Laporan Studi 2010 - Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja Dan Industri Logam Non-Ferrous) PDF
Laporan Studi 2010 - Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja Dan Industri Logam Non-Ferrous) PDF
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI | 1
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
2 | DAFTAR ISI
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
DAFTAR ISI | 3
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2-1 Beberapa Contoh Jenis Baja dan Penggunaannya ............................................................ 2-3
Gambar 2-2 Skema Pohon Industri Baja.................................................................................................. 2-3
Gambar 2-3 Proses Blast Furnace ............................................................................................................ 2-5
Gambar 2-4 Blast Furnace ........................................................................................................................ 2-5
Gambar 2-5 Proses Besi Spons................................................................................................................. 2-6
Gambar 2-6 Pohon Industri Aluminium .................................................................................................. 2-8
Gambar 2-7 Pohon Industri Aluminium ................................................................................................... 2-8
Gambar 2-8 PT INALUM ........................................................................................................................... 2-9
Gambar 2-9 Proses Pengolahan Aluminium .......................................................................................... 2-11
Gambar 2-10 Beberapa Contoh Produk Hasi Die Casting ..................................................................... 2-12
Gambar 2-11 Penggunaan Aluminium Ekstrusi ...................................................................................... 2-13
Gambar 2-12 Contoh Produk Tembaga ..................................................................................................2-14
Gambar 2-13 Pohon Industri Tembaga ................................................................................................... 2-15
Gambar 2-14 Skema Pohon Industri Tembaga ...................................................................................... 2-15
Gambar 2-15 Proses Produksi Tembaga PT Smelting .......................................................................... 2-16
Gambar 2-16 Beberapa Contoh Produk Berbahan Dasar Tembaga .................................................... 2-17
Gambar 2-17 Market Share Aluminium Dalam Negeri ......................................................................... 2-22
Gambar 2-18 PT Smelting ....................................................................................................................... 2-25
Gambar 2-19 Produksi Tahunan Katoda Tembaga ............................................................................... 2-26
Gambar 2-20 Gambar Konsumsi Produk Baja Negara-negara ASEAN ............................................... 2-27
4 | DAFTAR GAMBAR
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
DAFTAR GAMBAR | 5
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
DAFTAR TABEL
6 | DAFTAR TABEL
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
DAFTAR TABEL | 7
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
KATA PENGANTAR
D
i tengah krisis global saat ini, relasi yang harmonis dan simetris antar negara
menjadi sebuah keniscayaan dan keharusan. Hubungan persahabatan yang erat
antara Indonesia – Jepang terutama melalui sejarah panjang pertalian -
ekonomi-sosial-budaya telah menjadi faktor yang cukup penting bagi kedua negara.
Jepang menduduki rangking pertama dalam besarnya investasi negara-negara asing ke
Indonesia. Akan tetapi dilihat dari total investasi Jepang ke luar negeri Jepang, Indonesia
cuma menempati urutan ke-9 saja. Namun, menurut catatan-catatan yang ada, jumlah
investasi Jepang di Indonesia perioda belakangan ini terus mengalami penurunan.
Sudah cukup banyak Investor Jepang banyak yang hijrah ke Malaysia, Vietnam, Thailand
dan Cina. Sementara jumlah investasi perusahaan Indonesia di Jepang kenyataannya
adalah yang paling kecil dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Ada beberapa
faktor yang melatarbelakangi kondisi ini diantaranya ketidakstabilan politik dan
keamanan; lemahnya kepastian hukum; intensitas unjuk rasa buruh; buruknya
infrastruktur; kebijakan pajak dan korupsi.
Meskipun sesungguhnya ada juga beberapa faktor signifikan yang ditengarai akan
mampu mempertahankan hubungan Indonesia – Jepang seperti catatan historis
hubungan antara kedua negara; jumlah penduduk dan besarnya potensi pasar di
Indonesia, serta upaya untuk menanamkan/mempertahankan pengaruh Jepang di Asia;
isu pentingnya stabilitas keamanan Selat Malaka, dimana 80 persen kebutuhan energi
Jepang didistribusikan melalui selat ini; faktor kekayaan alam Indonesia.
8 | KATA PENGANTAR
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Pemerintah Indonesia saat ini terus mendorong perbaikan kinerja hubungan bilateral
Indonesia – Jepang melalui kegiatan implementasi EPA yang telah disepakati.
Dari kajian internal Tim IJEPA DEPPERIN diperkirakan potensi kesempatan bisnis yang
akan tercipta melalui implementasi EPA bisa mencapai US $ 65 milyar pada tahun 2012
(dengan catatan/asumsi tanpa ada “gejolak perekonomian global”). Selain daripada itu
kegiatan implementasi EPA juga memiliki peluang kerjasama bilateral yang prospektif.
dimana melalui kesepakatan pilar liberalisasi pasar, kedua negara sepakat untuk
menghapuskan beberapa hambatan tarif seperti penghapusan tarif produk kehutanan,
udang dan hampir semua produk industri Indonesia. Sebaliknya, Indonesia juga sepakat
untuk menghapuskan tarif untuk berbagai produk industri Jepang.
Terkait dengan adanya kerjasama pemerintah Indonesia dan Jepang dalam bidang
perekonomian yang tertuang pada “Indonesia Japan Economic Partnership
Agreement – IJEPA” yaitu kerjasama ekonomi yang dilandasi oleh tiga pilar: Liberalisasi
Pasar, Fasilitasi dan Kerjasama dalam rangka industrial capacity building, salah satu
kegiatan utama yang diprioritaskan oleh Departemen Perindustrian adalah implementasi
Manufacturing Industry Development Center (MIDEC) untuk 13 sektor industri (metal
working, welding, mold & dies, energy conservation, export & investment promotion,
SMEs, automotive, electric/ electronics, steel/ steel products, textile, petrochemical &
oleochemicals, non-ferrous dan food & beverages).
Kegiatan dalam penyusunan buku kajian ini merupakan kelanjutan dari buku kajian
sebelumnya berjudul “Pendalaman Struktur Industri yang mempunyai Daya Saing Di
Pasar Global - Perkembangan Daya Saing Industri Kendaraan Bermotor, Elektronika, Alat
Berat dan Peralatan Listrik”, yang diterbitkan pada tahun 2007 dan “ Studi Kedalaman
Struktur Industri Yang Mempunyai Daya Saing Di Pasar Global - Kajian Capacity building
Industri Manufaktur Melalui Implementasi MIDEC-IJEPA”, yang diterbitkan tahun 2008.
Untuk kegiatan tahun 2009 akan dikaji “Pengaruh Implementasi MIDEC terhadap
Penguatan Struktur Industri ”.
Mengingat cakupan yang dikaji pada seri-seri studi IJEPA ini cukup luas, sehingga
dipandang perlu untuk melibatkan rekan‐rekan yang memiliki kompetensi dan
pengalaman yang mendalam dari berbagai bidang/sektor terkait, berasal dari kalangan
dunia usaha/asosiasi, perguruan tinggi, pejabat perindustrian yang sudah purnabakti dan
rekan pejabat maupun dari pihak swasta/asosiasi terkait yang masih aktif di bidangnya
terutama “para pelaku aktif” yang terlibat erat ikut dalam proses negosiasi dan
implementasi IJEPA. Dalam penyusunan seri kajian-kajian berlatar belakang negosiasi
dan implementasi IJEPA (edisi tahun 2009 adalah seri ke-3) secara sadar kami berusaha
untuk memasukan berbagai sumber referensi, data, catatan perundingan, analisis, hasil
KATA PENGANTAR | 9
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Pada kesempatan ini kami juga mengharapkan masukan, saran, dan kritik dari para
pembaca yang kami hormati untuk didapatkannya kesempurnaan tulisan sehingga hasil
studi ini dapat menjadi referensi yang handal dan berguna dalam rangka implementasi
IJEPA terutama terkait program‐program implementasi MIDEC di tahun-tahun yang akan
datang.
10 | KATA PENGANTAR
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
1. PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
I
ndustri logam merupakan sektor strategis di dalam perekonomian nasional,
karena merupakan salah satu motor penggerak bagi sektor-sektor industri
lainnya, dan pada akhirnya pertumbuhan industri memberikan kontribusi bagi
pertumbuhan ekonomi. Salah satu kebijakan untuk pengembangan industri logam
nasional yang penting untuk dilakukan adalah pengembangan industri logam dasar.
Pengembangan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang besar dalam
penyediaan bahan baku dan komponen-komponen standar, serta memberikan
rangsangan positif pada daya tumbuh sektor-sektor industri lainnya. Sektor-sektor
industri hilirnya yang terkait dengan Pengembangan industri logam dasar
diantaranya meliputi kelompok-kelompok industri bahan logam dan produk dasar,
industri motor, mesin dan perlengkapan pabrik, industri peralatan listrik, industri alat
angkutan dan alat berat, dan lain-lain. Pengembangan ini menjadi cukup kritikal saat
ini karena meningkatnya kebutuhan bahan baku di sektor industri hilirnya. Oleh
karena itu, diperlukan Program Pengembangan Industri Logam Dasar Nasional yang
Tepat dan Kuat.
Program Pengembangan industri logam dasar ini merupakan tindak lanjut dari kajian
sebelumnya yang terkait dengan program peningkatan kapasitas industri dalam
kerangkan MIDEC. Kajian sebelumnya mencakup:
PENDAHULUAN | 1-1
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Studi mengenai Industri Prioritas Baja dan Non Ferro Industri diperlukan karena baja
(bersama alumunium dan tembaga) adalah salah satu dari 13 sektor MIDEC yang
berfungsi sebagai motor untuk pembangunan kapasitas. Baja dan logam non-fero
lainnya bahkan menjadi bahan baku penting bagi sebagian besar sektor prioritas
dalam MIDEC.
Baja telah lama diakui sebagai bahan dasar vital untuk pengembangan industri dan
infrastruktur, bahkan sebagai peralatan penunjang pada kehidupan masyarakat
sehari-hari. Hampir pada semua segmen kehidupan mulai dari peralatan dapur,
transportasi, generator pembangkit listrik, sampai kerangka gedung dan jembatan
menggunakan bahan baku baja dan logam non-fero lainnya. Dari berbagai sumber
yang ada, diproleh data bahwa konsumsi baja per kapita Indonesia pada tahun 2007
baru mencapai 29 Kg, dan pada saat yang sama rata-rata konsumsi baja per kapita
dunia mencapai 170 kg. Dengan pertumbuhan pendapatan per kapita Indonesia yang
semakin tinggi dimasa yang akan datang, maka pasar domestik berpeluang besar
pada pertumbuhan pasar industri baja.
Namun demikian, industri logam nasional saat ini masih memiliki banyak kekurangan
termasuk missing link pada rantai nilai dari industri hulu, industri antara dan industri
hilir, terutama pada industri Non Ferro. Sehingga diharapkan dengan adanya kajian
ini akan dapat diidentifikasi berbagai permasalahan yang ada atau yang akan
dihadapi di masa depan agar selanjutnya dapat digunakan untuk melengkapi dan
memperbaiki rantai nilai industri logam nasional. Dala kaitan ini, visi, misi, tujuan, dan
sasaran serta arah industri Indonesia ke depan termasuk yang terkait dengan
industri logam, telah dirancang dalam Peraturan Presiden Indonesia no. 28 tahun
2008 mengenai “Kebijakan Industri Nasional” (KIN). Dalam KIN disebutkan bahwa
visi perindustrian Indonesia pada tahun 2025 adalah membawa Indonesia menjadi
negara industri tangguh dunia yang bertumpu pada tiga industri andalan masa
depan yaitu industri agro, industri alat angkut, dan industri telematika, dan hal ini
1-2 | PENDAHULUAN
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Sasaran dari kegiatan ini adalah tersedianya hasil kajian penguatan struktur industri
prioritas pada sektor industri baja dan non ferro (aluminium dan tembaga).
Sesuai dengan maksud dan tujuan kegiatan, hasil yang diharapkan adalah
tersusunnya rekomendasi untuk Pengembangan Industri Logam Dasar Nasional
dalam rangka mencapai penguatan struktur industri.
1. Pendahuluan
PENDAHULUAN | 1-3
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Menjelaskan peluang dan ancaman bagi industri logam dasar nasional dalam
tataran strategis yang didalamnya terkait kerjasama Indonesia dengan
negara lain.
1-4 | PENDAHULUAN
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
D
alam rangka mewujudkan visi pembangunan industri Nasional, yaitu dengan
sasaran antara menjadi Negara Industri Maju Baru pada tahun 2020 dan
menjadi Negara Industri Tangguh pada tahun 2025, Indonesia perlu memiliki
industri logam yang maju dan bersaing. Tentu saja visi ini tidak akan terwujud bila
tidak diimbangi dengan persiapan dan rencana pembangunan yang baik. Untuk
mempersiapkan perencanaan yang baik tersebut perlu dilakukan peninjauan kembali
terhadap kondisi Industri Logam Nasional. Berikut disajikan beberapa
perkembangan Industri Logam Nasional beberapa tahun terakhir.
Jumlah perusahaan logam pada tahun 2008 sebanyak 955 perusahaan dengan total
investasi sebesar Rp. 69,4 Trilyun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 222 ribu
orang. Pemanfaatan kapasitas produksi atau utilisasi industri dalam 5 tahun terakhir
relative masih tetap pada angka 61%. Neraca perdagangan produk logam tahun 2008
defisit di pihak Indonesia sebesar US $ 4,6 milyar, dimana ekspor sebesar US $ 10,4
Secara umum, struktur Industri Logam Nasional terbagi menjadi 2 (dua) kelompok
yaitu : Industri Baja (Ferro) dan Industri Bukan Baja (Non Ferro).
Industri Baja (Ferro) adalah Industri yang mengolah paduan logam dengan bahan
dasar besi sebagai unsur utamanya serta karbon sebagai campuran utama.
Kelompok produk ini bila dilihat pada buku tarif bea masuk dikelompokkan dalam
kelompok HS Bab 72 dan HS Bab 73
Industri Bukan Baja (Non Ferro) didefinisikan sebagai Industri Paduan Logam dengan
bahan dasar selain besi. Produk Bukan Baja (Non Ferro) ini terbagi atas beberapa
jenis produk yaitu antara lain ; alumunium, tembaga, perak, emas, dan timah. Dalam
buku tariff bea masuk jenis-jenis produk ini dikelompokkan dalam kelompok HS Bab
74 dan HS Bab 76.
2.1.1 Baja
Baja adalah salah satu bahan yang umumnya banyak digunakan dalam pekerjaan
kontruksi dan pembuatan produk-produk engineering. Sebagaimana diketahui
bahwa baja adalah logam paduan dengan besi sebagai unsur dasar dan karbon
sebagai unsur paduan utamanya yang berfungsi sebagai unsur pengeras untuk
mencegah dislokasi bergeser pada kisi kristal (crystal lattice) atom besi. Karena hal
inilah maka baja memiliki kekuatan, keuletan dan ketangguhan yang lebih baik dari
bahan lainnya.
Banyak proses yang terjadi dalam pengolahan Biji besi menjadi Produk Baja.
Berdasarkan aliran proses dan hubungan antara bahan baku dan produk, maka
struktur Industri Baja dapat ditunjukkan pada pohon Industri pada gambar berikut.
GAMBAR
Dari diagram pohon Industri diatas, produk baja dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu klompok industri hulu, kelompok industri antara dan kelompok
industri hilir. Jenis-jenis produk yang masuk masing-masing kelompok sebagaimana
terlihat pada tabel-tabel berikut:
Industri Hulu
Produk Bahan Baku
Bijih Besi Pig Iron Besi Spons
Industri Antara
Produk Baja Kasar Produk setengah jadi (Semi Finished Product)
Ingot Slab Billet Bloom HRC/P/S CRC/P/S Pelat Baja Wire Rod
Industri Hilir
Produk Lembaran (Flat Product) Produk Batangan (Long Product)
Produk Galvanizing
Kawat Beton
Kawat Baja
Wire Mesh
Kawat Las
Pipa Baja
Tin Plate
PC Wire
Profil
Profil
Paku
BjLS
Industri hulu baja ini terbagi 2 yaitu: pertambangan dan penyedia bahan baku.
Pertambangan itu sendiri bukanlah tergolong dalam industri pemasok dalam supply
chain industri baja. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa proses ini sangat strategis
dan menentukan tingkat daya saing industri baja pada suatu negara. Sedangkan
penyedia bahan baku sendiri juga merupakan faktor yang sangat penting dalam
menentukan daya saing industri baja suatu negara. Kelompok ini terdiri dari 2 (dua)
jalur proses pembuatan besi (iron making) serta satu industri penyedia scrap yang
merupakan material besi bekas. Jalur pertama yang mendominasi sebesar 70% dari
produksi besi dunia adalah melalui teknologi blast furnace.
Pada proses ini, bijih besi direduksi dengan kokas batu bara dalam sebuah tanur tiup
yang tinggi. Produk dari proses ini adalah besi cair yang kemudian diproses lebih
lanjut sehingga menjadi pig iron.
Teknologi lainnya adalah pembuatan produk baja dasar berupa besi spons. Pada
proses ini bijih besi dalam bentuk bulk atau pellet direduksi dengan gas pereduksi
(yang berasal dari gas alam atau batu bara). Produk dari proses ini dapat berupa besi
spons atau hot briquette iron (HBI), sebagai bahan baku proses steel making
selanjutnya. Proses ini menguasai sekitar 25% dari proses produksi besi dunia.
Di samping dua jalur utama diatas terdapat pula beberapa teknologi penyedia bahan
baku industri baja yang jumlahnya relatif kecil seperti teknologi direct smelting,
rotary kiln, dan open heart.
Seperti yang terlihat pada tabel 2.4, industri antara dalam pohon industri baja terbagi
menjadi 2 (dua), yaitu: pembuatan baja kasar (crude steel) dan pembuatan baja semi
finished product. Kelompok pembuatan baja kasar merupakan industri dimana
proses tahap akhirnya adalah mengubah baja cair menjadi baja padat, misalnya
seperti billet dan bloom yang akan diproses lebih lanjut pada tahap pengolahan pada
industri baja long product, slab yang akan diproses lebih lanjut pada pengolahan flat
product, dan ingot yang akan digunakan dalam pembentukan baja lainnya. konsumsi
perkapita industri baja suatu negara dihitung dari jumlah produksi baja kasar dibagi
dengan jumlah penduduk negara tersebut.
Sedangkan kelompok Pembuatan Baja Semi Finished Product adalah proses lebih
lanjut dari baja kasar. Misalnya billet dan bloom dapat diproses lebih lanjut menjadi
semi finished wire rod dan green pipe. Selanjutnya wire rod akan menjadi bahan
baku berbagai industri pengolahan long finished product seperti paku, baut, mur,
kawat las, PC wire. Sedangkan green pipe akan menjadi bahan baku industri
seamless pipe (OCTG dan Line Pipe) yang akan digunkan oleh industri migas. Contoh
lain adalah semi finished product di jalur flat product yaitu Hot Rolled Coil (HRC), hot
rolled plate (HRP) dan cold rolled coil (CRC).
HRC merupakan bahan baku terbesar dari industri pengolahan flat product seperti:
konstruksi, pipa las spiral dan otomotif. Sementara CRC digunakan sebagai bahan
baku industri peralatan rumah tangga, otomotif, pelapisan seng. Pelat baja
merupakan semi finished product yang digunakan sebagai bahan baku industri pipa
las longitudinal, profil dan perkapalan.
Industri hilir dari pohon industri baja juga dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: baja
finished flat product dan finished long product. Baja finished flat product digunakan
oleh sebagian besar konsumen dari industri kontruksi, otomotif, pipa, profil dan
pelapisan. Sedangkan baja finished long product digunakan oleh konsumen paling
bervariasi dari industri baja. Berbagai industri pemakai diantaranya industri
pembuatan baja batangan, profil, baja konstruksi, kawat, paku, mur/baut.
2.1.2 Aluminium
Aluminium (dalam bentuk bauksit) adalah suatu mineral yang berasal dari magma
asam yang mengalami proses pelapukan dan pengendapan secara residual. Proses
pengendapan residual sendiri merupakan suatu proses pengkonsentrasian mineral
bahan galian di tempat.
Aluminium merupakan suatu metal reaktif, dan tidak terjadi secara alami. Oleh
karena itu, aluminium tak dikenal sebagai unsur terpisah sampai tahun 1820-an,
walaupun keberadaan nya telah diramalkan oleh beberapa ilmuwan yang telah
belajar aluminum campuran. Aluminium pertama kali diproduksi dengan bebas oleh
ahli kimia dan ahli ilmu fisika yang berasal dari Denmark, Hans Oersted Kristen, dan
ahli kimia Jerman, Frederich Wohler, pada pertengahan tahun 1820-an. Nama
aluminum diperoleh dari bahasa latin: alumen, yang berarti tawas tawas (suatu
aluminium sulfate mineral).
Ciri-ciri aluminium:
Industri Hulu
Bahan baku/Unwrough Aluminum/Aluminium bukan tempaan
Bauksit Alumina Ingot Scrap
Industri Antara
Wire Rod Billet Alstrip Casting Die Casting Forging Slab Kawat Plate Sheet
Industri Hilir
Kabel Profil Ekstrusi Pipe Slug Strip Foil Circle
Pemenuhan bahan baku produk aluminium mulai tidak bergantung kepada impor
sejak didirikannya PT INALUM sejak tahun 1982 di Kuala Tanjung yang memproduksi
aluminium ingot primer di Indonesia. Bahan baku untuk memproduksi ingot primer
tersebut adalah Alumina.
Aluminium adalah logam yang sangat reaktif yang membentuk ikatan kimia
berenergi tinggi dengan oksigen. Dibandingkan dengan logam lain, proses ekstraksi
aluminium dari batuannya memerlukan energi yang tinggi untuk mereduksi Al2O3.
Proses reduksi ini tidak semudah mereduksi besi dengan menggunakan batu bara,
karena aluminium merupakan reduktor yang lebih kuat dari karbon.
Domestic Domestic
Import Country of Origin
Materials Supply Demand
(tons) (import)
(tons) (tons)
Dari produk hulu berupa ingot, diproses lebih lanjut menjadi produk antara berupa
produk aluminium lembaran dan produk aluminium batangan. Kedua jenis produk
tersebut diproses lebih lanjut menjadi produk hilir atau produk jadi yang akan dipakai
disegala sektor.
Industri Hilir aluminium merupakan produk akhir yang akan digunakan langsung oleh
konsumen seperti Aluminium strip/foil, kawat dan kabel, pipa, profil/ekstrusi,
komponen dan peralatan rumah tangga. Misal dengan memakai proses Dies Casting
akan dihasilkan komponen-komponen kendaraan bermotor.
2.1.3 Tembaga
Tembaga (Cu) mempunyai sistim kristal kubik, secara fisik berwarna kuning dan
apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop akan berwarna pink kecoklatan
sampai keabuan.
Tembaga sudah dikenal dan dimanfaatkan manusia sejak 10.000 tahun silam. Di Asia
Barat misalnya telah menjadi bahan pembuat koin dan perhiasan. Sementara di
zaman tembaga (Chalcolithic period, diambil dari Bahasa Yunani Chalkos yang
artinya tembaga) manusia telah menemukan teknik mencampur dan menggunakan
tembaga untuk menghasilkan perhiasan. Kemudian pada abad keempat dan ketiga
Sebelum Masehi telah ada kegiatan peleburan tembaga di Distrik Huelva, Spanyol.
Sementara itu di Amerika Selatan, aktivitas eksplorasi dan eksploitasi tembaga sudah
dikenal di antara suku suku asli seperti Maya, Aztec dan Inca. Demikian juga dengan
China, India dan Jepang di Asia. Hingga kini, tembaga menjadi salah satu jenis logam
yang sangat dibutuhkan manusia.
dengan rumus kimia CU, dimanfaatkan untuk kabel listrik, industri telekomunikasi
dan elektronika juga konstruksi dan transportasi.
Logam tembaga digunakan secara luas dalam industri peralatan listrik. Kawat
tembaga dan paduan tembaga digunakan dalam pembuatan motor listrik,
generator, kabel/kawat untuk transmisi, distribusi dan instalasi listrik, kendaraan
bermotor, tabung coaxial, tabung microwave, sakelar, rectifier, transsistor, dan
peralatan lainnya yang membutuhkan sifat konduktivitas listrik dan panas yang
tinggi. Meskipun aluminium dapat digunakan untuk tegangan tinggi pada jaringan
transmisi, tetapi tembaga masih memegang peranan penting untuk jaringan
transmisi, utamanya untuk bawah tanah.
Potensi sumber daya alam tembaga terbesar yang dimiliki Indonesia terdapat di
Papua. Potensi lainnya menyebar di Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi
Selatan.
Industri Hulu
Bahan baku
Cooper Concentrate Cooper Cathode/Ingot
Industri Antara
Cooper Rod Cooper sheet
Industri Hilir
Wire Cable Foil Cooper Tube Cooper Pipe
Pada saat ini hanya ada 1 pabrik penghasil cooper cathode di Indonesia yaitu PT.
Smelting. Proses pembuatan cooper cathode dapat dilihat pada gambar berikut:
Produk cooper cathode diproses lebih lanjut menjadi produk antara berupa cooper
sheet dan cooper rod. Dua jenis produk ini akan menjadi bahan baku untuk industry
hilirnya.
Pada kelompok Industri hilir, menghasilkan produk setengah jadi yang akan menjadi
komponen bagi produk berikutnya serta produk jadi yang akan dipakai langsung
oleh konsumen. Terdapat berbagai macam produk tembaga hilir, seperti:
kawat/kabel tembaga, tabung/pipa dan peralatan rumah tangga.
% (Utilisasi
No. Kelompok # Persh. Kapasitas 2008 2004 2005 2006 2007 2008
2008)
5 Batang Kawat Baja 10 1,560 988.4 914.0 834.1 919.6 839.1 53.79
8 Pipa Las Lurus/Spiral 29 2,243 459.6 689.7 779.2 642.8 637.1 28.40
Hal serupa juga terjadi pada produksi non logam nasional, seperti terlihat pada tabel
di bawah ini:
% (Utilisasi
No. Kelompok # Persh. Kapasitas 2008 2004 2005 2006 2007 2008
2008)
1 Aluminium Ingot Primer 1 225 247,0 250.0 251.4 241.3 242.4 107.73
2 Aluminium Alloy Ingot 33 183 56,9 122.5 151.5 178.6 199.3 108.67
7 Batang Kawat Tembaga 7 165 120.1 139.5 139.5 66.8 54.4 32.97
Sebagai review dari produksi Logam Nasional, akan disajikan contoh perusahaan
yang dinilai sebagai perusahaan pemain terbesar di bidangnya.
2.2.1 Baja
Dalam industri baja, tentu saja PT Krakatau Steel merupakan Perusahaan terbesar
yang ada di dalam negeri. Perusahaan ini mengakomodir sebagian besar kebutuhan
baja di tanah air. Perusahaan ini memiliki 6 pabrik besi baja mulai dari pabrik besi
spons sebanyak 2 unit, pabrik baja slab sebanyak 2 unit, pabrik baja billet, pabrik baja
canai panas , pabrik baja lembaran canai dingin, dan pabrik wire rod.
Tentu saja hal tersebut akan menjadi tantangan tersendiri untuk Industri Logam
Dalam Negeri.
“Saya sebagai Menteri BUMN, menghendaki kalau bisa BUMN yang mengelolanya,
sehingga ada semangat dan manajemen baru. Kita melihat ada peluang bisnis yang
bagus Pemerintah telah menyiapkan BUMN, PT Krakatau Steel menjadi pengelola
Inalum setelah kontrak dengan Jepang berakhir pada 2013,” ujar Menteri Negara
BUMN Mustafa Abubakar.
Mustafa mengatakan, setelah 2013, pemerintah akan menguasai 100% saham Inalum.
Pemerintah telah menunjuk Menteri Perindustrian MS Hidayat sebagai Lead Officer
yang akan mewakili Pemerintah dan memimpin jalannya proses negosiasi dengan pihak
Jepang (Nippon Asahan Alumminium/NAA).
Mustafa mengemukakan, dalam negosiasi dengan pihak Jepang, Indonesia menawarkan
dua opsi. Salah satunya mengundang BUMN yang berminat untuk melanjutkan
pengelolaan perusahaan tambang alumunium tersebut setelah 2013.
Dubes Jepang untuk Indonesia Kojiro Shijoiri disebut-sebut telah menemui Mustafa,
dan meminta kontrak Inalum diperpanjang.
Jepang saat ini menguasai 58,9% saham Inalum melalui NAA. Pemerintah Indonesia
hanya memiliki 41,1% saham. Saham NAA dikuasai 50% oleh Japan Bank for
International Cooperation (JBIC) dan 50% sisanya dimiliki konsorsium 20 perusahaan
swasta Jepang.
Jepang berkepentingan dengan Inalum karena hasil produksi perusahaan tersebut
(alluminium ingot) sebagian besar (60%) diekspor ke Jepang. Selain itu, Inalum adalah
salah satu investasi pemerintah Jepang di luar negeri yang terbesar yang dilakukan
melalui JBIC. Kecuali itu, Inalum adalah model kerja sama pemerintah dan swasta
Jepang di luar negeri yang dinilai berhasil memanfaatkan dana murah sebagai bantuan,
tapi mendapatkan manfaat komersial yang sangat besar bagi Jepang.
Sementara pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsyi meminta pemerintah untuk tidak
mengambil sikap kompromi dengan Jepang terkait perpanjangan kontrak Inalum.
"Inalum harus jadi milik Indonesia sepenuhnya, dalam artian kepemilikan 100% setelah
kontrak berakhir 2013. Pemerintah jangan banyak kompromi dalam negosiasi dengan
Jepang," ujar Ichsanuddin kepada Nonblok.com, hari ini.
Selain kepemilikan, Ichsanuddin juga menolak ekspor alumunium produksi Inalum ke
Jepang. Ia mengatakan, sejak Inalum beroperasi tahun 1983, Indonesia menyubsidi
Jepang habis-habisan, baik sumber daya alam, biaya yakni pasokan listrik, maupun
barang olahan aluminium berkualitas tinggi yang diekspor ke Jepang. "Yang untung ya
Jepang, kita jelas rugi," ujarnya.
2.2.2 Aluminium
80.000
Aluminium Sources For Down Stream Industry in Indonesia (2006, 40
Companies) 68.400
70.000
60.000 56.135
53.995
50.000
40.000
30.000
25.200
20.000 17.777
10.000
Demand (tpy)
0
Ingot Ingot Billet Slab Scrap
INALUM Import Import/Local
Dari Grafik yang ada di atas, terlihat bahwa pemenuhan kebutuhan Dalam Negeri
Masih sangat minim. Ketergantungan akan Impor masih terlihat dalam grafik
tersebut. Padahal, dengan kekayaan alam yang berlimpah dan kapasitas impor yang
relative besar, diharapkan PT Inalum dapat mengakomodir sebagian besar
2004 116,000 54,483 70,959 36,890 20,414 20,000 13,283 16,971 10,918 7,230
2005 116,000 59,076 66,927 43,140 35,289 20,000 13,472 12,647 9,112 9,937
2006 116,000 58,042 64,940 55,156 48,258 20,000 12,697 10,556 7,627 9,768
2007 116,000 64,601 85,967 73,733 52,367 20,000 12,157 11,708 8,869 9,318
2008 116,000 61,920 156,917 139,964 44,967 20,000 13,677 13,477 10,289 10,489
1. Pabrik karbon
Pabrik Karbon yang memproduksi blok anoda terdiri dari pabrik karbon mentah, pabrik pemanggangan, dan pabrik
penangkaian anoda. Di pabrik karbon mentah, coke dan hard pitch dicampur dan dibentuk menjadi blok anoda dan
dipanggang hingga temperatur 1.250 derajat Celcius di pabrik pemanggangan anoda. Kemudian di pabrik penangkaian
anoda, sebuah tangkai dipasang ke blok anoda yang sudah dipanggang tadi dengan menggunakan cast iron cair. Blok anoda
berfungsi sebagai elektroda di pabrik reduksi.
2. Pabrik penuangan
Di pabrik penuangan, aluminium cair dituangkan ke dalam jolding furnace. Ada 10 unit holding furnace di pabrik ini,
masing-masing berkapasitas 30 ton. Aluminium cair ini kemudian dicetak dengan casting machine. Pabrik ini memiliki
tujuh unit casting machine berkapasitas 12 ton per jam untuk masing-masing mesin dan menghasilkan 22,7 kg per ingot
(batang).
3. Pabrik reduksi
Pabrik reduksi terdiri dari tiga bangunan dengan ukuran yang sama. Ada 510 pot di gedung tersebut. Pot tersebut bertipe
prebaked anode furnaces (PAF) dengan desain 175 KA, tetapi sudah ditingkatkan hingga 194 KA, beroperasi pada suhu
960 derajat Celcius. Setiap pot rata-rata dapat menghasilkan aluminium sekitar 1,3 ton atau lebih aluminium cair per hari.
Sumber: Inalum
Dia hanya menyampaikan bahwa perdebatan ini akan dilakukan dalam perundingan. “Perundingan bisa
dimulai kalau Indonesia sudah merespons keinginan Inalum. Dari situ, Kemenperin akan mengambil posisi
apakah business plan tersebut disetujui sebagai program baru atau sebaliknya. Saya sedang mencari waktu
untuk membahasnya di kantor Menko,” kata Hidayat.
Berdasarkan keterangan Otorita Asahan, proposal bisnis Inalum tersebut berisi tentang perpanjangan kerja
sama dengan meningkatkan kapasitas pabrik peleburan aluminium dari 250.000 ton menjadi 317.000 ton per
tahun.
Menurut Effendi, Inalum berhak untuk merundingkan perpanjangan periode operasi pabrik selambat-
lambatnya 3 tahun sebelum tanggal berakhirnya periode kerja sama pada 1 November 2013.
“Usulan perpanjangan harus disertai dengan investasi baru yang signifikan jumlahnya dalam rangka inovasi
dan atau ekspansi pabrik smelter. Prosedur ini sudah sesuai dengan isi Master Agreement Article XXVII
Butir 8, 9, dan 10. Inalum sudah menuntaskan semuanya.”
2.2.3 Tembaga
300
200
Production, KTPY
100
-
99
00
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
19
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Year
Dimulai pada awal April 2001, rapat arus telah ditingatkan dari 295 ke 310 A/m2 dan
menyebabkan produksi katoda tembaga mencapai 220.000 ton per tahun. Setelah
melakukan pengembangan pabrik tahap pertama dengan penambahan 108 cell dan
mengoprasikan rapat arus yang sedikit lebih tinggi (naik dari 310 menjadi 312 A/m2)
dengan effesiensi arus yang relatif tinggi dan stabil, secara drastis produksi katoda
tembaga meningkat menjadi 260.000 ton pertahun. Setelah major shutdown yang
ke 4 pada tahun 2006, produksi katoda tembaga meningkat menjadi 270.000 ton.
Dengan selesainya ekspansi tahap ke tiga pada September 2009, maka produksi
Katoda Tembaga PT. Smelting akan meningkat menjadi 300.000 Ton per tahun.
Kebutuhan logam nasional seyogyanya dipenuhi oleh produksi dalam negeri dan
secara bertahap porsi impor dikurangi. Saat ini kebutuhan logam dalam negeri baru
bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri sebesar 55 % dan sisanya dari impor. Selain
itu ciri dari suatu Negara maju juga ditentukan oleh konsumsi perkapita produk
logam. Saat ini konsumsi perkapita Indonesia dalam pemakaian produk logam baru
mencapai 38,7 Kg/kap, jauh tertinggal dari Negara-negara Asean. Sebagai
pembanding konsumsi beberapa Negara Asean adalah sbb : Malaysia: 297,7 kg,
Thailand: 203 kg, Vietnam: 94,8 kg dan China: 250 kg. Dalam rangka mencapai target
menjadi “Negara Maju Baru”, Indonesia harus dapat mencapai tingkat konsumsi
kapita 100 kg/kap.
2.3.1 Baja
Dari gambar diatas secara umum dapat dilihat bahwa Negara yang GDP/kapita
rendah, maka konsumsi baja perkapita juga akan rendah dan sebaliknya. Namun
perkecualian untuk Vietnam dimana GDP/kapita paling rendah namun konsumsi baja
lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia. Hal ini disebabkan karena jumlah
penduduk Vietnam yang lebih sedikit dari Indonesia yaitu sekitar 75 juta orang
penduduk. Perkembangan konsumsi logam baja dalam negeri selalu fluktuatif.
Karena adanya krisis global pada tahun 1998, menyebabkan permintaan baja dalam
negeri menurun drastis. Grafik konsumsi produk logam baja dalam negeri dapat
dilihat pada gambar berikut:
2.3.2 Aluminium
Kebutuhan Aluminium Indonesia tahun 2008 sebanyak 830.000 ton yang disupply
oleh 40 perusahaan produsen dalam negeri, dan kekurangannya masih diimpor.
Produsen utama Alunimium adalah PT. Inalum yang memproduksi Al Ingot yang
memasok kebutuhan dalam negeri sebesar 120.000 ton/th. Selain itu terdapat 78
produsen lainnya dibidang industri aluminium yang umumnya memproduksi produk-
produk aluminium hilir.
Konsumsi Al/kap Indonesia saat ini baru mencapai 0.8 kg/kap, sangat rendah bila
dibandingkan dengan negara-negara maju seperti ; USA (21 kg/kap), Jerman (20
kg/kap) , Jepang (17 kg/kap) dan Korea Selatan(19 kg/kap).
Gambar 2-23 Perbandingan Konsumsi Perkapita Logam Aluminium Indonesia dan Negara
lainnya
Permintaan dalam negeri akan aluminium masih relatif rendah. Besarnya permintaan
Aluminium serta supply dari PT. Inalum dan perusahaan lainnya dapat dilihat pada
tabel berikut:
Dari pemerintah sendiri usulan kajian teknis itu dapat terus dipertajam. Jika perlu ada
tim independent untuk menilai keseluruhan aset. Karena masalah serah terima aset pada
2013, seperti powerplan 604 megawatt akan otomatis menjadi milik Indonesia.
Dan kita mau membayar kompensasi sesuai dengan nilai buku pada waktu 2013
tersebut. Nilai bukunya ini yang harus dicermati berapa jangan sampai terlalu tinggi
harus wajar betul dan ini harus betul penilaian yang independent di samping kita
sendiri," tukasnya.
2.3.3 Tembaga
Konsumsi tembaga dalam negeri pada tahun 2008 sebesar 150.000-190.000 ton.
Yang dipasok dari produksi dalam negeri sebesar 105.000 ton dan kekurangannya
diimpor.
Konsumsi tembaga dalam negeri masih sangat kecil dan umumnya permintaan
masih kepada produk-produk hilir. Saat ini, baru ada 1 (satu) industri yang bergerak
di sektor hulu untuk pembuatan katode tembaga (cooper cathode) yaitu PT
SMELTING. Perusahaan ini memanfaatkan bahan baku dari hasil pertambangan
tembaga yang dimiliki Indonesia di Propinsi Papua yang diekplorasi oleh PT. Freeport
Indonesia. PT SMELTING memiliki kapasitas desain untuk memproduksi katoda
tembaga sebanyak 250.000 ton per tahun, dengan bahan baku 660.000 ton
konsentrat tembaga yang dipasok dari PT Freeport Indonesia. Dalam memproses
pembuatan katode tembaga tersebut, terdapat produk-produk sampingannya yaitu ;
asam sulfat (600.000 ton/tahun), slag (400.000 ton/tahun), gypsum (30.000
ton/tahun) dan lumpur anoda (500 ton/tahun).
Penjualan katoda tembaga PT Smelting di wilayah domestik adalah 40% dari total
produksi katoda tembaga PT Smelting, sedangkan untuk sisanya sekitar 60% harus
dijual ke luar negeri. Secara umum, permintaan pasar atas katode tembaga kepada
PT Smelting dan dibandingkan dengan hasil produksinya dapat dilihat pada grafik di
bawah ini:
300
250
Satuan dalam KT
200
150
100
50
0
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Produksi Permintaan
Permintaan cooper cathode masih relative rendah, dan tidak mengalami kenaikan
yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena industri hilir yang juga tidak
mengalami perkembangan yang cukup berarti. PT Smelting sendiri berharap agar
pemerintah dapat mendorong perkembangan industri hilir berbasis tembaga. Tentu
saja dengan perkembangan industri hilir ini, maka permintaan pasar akan cooper
cathode juga akan meningkat.
300.0
250.0
Satuan dalam KT
200.0
150.0
100.0
50.0
-
2006 2007 2008 2009 2010
Domestic Export
Pada tahun 2005 ekspor logam Indonesia mencapai US$ 5,62 milyar, meningkat
menjadi US$ 7,86 milyar pada tahun 2006, US$ 10,18 milyar pada tahun 2007, dan
tahun 2008 meningkat menjadi US$ 10,4 milyar, namun menurun menjadi US$ 4,8
milyar pada tahun 2009. Penurunan ekspor tersebut disebabkan oleh turunnya
permintaan pasar dunia. Namun dengan makin membaiknya kondisi makro
Indonesia dan perekonomian dunia, kinerja ekspor Indonesia pasca krisis
menunjukkan kecenderungan meningkat.
Krisis ekonomi ternyata berpengaruh juga terhadap kinerja impor. Sebelum krisis
ekonomi terjadi, impor logam mencapai US$ 6,03 milyar pada tahun 2005, sedikit
menurun menjadi US$ 5,73 milyar pada tahun 2006, meningkat kembali US$ 7,56
milyar pada tahun 2007, dan terus meningkat pada tahun 2008 menjadi US$ 15,09
milyar. Pada tahun 2009 impor logam menurun tajam menjadi US$ 6,7 milyar.
Dari tabel diatas, HS yang paling banyak diekspor adalah HS 7202600000 / Ferro-
nickel dengan ekspor sebesar US$ 242.574.377. Jika dibandingkan dengan total
ekspor HS 72-73, maka ekspor HS Ferro-nickel memberikan kontribusi sebesar 12%.
Urutan berikutnya adalah HS 7208510000, HS 7304290090, HS 7308909000 dan HS
7213910000 yang memberikan kontribusi sebesar 8%, 8%, 6% dan 5% dari total ekspor
HS 72-73. Sedangkan sisanya memberikan kontribusi kurang dari 5% terhadap total
ekspor HS 72-73 sebesar US$ 1.988.329.054.
Dari tabel diatas, HS yang paling banyak diekspor adalah HS 7403110000 dengan
ekspor sebesar US$ 945.434.079. Jika dibandingkan dengan total ekspor HS 74,
maka ekspor HS 7403110000 memberikan kontribusi sebesar 48%. Urutan berikutnya
adalah HS 7403190000, HS 7408110000, dan HS 7408190000 yang memberikan
kontribusi sebesar 35%, 12%, dan 6% dari total ekspor HS 74. Sedangkan sisanya
memberikan kontribusi kurang dari 3% terhadap total ekspor HS 74 sebesar US$
2.266.431.205.
Dari tabel diatas, HS yang paling banyak diekspor adalah HS 7601100000 dengan
ekspor sebesar US$ 242.160.148. Jika dibandingkan dengan total ekspor HS 76, maka
ekspor HS 7601100000 memberikan kontribusi sebesar 46%. Urutan berikutnya
adalah HS 7606123920 yang memberikan kontribusi sebesar 13% dari total ekspor HS
76. Sedangkan sisanya memberikan kurang dari 5% terhadap total ekspor HS 76
sebesar US$ 527.022.393.
Dari tabel diatas, HS yang paling banyak diimpor adalah HS 7207121000 dengan nilai
impor sebesar US$ 609.986.903. Jika dibandingkan dengan total impor HS 72-73,
maka impor HS 7207121000 memberikan kontribusi sebesar 11%. Urutan berikutnya
adalah HS 7204490000 dan HS 7308909000 yang memberikan kontribusi sebesar 6%
dan 6 dari total impor HS 72-73. Sedangkan sisanya memberikan kurang dari 5%
terhadap total impor HS 72-73 sebesar US$ 5.371.169.316.
Dari tabel diatas, HS yang paling banyak diimpor adalah HS 7403110000 dengan
impor sebesar US$ 220.213.755. Jika dibandingkan dengan total impor HS 74, maka
impor HS 7403110000 memberikan kontribusi sebesar 40%. Sedangkan sisanya
Dari tabel diatas, HS yang paling banyak diimpor adalah HS 7601100000 dengan
impor sebesar US$ 259.944.439. Jika dibandingkan dengan total impor HS 76, maka
impor HS 7601100000 memberikan kontribusi sebesar 34%. Urutan berikutnya adalah
HS 7601200000 dan HS 7606123920 yang memberikan kontribusi sebesar 25% dan 9%
dari total impor HS 76. Sedangkan sisanya memberikan kurang dari 5% terhadap total
impor HS 76 sebesar US$ 774.949.069.
Dari tabel ekspor diatas dapat dilihat bahwa logam yang paling banyak diekspor
adalah dari komoditi tembaga. 5 diantaranya berasal dari nomor HS tembaga,
dimana 3 urutan teratas adalah komoditi tembaga, walaupun urutan 1 dan 2 masih
didominasi oleh hasil tambang tembaga. Sedangkan untuk logam baja ada 4 nomor
HS dan aluminium hanya 1 nomor HS. Hal ini menandakan bahwa untuk sektor
tembaga, kebutuhannya sebagian besar sudah terpenuhi dari produksi dalam negeri
sehingga tembaga dapat diekspor lebih banyak dibandingkan dengan logam lainnya.
Dari tabel impor diatas dapat dilihat bahwa logam yang paling banyak diimpor
adalah dari komoditi baja, dimana untuk urutan 3 besar berada dari komoditi baja
dan untuk 10 besar impor, 7 diantaranya berasal dari baja. Hal ini menandakan bahwa
tingkat ketergantungan logam baja kepada impor logam baja masih tinggi karena
masih lebih tinggi kebutuhan logam baja dibandingkan dengan produksi logam baja.
Dari tabel diatas dapat diketahui persentase total ekspor logam terhadap total
ekspor nasional, total ekspor masing-masing logam seperti baja, tembaga dan
aluminium terhadap total ekspor logam maupun terhadap total ekspor nasional.
Untuk hasil ekspor, sektor baja dan sektor tembaga merupakan komoditi yang paling
banyak diekspor pada sektor logam yang mencapai lebih dari separuh total ekspor,
dimana untuk sektor tembaga menjadi komoditi yang paling banyak diekspor yaitu
48,48% dari total ekspor logam. Ekspor baja mencapai 40,72% dari total ekspor
logam. Dan untuk ekspor aluminium hanya mencapai 10,79% dari total ekspor logam.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa produksi untuk sektor baja dan tembaga
jauh lebih banyak daripada sektor aluminium, hal ini dapat disebabkan karena dari
struktur industri aluminium itu sendiri masih ada missing link terutama pada bagian
hulu dimana di Indonesia belum ada industri yang mengubah bauksit menjadi
alumina. Hal inilah yang menjadi faktor utama rendahnya produksi aluminium di
Indonesia. Sedangkan untuk persentase ekspor logam terhadap total ekspor
nasional hanya mencapai 4,19% .
Dari tabel diatas dapat diketahui persentase total impor logam terhadap total impor
nasional, total impor masing-masing logam terhadap total impor logam maupun
terhadap total impor nasional. Untuk hasil impor, sektor baja merupakan komoditi
yang paling banyak diimpor pada sektor logam yang mencapai lebih dari separuh
total ekspor, yaitu sebanyak 80,16% dari total ekspor logam. Impor tembaga hanya
sebesar 8,27% dari total impor logam. Dan untuk ekspor aluminium sebesar 11,57%
dari total impor logam. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa impor untuk sektor
baja masih sangat besar karena kebutuhan logam baja dalam negeri belum dapat
terpenuhi oleh produksi dalam negeri. Selain itu karena adanya beberapa jenis
barang yang harganya lebih murah impor daripada ekspor. Impor sektor tembaga
jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ekspornya karena kebutuhan tembaga dalam
negeri sudah dapat terpenuhi oleh produksi dalam negeri. aluminium, hal ini dapat
disebabkan karena dari struktur industri aluminium itu sendiri masih ada missink link
terutama pada bagian hulu dimana di Indonesia belum ada industri yang mengubah
bauksit menjadi alumina. Hal inilah yang menjadi faktor utama rendahnya produksi
aluminium di Indonesia. Untuk persentase impor logam terhadap total impor
nasional mencapai 6,92%.
2.5.1 Baja
Dalam urutan peringkat baja, teridentifikasi sekitar 31 perusahaan baja terbesar yang
pada saat ini masih didominasi oleh China. Data mengenai perusahaan-perusahaan
tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Peringkat
TAHUN
(2009) Negara
(2009) (2008) (2007) Perusahaan
MT (juta)
1 77,5 103,3 116,4 ArcelorMittal Global
2 31,3 35,4 28,6 Baosteel Group Cina
3 31,1 34,7 31,1 POSCO Korea Selatan
4 26,5 37,5 35,7 Nippon Steel Jepang
5 25,8 33,0 34,0 JFE Jepang
6 20,5 23,3 22,9 Jiangsu Shagang Cina
7 20,5 24,4 26,5 Tata Steel India
8 20,1 16,0 16,2 Ansteel Cina
9 16,7 19,2 17,3 Severstal Rusia
10 15,3 17,7 16,2 Evraz Rusia
11 15,2 23,2 21,5 United States Steel Corporation Amerika serikat
12 15,1 12,2 12,9 Shougang Cina
13 14,2 20,4 18,6 Gerdau Brazil
14 14,0 20,4 20 Nucor Corporation Amerika serikat
15 13,7 27,7 20,2 Wuhan Iron Steel Cina
16 13,5 13,7 13,9 Steel Authority of India Limited India
17 12,0 33,3 31,1 Hebei Iron Steel Cina
18 11,3 16,0 17,9 Group Riva Italia
19 11,0 14,1 17,0 Thyssen Krupp Jerman
20 11,0 15,9 13,8 Sumitomo Steel Industries Jepang
21 10,9 11,3 9,7 Novolipetsk Rusia
22 10,6 10,0 10,1 IMIDRO Iran
23 23,6 Anshan Iron & Steel Group Corporation Cina
24 14,2 Magang Group Cina
25 13,3 Magnitorgorsk Iron & Steel Works Rusia
26 13,1 Techint Italia Argentina
27 12,1 Shandong Iron and Steel Group Cina
28 11,7 Shandong Laiwu Steel Cina
29 11,1 Valin Steel Group Cina
30 10,9 China Steel Taiwan
31 10,0 Hyundai Steel INI Korea selatan
1.219,0 1.329,0 1.351,0 Total Dunia
Dilihat dari tabel di atas, tentu saja dapat diketahui bahwa China memegang top
production dari tahun 2006 hingga tahun 2009. Sedangkan Indonesia masih berada
dalam urutan ke 34 peringkat dunia untuk produksi baja. Selain produksi baja, China
juga memegang peringkat teratas untuk top exporter dari tahun 2006. Melalui tabel
berikut akan disajikan negara-negara yang tergolong dalam top exporter di dunia.
15 India 1,2
2.5.2 Aluminium
China, Rusia, Kanada dan Brazil berada di peringkat teratas untuk top production
aluminium di dunia. China memiliki 34 perusahaan yang tergolong dalam 150
perusahaan terbesar di dunia. Sedangkan Rusia sendiri memiliki 6 perusahaan yang
termasuk dalam 30 perusahaan aluminium terbesar di dunia. Tabel di bawah
menyajikan 30 daftar perusahaan aluminium di dunia penghasil aluminium terbanyak
per tahunnya.
Plant Capacity
No. Country Location Company Name Ownership
(kt/year)
Bratsk Am Works-
1 Russia Bratsk 950 RUSAL 100%
Braz
Krasnoyarsk Am
2 Russia Krasnoyarsk 937 RUSAL 100%
Works-Kraz
3 Bahrain Manama 872 Alba
4 UAE Jebel Ali 861 Dubal
5 South Africa Richards Bay-H 670 Hillside BHP Billiton
Rio Tinto Alcan 40%,
Austria Metall AG 20%,
6 Canada Sept-Îles 572 Aluminerie Alouette Hydro Aluminium 20%,
SGF 13.33%, Marubeni
6.67%
Rio Tinto Alcan 59.4%,
7 Australia Boyne Island 545 Boyne Smelters Ltd Sumitomo, Marubeni,
Mitsubishi
8 Mozambique Maputo 530 Mozal BHP Billiton
Tajik Aluminium
9 Tajikistan Tursunzoda 520
Company
Tomago Aluminium
10 Australia Tomago 520 Rio Tinto Alcan 51.5%
Company
Sayamsk Am Works-
11 Russia Sayanogorsk 500 RUSAL 100%
Saaz
Companhia Brasileira
12 Brazil Sorocaba 475
de Aluminio (CBA)
Vale 51%, Nippon
13 Brazil Barcarena 460 Albras Amazon Aluminium
Company 49%
Irkutsk Am Works-
14 Russia Shelekhovo 456 RUSAL 100%
Iraz
15 Brazil Sao Luiz 438 Alumar Alcoa 60%
16 Canada Baie Comeau 438 Alcoa Alcoa 100%
17 Venezuela Puerto Ordaz-V 436 Venalum
18 Canada Alma 415 Rio Tinto Alcan Rio Tinto Alcan 100%
19 Canada Becancour 409 A.B.I. Alcoa 75%, Alcan 25%
20 China Qingtongxia 385 Qingtongxia Al Co Rio Tinto Alcan 50%
Hindustan Aluminium
21 India Renukoot 360
Co. (Hindalco)
22 India Angul 359 National Aluminium
Co. (Nalco)
23 Norway Sunndal 357 Hydro Aluminium
24 Australia Portland 353 Portland Aluminium 55% Alcoa
New New Zealand Rio Tinto 79%, Sumitomo
25 Tiwai Point 352
Zealand Aluminium Smelters 21%
Bharat Aluminium Co Government of India 49%,
26 India Korba 345
(Balco) Vedanta 51%
27 China Wanji 340 Wanji Al Co Ltd
Oman Oil Corporation
Sohar Aluminium
28 Oman Sohar 330 40% ADWEA 40% Alcan
Company
20%
29 Iceland Fjardaal 322 Alcoa
Novokuznetsk Am
30 Russia Novokuznetsk 310 RUSAL 100%
Works-Naz
Dalam peringkat dunia, china masih memegang urutan teratas dalam produksi
aluminium dunia sebanyak 5 juta ton setahun, diikuti oleh Rusia yang memproduksi 4
juta ton/tahun, Amerika dan Canada dengan produksi sebesar 3 juta ton/tahun.
Indonesia sendiri berada di peringkat 26 dunia dengan produksi sebanyak 225 ribu
ton/tahun.
Tabel 2-31
32 Montenegro 120,000
33 Slovenia 117,000
34 Ukraine 113,000
35 Bosnia and Herzegovina 107,000
36 Sweden 102,000
37 Cameroon 96,000
38 Mexico 75,000
39 Turkey 65,000
40 Poland 50,000
41 Switzerland 44,000
42 Azerbaijan 35,000
43 Hungary 28,000
44 Japan 18,000
45 Bangladesh 15,600
2.5.3 Tembaga
Dalam membahas industry tembaga, utamanya industry hulu tembaga, tidak bisa
dilepas dengan usaha pertambangan tembaga sebagai bahan baku industry
tembaga. Pertambangan tembaga umumnya banyak terdapat di wilayah Amerika
Selatan dan yang terbesar di Negara Chile, dan lainnya juga terdapat di Negara Peru
dan Mexico. Diluar Amerika Selatan Negara-negara penghasil tambang tembaga
adalah ; USA, Rusia, Australia, Polandia, Kazakhstan dan Indonesia. Pertambangan
tembaga di Wilayah Amerikan Selatan tumbuh luarbiasa dalam dua puluh lima tahun
terkahir. Pada 1980 kapasitas produksi dari perusahaan perusahan di Amerika
Selatan sebesar 1,808 ribuan metrik ton dan pada tahun 2006, wilayah Amerika
Selatan telah memproduksi 6,902 ribuan metrik ton.
Dua puluh besar perusahaan tambang tembaga dunia adalah seperti terlihat pada
tabel dibawah ini.
Newmont, Sumitomo
Corp., Sumitomo Metall
Mining
11 Bingham Canyon 280 Amerika Serikat Kennecott
12 Olympic Dam 255 Autralia BHP Billiton
13 Andina 236 Chile Codelco
14 Zhezkazgan Complex 230 Kazakhstan Kazakhmys
15 Los Bronces 226 Chile Anglo Amerika
16 Rudna 220 Polandia KGHM Polska Miedz S.A
Codelco, Freeport Mc
17 El Abra 219 Chile
Moran Copper & Gold
18 Mount Isa 212 Australia Xstrata Plc
19 Toquepala 210 Peru Southern Copper Corp
20 Cananea 210 Meksiko Group Mexico
Sumber: ICSG, 2006
Hasil pertambangan tembaga umumnya dijual dipasaran dalam bentuk biji tembaga
(Ore) yang selanjutnya diolah lebih lanjut pada industry pengolahan atau industry
smelter untuk dijadikan katode tembaga atau copper cathode. Dari data lembaga
tembaga dunia total produksi copper cathode dunia pada tahun 2006 sebesar 15.000
MT, dimana 46 % atau sebesar 6.900 MT disupply oleh Amerika Selatan. Tabel berikut
memperlihatkan 20 besar industry smelter di dunia.
Kapasitas (ribuan
No Nama perusahaan Proses Negara
metrik ton)
Outokumpu Flas, Ausmelt, Mitsubishi
1 Birla Copper (Dahej) 500 India
Continous
2 Nordeutsche Affirnerie 450 Outokumpu, Contimel, Electrict Jerman
3 Saganoseki/Ocita 450 Outokumpu flash Jepang
4 Codelco Nork 400 Outokumpu/tenient,converter Chile
5 Guixie 400 Outokumpu flash China
6 Norilsk (Nikelevy,medny) 400 Reverb. Electric,Vanyukov Rusia
7 El Teniente (Caletonse) 391 Reverberatory/Teniente Conv Chile
8 Besshi/Ehime (Toyo) 365 Outokumpu flash Jepang
9 Jinchuan 350 Reverberatory/Kaldo Conv. China
10 Yunnan 350 Issasmelt Process China
11 Onahama/Fukushima 324 Rverberatory Jepang
12 Huelva 320 Outokumpu Flash Spanyol
13 Garfield 320 Kennecott/Outokumpu USA
14 Ilo Smelter 315 Issasmelt Process Peru
15 Naoshima/Kagawa 312 Mitsubishi Continous Jepang
16 Sterlite Smelter (Tuticorin) 300 Issasnelt Process India
17 Onsan II 300 Mitsubishi Continous Korea Selatan
18 La Caridad 290 Outokumpu/Teniente Converter Meksiko
19 Altonorte (La Negra) 260 Noranda Continous Chile
20 Smelting Gresik 260 Mitsubishi Flash Indonesia
Sumber : ICSG, 2007
Hingga tahun 2006, Negara Jepang masih merupakan Negara terdepan dalam
mengimpor tembaga dunia, mencapai 1.327 MT diikuti oleh Negara-negara China,
India dan Korea Selatan. Setelah tahun 2006 negara pengimpor utama tembaga
diambih alih oleh China.
Di awal tahun 2007, permintaan tembaga dunia meningkat dan bahkan melampaui
volume produksinya. Pemicunya adalah China yang mengimpor banyak logam
tersebut menjelang Olimpiade. Permintaan tersebut melampaui kapasitas produksi
yang mencapai 39.000 metrik ton pada bulan Januari dan 51.000 metrik ton pada
bulan Februari. Data International Copper Study Group yang berbasis di Lisbon
mengungkapkan kondisi ini berbeda dengan posisi periode Januari - Februari 2006
yang justru mengalami surplus produksi sebesar 53.000 metrik ton. China dan India
merupakan dua negara yang mendorong pertumbuhan permintaan tembaga.
Demand tembaga yang tinggi dari kedua negara ini dilatari pertumbuhan ekonomi
yang sangat menakjubkan
Permintaan tembaga tahun 2009 menurun sebesar 29% menjadi 18 juta MT,
dikarenakan adanya krisis global yang dipicu dari Amerika. Yang cukup mengejutkan
khusus di China, permintaan tembaga selama 2009 justru naik 38 persen. China pada
2009 membeli tembaga sebanyak 36 persen dari konsumsi dunia.
Tahun 2010 ini konsumsi tembaga dunia diramalkan tumbuh 5,4 persen, dimana
China yang diperkirakan akan membeli hampir 40 persen produksi dunia. Karena
potensi yang luar biasa dari konsumen China, ada prospek baik untuk permintaan
tembaga di masa mendatang. Permintaan China masih kuat setelah pertumbuhan
ekonomi pada 2009 melonjak meninggalkan negara lainnya yang dilanda krisis
global. Tahun ini dan tahun-tahun berikutnya industri melihat peningkatan signifikan
dalam permintaan tembaga di Asia. Negara-negara berkembang di Asia secara
bertahap terus memerlukan upaya intensif dalam penggunaan tembaga untuk
konstruksi, pembangunan infrastruktur energi dan aktivitas industri lainnya. Mereka
membutuhkan tembaga lebih banyak dari negara-negara lainnya.
Bahan buangan yang dihasilkan dari industri besi baja seperti cor logam dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan. Sebagian besar bahan pencemarannya
berupa debu, asap dan gas yang mengotori udara sekitarnya. Selain pencemaran
udara oleh bahan buangan, kebisingan yang ditimbulkan mesin dalam industri baja
mengganggu ketenangan sekitarnya. Kadar bahan pencemar yang tinggi dan tingkat
kebisingan yang berlebihan dapat mengganggu kesehatan manusia baik yang
bekerja dalam pabrik maupun masyarakat sekitar.
Walaupun industri baja/logam tidak menggunakan larutan kimia, tetapi industri ini
mencemari air karena buangannya dapat mengandung minyak pelumas dan asam-
asam yang berasal dari proses pickling untuk membersihkan bahan plat, sedangkan
bahan buangan padat dapat dimanfaatkan kembali.
pengerasan jalan. Contohnya adalah negara Jepang dan Korea yang telah
memanfaatkan Slag untuk menguruk pantai. Setiap ton produksi baja menghasilkan
20% limbah slag, oleh karena itu industri baja kesulitan menampung slag dalam
gudang-gudang mereka. Hal ini dikarenakan jika ingin dikeluarkan wajib dilakukan
pengelolaan secara khusus yang menghabiskan biaya yang tidak sedikit
Sementara itu berdasarkan penelitian penggunaan slag yang berasal dari limbah itu
justru menghasilkan beton yang lebih kokoh dibandingkan penggunaan kerikil kasar.
Hasil uji tekan laboratorium menunjukkan peningkatan kekuatan sampai 20% di atas
penggunaan bahan konvensional. Dan ini juga berarti bahwa dunia konstruksi beton
tidak harus menggerus bukit atau menggali dasar sungai untuk mencari kerikil kasar
sebagai bahan betonnya.
Slag harus dimanfaatkan karena jika limbah industri baja yang saat ini masuk dalam
kategori B3 tersebut dibiarkan menumpuk dan terkena hujan, airnya akan mengaliri
sungai dan saluran irigasi. Efeknya bisa menimbulkan dampak yang luas bagi
kesehatan dan lingkungan.
Disisi lain di dunia internasional, melalui Konvensi Bassel, slag tidak dianggap sebagai
B3, namun undang-undang mengenai lingkungan hidup di Indonesia menyatakan
slag sebagai B3. Demikian pula di Amerika, slag tidak dikategorikan B3 berdasarkan
hasil tes dari US-EPA (United States Environtment Protection Agency).
2.6.2 Energi
Salah satu bahan bakar untuk mendukung kegiatan produksi di industri baja adalah
gas alam yang selama ini dipasok oleh pertamina. Misalnya, PT Krakatau Steel
menggunakan gas alam dalam pembuatan baja canai panas (HRC) dan baja canai
dingin (CRC)
Namun saat ini, pasok gas alam untuk kegiatan produksi baja di PT KS belum optimal,
yaitu hanya sekitar 80%-85% dari total kebutuhan. Sementara meski kebutuhan bahan
baku dapat dipenuhi melaluiimpor, namun tidak kompetitif karena biaya yang
dikeluarkan semakin meningkat. Dengan pasok gas alam yang berada di bawah
kebutuhan maka telah berdampak pada rendahnya tingkat utilisasi pabrik yaitu
mencapai 50% dari total kapasitas produksi. Hingga kini, total kebutuhan gas alam
untuk industri baja mencapai 500ribu MMSCF per tahun.
Selain itu, dengan pasok gas yang tidak mencukupi kebutuhan, mengakibatkan salah
satu pabrik, yaitu Hyl 1 berhenti beroprerasi. Padahal jika dua pabrik beroperasi
maksimal maka tingkat produksi akan semakin tinggi, sehingga dapat mengurangi
ketergantungan impor bahan baku.
PT Krakatau Steel, melalui anak usahanya PT Krakatau Daya Listrik, siap membangun
pembangkit listrik sebesar 320 megawatt (MW) pada tahun 2009 di Krakatau
Industrial Estate Cilegon, Banten, untuk mendukung operasional pabrik. Proyek
pembangkit tersebut akan menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya yang
diperkirakan akan menelan investasi US$ 320 juta.
sebagai bahan bakar pembangkit listrik, anggaran perusahaan untuk proses produksi
bias ditekan secara drastic. Sehingga diharapkan ongkos produksi bisa menjadi lebih
murah karena akan mensubstitusi pasokan listrik yang bersumber dari gas.
Penggunaan tekonlogi hemat energi merupakan kebutuhan bagi industri baja. Mengingat komponen
energi memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi keseluruhan biaya produksi. Sehingga dengan
melakukan penghematan energi akan membuat industri baja mampu bersaing di pasar global.
Saat ini, tren industri baja dunia menggunakan teknologi hemat energi untuk menekan biaya produksi
sekaligus membuat industri yang bersangkutan mampu bersaing di pasar internasionall. Padahal hampir
semua industri baja di dunia tidak memiliki sumber daya energi yang cukup besar seperti Jepang,
Korea Selatan dan Taiwan. Sehingga meski Indonesia memiliki sumber daya energi gas yang cukup
besar, namun industri baja nasional perlu menerapkan teknologi hemat energi
Sementara itu, penggunaan energi baik listrik maupun gas untuk industri baja di Indonesia menyerap
sekitar 18% dari komponen biaya produksi. Angka itu masih cukup besar. Oleh karena itu, perlu
diterapkan teknologi hemat energi, sehingga mampu menekan biaya produksi.
Disisi lain, untuk memperbarui teknologi produksi diperlukan investasi yang cukup besar. Atau hampir
sama dengan membangun sebuah parbik baru, yaitu sekirar US$ 250 juta. Pada umumnya, inudstri baja
nasional seperti PT KS memilih melakukan rekayasa teknologi yang dilakukan sendiri oleh SDMnya
dengan biaya yang lebih murah.
Cadangan terbukti dan potensi gas bumi nasional per 1 januari 2006 mencapai total volume 187.09
TSCF, terdiri dari 93,95 TSCF cadangan terbukti dan cadangan potensial sebesar 93,14 TSCF.
Cadangan gas bumi nasional juga tersebar di beberapa wilayah Indonesia meliputi, NAD memiliki
sumber daya 4.57 TSCF, Sumatera utara 1.38 TSCF,
Rencana pemangkasan pasokan gas bagi industri manufaktur sebesar 20% akan berimbas negatif bagi
kinerja industri yang mengandalkan bahan baku gas seperti industri pupuk, keramik, baja dan semen.
Sektor-sektor tersebut akan mengalami pengurangan produksi. Bukan hanya itu saja, bagi industri yang
terkena pemangkasan namun masih menggunakan konsumsi normal maka akan dikenakan surcharge
yang akan menambah beban biaya.
Selama ini industri manufaktur yang banyak menggunakan gas antaralain baja, keramik, semen dan
pupuk. Sektor keramik saja mengambil porsi hingga 20% dari total kebutuhan gas industri manufaktur
atau mencapai 152 mmscfd per tahun. Saat ini utilisasi atau pemanfaatan kapasitas terpasang mencapai
70%-80% per tahun, dengan adanya pengurangan pasokan gas tentunya akan mengoreksi utilisasi.
Masalah gas di dalam negeri saat ini sangat memperihatinkan mengingat pemerintah sudah terlanjur
menandatangani kontrak-kontrak ekspor gas dalam jangka waktu yang panjang. Meski dari kebijakan
itu positifnya akan meningkatkan sumber devisa namun menggerus tenaga kerja karena industri tidak
mendapat jaminan pasokan gas.
Masalah ini menyebabkan PGN tak sanggup memenuhi sepenuhnya permintaan suplai ke ke industri
manufaktur karena PGN mengalami kekurangan pasokan.
2.6.3 Globalisasi
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh
negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau
curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme
dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan
mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena
tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap
perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti
budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali
menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Salah satu bentuk kerjasama dari globalisasi saat ini adalah terjadinya kerjasama
antar negara baik kerjasama bilateral maupun regional. Indonesia telah melakukan
kerjasama regional antara lain Asean Free Trade Area (AFTA), Asean-Korea Free
Trade Area (AkFTA) dan Asean-China Free Trade Area (ACFTA). Sedangkan kerjasama
bilateral yang telah dilaksanakan adalah kerjasama ekonomi antara Indonesia
dengan Jepang yaitu Indonesia and Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA).
V
isi, misi, tujuan, dan sasaran serta arah industri Indonesia ke depan, telah
diatur dalam Peraturan Presiden Indonesia no. 28 tahun 2008 mengenai
“Kebijakan Industri Nasional” atau biasa disebut dengan KIN. Visi
perindustrian Indonesia pada tahun 2025 dalam KIN adalah membawa Indonesia
menjadi negara industri tangguh dunia yang bertumpu pada tiga industri andalan
masa depan yaitu industri agro, industri alat angkut, dan industri telematika
menjadikan industri logam sebagai tulang punggung industri Indonesia. Hal ini jelas
terlihat bahwa ketiga industri andalan ini sangat memerlukan industri logam.
Sebagai contoh, pada sektor industri alat angkut seperti industri mobil, pada setiap
mobil yang diproduksi saat ini terdapat sekitar 60% komponen yang menggunakan
bahan atau berbasis baja; pada sektor industri telematika seperti industri komputer,
sebagian besar komponennya merupakan bahan berbasis industri logam, baik baja
maupun non-ferro. Sementara itu, industri agro pun tidak luput dari kebutuhannya
akan industri logam, terutama dalam pemesinan dana peralatan pertanian termasuk
pengolahannya, serta pengemasan hasil pertanian.
Peran penting industri baja sebagai tulang punggung pembangunan industri nasional
digambarkan oleh “Struktur Bangun industri masa depan” pada gambar 3.1.
Berdasarkan rencana strategis industri nasional dalam KIN, target dan sasaran
pengembangan industri baja Indonesia selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri
Perindustrian No. 103/M-IND/PER/10/2009 mengenai roadmap pengembangan
klaster industri prioritas dalam bentuk rencana aksi dalam tiga tahap. Secara ringkas
peraturan tersebut ditampilkan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 3-1 Rencana Aksi Industri Baja (sumber: Peraturan Menteri Perindustrian No. 103/M-
IND/PER/10/2009)
Pada tahun 2020, ditargetkan konsumsi industri baja mencapai 70 kg / kapita / tahun.
Untuk mencapai peningkatan konsumsi baja dalam negeri ini, Pemerintah khususnya
Kementerian Perindustrian melakukan berbagai upaya dengan mendorong industri-
industri lainnya untuk dapat lebih berperan dalam perekonomian dengan
meningkatkan volume produksinya. Salah satu program peningkatan konsumsi baja
dalam negeri adalah pada peningkatan industri otomotif. Pada tahun 2015
pemerintah menargetkan industri otomotif dapat memproduksi 1 juta mobil per
tahun (sumber: Ditjen Industri Alat Transportasi dan Telematika, Kementerian
Perindustrian). Walaupun konsumsi baja per kendaran yang dihasilkan tidak besar,
tetapi segala peralatan untuk memproduksi kendaraan bermotor umumnya
menggunakan komponan logam. Usaha lain dari sisi supply juga telah dilakukan,
diantaranya dengan mendorong investasi dari dalam dan luar negeri. Dalam hal ini,
Dengan tingkat kebutuhan per kapita per tahun sebesar 43 kg, kebutuhan saat ini
secara teoritis telah mencapai di atas 10 juta ton (dengan asumsi jumlah penduduk
sekitar 235 juta jiwa). Namun demikian, Pemerintah juga tetap melakukan kerjasama-
kerjasama dengan mitra strategis di kancah internasional dalam meningkatkan akses
pasar produk-produk industri baja ke pasar internasional. Sejak tahun 1995 Indonesia
tergabung dalam WTO agar akses pasar Indonesia ke negara-negara lain bisa lebih
mudah, selain itu di kancah regional maupun bilateral Pemerintah melakukan
kesepakatan-kesepakatan dengan negara-negara ASEAN atau lebih populer dengan
kerjasama AFTA, kesepakatan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement
(IJEPA), Asia Pacific Economic Partnership (APEC), ASEAN-Korea Free Trade
Agreement (AKFTA), dan yang marak dibicarakan saat ini ASEAN – CHINA FTA.
Sektor-sektor industri utama yang menggunakan bahan dasar industri logam non
ferro adalah industri elektronika dan telematika, industri kendaraan bermotor,
indsutri agro, dan lainnya. Target dan sasaran pengembangan industri logam non-
fero tentunya harus diarahkan pada pengembangan di sektor-sektor industri
tersebut. Rencana strategis dalam KIN menyebutkan bahwa industri telematika
merupakan industri andalan masa depan yang perlu didorong dan dikembangkan.
Oleh karena itu, di tahun 2020 industri non-ferro Indonesia ditargetkan untuk dapat
bersaing secara global untuk mensuplai kebutuhan dalam negeri dan luar negeri
untuk industri-industri hilir non-ferrous.
Pada tahun 2008, konsumsi alumunium di dunia antara lain adalah 36 % untuk
transportasi, 23 % untuk container/ packaging, 14% untuk bangunan dan konstruksi,
8% untuk kelistrikan, 8 % untuk mesin dan peralatan, dan 11% untuk kebutuhan
lainnya. Dari data ini, KIN yang dibuat pemerintah sudah sejalan dengan kebutuhan
dunia yaitu membangun dan mengembangkan industri transportasi yang berbasis
industri manufaktur, mengingat konsumsi dunia saat ini sangatlah besar pada
industri-industri tersebut.
ini ke depan. Hal ini tampak dari belum adanya peraturan Menteri di bawah Kepres
28 tahun 2008 (KIN) yang mengatur road map industri non-ferrous.
Apakah “driver sektor” itu? Istilah ini mulai populer di kalangan Kementerian
Perindustrian saat berlangsungnya negosiasi kesepakatan IJEPA pada tahun 2006 –
2008 yang lalu. Istilah ini mulai muncul karena pihak Indonesia dalam hal ini
Kementerian Perindustrian berpendapat bahwa kesepakatan kerjasama antara
Indonesia dengan Jepang dalam kerangka IJEPA harus memiliki arah dan tujuan yang
jelas, bukan semata-mata hanya membuka pasar kedua negara, tetapi juga
pembukaan pasar ini akan membuat “efek spill over” yang luas bagi pengembangan
ekonomi kedua negara. Untuk itu, dalam tulisan ini definisi dari driver sektor diambil
dari definisi yang digunakan oleh Kementerian Perindustian, dimana “Driver sektor”
adalah industri yang menjadi inti dan penggerak industri-industri lainnya dimana
kedepannya akan menggerakan ekonomi secara berkesinambungan. Driver sektor
dipandang penting karena dengan terpilihnya suatu industri menjadi driver atau
penggerak, maka pengembangan industri pada sektor tersebut termasuk
infrastruktur dan industri pendukungnya akan lebih terarah dan terstruktur.
dalam hal kita sebut sebagai driver sektor antara lain industri telematika, industri
transportasi, dan industri agro.
Pemilihan driver sektor pada tulisan ini merupakan fokus dari ke empat klaster
industri prioritas yang terkait langsung dengan industri logam dan sesuai dengan
bangun industri masa depan. Industri kendaraan roda empat, sepeda motor, industri
konstruksi (bangunan pabrik, rumah tangga, kantor, dll), industri alat berat, dan
industri kapal dapat dijadikan driver sektor dalam pengembangan industri baja ke
depan. Sedangkan dalam rangka pengembangan industri logam non-ferro, driver
sektor yang dipilih adalah industri komputer, telepon genggam, otomotif dan
industri konstruksi.
Kedalaman struktur industri dilihat dari sisi sumber daya manusia, pemesinan,
keuangan/ modal, dan teknologi. Ke empat faktor di atas sangat menentukan
kekuatan dan kelemahan industri di suatu negara. Kedalaman struktur industri baja
di Indonesia dapat juga dilihat dari pohon industri baja. Pohon industri baja seperti
terlihat pada gambar 3.1 berikut menunjukkan bahwa industri baja di Indonesia
sudah meliputi dari hulu sampai ke hilir.
Sampai saat ini, kedalaman struktur industri baja Indonesia masih ditujukan untuk
mensuplai pasar konstruksi, seperti besi beton, baja profil, seng, kawat, paku, mur &
baut, dan plat konstruksi. Sementara ini, industri baja di Indonesia masih belum bisa
memproduksi baja-baja engineering atau baja-baja dengan spesifikasi khusus yang
ditujukan untuk mensuplai industri-industri kendaraan bermotor dan alat berat.
Dari gambar pohon industri baja tampaknya Indonesia telah menguasai berbagai
teknologi sehingga dapat memproduksi baja dari hulu sampai ke hilir. Kelemahan
masih terdapat pada belum tumbuhnya industri di bagian hulu, yaitu pellet besi dan
iron ore, yang masih didatangkan dari negara lain. Pengembangan pengolahan
bahan dasar pasir besi telah dilakukan oleh PT Krakatau Steel di Kalimantan, namun
masih dengan kapasitas yang rendah. Di bagian hilir, pada kenyataannya pada saat
Pemerintah Indonesia melakukan perundingan untuk perluasan akses pasar dengan
mitra-mitranya, asosiasi industri baja selalu menampakan kekhawatiran termasuk
pendapat dari para pakar ekonomi Indonesia. Para pakar dan asosiasi ini selalu
meminta agar pemerintah lebih hati-hati dalam membuka akses pasar baja nasional
agar impor bahan baja hanya untuk industri baja yang belum ada di Indonesia.
Kesimpulannya, industri-industri baja nasional belum mampu, belum siap atau
bahkan “belum mau” bersaing dengan berbagai alasan. Timbulah pertanyaan
mengapa industri baja nasional tidak mau bersaing? Inilah “Pekerjaan Rumah”
pemerintah Indonesia (yang notabene dimotori oleh Kementerian Perindustrian) ke
depan termasuk juga industri-industri Indonesia agar dapat bersaing di kancah
internasional dan yang lebih penting lagi dapat tetap bersaing di dalam negeri.
Pemerintah perlu menyusun kebijakan pengembangan industri yang lebih terarah,
mudah diterapkan, dan pro-pembangunan dengan menjaga iklim usaha yang
kondusif.
mini-mill berbasis scrap: Gunung Group, Ispat Indo, Jakarta Cakra Tunggal,
Master Steel
Selain dari industri alumunium ingot, industri antara dan industri hilir pun telah
dikembangkan di Indonesia, mulai dari produk plat, profil, casting, die-casting, dll.
Industri antara dan hilir di Indonesia masih sangat kurang, mengingat volume pasar
masih relatif rendah dan banyak dikuasai oleh Luar Negeri. Sejalan dengan hal ini,
pemerintah masih “merasa” belum mampu untuk berinvestasi sehingga berupaya
keras untuk menarik invetasi terutama investasi asing untuk membangun industri
alumina sebagai bahan baku industri alumunium.
Agar upaya pengembangan dan peningkatan daya saing industri alumunium, sudah
pasti memerlukan fokus dalam prosesnya. Upaya ini dapat didukung dengan
pemilihan driver sektor atau sektor penggerak utama dalam pengembangan industri
alumunium. Dengan driver sektor yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya,
maka pengembangan struktur industri alumunium dapat terwujud dengan lebih
terarah.
Indonesia merupakan Negara penghasil bahan baku mentah tembaga dan termasuk
pemain besar di pasar internasional. Indonesia telah memiliki industri tembaga dari
hulu sampai ke hilir. Namun masih disayangkan, jumlah industrinya masih sangat
sedikit. Satu diantaranya adalah PT. Smelting, yang termasuk pemain besar untuk
industri tembaga di Indonesia.
Sampai saat ini Indonesia masih bergantung pada impor bahan baku (iron
ore, scrap, selanjutnya coking coal), bahan setengah jadi (slab dan billet
untuk re-roller), dan produk-produk baja engineering untuk produk
otomotif, alat berat, otomotif, mur dan baut)
Pertumbuhan permintaan baja dalam negeri masih relatif lambat
Rentang produk dan kualitas masih terbatas
Skala ekonomi pada industri yang ada belum memadai, hal ini menyebabkan
biaya produksi menjadi lebih mahal
Dari sisi teknologi, Direct Reduction Iron Making dengan menggunakan gas
alam sudah tidak lagi murah, selain itu suplai listrik juga kurang. Dari sisi
efisiensi dan produktifitas juga masih rendah dibandingkan produsen lain di
dunia
Penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta orang, hal ini mengakibatkan
peluang pasar baja akan makin baik.
Penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta orang, hal ini mengakibatkan
peluang pasar alumunium akan makin baik.
Kebutuhan nasional dan dunia yang makin meningkat dengan pesat
Indonesia memiliki sumber daya alam untuk bahan baku industri tembaga
Sudah tersedianya teknologi pengolahan tembaga yang cukup memadai
dan didukung oleh adanya investor luar negeri yang membantu
memperkuat teknologi Indonesia dalam pengolahan baja, walaupun masih
hanya untuk beberapa pemain besar di industri tembaga ini, seperti PT.
SMELTING di Gresik, Jawa Timur.
Pada saat ini, Kapasitas produksi konsentrat tembaga milik PT Freeport Indonesia
mencapai 1 -1,2 juta ton pertahun. Namun sayang, produksi tersebut belum
sepenuhnya mampu diserap dalam negeri. Industri lokal hanya mampu mengolah
300.000-500.000 ton produksi tembaga dari Freeport. Alhasil, perusahaan ini masih
mengekspor produksinya ke negara lain.
Sementara itu, perihal adanya perusahaan baru yang akan melakukan negosiasi
untuk mengolah kosentrat tembaga milik Freeport, belum diketahui berapa
kapasitas yg terpasang sampai sekarang belum ada. Poduksi smelter kosentrat
tembaga di dunia akan turun sampai 2013. Hal ini lantaran kekurangan pasokan
kosentrat. Sehingga, perusahaan yang ingin berinvestasi pada industri kosentrat
tembaga itu melakukan studi lebih mendalam. Pasokan konsentrat akan berkurang,
banyak smelting di dunia ini kekurangan.
Adapun beberapa masalah lain terkait dengan lemahnya industri baja di Indonesia
dapat dijelaskan sebagai berikut:
4.1.1 Bilateral
K
erjasama Indonesia China yang telah disepakati melalui Keppres Nomor 48
tahun 2004 mencakup kerjasama ekonomi menyeluruh. Kerjasama ekonomi
tersebut diantaranya mencakup Trade in Goods (TIG) mengarah pada Free
Trade Area/FTA (perdagangan bebas)
Dalam FTA ini dimaksudkan bahwa terhadap barang/ jenis komoditi tertentu yang
dipertukarkan dan atau diperdagangkan diantara kedua Negara yang bersepakat
tersebut diberikan kebebasan keluar masuk tanpa hambatan /restriksi baik dari sisi
tariff bea masuk melalui program penurunan dan tataniaga secara timbal balik.
PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL | 4-1
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
kesepakatan diimplementasikan dalam arti tahu posisi kekuatan dan kelemahan diri,
posisi lawan dan pandai pula memilih produk dan waktu serta tahu apa yang harus
dilakukan maka FTA merupakan peluang untuk perluasan pasar, peningkatan ekspor
yang akan berdampak pada peningkatan utilitas produksi penyerapan tenaga kerja,
memperluas dan memperpanjang keterkaitan. Sebaliknya dalam hal kita tidak pandai
menyikapi, kurang persiapan maka kesepakatan tersebut akan menjadi ancaman.
Namun demikian akankah selalu setiap ada kerjasama melalui FTA aka ada pula
renegosiasi ? Cara seperti ini tentulah tidak etis dan tidak baik. Adiharapkan upaya re
negosiasi tidak akan terjadi. Untuk itu kita sebagai bangsa yang besar dan
seyogiyanya kepada para stakeholder yang terpaut dengan FTA ini didalam negeri
harus sudah mampu menyikapi kemungkinan yang akan terjadi secara bijaksana,
tentunya dengan tidak mengorbankan kepentingan nasional.
4-2 | PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Dari Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai suatu kemitraan
ekonomi, khususnya mengenai skema tarif preferensi umum, telah disepakati sekitar
35% dari pos tarif sebagaimana tercantum dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia
akan diturunkan menjadi 0% tarif bea masuknya pada saat berlakunya IJEPA
sedangkan Jepang menurunkan sekitar 80% pos tarifnya. Indonesia akan
menurunkan menjadi 0% secara bertahap sekitar 93% dari pos tarifnya selama tiga
sampai lima belas tahun dan untuk Jepang sekitar 90% dari pos tarifnya. Sisanya
sebanyak lebih kurang 7% dari pos tariff Indonesia bisa dipertahankan tarif bea
masuknya sesuai dengan yang berlaku umum (MFN) sedangkan Jepang sekitar 10%
pos tariff tetap MFN.
USDFS merupakan skema pemberian fasilitas (penetapan) tariff bea masuk 0% atas
impor bahan baku dari Jepang yang digunakan dalam kegiatan proses produksi oleh
industri-industri tertentu yang telah disepakati dan industri-industri yang berbasis
baja
yang dikategorikan sebagai driver sectors setelah memenuhi kriteria tertentu yang
bergerak di bidang : (i) Kendaraan angkut bermotor dan komponen-komponennya,
(ii) Kelistrikan, (iii) Mesin konstruksi dan alat berat dan (iv) Energi. Sebagai
kompensasi atas pembukaan akses pasar ini, Jepang memberikan bantuan dalam
kerjasama ekonomi jangka panjang yang terangkum dalam skema MIDEC
(Manufacturing Industry Development Center).
MIDEC merupakan program bantuan teknis dari Jepang untuk capacity building di
bidang industri yang meliputi otomotif, welding, elektronik, tekstil, makanan dan
minuman, baja, export & impor promotion, dan Small & Medium Enterprises. Melalui
program MIDEC ini, industri-industri yang tercakup dalam skema diharapkan akan
dapat memenuhi suatu target tingkat produksi dalam jangka waktu tertentu ke
depan dengan pemasaran lebih ditujukan ke pasar ekspor.
Dengan adanya pembukaan akses pasar, volume dan nilai perdagangan (ekspor dan
impor) kedua negara akan meningkat. Gambaran statistik perdagangan antar dua
PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL | 4-3
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
negara dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 (dalam milyar USD) adalah
sebagai mana terlihat dalamt tabel berikut :
Tabel 4-1
Impor dari Jepang 7,6 6,4 6,2 7,2 8,6 9,2 5,5 6,5
Bagi Indonesia, terbukanya akses pasar ke Jepang atas 90% pos tarif yang bernilai
99% dari nilai ekspor Indonesia ke Jepang, diharapkan dapat meningkatkan volume
dan nilai ekspor lndonesia ke Jepang dan meningkatkan penerimaan devisa negara.
Dalam negosiasi akses pasar ini, Indonesia telah mengajukan permintaan pembukaan
lebih besar pasar Jepang untuk produk-produk unggulan Indonesia, yang terdiri dari
delapan kelompok di luar migas yang berdasarkan statistik perdagangan tahun 2007,
nilai ekspomya adalah sebesar 5,8 milyar USD. Dengan request ini, nilai ekspor
Indonesia atas produk-produk ini diharapkan bisa mencapai dua kali lipat pada tahun
2010 dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Dalam negosiasi akses pasar
ini sekaligus terkandung tujuan untuk melakukan diversikasi ekspor terhadap produk
dengan nilai tambah tinggi dan lebih bervariasi.
4-4 | PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Namun teknologi yang diberi nama Direct Iron Ore Smelting Reduction Process
(DIOS) di negara asalnya Jepang belum teruji termasuk di Indonesia dan belum
dikembangkan secara komersial. Teknologi ini merupakan teknologi proses
pengolahan (peleburan) bijih besi (iron making).
Selama ini Jepang tidak mengembangkan penerapan teknologi DIOS karena Jepang
tidak memiliki sumber daya batubara dan bijih besi (iron ore) yang cukup
dinegaranya namun di teknologi ini bisa diimplementasikan di Indonesia dan akan
dipatenkan.
PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL | 4-5
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
kawasan Kalimantan Selatan yang kaya dengan bijih besih dan batubara.
Pemerintah Indonesia dengan Jepang dalam kerangka IJEPA sepakat melakukan
kerjasama terkait perdagangan bebas antara kedua negara, dimana Indonesia
mendapat imbal balik program bantuan teknis yang biasa disebut MIDEC. Khususnya
mengenai pengembangan teknologi DIOS, masuk dalam proyek nomor 16 bagi
produk baja.
Selain itu pemerintah Indonesia juga terus berupaya memperbaiki aturan standar
produk di dalam negeri. Melalui Badan Standarisasi Nasional (BSN), Indonesia
melakukan penjajakan untuk menyusun standarisasi alat pendigin baja. Dalam
penjajakan tersebut BSN akan menggandeng pusat standarisasi Jepang. Jepang
merencakan mengajak Indonesia untuk menyusun standar internasional bersama
China, Jerman, dan Korea.
Alat yang akan diuji itu adalah pendingin baja yang sudah dalam proses
pembentukan. Cara kerjanya, adalah mendinginkan baja yang baru selesai diolah dan
masih dalam kondisi panas. Dimana semakin cepat baja dingin maka semakin tinggi
tingkat kekuatannya.
Metode pendinginan tersebut memang belum berkembang tetapi suatu saat nanti
akan digunakan oleh industri baja. Keikutsertaan Indonesia hanya akan dilakukan jika
teknologinya itu bisa dibawa ke Indonesia dan digunakan perguruan tinggi di
Indonesia. Perguruan tinggi di Indonesia harus banyak menguasai isu dan keilmuan
tentang standar. Sehingga ilmu soal standar produk diharapkan bisa disosialisasikan
dan berkembang di Universitas. Targetnya adalah lahirnya ahli standarisasi yang
akan menguji produk-produk yang ada di Indonesia terutama baja.
Selain itu dalam industri non ferous, pemerintah Indonesia mengajak Jepang bekerja
sama membangun pabrik aluminium terintegrasi, meliputi peleburan aluminium
(smelter) hingga ke subsektor hilir, dalam jangka panjang guna memenuhi
permintaan aluminium di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengajak Jepang bekerja
sama membangun pabrik aluminium terintegrasi, meliputi peleburan aluminium
(smelter) hingga ke subsektor hilir, dalam jangka panjang guna memenuhi
permintaan aluminium di Indonesia.
4-6 | PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Hanya 40 persen atau setara 96.342 ton untuk dalam negeri. Seperti diberitakan,
pemerintah bersiap mengambil alih kepemilikan saham Jepang di PT Inalum, setelah
kontrak pengelolaan yang dimiliki Jepang berakhir pada 2013.
4.1.2 Regional
Pada KTT IV ASEAN di Singapura tanggal 27-28 Januari 1992 para pemimpin ASEAN
(Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand) telah
sepakat untuk membentuk Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade
Area – AFTA) dalam waktu 15 tahun (2008), terhitung mulai 1 Januari 1993 dengan
menggunakan Skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai
mekanisme utamanya.
AFTA merupakan Wilayah Perdagangan Bebas yang mencakup seluruh batas negara-
negara anggota ASEAN, dimana nantinya pada tahun 2002 arus lalu lintas barang
dagangan dan faktor penunjang lainnya yang berasal dari negara-negara anggota
bebas keluar masuk dalam wilayah ASEAN hanya dengan hambatan tariff 0-5% dan
tidak boleh lagi ada hambatan non-tarif (Non Tariff Barriers - NTB’s).
Untuk komoditi yang Sensitive List (SL) dan General Exception List (GE) dikeluarkan
dari ketentuan di atas, sedangkan untuk barang dagangan yang berasal dari wilayah
non ASEAN berlaku tarif normal (Most Favoured Nations–MFN).
Asean Free Trade Area (AFTA) sendiri merupakan kawasan perdagangan bebas
Asean dimana tidak ada hambatan tarif maupun hambatan non tarif bagi negara-
PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL | 4-7
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
negara anggota Asean, melalui skema CEPT-AFTA. Dibentuknya AFTA dengan tujuan
untuk mengurangi hambatan perdagangan secara efektif di antara anggota negara
Asean dan meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara Asean dengan
menjadikan Asean sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan
meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN.
Struktur yang berbeda telah menimbulkan tarik menarik ketika produk baja dengan
kualitas lokal atau kualitas Asean yang memenuhi syarat dengan dikenakan tarif
maksimum 5% dalam AFTA. Untuk menentukan rules of origin dari produk baja, AFTA
akan membedakan produk baja berdasarkan produk lokal/Asean. Namun ini tidak
mudah mengingat adanya perbedaan struktur yang menyebabkan kriteria yang
berbeda terhadap asal produk baja yang diproduksi. Lain pihak mengatakan bahwa
HRS yang diproduksi dari bahan baku slab impor dari Negara non-Asean akan
digolongkan sebagai produk Asean dan memenuhi syarat CEPT.
Sementara itu, negara lain yang memiliki industri baja terintegrasi akan mengatakan
bahwa bila hanya hot rolling tidak cukup untuk memenuhi syarat. Sehingga masih
dilakukan perundingan antara Negara anggota Asean untuk menetapkan isu rules of
origin dan diharapkan akan diperoleh jalan keluar melalui kompromi.
4-8 | PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Adapun struktur industri baja yang memiliki sedikit banyak mengalami kesamaan
dengan struktur baja di Indonesia, yaitu Negara Malaysia (kapasitas 8,5 juta
ton/tahun), Thailand (kapasitas 7 juta ton/tahun). Namun karena kedua Negara
menerapkan non tariff barrier yang sangat ketat untuk melindungi industri baja di
negaranya, sehingga nilai ekspor impor Indonesia-Malaysia dan Indonesia-Thailand
terjadi trade deficit selama 5 tahun terakhir.
PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL | 4-9
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Manfaat yang diperoleh Indonesia antara lain adalah akses pasar ekspor produk baja
Indonesia ke Korea akan meningkat per implementasi akibat penghapusan tarif 70%
pos tarif Korea dalam Normal Track, akses pasar ekspor produk baja Indonesia ke
Korea pada tahun 2008 akan meningkat akibat ± 95% pos tariff Korea dalam Normal
Track akan dihapus, dan pada Tahun 2010, seluruh pos tariff produk baja Korea
dalam NT akan dihapuskan, serta Sensitive Track AKFTA mencapai beberapa pos
tariff (HS-6 digit) termasuk produk baja. Adapun produk baja yang masuk kedalam
kategori Normal Track adalah produk yang dipercepat penurunan/penghapusan tarif
bea masuknya dengan tujuan untuk meningkatkan volume perdagangan antar
ASEAN-Korea.
ASEAN
a. Akan menurunkan 50% pos tarifnya menjadi 0-5% paling lambat 1 Januari
2007.
4-10 | PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
b. Akan menghapus paling sedikit 90% pos tarifnya menjadi 0% paling lambat 1
Januari 2009.
c. Akan menghapus seluruh pos tarifnya menjadi 0% pailing lambat 1 Januari
2010 dengan fleksibilitas maksimum 5% pos tarif dihapus menjadi 0% paling
lambat 1 Januari 2012.
d. Akan menghapus seluruh pos tarif 0% paling lambat 1 Januari 2012.
KOREA
a. Akan menghapus paling sedikit 70% pos tarifnya menjadi 0% pada saat entry
into force.
b. Akan menghapus paling sedikit 95% pos tarifnya menjadi 0% paling lambat 1
Januari 2008.
c. Akan menghapus seluruh pos tarif menjadi 0% paling lambat 1 Januari 2010.
Peluang yang diperoleh Indonesia dalam kerjasama ini antara lain meningkatnya
akses pasar produk ekspor baja nasional ke Korea Selatan dengan tingkat tarif yang
relatif rendah dan pasar yang luas, meningkatnya kerjasama antara pelaku bisnis di
kedua negara melalui pembentukan “Aliansi Strategis” dan meningkatnya ekspor
produk baja Indonesia dalam menjangkau peluang pasar Korea serta terbukanya
transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara.
Dengan adanya kerjasama ASEAN-Korea Free Trade Area maka ancaman bagi
industri baja nasional adalah produk-produk baja lokal harus bersaing ketat dengan
produk baja Korea yang kulaitasnya sudah diakui di dunia. Karena dengan
diberlakukannya kerjasama ini maka tarif untuk produk baja Korea akan menjadi 0%
sehingga akan memberikan dampak membanjirnya produk baja Korea di Indonesia.
PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL | 4-11
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
sektor, seperti infrastruktur dan energi. Komitmen Korea itu tertuang dalam The 3th
Indonesia-Korea Energy Forum yang digelar di Seoul pada 24-26 Maret 2010.
Saat ini telah disiapkan joint venture antara industri baja asal Korea yaitu Posco
dengan PT Krakatau Steel untuk ditindaklanjuti pada awal April 2010. Rencana
Pohang Iron and Steel Corporation (Posco), perusahaan baja Korea, membenamkan
duitnya di Indonesia sebesar US$ 6 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk
membangun pabrik baja dengan kapasitas 5 juta ton per tahun.
Perusahaan besi baja Korea Selatan, Pohang Iron and Steel Corporation (Posco)
menandatangani perjanjian kerjasama dengan PT Krakatau Steel untuk membangun
pabrik baja patungan dengan kapasitas tahunan 6 juta ton di kota Cilegon Indonesia.
Rencananya pembangunan pabrik baja patungan itu akan dilakukan dalam dua
tahap. Tahap pertama akan dibangun pabrik dengan kapasitas 3 juta ton.
Pembangunannya akan dimulai Agustus 2011 dan direncanakan selesai pada akhir
tahun 2013. Bagi Posco, pembangunan pabrik baja di luar negeri merupakan kali
pertama dilakukan. Selain di Indonesia, Posco juga sedang mendorong rencana
pembangunan pabrik baja di Vietnam dan India.
4-12 | PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
kerja sama ini sehingga industri mobil dan elektronika bisa berkembang cepat bila
didukung industri baja.
Pabrik baja patungan ini bernilai US$ 6 miliar atau setara Rp 5,7 triliun itu dan
nantinya bakal memproduksi slab, hot rolled coil, dan plate untuk memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri. Tahap pertama seluruhnya untuk pasar dalam negeri.
Bagi Indonesia, proyek ini diprediksi bisa menurunkan impor baja sampai 20 persen.
Adapun pada tahap kedua, produksi akan mulai diekspor sebesar 30 persen ke
Vietnam yang mempunyai industri hilir.
PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL | 4-13
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Kerjasama Indonesia China yang telah disepakati melalui Keppres Nomor 48 Tahun
2004 mencakup kerjasama ekonomi menyeluruh. Kerjasama ekonomi tersebut
diantaranya mencakup Trade in Goods (TIG) mengarah pada Free Trade Area/FTA
(perdagangan bebas).
Dalam FTA ini dimaksudkan bahwa terhadap barang/ jenis komoditi tertentu yang
dipertukarkan dan atau diperdagangkan diantara kedua Negara yang bersepakat
tersebut diberikan kebebasan keluar masuk tanpa hambatan /restriksi baik dari sisi
tariff bea masuk melalui program penurunan dan tataniaga secara timbal balik.
4-14 | PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
pertumbuhan industry dari produk barang sejenis yang diperdagangkan dan atau
dipertukarkan, Dalam hal kita pandai dan cermat, mampu mempersiapkan sebelum
kesepakatan diimplementasikan dalam arti tahu posisi kekuatan dan kelemahan diri,
posisi lawan dan pandai pula memilih produk dan waktu serta tahu apa yang harus
dilakukan maka FTA merupakan peluang untuk perluasan pasar, peningkatan ekspor
yang akan berdampak pada peningkatan utilitas produksi penyerapan tenaga kerja,
memperluas dan memperpanjang keterkaitan. Sebaliknya dalam hal kita tidak pandai
menyikapi, kurang persiapan maka kesepakatan tersebut akan menjadi ancaman.
Namun demikian akankah selalu setiap ada kerjasama melalui FTA aka ada pula
renegosiasi ? Cara seperti ini tentulah tidak etis dan tidak baik. Adiharapkan upaya re
negosiasi tidak akan terjadi. Untuk itu kita sebagai bangsa yang besar dan
seyogiyanya kepada para stakeholder yang terpaut dengan FTA ini didalam negeri
harus sudah mampu menyikapi kemungkinan yang akan terjadi secara bijaksana,
tentunya dengan tidak mengorbankan kepentingan nasional.
Industri baja dalam negeri masih dalam tahap pertumbuhan dan pembenahan
kondisi, seperti peningkatan kapasitas produksi, kualitas, efisiensi dan diversifikasi
produknya, guna meningkatkan daya saingnya. Dalam kondisi yang demikian,
sangatlah rentan dalam liberalisasi perdagangan, atau dalam arti rentan terhadap
penurunan tarif.
Jadwal penurunan tarif bea masuk 0% yang semula dimulai tahun 2010 akan diundur
sampai tahun 2018. Industri baja nasional mendesak pemerintah menegosiasikan
kembali 535 pos tarif besi baja dalam HS 72 dan 73 yang awalnya direncanakan mulai
PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL | 4-15
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
2018 pada perjanjian perdagangan bebas ASEAN dan Cina (ACFTA). Indonesia akan
renegosiasi pengunduran jadwal terhadap 535 pos tarif baja, sebagaimana yang
dilakukan Malaysia dan Thailand. Percepatan renegosiasi pos tarif adalah salah satu
upaya eksternal perusahaan baja dalam negeri dalam menghadapi ACFTA. Upaya
lainnya adalah melakukan tindakan perdagangan anti-dumping, safeguard, dan
antisubsidi secara agresif. Selain itu juga harus aktif dalam penyusunan RUU
Perdagangan yang melindungi produksi dalam negeri, dan melakukan aliansi
strategis dengan perusahaan dalam negeri dan luar negeri.
Untuk industri besi baja, kebijakan safeguard, antidumping dan SNI ternyata proses
inisiasi sampai penetapan tariff safeguard dan antidumping bisa mencapai 1 hingga
1,5 tahun. Dalam penerapan SNI terkendala terbatasnya infrastruktur pengujian,
sehingga perlu rasanya dilakukan penyederhanaan.
Terkait dengan implementasi Asean – China Free Trade Egreement BUMN Baja
nasional PT.Krakatau Steel akan melakukan pengurangan produksi (short supply)
terkait dengan peningkatan fasilitas yang akan dilakukan KS, ini diakibatkan adanya
peningkatan fasilitas produksi dengan ini maka perlu meng-upgrade mesin-mesin
yang telah usang.
