca. Geriatric Depression
Scale telah divalidasi pada berbagai populasi lanjut usia, termasuk di Indonesia. Selain GDS,
screening scale lain yang telah terstandardisasi adalah Center for Epidemiologic Studies
Depression Scale, Revised (CES-D-R). Selain GDS dan CES-D-R, masih ada instrumen skrining
lain seperti Hamilton Rating Scale for Depression, Zung Self-Rating Depression Scale,
Montgomery-Asberg Depression Rating Scale , namun kedua instrumen inilah yang paling sering
digunakan .
Geriatric Depression Scale terdiri dari 30 pertanyaan yang dirancang sebagai suatu self-
administered test, walaupun telah digunakan juga dalam format observer-administered test.
Geriatric Depression Scale dirancang untuk mengeliminasi hal-hal somatik, seperti gangguan tidur
yang mungkin tidak spesifik untuk depresi pada lansia. Skor 11 pada GDS mengindikasikan
adanya depresi yang signifikan secara klinis, dengan nilai sensitivitas 90,11 % dan nilai
spesifisitas 83,67% . Terdapat juga GDS versi pendek yang terdiri dari 15 pertanyaan saja. Pada
GDS versi pendek ini, skor 5 atau lebih mengindikasikan depresi yang signifikan secara klinis.
F. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi adalah untuk mencegah relaps, rekuren dan kronisitas. Depresi pada lansia dapat
lebih efektif diobati dengan kombinasi terapi psikologis dan farmakologis disertai pendekatan
interdisiplin yang menyeluruh. Penanganan depresi pada lansia memerlukan perhatian ekstra, segala
kesulitan dan keluhan perlu didengarkan dengan sabar. Karena ketidaksabaran terapis dianggap
sebagai penolakan .
Adapun strategis praktis pada individu adalah:
1. Menyusun jadwal pertemuan untuk menjaga kepatuhan dan komitmen .
2. Mengetengahkan topic pembicaraan tentang kehidupan social yang umum untuk membangun
hubungan dokter – pasien yang baik
3. Secara terfokus membicarakan masalah dan menetapkan sasaran realistis yang dapat dicapai
untuk memberikan arah yang pasti bagi pasien
4. Mendorong pasien terlibat dalam kegiatan yang berarti dan berguna untuk meningkatkan
kemampuan menikmati pengalaman yang menyenangkan
5. Menunjukkan kepedulian melalui sentuhan fisis yang wajar
6. Meninjau kembali apa yang telah dicapai dimasa lalu untuk membangkitkan rasa mampu dan
harga diri
Indikasi Pemberian Obat Antidepresi
Secara umum indikasi pemberian obat anti depresi adalah untuk gangguan depresi sedang sampai
berat , episode depresi berulang dan depresi dengan gambaran melankolia atau psikotik. Karena
manifestasi klinis depresi pada usia lanjut seringkai tidak khas , maka menentukan indikasi pemberian
obat antidepresi pada pasien lansia seringkali merupakan pertimbangan klinis berdasarkan pada
pengalaman klinis dalam mengenali tanda dan gejala depresi yang terselubung
Pemilihan obat Antidepresi
Pemilihan jenis obat antidepresi bagi pasien usia lanjut lebih merujuk pada profil efek samping obat .
Preparat sekunder trisiklik ( desipramin, nortriptilin ) masih cukup aman dan efektif untuk digunakan
pada lansia. Antidepresi generasi baru bekerja pada reseptor susunan saraf otak , bersifat lebih selektif
dan spesifik sehingga profil efek sampingnya lebih baik. Jenis – jenis obat antidepressant :
1. Tricyclic compound : Amitriptyline, Imipramine, Clomipramine, Tianeptin
2. Tetracyclic compound :Maprotiline, Mianserin, Amoxapine
3. Reversible MAOIs : Moclobemide
4. Serotonin Selective Reuptake Inhibitor / SSRI : Fluoxetin, Sertralin, Paroksetin, Fluvoksamin,
Sitalopram
5. Atypical Antidepresants : Trazodone, Nefazodone, Mirtazepin, Venlafaksin
Saat ini golongan SSRI merupakan obat antidepresi yang dianjurkan sebagai lini pertama
sebagai pengobatan depresi pada lansia. Dari golongan SSRI, Sitalopram dan Sertralin dianggap
paling aman karena kedua obat ini sangat sedikit dimetabolisme oleh isoenzym cytochrome P450,
sehingga mengurangi resiko interaksi obat yang merugikan. Namun SSRI mempunyai efek samping
yaitu keluhan serotoninergic seperti sakit kepala, mual, diare, insomnia dan agitasi psikomotor. SSRI
juga dapat menimbulkan efek samping ekstrapiramidal khususnya pada pasien depresi dengan
komorbiditas penyakit syaraf. Salah satu efek samping berbahaya darin SSRI adalah Central
Serotonin Syndrom , yang dapat timbul bila digunakan bersama obat-obat yang dapat memacu
transmisi serotonin, seperti MAOIs dan obat-obat dekongestan ( phenylpropanolamine ). Penggunaan
fluvoksamin bersama teofilin harus dihindari karena dapat menyebabkan takikardi supraventricular
yang serius. Pasien dengan keluhan insomnia dapat dipilihkan preparat antidepresi yang bersifat
sedative kuat seperti mirtazepin atau trazodone. SSRI dan Tianeptin bersifat non sedative dan
dikatakan efektif memperbaiki keluhan gangguan kognitif pada pseudodemensia.Trazodone baik
untuk mereka dengan keluhan disfungsi seksual, tetapi dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik.
Pemberian antidepresi dimulai dengan dosis rendah dinaikkan perlahan-lahan ( start low and go
slow ). Pengobatan antidepresi dibedakan atas tiga fase, yaitu :
1. Fase akut yang berlangsung antara 6 -12 minggu. Pada tahap ini dosis optimal obat untuk
memperbaiki gejala depresi diharapkan tercapai
2. Tahap kedua disebut sebagai fase lanjutan yakni dosis optimal dipertahankan selama 4 sampai
dengan 9 bulan untuk mencegah terjadinya relaps.
3. Tahap berikutnya disebut terapi rumatan yang dapat berlangsung hingga satu tahun atau lebih.
Terapi rumatan diberikan terutama untuk gangguan depresi dengan riwayat episode berulang
BAB III
PEMBAHASAN
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian