Anda di halaman 1dari 16

PATOFISIOLOGI

MAKALAH
“Anemia Defisiensi Besi”

Disusun Oleh :
1. Ananda Putri F. 16190100006
2. Bunga Safitri 16190100020
3. Imelda Matruty 16190000005
4. Mariana Rena 16190000016
5. Muhammad Siddiq 16190100004
6. Prudentisima Oki 16190000001
7. Putri Yogi Selviana 16190000004
8. Sherlina Puspita 16180100004

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
JAKARTA
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepadaa Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat dan rahmatnya kami diberikan kesehatan sehingga makalah dengan judul
“Anemia Defisiensi Besi” ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang tulus memberikan doa saran dan kritik sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki.
Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan
bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap
semoga makalah ini memberikan manfaat perkembangan dunia pendidikan.

Jakarta, 28 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1. 2 Rumusan Masalah..................................................................................2
1. 3 Tujuan....................................................................................................2
1. 4 Manfaat..................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................3
2.1. Definisi Hemoglobin.................................................................................3
2.2. Definisi Anemia Defisiensi Besi...............................................................4
2.3. Eritropoeitin...............................................................................................4
2.4. Etiologi.....................................................................................................5
2.5. Gejala Anemia Defisiensi Besi.................................................................6
2.6. Dampak Anemia Defisiensi Besi..............................................................7
2.7. Terapi........................................................................................................8
BAB V....................................................................................................................11
PENUTUP..........................................................................................................11
5.1 Kesimpulan..........................................................................................11
5.2 Saran....................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia yang paling umum ditemukan pada masyarakat adalah anemia
defisiensi besi. Diperkirakan 25% dari penduduk dunia atau setara dengan 3,5
milyar orang menderita anemia. Estimasi prevalensi secara global sekitar 51%
dimana penyakit ini cenderung berlangsung pada negara yang sedang
berkembang. Pada negara berkembang terdapat 36% dari total perkiraan 3800
juta penduduknya menderita anemia, sedangkan pada negara maju hanya
terdapat 8% dari total perkiraan 1200 juta penduduknya.
Kandungan zat besi dalam tubuh total adalah sekitar 2 gr untuk perempuan
dan 6 gr untuk laki-laki. Sekitar 80% zat besi dalam tubuh fungsional terdapat
dalam Hb, sisanya terdapat di mioglobin dan enzim yang mengandung zat
besi.
Dewasa ini wanita rentan akan penyakit ini. Hal ini dapat dikarenakan
jumlah kebutuhan sel darah merah pada wanita lebih banyak bila
dibandingkan dengan laki – laki. Wanita mengalami fase menstruasi dan fase
kehamilan dan disaat itulah wanita banyak memerlukan pasokan sel darah
merah.
Prevalensi anemia defisiensi besi pada wanita hamil sangatlah tinggi, yaitu
sekitar 55% - 60%. Dalam suatu survei pada 42 desa di Bali yang melibatkan
1684 perempuan hamil didapatkan prevalens anemia defisiensi besi sebesar
46%, sebagian besar derajat anemia ialah ringan. Faktor risiko yang dijumpai
adalah tingkat pendidikan dan kepatuhan meminum pil besi (Baktaet
al, 2009).
Dampak yang ditimbulkan akibat anemia defisiensi besi sangat kompleks.
Menurut Ros dan Horton (1998), anemia defisiensi besi berdampak pada
menurunnya kemampuan motorik anak, menurunnya kemampuan kognitif,
menurunnya kemampuan mental anak, menurunnya produktivitas kerja pada
orang dewasa, yang akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi, dan pada

1
wanita hamil akan menyebabkan buruknya persalinan, berat bayi lahir rendah,
bayi lahir premature, serta dampak negatif lainnya seperti komplikasi
kehamilan dan kelahiran. Akibat lainnya dari anemia defisiensi besi adalah
gangguan pertumbuhan, gangguan imunitas, rentan terhadap pengaruh racun
dari logam-logam berat, dan seterusnya (Wulansari, 2006).