Empat masalah yang dihadapi Krakatau Steel. Empat masalah itu adalah
ketergantungan pada impor bahan baku yaitu besi bekas (scrap) dan bijih besi,
ketersediaan modal, ketersediaan energi berupa gas alam dan listrik, dan struktur
industri hilir yang belum lengkap.
Peluang yang diperoleh Indonesia dalam kerjasama ini antara lain meningkatnya
akses pasar ekspor produk baja ke China dengan tingkat tarif yang lebih rendah bagi
produk-produk nasional, meningkatnya kerjasama antara pelaku bisnis di kedua
negara melalui pembentukan “Aliansi Strategis” dan meningkatnya arus investasi
industri baja asal China ke Indonesia, serta terbukanya transfer teknologi antara
pelaku bisnis di kedua Negara.
Industri baja adalah salah satu dari 5 sektor yang paling terdampak ACTA (Asean
China Free Trade Agreement), pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas Asean –
China akan berdampak serius pada industri baja, maka perlu diambil langkah –
4-16 | PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Dalam kerangka FTA Asean-China, sebanyak 93% dari 9.000 pos tarif bakal
mengalami penurunan bea masuk (BM). Besaran penurunannya bisa mencapai 0%
pada 2010. Beberapa produk dalam tahap penurunan tarif itu antara lain lembaran
besi baja yang belum diproduksi Indonesia. Meski dalam perjanjian menyebut produk
yang belum diproduksi lokal, namun yang dikhawatirkan adalah produk baja impor
yang sudah dihasilkan produsen nasional pun tetap ikut masuk.
Berdasarkan pada analisa data import dan eksport antara Indonesia dan China,
khususnya untuk produk besi dan baja pada HS Code 72 dan 73 selama kurang lebih
10 tahun terakhir, ternyata menunjukkan kondisi yang sangat tidak berimbang,
dimana nilai impor baja Indonesia mengalami kecenderungan terus meningkat,
sedangkan nilai ekspor baja Indonesia cenderung menurun dan terbatas pada
produk baja yang merupakan produk sisa/scrap/waste yaitu produk yang termasuk
dalam HS Code 7204.
Hampir 100% dari total produksi besi dan baja di dalam negeri sebesar 6 juta ton-dari
total konsumsi 10 juta ton per tahun-diserap pasar lokal dengan nilai US$4,5 miliar-
US$6 miliar.
Namun, sekitar 2 juta ton baja China disinyalir masuk ke pasar domestik, baik secara
legal dan ilegal. Akibatnya, negara dirugikan sedikitnya US$250 juta dari pemasukan
pajak, sementara pangsa pasar industri lokal terkikis secara konsisten.
Indonesia sama sekali tak mencatatkan ekspor produk baja ke China pada 2009. Atas
dasar itu, pelaku industri baja lokal pesimistis Indonesia sanggup menyaingi industri
baja China.
Menurut Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA), negara China sangat
unggul segala-galanya di sektor baja. Produksi mereka mencapai 50% dari total
produksi dunia sekitar 1,2 miliar ton per tahun.
PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL | 4-17
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Untuk investasi di bidang kelistrikan, ada beberapa alternatif investasi yang bisa
dipilih oleh China. Indonesia akan mengajak China untuk mendukung megaproyek
pembangkit listrik 10.000 Megawatt (MW) tahap kedua yang rencananya, terdapat
sekitar 4.000 MW pembangkit yang berasal dari sumber panas bumi.
PT. Aneka Tambang Tbk (Antam) berencana untuk berinvestasi dalam industri
tembaga dan sejumlah lokasi sudah diincar. Antam berencana membangun pabrik
pengolahan (smelter) tembaga yang terletak di Halmahera, Maluku Utara dengan
nilai investasi US$ 1,2 miliar.
4-18 | PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Tahun 2010, PT. Antam mengalokasikan US$ 180 juta dari total kas US$ 300 juta
untuk mendanai ekspansi. Salah satu pos yang akan dibiayai adalah akuisisi tambang
batu bara dan emas senilai US$ 30 juta.
Proyek lain yang akan digarap adalah pengembangan lahan tambang Cibaliung yang
sudah diakuisisi sebelumnya senilai US$ 40 juta. Perseroan juga mengalokasikan
dana cadangan US$ 40 juta, serta belanja rutin US$ 70 juta.
Proyek smelter tembaga di Halmahera adalah proyek yang sudah dimulai sejak tahun
lalu selain proyek Chemical Grade Alumina di Tayan, dan pembangunan PLTU
Pomalaa. Tahun ini, perseroan sudah memastikan ketiga proyek itu akan dilanjutkan.
Antam terusa melakukan ekspansi di sejumlah komoditi tembaga sejak tahun lalu.
Proyek pembangunan pabrik aluminium di Tayan, Kalimantan Barat sempat
tersendat karena kekurangan dana. Menurut Alwinsyah, untuk anggaran proyek CGA
di Tayan, Kalimantan Barat, yang bertujuan mengembangkan produksi alumina dan
emas. Antam butuh US$ 300-400 juta dolar AS.
Sekitar 35 persen berasal dari dana internal perseroan dan 65 persennya atau 250
juta dolar AS menggunakan dana pinjaman.
4.1.3 Multilateral
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dibentuk pada tahun 1994 dan merupakan
satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur perdagangan antar
negara-negara di dunia dan mempromosikan liberalisasi perdagangan. Sistem
perdagangan multilateral dalam WTO memiliki implikasi langsung terhadap kebijakan
perdagangan negara anggotanya.
PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL | 4-19
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Produksi baja nasional saat ini tidak berkembang bahkan cenderung kalah
dibandingkan negara ASEAN lainnya, karena Indonesia masih belum menggunakan
mekanisme hambatan non tarif yang ada di WTO untuk melindungi pasar dalam
negerinya.
Saat ini produk baja Indonesia sedang ikut notifikasi WTO. Dan baja adalah satu dari
9 item SNI untuk dijadikan SNI wajib di WTO dari lima 5 sektor industri. Kelima sektor
itu adalah sektor elektronik sebanyak 3 produk, sektor tangki air, sepeda, keramik
sebanyak 3 produk dan baja sebanyak satu produk.
Hal tersebut merupakan prosedur yang biasa dalam proses notifikasi di WTO. Selain
itu SNI wajib baja canai dingin juga ada di negara lain dan Indonesia mengadopsi dari
banyak negara. Berdasarkan peraturan WTO, dalam proses notifikasi WTO
dibutuhkan waktu paling sedikit 3 bulan. Karena setelah rencana SNI itu diserahkan
ke WTO, WTO akan memberikan waktu 2 bulan kepada negara lainnya untuk
mempelajari mengenai permohonan SNI sebuah negara.
Jika dalam waktu dua bulan tidak ada pertanyaan dari negara lain maka, WTO dapat
dengan segera menerbitkan SNI wajib. Kemudian Indonesia sudah dapat
mengeluarkan peraturan tersebut. Sedangkan untuk empat sektor lainnya, hingga
kini belum ada pertanyaan. Waktu yang diberikan selama 2 bulan. SNInya baru
diberikan 1 bulan lalu, jadi masih ada waktu 2 bulan lagi. Sedangkan untuk SNI yang
masih proses di Badan Standarisasi Nasional (BSN) ada sekitar 3 SNI. Dan semuanya
berasal dari sektor baja. Ketiga sektor tersebut masih menunggu jajak pendapat dari
sektor terkait di BSN.
Hal yang sama juga terjadi di sektor sepeda yang sejak lama sudah akan dibuat SNI.
SNI sepeda belum dapat diserahkan ke WTO. Pasalnya saat ini akan sedang dalam
proses BSN. Hal ini masih menunggu jajak pendapat. Nanti Indonesia akan wajibkan.
Tapi butuh kajian mengenai kesiapan sarana terutama kendala alat uji.
Selain menyelesaikan SNI wajib baja, Kemenperin sedang menyiapkan hambatan non
tarif untuk industri baja agar menghindari baja serbuan baja terutama dari serbuan
baja China yang dibawah standar. Saal ini Kemenperin sedang mengkaji untuk
menerapkan regulasi teknis non tariff barrier. Dan industri yang paling perlu untuk
4-20 | PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
mendapatkan ini adalah industri baja. Untuk menerapkan standar ini, kami
melakukan dua buah pendekatan yaitu pendekatan dengan membuat standar
regulasi dari bawah, dan membuat standar dengan regulasiteknis. Regulasi teknis itu
bisa sebagian berupa SNI dan tidak SNI.
Dengan adanya standar teknis ini yang akan dinilai mesin pembuat pabriknya, bukan
produk hasil jadinya.Hal ini cukup efektif untuk menghambat barang dari luar masuk
ke Indonesia, terutama produk baja.
Negara-negara Eropa sudah menerapkan hal ini, seperti Reach untuk standarisasi
teknis, atau ISO 28.000 mengenai suplai change komoditi, itu bukan regulasi teknis
tapi produknya, kebijakan di Indonesia belum menyentuh ini.
BSN sudah dapat menyerahkan hal ini paling lambat akhir tahun 2010, agar
penerapan ini dapat terjadi lebih awal. BSN sendiri sudah memberi sinyal
positif untuk membantu dan mendukung tentang kajian dari Kemeterian
Perindustrian mengenai penerapan standarisasi tersebut.
Selain SNI dan standar teknis yang dibuat, baja sudah memiliki instrumen lain yang
menjaga peredaran dan distribusi baja yaitu tata niaga baja yang mengatur mengenai
fisik seperti pasar, gudang, dan transportasinya.
4.2.1 Bilateral
Defisit produk hilir aluminium di Indonesia makin mencemaskan. Dari total produksi
produk hilir aluminium yang meliputi aluminium ingot alloy, aluminium ek-strusi,
aluminium sheet, dan aluminium foil hanya 375.001 ton pada tahun 2009. Padahal,
total kebutuhan produk hilir aluminium di dalam negeri pada saat itu mencapai
535.093 ton sehingga terjadi defisit 160.092 ton. Setiap tahun, optimalisasi industri
hilir aluminium hanya terbatas pada aluminium alloy ingot yang digunakan untuk
bahan baku komponen kendaraan bermotor, mesin, dan ekstrusi yang sebagian
besar untuk menopang investasi Jepang di Indonesia. Adapun pengembangan
industri yang lebih hilir seperti aluminium foil bagi industri kemasan dan makanan
justru mengalami defisit.
PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL | 4-21
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
4.2.2 Regional
Berdasar pada data Kementerian Perindustrian dimana industri logam dasar besi
dan baja merupakan industri yang pertumbuhannya paling sedikit setelah industri
lain yang berkaitan dengan barang kayu dan hasil hutan serta tekstil barang kulit dan
alas kaki. Namun demikian industri baja sempat mengalami masa gemilang di tahun
2008 dengan pertumbuhan mencapai 3,1% dengan jumlah unit perusahaan mencapai
302 unit pada tahun 2008 dari sebelumnya 287 unit di tahun 2007.
Proyeksi akan terjadinya minus pertumbuhan di sektor industri baja pada tahun 2010
terlihat dari dihilangkannya bea masuk menyebabkan produk impor dengan harga
semakin murah akan membanjiri pasar, dampak paling buruk dari kejadian itu adalah
perusahaan baja dalam negeri banyak yang tidak mampu bertahan yang pada
akhirnya gulung tikar dari persaingan.
Seperti yang banyak diberitakan sebelum ACFTA ini diberlakukan, impor baja asal
China ditahun 2010 diprediksikan dapat mencapai 1,5 juta ton dengan nilai impor
mencapai US$ 19,25 miliar. Jumlah sebesar itu sudah dipastikan dikarenakan
meningkatnya permintaan produk baja impor dibandingkan produk baja lokal,
karena dari segi harga baja impor mampu bersaing dengan produk lokal begitu pula
dari segi kualitas, ditambah lagi permasalahan yang muncul dari segi ketersedian
sumber energi baik gas alam dan listrik yang belum memadai, semua kendala
tersebut menyebabkan industri baja mulai dari produksi sampai pada tahap
penjualan mengalami kontraproduktif.
4-22 | PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
Pada awalnya bergulirnya wacana penundaan ACFTA untuk sektor industri baja
memang masih belum jelas, hal ini dikarenakan pemerintah sendiri menyadari bahwa
implementasi ACFTA ini sudah menjadi keputusan bersama para kepala negara di
regional Asean. Bila melihat kemungkinan besarnya impor baja dari China hingga
mencapai 1,5 juta ton di tahun 2010 pada akhirnya rencana untuk melakukan
penundaan sepertinya memang akan terealisasi, ditambah lagi bila melihat
penurunan penjualan baja akibat krisis keuangan global yang belum sepenuhnya
pulih serta penurunan neraca perdagangan antara Indonesia dan China.
Kerjasama yang baik antara pemerintah dan pelaku industri baja nasional memang
sangat diharapkan dapat membantu mengatasi kecemasan anjloknya industri baja
ditengah-tengah perdagangan bebas yang sedang berlangsung, bila memang
kebijakan penundaan itu dirasa tepat maka pemerintah juga tentunya berharap
dengan sisa waktu yang ada para pelaku industri baja nasional dapat sepenuhnya
menerapkan SNI pada produk buatannya.
4.2.3 Multilateral
Manfaat FTA/EPA sendiri terutama dalam kerjasama antara beberapa negara tidak
akan berguna, apabila pemerintah belum membenahi persoalan dalam negeri,
seperti hambatan iklim usaha, reformasi perpajakan, penyediaan energi yang tidak
mencukupi, infrastruktur yang tidak memadai, otonomi daerah.
Dengan turunnya bea masuk tariff impor (MFN) menjadi 0%, industri dalam negeri
memerlukan insentif seperti kebijakan tata niaga, safeguard, dan stimulus fiskal, tax
holiday/allowance dan lain-lain agar investasi dan pengembangan industri dalam
negeri dapat berjalan. Apabila hal ini diabaikan maka Indonesia akan kebanjiran
produk dari luar yang lebih murah.
PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL | 4-23
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
4-24 | PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
5.1 Analisis
A
da beberapa hal yang dimaksud dalam daya saing, antara lain dapat dilihat
dari:1) keunggulan kompetitif secara umum; 2) perubahan dinamis dari
status ekonomi suatu Negara berdasarkan factor fisik dan factor SDM;
3)besarnya nilai tambah (Value Added); 4) diukur dari berbagai alat analisa daya
saing secara internasional (Indeks Spesialisasi Perdagangan/ISP, Revealed
Competitive Advantage/RCA, Accelerated Ratio/AR)
Berdasarkan status ekonomi suatu Negara menurut Model 9 Faktor (Dong Sung
Cho), misalnya bagi negara berkembang seperti Indonesia, daya saing digambarkan
dari fisik mencakup lingkungan bisnis dan politisi & birokrasi (pemerintahan,
Dilihat dari Nilai Tambah/Value Added (NT/VA) adalah daya saing diukur atas dasar
jumlah balas jasa terhadap faktor produksi yaitu seperti sewa tanah, upah, bunga,
keuntungan. NT suatu negara akan besar bila balas jasa faktor produksi tersebut
semuanya diterima oleh warga negara yang bersangkutan. Secara nasional NT dari
suatu produk akhir harus dilihat NT yang dihasilkan oleh industri hulu dan
keterkaitan.
Dari beberapa alternative pengukuran daya saing tersebut diatas, pada kajian ini
dicoba dengan alternative diukur berdasarkan ISP.
Untuk memudahkan kajian, dalam hal ini analisa daya saing berdasarkan ISP atau
RCA. Karena berbasis pada data ekspor dan impor maka dalam analisa ini
menggunakan acuan klasifikasi barang menurut harmonisasi tariff (Pos Tarif Bea
Masuk/Buku Tariff Bea Masuk Indonesia, BTBMI). Mengacu pada pengelompokan
produk besi-baja utama dari Direktorat Industri Logam Kementrian Perindustrian,
dan diidentifikasi Pos Tarifnya maka dapat dihitung ISPnya sebagaimana ditunjukkan
Tabel dibawah ini :
Tabel 5-1 Ekspor, Impor dan ISP Produk Besi Baja Berdasarkan Kelompok Tahun 2004-2008
Keterangan :
1. Nilai Ekspor dan Impor dalam Juta USD , Indonesia, sumber Dit IL
Ekspor - Impor
2. ISP = --------------------
Ekspor + Impor
3. HS *= perkiraan cakupan sebagai referensi awal dalam bahasan.
Dari angka – angka pada tabel diatas dengan memperhatikan dasar-dasar pengertian:
ISP > 0 , trend ekspor > 0 ---------> Winner, telah memiliki daya saing
ISP > 0 , trend ekspor < 0 ---------> Potensial Loosser, industry dalam kondisi mengalami penurunan
ISP < 0 , trend ekspor > 0 ---------> Potensial Winner, industry memikili potensi berdaya saing
ISP < 0 , trend ekspor < 0 ---------> Foreever Loosser, industry sangat-sulit untuk bersaing,
ISP > 0.50 mendekati 1 , ekspor kuat
ISP > - 0,50 mendekati -1 , ekspor lemah,
maka secara umum produk logam baja jenis HRC/P, Pipa Las, Pipa tanpa Kampuh,
memiliki potensi dalam berdaya saing.
Hal ini diakui belum menunjukan bahwa seluruh produk baja tersebut mampu
berdaya saing. karena masih dalam 2 digit HS. Secara perdagangan harus ditelaah
lebih lanjut spesifikasi dan jenis yang nyata-nyata telah dibuat di dalam negeri dalam
HS 10 digit apakah benar memiliki daya saing.
Untuk melihat lebih rinci berdasar HS -10 digit, data ekpor dan ISP untuk HRC/P dapat
dilihat pada 14 Pos tariff dari 15 Pos Tarif HRC/P (7208) yang ada, seperti tabel
dibawah:
Tabel 5-2 Ekspor dan ISP HRC/P Pada HS 10 Digit Tahun 2005-2008
ckled,width> 0 4 4 1
600 mm, thick
>= 4.75 mm for
re-rolling
Flat-rolled
iron/nas,HRC,pi
3.62 3.05 - -
ckled,width> 1.608.2
7208260000 4.01 3.07 0,86 -0,787 0,93 -1
600,thick > 3 60
8 0 1 8
mm or but
thick< 4,75 mm
Flat-rolled
iron/nas,HRC,pi
7.78 4.56 - - -
ckled,width> 3.221.6 158.93
7208270000 4.60 4.61 0,86 -0,855 0,92 0,99
600mm, of a 07 4
4 8 9 9 8
thickness of less
than 3 mm
Flat-rolled
iron/nas, HRC, 20.0 12.5 - -
13.735. 28.223. 0,21
7208360000 width >600 91.1 05.9 -0,011 0,43 0,37
933 363 2
mm, thick >10 66 22 9 1
mm
flat-rolled
iron/nas, HRC, 3.36 21.7 - - -
1.333.0 7.080.1
7208370000 width >600 1.45 00.4 0,83 0,156 0,93 0,81
72 68
mm, of a 4,75< 3 59 1 4 4
thick< 10mm
flat-rolled
iron/nas, HRC, 10.9 20.6 - - -
31.462. 1.589.2
7208380000 width >600 17.4 16.9 0,51 0,078 0,72 0,99
373 87
mm, of a 3< 90 52 5 6 2
thick< 4,75 mm
Flat-rolled
iron/nas, HRC, 36.0 61.3 -
#DIV #DIV
7208390000 width >600 66.3 18.4 0,67 -0,242
/0! /0!
mm, thick< 3 43 83 2
mm
Flat-rolled 9.55 - -
7208400000 iron/nas, HRnC 0.09 728 47.403 -1 -0,719 0,99 0,99
relief 1 7 0
Flat-rolled
iron/nas,
126. 191.
HRnC,width 280.53 456.89 0,22 0,68 0,32
7208510000 364. 815. 0,442
>600 mm, of a 7.029 9.080 1 8 2
377 785
thickness > 10
mm
Flat-rolled
iron/nas,
29.6 67.8 -
HRnC,width 42.976. 43.512. 0,21 0,25
7208520000 79.4 48.3 0,784 0,47
>600 mm, 4,75 123 130 7 5
46 84 9
< thickness < 10
mm
Flat-rolled
iron/nas,
2.17 - -
HRnC,width 732. 3.080.6 1.280.6 0,19
7208530000 3.66 0,54 0,694 0,69
>600 mm, 3 < 875 47 61 8
4 0 1
thickness < 4,75
mm
7208540000 Flat-rolled 1.08 708. 498.80 740.98 - -0,671 - -
HRC/P yang menunjukan trend ekspornya positip (>0) dengan ISP positip (>0) hanya
dimiliki oleh Pos Tarif 7208.51.10.00 dan 7208.90.00.00. Untuk Pos Tarif
7208.90.00.00 ini mengandung macam – macam spesifikasi yang diperkirakan
masing-masing spesifikasi tersebut tidak banyak diperdagangkan. Jika disandingkan
dengan data sebagaimana disajikan pada tabel 5.2 diatas pada Pos Tarif 7208
sangatlah berbeda. Perbedaan tersebut dapat terjadi akibat pengelompokan dalam
Pos Tarif yang tidak sama.
