1
Rosemarie Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, (Westview Press, 2014), pp. 11.
dan ekonomi wanita-wanita Eropa sedang berada di titik terendah. Hal tersebut karena
perempuan memiliki keharusan untuk tinggal dirumah. Melihat hal tersebut, Wollstonecraft
berpendapat bahwa perempuan kurang memiliki kebebasan atas dirinya sendiri. Pendidikan
yang berbasis pada penalaran pada masa itu difokuskan pada laki-laki, sedangkan pendidikan
pada perempuan difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan ilmu “dapur”, fiksi, puisi,
musik, atau seni. Sehingga, berdasarkan fenomena diatas Wollstonecraft melihat terdapatnya
ketimpangan tersendiri dalam akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut,
Wollstonecraft juga mengkritik anggapan yang menjadikan rasionalitas sebagai hal yang
identik dengan laki-laki dan emosional yang identik dengan perempuan. Seharusnya, apabila
rasionalitas merupakan hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainya. Maka
sudah seharusnya baik laki-laki maupun perempuan memiliki kapabilitas yang sama untuk
mengembangkan kedua sisi, rasional maupun emosional sebagai bagian diri dari manusia.
Lebih lanjut, Wollstonecraft juga menekankan, bahwa kemandirian ekonomi dan sosial harus
melekat pada diri perempuan.2
Pada abad ke-19, fokus pemikiran feminis liberal berkembang pada pembahasan
kesetaraan kebebasan. Tokoh utama pada abad ke-19 ini, diantaranya adalah John Stuart Mill
dan Harriet Taylor. Mill dan Taylor berpendapat bahwa kebahagiaan dapat terwujud jika
keinginan suatu individu dapat terpenuhi. Untuk mewujudkan keinginan tersebut maka
diperlukan pembukaan ruang-ruang kebebasan yang selama ini menghalangi perempuan.
Kebebasan tersebut dapat direpresentasikan melalui kesetaraan jender atau seks dalam
beberapa hal, seperti kesempatan ekonomi, hak politik, dan pendidikan yang setara dengan
laki-laki. Meskipun, pandangan Mill dan Taylor memiliki pengaruh yang cukup signifikan
dalam pergerakkan hak-hak perempuan dan pergerakkan anti perbudakan di Amerika Serikat.
Baik Mill maupun Taylor memiliki perbedaan tersendiri dalam memaknai perempuan dan
keluarga. Mill berargumen bahwa mayoritas perempuan cenderung berfokus pada mengurus
keluarga dan hal-hal privat, sedangkan Taylor berpendapat bahwa, perempuan memiliki
peran ganda, yaitu selain dalam ranah private atau domestik, perempuan juga memiliki peran
di dalam ranah publik yang dipresentasikan melalui pendidikan dan partisipasi perempuan di
dalam ranah sosial dan politik. Pandangan Mill dan Taylor tersebut mendorong berbagai
penyuaraan dan pengekspresian hak perempuan yang dapat mempengaruhi sistem, struktur,
dan sikap terhadap penekanan perempuan dan pihak-pihak lain yang tertindas. Semangat
tersebut melahirkan berbagai gerakan, seperti Equal Rights Association, National Woman
Suffrage Association, dan National American Woman Suffrage Association pada tahun 1890.
2
Ibid., pp. 13-15.
Selanjutnya, pada tahun 1960 lahir beberapa gerakan lain, seperti National Organization for
Women (NOW) dan National Woman’s Political Caucus (NWPC), atau Women’s Equity
Action League (WEAL). Berbagai gerakkan tersebut berfokus pada isu suffrage atau hak
memilih dalam politik. Berbagai gerakkan diatas mencoba memberikan perlindungan
terhadap hak pemilih perempuan dan melakukan akomodasi terhadap perbedaan pandangan
setiap anggota mengenai tuntutan.3
Meskipun telah dibentuk berbagai gerakkan dan kelompok dalam hak-hak perempuan
diskriminasi terhadap perempuan belum dapat sepenuhnya dapat dihindarkan dari kehidupan
sehari-hari warga Amerika Serikat pada saat itu. Sehingga, pada abad ke-20 fokus dari
tuntutnan feminis liberal bergeser pada kesetaraan hak. Salah satu tokoh yang cukup
berpengaruh pada pergerakkan feminis liberal pada abad ke-20 ini adalah Betty Friedan.
