Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Klimatologi adalah ilmu yang mencari gambaran dan penjelasan sifat iklim, mengapa
iklim di berbagai tempat di bumi berbeda , dan bagaimana kaitan antara iklim dan dengan
aktivitas manusia. Karena klimatologi memerlukan interpretasi dari data2 yang banyak
dehingga memerlukan statistik dalam pengerjaannya, orang2 sering juga mengatakan
klimatologi sebagai meteorologi statistik (Tjasyono, 2004)
Sejak tahun 1980an para pemerhati dan peneliti meteorologi meyakini bahwa akan
terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spatial maupun temporal, seperti  
peningkatan temperatur udara, evaporasi dan curah hujan.  Menjadi hal sangat krusial
mengetahui besaran anomali curah hujan yang akan terjadi pada masa datang di wilayah
Indonesia dalam skala global menggunakan model prakiraan iklim yang dikembangkan
berdasarkan keterkaitan proses antara atmosfer, laut, dan kutub dengan memperhatikan
evolusi yang proporsional dari peningkatan konsentrasi CO2 di trophosfer. 
Penelitian desk studi simulasi zonasi curah hujan untuk periode 1950-1979 dan
periode 2010-2039 beserta anomalinya terutama untuk musim hujan (Maret sampai Oktober)
dilaksanakan pada tahun 2002.  Anomali zonasi curah hujan merupakan selisih kejadian
hujan (mm) pada periode inisial (1950-1979) dengan periode berikutnya (2010-2039), dengan
menggunkan model ARPEGE (Action de Recherche Petite Echelle Grande Echelle) Climat
versi 3.0.  Besaran curah hujan yang ditampilkan merupakan keadaan curah hujan rataan
bulanan pada kedua periode tersebut.  Koordinat yang dipilih berkisar antara 25° Lintang
Utara dan Lintang Selatan serta berkisar 150° Bujur Timur. 
Selain itu, dianalisis zonasi temperatur maksimal dan temperatur minimal untuk
ketinggian 2 m di atas permukaan tanah dan evaporasi (mm).  Untuk melihat perubahan
frekuensi kejadian hujan sepanjang tahun 1980 sampai 2000 pada kondisi lapang, dilakukan
analisis frekuensi untuk parameter curah hujan dan temperatur pada dua periode pengamatan:
periode 1980-1990 dan 1991-2000.  Data iklim hasil pengamatan tersebut diperoleh dari
stasiun klimatologi Tamanbogo, Lampung Tengah (105°05’ BT ; 5°22’ LS ; 20 m dpl) dan
Genteng, Jawa Timur (114°13’ BT ; 8°22’ LS ; 168 m dpl). 
Pada periode 2010-2039 diprakirakan akan terjadi peningkatan jumlah curah hujan di
atas wilayah Indonesia, yang ditandai dengan perubahan zonasi wilayah hujan dengan
anomali positip zona konveksi, peningkatan temperatur, dan evaporasi terutama pada zona
konveksi  tertinggi di sepanjang selat Malaka, Laut Banda, Laut Karimata, dan Laut Arafura. 
Perubahan kualitas dan kuantitas curah hujan, khususnya curah hujan 100-150 mm/hari 
secara signifikan (59% dan 100%) pada stasiun sinoptik Tamanbogo dan Genteng telah
terjadi pada periode 1991-2000.  Langkah antisipasi limpahan curah hujan yang lebih besar
dapat dilakukan secara serentak melalui pendekatan lingkungan dan kemasyarakatan.
B. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui cara menentukan curah hujan disiatu wilayah
2. Mahasiswa mengetahui penggunaan alat pengukur curah hujan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Unsur-unsur iklim yang menunjukan pola keragaman yang jelas merupakan dasar
dalam melakukan klasifikasi iklim. Unsur iklim yang sering dipakai adalah suhu dan curah
hujan (presipitasi). Klasifikasi iklim umumnya sangat spesifik yang didasarkan atas tujuan
penggunaannya, misalnya untuk pertanian, penerbangan atau kelautan. Pengklasifikasian
iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim sebagai landasannya, tetapi hanya
memilih data unsur-unsur iklim yang berhubungan dan secara langsung mempengaruhi
aktivitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut (Lakitan, 2002).
Thornthwaite (1933) dalam Tjasyono (2004) menyatakan bahwa tujuan klasifikasi
iklim adalah menetapkan pembagian ringkas jenis iklim ditinjau dari segi unsur yang benar-
benar aktif terutama presipitasi dan suhu. Unsur lain seperti angin, sinar matahari, atau
perubahan tekanan ada kemungkinan merupakan unsur aktif untuk tujuan khusus.
Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling beragam baik menurut waktu
maupun tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi kegiatan
pertanian secara umum, oleh karena itu klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia (Asia
Tenggara umumnya) seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai
kriteria utama (Lakitan, 2002). Tjasyono (2004) mengungkapkan bahwa dengan adanya
hubungan sistematik antara unsur iklim dengan pola tanam dunia telah melahirkan
pemahaman baru tentang klasifikasi iklim, dimana dengan adanya korelasi antara tanaman
dan unsur suhu atau presipitasi menyebabkan indeks suhu atau presipitasi dipakai sebagai
kriteria dalam pengklasifikasian iklim.
Beberapa sistem klasifikasi iklim yang sampai sekarang masih digunakan dan pernah
digunakan di Indonesia antara lain adalah:
a. Sistem Klasifikasi Koppen
Koppen membuat klasifikasi iklim berdasarkan perbedaan temperatur dan curah hujan.
Koppen memperkenalkan lima kelompok utama iklim di muka bumi yang didasarkan kepada
lima prinsip kelompok nabati (vegetasi). Kelima kelompok iklim ini dilambangkan dengan
lima huruf besar dimana tipe iklim A adalah tipe iklim hujan tropik (tropical rainy climates),
iklim B adalah tipe iklim kering (dry climates), iklim C adalah tipe iklim hujan suhu sedang
(warm temperate rainy climates), iklim D adalah tipe iklim hutan bersalju dingin (cold snowy
forest climates) dan iklim E adalah tipe iklim kutub (polar climates) (Safi’i, 1995).
      b. Sistem Klasifikasi Mohr
Klasifikasi Mohr didasarkan pada hubungan antara penguapan dan besarnya curah
hujan, dari hubungan ini didapatkan tiga jenis pembagian bulan dalam kurun waktu satu
tahun dimana keadaan yang disebut bulan basah apabila curah hujan >100 mm per bulan,
bulan lembab bila curah hujan bulan berkisar antara 100 – 60 mm dan bulan kering bila curah
hujan < 60 mm per bulan (Anon, ?).
      c. Sistem Klasifikasi Schmidt-Ferguson
Sistem iklim ini sangat terkenal di Indonesia. Menurut Irianto, dkk (2000)
penyusunan peta iklim menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson lebih banyak digunakan untuk
iklim hutan. Pengklasifikasian iklim menurut Schmidt-Ferguson ini didasarkan pada nisbah
bulan basah dan bulan kering seperti kriteria bulan basah dan bulan kering klsifikasi iklim
Mohr. Pencarian rata-rata bulan kering atau bulan basah (X) dalam klasifikasian iklim
Schmidt-Ferguson dilakukan dengan membandingkan jumlah/frekwensi bulan kering atau
bulan basah selama tahun pengamatan ( åf ) dengan banyaknya tahun pengamatan (n).
Schmidt-Fergoson membagi tipe-tipe iklim dan jenis vegetasi yang tumbuh di tipe
iklim tersebut adalah sebagai berikut; tipe iklim A (sangat basah) jenis vegetasinya adalah
hutan hujan tropis, tipe iklim B (basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe iklim
C (agak basah) jenis vegetasinya adalah hutan dengan jenis tanaman yang mampu
menggugurkan daunnya dimusim kemarau, tipe iklim D (sedang) jenis vegetasi adalah hutan
musim, tipe iklim E (agak kering) jenis vegetasinya hutan savana, tipe iklim F (kering) jenis
vegetasinya hutan savana, tipe iklim G (sangat kering) jenis vegetasinya padang ilalang dan
tipe iklim H (ekstrim kering) jenis vegetasinya adalah padang ilalang (Syamsulbahri, 1987).
Klasifikasi iklim yang dilakukan oleh Oldeman didasarkan kepada jumlah kebutuhan
air oleh tanaman, terutama pada tanaman padi. Penyusunan tipe iklimnya berdasarkan jumlah
bulan basah yang berlansung secara berturut-turut.
Oldeman, et al (1980) mengungkapkan bahwa kebutuhan air untuk tanaman padi
adalah 150 mm per bulan sedangkan untuk tanaman palawija adalah 70 mm/bulan, dengan
asumsi bahwa peluang terjadinya hujan yang sama adalah 75% maka untuk mencukupi
kebutuhan air tanaman padi 150 mm/bulan diperlukan curah hujan sebesar 220 mm/bulan,
sedangkan untuk mencukupi kebutuhan air untuk tanaman palawija diperlukan curah hujan
sebesar 120 mm/bulan, sehingga menurut Oldeman suatu bulan dikatakan bulan basah
apabila mempunyai curah hujan bulanan lebih besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering
apabila curah hujan bulanan lebih kecil dari 100 mm.
Lamanya periode pertumbuhan padi terutama ditentukan oleh jenis/varietas yang
digunakan, sehingga periode 5 bulan basah berurutan dalan satu tahun dipandang optimal
untuk satu kali tanam. Jika lebih dari 9 bulan basah maka petani dapat melakukan 2 kali masa
tanam. Jika kurang dari 3 bulan basah berurutan, maka tidak dapat membudidayakan padi
tanpa irigasi tambahan (Tjasyono, 2004).
Oldeman membagi lima zona iklim dan lima sub zona iklim. Zona iklim merupakan
pembagian dari banyaknya jumlah bulan basah berturut-turut yang terjadi dalam setahun.
Sedangkan sub zona iklim merupakan banyaknya jumlah bulan kering berturut-turut dalam
setahun. Pemberian nama Zone iklim berdasarkan huruf yaitu zone A, zone B, zone C, zone
D dan zone E sedangkan pemberian nama sub zone berdasarkana angka yaitu sub 1, sub 2,
sub 3 sub 4 dan sub 5.
Zone A dapat ditanami padi terus menerus sepanjang tahun. Zone B hanya dapat
ditanami padi 2 periode dalam setahun. Zone C, dapat ditanami padi 2 kali panen dalam
setahun, dimana penanaman padi yang jatuh saat curah hujan di bawah 200 mm per bulan
dilakukan dengan sistem gogo rancah. Zone D, hanya dapat ditanami padi satu kali masa
tanam. Zone E, penanaman padi tidak dianjurkan tanpa adanya irigasi yang baik.
(Oldeman, et al., 1980)
Klimatologi merupakan ilmu tentang atmosfer. Mirip dengan meteorologi, tapi
berbeda dalam kajiannya, meteorologi lebih mengkaji proses di atmosfer sedangkan
klimatologi pada hasil akhir dari proses2 atmosfer.
Iklim merupakan salah satu faktor pembatas dalam proses pertumbuhan dan produksi
tanaman. Jenis2 dan sifat2 iklim bisa menentukkan jenis2 tanaman yg tumbuh pada suatu
daerah serta produksinya. Oleh karena itu kajian klimatologi dalam bidang pertanian sangat
diperlukan. Seiring dengan dengan semakin berkembangnya isu pemanasan global dan
akibatnya pada perubahan iklim, membuat sektor pertanian begitu terpukul. Tidak teraturnya
perilaku iklim dan perubahan awal musim dan akhir musim seperti musim kemarau dan
musim hujan membuat para petani begitu susah untuk merencanakan masa tanam dan masa
panen. Untuk daerah tropis seperti indonesia, hujan merupakan faktor pembatas penting
dalam pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian. Selain hujan, unsur iklim lain yang
mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah suhu, angin, kelembaban dan sinar matahari.
Setiap tanaman pasti memerlukan air dalam siklus hidupnya, sedangkan hujan
merupakan sumber air utama bagi tanaman. Berubahnya pasokan air bagi tanaman yg
disebabkan oleh berubahnya kondisi hujan tentu saja akan mempengaruhi siklus pertumbuhan
tanaman. Itu merupakan contoh global pengaruh ikliim terhadap tanaman. Di indonesia
sendiri akibat dari perubahan iklim, yaitu timbulnya fenomena El Nino dan La Nina.
Fenomena perubahan iklim ini menyebabkan menurunnya produksi kelapa sawit. Selain itu
produksi padi juga menurun akibat dari kekeringan yang berkepanjangan atau terendam
banjir. Akan tetapi pada saat fenomea La Nina produksi padi malah meningkat untuk masa
tanam musim ke dua.

BAB III

PELAKSANAAN PRAKTIKUM
A. Waktu
Pelaksanaan praktikum agroklimatologi mengenai curah hujan dilaksanakan di Balai
Penelitian Agro Techno Park (ATP) di daerah Glumbang kabupaten Muara Enim pada
tanggal 27 – 28 Maret 2011.

B. Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum tentang curah hujan adalah
sebagai berikut:
1. Ombrometer
2. Tabel hasil pengamatan
3. Gelas Ukur curah hujan

C. Cara Kerja
Adapun cara kerja dari pengukuran curah hujan adalah sebagai berikut:
1. Siapkan alat ombrometer kemudian Letakkan pada tempat yang ingin dilakukan
     pengamatan (usahakan tempat pengamatan terbuka dari naungan)
2. Atur posisi alat sedemikian rupa
3. Pada pagi hari lihat berapa curah hujan yang ada dengan cara membuka keran lalu
    ditampung kedalam gelas pengukur curah hujan
4. Lihat dan catat besaran atau nilai curah hujan pada tabel hasil pengamatan
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Adapun hasil pengamatan dari pengukuran curah hujan di Balai Penelitian Agro
Techno Park sebagai berikut:
No Jam / Waktu (WIB) Curah Hujan (mm)
1 17. 00 21,4 mm
2 17. 30 21,4 mm
3 18. 00 21,4 mm
4 06. 00 21,4 mm
5 06. 30 21,4 mm
6 07. 00 21,4 mm
7 07. 30 21,4 mm
8 08. 00 21,4 mm
9 08. 30 21,4 mm
10 09. 00 21,4 mm
11 09. 30 21,4 mm
12 10. 00 21,4 mm
13 10. 30 21,4 mm
14 11. 00 21,4 mm
15 11. 30 21,4 mm
16 12.00 21,4 mm

B. Pembahasan
Iklim merupakan salah satu faktor pembatas dalam proses pertumbuhan dan produksi
tanaman. Jenis - jenis dan sifat - sifat iklim bisa menentukkan jenis - jenis tanaman yg
tumbuh pada suatu daerah serta produksinya. Oleh karena itu kajian klimatologi dalam
bidang pertanian sangat diperlukan. Seiring dengan dengan semakin berkembangnya isu
pemanasan global dan akibatnya pada perubahan iklim, membuat sektor pertanian begitu
terpukul. Tidak teraturnya perilaku iklim dan perubahan awal musim dan akhir musim seperti
musim kemarau dan musim hujan membuat para petani begitu susah untuk merencanakan
masa tanam dan masa panen. Untuk daerah tropis seperti indonesia, hujan merupakan faktor
pembatas penting dalam pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian. Selain hujan, unsur
iklim lain yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah suhu, angin, kelembaban dan
sinar matahari.
Setiap tanaman pasti memerlukan air dalam siklus hidupnya, sedangkan hujan
merupakan sumber air utama bagi tanaman. Berubahnya pasokan air bagi tanaman yg
disebabkan oleh berubahnya kondisi hujan tentu saja akan mempengaruhi siklus pertumbuhan
tanaman. Itu merupakan contoh global pengaruh ikliim terhadap tanaman. Di indonesia
sendiri akibat dari perubahan iklim, yaitu timbulnya fenomena El Nino dan La Nina.
Fenomena perubahan iklim ini menyebabkan menurunnya produksi kelapa sawit.
Selain itu produksi padi juga menurun akibat dari kekeringan yang berkepanjangan atau
terendam banjir. Akan tetapi pada saat fenomea La Nina produksi padi malah meningkat
untuk masa tanam musim ke dua.
Dari hasil pengamatan ataupun pengukuran yang dilakukan dari pukul 17. 00 WIB –
12. 00 WIB memperoleh hasil untuk pengukuran curah hujan yaitu 21,4 mm. Mengapa hasil
pengukuran dari jam 17. 00 WIB sampai jam 12. 00 WIB diperoleh hasil yang sama? Hal ini
dikarenakan curah hujan dalam pengamatan yang kita lakukan adalah pengukuran curah
hujan harian. Sehingga secara otomatis diperoleh hasil yang sama.
Pengamatan yang kita lakukan adalah pengamatan pengukuran curah hujan harian.
