HUKUM BISNIS-Leasing
HUKUM BISNIS-Leasing
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk menjalankan suatu usaha maka kita memerlukan modal yang tidak sedikit. Apalagi
kita juga membutuhkan barang-barang modal untuk menjalankan suatu usaha tersebut, agar kita
dapat menjalankan suatu usaha dengan lancar maka kita membutuhkan suatu lembaga untuk
memperoleh suatu dana usaha, lembaga ini dinamakan leasing.
Leasing atau sewa-guna-usaha adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaandalam bentuk
penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu
tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi
perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau
memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang yang telah disepakati bersama.
Dengan melakukan leasing perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan jalan sewa beli
untuk dapat langsung digunakan berproduksi, yang dapat diangsur setiap bulan, triwulan atau
enam bulan sekali kepada pihak lessor.
Dari latar belakang tersebut, kami akan membatasi pokok bahasan makalah ini. Kami
membatasi masalah menjadi
1. Pengaertian Sewa Guna Usaha (Leasng)
2. Pengakuan de jure dan de facto
3. Akibat hukum dari pengakuan
4. Pengakuan terhadap insurgensi dan beligerensi
5. Pengakuan berkenaan dengan wilayah dan non wilayah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
Dengan diselesaikannya penulisan makalah ini, penulisan makalah ini diharapkan hasilnya
dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut :
1. Secara teoritis, hasil makalah ini dapat memberikan sumbangan pemikiran pada pengembangan
ilmu hukum di bidang hokum internasional tentang pengakuan de jure dan de facto hokum
internasional. Selain itu dapat memperluas pandangan ilmiah mengenai Pengkuan Hukum
Internasional
2. Secara praktis, sebagai bahan masukan bagi pembuat Undang-undang di bidag Hukum
Internasional untuk melakukan pembaharuan peraturan perundang-undangan serta sistem
hukumnya. Selain itu, sebagai bahan informasi bagi para pelaksana kebijakan dalam mengambil
langkah-langkah perumusan kebijakan mengenai Pengakuan Hukum Internasional
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, kami menggunakan metode yuridis normatif yang berbentuk
studi pustaka. Yaitu tekhnik pengambilan data yang didasarkan pada sumber-sumber sekunder.
F. Sistematika Penulisan
A. PENGERTIAN
Sewa Guna Usaha (Leasing) menurut Perpres No 9 tahun 2009 tentang lembaga pembiayaan
adalah lembaga pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik sewa guna usaha
dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk
di gunakan oleh penyewa guna usaha (lessee). Selama jangka waktu tertentu selama masih
jangka waktu tertentu berdasarkan pembiayaan secara angsuran.
Pengertian sewa guna usaha menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991
tanggal 21 Nopember 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha: Sewa guna usaha adalah
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara guna usaha dengan hak
opsi ( finance lease ) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi ( operating lease ), untuk
digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
Selanjutnya yang dimaksud dengan finance lease adalah kegiatan sewa guna usaha dimana
lessee pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha
berdasarkan nilai sisa yang disepakati. Sebaliknya operating lease tidak mempunyai hak opsi
untuk membeli objek sewa guna usaha. Dari defenisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa sewa guna usaha merupakan suatu kontrak atau persetujuan sewa-menyewa.
Objek sewa guna usaha adalah barang modal dan pihak lessee memiliki hak opsi dengan
harga berdasarkan nilai sisa. Dalam setiap transaksi leasing di dalamnya selalu melibatkan 3
pihak utama, yaitu:
a. Lessor adalah perusahaan sewa guna usaha atau di dalam hal ini pihak yang memiliki hak
kepemilikan atas barang
b. Lessee adalah peruahaan atau pihak pemakai barang yang bisa memiliki hak opsi pada akhir
perjanjian
c. Supplier adalah pihak penjual barang yang disewagunausahakan.