1. 2 Rumusan Masalah
1.) Apa anemia defisiensi besi itu?
2.) Mengapa wanita lebih rentan terkena anemia defisiensi besi?
3.) Bagaimana dampak dan cara pencegahan anemia defisiensi besi pada
remaja putri dan ibu hamil?

1. 3 Tujuan
1.) Untuk menginformasikan tentang definisi dari anemia defisiensi besi.
2.) Untuk memberi penjelasan khususnya wanita tentang mengapa anemia
defisiensi besi lebih rentan menimpa wanita.
3.) Untuk menginformasikan bagaimana dampak serta pencegahan anemia
defisiensi besi pada remaja putri dan ibu hamil.

1. 4 Manfaat
1.) Agar dapat mengetahui dan mengenali apa itu anemia defisiensi besi.
2.) Agar dapat mengetahui penyebab terjadinya anemia defisiensi besi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Hemoglobin


Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi
sebagai media tansport oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan
membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru- paru ( Saadah, 2010 ).
Hemoglobin merupakan suatu bahan yang sangat penting dalam eritrosit
dan dibentuk dalam sumsum tulang. Hemoglobin ini dibentuk dari heme dan
globin. Heme itu sendiri adalah satu derivate porfirin yang mengandung besi dan
kandungan zat besi yang terdapat dalam hemoglobin membuat darah berwarna
merah ( Abdurrahman, 1985 ).
Faktor – faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah
(Wirakusumah, 1998 ) :
1. Kecukupan Zat Besi dalam Tubuh
Kecukupan zat besi yang direkomendasikan adalah jumlah
minimum zat besi yang berasal dari makanan yang dapat menyediakan
secara cukup pada setiap individu yang sehat pada 95% populasi sehingga
dapat terhindar dari resiko anemia zat besi.
2. Metabolisme Zat Besi dalam Tubuh
Di dalam tubuh, zat besi terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Bagian fungsional yang digunakan untuk keperluan metabolik. Jumlah
zat besi sebagai bagian fungsional yaitu antara 25 – 55 mg / kg berat
badan. Zat besi yang sebagai bagian fungsional adalah hemoglobin,
myoglobin, sitokrom serta enzim heme dan heme.
b. Bagian yang merupakan cadangan
Jumlah zat besi sebagai cadangan apabila dibutuhkan untuk fungsi-
fungsi fisiologis yaitu antara 5 – 25 mg / kg berat badan.
3. Defisiensi Zat Besi
Unsur utama dalam sel darah merah adalah zat besi sebagai inti
molekul hemoglobin. Maka apabila kekurangan pasokan zat besi akan

3
menyebabkan menurunnya produksi hemoglobin. Akibatnya terjadi
pengecilan ukuran sel darah merah, rendahnya kandungan hemoglobin
serta berkurangnya jumlah sel darah merah, sehingga menyebabkan
seseorang menderita anemia.

2.2. Definisi Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong
(depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan
hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling
sering dijumpai, terutama negara-negara tropic atau negara dunia ketiga, oleh
karena sangat berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi (Bakta et al,2009).

2.3. Eritropoeitin
Eriptropoiesis diatur oleh hormone eritropoeitin. Hormon ini adalah suatu
polipeptida yang sangat terglikosikasi yang terdiri dari 165 asam amino dengan
berat molekul 30.400. Normalnya, 90% hormone ini dihasilkan di sel intertisial
peritubular ginjal dan 10%-nya di hati dan tempat lain. Tidak ada cadangan yang
sudah dibentuk sebelumnya dan stimulus untuk pembentukan eritropoeitin adalah
tekanan oksigen (O2) dalam jaringan ginjal. Karena itu produksi eriptropeitin
meningkat pada anemia, jika karena sebab metabolic dan structural, hemoglobin
tidak dapat melepaskan O2 secara normal, jika O 2 atmosfer rendah atau jika
gangguan fungsi jantung dan paru atau kerusakan sirkulasi ginjal mempengaruhi
pengiriman O2 ke ginjal.
Eritropoeitin merangsang eritropoiesis dengan meningkatkan jumlah sel
progenitor yang terikat untuk eritropoiesis. BFUE dan CFUE lanjut yang
mempunyai reseptor eritropoietin terangsang untuk berproliferasi, berdiferensiasi,
dan menghasilkan hemoglobin. Proporsi sel eritroid dalam sumsum tulang
meningkat dan dalam keadaan kronik, terdapat ekspansi eritropoiesis secara
anatomik ke dalam sumsum berlemak dan kadang-kadang ke lokasi
ekstramedular.

4
Pada bayi, rongga sumsum tulang dapat meluas ke tulang kortikal
sehingga menyebabkan deformitas tulang dengan  penonjolan tulang frontal dan
prostrusi maksila atau sel limfoma non Hodgkin menjadi pola folikular atau difus.
Molekul adhesi dapat juga menentukan apakah sel bersirkulasi atau tidak dalam
aliran darah, atau sel tetap dalam jaringan. Molekul adhesi tersebut sebagian juga
dapat menentukan apakah sel tumor rentan terhadap pertahanan imun tubuh atau
tidak (Hoffbrand et al,2005).

2.4. Etiologi
Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau pengunan elemen
tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Penurunan cadangan zat besi jika
bukan pada anemia yang nyata, biasanya dijumpai pada bayi dan remaja dimana
merupakan masa terbanyak pengunan zat besi untuk pertumbuhan. Neonatal yang
lahir dari perempuan dengan defisiensi besi jarang sekali anemis tetapi memang
memilki cadangan zat besi yang rendah. Bayi tidak memilki cadangan yang
diperlukan untuk pertumbuhan setelah lahir. ASI merupakan sumber zat besi yang
akurat secara marginal.
Berdasarkan data dari “The Third National Health and Nutriton
Examination Survey” ( NHANES II ), defisiensi besi ditentukan oleh ukuran yang
abnormal dari serum feritn, transfering saturation, dan/atau erythrocyte
protophorphyrin. Kebutuhan zat besi yang sangat tinggi pada laki-laki dalam masa
pubertas dikarenakan peningkatan volume darah, masa otot dan myoglobin. Pada
wanita kebutuhan zat besi setelah menstruasi sangat tinggi karena jumlah darah
yang hilang, rata-rata 20 mg zat besi tiap bulan, akan tetapi pada beberapa
individu ada yang mencapai 58 mg.
Pengunan obat kontrasepsi oral menurunkan jumlah darah yang hilang
selama menstruasi, sementara itu alat-alat intrauterin meningkatkan jumlah darah
yang hilang selama menstruasi. Tambahan beban akibat kehilangan darah karena
parasit seperti cacing tambang menjadikan defisiensi zat besi suatu masalah
dengan proporsi yang mengejutkan.
Penurunan absorpsi zat besi, hal ini terjadi pada banyak keadan klinis. Setelah

5
gastrektomi parsial atau total, asimilasi zat besi dari makanan tergangu, terutama 3
akibat peningkatan motiltas dan by pas usus halus proximal, yang menjadi tempat
utama absorpsi zat besi. Pasien dengan diare kronik atau malabsorpsi usus halus
juga dapat menderita defisiensi zat besi, terutama jika duodenum dan jejunum
proximal ikut terlibat. Kadang-kadang anemia defisiensi zat besi merupakan
pelopor dari radang usus non tropical (celiac sprue ). Kehilangan zat besi, dapat
erjadi secara fisiologis atau patologis.
a. Secara Fisiologis :
- Menstruasi

- Kehamilan, pada kehamilan aterm, sekitar 90 mg zat besi hilang dari


ibu kepada fetus, plasenta dan perdarahan pada waktu partus.
b. Secara Patologis :
Perdarahan saluran makan merupakan penyebab paling sering dan
selanjutnya anemia defisiensi besi. Prosesnya sering tiba-tiba. Selain itu
dapat juga karena cacing tambang, pasien dengan telangiektasis herediter
sehinga mudah berdarah, perdarahan traktus gastrourinarius, perdarahan
paru akibat bronkiektasis atau hemosiderosis paru idiopatik.
Yang beresiko mengalami anemia defisiensi zat besi:
- Wanita menstruasi..

- Wanita menyusui/hamil karena peningkatan kebutuhan zat besi.

- Bayi, anak-anak dan remaja yang merupakan masa pertumbuhan yang


cepat.
- Orang yang kurang makan makanan yang mengandung zat besi,
jarang makan daging dan telur selama bertahun-tahun.
- Menderita penyakit maag.

- Penggunaan aspirin jangka panjang.

- Colon cancer.

- Vegetarian karena tidak makan daging, akan tetapi dapat digantikan


dengan brokoli dan bayam.

6
2.5. Gejala Anemia Defisiensi Besi
Ada banyak gejala dari anemia, setiap individu tidak akan
mengalami seluruh gejala dan apabila anemianya sangat ringan, gejalanya
mungkin tidak tampak. Beberapa gejalanya antara lain; warna kulit yang
pucat, mudah lelah, peka terhadap cahaya, pusing, lemah, nafas pendek,
lidah kotor, kuku sendok, selera makan turun, sakit kepala (biasanya
bagian frontal).
Defisiensi zat besi mengganggu proliferasi dan pertumbuhan sel.
Yang utama adalah sel dari sum-sum tulang, setelah itu sel dari saluran
makan. Akibatnya banyak tanda dan gejala anemia defisiensi besi
terlokalisasi pada sistem organ ini:
- Atropi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang.
- Stomatitis angularis (cheilosis); adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
- Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan aklhloridia.

- Selaput pascakrikoid (Sindrom Plummer-Vinson) ; kesulitan dalam


menelan, pada defisiensi zat besi jangka panjang.
- Koilonikia (kuku berbentuk sendok) ; karena pertumbuhan lambat dari
lapisan kuku.
- Koilonychia; kuku sendok (spoon nail), karena pertumbuhan lambat
dari lapisan kuku, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical dan
menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
- Menoragia ; gejala yang biasa pada perempuan dengan defisiensi besi.

- Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.

2.6. Dampak Anemia Defisiensi Besi

7
a. Anak – anak :
 Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.
 Menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan
otak.
 Meningkatkan resiko menderita penyakit infeksi karena daya tahan
tubuh menurun.
b. Remaja :
 Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai
optimal.
 Menurunkan kemampuan fisik dan kebugaran.
 Menakibatkan muka pucat.
c. Ibu hamil :
 Menimbulkan pendarahan sebelum atau saat persalinan.
 Meningkatkan resiko melahirkan Bayi dengan Berat Lahir Rendah
atau BBLR (<2,5 kg)
 Pada anemia berat, bahkan dapat menyebabkan kematian pada ibu
dan/atau bayinya.

2.7. Terapi
Defisiensi zat besi berespons sangat baik terhadap pemberian obat oral
seperti garam besi (misalnya sulfas ferosus) atau sediaan polisakarida zat besi
(misalnya polimaltosa ferosus). Terapi zat besi yang dikombinasikan dengan diit
yang benar untuk meningkatkan penyerapan zat besi dan vitamin C sangat efektif
untuk mengatasi anemia defisiensi besi karena terjadi peningkatan jumblah
hemoglobin dan cadangan zat besi. CDC merekomendasikan penggunaan elemen
zat besi sebesar 60 mg, 1-2 kali perhari bagi remaja yang menderita anemia.
Contoh dari suplemen yang mengandung zat besi dan kandungan elemen zat besi
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

8
supplement Total iron (mg) Elemental Iron (mg)
Ferrous sulfate 324 66
Ferrous gluconate 325 36
Feostat chewable 100 33
Feostat liquid 100 33/5 ml
Slow Fe 160 50
Fe 50 extended release 160 50
Ferro-Sequels timed release 50 50
Feosol caplets 50 50
Sumber: Drug facts and comparisons. St. Louis, MO: Facts and Comparisons,
1998.

Zat besi paling baik diabsorpsi jika dimakan diantara waktu makan.
Sayangnya, ketidaknyamanan abdominal, yang ditandai dengan kembung, rasa
penuh dan rasa sakit yang kadang-kadang, biasanya muncul dengan sediaan besi
ini. Tetapi resiko efek samping ini dapat dikurangi dengan cara menaikkan dosis
secara bertahap, menggunakan zat besi dosis rendah, atau menggunakan preparat
yang mengandung elemen besi yang rendah, salah satunya glukonat ferosus.
Kompleks polisakarida zat besi seringkali lebih berhasil dibandingkan dengan
garam zat besi, walaupun kenyataannya tablet tersebut mengandung 150 mg
elemen zat besi. Campuran vitamin yang mengandung zat besi biasanya harus
dihindari, karena sediaan ini mahal dan mengandung jumblah zat besi yang
suboptimal.
Retikulositosis dimulai 3-4 hari setelah inisiasi terapi zat besi, dengan
puncaknya sekitar 10 hari.
Pasien dapat tidak berespon dengan penggantian zat besi sebagai akibat dari:
- Diagnosis yang tidak benar.

- Ketidak patuhan konsumsi tablet besi (Fe).

- Kehilangan darah melampaui kecepatan penggantian.

- Supresi sum-sum tulang oleh tumor, radang kronik, dll.

9
- Malabsorpsi, sangat jarang akan tetapi jika terjadi, diperlukan penggantian zat
besi parenteral.
Kompleks dekstran-zat besi dapat digunakan melalui suntikan im setelah
tes dengan dosis 25 mg untuk reaksi alergi.
- 100 mg dekstran-zat besi, per sesi terapi. Pemberian dapat diulang setiap
minggu sampai cadangan zat besi terpenuhi. Traktus Z sebaiknya digunakan
pada suntikan untuk mencegah mengembunnya gabungan tersebut kedalam
dermis, yang dapat menghasilkan pewarnaan kulit yang tidak dapat
dihilangkan.
- Pemberian secara iv dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat menerima
suntikan im atau yang memerlukan koreksi defisiensi zat besi lebih cepat.
Pendekatan yang paling nyaman adalah dengan mengencerkan 500 mg
campuran tersebut kedalam 100 ml cairan salin steril dan memasukkan dosis
percobaan sebanyak 1 ml. jika tidak terjadi reaksi alergi, sisa solusi dapat
diberikan dalam 2 jam. Pemberian iv sampai 4 g zat besi dalam satu keadaan
memungkinkan koreksi defisiensi zat besi dalam satu sesi. Sekitar 20% dari
pasien mengalami artralgia, menggigil dan demam yang tergantung dari dosis
yang diberikan dan dapat berlangsung sampai beberapa hari setelah infus.
Zat besi-dekstran harus digunakan secara hemat, jika perlu, pada semua
pasien dengan artritis reumatoid, karena gejala tersebut secara nyata dipacu oleh
penyakit ini. Obat anti inflamasi non steroid biasanya mengatur gejala tersebut.
Anafilaksis, komplikasi serius penggunaan zat besi-dekstran, jarang muncul. Jika
gejala awal muncul, infus dihentikan dan perbaikan keadaan dengan benadril dan
epinefrin dapat dimulai.
Jumlah zat besi yang diperlukan untuk penggantian dapat dihitung dari defisit
massa sel darah merah, dengan tambahan 1000 mg untuk mengganti cadangan
tubuh. Transfusi darah jarang diperlukan kecuali untuk pasien dengan anemia
defisiensi zat besi yang berat yang mengancam fungsi kardiovaskular atau
cerebrovaskular.

10
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1.) Kurangnya besi berakibat pada kurangnya pasokan sel darah merah yang
ada dalam tubuh, sehingga dapat menimbulkan berbagai gangguan klinik
serta kelainan.
2.) Wanita lebih rentan terkena anemia defisiensi besi karena kebutuhan akan
zat besi yang lebih banyak daripada pria. Wanita mengalami menstruasi
yang mengakibatkan darah menghilang rata – rata 20 mg zat besi tiap
bulannya, bahkan ada yang mencapai 58 mg. Pada ibu hamil, memberikan
nutrisi pada fetus, sehingga jumlah Fe berkurang. Terlebih lagi bagi ibu
melahirkan yang mengeluarkan banyak darah, sehingga asupan Fe perlu
ditambah untuk mengurangi resiko melahirkan Bayi dengan Berat Lahir
Rendah (BBLR).
3.) Dampak yang timbul dari anemia defisiensi besi bagi remaja putri dan ibu
hamil dapat menakibatkan penurunan aktifitas fisik, pucat dan lemas dan
gangguan kesehatan serta berbagai kelainan. Pada ibu hamil dapat
mengakibatkan bayi lahir dengan berat badan dibawah normal bahkan
dapat meningkatkan angka kematian bayi dan ibu atau salah satu
diantaranya saat proses persalinan. Namun, hal tersebut dapat dicegah dan
dihindari dengan mengatur pola makan yang seimbang, mencukupi
kebutuhan Fe dengan tablet besi (Fe) ataupun tablet penambah darah.

11
5.2 Saran
1.) Sebaiknya wanita perlu memahami dan memerhatikan serta
memperluas pengetahuannya tentang anemia defisiensi besi. Karena
wanita menjadi subyek utama penderita anemia defisiensi besi.
Dengan mempelajari beberapa dampak dan cara pencegahannya serta
beberapa terapi yang dapat dilakukan, diharapkan kasus anemia
defisiensi besi pada wanita dapat berkurang dan dapat melahirkan
masyarakat yang sehat.
2.) Sebaiknya para wanita tidak perlu terlalu cemas dengan anemia
defisiensi besi, karena dapat dicegah dan dihindari, bahkan bisa
diobati dengan berbagai terapi. Namun juga tetap harus waspada
apabila terdapat beberapa kelainan, karena memungkinkan menderita
ADB yang berkepanjangan dan sudah termasuk parah.
3.) Sebaiknya mencegah anemia defisiensi besi dengan menjaga pola
makan yang benar, istirahat yang cukup dan memenuhi kebutuhan
besi (Fe) serta mengkonsumsi tablet besi (Fe) secara teratur sesuai
kebutuhan yang dianjurkan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia, 2009.


Bakta, I Made.,Suega,Ketut.,Dharmayuda, Tjokro Gde., 2009. “Anemia
Defisiensi Besi,” Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta : Internal
Publising FK UI., Edisi ke-4., hal. 1127-1135., 2009.
Wijaya, Yoppy. Anemia Defisiensi Zat Besi. Surabaya : Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, 2007.
Kartamihardja, Emmy., 2008. Anemia Defisiensi Besi. Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Muhammad,Adang.,Sianipar, Osman., 2005. Penentuan Defisiensi Besi Anemia
Penyakit Kronis Menggunakan Peran Indeks sTfR-F. Indonesian Journal
of Clinical Pathology and Medical Laboratory,Vol.12,No.1,Nov 2005:9-
15.
World Health Organization. Iron deficiency anaemia:assessment, prevention, and
control: a guide for programme managers. Geneva: WHO;2001.h.33-114.

13

Anda mungkin juga menyukai