Pos Tarif lainnya dari produk HRC/P ini disamping ekspornya tidak konsisten atau
fluktuasi terkadang cenderung nenurun, sementara ISP-nya negative (<0)
menunjukan ekspornya dan daya saing masih lemah.
Hasil perhitungan ISP masing-masing jenis produk menurut Pos Tarif HS masing-
masing, lihat lampiran X untuk Bab 72 dan Bab 73.
Bagaimana jika daya saing diukur selain berdasarkan ISP. Daya saing berdasarkan ISP
pada dasarnya alat ukur daya saing sederhana, sedangkan alat ukur daya saing
lainnya RCA atau AR yang menggunakan unsur/variabel lebih peka atau sensitive
dapat diperkirakan hasil analisanya akan menunjukan tidak lebih baik atau positip
dari cara ISP.
Analisa berdasarkan nilai tambah, dengan asumsi nilai dan volume impor atau ekspor
dapat ditunjukan sebagai berikut, contoh yang diambil tahun 2006 (PT.Media Data
Riset, 2008).
Tabel 5-3 Volume, Nilai Ekspor ,Impor dan Harga Satuan Produk Baja Tahun 2006
Jenis Produk Volume Impor (Ton) Nilai Impor (USD) Harga per Satuan
(USD)
Slab 1.911.199 794,308,000 415.60
Billet dan Ingot 1.441.683 596,210,000 413.55
HRC/P 565.914/118.486 297,604,000/87,818,000 525.88/741.16
CRC/S 447.046/ 15.788 306,539,000/ 9,637,000 685.70/610.40
Welded Pipe 165.428 274,756,000 1,660.88
GI Sheet 173.369 138,540,000 799.10
Wire Rod 328.115 224,457,000 684.08
Jenis Produk Volume Ekspor (Ton) Nilai Ekspor (USD) Harga per Satuan
(USD)
Slab 26.097 9,753,000 373.72
Billet dan Ingot 99.831 9,373,000 93.88
HRC/P 558.652/398.275 291,733,000/228,240,000 522.20/573.07
CRC/S 162.386/3.768 89,660,000/5,934,000 552.14/1,574.84
Welded Pipe 129.518 78,022,000 602.40
GI Sheet 73.085 60,419,000 826.70
Wire Rod 196.928 90,184,000 457.95
Nilai/harga ekspor adalah setara dengan harga FOB (pelabuhan muat), sedangkan
harga impor setara dengan harga C&F (pelabuhan bongkar), maka harga tersebut
sama-sama saat di pelabuhan (misal di Tanjung Priok). Dari tabel ekspor impor tahun
2006 diatas, produk baja sejenis buatan dalam negeri saat itu yang memiliki harga
bersaing dengan produk impor adalah billet, CRC, welded pipe, dan wire rod.
Sedangkan yang memiliki NT tinggi adalah dari Slab ke HRC; dari CRC ke GI Sheet;
dari Billet ke Wire Rod.
Tabel 5-4 Ekspor, Impor dan ISP Produk Alumunium Berdasarkan Kelompok
Ekspor + Impor
3) HS *= perkiraan cakupan sebagai referensi awal dalam bahasan.
Analog dengan dasar perhitungan ISP seperti pada baja, maka untuk produk
alumunium ini dapat dikatakan yang memiliki ISP < 0 , trend ekspor > 0 --------->
Potensial Winner, industry memikili potensi berdaya saing adalah alumunium
sheet/foil dan produk alumunium lain. Sedangkan yang dianggap sudah kuat atau
winner atau memilki daya saing adalah kelompok produk batangan dengan ISP > 0 ,
trend ekspor > 0 .
Berdasarkan HS -10 digit, data ekpor dan ISP untuk beberapa produk Alumunium
plate/sheet/foil dapat dilihat , seperti tabel dibawah.
Tabel 5-5 Ekspor, ISP Produk Alumunium Sheet Pada HS 10 Digit Tahun 2005-2008
760611001 Aluminium 69.625.8 121.87 158.96 135.24 0,96 0,97 0,98 0,96
0 plates,sheets&s 91 8.270 5.523 7.462 05 51 2 1
trip of plain or
figured by
rolling of
thick.>0.2mm
760611009 Oth aluminium 722.926 1.039.6 298.42 219.93 - - - -
0 plates,sheets&s 92 4 7 0,93 0,96 0,99 0,99
trip of 5 0 3 7
plain/figured by
rolling of
thick.>0.2mm
760612101 Can stock (alloy 15.818.2 21.087. 6 2.893 0,23 0,32 - -
0 3004,3104 or 27 701 5 8 0,99 0,99
5182, of 9 9
thickness > 0,25
mm, in coil
760612310 Sheets o alum. 51.027 31.033 224.98 363.92 - - - -
0 rigid 3 9 0,99 0,99 0,98 0,98
cont.sheets 7 8 3 3
alloy
5182,5082,hard
nessh19<1,000
mm in width
760612392 Other 287.901 382.73 575.77 3.108.9 - - - -
0 aluminium 9 1 24 0,97 0,98 0,97 0,93
sheet / coil 4 2 9 6
exceeding 1,000
mm in width
760612399 Other 18.162 449.60 5 400.58 - - - -
0 aluminum sheet 0 6 0,79 0,70 0,99 0,96
5 0 9 2
760612400 Oth, 630 94 33.787 - -1 - -
0 plain/figured by 0,99 0,99 0,98
roll./press. but 8 9 7
not surface
treatedof non
alum. alloys
760612900 Other 636.925 1.100.6 8.095.0 10.624. 0,85 0,94 0,23 -
0 aluminium 27 69 765 4 9 6 0,24
plate 3
rectanguler of
aluminium
alloys
760691200 Oth alum. not 648 -1 - -1 -1
0 alloyed,plain/fig 0,98
ured by 7
rolling/pressing
b not surface
treated
760691900 Oth aluminium 406.808 97.672 135.51 127 0,20 - - -
0 plate, not 3 4 0,70 0,21 0,99
rectanguler of 8 5 9
aluminium, not
alloyed
760692301 Venetian blind 181.899 193.53 377.90 680.03 - - - -
0 slat,whether or 7 6 8 0,69 0,79 0,81 0,84
not rolled or 9 4 2 9
cut, in width
=1,000 mm
760692302 Sheet or coil of 57.405 2.476 5.352 498 - - - -
0 alum. rigid 0,60 0,99 0,98 0,99
container sheet 6 0 4 9
alloy
5182,5082,hard
ness h19
760711000 Aluminium foil 8.384.81 6.602.2 13.560. 14.199. - - - -
0 not backed, 0 49 470 263 0,26 0,31 0,08 0,04
rolled but not 9 7 0 5
further worked
760719900 Oth than foil 8.272.85 11.462. 4.278.4 1.578.5 0,01 0,23 - -
0 aluminium alloy 3 589 55 22 2 8 0,30 0,87
A1075/ a3903 7 8
not back,oth
than roll but
notwork
760720400 Aluminium foil 57.119 1 - -1 -1 -
0 backed for 0,94 0,99
imitation gold 6 9
or silver
760720901 Aluminium foil 12.952.0 15.476. 14.827. 17.865. 0,91 0,84 0,63 0,53
0 laquer coated 83 677 029 540 6 9 7 5
(white or of
thickness >0,05
mm or < 0,15
mm
760720909 Oth.aluminium 2.691.67 605.61 2.755.0 2.521.0 - - - -
0 foil, backed, 9 3 02 42 0,32 0,68 0,39 0,58
thickness <=0.2 3 1 4 3
mm
Dari tabel ekspor dan ISP per HS, ternyata dalam kelompok alumunium lembaran/foil
terdapat jenis barang yang menurut hemat kami memilki kekuatan daya saing,
winner yaitu bagi HS.7606.12.90.00 dan 7607.20.90.10 yang menunjukan trend
ekspornya naik dan ISP >0.
Untuk kelompok batangan alumunium kekuatan daya saing per HSnya dapat dilihat
tabel dibawah ini.
7604101000 Bars and rods 1.926.559 2.251.71 1.705.8 1.527.182 0,428 0,380 -0,260 -0,778
of aluminium 3 73
not alloyed
7604109010 Profiles 41.096 13.246 23.444 16.073 0,575 0,985 0,573 -0,954
suitable for
use as heat
sink with
cross-
sect.dimentio
n < 17,5x17,5
cm
7604211000 Perforated 3.648.188 3.263.60 2.675.3 7.175.975 0,569 0,174 -0,086 -0,189
tube profile 5 38
for
evaporator
coils of mtr
veh. ac
mach.of
alum.ally
7604291010 Extruded bars 21.702.819 28.110.4 27.072. 33.599.69 0,880 0,876 0,882 0,623
and rods not 94 459 1
surface
treated
7604291020 Extruded bars 2.279.882 4.552.69 3.090.3 1.511.000 0,980 0,992 0,994 0,992
and rods 6 55
surface
treated
7604293000 Y-shaped 17.065 -1 1 #
profiles for
zip fasteners,
in coils of non
aluminium
alloys
7604299000 Other bars, # #
rods and
profiles of
non
aluminium
alloys
7605110000 Alum. wire of 5.108.280 4.553.75 9.814.0 13.926.18 0,953 0,916 0,922 0,902
aluminium 1 41 9
not alloyed
which the
max.cross-
sect'l
dim.exceeds
7605191000 Aluminium 6.788.442 7.632.20 6.566.7 4.706.012 0,746 0,785 0,810 0,502
wire of non 6 48
aluminium
not alloyed
with a
diameter <
0.0508 mm
7605210000 Alum. wire of 639.489 893.354 1.306.6 636.864 0,426 0,680 0,861 0,108
aluminium 01
alloys which
the
max.cross-
sect'l
dimension > 7
mm
7605291000 Aluminium 1.637.769 2.867.28 5.670.8 2.650.376 0,302 0,546 0,507 -0,049
wire of non 9 36
aluminium
alloys with a
diameter not
exceeding
0.254mm
Apabila diperhatikan data pada tabel diatas, untuk kelompok alumunium batangan,
produk kawat memilki daya saing kuat (winner) yaitu kelompok alumunium wire
yang menunjukan ISP >0 dan trend ekspornya naik (>0) serta terdapat kelompok
produk batangan yang mengarah ke Potensial Looser yaitu yang memiliki ISP>0
tetapi ekspornya relative turun naik.
Untuk melihat daya saing dari sisi NT, dapat dilihat dari data pada tabel dibawah ini,
berdasarkan harga satuan ekspor atau impor, misal untuk tahun 2006 adalah :
Tabel 5-7 Volume, Nilai Ekspor ,Impor dan Harga Satuan Produk Alumunium Tahun 2006
Jenis Produk HS Volume Impor Nilai Impor (USD) Harga per Satuan
(Ton) (USD)
Slab,ingot,blok not alloy 7601.10.00.00 76.625.203 196,645,980 2.566
Slab,ingot,blok alloy 7601.20.00.00 79.458.987 200.209.599 2.519
Bar&Rod not alloy 7604.10.10.00 583.710 1,011,0 96 1.732
Kawat 7605.1100.00 - 198,187
Foil 7607.11.00.00 4.013.974 12,750,701 12.574
Plate not alloy 760611.00.10 1.417.914 1,535,372 1.082
Dari tabel ekspor impor tahun 2006 diatas, produk alumunium sejenis buatan dalam
negeri saat itu yang memiliki harga bersaing dengan produk impor adalah
alumunium foil.
Sedangkan yang memiliki NT tinggi adalah dari plate/sheet ke foil; dari slab ke
plate/sheet.
Tabel 5-8 Ekspor, Impor dan ISP Produk Tembaga Berdasarkan Kelompok Tahun 2004-2008
Analog dengan dasar perhitungan ISP seperti pada baja, maka untuk produk
tembaga ini berdasarkan tabel diatas dapat dikatakan yang memiliki ISP < 0 , trend
ekspor > 0 ------- Potensial Winner, industry memikili potensi berdaya saing adalah
tembaga lembaran/ sheet/strip dan produk lain. Sedangkan yang dianggap sudah
kuat atau winner atau memilki daya saing adalah kelompok produk katoda, profile
dan kawat serta produk tembaga lainnya dengan ISP > 0 , trend ekspor > 0 .
Berdasarkan HS -10 digit, data ekpor dan ISP untuk produk tembaga dapat dilihat
dari 29 Pos tariff, ternyata tidak semua kelompok sheet memilki potensiaL winner
seperti tabel dibawah :
Tabel 5-9 Ekspor dan ISP Tembaga Lembaran Pada HS 10 Digit Tahun 2005-2008
non- 1
lamellar
structure
Powders of
lamellar
structure; 2.252.9 1.090.7
7406200000 flakes 77 18 229.146 1.392.400 -0,319 -0,715 -0,939 -0,708
Profiles of
refined 772.51 1.197.8
7407103000 copper 9 47 142.627 464.265 0,899 0,942 0,703 -0,190
Other
Profiles of
refined 83.407. 131.496 36.424.1
7407109000 copper 879 .140 52 36.819.465 0,884 0,860 0,131 0,296
Profiles of
refined
copper Of
copper-zinc
base alloys 12.416. 7.360.7 1.657.37
7407210000 (brass) 539 56 7 2.259.854 0,519 -0,099 -0,679 -0,752
Other of
copper 278.75
7407290000 alloys 8 979.337 262.524 224.128 -0,755 -0,385 -0,781 -0,925
Copper
wire. Of
which the
maximum
cross- 288.79 433.412 480.763. 431.951.54
7408110000 sectional 5.773 .825 534 8 0,907 0,937 0,853 0,737
Other wire
of refined 97.904. 177.785 161.738. 200.144.90
7408190000 5-13opper 121 .647 662 9 0,955 0,950 0,924 0,678
Copper
wire of
copper
alloys with
copper zinc
base alloys 164.88
7408210000 (brass) 3 300.711 732.237 50.626 -0,958 -0,943 -0,906 -0,994
Copper
wire of
copper
alloys w
copper-
nick bs
alloys/c-
nickel-zinc 103.49
7408220000 bs alloys 1 167.338 64.325 24.657 -0,771 -0,646 -0,887 -0,967
Other
copper
alloys for
copper 10.229. 22.776. 35.745.5
7408290000 wire 176 448 98 31.964.086 0,795 0,935 0,955 0,488
Copper
plates,
sheets and
strips, of 218.48
7409110000 refined 7 193.771 19.719 128.183 -0,905 -0,951 -0,997 -0,985
copper in
coils
Copper
plates,
sheets and
strips, of
refined
copper, not 2.033.1
7409190000 in coils 86.971 29 919.732 545.862 -0,809 0,485 -0,500 -0,906
Copper
plates,
sheets,strip
s, of copper
zinc base
alloys
(brass), in
7409210000 coils 56.011 67.705 75.783 1.100.496 -0,989 -0,990 -0,987 -0,947
Copper
plates,
sheets,strip
s, of copper
zinc base
alloys
(brass), not 384.39
7409290000 in coils 1 115.308 237.485 298.763 -0,829 -0,939 -0,860 -0,930
Copper
plates,
sheets,strip
s, of copper
tin base
alloys
(brass), in 1.879.9 4.913.1
7409310000 coils 38 94 934.350 722.939 0,871 0,951 0,709 -0,885
Copper
plates,
sheets,strip
s, of copper
tin base
alloys
(brass), not 284.23 1.085.8
7409390000 in coils 8 05 44.753 91.956 -0,283 0,527 -0,700 -0,957
Copper-
nickel base
alloy
(cupro-
nickel),
copper-
nickel-zinc
base alloys
7409400000 unrefined 31.897 58 -0,972 -1 -1 -0,999
Other
copper
alloys, 440.940
7409900000 unrefined 4.453 ? 16.528 39.827 -0,987 -0,484 -0,969 -0,950
Stranded
wire,cable,
plaited 423.07
7413000000 bands, of 6 656.066 464.828 1.175.384 -0,575 -0,469 -0,513 -0,630
copper, not
electrically
insulated.
Untuk melihat daya saing dari sisi NT, dapat dilihat dari data pada tabel dibawah ini,
berdasarkan harga satuan ekspor atau impor, missal tahun 2006.
Tabel 5-10 Volume, Nilai Ekspor ,Impor dan Harga Satuan Produk Tembaga Tahun 2006
Dari data diatas produk –produk tembaga dalam negeri harganya menunjukan lebih
tinggi dibandingkan produk sejenis asal impor. Keadaan tersebut dapat diartikan
produk dalam negeri cukup berat untuk meningkatkan pangsa pasarnya di luar
negeri.
Dilihat dari NT-nya untuk didalam negeri bahan dari rifine copper akan memilki nilai
tambah lebih apabila diproses menjadi copper plate, sheet, strip.
Secara keseluruhan industry analisa daya saing berdasarkan status ekonomi, dengan
memposisikan Indonesia termasuk negara berkembang, apabila dilihat dari faktor
Berdasarkan survey yang atas eksekutif bisnis ekspatriat yang dilakukan Political
and Economic Risk Consultancy (PERC), Pusat finansial Regional Singapura dan
Hong Kong memiliki birokrasi paling efisien.
"Terlepas dari kuatnya mandat yang dimiliki Presiden Susilo dari rakyat, ia kurang
memiliki kekuatan untuk benar-benar mengubah sistem birokrasi Indonesia," ujar
biro konsultan tersebut.
Survey tersebut meranking 12 negara kunci dan kawasan dalam skala satu sampai
sepuluh, dimana sepuluh merupakan nilai terburuk, para eksekutif bisnis dalam
survey tersebut menilai India sebagai negara dengan birokrasi paling tidak efisien
di kawasan tersebut.
India memiliki nilai 9,41 diikuti Indonesia dengan 8,59 , kemudian Filipina
dengan 8,37, Vietnam (8,13), dan China (7,93). Malaysia menempati peringkat
keenam dengan skor 6,97, diikuti Taiwan (6,60),Jepang (6,57), Korea Selatan
(6,13), dan Thailand (5,53). Singapura berada di tempat pertama dengan skor 2,53
dan Hong Kong dengan 3,49.
Hal tersebut hampir senada apabila kita baca informasi di Media Indonesia edisi
Jumat tanggal 4 Juni 2010 halaman 1, berjudul “Birokrasi Indonesia Terburuk ke-2 di
Asia” dengan skore 8,59 (1 terbaik – 10 terburuk) setelah India, Ini merupakan salah
satu indikasi bahwa birokrasi belum mampu mendukung tebentuknya daya saing
Dilihat dari gambar pohon industry dimaksud pada Bab II diatas, menunjukan di
Indonesia masih belum ada dan atau belum dikembangkannya beberapa industry
hulunya seperti pig iron, pellet, besi, serta Slab stainless steel, hilirnya HRC stainless
steel.
Berdasarkan informasi ketersediaan bahan baku hulu seperti bijih besi banyak
tersedia antara lain di wilayah Kalimantan Selatan. Deposit iron ore yang ada di
wilayah tersebut cukup untuk bisa diekploitasi dan diusahakan lebih lanjut sampai
proses penyediaan, pig iron , dan pembangunan industry pellet besi .
Hal tersebut pada dasarnya merupakan peluang usaha yang sangat terbuka. Namun
demikian perlu ditelaah lebih lanjut mengapa peluang tersebut belum dimanfaatkan
oleh investor.
Secara sederhana dapat dijawab melalui penelusuran dalam hal, antara lain : 1)
sumber bahan baku tidak mendukung/deposit tidak mencukupi atau terbatas, mutu
tidak memenuhi ; 2) investasi mahal akibat infrastruktur yang belum tersedia,
teknologi tinggi. 3) pasar kecil, spesifikasi terlalu banyak .,
Disisi lain dalam gambar pohon industry telah ada industrinya, namun belum jelas
dan rinci produk apa yang benar-benar telah dan mampu dibuat. Contoh :
1. Mur dan baut,, pada kenyataannnya masih banyak diminta oleh industry
engineering (otomotif/alat berat) untuk diimpor bahkan dengan
memanfaatkan fasilitas bea masuk (Bea masuk Ditanggung
Pemerintah/BMDTP, User Specifik Duty Free Schemme/USDFS dan
dimasukan dalam permohonan dan pertimbangan teknis untuk memperoleh
sebagai Importir Produsen/IP atau Importir Terdaftar/IT Besi dan Baja
dengan klasifikasi Pos Tarif lebih dari satu.
2. HRC atau CRC juga demikian yang diklasifikasikan ke lebih dari satu Pos Tarif
dengan spesifikasi (tebal, lebar dan komposisi kimia dan pelapisan tertentu),
masih diminta untuk boleh diimpor/rekomendasi impor dengan
memanfaatkan fasilitas bea masuk.
Dari contoh tersebut dapat diartikan bahwa masih banyak terdapat bahan/barang
yang belum dibuat /diproduksi di dalam negeri, dengan alasan spesifikasi khusus dan
jumlah permintaan tebatas sehingga skala ekonomi tidak tercapai..
Apabila pohon industry tersebut dibuat secara lengkap dan rinci, maka akan terlihat
mana yang banyak digunakan, diimpor, diekspor , peluang pasar, berdaya saing dan
murah serta mana yang sudah dan perlu di-Standarkan (SNI-Wajib), teknologi apa
yang dipilih atau disiapkan untuk pengembangan lebih lanjut.
Sebagaimana diketahui material dari alumunium ini memiliki nilai dan fungsi
pengganti atau subtitusi material dari besi atau baja, seperti konstruksi, blok-blok
mesin, dan peralatan serta barang lainnya karena memilki sifat yang ulet, kuat dan
ringan, sehingga masa depannya sangat potensil intuk ditumbuh kembangkan.
Memperhatikan pohon industry alumunium yang ada saat ini, yang sangat mendasar
adalah tidak dan belum diusahakannya pendirian pabrik alumina. Padahal bahan
baku dasar alumina seperti bauksit ada di dalam negeri dengan deposit yang cukup
untuk jangka panjang, sementara itu industry produk hilirnya sedang tumbuh dan
berkembang.
Sama halnya dengan pohon industry baja, pohon industri, alumunium ini seyogiyanya
digambarkan secara rinci dan detail, sehingga mampu mengakomodasi dan
menggambarkan pohon tariff maupun pohon standar agar pihak stakeholder yang
berkepentingan mudah dalam menetapkan kebijakan bagi industry ini.
Secara jumlah Pos Tariff kelompok produk alumunium ini hanya mencakup Bab 76
saja, tidak sebanyak Pos Tarif kelompok besi baja dan barang dari besi baja yang
mencakup antara lain Bab 72, Bab 73 Bab 82 dan Bab 83, sehingga penggambaran
pohon tariff atau pohon standarnya produk alumunium ini tidak serumit besi-baja.
Sebagai gambaran jumlah dan struktut tariff produk logam baja dan non baja adalah
seperti dibawah ini:
Tabel 5-11 Struktur Tarif Bea Masuk Produk Logam Tahun 2009
Industri tembaga di Indonesia pada dasarnya telah ada dimulai dari hulu yaitu dari
bijih menjadi konsentrat dalam hal ini seperti yang dibuat di Free Port Tembagapura
dan Batu Hijau. Konsentrat diproses lebih lanjut menjadi Katoda tembaga yang saat
ini satu-satunya yaitu ada di Surabaya (PT.Smelting Tembaga).
Dari gambar pohon industry tembaga pada Bab II diatas justru kelompok industry
hulunya sudah jauh atau dalam, namun sebaliknya industry hilirnya yang belum
berkembang sperti kabel, tube dan pipa. Dengan demikian produk industry hulu
(Katoda tembaga) tidak diserap oleh pasar dalam negeri sendiri sehingga banyak
dijual keluar negeri yang belakangan ini kebutuhan dunia meningkat terus.
Lebih lanjut dengan meningkatnya ekspor produk hulu tersebut Indonesia akan
kehilangan nilai tambah karena nilai tambahnya akan dinikmati oleh pihak luar
negeri. Untuk itu kedalaman struktur industry tembaga diarahkan ke industry
hilirnya, agar terciptakan peluang pasar industry hilir yang competitive dan dapat
diekspor dan nilai tambah dinikmati Indonesia.
Tube dan pipa tembaga pada dasarnya banyak digunakan di indutri elektronika
seperti AC, Untuk itu industry penggunanya seperti industry AC tersebut harus
dikembangkan. Demikian juga pabrik kabel daya serap atas produk katoda saat ini
masih rend (40%). Kondisi ini kiranya perlu ditelaah lebih lanjut, apakah pemenuhan
kebutuhan tube atau kabel dalam negeri tersebut dipenuhi dari impor? Untuk itu
mari kita lihat contoh dari data tahun 2006 dibawah ini :
Dari perbandingan data harga ekspor dan impor diatas untuk Copper wire, Pos Tariff
7408.11.000.00, harga impr (C&F) masih tinggi harga impor dari harga ekspor (FOB),
tetapi jumlah impornya relative sedikit sehingga kebutuhan dalam negeri
diasumsikan harusnya diisi oleh produk lokal.
Sementara untuk tube dan pipe Pos Tariff 7411.29.00.00 produk dalam negeri
(ekspor) relative lebih tinggi disbanding dengan harga impor, hal ini diartikan nilai
tambah ada di dalam negeri, tapi pemenuhan kebutuhan dalam negeri diisi dari
impor.
Jika kita lihat data ekspor pada analisa daya saing diatas (butir 5.1.1) untuk tembaga,
nilai tambah yang signifikan adalah dari copper katoda menjadi plate yaitu dari harga
USD 6.321 menjadi USD 12.695/satuan sedangkan menjadi kawat dengan harga USD
6.772/satuan. Hal ini dapat diartikan dari katoda tembaga yang dihasilkan secara
Kebijakan pengembangan industry pada dasarnya mencakup tariff dan Non Tarif.
Produk logam nasional yang selama ini banyak pengaturannya tariff dan atau non
tariff adalah logam besi baja. Pengaturan kebijakan tersebut yang banyak diberikan
antara lain adalah Tarif Bea Masuk, Tata Niaga Impor, Tata Niaga Ekspor, Limbah.
Sedangkan bagi jenis logam non fero tidak banyak pengaturannya.
Pengaturan tariff bea masuk yang banyak diterapkan adalah bagi kelompok industry
besi-baja. Kelompok produk ini meskipun tergolong kelompok bahan baku dalam
pengaturannya tergolong kelompok produk dianggap sensitive, sehingga dalam
proses pegaturan pengenaan bea masuknya relative tinggi yaitu dari 0% sampai 15%.
Sensitive baik dalam penetapan bea masuk Most Favour Nation (MFN) maupun
dalam rangka kerjasama perdagangan internasional,
Tarif Bea Masuk bagi kelompok produk baja terutama untuk jenis yang telah dibuat
didalam negeri setelah mengalami beberapa kali perubahan dan harmonisasi, tariff
bea masuk tertinggi saat ini dikenakan 15% seperti untuk profil, pipa, kawat .
Sedangkan kelompok pelat paling tinggi dikenakan bea masuk 12.5% adalah
struktur,pelat/lembaran.Struktur tariff baja dan Non Baja dapat dilihat pada Tabel
5.12 dan Tabel. 5.13 dibawah.
Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan industry baja nasional belum mampu
bersaing dan perlu waktu untuk penguatannya, sementara negara penghasil baja
mampu memproduksi dengan kapasitas 3 – 4 kali lipat dan harga relative bersaing.
Sementara itu juga kedalaman struktur industrinya masih lemah, padahal sumber
pendukung industry produk hulunya seperti bijih besi cukup tersedia, tinggal kajian
ke-fisibiltas atau ke-ekonimiannya yang perlu dilakukan dengan cermat.
Tarif bea masuk dengan nomor HS tertentu dinaikan dari 5% dan 15% menjadi
29%, sedangkan tarif bea masuk produk CRC dengan nomor HS tertentu
dinaikan dari 10% dan 15% menjadi 25%. Kebijakan ini maksudnya untuk
mendorong pengembangan industri baja nasional, serta untuk membantu
kalangan industri baja di dalam negeri dalam menghadapi persaingan tidak
seimbang dengan produsen baja dunia, selain itu juga untuk mengatasi
maraknya impor besi baja.
Pelaku bisnis industri besi baja yang terintegrasi antara pabrik bilet dan besi
beton, dengan bea masuk billet 0%, produk bilet lokal tidak mampu bersaing
sehingga bagi mereka lebih baik menggunakan billet impor.
Contoh lain mengenai bea masuk HRC yang belum mampu diproduksi oleh
pabrik didalam negeri, seperti HRC dengan ketebalan kurang dari 3 mm,
pada waktu itu hanya dibuat oleh Krakatau Steel untuk keperluan pabrik
CRM nya sendiri sehingga pabrik CRC/S lain harus mengimpor karena tidak
tersedia pasok di dalam negeri. Tarif bea masuknya dikenakan 5% sehingga
pabrik CRC/S yang harus mengimpor bahan baku akan kesulitan bersaing
baik dengan PT KS maupun dengan CRC impor.
Pola umum dan pola khusus program harmonisasi tarif bea masuk Indonesia
tahun 2005 – 2010 di sektor Industri Baja yang merupakan bagian dari
program harmonisasi tarif bea masuk sektor industri lainnya.
Pembebasan BM terhadap CRC itu berlaku bagi impor barang yang memiliki
dokumen pemberitahuan impor barang (PIB). Dokumen PIB tersebut harus
memperoleh nomor pendaftaran dari Kantor Pelayanan Dirjen Bea Cukai
peabuhan pemasukan sejak tanggal 26 Januari 2005 sampai 31 Maret 2005.
Kebijakan itu ditetapkan karena saat ini produsen CRC 0,2 mm di dalam
negeri memiliki keterbatasan. Sedangkan di sisi lain pasok produk itu di
pasar dunia masih terbatas.
f). Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas Impor Baja Canai Panas dari 5 negara
Center (MIDEC) untuk 13 sektor industri (metal working, welding, mold &
dies, energy conservation, export & investment promotion, SMEs,
automotive, electric/ electronics, steel/ steel products, textile,
petrochemical & oleochemicals, non-ferrous dan food & beverages).
Untuk sektor baja dalam skema User Specific Duty Free Scheme (USDFS)
yaitu dengan penghapusan bea masuk komoditi baja di berikan pihak
Indonesia hanya untuk jenis baja yang belum diprodukasi di dalam negeri
dan hanya berlaku untuk spesial steel
masuk 0% dari Jepang harus diverifikasi terlebih dahulu oleh perusahaan jasa
inspeksi independen bersama departemen teknis. Tujuannya untuk
menghindari terjadinya perdagangan baja khusus di dalam negeri dan
prosedurnya, hanya importir produsen terdaftar di dalam negeri yang bisa
memanfaatkan komoditi tersebut (sektor automotive, electrical &
electronics, heavy equipment, dan energy).
Spesial steel merupakan produk baja hilir yang tahan terhadap titik didih
hingga 1.500°C dan takanan tinggi yang berfungsi untuk melindungi
instrumen pada produk manufactur, seperti elektronik, otomotif dan mesin-
mesin berbasis logam.
Keutuhan Indonesia akan baja khusus cukup besar, mencapai US$ 1 milyar
per tahun atau 1juta ton hingga 1,5 juta, untuk itu pemerintah Indonesia
telah meminta agar produsen baja Jepang yaitu Nippon Steel untuk
berinvestasi membangun industri baja khusus di Indonesia guna memenuhi
kebutuhan industri di dalam negeri. Sampai saat ini Nippon Steel masih
mengkaji untuk investasi ke Indonesia dalam bidang baja khusus tersebut.
Bagi kelompok Non Ferro tidak banyak dan sering dilakukan dalam pengaturan
penetapan penetapan bea masuk, kecuali alumunium (Al), inipun terbatas pada
beberapa jenis dan pos tariff saja saat harmonisasi tariff yang tahun 2005
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor :
132/PMK.010/2005 tanggal 23 Desember 2005 tentang Program Harmonisasi Tarif
Bea Masuk 2005 - 2010 Tahap Kedua.
Selama ini belum ada kebijakan khusus untuk industri tembaga di dalam
negeri, agar produk dalam negeri dapat kompetitif baik untuk pasar lokal
maupun global maka diperlukan berbagai upaya yang diharapkan dari
pemerintah antara lain: reformasi pajak, penyediaan energi termasuk
supplay gas yang stabil, berbagai insentive seperti kebijakan tata niaga, safe
guard, stimulus fiscal dan tax holiday/allowance dan lain-lain.
BTBMI
No. Kelompok Industri 2005 2006 2007 2008 2009 2010
2004
HAR.
BESI DAN BAJA
I
Industri Hulu (Slab,Ingot, Bilet; termasuk 0 0 0 0 0 0 5
tembaga) 5 5 5 5 5 5 5
Industri Antara I
a. Lembaran 0 0 0 0 0 0 5
5 5 5 5 5 5 5
10 7,5 7,5 5 5 5 5
(HRC, HRP)
15 7,5 7,5 5 5 5 5
20 7,5 7,5 5 5 5 5
b. Batangan 0 0 0 0 0 0 5
5 5 5 5 5 5 5
(Wire-rod, cold heading, bar stainless steel,
alloy steel, seamless pipe) 15 12,5 12,5 10 10 7,5 7,5
Industri Antara II
a. Lembaran 5 5 5 5 5 5 5
(CRC) 10 10 10 7,5 7,5 5 5
15 12,5 12,5 10 10 10 7,5
20 12,5 12,5 10 10 10 7,5
25 12,5 12,5 10 10 10 7,5
b. Batangan 5 5 5 5 5 5 5
BTBMI
No. Kelompok Industri 2005 2006 2007 2008 2009 2010
2004
HAR
II
Aluminium
a. Industri Hulu 0 0 0 0 0 0 5
b. Industri Antara I 5 5 5 5 5 5 5
10 10 10 10 10 7,5 5
15 15 15 15 12,5 10 5
20 20 20 20 15 10 5
c. Industri Antara II 10 10 10 10 10 10 7,5
Dan III 15 15 15 15 15 15 10
20 20 20 20 20 15 10
d. Industri Hilir 5 5 5 5 5 5 5
10 10 10 10 10 10 10
15 15 15 15 15 15 10
7208 HRC/P 5
7409 Lembaran 5
7411,7412 Pipa 5
a). Jika ditelusuri lebih jauh industry produk logam besi-baja relative cukup
lama dan banyak macamnya mendapatkan perlindungan baik melalui tariff
atau non tariff. Nontarif berupa Tata Niaga seperti impor harus melalui
Importir Produsen /IP dan atau Impotir Terdaftar/IT sebagaimana yang
diatur dalam Peraturan Meneteri Perdagangan nomor: 08/M-
DAG/PER/2/2009 jo No.21/M-DAG/PER/6/2009 tentang Ketentuan Impor Besi
Atau Baja. Selain itu Impotir harus memiliki Nomor Pengenal Impotir
Khusus/NPIK (Permendag No.141/MPP/Kep/3/2002 jo Nomor.07/M-
DAG/PER/3/2008.
Latar belakang diterbitkannya aturan tata niaga besi baja yaitu pada
pertengahan tahun 2008, kurang lebih tiga bulan bisnis baja terhenti karena
produsen tak mau jual dan yang beli tak mau membeli karena mencari harga
yang lebih murah. Saat itu, Indonesia sedang kelebihan stok baja akibat
naiknya produksi dan impor produk besi baja hingga lebih dari 100 %. Hal itu
didorong oleh lonjakan harga baja yang mencapai 1.220 dolar AS per ton.
setelah itu ternyata harga baja anjlok hingga mencapai 480 dolar As per ton,
akibatnya produsen tidak mau menjual karena takut rugi sementara pembeli
menunggu harga turun. Biaya produksi HRC sekitar 600 dolar per ton tetapi
ada yang menjual dengan harga dibawah 500 dolar per tonnya, selain itu
banyaknya produk impor yang berkualitas rendah tidak memenuhi SNI.
Terbitnya tata niaga impor besi dan baja itu bertujuan untuk mendukung
terciptanya perdagangan dan pasar dalam negeri yang sehat serta iklim
usaha yang kondusif. Selain itu, tata niaga impor besi dan baja diharapkan
dapat menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dan tertib
administrasi di bidang impor besi atau baja sehingga impor baja yang masuk
hanya sesuai kebutuhan. Dengan pengendalian impor dapat melindungi
konsumen dari produk-produk besi atau baja non standar (non SNI) yang
beredar seperti BjLS (Seng) dan Besi Beton.
Setiap importir besi dan baja wajib melakukan registrasi Importir Produsen
dan Importir Terdaftar serta melakukan verifikasi teknis di pelabuhan muat
laporan hasil verifikasi dari surveyor harus disampaikan oleh importir
sebagai dokumen pelengkap dalam penyelesaian kepabean di bidang impor
mulai 25 Juli 2009. Jumlah pos tarif besi baja impor yang wajib melakukan
verifikasi atau penelusuran teknis impor dikurangi dari 203 pos tarif menjadi
169 pos tarif besi baja. Awalnya dispensasi lolos verifikasi besi baja impor
diberikan untuk produk dan turunan dari sektor otomotif, elektronik,
galangan kapal, perminyakan, dan proyek bantuan yang bersifat hibah. Jenis
ini kemudian ditambah untuk jenis baja yang diimpor dengan jumlah kecil
namun digunakan oleh hampir seluruh industri seperti mur dan baut. Selain
itu produk tabung gas, kompor dan peralatan pertambangan dikeluarkan
dari daftar kewajiban verifikasi impor baja karena telah ditangani langsung
oleh departemen teknis bersangkutan yakni Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Ketentuan impor besi baja tidak berlaku terhadap besi baja impor untuk
industri dalam rangka pelaksanaan Pasal 25 Ayat 1 dan Pasal 26 Ayat 1
Undang-Undang Kepabeanan, besi baja yang diimpor sementara, besi baja
yang dimasukkan ke Kawasan Perdagangan Bebas, Pelabuhan Bebas, dan
Tempat Penimbunan Berikat
Beberapa waktu yang lalu di pasar dalam negeri telah banyak beredar
produk non standar, hal ini diduga produsen telah melanggar ketentuan SNI
Wajib sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat diantara sesama
produsen yang pada akhirnya merugikan konsumen.
Sedangkan terhadap produk Non Ferro lainnya Tata Niaga tidak banyak
diatur, baik secara khusus maupun umum, sehingga dibiarkan bersaing
secara bebas.
b). Kebijakan investasi bagi industry Ferro dan Non Ferro tidak ada perlakuan
khusus. Banyak calon investor asing baik secara sendiri-sendiri maupun
hendak joint-venture dengan industry dalam negeri yang sudah ada
mengharapkan dan meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk diberikan
fasilitas Tax–Holiday. Contoh ;Perusahaan baja Posco dari Korea akan
kerjasama investasi dengan PT.Krakatau Steel (KS) untuk meningkatkan
kapasitas produksi baja nasional, dan lainnya, diharapkan juga mampu
terjadinya perluasan pasar dan peningkatan daya saing.
c). Lain halnya dengan industry Non Ferro (Al), seperti PT.Inalum yang akan
habis masa kerjasamanya dengan pihak Jepang tahun 2013, Siapkah
Indoneisa apabila PT.Inalum dikelola tanpa Joint-venture, dan akan lebih
efisien serta maju daripada dengan Joint-venture? Tergantung kita sendiri
seberapa cermat menyikapinya. Akan ada proses alumina di dalam negeri,
sehingga tidak perlu impor lagi bagi keperluan industry antara dan hilirnya
serta nilai tambah dinikmati di dalam negeri.
Lain halnya dengan produk tembaga, produk hulunya cukup dalam namun
produk hilirnya tidak berkembang, sehingga hasil produk hulu tersebut
banyak diekspor, tidak banyak diserap oleh industry dalam negeri.
5.2 Rekomendasi
Berdasarkan penjelasan dan analisa yang disajikan pada bagan-bagian diatas Tingkat
daya saing produk merupakan salah satu tolok ukur kemampuan dalam
mengusahakan kegiatan produksi baik dilakukan langsung sendiri oleh pelaku usaha.
Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, pelaku dengan atau tanpa memanfaatkan
kondisi lingkungan bisnis yang diciptakan dan atau tidak diciptakan oleh pemerintah,
hasil produknya tersebut memilki keunggulan dalam penguasaan pasar atau laku
dijual dan sukses secara internasional.
Untuk tecapainya tingkat daya saing yang dikehendaki tersebut, hal-hal pendukung
yang berpengaruh dan perlu diperhatikan para pihak terkait dan berkepentingan,
antara lain seperti berikut:
Dengan telah diketahuinya gambaran pohon industry secara lengkap dan benar, dan
memeilih serta menetapkan produk hulu dan atau hilir atau pendukung mana yang
akan dibangun, ditambah dengan memperhatikan butir-butir yang mendukung daya
saing dimaksud pada Bagian 5.2.1 diatas, maka dipikirkan lebih lanjut kebijakan yang
diperlukan agar produk yang dipilih tersebut dapat tumbuh dan berkembang..
Kebijakan investasi dalam rangka kerjasama dengan mitra luar negeri perlu
pertimbangan tersendiri dari mulai perbandingan komposisi kepemilikan
Kebijakan Infrastruktur.
DAFTAR PUSTAKA
7. World Economic and Social Survey 2005, Financing for Development, United
Nations, New York, 2005.
DAFTAR PUSTAKA | A
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
11. White Paper on International Economy and Trade 2005, Overview – Towards
a new dimension of economic prosperity in Japan and East Asia, July 2005,
METI.
B | DAFTAR PUSTAKA
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
LAMPIRAN
LAMPIRAN | C
KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL
Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous)
D | LAMPIRAN