Perusahaan leasing dalam menjalankan kegiatan usahanya dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga)
kelompok, yaitu :
1. Independent Leasing Company
Perusahaan leasing jenis ini mewakili sebagian besar dari industri leasing . Perusahaan tipe
ini berdiri sendiri atau independent dari supplier yang mungkin dapat sekaligus sebagai pihak
produsen barang dan dalam memenuhi kebutuhan barang modal nasabahnya ( lessee ).
Perusahaan dapat membelinya dari berbagai supplier atau produsen kemudian di-lease kepada
pemakai. Lembaga keuangan yang terlibat dalam kegiatan usaha leasing , misalnya bank-bank,
dapat pula disebut sebagai lessor independent . Banyak lembaga keuangan yang bertindak
sebagai lessor tidak hanya memberikan pembiayaan leasing kepada lessee tetapi juga
memberikan pendanaan kepada perusahaan leasing. Di samping itu lessor independen dapat pula
memberikan pembiayaan kepada supplier (manufacturer ) yang sering disebut dengan vendor
program.
2. Captive Lessor
Captive lessor akan tercipta apabila supplier atau produsen mendirikan perusahaan leasing
sendiri untuk membiayai produk-produknya. Hal ini dapat terjadi apabila pihak supplier
berpendapat bahwa dengan menyediakan Supplier (Manufacturer), Lessor Independent (Lessor)
. pembiayaan leasing sendiri akan dapat meningkatkan kemampuan penjualan melebihi tingkat
penjualan dengan menggunakan pembiayaan trasdisional. Captive lessor ini sering pula disebut
dengan twoparty lessor. Pihak pertama terdiri atas perusahaan induk dan anak perusahaan leasing
(subsidiary ) dan pihak kedua adalah lessee atau pemakai barang.
3. Lease Broker atau Packager
Bentuk akhir dari perusahaan leasing adalah leasebroker atau packager . Broker leasing
berfungsi mempertemukan calon lessee denngan pihak lessor yang membutuhkan suatu barang
modal dengan cara leasing. Broker leasing beasanya tidak memiliki barang atau peralatan untuk
menangani transaksi leasing untuk atas namanya. Disamping itu perusahaan broker leasing
memberikan satu atau lebih jasa-jasa dalam usaha leasing tergantung apa yang dibutuhkan dalam
suatu transaksi leasing.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan semakin berkembangya dunia bisnis, maka semakin banyak perusahaan yang terjun ke dunia bisnis.
Dengan semakin banyaknyaperusahaan yang terjun ke dunia bisnis, maka semakin banyak kebutuhandana dan
modal yang harus dipenuhi oleh berbagai perusahaan. Haltersebut mendorong industry bisnis yang bergerak dalam
bidangpembiayaan yang disebut lembaga pembiayaan.
Leasing termasuk ke dalam salah satu bentuk lembaga pembiayaan karenayang dikatakan dengan lembaga
pembiayaan adalah suatu badan usahayang di dalam melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaandana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Sedangkan
leasing adalah setiap kegiatan pembiayaanperusahaan dalam bentuk penyediaan barang – barang modal
untuk digunakan oleh suatu perusahaan, untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala
disertai dengan hak pilih (optie) bagiperusahaan tersebut untuk membeli barang – barang modal yang bersangkutan
atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilaisisa yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu,
leasing termasuk salahsatu jenis lembaga pembiayaan karena leasing membiayai perusahaan dalam bentuk
penyediaan barang modal
DAFTAR PUSTAKA
Seperti yang kita ketahui pengaturan leasing dalam hal ini masih sangat sederhana, dan
pelaksanaan sehari-hari didasarkan kepada kebijaksanaan yang tidak bertentangan dengan Surat
Keputusan Menteri yang ada. Surat Keputusan Tiga Menteri Tahun 1974 mengenai leasing
Adalah peraturan pertama yang khusus dikeluarkan untuk itu. Surat Keputusan itu dan lain -lain
peraturan yang di keluarkan belakangan untuk mengatur perihal perjanjian-perjanjian dan
kegiatan leasing di Indonesia, terutama bersifat administratif dan obligatory atau bersifat
memaksa. Sumber hukum yang lebih luas dan mendalam yang melandasi dan mendasari
kegiatan leasing dewasa ini di Indonesia antara lain :
1. Umum (General)
a. Asas concordantie hukum berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar
1945 pasca amandemen atas hukum perdata yang berlaku bagi penduduk eropa.
b. Pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak serta asas-asas persetujuan
pada umumnya sebagaimana tercantum dalam bab I Buku III KUHPerdata. Pasal ini
memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk memilih isi pokok perjanjian mereka
sepanjang hal ini tidak bertentangan dengan Undang -Undang, kepentingan atau kebijaksanaan
umum.
c. Pasal 1548 sampai 1580 KUHPerdata (Buku III sampai dengan Buku IV), yang berisikan
ketentuan mengenai sewa-menyewa sepanjang tidak ada dilakukan penyimpangan oleh para
pihak. Pasal ini membahas hak dan kewajiban lessee.
2. Khusus
a. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri
Perdagangan RI No. KEP.122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/1974 dan No.30/KPB/1974
tertanggal 7 Pebruari 1974 tentang perizinan usaha leasing.
d. Surat Edaran Direktorat Jendral Moneter No. PENG-307/DJM/IIL 7/7/1974 tertanggal 8 Juli
1974, tentang :
1. Tata cara perizinan
2. Pembatasan usaha
3. Pembukaan
4. Tingkat suku bunga
5. Perpajakan
6. Pengawasan dan Pembinaan
f. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 31 Agustus 1983
tentang ketentuan perpanjangan izin usaha perusahaan leasing dan perpanjangan penggunaan
tenaga warga negara asing pada perusahaan leasing.
g. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 1 September 1983
tentang tata cara dan prosedur pendirian kantor cabang dan kantor perwakilan perusahaan
leasing.
i. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No.SE.28/PJ.22/1984 tanggal 26 Juli 1984 mengenai
PPh pasal 23 atas usaha financial leasing.
Syarat-syarat bagi lessee untuk mendapatkan fasilitas sewa guna usaha atau leasing
adalah : (Budi Rachmat 2002: 52, sebagaimana yang dikutip oleh Sunaryo 2009: 58)
1. Akta pendirian perusahaan penyewa guna usaha beserta perubahannya.
2. Surat pengesahan pendirian perusahaan dari Departemen Kehakiman Hak Asasi Manusia dan
Berita Negara.
3. Surat Ijin Usaha Perusahaan (SIUP)
4. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
6. Laporan Keuangan 3 Tahun terakhir.
7. Bank statement account untuk 3 bulan terakhir.
8. Profesional background dari direksi dan/atau komisaris.
9. Struktur organisasi perusahaan penyewa guna usaha.
10. Data lain yang diminta kemudian jika diperlukan.
Dalam melakukan perjanjian leasing terdapat prosedur dan mekanisme yang harus
dijalankan yang secara garis besar dapat diuraikan sebaga berikut ;
a. Lesse bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga
dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksudkan.
b. Setelah lesse mengisi formulir permohonan lease, maka dikirimkan kepada lessor disertai
dokumen lengkap.
c. Lessor mengevakuasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan fasilitas lease
dengan syarat dan kondisi yang disetujui lesse (lama kontrak pembayaran sew lease), setelah ini
maka kontrak lease dapat ditandatangani.
d. Pada yang sama, lesse dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yang dilease
dengan perusahaan asuransi yang disetujui lessor, seperti yang tercantum dalam kontrak lease.
Antara lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama. Kontrak pembelian
peralatan akan ditandatangani lessor dengan supplier peralatan tersebut.
e. Supplier dapat mengirimkan peralatan yang dilease ke lokasi lesse. Untuk mempertahankan dan
memelihara kondisi peralatan tersebut, supplier akan menandatangani perjanjian purna jual.
f. Lessee menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada supplier.
g. Supplier menyerahkan tanda terima (yang diterima dari lesse), bukti pemilikan dan pemindahan
pemilikan kepada supplier.
h. Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier.
i. Lesse membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah
ditentukan dalam kontrak lease. Perjanjian yang dibuat antara lessor dengan lessee disebut lease
agrement, dimana didalam perjanjian tersebut memuat kontrak kerja bersyarat antara kedua belah
pihak. Isi kontrak yang dibuat secara umum memuat antara lain ;
1) Nama dan alamat lease
2) Jenis barang modal yang diinginkan
3) Jenis atau jumlah barang yang dileasekan
4) Syarat-syarat pembayaran
5) Syarat kepemilikan atau syarat lainnya
6) Biaya-biaya yang dikenakan
7) Sangsi-sangsi apabila lesse ingkar janji
Setiap fasilitas leasing yang diberikan oleh perusahaan leasing kepada pemohon (Lessee)
akan dikenakan berbagai macam biaya yang dibebankan terhadap lesse tidaklah sama.
Tentunya syarat-syarat yang telah ditentukan di atas haruslah dilakukan secara konsekwen
sehinga
meminimalisisr terjadinya masalah terkait dengan perjanjian itu kedepannya seperti pembay
aran yang macet maupun hal lain yang tidak diinginkan.
Dasar hukum leasing : SKB Menkeu dan Memperin dan Mendag No. 122/MK/2/1974, No.
32/M/SK/1974, No. 30/KPK/I/1974 tanggal 7 Pebruari 1974 tentang Perjanjian Leasing. SK
MenKeu No. 650/MK/IV/5/1974 tentang Penegasan Ketentuan Pajak Leasing dan besarnya Bea
materei terhadap usaha leasing.
Pengertian leasing menuirut Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK/.01/1991 adalah
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan
hak opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk
digunakan lesee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala
Pihak dalam perjanjian lease :
1. Lessor adalah perusahan atau pihak yang memberikan jasa pembiayaan kepada lessee dalam
bentuk barang modal.
2. Lesse adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk barang modal
dari lessor.
3. Supplier adalah perusahaan atau pihak yang mengadakan atau menyediakan barang untuk dijual
kepada lesse dengan pembayaran secara tunai oleh lessor.
4. Bank, Pihak yang tidak terlihat secara langsung dalam perjanjian leasing, tetapi menyediakan dana
bagi Lessor dan Supplier.
Hukum Bisnis-leasing
Bab I
Pendahuluan
I. Sejarah Perkembangan Leasing
Pranata hukum sewa menyewa yang dikembangkan sebagai ilmu pengetahuan telah terekam dalam
sejarah paling tidak sudah ada sejak lebih kurang 4500 tahun Sebelum Masehi. Yakni sewa menyewa
yang dipraktekkan dan dikembangkan oleh orang-orang Sumeria.
Perkembangan leasing dalam sejarah Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga fase sebagai berikut:
1. Fase Pengenalan
Fase pertama merupakan fase pengenalan dari bisnis leasing di Indonesia terjadi antara tahun 1974
sampai dengan tahun 1983. Fase pertama kali ini dimulai dengan keluarnya beberapa tahun 1974 yang
khusus mengatur tentang pranata hukum leasing tersebut. Dalam fase ini, leasing belum dikenal
masyarakat, dan perkembangannyapun tidak begitu pesat. Kosekuensinya jumlah perusahaan leasing
waktu itu belum seberapa dan jumlah transaksinyapun masih relative kecil.
Sampai dengan tahun 1980, jumlah perusahaan leasing hanya berjumlah 5 buah dengan besarnya
kontrak Rp 22,5 miliar. Dan sampai dengan tahun 1984, jumlah perusahaan leasing bertambah sehingga
seluruhnya menjadi 48 buah dengan total kontrak Rp 436,1 miliar.
2. Fase Pengembangan
Fase kedua yang merupakan fase pengembangan ini terjadi kira-kira antara tahun 1984 sampai dengan
tahun 1950. Dalam fase kedua ini, bisnis leasing ini cukup pesat perkembangan berbarengan pesatnya
pertumbuhan bisnis di Indonesia.
Ini terlihat misalnya pada indicator peran dan kontribusi leasing terhadap investasi nasional sacara
keseluruhan. Dalam hal ini, dari 2,60% di tahun 1986 misalnya menjadi 6,32% di tahun 1989. Demikian
juga perkembangan perusahaan dan jumlah besarnya kontrak leasing, dimna jumlah perusahaan 89
buah di tahun 1986, dengan nilai kontrak Rp 645 miliar, bertambah menjadi seluruhnya 122 buah
perusahaan di tahun 1990, dengan nilai kontraknya tidak kurang dari Rp 4,061 triliyun.
Pada fase kedua ini, beberapa segi operasionalisasi leasing telah berubah, misalnya dalam hal metode
perhitungan penyusutan untuk kepentingan perpajakan. Hal ini akibat berlakunya UU pajak 1984.
Sementara sistem pelaporan pajak dalm period eke dua ini masih memakai operating metode seperti
pada fase sebelumnya,tetapi dengan beberapa distorsi.
3. Fase Konsolidasi
Fase ketiga, yang merupakan fase konsolidasi dari perkembangan leasing di Indonesia ini, terjadi sejak
tahun 1991 sampai sekarang. Pada periode ini izin-izin pendirian perusahaan leasing yang sebelumnya
diperketat, kemudian dibuka kembali. Perusahaan multi finance juga banyak didirikan pada periode ini.
Dan, salah satunya adalah perubahan yang terjadi pada fase konsolidasi ini adalah diubahnya sistem
perpajakan, dari semula dengan operating metode berubah menjadi financial metode. Perubahan
sistem perhitungan perpajakan ini mulai berlaku sejak 19 Januari 1991, berdasarkan ketentuan dalam SK
Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991.
Bab II
Teori Leasing
A. Pengertian
Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lease yang berarti sewa-menyewa. Karena dasarnya artinya
memang sewa- menyewa. Jadi leasing adalah derevatif dari sewa-menyewa. Kemudian dalam dunia
bisnis berkembanglah sewa-menyewa yang disebut leasing itu kadang-kadang disebut saja sebagai
lease, dan telah berubah menjadi salah satu jenis pembiayaan. Dalam bahasa Indonesia leasing sering di
istilahkan dengan “sewa guna usaha.”
Sungguhpun terdapat berbagai variasi dari pihak yang terlibat dalam system pembiayaan berpolakan
leasing, pada prinsipnya para pihak tersebut adalah:
1.Lessor, yakni pihak yang memberikan pembiayaan dengan cara leasing kepada pihak yang
membutuhkannya. Dalam hal ini lessor bisa merupakan perusahaan pembiayaan yang bersifat “multi
finance” tetapi dapat juga perusahaan yang khusus bergerak di bidang leasing.
2.Lessee, adalah pihak yang memerlukan barang modal,barang modal mana dibiayai oleh lessor dan
diperuntukkan kepada lessee.
3.Supplier, adalah pihak yang menyediakan barang modal yang menjadi objek leasing, barang modal
mana dibayar oleh lessor kepada supplier untuk kepentingan lessee. Supplier, juga dapat disebut dengan
penjual biasa. Tetapi ada juga leasing yang tidak melibatkan supplier, melainkan hubungan bilateral
antara pihak lessee. Misalnya dalam bentuk sale and lease back.
Sementara mengenai mekanisme sehingga terjadinya hubungan hukum antar para
Pihak , yaitu lessor, dan juga supplier,terdapat berbagai alternatif sebagai berikut:
1. Lessor membeli barang atas permintaan lessee, selanjutnya memberikan kepada lessee secara
leasing.
2. Lessee membeli barang sebagai agentnya lessor dan mengambil barang tersebut secara leasing dari
lessor.
3. Lessee membeli barang atas namanya sendiri, tetapi dalam kenyataannya sebagai agen dari lessor,
dan mengambil barang tersebut secara leasing dari lessor.
4. Setelah lessee mengambil barang atas namanya sendiri, kemudiaan melakukan novasi, sehingga
lessor kemudian menghendaki barang tersebut da membayarnya.
5. Setelah lesse membeli barang untuk dan atas namanya sendiri, kemudian menjualnya kepada lessor
dan mengambil kembali barang tersebut secara leasing.ini adalah contoh sale and lease back.
6. Lessor sendiri yang mendapatkan barang secara leasing dengan hak melakukan subleasing dan
memberikan subleasing kepada lessee.
D. Macam-Macam Leasing
Pada prinsip ada 2 macam prototype leasing, yaitu leasing yang berbentuk operating dan leasing yang
berbentuk financial. Namun demikian terdapat juga berbagai bentuk lainnya yang merupak derivative
dari kedua bentuk pokok tersebut. Untuk itu akan ditinjau satu persatu.
a. Operatiang Lease
Disebut juga service lease. Leasing seperti ini tidak dibenarkan dilakukan oleh perusahaan financial,
sebab menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991, yang dibenarkan hanya leasing
yang mempunyai hak opsi. Operating Lease ini biasanya merupakan suatu corak leasing dengan
karakteristik sebagai berikut:
1.) Jangka waktu berlakunya leasing relative singkat, dan lebih singkat dari usia ekonomis dari barang
tersebut.
2.) Besarnya harga sewa lebih kecil ketimbang harga barang ditambah keuntungan yang diharapkan
lessor.
3.) Tidak diberikan “hak opsi” bagi lessee untuk membeli barang di akhir masa leasing.
4.) Bisanya operating lease di khususkan untuk barang-barang yang mudah terjual setelah pemakaian
(yang berlaku di pasar barang bekas).
5.) Operating lease biasanya diberikan oleh pabrik atau leveransir karena umumnya mereka mempunyai
keahlian dalam seluk beluk tentang barang tersebut. Sebab dalam operating lease, dasar pemeliharaan
merupakan tanggung jawab lessor.
6.) Bisanya harga sewa setiap bulannya ditambah dengan jumlah yang tetap.
7.) Biasanya lessor lah yang menanggung biaya pemliharaan, kerusakan, pajak dan asuransi.
8.) Biasanya kontrak leasing dapat dibatalkan sepihak oleh lessee dengan mengmbalikan yang
bersangkutan kepada lessor.
b. Financial Lease
Sering disebut juga dengan capital lease atau full-payout lease. Financial lease merupak suatu corak
leasing yang lebih sering diterapkan, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.) Jangka waktu berlakunya leasing relative panjang.
2.) Besarnya harga sewa plus hak opsi harus menutupi harga barang plus keuntungan harga barang yang
diharapkan oleh lessor.
3.) Diberikan hak opsi untuk lease untuk membeli barang diakhir masa lease.
4.) Financial lease dapat diberikan oleh perusahaan pembiayaan.
5.) Harga sewa yang dibayar per bulan oleh lease dapat dengan jumlahnya yang tetap, maupun dengan
harga berubah-ubah sesuai dengan suku bunga pinjaman.
6.) Biasanya lessee yang menanggung biaya pemeliharaan kerusakan, pajak dan asuransi.
7.) Kontrak leasing tidak dapat dibatalkan sepihak.
E. Perbedaan Leasing dengan Perjanjian lain-Lain
a. Perbedaan Leasing dengan Kredit
Leasing Kredit
1.Menyewakan barang modal.
2.Pemilik barang: lessor.
3.Resiko pada financial dan barang.
4.Jaminannya barang modal.
5.Lessor sebagai penyandang dana, barang berasal dari lessee atau pihak ketiga.
6.Jangka waktunya terbatas.
8.Jaminan tertentu. 1.Jangka waktu dan umur pemakaian barang tidak menjadi fokus utama.
2.Tidak merupakan pembiayaan bisnis.
3.Objeknya barang apa saja.
4.Dapat tidak merupakan pembiayaan bisnis.
5.Lessor sebagai pemilik barang.
Jaminan-jaminan hutang untuk leasing yang sering kali dipraktekkan dapat dikategorikan sebagai
berikut:
a. Jaminan Utama
Jaminan utama pada transaksi leasing adalah keyakinan dari lessor bahwa lessee akan dan sanggup
membayar kembali cicilan sebagai mana mestinya. Jika terhadap perjajian kredit bank, jaminan utama
keyakinan ini ditentukan dengan tegas dalam UU Perbankan No. 7 tahun 1922.
b. Jaminan Pokok
Jaminan pokok ini berupa barang, modal hasil pembelian dari transaksi leasing itu sendiri.
c. Jaminan Tambahan
Jaminan tambahan dalam leasing tidak begitu krusial dibandingkan dengan jaminan pada kredit bank.
Hal ini dikarenakan memang hakikat dari leasing yang berbeda dengan suatu jaminan bank. Sering
dikatakan bahwa kredit bank sangat collateral minded, semntara leasing bussines minded.
Penutup
A. Kesimpulan
1. Leasing adalah suatu kontrak antara lessor dengan lessee pemakaian aset selama periode waktu yang
ditentukan.
2. Landasan Hukum Leasing di Indonesia
a. Surat Keputusan Bersama No. 122/MK/IV/2/1974 tanggal 7 februari 1974 tentang perijinan usaha
leasing.
b. Surat Keputusan Menteri Keuangan No.Kep.649/MK/IV/5/1974 tanggal 6 mei 1974 tantang perijinan
usaha leasing.
c. Surat Keputusan Menteri Keuangan No.Kep.650/MK/IV/6/1974 tanggal 6 mei 1974 tentang
penegasan ketentuan pajak penjualan dan besarnya bea materai terhadap usaha leasing.
d. Surat edaran Dit.Jen.Moneter No.Peng.307/DJM/III.1/7/1974 tanggal 8 juli 1974 tentang a. Tata cara
perizinan.
1. Pembatasan usaha.
2. Pembukuan.
3. Tingkat suku bunga.
4. Perpajakan.
5. Pengawasan dan pembinaan.
e. Surat Dit.Jen.Pajak No. D. 15.4/II/8/34-3/1976 tanggal 23 desember 1976 tentang ketentuan PPS dan
PBDR.
3. Macam-macam leasing :
1. Operating lease
2. Financial lease
4. Untung Ruginya Menggunakan Leasing
kelebihan-kelebihan leasing bila dibandingkan dengan metode-metode pembayaran lainnya, terutama
dengan kredit bank dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Unsur Fleksibilitas.
2. Ongkos yang relative murah.
3. Penghematan pajak.
4. Pengaturannya tidak terlalu complicated.
5. Kriteria bagi lessee yang longgar.
6. Pemutusan kontrak lessee oleh lease.
7. Pembukaan yang lebih murah.
Diantara kelemahan-kelemahan leasing tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Biaya bunga yang tinggi.
b. Biaya marginal yang tinggi.
c. Kurangnya perlindungan hukum.
d. Proses eksekusi leasing macet yang sulit.
B. Saran
1. Agar makalah ini dapat digunakan sebaik mungkin.
2. Agar makalah ini digunakan sebagai referensi untuk pembuatan makalah selanjutnya.
3. Agar penulis selanjutnya mengarah juga pada buku rujukan lainnya.
4. Perlunya pengembangan lebih lanjut mengenai isi dari makalah ini, karena penulis kekurangan
referensi saat pembuatan makalah ini.