Friedan mendirikan National Organization for Women atau NOW sebagai respon terhadap
sikap kurang acuh pemerintah terhadap Civil Rights Act. NOW merupakan kelompok feminis
pertama di Amerika Serikat yang secara terang-terangan melakukan perlawanan diskriminasi
yang didasarkan pada seks. NOW yang dianggap kurang inklusif mendorong perpecahan di
dalam tubuh NOW. Sehingga, pada tahun 1970, atas tuntutan yang berasal dari kaum feminis
radikal NOW juga turut menyuarakan penolakan terhadap diskriminasi kelompok minoritas
LGBT. Sehingga, sejak tahun 1970 hingga saat ini, NOW juga turut melakukan penyuaraan
terhadap hak-hak perempuan, NOW juga menyuarakan hak-hak kelompok yang
termarjinalkan oleh sistem, seperti LGBT, kelompok disabilitas, dan sebagainya.4
Kehadiran feminisme liberal dalam perjalananya juga tidak dapat dilepaskan dari
berbagai kritik. Kritik pertama berasal dari Alisson Jaggar. Jaggar memberikan kritik terkait
tentang pengutamaan rasionalitas di atas sifat emosional. Menurut Jaggar, pengutamaan
rasionalitas merupakan salah satu bentuk ketidakacuhan terhadap fungsi biologis yang
dimiliki oleh manusia.5 Kritik selanjutnya, yaitu berasal dari Jean Bethke Elsthain. Menurut
Elsthain, terdapat tiga klaim feminis liberal yang kurang tepat atas konsep kesetaraan. Klaim
pertama, yaitu perempuan dapat menjadi seperti laki-laki dalam klaim ini Elsthain
berpendapat bahwa faktor biologis memiliki peran yang cukup besar dalam perbedaan sifat
perempuan dan laki-laki, sehingga tidak seluruh sifat tersebut dapat dikonstrusikan secara
kultural dan bisa diubah sesuai dengan kehendak masyarakat. Klaim kedua, yaitu perempuan
ingin menjadi laki-laki. Menurut Elsthain, klaim ini terlalu menyamaratakan perempuan dan
3
Ibid., pp. 16-20.
4
Ibid., pp. 21- 27.
5
Susan Wendell, “A (Qualified) Defense of Liberal Feminism,” Hypatia 2, no. 2 (1987): pp. 79.
melupakan bahwa setiap individu perempuan memiliki pilihan tersendiri tentang peran yang
akan dijalankanya, baik untuk fokus pada ranah private atau pun memiliki peran di ranah
private maupun publik. Klaim ketiga, perempuan harus menjadi laki-laki. Elsthein
menentang klaim tersebut karena sifat maskulinitas memiliki potensi untuk mengikis sifat-
sifat baik yang melekat pada perempuan.6 Kritik selanjutnyta terhadap, feminisme liberal,
yaitu kritik yang diajukan oleh Angela Davis. Menurut Davis, feminisme liberal harus besifat
lebih inklusif, tidak hanya berfokus pada kelas dan ras tertentu dan berorientasi pada
heteroseksisme.7
Sebagai refleksi penulis sekaligus kesimpulan, penulis melihat bahwa sudah
seharusnya perempuan memiliki hak dan kebebasan yang setara. Lebih lanjut, penulis juga
melihat bahwa setiap individu berhak menentukan kehendak dan pilihanya tersendiri, terlepas
dari status seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Untuk memaksimalkan hal tersebut,
negara juga memiliki peran tersendiri untuk hadir berdampingan dengan kebebasan yang
dimiliki oleh setiap individu.
Daftar Pustaka
Collins, Patricia Hill. Black Feminist Thought: Knowledge, Consciousnes, and The Politics
of Empowerment. New York: Routledge, 2000. pp. 60.
Elsthain, Jean Bethke. “Feminism, Family, and Community,” Dissent 29, no. 1 (1982): pp.
442.
Tong, Rosemarie. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Fourth Edition.
Boulder: Westview Press, 2014. pp. 11-49.
Wendell, Susan. “A (Qualified) Defense of Liberal Feminism.” Hypatia 2, no. 2 (1987): pp.
79.
6
Jean Bethke Elsthain, “Feminism, Family, and Community,” Dissent 29, no. 1 (1982): pp. 442.
7
Patricia Hill Collins, Black Feminist Thought: Knowledge, Consciousnes, and The Politics of Empowerment,
(New York: Routledge, 2000), pp. 60.