Yang mana komponen curah hujan adalah semua hasil tiap menitnya adalah memiliki nilai
yang sama. Namun akan beda hasilnya bila kita mengukur curah hujan bulanan bahkan
tahunan.
Dalam pengamatan curah hujan harian, apabila dalam satu hari tidak ada hujan yang
turun bisa dipastikan tidak ada air yang tertampung didalam penampungan pada alat
ombrometer. Hal ini dikarenakan alat ombrometer hanya memiliki lubang yang sangat kecil.
Pada hujan yang lebat atau deras air yang tertampung hanya sedikit atau bisa dikatakan tidak
akan pernah bisa memenuhi penampung yang ada pada alat ombrometer. Sedangkan bila
tidak ada hujan yang turun, maka bisa dipastikan tidak ada air yang tertampung. Jika
seandainya ada hanyalah sedikit dan amat kecil, yaitu hasil dari tetesan embun.
Curah hujan harian adalah curah hujan yang diukur selama 24 jam. Masa 24 jam akan
berakhir sesuai dengan tanggal yang tercantum pada waktu.Untuk curah hujan harian dari
sumber yang tidak teratur, yaitu mereka yang laporan bulanan atau mingguan, kemudian
jumlah hari dimana curah hujan diukur. Sekali lagi periode berakhir pada hari lain.
Satuan curah hujan adalah milimeter (mm), yang merupakan ketebalan air hujan yang
terkumpul dalam tempat pada luasan 1 m2, permukaan yang datar, tidak menguap dan tidak
mengalir.
1. Rata-rata curah hujan bulanan : Nilai rata-rata curah hujan masing-masing bulan
dengan periode minimal 10 tahun.
2. Normal curah hujan bulanan : Nilai rata-rata curah hujan masing-masing bulan
selama periode 30 tahun.
3. Standar normal curah hujan bulanan : Nilai rata-rata curah hujan masing-masing
bulan selama periode 30 tahun
Kriteria intensitas curah hujan :
 Hujan sangat ringan : Intensitas < 5 mm dalam 24 jam
 Hujan ringan : Intensitas 5 – 20 mm dalam 24 jam
 Hujan sedang : Intensitas 20 – 50 mm dalam 24 jam
 Hujan lebat : Intensitas 50 – 100 mm dalam 24 jam
 Hujan sangat lebat : Intensitas > 100 mm dalam 24 jam
Kriteria distribusi curah hujan bulanan :
 Rendah : 0 – 100 mm
 Menengah : 101 – 300 mm
 Tinggi : 301 – 400 mm
 Sangat Tinggi : > 400 mm

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum mengenai curah hujan adalah sebagai berikut ini:
1. Salah satu alat pengukur curah hujan yaitu Ombrometer
2. Curah hujan harian adalah curah hujan yang ada pada suatu wilayah selama satu   
    hari.
3. Nilai atau besaran curah hujan pada tanggal 28 mei di Agro Techno Park adalah
    21,4 mm.
4. Curah hujan harian akan memperoleh hasil jika terjadi hujan pada hari tersebut
5. Dalam pengukuran curah hujan harian perlu diperhatikan waktu pengukuran harus
    sudah cukup selama 24 jam.

B. Saran
Adapun ada beberapa hal yang perlu untuk kita perhatikan dalam pengukuran curah
hujan harian khususnya yaitu mengetahui cara penggunaan alat yang kita gunakan. Selain itu
juga, waktu yang kita jadwalkan dalam pengukuran curah hujan haruslah sesuai dan tepat
waktu pada saat pengukuran curah hujan. Dan yang tidak kalah penting adalah pemasangan
ataupun penempatan alat pengukur curah hujan haruslah sesuai pada tempat yang tepat yaitu
tempat yang terbuka atau terbebas dari naungan.

DAFTAR PUSTAKA
Http:  www.infoplease.com/ce6/weather/A0870158.html (diakses tanggal 2 mei 2011
pukul 19. 05 WIB)
Boer, Rizaldi. 2003.  Penyimpangan Iklim Di Indonesia. Makalah Seminar Nasional
Ilmu Tanah. KMIT Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Http : file:///C:/Users/UNSRI/Desktop/index.htm (diakses pada tanggal 3 mei 2011
pukul 07. 35 WIB)
Lakitan, Benyamin. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. Cetakan Ke-dua. Raja
Grafindo Persada. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai