Anda di halaman 1dari 351
Bunga Ww Gilang LOTUSCROWN déandra Bunga si Gilang Penulis: lotuscrown Proof: Diandra Kreatif Layout: Diandra Kreatif Cover: Diandra Kreatif Diterbitkan oleh: Diandra Kreatif Anggota IKAPI (062/ DIY/ 08) Jl Melati No.171, Sambilegi Baru Kidul, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta. Email: diandracreative@gmail.com Telpon: 0274 4332233, 485222 (fax) www.diandracreative.com Instagram: diandraredaksi, diandracreative Twitter: @bikinbuku Facebook: www.facebook.com/diandracreativeredaksi Cetakan 1, Desember 2018 Yogyakarta, Diandra Kreatif 2018 iv + 347 him; 14,5 x 20,5 cm ISBN: 978-602-336-836-5 Hak Cipta dilindungi Undang-undang All right reserved Isi di luar tanggung jawab percetakan Pee itu sesuatu yang sakral dilakukan sekali seumur hidup dengan seseorang yang benar-benar dicintai. Gilang juga ingin begitu, tetapi Gilang tak bisa berbuat apa-apa saat orang tuanya menjodohkan dengan Bunga, gadis tomboi yang sering ia sebut barbar, yang sama sekali bukan tipe wanita idamannya. Gilang yang sudah menaruh hati cukup lama pada Zeeta, yang tak lain adalah kakak Bunga hanya bisa pasrah atas perjodohan itu. Namun, Gilang tetap berupaya membuat Bunga menderita agar cepat lepas darinya dan ia bisa bersama Zeeta. Hingga tanpa sadar seiring berjalannya waktu justru membawa Gilang pada pilihan hatinya yang sesungguhnya. BUNGASTGILANG “Karena hati tidak pernah berbohong, tetapi mata yang memandang sering menipu. apa yang terlihat.” Hidup itu sulit ditebak. Sepertihalnyaperjodohan yang dilakukan orang tuanya antara dirinya dan Gilang yang berhasil mengubah hidup Bunga 180 derajat. Bunga tahu Gilang tertarik pada kakaknya, menginginkan kakaknya, bukan dirinya yang tomboi, yang tidak seanggun apalagi sebanding dengan kakaknya. Bunga terima itu walau tetap menyentil hati, sebab sejak awal ia sudah terpesona pada Gilang, Seiring berjalannya waktu Bunga pun semakin menaruh hati pada Gilang. Hingga suatu kenyataan pahit menghampiri, membuat Bunga harus memutuskan pergi dari hidup Gilang. “Meski hidup itu sulit ditebak, tapi takdir itu nyata. Karena takdir yang membawa bagaimana akhir dari ceritamu,” Gilang Pratama Mahendra ‘Aku tertarik pada putri sulung Om Ramlan, Zeta. Kupikir Zeeta lah yang akan dijodohkan denganku, bukan gadis barbar itu. Di malam perjodohan kami saja dia sudah berani meninju wajahku. Astaga! Apa gadis seperti itu yang akan jadi istriku? Bunga Naura Hermawan ‘Aku terkejut dijodohkan dengan Gilang Mahendra. Aku tahu dia tertarik pada Kak Zeeta bukan padaku, dan aku sadar Kak Zeeta memang jauh lebih cantik dariku. Aku hanya gadis tomboi yang tidak ada apa-apanya dibanding kakakku sendiri. Jadi, apa dia harus mengataiku? Mengataiku gadis barbar, selalu membandingkan aku dengan Kak Zeeta dalam hal apa pun. Aku sangat kesal! Tapi sebelumnya dia tak tahu aku sempat terpesona pada ketampanannya. *POV Bunga.” emua orang selalu membanding-bandingkan aku dengannya, kakak kandungku sendiri. Namanya Zeta, dia lebih tua empat tahun dariku. Profesinya model yang sedang naik daun. Semua orang mengelu-elukannya. Dia memang cantik, putih bak iklan body lotion ternama. Well, sebenarnya aku tidak cemburu. Hanya saja, aku kesal kenapa selalu dibandingkan. Dia ya dia, aku ya aku. That's it! Banyak yang bilang kalau aku ini tomboi. Kuakui aku memang suka memakai kemeja longgar, ripped jeans, dan sepatu. Aku juga sangat menyukai boxing dan mengendarai motor besar sejenis Harley Davidson. Sangat jauh berbeda dengan Kak Zeeta, dia begitu feminin dengan gaun-gaun mahal yang terus melekat di tubuh rampingnya. Tak jarang mereka mengatakan langsung padaku kalau aku ini tidak {OTUSCrOWN secantik, seanggun, dan semenawan Kak Zeeta. Memangnya aku peduli? “Serius kamu kayak gini?” tanya Kak Zeeta yang sudah cantik dengan gaun malamnya yang berwarna biru laut. Dia meneliti tubuhku dari atas sampai bawah. “Memang kenapa sih, Kak? Kok heran aku pakai gini. Kan emang biasanya gini’ “Ya ampun, Bunga! Ini kita mau makan malam sama keluarga teman bisnis Papa. Kenapa kamu malah kayak gini? Mama kan udah naruh gaun di kamarmu. Kok nggak dipakai?” tanya Mama yang berjalan menghampiri kami. Ekspresi wajah Mama tampak terkejut, dan sekarang mata Mama pun sudah sebesar labu. Oh ya ampun! “Tapi Ma, Bunga nggak nyaman pakai gituan.” “Mama nggak mau tahu, kamu pokoknya harus ganti sekarang. Papa sama Mang Wawan udah nunggu di mobil, tuh.” “Tapi, Ma...” “Se-ka-rang!” Kalau nyonya besar yang bawel sudah begini, se-tomboinya aku kata orang-orang, mana berani membantah Mama. Dengan kesal aku naik ke atas, lalu masuk kamar dan langsung ganti baju dengan gaun malam berwarna maroon yang sudah Mama siapkan khusus untukku malam ini. Kak Zeeta pun bantu memoleskan make up di wajahku. Lima belas menit perjalanan, akhirnya kami sampai juga di tempat tujuan. Di sana sudah berdiri menunggu sepasang suami istri yang seumuran Mama Papa, dan juga ada Mas Gilang. Aku pernah 3 BUNGASTGILANG beberapa kali bertemu dengannya di kantor Papa. Perusahaan mereka bekerja sama dengan perusahaan milik Papa. Seperti biasa dia kelihatan tampan, kali ini dengan kemeja abu-abu yang dibalut jas berwarna hitam. Ya, Mas Gilang itu tampan dan mapan. Tipe pria sempurna yang banyak dicari oleh wanita. Astaga! Kenapa aku jadi memujinya terus sih? “Hai, Zeeta.” Mas Gilang menyapa Kak Zeeta dengan senyumnya yang menawan sambil mengulurkan tangan. “Hai, Mas Gilang,” balas Kak Zeeta tersenyum lalu menerima uluran tangannya. Mama dan Papa serta orang tua Mas Gilang sudah mengambil tempat duduk dan entah membicarakan apa setelahnya. Posisi kami bertiga masih berdiri dan saling berhadapan. Hanya Kak Zeeta saja yang disapa oleh Mas Gilang, bahkan aku sama sekali tak dilirik olehnya. Nasib muka upik abu gini nih! ARR Setelah makan malam dimulai, aku sempat melirik ke arah Mas Gilang yang curi-curi pandang pada Kak Zeeta. Sementara aku masih setia mencomoti semua makanan yang masih ada di atas meja. ‘Aku memang sejenis perempuan rakus yang tidak khawatir dengan bentuk tubuhnya. “Papa aja yang ngasi tahu, Pa,” bisik Mama yang masih bisa tertangkap oleh indra pendengarku. Sontak aku menoleh ke arah mereka. Mama kelihatan begitu bersemangat. Ngasi tahu apaan sih? Jadi penasaran, tanyaku dalam hati. {OTUSCrOWN “Iya, Pak Ramlan saja yang beritahu anak-anak kita,” balas papanya Mas Gilang. Mama sama mamanya Mas Gilang malah senyum-senyum seperti anak ABG lagi double date saja. “Begini, kami sudah sepakat...,” ucap Papa menggantung. Semua mata kini sudah fokus hanya ke Papa. “Kami akan menjodohkan Gilang dan Bunga,” lanjut Papa dengan begitu tenangnya. Apa???!! Sontak aku tersedak makanan dalam mulutku sendiri. Ubhhkk... aku butuh minum sekarang! Orang tuaku dan orang tua Mas Gilang malah senyam-senyum menggelikan begitu. Mereka tidak tahu apa, gadis belia sepertiku bisa gagal jantung mendengar berita ini?! Menyebalkan sekali. “Ini minum dulu, yang anggun dong untuk malam ini aja.” Kak Zeeta meraih segelas air mineral dan langsung memberikannya untukku. Ya ampun, demi apa Papa menjodohkanku dengan Mas Gilang? Aku ini baru dua puluh satu tahun. Ayolah! Aku butuh senang-senang dan melanjutkan studi $-2, kan? Kulirik sekilas Mas Gilang yang berubah kaku, dari raut wajahnya sepertinya ia sangat terkejut juga. Lagian siapa yang tidak terkejut dijodohkan tiba-tiba begini? Padahal kan ini bukan lagi zamannya Siti Nurbaya! Huh, kupikir ini hanya makan malam biasa antara keluarga pebisnis yang sedang bekerja sama. Aku tak tahu ternyata makan malam ini adalah acara perjodohanku dengan Mas Gilang. Tahu gitu, aku tidak akan mau ikut kemari. “Tapi Pa, Bunga masih muda.” Aku mencoba untuk menolak. BUNGASTGILANG “Jadi kalau kamu masih muda nggak bisa nikah, gitu? Gilang kan pria baik dan udah mapan. Apa kurangnya, Bunga? Dia bisa bimbing kamu jadi wanita sesungguhnya,” potong Mama langsung. Apaan sih Mama? Orang aku bicara sama Papa, yang nyahut malah Mama. Bawel! Aku menggeram dalam hati. “Bunga, ini yang terbaik. Percaya sama Papa,” ucap Papa dengan senyum hangatnya sebelum aku protes lagi. Seketika bahuku turun dan aku yang melemah tak bisa protes langsung bersandar ke kursi dengan wajah ditekuk. Kenapa bukan Kak Zeeta saja? Firasatku mengatakan kalau Mas Gilang itu tertarik dengan Kak Zeeta. Tunggu, rasanya ada sesuatu yang tidak beres di dadaku dengan pernyataanku barusan. Apa itu? AAR Kulirik Mas Gilang yang berada di sampingku sedang menyetir dengan tatapan lurus ke depan. Usai acara makan malam tadi, mereka memaksaku masuk mobil Mas Gilang untuk diantar pulang. Padahal kan lebih gampangnya aku ikut mobil Papa, tanpa harus merepotkan orang lain. Justru tadi Mama bilang, “Nggak ngerepotin kok, kan sama calon suami sendiri.” Wuihhh, Mama memang paling bisa bikin aku meradang! “Oh ya, Mas Gilang kenapa nggak nolak sih tadi?” Kataku membuka pembicaraan. “Memangnya kalau aku nolak mereka mau nerima?” Balas Mas Gilang dengan ekspresi wajah yang super datar. “Aku sama sekali nggak nyangka, Om Ramlan nyebut namamu bukannya Zeeta.” {OTUSCrOWN “Kalau sukanya sama kak Zeeta, bilang aja tadi. Biar mereka tahu.” Entah kenapa aku jadi sewot setelah mendengar langsung jawaban Mas Gilang. “Kamu sama Zeeta itu beda banget,” katanya. Lagi, aku dibanding-bandingkan dengan Kak Zeeta. Apa tidak ada topik lain? “Kak Zeeta model, cantik, putih, mulus, sementara aku nggak terawat, tomboi, dan pengangguran. Itu kan maksudnya?” tanyaku yang mulai terpancing. “Zeeta lebih cocok dijadiin istri, bukan gadis barbar begini,” gumam Mas Gilang yang masih bisa didengar jelas oleh telingaku. Bubll! Langsungku layangkan satu tinju ke wajahnya tanpa diduga-duganya sama sekali. Ini kebiasaanku saat ada orang lain yang mengusikku. Dia terkejut bukan main dengan wajah yang memerah siap mengeluarkan asap dari atas kepalanya. Salah dia sendiri mengataiku gadis barbar. Aku pun sudah bersiap menunggu balasan tinju darinya. Aku bisa bela diri, bukan gadis menye-menye yang suka menangis di saat seperti ini. Dan tiba-tiba Mas Gilang menghentikan mobilnya ke tepi. “Kamu turun.” “Apa?” “Tarun,” katanya dengan wajah datar menahan kesal. Dia pikir aku tidak bisa pulang sendiri? Meski di sini tidak ada taksi, angkutan umum pun tidak masalah bagi ku. Oke, finel!! “Oke!” Aku keluar dari mobilnya kemudian menutup pintu mobil dengan keras. Setelah itu dia langsung tancap gas meninggalkanku. Sia!!! *POV Gilang* walnyaaku sangat heran kenapa tiba-tiba Papa mengajakmakan alam bersama keluarga Om Ramlan, bukan membahas bisnis seperti sebelumnya melainkan menjodohkanku dengan salah satu putri Om Ramlan. Memang, perusahaan kami dan perusahaan Om Ramlan sudah beberapa tahun ini bekerja sama. Sehabis pulang dari kantor, aku pun langsung mengarahkan mobilku menuju restoran yang Papa janjikan tersebut. Sesampainya di sana, aku belum melihat ada satu pun dari anggota keluarga Om Ramlan. Sekitar 10 menit menunggu, akhirnya Om Ramlan dan keluarganya datang. Kupandangi Zeeta yang tampil cantik dan anggun seperti biasanya. Ketika dia tersenyum, sangat cantik, batinku penuh kekaguman. Putri Om Ramlan yang satu lagi bernama Bunga. Malam ini dia kelihatan berbeda dari biasanya, tapi tetap tak menutupisisi maskulin {OTUSCrOWN dalam dirinya. Seharusnya dia bisa sefeminin kakaknya. Lagian, buat apa memikirkannya. Langsung saja kualihkan pandanganku pada Zeeta lagi, lalu menyapanya. Dia benar-benar calon istri idaman! RRR “Begini, kami sudah sepakat,” Om Ramlan membuka pembicaraan usai makan malam. Mungkin sekarang saatnya Om Ramlan mengumumkan perjodohanku dengan Zeeta. Aku menahan senyumku agar tak semakin mengembang. “Kami akan menjodohkan Gilang dan Bunga,” lanjut Om Ramlan tersenyum. Apa???! Sontak aku terkejut, bola mataku nyaris keluar dari tempatnya mendengar nama Bunga bukannya Zeeta. Apa-apaan ini?! Kenapa bisa jadi Bunga? Si gadis barbar ini. Kupikir aku akan dijodohkan dengan Zeeta. Dilihat dari segi umur dan pekerjaan, Zeeta lah yang sudah cocok ke pelaminan. Rasanya aku ingin meninju sesuatu saat ini. Sial-sial-sial, aku terus mengumpat dalam hati. “Tapi Pa, Bunga masih muda.” Kudengar Bunga mulai berbicara pada papanya. Aku tak menoleh ke arahnya sama sekali. Aku benar- benar tak tahu harus melakukan apa saat ini. Ingin rasanya aku menolak mentah-mentah perjodohan ini. Namun, pada akhirnya kami tetap harus merelakan perjodohan ini juga meski dengan berat hati. Tidak ada gunanya melawan orang tua, apalagi kulihat Mama sangat menyenangi Bunga. Sedari tadi Mama terus mengusap lembut rambut Bunga sambil tersenyum puas. BUNGASTGILANG Sudah diputuskan pertunangan kami akan dilaksanakan minggu depan. Aku tidak bisa membayangkan memperistri gadis barbar ini. Dia memang tidak pernah menggangguku, tapi dari penampilannya setiap hari saja membuatku terganggu. HAH Aku dan Bunga berada di dalam mobilku dalam perjalanan pulang. Mereka memaksaku untuk mengantarnya. Dia menanyakan kenapa aku tidak menolak perjodohan ini, lalu kujawab seadanya saja. Dan ketika kubilang Zeeta lebih dibanding dirinya, dia sepertinya kesal. Kekesalannya naik setelah aku tak sengaja bergumam mengatakan dia gadis barbar. Dia melayangkan satu tinju ke pipi kiriku. Kuakui tinjuannya sakit. Dia benar-benar seperti tukang pukul yang disewa rentenir untuk menagih utang. Daripada aku membalasnya karena dia perempuan, kuputuskan untuk menurunkannya di jalan sepi taksi begini. Dia langsung turun dari mobil dan menutup pintunya dengan keras. Astaga! Seperti ini gadis yang akan jadi istriku? Mungkin aku akan banyak makan hati. Kenapa takdirku begitu buruk, Tuhan? FRR Keesokan paginya aku berangkat ke kantor seperti biasa. Tidurku semalam benar-benar tidak nyenyak. Tidak nyenyak sama sekali. Aku terus kepikiran gadis barbar itu. Ia jadi mimpi burukku. Tidak bisakah Zeta saja yang dijodohkan denganku? {OTUSCrOWN Ketika aku memasuki ruangan Papa, di sana kulihat dia, si gadis barbar tengah duduk di sofa yang berseberangan dengan Papa. Papa pun terlihat santai saja melihat dia yang tomboi seperti ini dengan kemeja merah dan celana jeans serta sepatu ketsnya. Bukan memakai rok atau terusan seperti Zeeta yang terlihat anggun dan keibuan. Ya, memang wanita selayaknya seperti itu. “Gini Lang, Papa mau jadiin Bunga sebagai sekretaris kamu,” kata Papa enteng. Kejutan apa lagi ini? Pikirku geram. “Tapi Bunga menolak, dia lebih memilih dari bawah dulu. Kerja di bagian marketing,” lanjut Papa yang kemudian menoleh dan tersenyum pada si gadis barbar. Syukurlah. Kalau dari bawah kenapa dia tidak jadi office girl saja? Sehingga kecil kemungkinan kami bertemu setiap saat. Lihatlah, dia sedang memasang wajah yang begitu datar ketika menoleh dan menatapku sekilas lalu. Ck! Mengesalkan sekali gadis satu ini! “Terserah Papa aja gimana,” balasku mengambil tempat duduk di samping Papa. “Bunga, ada yang mau ditanyakan?” “Hm... gini Om, Bunga boleh kerja mulai hari ini nggak?” tanya si gadis barbar. “Tentu boleh. Gilang temani Bunga ke bagian marketing, sekalian kamu kasih tahu Pak Jaka, Bunga bisa kerja mulai hari ini juga.” “Iya, Pa.” HM BUNGASTGILANG Kami tengah berada di dalam lift menuju lantai tiga. Sedari tadi Bunga tidak mengeluarkan suaranya. Kenapa dia jadi pendiam begini? Biarlah, lagian aku juga tidak berniat berbasa-basi dengannya. Seharusnya dia yang minta maaf karena sudah meninjuku, tapi sepertinya tidak ada rasa bersalah dalam dirinya. Ya sudah lah! Ketika baru saja keluar dari lift, kami berpapasan dengan Denis sepupuku. “Mau ke mana, Lang?” Denis memperhatikan Bunga yang berdiri di sampingku tengah memasang wajah masamnya. “Ke bagian marketing, jumpa Pak Jaka. Ada karyawan baru.” “Oh, ini karyawan barunya? Namanya?” “Bu... nga,” kataku dengan berat hati. Denis sudah tahu tentang perjodohanku, aku sudah menceritakan kesialanku itu padanya. Dia hanya bisa tergelak dan menikmati ekspresi wajahku yang muram saat itu. Benar-benar sepupu yang menyebalkan dan payah, bukan? “Ah, ternyatacalonistrimu, Lang?” Denis memberikan senyuman pada Bunga. “Hai, salam kenal. Aku Denis sepupu Gilang.” “Salam kenal. Bunga,” kata si gadis barbar tersenyum juga, lalu mereka bersalaman. “Gini aja Lang, gimana kalau aku aja yang ngantar Bunga ke sana? Soalnya aku juga ada perlu sama Pak Jaka,” tawar Denis. Oh, dengan senang hati aku iyakan. Aku pun mengangguk mantap. Kemudian mereka pergi dan aku kembali ke ruanganku. Mengerjakan tugasku, segala tumpukan berkas yang ada di atas meja sudah menanti-nanti untukku sentuh. Sehabis jam makan n {OTUSCrOWN siang nanti, aku ada meeting lagi bersama Klien di luar. Ya, beginilah aktivitasku. Aku tidak mengeluh, sebab aku mencintai pekerjaanku. RRR Saat aku keluar dari ruangan karena sudah waktunya makan siang, aku berpapasan dengan Zeeta di depan pintu. Keningku mengernyit. Kenapa dia bisa ada di sini? “Ada apa Zee? Mau jumpa Bunga?” tanyaku. Kutatap matanya dengan segenap perasaan yang kupunya. Kali ini Zeeta memakai terusan berwarna hijau tosca berlengan sampai siku dengan rambut panjangnya yang digerai. Cantik! “Bukan, tapi Mas,” katanya. Menjumpaiku? Lagi-lagi aku mengernyit semakin heran. “Hm... gini Mas, aku mau nanyak, Bunga kerja jadi sekretaris Mas, ya?” Kenapa Zeeta jadi penasaran tentang perkerjaan Bunga, sehingga dia repot-repot datang kemari bukannya menghubungi Bunga atau bagian kantor saja untuk pertanyaan semacam ini? Apa mungkin dia khawatir pada adiknya itu? Sudah pasti di sini aman, si barbar tidak akan kenapa-kenapa. Justru aku takutnya karyawanku di sini yang akan kenapa-kenapa karena bisa saja dipukul olehnya. “Bukan, Bunga kerja di bagian marketing. Dia sendiri yang milih.” “Oh syukurlah, Mas.” Zeta terlihat lega. Ada apa ini? Apa mungkin Zeeta...? “Aku mau kamu aja yang jadi calon istriku,” kataku to the point sambil meraih kedua tangannya dan menggenggamnya erat. Kulitnya BUNGASTGILANG sangat lembut dan halus, aku merasa tenang sekaligus nyaman. Zeeta tak tampak terkejut. Bisaku lihat ada seulas senyuman di wajah cantiknya. “Aku tertarik sama kamu, menginginkan kamu, bukan Bunga,” lanjutku mantap sambil menatap lekat pada mata indahnya. “Mas aku...” Brakk!!! Seketika mataku mencari darimana asal suara yang mengganggu itu. Ternyata ... di sana, tak begitu jauh dari tempat kami berdiri ada Denis dan juga ... Bunga. “Maaf Pak,” kata Bunga dan mulai memungut buku yang berserakan di atas lantai itu. Mungkin dia tidak sengaja menabrak salah satu karyawan. Kulihat pakaiannya sudah berganti seperti karyawan marketing lainnya. Kini Bunga memakai rok selutut, kaki jenjangnya terlihat. Jika begini, dia kelihatan lebih baik meski masih dengan sepatu ketsnya. Tapi tunggu dulu, apa mereka berdua mendengar percakapanku dengan Zeeta barusan? Lalu bagaimana sekarang? *POV Bunga* ku menatap lurus cermin di depanku. Di sana tampak seorang ‘gadis berdiri dibalut gaun elegan berwarna dusty pink berlengan panjang. Wajah dipolesi make up yang senada dengan warna gaunnya. Rambutnya pun diikat ke atas dengan sedikit hiasan dan memperlihatkan lehernya yang jenjang digantungi berlian indah. Dia begitu cantik ... Apa dia itu aku?! “Bunga, ayo turun ke bawah!” suara Mama membuyarkanku yang sedang asyik bercermin. “Iya Ma,” jawabku. Ini adalah malam pertunanganku dengan Mas Gilang. Padahal calon tunanganku itu menyukai kakakku. Aku melihat dan mendengar sendiri ucapan Mas Gilang pada Kak Zeeta beberapa hari yang lalu di kantor, tapi aku berpura-pura tidak tahu-menahu. Bukannya aku takut BUNGASTGILANG pertunangannya batal. Bukan pula egois, justru aku bertahan karena Mama. Mama sangat antusias dengan perjodohan ini. Katanya, keputusan yang tepat menikahkanku dengan Mas Gilang. Harapan Mama aku akan bisa berubah seiring berjalannya rumah tangga kami nanti. Aku jadi tak tega melihat Mama sedih jika memutuskan perjodohan ini. Waktu itu saja Mama sempat berlinangan air mata saat menyuruhku bekerja di kantor Mas Gilang. Tujuannya untuk mendekatkanku dengan pria arogan itu. Awalnya memang Mama memaksaku untuk jadi sekretarisnya. Tapi setelah bicara dengan Om Andi—papanya Mas Gilang, aku minta kerja di bagian marketing saja. Sebelumnya aku sudah bilang pada Om Andi untuk merahasiakan perjodohan ini karena aku merasa tak enak dengan karyawan lain. Dibedakan dengan yang lainnya, aku tidak mau. Sekarang aku dan Mama sudah turun ke bawah, berada di tengah para tamu undangan. Mas Gilang berdiri gagah di depan sana mengenakan tuxedo hitam mahalnya yang terlihat sempurna di badannya. Dia sepertinya sedikit terkejut saat melihatku. Hm.. dia pangling? Hahaha tentu saja tidak! Pasti dia merasa aneh dengan gadis barbar ini. Meski sudah didandani, baginya aku masih tak secantik Kak Zeeta. Aku jauh di bawah Kak Zeeta, begitu. Sembari berjalan menuju tempat Mas Gilang, Mama terus memegangi lenganku dengan kuat. Mama takut aku jatuh karena high heels yang kupakai. “Gilang, Bunga cantik, yah?” Mama berujar ketika kami sudah di dekat Mas Gilang. Apaan sih Mama! Aku langsung memutar kedua ih {OTUSCrOWN bolamataku dengan malas. “Iya, Tante,” katanya tersenyum ke Mama, kemudian melihatku sekilas. Pasti dia tak ikhlas mengatakannya. Huh, aku pun mendengus lalu mencebik kesal ke arahnya. Siapa juga yang mengharapkan pujian darinya? Cih! Sejak di malam dia menurunkanku di jalan, aku belum pernah bicara lagi dengannya. Aku merasa kesal sekali. Bertambah pula dengan kenyataan dia sangat tertarik pada Kak Zeeta. Eh tunggu dulu, bukan aku cemburu. Pokoknya aku cuma kesal. Cuma kesal! Tak lama, acara tukar cincin pun dimulai. Setelah aku selesai memasangkan cincinnya di jari manis Mas Gilang, gantian kini gilirannya. Tak sengaja aku menoleh ke arah Kak Zeeta yang tampak seperti sedang menahan rasa kesal. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Atau jangan-jangan dia tertarik juga sama Mas Gilang, ya? AHH “Kalau kamu nggak bisa pakai heels, lebih baik jangan dipakai,” bisik Mas Gilang di telingaku. Sempat tercium olehku wangi maskulin khas pria dewasa dari tubuh Mas Gilang. Seperti ... mampu menghipnosis para wanita untuk berlarian menghamburkan diri ke dalam pelukannya. Astaga! Perumpamaan apa itu, Bunga? Abaikan saja! Kini lenganku merangkul lengan Mas Gilang, menyanggah tubuhku agar tak sampai jatuh karena high heels sialan ini. Kami pun berjalan bersisian menghampiri tamu undangan satu per satu yang tengah menikmati makanannya. Kami memang tidak mengundang karyawan kantor perusahaan Mas Gilang. Seperti v BUNGASTGILANG yang kukatakan tadi karena aku tidak mau mereka tahu perjodohan ini. Aku tak suka dibedakan jika mereka tahu aku calon istri Mas Gilang. Dan syukurnya keluargaku dan keluarga Mas Gilang setuju meski sementara. “Bikin susah aja.” Mas Gilang kembali berbisik di telingaku, yang terdengar seperti keberatan. Sontak aku mendongak menatapnya tajam. Aku bikin susah?! Cepat kulepas rangkulanku di lengannya. “Oke aku bisa sendiri!” kataku galak. Kami berjalan ke arah Mas Denis dan Kak Zeeta yang sedang bersama di ujung sana. Mas Gilang sampai lebih dulu sedangkan aku masih berjalan pelan menyeimbangkan langkahku. Sialnya sedikit lagi aku sampai di tempat mereka, high heels-ku menginjak ujung gaunku. Aku pun tak bisa menahan keseimbangan tubuhku lagi. Sepertinya aku akan jatuh. Mampuslah aku! “Kamu bikin susah aja,” bisiknya lagi yang kedua kali. Sial! Sial! Sial! Aku direngkuh oleh Mas Gilang. Kini aku berada dalam pelukannya. Wajahku tepat di depan dadanya yang bidang itu. Entah apa penyebabnya, tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya dan rasanya sulit sekali bernapas. Hahhh, aku kekurangan oksigen! Aku pun segera melepaskan diri dari Mas Gilang, lalu tak sengaja tatapan kami bertemu. Jujur, dia itu punya mata yang indah. Astaga! Aku semakin sulit saja bernapas dan wajahku tiba-tiba terasa menghangat. Huhh, apa yang terjadi padaku? Aku terus mengipasi wajahku dengan tanganku sendiri. “Kamu nggak papa?” Jangan kalian pikir pertanyaan itu keluar dari bibir Mas Gilang. Itu suara Mas Denis. Dia mengusap bahuku t {OTUSCrOWN sambil tersenyum lembut. “Aku nggak papa, Mas.” Aku berusaha menampilkan senyumku dan hasilnya kaku karena efek serangan jantung yang mendadak tadi. “Ya ampun Bunga. Kamu ini lucu banget, sih. Pakai heels aja nggak bisa.” Kak Zeeta tersenyum mengejek. “Loh, Kak Zeeta kan udah tahu kalau aku nggak bisa pakai ginian dari dulu.” Dahiku mengerut menatap Kak Zeeta. “Ohiya, ya. Kamu kan sukanya pakai sepatu kets. Mulai sekarang jangan pakai lagi ya? Nanti kasihan Mas Gilang punya istri tapi nggak bisa dibawa ke acara perusahaan.” Apa cuma aku di sini yang merasa Kak Zeeta seperti mengumumkan kejelekanku? Dia mau bilang kalau Mas Gilang bakalan malu memperistriku, gitu? Aku merasa sikap Kak Zeeta sangat berbeda padaku malam ini, tidak seperti biasanya. “Yaudah, dia bisa pergi sendiri!” jawabku cuek kemudian menoleh menatap Mas Gilang yang tengah memasang wajah datar berkesan dingin. “Nanti Mas Gilang diambil orang, loh.” Kak Zeeta memberi senyuman terbaiknya pada Mas Gilang. Sedangkan yang diberi senyum sepertinya sangat terpesona. Hell yah! “Ehem!” Mas Denis menginterupsi perdebatan kecil di antara kami. “Bunga, malam ini kamu kelihatan beda. Kamu cantik.” Mas Denis tersenyum, yang kubalas senyuman juga. Mas Denis itu baik padaku, jauh berbeda dengan Mas Gilang. Aku kenal dengannya beberapa hari yang lalu setelah bekerja di perusahaan Mas Gilang. Ternyata, mereka itu sepupuan. “Selamat atas pertunangan kalian,” kata Mas Denis. Mas Gilang hanya mengangkat bahunya dengan cuek. Tak luput senyum masam y BUNGASTGILANG terukir di wajahnya. Saat ini tanganku benar-benar gatal untuk meninjunya! “Perhatian semua. Maaf mengganggu,” terdengar suara papanya Mas Gilang. Semua orang yang ada di sini menatap ke arah beliau yang berdiri di ujung sana, melemparkan senyuman sembari salah satu tangannya menggenggam mikrofon. “Saya ingin mengumumkan pernikahan Gilang dan Bunga akan diadakan minggu depan,” lanjut beliau. Apa??? Minggu depan??!! Aku dan Mas Gilang sama-sama begitu terkejutnya. Kenapa semua serba mendadak begini? “Undangannya akan kami berikan secepatnya. Terima kasih.” Tepuk tangan semua orang terdengar seperti suara bom di telingaku. Apalagi Mama terlihat begitu girang, membuatku langsung memutar bola mata jengah. Mas Gilang sendiri memijat keningnya yang mendadak pening. Sementara Kak Zeeta tampak sangat kesal melihatku dan Mas Gilang, kemudian cepat dia pergi meninggalkan ruangan. Sedangkan Mas Denis tersenyum padaku, seolah memberi ucapan selamat. Oh ya ampun! *POV Gilang* Pe kini dikelilingi oleh para tamu undangan. Ya, malam ini pertunanganku dengan Bunga. Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu aku belum pernah bertemu dengan Zeeta lagi. Kami hanya bertukar nomor saja, tapi itu pun tidak ada komunikasi yang terjalin di antara kami. Jujur, aku memang masih menginginkan Zeeta. Syukurnya percakapanku dan Zeeta waktu itu tidak didengar oleh Bunga maupun Denis. Saat aku bertanya, mereka kompak mengatakan tidak mendengar apa pun. Kutatap Zeeta di ujung sana tampil cantik seperti biasanya. Pandangan kami bertemu, lalu melempar senyuman satu sama lain. Kemarin aku sengaja membeli sebuah majalah fashion, salah satu modelnya adalah Zeeta. Gambarnya sangat cantik di majalah itu, sama seperti aslinya. BUNGASTGILANG “Kamu [ihatin siapa, hm? Zeeta?” tanya Mama yang berdiri di sampingku dan berhasil memutuskan pusat perhatianku. “Dengar Gilang, kamu itu calon suami Bunga. Jangan pernah berpikiran untuk dekatin Zeeta. Mama nggak suka menantu seorang model. Citra model itu buruk!” ujar Mama dengan mata melototnya. “Ma...” “Awas aja kalau kamu dekatin dia. Mama bakalan bilang ke Papa untuk menarik semua fasilitas kamu dan coret nama kamu dari pewaris tunggal,” ancam Mama dengan wajah galaknya. “Ma, tap ....” “Lihat itu menantu Mama! Bunga cantik banget ...,” ucap Mama kagum. Aku menoleh mengikuti arah pandang Mama. Ya, kuakui malam ini Bunga terlihat berbeda dan ... sedikit cantik. Buru-buru langsung kualihkan pikiranku, kugelengkan kepalaku agar gadis itu tak menguasaiku. Sampai dia dan mamanya sudah berada di dekat kami. Kemudian tak lama acara tukar cincin pun dimulai yang disambut tepuk tangan para tamu. RR “Kalau kamu nggak bisa pakai heels, lebih baik jangan dipakai. Bikin susah aja,” bisikku padanya yang sedang merangkul lenganku. Kami berjalan menyapa para tamu setelah sesi tukar cincin tadi. Dia merespons ucapanku dengan melepaskan rangkulannya dan menatapku tajam tanda tak suka. Terserah! Kubiarkan saja dia jalan {OTUSCrOWN sendiri. Aku pun lebih dulu sampai di sana, bergabung bersama Denis dan Zeeta. Meninggalkan Bunga di belakang. “Hai,” sapaku pada Zeeta. “Hai, Mas Gi ....” ucapan Zeeta terpotong oleh kelakuan Bunga yang sukses membuatku kaget karena dia hampir jatuh di hadapan semua tamu. Langsung saja kurangkul pinggangnya, meraihnya dalam dekapanku. Hah.. anak nakal ini! “Kamu bikin susah aja,” bisikku padanya menahan kesal. Bisa kudengar jantungnya berdetak kencang. Apa dia benar-benar takut jatuh? “Kamu nggak papa?” tanya Denis pada Bunga yang telah melepaskan diri dariku. Dia mengipasi wajahnya. Dia kelihatan sesak. “Aku nggak papa, Mas,” jawabnya mulai santai. “Ya ampun Bunga. Kamu ini lucu banget sih. Pakai heels aja nggak bisa,” kata Zeeta. “Loh, Kak Zeeta kan udah tahu kalau aku nggak bisa pakai ginian dari dulu,” jawab Bunga sewot. Sepertinya perdebatan kecil antarsaudara. “Oh iya, ya. Kamu kan sukanya pakai sepatu kets. Mulai sekarang jangan pakai lagi ya? Nanti kasihan Mas Gilang punya istri tapi nggak bisa dibawa ke acara perusahaan.” Zeeta terdengar seperti sedang cemburu. Ini sinyal bagus untukku! “Yaudah, dia bisa pergi sendiri!” ucap Bunga. Kenapa aku tidak terima Bunga si gadis barbar terlihat santai cuek saja? “Nanti Mas Gilang diambil orang, lob.” Apa orang itu kamu, Zee? tanyaku dalam hati. “Ehem! Bunga, malam ini kamu kelihatan beda. Kamu cantik.” Denis menengahi percakapan kedua adik kakak itu. Dia tersenyum dan si gadis barbar tersenyum juga. BUNGASTGILANG “Selamat atas pertunangan kalian,” ucap Denis yang kini menoleh padaku, Aku mengangkat bahuku malas. “Perhatian semua. Maaf mengganggu. Saya ingin mengumumkan kalau pernikahan Gilang dan Bunga akan diadakan minggu depan. Undangannya akan kami berikan secepatnya. Terima kasih,” ucap Papa di depan sana, Aku memijat keningku yang mendadak pening setelah mendengarnya. Ya Tuhan... FRR Seperti biasa pagi ini aku ke kantor dengan mengendarai mobil kesayanganku. Minggu depan aku akan menikah dengan Bunga. Sudah kuputuskan kalau kami nanti akan tinggal di apartment-ku saja. Ini pernikahan yang tak akan bertahan selamanya. Cepat atau lambat kami akan tetap bercerai. Jadi buat apa membangun rumah impian? Ah, belum menikah saja aku sudah ingin bercerai darinya. Brukl! Sepertinya ada yang menabrak bagian belakang mobilku ketika baru saja kuparkirkan. Sial! Ini mobil kesayanganku. Berani- beraninya orang yang menabrak mobilku! Langsung saja aku turun dari mobil dan tergesa-gesa menemui orang tersebut. “Apa-apain ini2!!” bentakku pada si penabrak yang menunggangi motor Harley- nya. Ketika dia membuka helmnya. Double Shit! Pelakunya si gadis barbar. Emosiku pun jadi semakin naik hingga mencapai level tertinggi. “Kamu!” Geramku mengacungkan jari telunjuk ke arahnya. Bunga turun dari motornya menghampiriku. Kemudian dia bergerak memeriksa mobilku yang lecet. “Lecet sedikit, nggak parah, {OTUSCrOWN kok. Biar aku bawa ke bengkel aja. Nggak usah marah-marah sampai urat lehermu mau putus gitu,” katanya santai. Sial! Dia memang ahlinya bikin aku darah tinggi. “Sedikit atau banyak, kamu udah bikin mobilku rusak!” bentakku. Aku tak bisa menahan emosiku lagi. “Nggak usah bentak-bentak!” katanya tak mau kalah. Para karyawan yang lewat pun berhenti sebentar dan melihat ke arah kami sebelum benar-benar masuk ke dalam gedung kantor. “Kan aku udah bilang aku bakalan bawa ke bengkel. Nggak usah berlebihan!” ucapnya. Gadis nakal ini benar-benar menguji kesabaranku! “Ada apa ini?” Denis tiba-tiba sudah ada di antara kami. “Dia nabrak mobilku!” “Aku nggak sengajal” “Tapi tetap aja kamu nabrak, terus mobilku jadi rusak kan?!” “tu nggak rusak. Cuma lecet, Tuan Gilang!” “Kam ....” ucapku terputus saat Denis menarikku menjauhi Bunga. “Udah, Lang. Bunga kamu masuk aja dan mulai kerja,” kata Denis. Bunga menatapku sinis sebelum masuk ke dalam. HRM “Dia itu musibah, Den!” kataku setelah kami sudah berada di ruanganku. Emosiku tak juga menurun. “Oke, sabar Lang. Kamu biasanya nggak gampang emosi. Aku tahu itu mobil kesayanganmu. BUNGASTGILANG ‘Aku juga yakin Bunga nggak sengaja. Udah lupain aja. Sepuluh menit lagi kita ada meeting.” Benar kata Denis. Belakangan aku jadi mudah tersulut emosi, sementara orang-orang di sekitarku mengenal aku yang selalu tenang. “Lagian minggu ini kalian bakalan jadi pasangan yang sah kan?” Denis tersenyum. Sial! Denis malah menggodaku. Aku hanya menatapnya malas, lalu meraih gelas berisi air putih yang ada di atas. mejaku. Meminumnya sekali tegukan. Setelah menikah nanti akan kuberi pelajaran gadis barbar itu! Usai meletakkan gelasnya di atas meja, kuraih gagang telepon dan menghubungi nomor kantor bagian marketing. “Pak Jaka, untuk seterusnya potong lima puluh persen gaji karyawan bernama Bunga. Katakan langsung padanya,” ucapku tegas tanpa bertele-tele. Setelah mengatakannya, cepat kuputuskan sambungan teleponku pada Pak Jaka. Denis yang duduk di sofa menatapku penuh tanda tanya dengan keningnya yang mengerut. Sekarang Bunga masih bisa berleha-leha menerima uang dari Om Ramlan. Pasti dia akan bersikap biasa saja atas pemotongan gaji ini. Tapi, kupastikan setelah menikah nanti semua akan berubah seratus delapan puluh derajat. “pp unga benar-benar kesal dengan ulah Gilang. Selain Gilang yang sudah membentaknya di parkiran karena ketidaksengajaannya menabrak mobil pria arogan itu, ditambah lagi sekarang Pak Jaka mengatakan bahwa Gilang sudah memotong lima puluh persen gajinya setiap bulan. Dasar pria arogan menyebalkan! Bagi Bunga tidak masalah seberapa besar gajinya, toh papanya masih bisa membiayai kebutuhannya. Hanya saja, ia tidak suka dengan sikap arogansi calon suaminya itu. “Dasar!” umpat Bunga setelah keluar dari ruangan Pak Jaka dan kembali ke mejanya. “Bunga,” panggil seseorang yang berada di sebelah meja kerjanya. “Habis keluar dari ruangan Pak Jaka kamu kelihatan kesal banget, kenapa?” tanya gadis itu sembari memperbaiki letak kacamata besarnya. Dia itu Sri Ningsih yang berpenampilan kuno dari kampung yang mencoba mengadu nasib di ibu kota. Dia satu- satunya yang bisa disebut teman di kantor ini bagi Bunga. BUNGASTGILANG “Gajiku tiap bulannya dipotong lima puluh persen. Gimana aku nggak kesal coba?” Bunga mengepalkan tangannya. “Sekarang aku benar-benar pengen mukul dia, Sri!” Bunga langsung memukul mejanya walau tak kuat, tapi cakup menggambarkan kekesalannya. “Astaga Bunga! Kamu nggak boleh mukul Pak Jaka. Dia udah berumur. Pamali, istigfar,” ucap Sri seraya mendekati Bunga lalu mengusap-usap pundaknya. “Sriii....” Bunga menarik napas dalam- dalam. “Yang motong gajiku itu Pak Gilang,” lanjutnya sewot. Ia langsung membayangkan wajah Gilang dan ingin sekali melayangkan tinjunya ke wajah pria arogan itu hingga tak berbentuk. “Pak Gilang? Tapi kenapa?” Sri tampak berpikir, tak yakin dengan yang didengarnya. “Dia...” “Kenapa tiba-tiba Pak Gilang mau repot-repot ngurusin bagian marketing?” Gumam Sri memotong ucapan Bunga dan masih tampak berpikir keras untuk mencari jawabannya. “Sri, it “Aneh, Biasanya Pak Gilang kan ora ....” “Kalau kamu ngoceh terus, nggak ngizinin aku buat ngejawab. Mending kamu balik ke mejamu dan kerja Sri!” Bunga menatap Sri jengkel, lalu memperbaiki posisi duduknya lurus ke depan dan mulai beroperasi dengan komputernya. “Oke. Nanti pas makan siang kamu harus cerita ke aku, ya?” Ucap Sri dengan senyum konyolnya dan segera kembali ke mejanya. {OTUSCrOWN Gilang, Pak Jaka dan Sri benar-benar perpaduan yang pas untuk merusak mood Bunga pagi ini. RRR Meeting yang berlangsung sejak pagi berakhir di jam makan siang. Gilang dan Denis pun memutuskan untuk makan. Kantin untuk petinggi dan karyawan biasa bersebelahan, dipisahkan oleh dinding kaca tebal tembus pandang. Hanya saja kantin petinggi perusahaan itu lebih elit dan full AC. Tak sengaja arah pandang Bunga dan Gilang bertemu saat sedang menikmati makan siang mereka masing- masing, Keduanya mengirimkan sinyal-sinyal perang satu sama lain. “Udah lah, Lang. Apa untungnya kamu dendam gitu. Kayak mau makan Bunga hidup-hidup.” Denis mengikuti arah pandang Gilang sambil menyesap kopi hangatnya. “Aku nggak mau makan dia, Den. Tapi mau mengulitinya.” Gilang tersenyum sinis. Ia masih belum bisa terima kalau mobil kesayangannya ditabrak, apalagi oleh Bunga. Meski itu hanya goresan. “Jangan terlalu benci, nanti jatuh cinta baru tahu rasa.” “Aku? Jatuh cinta sama gadis barbar itu?” tanya Gilang sembari menunjuk dirinya sendiri, memastikan maksud ucapan Denis yang dijawab anggukan mantap oleh sepupunya itu. “Yang benar aja, Den! Seandainya tinggal dia perempuan satu-satunya di bumi ini. Aku bakalan milih melajang dibanding nikahin dia!” seru Gilang. “Tapi kenyataannya minggu ini kamu bakal nikahin dia,” goda Denis. “Sial! Jangan ngejek terus, Den!” Gilang menatap Denis dengan kesal. Denis malah tergelak melihat wajah kesal sepupunya itu. q BUNGASTGILANG Disisilain, Bunga merasa selera makannya rusak setelah melihat Gilang. Alhasil, ia hanya memakan sedikit saja makan siangnya. “Ayo, balik Sri!” ajaknya. “Loh, tumben kamu makannya sedikit?” tanya Sri sambil meraih tisu yang ada di atas meja untuk menghapus keringatnya yang berkeluaran karena efek kebanyakan makan. “Aku nggak selera,” jawab Bunga dengan nada kesal. “Loh, kok bisa? Kan biasanya sambel cumi-cumi kesukaanmu, Bung.” “Lah oh lah Joh. Dan stop manggil aku Bung, Sri!” Bunga menatap Sri sebal. “Kamu aja manggil aku Sri. Aku kan bisa dipanggil Ningsih, Bung. Lagian kamu itu gadis macho jadi cocok dipanggil Bung.” Sri terkikik menggoda Bunga. Bagaimanapun, Sri bersyukur dan sangat senang bahwa Bunga bisa menjadi temannya. Lebih tepatnya, mau berteman dengannya. “Udah deh. Aku lagi nggak mood ladenin kamu hari ini. Benerin tuh kaca spion kamu,” tunjuk Bunga pada kacamata Sri yang menggantung di dahinya. Bunga pun mulai beranjak dari kursinya. Ketika berbalik, ia tak sengaja menabrak seseorang dan membuat mangkuk yang dibawa orang itu jatuh pecah hingga percikannya mengotori rok putihnya. “BUNGAI!!!!” teriak wanita itu saking kesalnya. Semua orang pun melihat ke arah mereka, termasuk Gilang dan Denis. “Maaf, Bu. Bunga nggak sengaja, Bu,” ucap Sri untuk menenangkan Sinta si tangan kanan Pak Jaka. Sinta memang dari {OTUSCrOWN awal amat anti pada Bunga dan juga Sri. Dua makhluk aneh baginya. Sementara itu, tangan Bunga sejak tadi sudah gatal untuk membuat wanita di hadapannya ini bungkam. Namun Sri diam-diam mencubit pinggangnya, bermaksud untuk menghalangi niat mulianya itu. Dasar Sri! Kalau tidak, Bunga pastikan wanita itu sekarang sudah menangis dan tak akan berani lagi muncul berteriak-teriak di depannya. “Jangan panggil aku Bu! Aku masih muda!” sembur Sinta tak terima. Ditatapnya Sri dengan tatapan horor. Sri langsung meneguk salivanya, mencoba menghilangkan kegugupan bercampur rasa takutnya. “I...i iya, Mbak. Mbak Sinta.... Bunga, pegang ini bentar.” Sri memberi jus alpukatnya pada Bunga, lalu diraihnya beberapa tisu di atas meja untuk membersihkan noda di rok Sinta. Yang terjadi malah nodanya melebar ke mana-mana. “Apa-apaan kamu makhluk aneh?! Th, jangan sentuh aku! Hiyuuuh!!!” jerit Sinta histeris. Semua orang pun kini mengerumuni mereka. Tak ketinggalan Gilang dan Denis juga beranjak ke sana. “Lihat, Den! Dia itu memang hobi bikin keributan,” geram Gilang. Kali ini, Denis hanya diam tak menanggapi. “Udah Sri kita cabut aja dari sini. Hawanya udah seram.” Bunga malas meladeni Sinta yang berlebihan. Ia menarik lengan Sri dengan tangannya yang bebas, sedang yang satunya lagi menggenggam jus alpukat milik Sri. “Ada apa in ....” ucapan Gilang terpotong sebab saat berbalik badan Bunga tak sengaja menumpahkan jus alpukat itu ke kemejanya. BUNGASTGILANG O-OW! Bunga cukup terkejut dengan kedatangan Gilang tersebut. Denis sendiri kini menepuk dahinya, sepertinya Gilang sudah siap meledak saat ini pikirnya. “Ma ... maaf Pak, Bunga nggak sengaja.” Sri berusaha memberanikan diri membela Bunga di hadapan Gilang. Sementara Gilang dan Bunga kini saling bersitatap sarat akan permusuhan. “Kamu harus minta maaf sama Pak Gilang, Bung,” bisik Sri yang sayangnya masih bisa didengar oleh Gilang. Tapi dengan keras kepalanya Bunga tak mengacuhkan permintaan Sri itu. Ia menggelengkan kepalanya dan tatapannya masih terarah pada Gilang. Tatapan yang menantang. “Pak, dia itu tadi nabrak saya dan udah bikin rok saya kotor. Dia memang su ...” Gilang mengangkat salah satu tangannya ke arah Sinta yang membuat Sinta seketika jadi bungkam. “Bunga, kamu ke ruangan saya sekarang.” Raut wajah Gilang dingin tak tertebak. Entah apa yang dirasakan pria itu dengan kejadian ini. Gilang pun melangkah lebar, segera meninggalkan kantin tersebut. Saat Bunga menoleh ke arah Denis, priaitu hanya menganggukan kepalamemberi isyarat yang artinya Bunga harus ke ruangan Gilang. Sedangkan Sri hanya bisa berdoa di dalam hati semoga Bunga tidak dipecat. HN “Kenapa?” tanya Bunga ketus. Kini ia berada di ruangan Gilang, berdiri persis di depan meja pria itu. “Lain kali kamu jangan buat keributan lagi. Atau mau gajimu saya potong jadi tujuh puluh persen?” Ujar Gilang yang duduk di kursi kebesarannya sembari melayangkan v {OTUSCrOWN tatapan dingin. Gilang tampak kembali rapi karena sudah mengganti kemejanya yang kotor atas kecerobohan Bunga itu dengan kemeja yang baru. Tadi ia menyuruh sekretarisnya, Jeni untuk membelikan untuknya. “Terserah! Kamu kan bosnya, yaudah suka-suka kamu aja!” “Bunga, ini di kantor. Jaga sikapmu, saya atasanmu. Mengerti?” “Mengerti Paaaak,” ledek Bunga mencebik. Gilang menarik napas panjang. Menghadapi gadis nakal yang satu ini memang harus ekstrasabar. “Nomor hape-mu mana? Pulang kerja nanti kita harus fitting baju. Mama maksa aku harus ikut.” “Katanya jaga sikap. Ini di kantor,” sindir Bunga. “Masalah? Aku bosnya, jadi suka-suka aku aja.” Gilang tersenyum miring. Persis seperti yang diucapkan Bunga tadi. Rese banget umpat Bunga dalam hati. “Jangan mengumpat!” Gilang menatap Bunga tajam. Ia tahu, pasti gadis itu tengah mengumpatinya dalam hati. Kelihatan sekali dari raut wajahnya. Bunga dengan gaya cueknya mengangkat bahunya malas. Dibalasnya tatapan Gilang dengan senyuman mengejek sembari berkata, “Suka-suka aku juga dong!” “Bunga!!!” Hee Bunga dan Gilang kini berada di salah satu toko butik ternama se-ibu kota itu. Usai pulang kerja tadi mereka langsung ke tempat tersebut dengan mengendarai kendaraan masing-masing. 3 BUNGASTGILANG “You coba yang ini dulu deh, Cin.” Pria kemayu itu memberi gaun pernikahan keempat yang akan dicoba oleh Bunga. Sejak tadi belum ada yang pas menurutnya. Sementara itu, Gilang yang tidak ada masalah sama sekali dengan baju hanya duduk di kursi tunggu sambil memainkan ponselnya. Menunggu Bunga sampai selesai. “Gimana?” tanya Bunga pada pria kemayu itu setelah keluar dari ruang ganti dan sudah mengenakan gaunnya. “Wuiiih, ini sih cantik banget sama you Ciiin. Cucok deh! You pasti cantik banget pas resepsi nanti,” puji pria kemayu itu sambil bertepuk tangan kecil- kecil lengkap dengan gaya centilnya. Bunga pun menyunggingkan senyuman lebar. Gaun pengantin elegan yang menjuntai menyapu lantai, berwarna gold yang dihiasi mutiara di sekitar leher dan pinggangnya terkesan begitu indah dan mewah. Sangat cocok di badan Bunga. Gaun itu pun membentuk tubuhnya. Ternyata lekuk tubuh Bunga tak kalah dengan Zeeta. “Gimana Mas, cantik, kan sama Mbak-nya?” tanya pria kemayu itu. Gilang yang sedari tadi memainkan ponselnya segera mendongak menatap Bunga. Gilang sempat terpesona, tapi buru-buru ia mengalihkan pikirannya. Memasang wajah sedatar mungkin dan kembali fokus pada ponselnya. “Hm ...,” hanya itu jawaban Gilang dan sukses membuat Bunga berkecil hati. pe pernikahan itu diselenggarakan di ballroom salah satu hotel ternama yang berada di Jakarta pusat dengan nuansa gold megah yang berkesan mewah. Semua para undangan memandang takjub atas dekorasinya. Ya, para undangan tanpa karyawan Mahendra Company tentunya. Bunga pun sudah disulap menjadi sosok yang sangat cantik dan anggun seperti bukan dirinya yang sering terlihat sehari-hari. Tak sedikit yang memuji Bunga saat memberikan selamat kepada kedua mempelai itu. Sebenarnya Gilang juga sependapat dengan para undangan itu, hanya saja ia tak mau mengakuinya karena itu akan membuat Bunga besar kepala dan berbangga diri. Kedua orang tua mereka tampak begitu bahagia. Senyuman bahagia itu pun tak pernah luput dari wajah mereka. Hanya Zeeta BUNGASTGILANG saja yang tidak kelihatan batang hidungnya dari awal hingga akhir resepsi. Zeeta beralasan tidak bisa hadir karena sibuk. Ia tidak bisa membatalkan kontrak dengan salah satu majalah katanya. Seharusnya ia bisa karena ini adalah pernikahan adiknya sendiri. “Kamu di mana, Zee?” tanya Gilang dengan nada lembut melalui sambungan telepon. “Kamu nggak bohong, kan?” “Yaudah, kalau gitu jaga kesehatanmu. Jangan terlalu capek. Istirahatlah.” Nada suara Gilang terdengar begitu lembut saat menghubungi Zeeta. Bunga tak sengaja mendengarnya ketika mereka tengah mengganti pakaian pengantin di salah satu kamar hotel tersebut. Sekarang, Bunga sudah tahu dan tanpa ragu lagi berpikiran kalau Gilang dan Zeeta memang memiliki ketertarikan satu sama lain. Entah kenapa Bunga yakin pernikahan ini tidak akan bertahan selamanya, cepat atau lambat akan berakhir juga. Saat itu tiba, Gilang bisa kembali pada Zeeta dan hidup bahagia. Ia juga pasti akan menemukan pria yang mencintainya tulus apa adanya, kan? Bunga menarik napas dalam-dalam. Mungkinkah ada? bisiknya dalam hati. HM “Kenapa?” tanya Gilang. Ia melirik sebentar pada Bunga yang sejak tadi didengarnya menghela napas. Saat ini sekitar pukul sepuluh malam, mereka sedang dalam perjalanan menuju apartemennya usai acara resepsi pernikahan mereka tadi. {OTUSCrOWN “Hah? Oh nggak papa.” Bunga menoleh ke samping, dilihatnya Gilang yang kembali fokus menyetir menatap lurus ke depan. Entah akan seperti apa jadinya kehidupan rumah tangga mereka nanti. Dirinya dan Gilang sama sekali tidak memiliki kecocokan dalam hal apa pun. Pasti hanya akan ada pertentangan, pertengkaran, perdebatan di antara mereka. Bunga tahu yang diinginkan Gilang hanyalah Zeeta, bukan dirinya. Apakah pernikahan ini salah? Apakah ia telah mengambil jalan yang salah telah menjadi istri Gilang? Bunga pun mengembuskan napas berat. Kenapa terasa sesak? Siapa pun perempuannya pasti menginginkan pernikahan yang abadi sampai nanti rambut memutih, bahkan sampai mata ini tak bisa terbuka lagi. Tidak terkecuali dirinya, walaupun tomboi tetap saja Bunga menginginkan hal itu. Entahlah... Biar takdir yang membawa ke mana perjalanan kisahnya ini akan berujung. Bunga kembali menoleh menatap ke luar jendela. Lampu-lampu yang menyala terang di sepanjang jalan serta keramaian kendaraan yang hilir mudik tak mampu membuat suasana hatinya membaik. Hatinya tetap sunyi, sepi tak berpenghuni. HAR “Kamu bisa pindahin isi kopermu di lemari,” ucap Gilang saat mereka sudah tiba di apartemen dan berada di dalam kamar besar miliknya. Lalu cepat Gilang meninggalkan Bunga memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri dan berharap bisa menyegarkan pikirannya, BUNGASTGILANG Ya, dari awal Gilang memang sudah memutuskan mereka tinggal di apartemen. Baginya, ini bukan pernikahan sungguhan. Bukan yang didasari atas dasar cinta sama cinta. Bukan atas keinginannya. Bukan. Ini hanya pernikahan hitam di atas putih. Pernikahan di atas kertas saja. Seperti yang dikatakannya sebelumnya, untuk apa membangun rumah impian? Apalagi rumah tangga impian bersama Bunga? Tidak ada gunanya karena ia tidak menyukai Bunga apalagi mencintai gadis barbar itu. Sama sekali tidak, dan tidak akan pernah! Gilang melakukan semua prosesnya dengan setengah hati. Mulai dari mereka tunangan, fitting baju pengantin, foto pra-wedding serta berhasilnya ia mengucap ijab kabul mempersunting Bunga. Gilang lakukan setengah hati, alias terpaksa. Gilang pun beralasan, ia dan Bunga tidak akan pergi bulan madu karena kesibukannya di kantor. Di sini juga bisa, kata Gilang pada kedua orang tua mereka. Untungnya, mereka percaya dan menerima alasannya itu. Astaga! Siapa juga yang mau berbulan madu dengan Bunga? Menyentuhnya sedikit saja Gilang tak berselera. Sepeninggalan Gilang, Bunga membuka lemari besar itu. Sebelah kanan adalah pakaian Gilang dan yang kiri untuknya. Bunga pun mulai membuka kopernya. Saat hendak meletakkan pakaiannya ke dalam lemari alangkah terkejutnya Bunga. Matanya membesar sempurna. Ternyata, isi kopernya itu adalah baju tidur berlengan satu jari yang panjangnya sejengkal di atas lutut, rok di atas lutut, serta gaun dan atasan yang begitu girly. Oh astagal!! Ke mana perginya semua skinny jeans, ripped jeans, kemeja serta kaus longgar miliknya?! Bunga meradang, ia tak habis pikir bisa jadi begini. q {OTUSCrOWN Ini pasti ulah mamanya. Semua barang-barangnya kan diurus oleh mamanya sendiri. Mulai dari baju hingga sepatu, serta motor besarnya juga. Bunga tadi tinggal menerima beres saja, tanpa ada rasa curiga membawa kopernya ke apartemen Gilang. Mama!!! Geram Bunga sambil membanting pakaian itu kembali ke koper. “Mandi sana! Kamu nggak akan bisa tidur nyenyak kalau pakai riasan gitu.” Gilang keluar dari kamar mandi mengenakan kaus putih dan bokser biru tua sambil menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handukkecil. “Gimana akubisagantibajusama yangbeginian?” Bunga mengangkat salah satu baju tidurnya, menunjukkan pada Gilang dengan penuh kekesalan. “Ini pasti ulah Mama! Harusnya aku nggak percaya gitu aja sama Mama yang beresin barang-barangku,” ucap Bunga makin kesal sembari melempar asal baju tidur yang di tangannya ke lemari. “Itu biasa dipakai sama perempuan,” sahut Gilang datar. “Cepat beresin kopermu, terus mandi. Aku nggak mau tidurku terganggu karena suara air mandimu nanti.” Gilang mulai merebahkan badannya yang pegal di tempat tidur king size itu. Bunga mendengus seraya menatap Gilang sinis. Ia pun mulai membereskan barang-barangnya dengan mulut komat-kamit tak jelas melontarkan kekesalan. Setelahnya, Bunga segera beranjak ke dalam kamar mandi. Terlebih dahulu ia membersihkan make up yang menempel di wajahnya, setelah itu melepaskan beberapa jepitan yang ada di rambutnya dengan susah payah hingga mengeluarkan umpatan kecil dari mulutnya. Setelah selesai membersihkan diri, Bunga keluar dari kamar mandi dengan baju tidur pilihan mamanyaitu. Rambut gelombangnya ¥ BUNGASTGILANG yang panjangnya sejengkal di bawah bahu dibiarkan tergerai begitu saja. Sebenarnya, Bunga bukan gadis tomboi yang kebanyakan berambut pendek dengan telinga dan lidah penuh tindikan. Bukan, Bunga tidak begitu. Bunga hanya tidak suka berpakaian seperti Zeeta. Ia sukanya memakai kemeja longgar dipadukan dengan celana jeans serta sepatu kets. Bunga juga sangat suka mengendarai motor besar. Gadis yang satu ini pun penyuka boxing. Setiap ada pertandingan, ia selalu menyempatkan diri untuk menontonnya. Tak ayal itu bisa membuatnya bela diri. Gilang sempat terpesona melihat Bunga yang memakai baju tidur pilihan Mama mertuanya itu. Apalagi melihat rambut Bunga yang digerai, begitu kelihatan feminin. Seperti bukan Bunga yang biasa ia lihat tomboi dengan rambut ekor kudanya. “Geser, aku juga mau tidur.” Bunga membuyarkan lamunannya. “Aku yang tidur di sini.” Gilang cepat menguasai dirinya. Ia menatap Bunga dengan serius. Bunga mengernyitkan kening. “Terus aku tidur di mana?” tanyanya. “Sebenarnya apartemen ini punya dua kamar, tapi yang satunya lagi aku jadikan ruang kerjaku. Jadi ...,” ucap Gilang menggantung. Bunga pun menatap Gilang penuh curiga. “Jadi kamu bisa tidur di sofa yang ada di depan TV,” sambung Gilang tersenyum menyeringai. “APA?!” pekik Bunga tidak terima. Apa Gilang waras? Membiarkannya tidur di sofa yang bisa saja meremukkan badannya? Sial! Ini pasti kesempatan Gilang untuk membuatnya menderita. Dasar pria arogan, kejam! {OTUSCrOWN “Kenapa nggak kamu aja yang tidur di sofa? Aku di sini.” Bunga menunjuk tempat tidurnya sambil mengusahakan ekspresi wajahnya terlihat santai. “Ini apartemenku. Aku yang berhak mengatur, Bunga” Gilang menekankan pada Bunga. “Kamu nggak bisa apa-apal” seru Gilang mengacungkan telunjuknya saat Bunga terlihat hendak mengeluarkan suaranya. “Ambil selimut di lemari, terus kamu tidur di sana!” Gilang menunjuk arah ke luar pintu kamarnya. Bunga menatap Gilang dengan tatapan tidak suka. Tapi ia bisa apa, Gilang yang berhak mengatur. Apartemen ini miliknya. Bunga membuang napasnya gusar sembari berjalan ke arah lemari mengambil selimutnya, lalu ia ke luar kamar dengan menutup pintunya keras. “BUNGA!!"” teriak Gilang begitu kesal hingga urat-urat lehernya muncul. AAR Cahaya matahari menembus sela-sela tirai yang ada di ruangan itu. Cahayanya terhampar di wajah Bunga yang tengah terlelap. Lama-kelamaan Bunga merasa terganggu karenanya. Perlahan dibukanya sepasang kelopak matanya, lalu memicingkan mata untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, Bunga pun menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Apa??? Tujuh pagi?!!! Mata Bunga hampir melompat dari tempatnya. Ya Tuhan ... Bunga bangun kesiangan! Buru-buru ia masuk ke dalam kamar lalu menuju kamar mandi. Ternyata, Gilang sudah berangkat lebih dulu, meninggalkannya dan tak membangunkannya. Tega sekali! BUNGASTGILANG Usai membersihkan diri dan mengenakan seragam kantornya, Bunga tak lupa memakaikan celana training miliknya. Tak mungkin kan ia menunggangi motor besarnya hanya memakai rok saja? Bunga pun cepat keluar dari kamar sembari mengikat ekor kuda rambutnya. “Rasa kemanusiaannya tipis banget,” gerutu Bunga. Sesampainya di pantri, dilihatnya tak ada satu pun yang namanya jenis makanan di sana. Riak wajahnya pun semakin menjadi. Seperti Squidward yang tengah menahan kekesalan atas ulah Spongebob. “Dasar! Dia nggak ngasi aku sarapan!” dengus Bunga yang kemudian berjalan menuju arah rak sepatu. Di sana semuanya sudah tersusun rapi. Bagian atasnya adalah sepatu milik Gilang dan yang bawah ... itu miliknya?!! Astagal!! Bunga menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-parunya yang mendadak terasa sempit agar tetap bisa bertahan hidup seperti ini. Selain baju, ternyata sepatunya juga diganti oleh mamanya dengan flat shoes dan wedjes. Bunga tidak ada pilihan lain, diraihnya flat shoes berwarna navy itu. Ia harus cepat-cepat sampai ke kantor, jangan sampai terlambat. Saat turun ke parkiran Bunga tak melihat keberadaan motornya. Aneh, padahal semalam ia melihat dengan jelas motor itu ada di sini. Lagi-lagi ia tak ada waktu untuk memperdebatkan ini. Akhirnya Bunga memilih naik taksi. Untungnya, Bunga sampai di kantor tepat waktu dan ia pun mulai bekerja seperti biasa. HHH {OTUSCrOWN “Apa yang terjadi sama hidupku, Ma?!” Tuding Bunga sesaat mamanya baru saja mengangkat sambungan telepon darinya. “Ya ampun Bunga, kasi salam dulu jangan langsung nyerocos gitu.” “Langsung aja deh, Ma. Aku nggak suka pakaianku diganti, sepatuku juga. Soal ATM-ku kenapa diblokir?” Bunga mencoba meredam rasa kesalnya. “Kamu kan udah jadi seorang istri sekarang. Jadi wajar kalau kamu harus berubah. ATM itu diblokir sama Papa karena kamu udah jadi tanggung jawabnya Gilang.” “Ma!” protes Bunga yang sudah tak bisa menahan rasa kesal. “Kenapa? Marah? Ini demi kebaikanmu, Bunga. Kami setuju sama idenya Gilang. Oh ya, motormu juga disita sama Papa. Itu bukan milikmu lagi. Kamu udah jadi urusannya Gilang. Mama Papa percaya kalau Gilang bisa ngatasin kamu. Lagian udah waktunya kamu berubah,” ucap mamanya panjang lebar kemudian memutuskan sambungannya terlebih dulu. “Ngeselin banget, sih!” Bunga meremas rambutnya saking kesalnya. Ini semua idenya si Gilang? Dasar bedebah! “Kenapa diblokir, Bung?” tanya Sri dengan wajah penasaran. Saat ini mereka berada di tempat penarikan uang ATM yang ada di lantai dasar gedung kantor Mahendra Company. Awalnya, Bunga ingin menarik uangnya karena uang di dompetnya sudah tinggal lima puluh ribu lagi, habis membayar argo taksi tadi. Ternyata, ia malah mendapatkan kenyataan bahwa ATM-nya telah diblokir. Astaga! Akan seperti apa jadinya hidupnya jika terus-terusan begini? n BUNGASTGILANG Aaaarrrggghhh!!! “Kita balik sekarang, Sri.” Bunga tidak menjawab pertanyaan Sri. Emosinya sudah seperti gunung berapi yang siap meletuskan lahar panas. AER “Apa maksudmu?!!” bentak Bunga pada Gilang yang duduk di kursi kebesarannya. Bunga berhasil masuk dan berdiri di hadapan suaminya itu. “Maaf Pak, tadi saya sudah menghalanginya masuk tapi dia memaksa.” Jeni sekretaris Gilang ikut masuk ke ruangan Gilang. “Tidak apa-apa, Jen. Kembali ke mejamu.” Jeni mengangguk dan segera ke luar. “Kamu udah paham sekarang?” Gilang tersenyum mengejek Bunga. “Paham! Kalau kamu itu nggak punya hati, nggak punya perikemanusiaan!” “Jadi kamu punya?” Gilang tertawa hambar. “Dengar, aku nggak terima semua ini! Mulai dari pemotongan. gaji yang udah kamu rencanain dari awal sampai pemblokiran ATM- kul” Napas Bunga tersengal-sengal karena emosi. “AKU BAKAL BALAS KAMU GILANG!!!” teriak Bunga sekencang-kencangnya. “Astaga cewek itu berani banget bentak Pak Gilang tanpa embel-embel Pak,” ujar Jeni yang mendengar suara teriakan Bunga dari mejanya yang berada di seberang ruangan Gilang. “Pelankan suaramu, ini di kantor!” Gilang menatap Bunga tajam. “Ini, ambil nih!” Bunga melempar kunci motornya ke meja Gilang. {OTUSCrOWN “Sama ini juga, kamu makan tuh!” Bunga melempar kartu ATM yang telah dipatahkannya di hadapan Gilang. Bunga pun segera keluar dari ruangan Gilang dengan membanting keras pintunya. Bunga akan membalas semua perbuatan Gilang, secepatnya! ilang menerima balasan bertubi-tubi dari Bunga. Mulai dari junga mencampurkan obat pencahar dalam air minumnya yang membuatnya bolak-balik masuk kamar mandi, menambahkan garam di kopinya, hingga membuat ban mobilnya bocor. Lalu sekarang Bunga tengah mematikan saluran air kamar mandi ketika ia membersihkan diri usai pulang dari kantor. Alhasil, Gilang tak bisa membilas rambutnya yang dipenuhi oleh busa sampo serta wajahnya yang dipenuhi oleh busa sabun cair itu. “Bungal!!” Gilang berteriak keluar dari kamar mandi, mencari Bunga sambil mengulurkan kedua tangannya hingga menemukan pintu kamar. Mata Gilang sangat perih terkena busanya, ia jadi tak sanggup membuka mata untuk mencari sosok nakal tersebut. Sementara itu di pantri, Bunga terkikik sendiri mendengar teriakan {OTUSCrOWN Gilang. Bunga jadi semakin bersemangat menikmati roti dan minuman kalengnya. “Aku tahu ini ulahmu! Hidupkan lagi airnya dan balikin handukku sekarang juga, Bunga!” Gilang berdiri persis di depan pintu hanya bertelanjang dada dengan bawahan bokser berwarna hitam. Gilang mengusap matanya dengan punggung tangannya yang masih berbusa. Tindakannya itu pun sukses membuat matanya semakin perih saja. “BUNGA!"!!” teriaknya keras. Alasan Bunga kali ini mengerjai Gilang karena suaminya itu sengaja mengatakan kepada setiap kantor yang Bunga masukan lamaran kerja agar tidak menerimanya, menolaknya. Padahal Bunga sangat butuh pekerjaan. Bunga tidak akan bisa mengatur hidupnya hanya dengan gaji satu juta-an per bulannya dari kantor Gilang. Ia butuh wang banyak untuk mengembalikan hidupnya menjadi seperti semula. “Iya, Bawel! Kalau aku bantuin kamu, imbalannya apa?” Bunga bangkit dari kursinya menghampiri Gilang yang masih memejamkan mata menahan perih. Kasihan sekali, ejeknya dalam hati. “Nggak ada imbalan-imbalan!” seru Gilang dengan mata terpejam. “Yaudah kalau nggak mau!” Bunga hendak beranjak dari tempatnya. “lya- iya aku tambahin uang sakumu sepuluh ribu,” ucap Gilang cepat memberi penawaran. “Apa?! Cuma naik sepuluh ribu doang? Pelit amat. Nggak mau!” Bunga menolak, melipat tangan di depan dada sambil melemparkan tatapan dongkolnya pada Gilang. Yang benar saja hanya bertambah sepuluh ribu? Menyebalkan! Gilang benar- benar membuat hidupnya seperti di neraka setelah menikah. Semua v BUNGASTGILANG fasilitas apa pun ditarik darinya, bahkan dengan teganya Gilang hanya memberinya uang saku seratus ribu dalam sehari. Belum ongkosnya, makan siangnya di kantin untuk membeli camilan. Itu kurang! Sangat kurang! “Oke, oke! Lima puluh ribu.” “Seratus ribu!” “Oke fine! Sekarang kamu naik ke atas hidupin lagi airnya dan mana handuknya? Mataku perih, Bunga! Cepat!” pinta Gilang sambil menahan rasa perih di mata bercampur rasa kesal di hati. Bunga pun hendak ke belakang untuk menaiki tangga menghidupkan saluran airnya lagi serta mengambilkan handuk yang disembunyikannya itu, namun bunyi bel mengurungkan niat baiknya yang ingin membantu Gilang tersebut. “Ada tamu, bentar ya?” Bunga terkikik melihat wajah menderita Gilang. “Bunga ....” Geram Gilang menggertakan giginya. Gadis nakal itu benar-benar menguji kesabarannya. Ya, Tuhan! “Kak Zeta!” Sapa Bung ceria sesaat ia membukakan pintu. Ternyata yang bertamu malam-malam begini kakaknya. Bunga pun tersenyum lebar memandangi Zeeta yang berdiri di hadapannya. Sudah hampir 2 minggu setelah pernikahannya dengan Gilang, baru ini kakaknya itu menampakkan dii. “Hai, boleh masuk?” Zeeta tersenyum kaku. “Ayo, Kak! Kakak ke mana aja sih baru nongol?” tanya Bunga pada Zeeta yang sudah masuk dan mengikuti langkahnya menuju " {OTUSCrOWN ruang tengah. “Loh, Mas Gilang kenapa?” Zeeta tak menggubris pertanyaan Bunga, ia malah panik ketika melihat Gilang tengah meringis menahan perih di ujung pintu kamar. Zeeta pun segera menghampirinya. “Zee, itu kamu?” tanya Gilang sambil mencoba membuka sedikit matanya. Tidak bisa, ia masih merasakan perihnya oleh busa sabun. “Iya. Sini, biar aku bersihin.” Zeeta menarik ke bawah bahu Gilang agar menunduk. Pelan-pelan Zeeta membersihkan wajah Gilang dengan scarf tipis miliknya. Pemandangan romantis itu pun tak luput dari pandangan Bunga. Bunga langsung saja memutar bola matanya malas melihat adegan itu. “Masih perih, Mas?” “Udah enggak lagi.” Gilang tersenyum lembut, membuat Bunga seketika itu juga mencebikkan bibirnya. Halaaahhh bisa aja Gilang! “Bentar, aku pakai baju dulu.” Zeeta menganggukan kepalanya. Sebelum benar-benar menghilang di balik pintu kamar, Gilang sempat melemparkan tatapan kesal bercampur marahnya pada Bunga. Masa bodo’. Bunga hanya mengangkatbahu tak peduli. Zeeta mendekati meja yang ada di depan televisi. Diletakkan plastik bawaannya di atasnya, kemudian mengeluarkan isinya satu per satu. Ada pizza, spageti, pasta, dua jus jeruk serta buah dan camilan kecil lainnya. “Wahhh ... banyak banget, Kak! Jadi laper.” Bunga membuat gerakan mengelus-elus perutnya. Ditatapnya semua “Hm...” Jawaban jenis makanan itu dengan tatapan mendamba. Zeeta membuat Bunga mengernyitkan alis dan dahinya heran, tapi buru-buru disingkirkannya pikiran negatifnya. BUNGASTGILANG Bunga pun terus mengajak Zeeta mengobrol seperti biasa sambil menunggu Gilang selesai. Namun jawaban Zeeta seperti acuh tak acuh begitu, membuat Bunga menarik napas dalam-dalam sembari mengucapkan dalam hati, sabar-sabar.. dia itu kakakmu, Bunga. “Oh ya Bunga, tumben kamu pakai baju tidur kayak gini’ Zeeta memberikan tatapan tak sukanya pada penampilan Bunga sekarang. Biasanya baju tidur Bunga itu kaus longgar serta celana training andalannya. Kenapa jadi feminin begini, pikirnya. “Ini ulah Mama, Kak. Semua bajuku diganti sama Mama,” ucap Bunga dengan bibir manyun. “Maaf lama,” potong Gilang menghampiri mereka. Gilang mengambil tempat duduk di samping Zeeta, sedang Bunga ada di hadapan mereka. “Kamu yang bawa ini semua?” Gilang tersenyum lebar. Pria itu kelihatan begitu senang diberikan perhatian oleh Zeeta. “Iya, Mas. Kamu makan ya?” Zeeta balas tersenyum sembari menyodorkan pastanya. “Kamu juga. Aku nggak akan habis. Kalau Bunga, dia udah makan malam lebih dulu tadi.” Gilang mempelototi Bunga sesaat melihat istri nakalnya itu hendak protes. “I ... iya,” jawab Bunga pasrah. Padahal ia benar-benar berselera dengan semua makanan itu. Zeeta dan Gilang mulai makan diselingi sesekali tertawa. Oh romantisnya! Bunga merasa seperti kambing congek. Ia memutuskan menghidupkan televisi menyetel volumenya keras. “Bunga, pelankan suaranya.” Gilang mendelik ke arahnya. Bunga sama sekali tak memedulikan. Ia tetap menatap lurus ke layar televisi di depannya. {OTUSCrOWN “Itu foto pernikahan kalian?” tanya Zeeta tiba-tiba. Zeeta menatap foto pernikahan Gilang dan adiknya yang melekat di dinding itu dengan tatapan sendunya. “Mama yang maksa buat dipajang,” jelas Gilang sedikit merasa bersalah setelah melihat ekspresi Zeeta. “Di situ aku cantik ya, Kak Zee? Banyak yang bilang gitu, loh.” Bunga menimpali dengan bangga sambil tersenyum manis mengedip-ngedipkan mata ke arah Zeeta. “Hm ...” Lagi, jawaban Zeeta tak acuh begitu. Bunga berdecak kesal seraya bangkit dari sofa yang didudukinya. “Yaudah deh. Aku ke dalam dulu,” katanya. Setelah meraih remote dan mematikan televisi itu, Bunga pun masuk ke kamar meninggalkan mereka. Entah apa salahnya sampai Zeeta jadi berubah tak menghiraukannya begitu. Ada apa sebenarnya? Selang beberapa menit berlalu, Zeeta akhirnya memutuskan pulang saja. Bisa ditebak mood-nya berubah buruk. Kenyataannya memang Gilang sudah menikah dengan Bunga. “Hati-hati.” Gilang tersenyum hangat. Zeeta balas tersenyum tipis saja. Dengan langkah beratnya Zeeta meninggalkan apartemen itu. “Kamu tetap tidur di luar!” seru Gilang setelah masuk ke dalam kamar mendapati Bunga sedang berbaring di tempat tidurnya. “Iya, iya, Bawel!” Bunga mendelik tajam pada Gilang yang kini bertolak pinggang menungguinya benar-benar keluar dari sana. Dasar pria arogan, kejam! Tak punya hati! Tak punya rasa kasihan! Sembari keluar Bunga terus memakinya dalam hati. KAR BUNGASTGILANG Besoknya, Bunga bangun lebih pagi. Kesempatan baginya mengunci Gilang sendirian di dalam kamar. Sementara Bunga harus jalan kaki dari gedung apartemen sampai ke simpang sana yang lumayan jauh agar ia bisa naik angkutan umum. Di kawasan elit begini tidak akan ada angkutan umum jenis apa pun. Uang saku yang diberi Gilang juga akan cepat habis jika ia memilih naik taksi. Pria arogan itu benar-benar diutus Tuhan untuk menguji kesabarannya! Sabar, Bunga. Sabar ... Semua perbuatan akan mendapatkan balasannya. Tapi entah kapan. Bunga ragu jika Gilang akan mendapatkan balasan karena telah membuatnya menderita. Pria arogan nan kejam itu kan pengusaha hebat, tidak mungkin ia akan menderita kekurangan uang seperti dirinya saat ini. AAR “Cukup main-mainnya, Bunga! Kamu tahu apa yang kamu lakuin hari ini?!” tuding Gilang langsung sesaat baru saja tiba di apartemen sepulang dari kantor di malam hari. Pagi tadi, Gilang terkejut tak bisa keluar dari kamar. Beberapa kali ia memanggil Bunga tapi tidak ada respons. Kemudian Gilang sadar kalau itu ternyata ulah Bunga. Akhirnya ia segera menghubungi bagian resepsionis di bawah untuk membukakan pintu kamarnya. Gadis nakal itu benar-benar tidak kehabisan akal untuk mengerjainya. Kali ini dia sudah kelewatan, Gilang tak bisa diam saja. “Gara-gara kamu aku jadi telat ngantor. Papa marah besar karena aku bisa-bisanya telat padahal ada meeting penting tadi pagi! Untung ada Denis yang gantiin,” jelas Gilang dengan nada marah. 2 {OTUSCrOWN “Bagus dong ada Mas Denis,” jawab Bunga cuek. “Berhenti main-main Bunga, ini nggak lucu!” Gilang menatap Bunga serius. “Kamu pikir pemotongan gaji, ATM-ku diblokir, motorku disita Papa itu lucu?” sembur Bunga yang emosinya terpancing. “Itu beda, Bunga ...” Gilang geram sekali melihat gadis di hadapannya ini. “Apa bedanya? Kasi tahu aku?!” Bunga masih tak mau kalah. Kepalanya mendongak ke atas menatap Gilang sambil berkacak pinggang, menantang suaminya itu. “Kamu ini kerjaannya ngelawan terus! Beda sama Zeeta yang lembut.” Gilang menyentuh pelipisnya sembarimengeleng-gelengkan kepala. Tuh kan Kak Zeeta lagi, batin Bunga kesal. “Oke kalau kamu nggak mau berhenti main-main.” Gilang melirik sebuah tiket pertandingan boxing yang ada di tangan Bunga. “Tiket ini bakalan kurobek!” Cepat Gilang merampas tiketnya dari tangan Bunga yang tak sigap menjauhkannya lebih dulu darinya. Gilang membuat gerakan lambat hendak akan merobek tiket tersebut. “JANGAN!!"” teriak Bunga panik. Kedua tangannya menutup mulutnya yang menganga saking terkejutnya. Matanya pun hampir terlepas dari tempatnya. “Balikin nggak?!! Itu mahal. Aku udah bela-belain ngutang, jadi jangan robek, dong! seru Bunga dengan kekesalan tiada tara. Bunga meminjam uang dari Sri yang akan BUNGASTGILANG digantinya minggu depan, saat ia gajian pertama kalinya. Harga tiket itu pun akan memangkas separuh gajinya nanti. Kasihan sekali Bunga. Bunga melompat-lompat untuk meraih tiketnya yang ada di tangan Gilang. Sial! Pria di hadapannya ini jauh lebih tinggi darinya. “Balikin!!!” Meski kesusahan, Bunga tak menyerah dan terus melompat meraih tiketnya yang ada di tangan Gilang. Malah Gilang kini semakin meninggikan tangannya di udara. Bub! Bunga langsung melayangkan satu tinju ke perut Gilang, meski tak keras tapi cukup membuat Gilang semakin geram dan tetap menjauhkan tiket tersebut dari jangkauan Bunga. “Balikin nggak?!\” Akibat terlalu semangatnya melompat, Bunga kehilangan keseimbangan. Iajatuh menimpa Gilang. Mereka sama-sama terjatuh di lantai, dengan posisi Bunga di atas Gilang. Selain badan mereka yang menempel, bibir mereka juga menempel dengan sempurna. Membuat mereka terbelalak kaget, tak menyangka akan kejadian ini. Bunga mendadak gugup dan segera menjauhkan wajahnya, sedang Gilang terdiam kaku. “Ck! Kalau mau bikin cucu sama kita jangan di sini,” ucap mama Gilang tiba-tiba yang berhasil masuk karena tahu kode sandi apartemen anaknya. “Betul Mbak, di kamar kan lebih nyaman.” Mama Bunga menimpali terkikik geli. Keduanya tersenyum senang memandangi adegan romantis yang ada di hadapan mereka itu. Keduanya akan cepat menimang cucu kalau Bunga dan Gilang terus- {OTUSCrOWN terusan romantisan begini. Harapan itu pun tebersit di hati masing- masing. “MAMA!!” Bunga dan Gilang terkejut menoleh ke arah pintu berbarengan. ejak kejadian memalukan itu, Bunga selalu mencoba menghindari Gilang sebab ia mendadak selalu gugup jika berhadapan dengan pria itu. Di Sabtu sore ini sepertinya Bunga tidak bisa menghindar lagi. Lagian, tumben-tumbennya Gilang ada di apartemen. Biasanya di hari libur begini pria itu akan pergi entah ke mana, Bunga pun tidak pernah tahu. “Mau ke mana?” Gilang melipat korannya ketika melihat Bunga keluar dari kamar. Gadis nakal itu sudah rapi dengan rok di atas lutut dan blus berlengan sejengkal lengkap dengan sling bag-nya. Setelah menikah, Bunga memang kelihatan sedikit lebih feminin di mata Gilang karena semua jenis pakaiannya yang telah berubah haluan. “Bukan urusanmu.” Bunga berusaha cuek sambil berlalu ke pantri mengambil satu minuman kaleng untuknya di lemari es. {OTUSCrOWN “Ah, aku tahu kamu belakangan ini menghindar.” Gilang yakin Bunga memang menghindarinya. Semenjak kejadian itu, Bunga selalu berusaha menghindarinya. Ketika mereka berpapasan dikantor, Bunga akan cepat berbalik aah. Padahal Gilang yakin bukan itu arah tujuannya. Sementara di apartemen, Bunga akan lebih cepat setengah jam melakukan apa pun dari biasanya. Lebih cepat mandi, lebih cepat makan, lebih cepat tidur. Semua pasti demi menghindarinya. “Perasaanmu aja kali!” Bunga meneguk minumannya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya di hadapan Gilang yang kini menatapnya dengan alis terangkat sebelah. Seolah pria itu meragukan ucapannya. “Jangan-jangan ... itu cluman pertamamu,” tebak Gilang dan sukses membuat Bunga menyemburkan minuman dalam mulutnya. Wajahnya seketika merona menahan malu. “Dilihat dari ekspresimu, dugaanku benar.” Gilang terseyum geli menatapnya. “Sok tahu!” Bunga melangkah cepat ke arah rak sepatu, mengelak dari Gilang. “Kamu harus pulang sebelum pukul sepuluh. Ini aturan di sini,” Gilang bangkit dari sofa berjalan menghampiri Bunga dengan tatapan seriusnya. “Apaan sih? Suka-suka aku dong!” Bunga menghindar. Ia cepat melangkahkan kakinya menuju pintu setelah memakaikan flast shoes warna hitam itu di kakinya. BUNGASTGILANG “Ingat, sebelum pukul sepuluh!” Gilangmenekankan pada Bunga. Memperingatkan istri nakalnya itu. Bunga langsung memutar bola matanya mendengar perintah itu. Ia mendengus dan segera pergi meninggalkan Gilang. Tujuan Bunga saat ini ingin bertemu teman lamanya semasa SMA dulu. Menurut informasi yang ia dapat, Billy—nama temannya itu—telah memiliki toko kue laris dan cukup terkenal. Bunga ingin meminta tolong pada Billy supaya menerimanya bekerja di sana. Hitung-hitung untuk uang tambahannya melangsungkan hidup. Bunga ingin sekali membeli motor besar lagi, tapi meskipun nanti ia bekerja dengan Billy pasti tidak akan cukup untuk membelinya. Bunga menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Inilah hidup yang ternyata benar seperti roda berputar. Kita tidak pernah tahu sewaktu-waktu kita bisa cepat berada di bawah. Bunga merasakannya sekarang. Hidupnya telah berubah 180 derajat, dan ini semua berkat si Gilang sialan itu! HAR Sekitar pukul lima sore akhirnya Bunga bertemu dengan Billy, setelah menunggunya hampir satu jam. Untungnya, temannya itu langsung menawarkannya minum dan menyuguhkan beberapa potong kue rasa blueberry. Sedari tadi kerongkongan Bunga memang sudah kering dengan cacing-cacing di perutnya yang mendadak meminta jatah. Seharusnya jika begitu Bunga langsung saja membelinya tanpa harus menunggu yang gratisan. Tidak, hidup Bunga kini sudah berubah. Bunga tidak punya banyak uang lagi. Untungnya, urusan % {OTUSCrOWN makanan di apartemen Gilang menyediakan makanan-makanan lezat. Belakangan ini setelah menikah dengan Gilang, Bunga memang jadi sering untung-untungan. Satu jam lebih Bunga menghabiskan waktunya berbincang- bincang dengan teman lamanya itu. Akhirnya Bunga diterima bekerja di toko kue milik Billy. Alasan Bunga pada Billy karena papanya tengah menghukumnya dan menarik semua fasilitas miliknya. Billy pun jadi merasa prihatin lalu tanpa ragu lagi menerimanya. Lagian, tidak mungkin kan Bunga jujur mengatakan pada Billy kalau ia sudah menikah dan hidup sengsara karena punya suami kejam? Gajinya memang tidak banyak, cuma lima ratus ribu rupiah per bulan. Tidak masalah, Bunga juga bekerja hanya tiga jam di sana. Mulai dari pukul enam sore hingga sembilan malam. Walau begitu, Bunga tetap bersyukur karena mendapat uang tambahan. Bunga memang benar-benar butuh uang. Rencananya ia ingin membeli kemeja, jeans, dan sepatu untuk dikenakannya lagi. la merasa masih tidak nyaman dengan pakaian-pakaian yang diganti oleh mamanya itu. Soal memiliki motor besar, sepertinya ia harus membuang jauh angannya itu. Seperti katanya tadi, karena gajinya tidak akan pernah cukup. HM Gilang bolak-balik melihat jam di dinding, Sudah pukul sepuluh malam tapi Bunga belum juga pulang. Ia mencoba menghubungi nomor Bunga dan terdengar suara dering ponsel berbunyi dari arah pantri. Gilang pun melangkah ke sana mendekatinya. Rupanya 4 BUNGASTGILANG Bunga lupa membawa ponselnya. Ponsel itu tergeletak begitu saja di atas meja makan. Gila(ng) calling... tertera di layarnya. Sial! Bunga sengaja menamainya gila. Gadis itu memang jago membuatnya kesal sampai ke ubun-ubun. HAH Bunga membuka pintu apartemen dengan wajah lelah. Tadi ia sudah mulai bekerja di toko kue Billy. Lebih cepat itu lebih baik. Setelah pulang dari sana, Bunga pun harus menemani Sri lagi membeli gaun untuk acara ulang tahun perusahaan besok malam. Jadilah Bunga merasa semakin lelah. “Aku udah bilang pulang sebelum pukul sepuluh. Kamu dari mana aja?” Gilang mendekatinya dengan raut kesal yang kentara. “Bukan urusanmu,” Bunga menjawab ketus dan hendak berlalu. “Bunga ...,” panggil Gilang dengan nada tak sukanya. “Apa lagi? Malas tahu nggak berurusan sama kamu. Yang ada aku tuh sial mulu!” Bunga menghentikan langkahnya, berbalik menatap malas suaminya yang teramat menyebalkan itu. “Jaga ucapanmu! Aku heran kalian saudara tapi kamu beda banget sama Zeeta,” tegur Gilang yang kini melayangkan tatapan tajamnya. “Jadi kamu mau apa, Gilang, hah?!” Bunga mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Ia tidak terima dibanding-bandingkan terus dengan kakaknya. {OTUSCrOWN “Cukup! Aku itu lebih tua tujuh tahun darimu. Jadi, jangan pernah lagi manggil namaku!” Gilang mengacungkan telunjuknya tepat di depan hidung Bunga dengan tatapan mata yang semakin menajam. Bunga menghela napas lelah. Terserah lah! Bunga pun beranjak masuk ke dalam kamar, meninggalkan Gilang yang masih bermuatan rasa marah itu. Setelah membersihkan diri dan berganti baju dengan baju tidur yang sebenarnya ia masih risih memakainya itu, Bunga kembali lagi ke ruang tengah sambil membawa selimutnya. Dilihatnya Gilang masih setia menonton televisi yang menampilkan acara berita di sana. “Aku mau tidur. Kamu ke kamar aja!” Bunga mendekat lalu mengambil tempat duduk di samping Gilang, sofa yang sudah menjadi tempat tidurnya semenjak mereka menikah. “Aku masih nonton,” jawab Gilang tanpa memutus perhatiannya pada layar televisi. Bunga tidak sanggup melawan, ia sangat lelah hari ini. Ia malas beradu mulut dengan Gilang yang tak akan ada habisnya. Tak berapa lama, Bunga pun tertidur pulas dengan posisi duduk miring sementara kepalanya bersandar di lengan sofa. Bunga kelihatan begitu lelah. Gilang menoleh ke samping mendapati istri nakalnya itu sudah tertidur lelap. Meski kesal pada Bunga, tapi ia masih punya sedikit hati. Pelan-pelan Gilang mengangkat Bunga, menyelipkan lengan kokohnya di bawah lutut dan punggung gadis itu. Membaringkannya di sofa, lalu diraihnya selimut itu untuk menyelimuti hingga leher. Napas Bunga terdengar teratur, pertanda gadis itu benar- a BUNGASTGILANG benar tertidur pulas. Gilang mematikan televisinya, kemudian menghidupkan lampu tidur yang terlebih dulu mematikan lampu utama. Gilang melipat kedua tangannya di depan dada memandangi Bunga yang terlihat begitu damai dalam tidurnya, tidak semengesalkan ketika gadis itu terjaga. Gilang pun tersenyum tipis sebelum benar-benar masuk ke dalam kamar. ARN “Bunga, aku aneh ya?” tanya Sri setelah mereka memasuki ballroom salah satu hotel yang ada di Jakarta itu. Sri memakai gaun berwarna daun salem berlengan panjang dengan panjang gaun semata kaki. Tak ketinggalan kacamata besarnya masih setia bertengger di batang hidungnya. Malam ini adalah acara ulang tahun perusahaan Mahendra Company yang memang selalu dirayakan tiap tahunnya. “Enggak, Sri. Ini kesepuluh kalinya kamu nanyak hal yang sama.” Bunga mendegus seraya menatap Sri jengkel. Sebelum ke acara tersebut mereka mampir ke salon lebih dulu. Ternyata, harga untuk make up-an saja seratus lima puluh ribu. Kalau dihitung-hitung setelah membayar utangnya juga pada Sri, uang Bunga tinggal tiga ratus lima puluh ribu lagi dari gaji pertama yang ia terima beberapa hari yang lalu. Huh, nasib orang kere! Bunga meradang dalam hati. Padahal dulu semasa sekolah dan kuliah, Bunga sering mentraktir teman-temannya karena ia punya banyak uang. Lihatlah! Sekarang dunianya sudah berubah, justru ia yang mengharapkan traktiran dari orang-orang. {OTUSCrOWN “Hai ....” sapa Denis menghampiri mereka. Denis langsung memandang takjub pada Bunga yang berubah semakin cantik. Bunga memakai gaun berwarna dongker tanpa lengan dengan panjang di bawah lutut. Sedang di bagian atas gaunnya dihiasi oleh beberapa blue pearl yang membuatnya jadi semakin memesona. “Hai, Pak,” sapa mereka juga dengan kompak. Bunga tidak mungkin memanggil Denis mas di depan Sri. Tidak ada yang tahu kalau Bunga sudah menikah dengan sepupunya Denis yang kejam itu. Lalu tiba-tiba semua karyawan yang ada di sekitarnya berbisik-bisik menatap ke arah yang sama. Bunga jadi penasaran, ia pun menoleh mengikuti arah pandang mereka. Ternyata, yang menjadi pusat perhatian di acara itu adalah Gilang yang datang bersama Zeeta. Para karyawan yang ada di sekitar Bunga itu kini berbisik-bisik memuji keduanya serasi, membuat Bunga mencebik kesal. “Bentar, aku ke sana dulu,” kata Denis lalu beranjak menghampiri Gilang dan Zeeta. “Kamu tahu nggak kalau Pak Gilang itu baru aja nikah?” tanya Sri tiba-tiba. “Hm ...” hanya itu yang keluar dari bibir Bunga. Kini mereka sama-sama memperhatikan Gilang, Denis, dan Zeeta yang berdiri di depan sana. Kakaknya itu tampil sangat cantik seperti biasanya. Sesekali Bunga melihat Zeeta menyentuh lengan Gilang sambil menyunggingkan senyum manisnya. “Kayaknya istrinya itu si Zeeta model yang lagi naik daun itu deh.” Bunga cepat menoleh pada Sri yang berdiri di sampingnya. “Kamu tahu dari mana, Sri?” Bunga mengernyit heran. “Aku nebak BUNGASTGILANG aja, sih. Belakangan mereka lumayan sering muncul di akun-akun gosip. Mereka makan malam bersama, belanja bersama, bla bla bla. Bunga malas mendengar ocehan Sri. Ya, seharusnya memang Zeeta yang menikah dengan Gilang bukan dirinya. Bunga tersenyum kecut sembari kembali menatap Zeta dan Gilang di depan sana yang kini tengah berbagi senyuman satu sama lain. RH Gilang dan Zeeta serta karyawan lain sudah mulai berdansa dengan alunan musik yang romantis. Entah kenapa tiba-tiba Bunga merasa gerah di ruangan full AC begini. Ia sepertinya butuh udara segar di luar. Belum juga melangkahkan kakinya, Denis sudah datang lebih dulu menghampiri. “Ayo!” Denis berdiri di samping Bunga mengulurkan tangan kanannya. “Ah? Aku?” Bunga melihat ke sekelilingnya. Ternyata, Sri juga sudah menghilang entah ke mana. “Iya. Dansa?” Denis terkekeh pelan dan masih setia mengulurkan tangan. “Tapi aku nggak bisa,” Bunga berusaha menolak. “Udah santai aja. Ayo!” Denis langsung menarik Bunga ke tengah ruangan. Denis menuntun kedua lengan Bunga mengalungi lehernya, sementara kedua tangannya ada di pinggang Bunga. Mereka pun mulai berdansa meski Bunga sangat-sangat kaku melakukannya. Gilang yang sedari tadi sibuk berdansa dengan Zeeta sambil sesekali tersenyum menoleh dan mendapati si gadis nakal tengah berdansa dengan sepupunya. Meski yang terlihat Bunga kesusahan dan tak sengaja menginjak kaki Denis, tapi justru itu malah yang membuat W {OTUSCrOWN mereka tertawa dan terlihat begitu akrab. Baru kali ini Gilang melihat Bunga tertawa lepas. Yang ia tahu gadis itu selalu berwajah datar, galak, kesal padanya. Tiba-tiba saja kenyataan itu membuat raut muka Gilang berubah datar. “Mas kenapa?” tanya Zeeta yang menyadari perubahan mood Gilang. “Oh, nggak papa.” Gilang memaksakan senyumnya. AHH Usai berdansa, Bunga dan Denis menuju ke stan makanan. “Aku udah bilang kalau aku tuh nggak bisa,” kata Bunga dengan mimik muka yang dibuat semenyesal mungkin. “Nggak papa, namanya juga pemula. Lain kali kita coba lagi.” Denis tersenyum lebar sambil menaik-turunkan alisnya. “Yakin? Mas Denis nggak takut kakinya nanti jadi luka parah?” gurau Bunga. Mereka berdua pun tertawa. “Oh iya, si Sri ke mana ya?” gumam Bunga setelah menyadari Sri sejak tadi menghilang. Bunga menatap ke sekitarnya, kemudian matanya menangkap sosok Sri yang tengah asyik mengobrol dengan Pak Jaka dan beberapa karyawan bagian marketing lainnya. “Bunga, Mas angkat telepon dulu.” Denis mengangkat ponselnya menunjukkannya sebentar pada Bunga. Bunga hanya tersenyum simpul menganggukan kepala. Denis pun menjauh menerima teleponnya. Bunga langsung berbalik menghadap meja panjang yang sudah tersaji di atasnya beberapa jenis kue yang tampaknya sangat menggugah selera. Bunga meraih piring kecil yang ada di sana lalu diletakkan beberapa potong kue dengan jenis yang berbeda di 6 BUNGASTGILANG atasnya untuk dinikmati. “Dasar genit!” Bisik seseorang tiba-tiba di telinganya. Sepertinya ... suaranya tidak begitu asing. Bunga yang menikmati kuenya sontak menoleh ke samping lalu menengadah ke atas karena orang itu lebih tinggi darinya. “Kamul!” Bunga melemparkan tatapan kesalnya. “Ngapain ke sini?! Sana gih! Ganggu aja, bilangin orang genit lagi. Sana!” Bunga mengibas-ngibaskan tangannya mengusir Gilang. “Lagi usaha ngerayu sepupuku, hm? Biar kamu dikasi uang jajan? Jangan harap!” Bisikan Gilang padanya membuat telinga Bunga berdenging dan memerah, siap-siap mengeluarkan api. Bunga menggertakkan giginya, matanya melotot gusar. “Buang-buang energi ngomong sama kamu!” Bunga segera beranjak, tapi sayangnya lagi-lagi ia akan jatuh di hadapan Gilang untuk kedua kalinya. Namun dengan sigap Gilang menarik pinggangnya dan membawanya ke dalam dekapannya. “Aku kira selama ini kamu nggak punya payudara. Ternyata aku salah.” Gilang merasakan ada benda kenyal di bagian atas perutnya. Bunga pun mendongak menatap Gilang yang kini menampilkan wajah gelinya. Langsung saja Bunga mendorong dada Gilang menjauh. Wajah Bunga memerah menahan malu. Jantungnya juga kini berdebar tak karuan. Astaga ... ada apa dengannya? “Kamu tuh yang genit!” Bunga menendang kaki Gilang. Bunga cepat berjalan menuju tempat Sri sembari menetralkan debaran jantungnya, meninggalkan Gilang yang meringis tapi masih bisa tertawa. Gilang aneh! AER {OTUSCrOWN Sri dan Bunga berjalan menuju parkiran setelah acara selesai. Sebuah mobil melaju cepat hampir menyerempet Zeeta di depan sana, tapi dengan cepat Gilang menolongnya dan malah tangan kanannya yang terkena. Bunga terkejut melihat keadaan tersebut. Pasti tangannya sakit, pikirnya. Bunga refleks melangkah ke sana, baru dua langkah ia berhenti. Ia sadar itu bukan urusannya. Ada Zeeta yang selalu Gilang inginkan dan butuhkan. Bukan siapa pun, apalagi dirinya. “Ya ampun tangan kamu, Mas!” Zeeta kelihatan begitu khawatir, disentuhnya tangan Gilang yang membuat pria itu meringis menahan sakit. “Aku nggak papa Zee, yang penting kamu baik-baik aja.” Gilang tersenyum mengusap-usap lembut pipi Zeeta dengan tangannya yang satu lagi. “Tuh benar kan, Bung! Zeeta itu pasti istrinya. Orang si Bos rela sakit demi Zeta,” ujar Sri yang juga ada di sana, menyaksikan adegan romantis Gilang dan Zeeta dari kejauhan. “Iya kamu benar, Sri.” Bunga menatap hampa pada pemandangan di depannya itu. ejadian minggu lalu itu membuat tangan kanan Gilang terkilir dan terasa begitu sakit saat digerakkan. Zeeta yang khawatir waktu itu, langsung membawa Gilang ke rumah sakit terdekat. Selang beberapa hari ke depannya, Zeeta selalu menjenguk Gilang di apartemen pria itu. Memberikan perhatian khusus untuk Gilang, merawatnya sebaik mungkin, bahkan menyuapinya makan hingga tangan kanan Gilang benar-benar pulih kembali. Dalam hatinya Gilang sangat senang atas perhatian yang Zeetaberikan itu. Semuanya tak luput satu pun dari pandangan Bunga. Seharusnya mereka yang menikah, Bunga membatin. “Melamun lagi. Fokus dong, Bung! Hampir aja ini nimpa kaki kamu,” omel Sri ikut menahan kardus yang sedang Bunga angkat tersebut. “Kamu kenapa sih?” Sri menatap Bunga heran. Tidak biasanya Bunga berwajah murung begini. {OTUSCrOWN “Nggak papa. Udah ayo buruan, nanti Pak Jaka marah. Habis ini kita harus turun ke lapangan lagi. Promosiin produk barunya,” sahut Bunga yangkinikembali seperti biasa. Menampakkan wajah cerianya. Bunga tak ingin memperlihatkan bagaimana keadaannya pada orang lain. Siapa pun itu, termasuk Sri yang sudah dekat dengannya. Bunga dan Sri berjalan menuju ruangan Pak Jaka sambil mengangkat kardus yang cukup berat itu. Di samping pintunya, Pak Jaka dan Gilang tengah berdiri entah membicarakan apa. Sri pun membungkukan badan menyapa kedua atasannya itu. Lain dengan Bunga, ia tak menghiraukannya sama sekali. “Ehem!” Gilang melirik Bunga yang sedari tadi enggan menyapanya, bahkan saat keluar dari ruangan Pak Jaka juga. Tidak ada keramahan yang ia perlihatkan sebagai karyawan Gilang. “Pak...” Lagi-lagi hanya Sri yang menyapa. Gilang jadi merasa tidak dihargai sebagai atasan oleh tingkah cuek Bunga itu. “Kamu tahu kan setiap ada atasan itu wajib diberi salam?” tegur Gilang tegas, matanya mendelik tajam menatap Bunga. “Siang, Pak,” ucap Bunga akhirnya meski dengan hati yang berat. Bunga secepatnya berlalu dari sana, melenggang melewati mereka tanpa ada senyuman sedikit pun dan kembali ke mejanya. Selain kejam ternyata pria arogan itu gila hormat juga, umpat Bunga diam- diam. RAR Selepas jam kantor, biasanya Bunga segera pergi ke toko kue milik Billy menaiki angkutan umum. Namun hujan deras yang tengah iN) BUNGASTGILANG mengguyur kota membuatnya berteduh di sebuah halte kecil, menunggu angkutan umum yang tak tampak juga sedari tadi. Tiba- tiba sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Si pemilik mobil kemudian menurunkan kaca jendelanya. “Bunga, ayo naik!” Denis berteriak untuk mengalahi derasnya suara hujan. “Mas Denis? Nggak usah Mas, makasih!” Bunga mengeraskan suaranya juga. “Udah ayo! Mau sampe kapan kamu di sana?” Benar juga, pikirnya. Akhirnya Bunga menerobos derasnya hujan dan langsung masuk ke dalam mobil Denis dengan keadaan yang cukup basah. “Motor kamu ke mana?” Denis bertanya sambil mulai menjalankan mobilnya. “Aku udah lama nggak make motor lagi, Mas.” Bunga membuang napas berat, seperti pasrah pada hidup ini. “Loh, kenapa?” Denis mengernyit dengan mata tetap fokus menatap ke depan. “Motorku disita Papa, katanya aku udah tanggung jawabnya Mas Gilang.” Bunga tersenyum kecut. “Oh... Kenapa nggak minta sama Gilang aja?” “Minta sama dia?! Boro-boro beli motor, gajiku aja dipotong lima puluh persen sama dia tiap bulannya,” desis Bunga. Mendengar penuturan Bunga barusan membuat Denis tersadar, ternyata Gilang tidak main-main dengan ucapannya waktu itu. “Jadi, tadi kamu nunggu taksi?” tanya Denis. “Taksi? Aduh Mas Denis, hidup aku sekarang udah berubah. Papa juga udah blokir ATM-ku. Mau uang dari mana naik taksi? Katanya sih, itu semua idenya si i) {OTUSCrOWN Gilang, Tadi aku tuh lagi nunggu angkot.” Wajah Bunga berubah masam mengingat kembali semua perbuatan Gilang padanya. Diam-diam Denis memikirkan sesuatu. Mungkin ia harus menawarkan motor besar milik adiknya yang sudah lamamenganggur di rumah untuk Bunga. Kasihan sekali gadis itu harus capai-capai menunggu angkutan umum lagi. Lagian, berbahaya untuk Bunga karena banyak kejadian kriminal belakangan ini. Denis tidak tahu saja, gadis yang duduk di sampingnya itu bisa bela diri. “Mas, aku belum mau pulang,” Bunga baru sadar, ternyata Denis menyetir ke arah apartemen Gilang, “Oke. Kamu mau ke mana?” tanya Denis. Bunga pun menyebutkan alamatnya. FRR Denis terkejut saat mengantar Bunga ke salah satu toko kue yang ternyata tempat kerjanya. Gadis itu mengatakan padanya kalau ia harus memiliki kerja sampingan. Tanpa diberitahu pun Denis mengerti, kalau gaji yang sudah di potong dari kantor saja tidak akan cukup untuk hidup Bunga. Gilang benar-benar keterlaluan, ucap Denis tak habis pikir dalam hati. FHM Pukul tengah sepuluh malam Bunga tiba di apartemen. Ia langsung menuju kamar, mengabaikan Gilang yang duduk di sofa yang terus-menerus memperhatikannya sejak ia masuk. Gilang berniat untuk mengikuti Bunga masuk ke dalam kamar, namun harus mengurungkan niatnya saat mendengar bunyi bel. Padahal, q BUNGASTGILANG mulutnya sudah gatal untuk memarahi gadis nakal itu karena sikap tak acuhnya tadi di kantor. Gilang pun segera beranjak membukakan pintu. Ketika membukanya, mata Gilang langsung melotot terkejut melihat kedatangan ketiga temannya yang tiba-tiba tanpa kabar memberitahu lebih dulu. Oh astaga! Bagaimana jika mereka tahu ada Bunga? “Hai, Bro!” sapa salah satu teman Gilang yang bernama Raja. “Kenapa bengong gitu? Kita nggak disuruh masuk nih?” kata yang lain yang bernama Fadlan. “Woiiii, Gilang!” temannya yang bernama Emil melambaikan tangan tepat di depan wajah Gilang. “Ah, iya masuk.” Gilang mundur ke belakang memberi jarak untuk ketiga temannya itu memasuki apartemennya. “Soalnya kamu udah lama nggak ngumpul bareng kita, Lang. Makanya kita ke sini,” jelas Emil. Mereka duduk di sofa yang ada di ruang tengah. Ketiga teman Gilang itu pun bercerita banyak hal. Namun Gilang tak begitu memperhatikan. Ia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Gimana kalau salah satu dari mereka masuk ke kamar? Gimana kalau ... belum sempat menuntaskan pikirannya, Bunga sudah muncul lebih dulu. Bunga keluar dari dalam kamar mengenakan baju tidur berwarna maroon yang panjangnya di atas lutut berlengan satu jari. Rambutnya yang gelombang dibiarkan saja terurai. Reaksi ketiga teman Gilang pun melongo menatap Bunga yang tiba-tiba muncul dari ambang pintu. Gilangmenepuk jidatnya sendiri. Astaga!! Iaharus mengatakan apa pada teman-temannya? Sedangkan mereka tahunya kalau ia setahun belakangan ini tertarik pada Zeeta. Sekarang mereka justru {OTUSCrOWN melihat ada gadis lain di apartemennya. Tidak ada yang tahu kalau ia sudah menikahi Bunga. Sementara itu, Bunga yang sadar diperhatikan dengan tatapan menuntut hanya bisa tersenyum kaku. Ini pertama kalinya teman Gilang datang dan bertemu dirinya. Bunga tak tahu harus bersikap seperti apa. “Hai!” sapa ketiganya kompak sambil memberikan senyuman terbaik mereka. Memang, jika Bunga berpenampilan seperti ini ia kelihatan feminin, cantik, dan natural. “Hai ...,” sapa Bunga kikuk. Bunga tak tahu harus berbuat apa sekarang. Apa lebih baik ia kembali ke kamar saja? “Siapa, Lang?” tanya Raja mewakili kedua temannya yang juga penasaran. Gilang harus menjawab apa? Tidak mungkin ia menjawab gadis di depan mereka itu adalah istrinya. “Dia ....” Gilang tampak berpikir. Ketiga temannya dan juga Bunga menunggu Gilang melanjutkan ucapannya. Bunga jadi penasaran, apa Gilang mengakuinya atau “Dia sepupuku. Iya, sepupuku.” Hah... Akhirnya, Gilang bisa mencarialasan yang masuk akal. Untungnya foto pernikahan mereka yang biasa terpajang di dinding waktu itu sudah ia taruh di lemari kerjanya. Sedang Bunga detik itu juga hanya bisa tersenyum pahit mendengarnya. “Oh, sepupu. Tinggal bareng?” “Iya. Dia kerja di kantor. Dia itu dari kampung, jadi kalau ngekos kan nggak aman. Yaudah, dia tinggal di sini aja.” Gilang melirik BUNGASTGILANG Bunga yang diam saja. Wajah Bunga datar, tak memperlihatkan ekspresi lain, Bunga segera masuk ke dalam kamar, seolah-olah tidak memedulikan Gilang dan teman-temannya lagi. AER Bunga yang merasa bosan di kamar juga rasa penasarannya dengan percakapan Gilang dan ketiga temannya itu, Bunga putuskan membuka sedikit pintunya. Bisa dilihatnya di sana ternyata hanya tinggal Gilang dan satu orang temannya saja. “Serius, Lang?!” Emil membeliak mendengar cerita Gilang. “ya. Dia itu istriku, adiknya Zeeta,” Gilang menjawab lesu. “Adik Zeeta yang kamu suka?” Lagi-lagi Emil terkejut tak percaya. “Iya. Aku cuma ngasi tahu kamu. Jangan kasi tahu yang lain, Emil. Oke?” Jari telunjuk Gilang mengarah lurus ke Emil, lengkap dengan tatapan tajamnya. Ia ingin Emil menjaga rahasianya itu. “Oke, Lang. Trust me.” Emil menepuk pundak Gilang. “Besok aku mau ke Bangkok sama Zeeta. Kita mau liburan.” Gilang terseyum lebar. Seolah besok adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya. “Terus, istrimu?” “Emil, dia itu cuma istri di atas kertas aja! Kita nggak pernah kayak pasangan lain. Lagian, dia juga pasti baik-baik aja,” kata Gilang santai. Emil hanya bisa mendesah sambil mengangkat bahunya. Bunga yang mendengar percakapan mereka tiba-tiba merasakan ngilu di hatinya yang terdalam. Belum pernah Bunga merasakan hal yh {OTUSCrOWN ini sebelurnnya. Dan rasa yang seperti ini kenapa selalu terjadi jika berhubungan dengan Gilang? AHR Besok siangnya, Gilang dan Zeeta sudah menginjakkan kaki di Bangkok. Mereka kelihatan begitu bahagia. Sepasang kekasih yang tengah hangat-hangatnya memadu kasih. Zeeta selalu merangkul mesra lengan Gilang, sesekali ia menyandarkan kepalanya di dada bidang itu. Mereka tak perlu takut-takut lagi dengan hubungan mereka di sini, tidak akan ada yang mengenali mereka. Sementara itu di sisi lain, Bunga sedang menemani mama Gilang berbelanja di sela-sela jam makan siangnya di salah satu mall ternama yang berada di jantung kota. “Bunga, kamu tahu nggak Gilang di mana?” Mama Gilang bertanya sambil memilih beberapa gaun untuknya dan juga Bunga. “Em ....” Bunga bingung harus menjawab apa. Sebenarnya Gilang tidak mengatakan apa pun padanya, tapi ia tahu saat ini Gilang dan kakaknya liburan berdua di Bangkok. Perasaannya mendadak seperti terhimpit oleh sesuatu yang menyesakkan. Bunga cepat mengalihkan pikirannya. Dirogoh tasnya mengambil ponselnya, kemudian ia membuka aplikasi Instagram yang ada di sana. “Tadi Mama udah hubungin Gilang, tapi nomornya nggak aktif. Mama juga nelpon Jeni, katanya Gilang nggak masuk tapi nggak tahu ke mana,” ujar mama mertuanya itu sambil masih memilih-milih gaunnya. Ternyata, wanita paruh baya itu belum juga menemukan yang pas. “Iya Ma, Bunga juga nggak tahu Mas Gilang ke mana,” ucap 5 BUNGASTGILANG Bunga terus memainkan ponselnya. Bunga melihat foto terbaru yang diunggah salah satu akun gosip yang meliput artis dalam dan luar negeri yang muncul di beranda Instagram-nya. Foto itu memperlihatkan Zeeta yang tengah tertawa memeluk seorang pria berperawakan tinggi tegap. Pria itu menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Zeeta. Meski pria itu membelakangi kamera, tapi Bunga tahu pria itu Gilang. “Hm ... mungkin dia lagi ada urusan lain ya?” tanya mama Gilang yang masih saja sibuk memilah-milah gaun mana yang akan dibelinya. “Mungkin, Ma...” © Apamu masak?” Hampir saja Bunga menjatuhkan piring berisi beberapa potong ayam yang telah digorengnya itu. Gilang kini berdiri menjulang tinggi di depannya, setelah tiga hari pria itu tidak pernah pulang. Entah Gilang selama itu masih liburan dengan Zeeta atau entah berada di mana, Bunga tak tahu. “Ngagetin aja! Emang kamu lihat aku lagi nyuci baju?” Bunga meletakkan piringnya di atas meja makan, kemudian kembali melanjutkan memotong sayuran. Sebenarnya Bunga tidak bisa memasak. Bahkan, ini adalah perdana baginya. Ia hanya mencoba mengikuti instingnya saja, serta melihat resep dan cara-cara memasak di Google. Bunga memilih yang simpel, ayam goreng dan sayur rebus. Semoga saja rasanya tidak mengecewakan. “Jadi perempuan galak banget.” Gilang menarik salah satu kursi dimeja makan yang berhadapan dengan Bunga. “Jadi laki-laki kejam BUNGASTGILANG banget.” Bunga membalas ejekan Gilang. “Bunga ...” Tatapan Gilang seolah-olah memperingatkan Bunga. Bunga mengangkat bahunya tak peduli. “Tumben kamu masak?” tanya Gilang lagi. “Tiga hari ini kamu nggak pulang, nggak ada makanan. Kalau beli di luar kan boros. Jadi aku masak aja,” jelas Bunga sewot. “Lumayan.” Gilang manggut- manggut sambil mencomoti ayam goreng yang dimasak Bunga. “Lumayan nggak enaknya,” lanjut Gilang mengurai tawanya. Bunga mencebik ke arah Gilang. Dasar pria kejam, berlidah tajam! Bunga malas menanggapi ejekan Gilang itu. Ia menumpahkan emosinya pada wortel yang dipotongnya sambil menghentakkan pisau hingga mengenai jari telunjuknya dan seketika mengeluarkan darah. “Is ...” Bunga meringis menahan perih. Segera dicarinya kain yang bisa menghisap darahnya yang keluar. Gilang yang melihat jari Bunga terluka mengeluarkan darah, langsung berdiri dari tempatnya. Dihampiri Bunga yang tengah celingak-celinguk mencari sesuatu. “Kalau masak cuma mau lukai diri sendiri, mending nggak usah masak! Nggak usah makan sekalian!” Gilang meraih telunjuk Bunga yang berdarah lalu menghisapnya. Bunga begitu terkejut, rahangnya jatuh dengan kedua bola mata hampir keluar menerima perlakuan Gilang tersebut. Bunga terus menarik napas dalam-dalam, berharap semoga Gilang tak mendengar degup jantungnya yang kini berubah kencang. Setelah menghisapnya, Gilang mencari obat tetes luka di laci lalu meneteskannya di jari telunjuk Bunga. Ditatapnya lekat-lekat Bunga yang meringis menahan perih. Ketika Bunga menengadah ke {OTUSCrOWN atas pandangan mata mereka bertemu. Gilang mendadak canggung. Kenapa ia harus melakukan ini? Gilang bertanya sendiri dalam hati. “Darahmu pahit, sama kayak ekspresi mukamu yang selalu pahit.” Gilang berusaha menutupi rasa canggungnya. Ia melepaskan pegangannya di jari Bunga dan langsung pergi ke kamar tanpa mengatakan apa pun lagi. Bunga mendengus mendengarnya. Pria itu selalu saja berhasil membuatnya jengkel dan berdebar-debar di waktu yang bersamaan. AHH Setelah pulang kerja dari toko kue milik Billy, Bunga menemani Denis makan malam di salah satu restoran berbintang. Bunga tidak mungkin menolak Denis yang sudah berbaik hati padanya, kan? Denis sudah meminjamkan motor besar milik adiknya itu untuk Bunga. Meski awalnya Bunga menolak, tapi Denis terus memaksanya untuk menerimanya. Bunga sangat senang bisa mengendarai motor besar lagi. Ia tidak perlu capai-capai naik angkutan umum lagi dan tidak perlu susah-susah bangun cepat di pagi hari. “Maaf Bunga, soalnya Mas nggak suka makan sendirian. Kalau ada kamu kan jadi ada teman ngobrol.” Denis tersenyum sembari memotong-motong steak-nya. “Nggak papa, Mas Denis santai aja.” “Oke.” Lagi-lagi Denis tersenyum. Senyumnya pun semakin lebar ketika melihat Bunga yang begitu berselera makan. ‘Ada steak, burger, spaghetti, dan ice chocolate yang dipesan oleh gadis BUNGASTGILANG itu. “Kamu tahu hari Rabu ini ulang tahun Gilang?” tanya Denis sambil meneguk minumannya. “Ha?” Bunga yang sedari tadi sibuk dengan makanannya langsung mendongak menatap Denis. “Nggak tahu Mas,” jawab Bunga datar. Apa pun tentang Gilang ia tak tahu. Mungkin kalau Denis menanyakan hal yang sama pada Zeeta maka jawabannya pasti berbeda. Tiba-tiba saja selera makan Bunga berkurang. “Denis, Bunga?” Gilang terkejut menyaksikan keduanya makan malam bersama. Gilang tak sengaja melihat mereka sesaat ia tadi tengah bercengkerama dengan kliennya di meja paling belakang, “Oh Lang, ayo gabung!” tawar Denis, tapi sepupunya itu malah berdiri saja dengan raut wajah yang tidak terbaca sama sekali sembari terus memperhatikan mereka. Bunga yang tahu ada Gilang tidak mau repot-repot melihat ke arah pria itu. Lagian, buat apa ia harus beramah-tamah pada Gilang yang sudah membuatnya menderita? Tidak ada gunanya! “Thanks, Den. Aku baru ajamakan,” jawab Gilang datar. “Ayo pulang!” sambung Gilang langsung menarik pergelangan tangan Bunga. “Bunga masih mau makan, Lang,” Denis menahan tangan Gilang yang terus menarik paksa Bunga pulang bersamanya. “Dia bisa makan di apartemen, Den!” Gilang melayangkan tatapan dinginnya. “Apaan sih main tarik-tarik!” sewot Bunga menghempaskan tangannya dari genggaman Gilang. Gilang kini malah melotot padanya. Yang benar saja! Harusnya Bunga yang memelototi pria kejam itu! “Pulang!” paksa Gilang. “Enggak! Aku bisa pulang sendiri. {OTUSCrOWN Kamu duluan aja!” Alis dan dahi Bunga mengernyit. Dasar Gilang aneh! Kenapa juga Bunga harus ikut pulang bersamanya? Bukannya pria arogan nan kejam itu sangat anti berdekatan dengannya? Gilang menatap Bunga dan Denis bergantian dengan kekesalan teramat di dada. Gilang akhirnya memutuskan keluar meninggalkan restoran tersebut tanpa mengucapkan apa pun lagi pada mereka. AAR Sesampainya di parkiran gedung apartemen, Gilang tidak langsung memasuki apartemennya. Ia memilih minum kopi di salah satu kafe yang berada di lobi. Gilang kini tengah merasa begitu kesal. Banyak pertanyaan yang melintas di benaknya. Kenapa Denis dan Bunga bisa makan malam bersama? Kenapa Denis bisa berteman dengan si gadis nakal itu? Sejak kapan mereka mulai sedekat itu? Hah!!! Terlebih lagi si gadis nakal yang tidak mau pulang bersamanya, membuat rasa kesal Gilang menaik hingga ke ubun-ubun. Bunga memasuki parkiran gedung apartemen dengan mengendarai motor besar. Gilang yang melihatnya mengerutkan alis. Dari mana Bunga mendapatkan motor itu, pikirnya. Gilang buru-buru membayar minumannya pada waiter tanpa mengambil kembaliannya lagi. Ia segera berlari menghampiri Bunga yang kini tengah menunggui pintu lift terbuka. “Motor itu kamu dapat dari mana?” Bunga menoleh ke arah Gilang yang berdiri di sampingnya. Bunga langsung mendengus lalu kembali menatap lurus ke depan tanpa mau repot-repot menjawab. BUNGASTGILANG Saat pintu lift terbuka Bunga pun langsung masuk ke dalam dengan diam, yang diikuti oleh Gilang. “Kamu nyurik?!” Tebakan Gilang itu sukses membuat rasa kesal Bunga melambung tinggi. Bunga menginjak kuat kaki Gilang hingga priaituberteriak kesakitan. “Aaak. Shit!! Kamu ini!” Gilang mengaduh kesakitan sembari mengusap- usap kakinya. Untung cuma mereka berdua di dalam lift dan tak ada yang mendengar teriakannya. Kalau tidak, ia bisa tengsin. “Jangan asal ngomong aja! Itu motor dikasi pinjem sama Mas Denis,” ujar Bunga dengan kesal. Mereka keluar setelah pintu lift terbuka kembali. Sesampainya di apartemen, Gilang ternyata masih belum puas juga menanyai Bunga perihal motor besar itu. “Denis kasi pinjem kamu?” “Iya.” Bunga melepas flat shoes-nya, lalu meletakkannya di rak sepatu. Gilang menghampirinya dari pintu. “Denis yang kasi pinjem?” Gilang masih tak habis pikir sepupunya itu meminjamkan motor pada Bunga. “Iya! Iyaaaaa!!!” Bunga berteriak keras saking kesalnya. Gilang menanyakan berulang kali hal yang sama. Memangnya kenapa kalau Denis meminjamkan motor itu untuknya? Toh, itu bukan milik dan urusan Gilang kan? “Balikin!” Gilang menatap Bunga serius. “Apa? Enggak!” tolak Bunga. Enak saja Gilang menyuruh mengembalikannya! Lagian, kenapa Gilang tak membiarkannya saja? Ah, pasti pria itu tak suka melihatnya bahagia memiliki motor besar lagi. Dasar pria dengki, iri hati! {OTUSCrOWN “Bunga...” Lagi-lagi_Gilang += memberikan __tatapan memperingatkan pada Bunga. “Oke. Aku bakal balikin kalau Mas Denis yang minta sendiri,” sahut Bunga asal. “Oke!” Gilang langsung meraih ponselnya yang ada dalam saku celananya. “Astaga! Kenapa harus sekarang? Kan bisa besok pagi?!” Bunga memprotes tak suka. “Ssstt ... diam!” Gilang meletakkan telunjuknya di depan bibir. Gilang cepat menekan nama Denis yang ada di daftar kontaknya. “Halo, Lang?” sapa Denis di seberang sana. “Den, kamu pinjamin motor sama Bunga?” tanya Gilanglangsung, diliriknya Bunga yang tengah mendengus kesal dan menggumam tak jelas ke arahnya. “Iya, Lang. Itu motor Dani, dia kan lagi kuliah di Singapur. Daripada nggak kepake, kasi pinjam sama Bunga aja.” “Nggak usah, Den. Kamu tarik motornya lagi.” Bunga mencebik mendengar ucapan Gilang. Rasanya ia ingin sekali melayangkan bogem mentahnya tepat di tulang pipi pria itu! “Nggak, Lang. Aku tahu apa aja yang udah kamu lakuin. Itu terlalu berlebihan. Kasihan Bunga.” “Itu urusanku.” Gilang tak suka mendengar jawaban Denis. “Kita sama, Lang. Aku peduli sama Bunga, kayak kamu peduli sama perempuan Iain,” ucapan Denis begitu menohok. Gilang langsung mengepalkan tangannya kuat hingga buku-buku jarinya tercetak jelas serta rahangnya pun ikut mengencang. Cepat dimatikannya sambungannya lebih dulu. “Gimana? Mas Denis nggak narik motornya, kan?” tanya Bunga penasaran dan berharap mendengar a BUNGASTGILANG jawaban tidak. Alih-alih menjawab pertanyaan Bunga, Gilang malah masuk ke dalam kamar membanting keras pintunya. Brak!!! “Aneh ...” Bunga mengernyit. © (Apamu makannya banyak banget!” Alis mama Bunga mengerut memandangi satu per satu pesanan Bunga yang tersaji di atas meja. Ada spaghetti, steak, burger, ice chocolate, dan zuppa. Saat ini Bunga dan mamanya sedang makan siang bersama di salah satu restoran favorit mereka sambil menunggu kedatangan Zeeta. “Kamu itu harus jaga bentuk badan, jangan sampai gendut, ih!” Mamanya memukul tangan Bunga yang hendak mengambil potongan pizzanya. “Ma!” protes Bunga cemberut. “Emang kenapa kalau gendut? Yang penting kan kenyang, Ma,” bela Bunga. “Astaga ... kalau kamu berubah gendut terus jadi jelek gitu, nanti Gilang bisa sama wanita lain,” ujar mamanya. Memang udah sama wanita lain Ma, jawab Bunga dalam hati. “Untung Mama udah ganti semua baju dan sepatumu, ya? Jadi kamu kelihatan feminin gini kan, cantik?” goda mamanya sambil BUNGASTGILANG mencolek dagu Bunga. Bunga langsung memutar bola matanya jengah. Begitulah, Bunga dan mamanya makan sambil meributkan hal-hal kecil seperti biasanya. Keduanya memang layaknya adik- kakak, meski sering ribut tapi tetap saling menyayangi. “Sorry lama, Ma.” Zeeta yang baru saja datang langsung memeluk dan memberi ciuman di pipi mamanya. “Kak ...” Bunga bangkit dan ikut memeluk Zeeta sambil tersenyum senang. Sudah lama rasanya mereka tidak ngumpul bertiga begini. Zeeta memberi balasan dengan senyuman sekadarnya saja ke arah Bunga. “Zee, kamu udah lebih seminggu loh nggak pulang ke rumah. Betah banget di apartemen sendirian,” ucap mamanya setelah mereka bertiga duduk. Zeeta memanggil waiter dan memesan mashroom soup untuknya. “Ma, Zee sibuk, banyak pemotretan,” ucap Zeeta beralasan. Bunga memperhatikan Zeeta yang duduk di depannya. Kakaknya itu sudah cantik, anggun pula. Berbanding terbalik dengannya. Pantas saja Gilang lebih tertarik pada Zeeta daripada dirinya yang berdandan saja tidak bisa. Bunga melihat dirinya sendiri, dari atas dada sampai ujung kaki. Uh payah, Bunga membatin seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Oh ya Zee, tiga atau empat hari lalu Mama nelponin kamu terus tapi nomor kamu nggak pernah aktif. Terus Mama nanyak manager kamu si Ola, katanya kamu lagi off kok.” Zeeta menghentikan suapannya, ia menoleh menatap mamanya. “Kamu ke mana aja selama off itu?” tanya mamanya. {OTUSCrOWN Seketika Zeeta membeku, ia menelan ludah susah payah karena ditanyai hal itu. Zeta tidak mungkin jujur kalau ia dan Gilang liburan bersama di Bangkok. Sementara Bunga memperhatikan gelagat gelisah Zeeta yang menyembunyikan sesuatu. Meski Bunga tahu sesuatu itu apa, tapi ia lebih memilih diam dan mendengarkan saja. “Zee ada urusan lain, Ma.” Zeeta menghindari tatapan menuntut mamanya, menundukkan kepala sembari menyuapkan sup itu lagi ke dalam mulutnya. “Urusan apa?” “Mama ini mau tahu aja!” sela Bunga yang langsung mendapatkan cubitan kecil dari mamanya. “Aw, Mama!” Bunga mengusap-usap tangannya yang dicubit. “Zee liburan sama teman-teman, Ma.” Zeeta meraih tisu membersihkan mulutnya. “Ma, kayaknya Zee harus pergi sekarang. Zee ada pemotretan lagi,” Zeeta bangkit dari kursinya kemudian meraih tasnya yang ada di atas meja. “Loh, kok cepat banget sih, Zee? Kan udah jarang kita bisa makan bertiga begini.” Mamanya memasang wajah cemberut. “Nanti malam Zee pulang. Bye, Ma!” Zeeta memeluk mamanya tanpa memeluk Bunga atau mengucapkan sampai juga lagi pada adiknya itu. Zeeta kemudian pergi meninggalkan keduanya yang masih melanjutkan makan siang mereka di sana. Mulai dari malam perjodohan Bunga dan Gilang waktu itu hingga saat ini, sikap Zeeta memang berubah drastis terhadap Bunga. Zeeta yang tak mau berbicara lama-lama lagi dengannya, bahkan Zeeta BUNGASTGILANG terlihat seperti sengaja menjauhinya, memberi jarak yang panjang di antara mereka. Bunga merasakannya. Zeeta seperti bukan kakaknya yang ia kenal lagi. AER “Ada angin apa nih?” tanya Billy yang melihat Bunga tengah mengaduk-aduk adonan. Selepas makan siang tadi, Bunga langsung kembali ke kantor. Dari kantor seperti biasa ia akan langsung mengendarai motor besarnya menuju toko kue milik Billy. Bunga kini tengah mencoba membuat cup cake untuk Gilang yang bertepatan hari ini berulang tahun yang ke-29. Semenjak Gilang tahu Denis meminjamkan motor besar itu untuknya, Gilang jadi jarang bertegur sapa dengannya. Paling pria itu bicara jika benar-benar ada perlunya saja. “Aku mau buat cup cake, Bil. Nggak papa kan aku pakai bahan- bahanmu?” Bunga tersenyum. “Boleh ya, please?” sambung Bunga sambil menangkup kedua tangannya di depan dada. “Boleh, tapi jangan sering-sering nanti aku bangkrut,” canda Billy. Bunga mencebik pura-pura kesal lalu ia tersenyum puas. “Makasih ucapnya riang. Setelah selesai, Bunga pun menaruh adonannya di oven. Sambil menunggu kuenya mengembang, ia mengambil kotak kecil yang telah dibungkus warna merah dari dalam tasnya. Bunga mulai merangkai kata-kata yang cocok untuk ditulis di atas kotak itu. “Ada yang ulang tahun?” Billy datang lagi dari balik pintu menghampiri Bunga. {OTUSCrOWN “Ah? Iya ...” Bunga tersenyum sembari terus menuliskan kata- katanya. “Siapa?” Billy jadi penasaran. “Teman,” jawab Bunga. “Teman apa teman?” Billy menyipitkan matanya. “Temanlah, Bil.” Bunga cepat-cepat memasukkan kotaknya ke dalam tas saat melihat Billy hendak merebutnya dari tangannya. “Hm ... oke-oke!” Billy manggut-manggut. Lagi, Bunga menampilkan senyumnya. Entah apa yang membuatnya terlihat begitu bersemangat dan ceria hari ini. “Oh ya Bunga, antar gih kue ultah yang di kulkas ke depan.” “Loh, emang Rina ke mana?” “Aku suruh ke mini market bentar. Antar ya? Lagian kan orang ini ulang tahunnya sama dengan temanmu itu.” Billy tersenyum memberi tanda kutip di udara. “Apaan sih, Bil?” Bunga memutar bola matanya. Billy masih saja menggoda, kali ini dengan menaik- turunkan alisnya. “lya deh, iya!” Bunga mengangkat tangan tanda menyerah. Bunga pun segera beranjak mengambil kue tersebut di lemari pendingin. Sebuah kue tar yang indah berukuran sedang dengan pinggirannya berbentuk hati kecil-kecil dan lilin bentuk tulisan happy birthday tertanam di atasnya. Bunga berjalan keluar menuju tempat yang dimaksud Billy. Ia terus melihat ke bawah memperhatikan langkah kakinya sambil membawa kue itu dengan hati-hati. Karena suasana hatinya sedang baik, Bunga akan menyambut pelanggan itu dengan ceria. “Welcome " BUNGASTGILANG to Billy's Cake and happy birthday! Semoga Anda menyukai kuenya,” ucap Bunga dengan riang membungkukkan badannya. Ketika mendongak, alangkah terkejutnya ia melihat siapa yang ada di hadapannya saat ini. “Sepupu Gilang!” seru Fadlan dan Raja bersamaan. Gilang melongo mendapati Bunga yang mengantar kuenya. Matanya meneliti dari atas sampai bawah. Mungkin gadis nakal itu kerja di toko kue ini. Dilihat dari pakaiannya Gilang tidak mungkin salah. “Sepupu?” Zeeta menaikkan satu alisnya. Bunga langsung menoleh melihat Zeeta yang duduk tepat di samping Gilang. Kakaknya itu tampil sangat cantik dan elegan seperti biasanya. Gilang yang tampan dengan Zeeta yang cantik. Terlihat begitu serasi, Bunga membatin. “Iya sepupu Gilang dari kampung, Zee,” sahut Raja. “Dia kerja di kantor Gilang,” Fadlan menimpali. “Terus dia tinggal di apartemen Gilang juga. Kamu nggak cemburu kan?” kali ini Fadlan mencoba menggoda Zeeta. Zeeta hanya tersenyum saja menanggapinya. Bunga merasa air matanya akan keluar, tapi ia berusaha menahannya. Zeeta dan Gilang tak ada yang berniat mengakuinya. Mungkin Gilang tidak mau kedua temannya ini tahu kalau ia istrinya. Tapi Zeeta? Bunga itu adiknya! Beginikah sikap seorang kakak? Baiklah, mulai sekarang dan seterusnya Bunga juga akan berlaku sama seperti bagaimana perlakuan Zeeta padanya. “Permisi.” Bunga meletakkan kuenya di atas meja, hendak berlalu kembali ke dapur namun Fadlan menahan pergelangan tangannya. Otomatis itu membuat Bunga membalikkan badan menghadap mereka lagi. 0 {OTUSCrOWN “Gabung aja, kita rayain sama-sama. Oh ya, siapa namamu?” Fadlan tersenyum pada Bunga. Rahang Gilang mengetat, apalagi saat melihat tangan Fadlan memegang erat pergelangan tangan Bunga. “Dia nggak usah ikut, dia kerja!” ucap Gilang dingin dan langsung memutus paksa pegangan Fadlan dari Bunga. Tanpamengucapkan apapun, Bungapergikedapurmeninggalkan mereka. Sesampainya di dapur, Bunga langsung masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya. “Bunga, ini cup cake yang kamu masukin oven udah aku keluarin. Untung nggak gosong!” Billy mengeraskan sedikit suaranya agar Bunga bisa mendengarnya di balik pintu kamar mandi. “Iya Bil, makasih, taruh di meja aja,” suara Bunga terdengar bergetar. Bunga menyeka air matanya yang keluar. Kenapa ia bisa jadi cengeng begini? Padahal dari dulu ia dikenal jarang menangis. Bunga pun keluar dari kamar mandi, berusaha terlihat baik seperti biasanya. Mata Billy memicing melihat mata dan hidung Bunga yang sedikit memerah. Billy mengernyit heran. “Kamu nangis?” tanyanya. “Nangis? Haha ya enggak lah!” Bunga mengelak sembari berjalan ke arah meja, lalu memasukkan cup cake itu ke dalam tasnya yang sebelumnya ia masukkan ke dalam bungkusannya terlebih dahulu. “Pas kamu ngantar kue tadi, kamu lihat model itu nggak?” tanya Billy tiba-tiba. “Model?” Bunga mengernyit sebentar, kemudian ia sadar yang dimaksud Billy adalah Zeeta. Bunga pun mengangguk. “Kirain salah lihat. Cantik ya?” puji Billy tersenyum lebar. Bunga hanya menganggukan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Billy. “Yang ulang tahun itu pacarnya kali ya?” Billy mengira-ngira. Bunga 1 BUNGASTGILANG pun mengangguk lagi, membuat Billy mendengus sebal. Apa Bunga mendadak sariawan tak bisa bicara, desis Billy dalam hati. “Bunga sini deh, lihat tuh!” Billy kini membuka sedikit tirai jendela dapur yang mengarah ke jalanan di luar. Bunga pun beranjak menghampiri Billy, sama-sama berdiri di depan jendela itu. Bunga mengikuti ke mana arah pandang temannya itu. Ternyata di luar sana, Zeeta dan Gilang sedang berdiri entah membicarakan apa. Raut wajah kakaknya itu terlihat begitu bahagia, terus menyunggingkan senyuman lebar. Tak lama Zeeta pun semakin mendekat, dipeluknya Gilang dengan mesra. “Widih ... benaran pacaran tuh. Cocok sih, ya nggak?” Bunga diam saja tak menanggapi. Kini Zeeta memberikan kecupan di pipi Gilang kemudian berjalan mendekati mobilnya, membuka bagasi dan membawa satu kotak berukuran sedang serta paper bag untuk Gilang. Gilang yang menerima itu pun tersenyam sembari mengusapi pipi Zeeta dengan lembut. Tak berlama-lama lagi, keduanya masuk ke dalam mobil masing-masing dan pergi meninggalkan tempat. Bunga menarik napas dalam-dalam. Billy terus saja nyerocos memuji-muji kedua pasangan yang baru saja dilihatnya itu, membuat rasa sakit Bunga semakin dalam. Apa rasa sakit ini tandanya Bunga sudah mencintai Gilang? Bunga menggelengkan kepalanya. Tidak, mungkin ia hanya kecewa saja. Ya ... kecewa. HHH Pukul setengah sepuluh malam Bunga sampai di lobi apartemen. Sembari menunggu pintu lift-nya terbuka, Bunga mengambil kotak 2 {OTUSCrOWN kecil yang niatnya tadi akan diberikan untuk Gilang dari dalam tasnya. Buru-buru Bunga membuangnya ke tempat sampah ketika melihat pintu lift itu sudah terbuka. Sesampainya di dalam apartemen, ternyata ruangan itu masih gelap. Itu tandanya Gilang belum juga pulang. Bunga pun segera menghidupkan lampu, lalu ia duduk di sofa yang ada di depan televisi. Dikeluarkannya cup cake yang dibuatnya tadi untuk Gilang. Tanpa banyak pertimbangan lagi Bunga langsung memasukkannya ke dalam mulut. “Ngapain ngasi dia? Ini kan cuma cup cake biasa, nggak ada apa-apanya lah dibandingin kue tadi!” Bunga mendengus lalu mengunyah kue buatannya itu dengan penuh rasa sesak di dada. AS Gilang yang pulang ke apartemen pada dini hari, mengurungkan niatnya masuk ke dalam lift saat melihat sebuah kotak kecil yang dibungkus kado rapi berwarna merah tergeletak begitu saja di samping tempat sampah. Gilang berjongkok mengambilnya. Sesaat ... ia tersenyum geli membaca tulisan tangan yang ada di atasnya. Hbd yang ke-29 Tuan Kejam! Selamat makin tua. Dari musuh abadimu, Bunga. Gilang memasukkan kotak kecil itu ke dalam saku jasnya. Jadi, Bunga sebenarnya tadi berniat ingin memberikan ini untuknya? Gilang pun tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepala. vee Denis meminjamkan motor besar itu untuknya, Bunga tak pernah lagi bangun lebih awal seperti sebelumnya. Malah, Gilang yang terlebih dulu bangun dan pergi ke kantor. Seperti pagi ini, sekitar pukul tujuh Bunga baru menyelesaikan mandinya. Bunga berani keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang meliliti tubuhnya karena Gilang sudah pergi sejak tadi. Saat tengah sibuk mencari bajunya di lemari, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar dibuka. Refleks Bunga berbalik. Bola matanya langsung membesar sempurna menatap sosok jangkung Gilang tengah berdiri mematung di ambang pintu. Entah mengapa kakinya mendadak sangat sulit digerakkan. Sial! umpat Bunga cepat berbalik menghadap lemari lagi, tak fokus mencari baju kerja serta pakaian dalamnya. Oh ya ampun {OTUSCrOWN ... Bunga berdiri membelakangi Gilang hanya memakai handuk tanpa dalaman! Wajah Bunga pun sontak memerah karena menahan malu. Bunga menarik napas dalam lalu membuangnya perlahan. Ia harus tenang, tidak boleh gugup. Bunga memutuskan pura-pura tak peduli atas kehadiran Gilang tersebut. Tak selang berapa lama justru Bunga merasakan hembusan napas hangat menerpa kulit lehernya, membuatnya merinding sekaligus merasakan getaran yang aneh dan seketika membeku. Gilang tak tahu apa yang terjadi pada dirinya, kini ia menyentuh lengan polos Bunga sembari mengendusi leher putih mulus itu. Apalagi wangi sabun yang masih jelas tercium itu membuat Gilang sepertilupa diri. “Hmm...” Diputarnya tubuh Bunga menghadapnya. Bunga mendengar deru napas Gilang berubah berat. Perlahan pria itu menipiskan jarak di antara mereka. Gilang menunduk mencium kedua pipinya bergantian, lalu berpindah mengecupi sudut bibirnya. Degup jantung Bunga menggila seketika! Ada apa yang terjadi pada Gilang? Bunga berniat melayangkan tinjunya seperti biasa, tapi lagi-lagi sekujur tubuhnya kaku begitu saja. Tak diduga- duga, tak disangka-sangka Gilang kini menyentuhkan bibirnya di bibir Bunga. Menyatukan bibir mereka berdua. Sontak Bunga terbelalak tak percaya. Dirinya dan Gilang ciuman? Benarkah ini?! Gilang menarik lembut pinggang Bunga dalam dekapan tangannya sembari memperdalam ciuman mereka. Bunga ingin sekali mendorong Gilang, tapi tubuhnya kini bak jeli berada di dekapan pria itu. Tak berdaya dan pasrah. Malahan, Bunga terhipnosis untuk mengikuti gerakan bibir Gilang sambil memejamkan mata. § BUNGASTGILANG Tiba-tiba ponsel Gilang berdering, menghentikan ciuman itu. Gilang mengangkat kepalanya memutus bibir mereka yang sebelumnya menyatu. Terdengar jelas napas keduanya memburu. Saat tatapan mata mereka bertemu wajah Bunga sudah semerah tomat, sedang Gilang tak tahu harus menggambarkan seperti apa perasaannya saat ini. Gilang cepat berbalik membelakangi Bunga. Sebelum mengangkat teleponnya, ia berdeham sebentar menormalkan suaranya yang berubah serak. “Halo, Pa?” “Iya, berkasnya sama Gilang,” Gilang melangkah mendekati tempat tidur, mengambil map cokelat yang tak sengaja ditinggalkannya di sana. Masih sambil bertelepon Gilang langsung keluar dari kamar tanpa berbicara sepatah kata pun pada Bunga. Bunga melongo tak percaya menyaksikan kepergian Gilang. Harusnya tadi ia meninju Gilang! Harusnya ia menampar Gilang! Harusnya ia menginjak keras kaki Gilang! Harusnya ia memaki-maki Gilang! Harusnya ... ia tidak hanyut begitu saja dengan perlakuan Gilang tadi. Pasti Gilang sedang menertawakannya sekarang karena dengan mudahnya ia jatuh dalam dekapan pria itu. HAR Gilang terus menggelengkan kepalanya dalam perjalanan menuju kantor. Kenapa ia sampai lepas kendali begitu? Ia memang pria normal yang bergairah. Terlebih Bunga itu sudah halal baginya. Tapi, bukankah ia hanya tertarik dan menyukai Zeeta saja? Hanya % {OTUSCrOWN menginginkan Zeeta saja? Jujur, tadi ia begitu menikmati ciuman itu. Rasanya sangat berbeda ketika ia melakukannya dengan Zeeta. Bersama Bunga ia merasakan debaran-debaran aneh yang menggelitik hatinya, yang tak ia rasakan bersama Zeeta. Ponsel Gilang kembali berdering, kali ini memunculkan nama Zeeta di layarnya. Gilang melirik sekilas ponsel yang tergeletak di jok mobil itu, lalu membiarkannya saja meski terus berbunyi. Zeeta tak ada henti-hentinya menghubungi. Gilang pun memutuskan membuat mode silent, mengabaikan kakak istrinya itu. “Ini gila!” seru Gilang. Helaan napas berat pun lolos dari sela bibirnya. HER Baik Bunga maupun Gilang masing-masing memikirkan kejadian tadi pagi. Bunga melamun sambil menunggui pintu lift terbuka. Ketika pintunya sudah terbuka, Bunga segera masuk. Ia menarik napas dalam-dalam mengingat kejadian tersebut. Lain kali, ia memakaikan baju di kamar mandi saja, ada Gilang maupun tidak. Saat menolehkan kepalanya ke samping Bunga terkejut mendapati sosok Gilang berdiri dengan wajah datar, yang begitu ingin dihindarinya. Cepat Bunga membuang muka, menatap lurus ke depan. Astaga ... kenapa mereka hanya berdua di dalam lift ini? Biasanya ada beberapa karyawan lain, tak pernah sepi begini. Huhh ... Bunga mengusap tengkuknya, ia merasa begitu canggung. Apa yang harus Bunga katakan pada Gilang? “Dasar brengsek! Main cium aja!” Tidak, Bunga menggelengkan kepalanya. Atau mungkin dengan, “Heh pria kejam nggak tahu diri! Udah nyium orang, terus pergi main tinggal aja!” Bunga menggeleng lagi. BUNGASTGILANG Diwaktuyang sama, Gilangmenelanludah untukmenghilangkan rasa gugupnya berdua dengan Bunga. Apa yang harus ia katakan pertama kalinya pada Bunga? “Maaf aku mencium mu.” Begitu? Tidak ... Gilang menyentuh pelipisnya yang terasa berdenyut. Atau mungkin dengan, “Maaf, tadi aku nggak sengaja cium!” Ah! Yang benar saja Gilang! Itu tidak mungkin. Gilang menggelengkan kepala. Saat sibuk dengan pikiran masing-masing, pintu lift sudah terbuka mengantarkan mereka ke lantai lima. “Nanti malam acara anniv pernikahan Mama Papa,” Gilang membuka percakapan di antara mereka. Baru dua langkah dari lift seketika Bunga menghentikan langkahnya. “Iya tahu, tapi aku nggak bisa dateng. Aku kerja,” ucap Bunga dengan posisi membelakangi Gilang. Gilang menarik napas dan mengeluarkannya kasar. “Kamu nggak boleh kerja di sana lagi!” serunya. “Kenapa?” Bunga mengernyit tak suka. Ia berbalik menghadap Gilang. “Pokoknya nggak boleh, titik! Nggak ada bantahan apa pun!” Gilang melayangkan tatapan tajamnya. “Tapi kenapa?” Bunga geram bercampur kesal. “Pokoknya enggak! Kamu harus datang bareng aku nanti malam. Nggak ada bantahan lagi.” Gilang langsung menekan tombol tujuh, seketika pintu lift itu pun kembali tertutup. Bunga menggeram dalam hati, kenapa Gilang selalu berbuat seenaknya?!!! AER {OTUSCrOWN Bunga mengirimkan pesan singkat pada Billy, meminta maaf karena ia tidak bisa bekerja malam ini. Bunga sudah siap berangkat ke acara anniversary pernikahan mertuanya. Ia memakai gaun malam berwarna pink pastel yang Mama mertuanya beli untuknya waktu itu. Sebuah gaun indah yang berbelah di samping kanan hingga memperlihatkan betisnya. Untuk urusan make up dan tatanan rambutnya, Gilang menyewa langsung seorang penata rias datang ke apartemen. Sementara Gilang memakai tuxedo hitam dengan dalaman kemeja berwarna biru langit. Sisiran rambutnya ke samping. Ia tetap kelihatan tampan seperti biasanya. Dalam perjalanan Gilang maupun Bunga diam saja, tak ada yang berniat memulai percakapan. Sesampainya di halaman besar kediaman Mahendra itu, Gilang langsung turun dari mobil meninggalkan Bunga. “Malam, Mas Gilang,” sapa satpam itu ramah yang sedang berdiri bersama tiga satpam lainnya menjaga mobil para tamu yang sudah datang. “Malam, Pak Sakti,” Gilang tersenyum. “Bunga, cepat sedikit!” seru Gilang menunggu Bunga sebelum masuk ke dalam. “lya .. iya ....” Walaupun ini cuma wedjes tetap saja Bunga belum terbiasa memakainya. Bunga menghampiri Gilang dengan hati-hati sambil betul-betul memperhatikan langkah kakinya. Ia takut jatuh. “Ayo!” ucapnya sesaat sudah di dekat Gilang. “Mbak ini istri Mas Gilang, ya?” tanya Pak Sakti. “Cantiknya ... Mas Gilang beruntung banget,” pria paruh baya itu berdecak kagum. Bunga memang kelihatan cantik sekaligus anggun dengan gaun pestanya serta polesan make up tipisnya. “Makasih, Pak,” balas Bunga tersenyum lebar. Kapan lagi ia dipuji orang lain di hadapan "i BUNGASTGILANG Gilang begini? Sementara Gilang tak begitu menanggapi pujian yang dilontarkan Pak Sakti. Gilang dan Bunga pun berjalan bersisian masuk ke dalam. Ruangan besar itu sudah disulap begitu indah dengan latar belakang pink bercampur dongker yang bermotif bunga-bunga serta kupu-kupu. “Bunga sayang....” sapa mama Gilang langsung memeluk menantunya lalu anak semata wayangnya. “Selamat ulang tahun pernikahan, Ma, langgeng terus sampe kakek-nenek,” Bunga tersenyum tulus. “Gimana mau sampe kakek-nenek, perut kamu aja belum buncit sampe sekarang.” Mama Gilang menatap sebal menantu dan anaknya itu. “Cepetan dong, Lang!” serunya. “Ma ...,” Gilang menatap datar mamanya, sementara Bunga mengipasi wajahnya dengan tangan mendengar ucapan mertuanya itu. Bunga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Matanya berhenti di satu titik, yaitu Zeeta. Zeeta mengenakan gaun indah yang belakangnya menampakkan punggung mulus kakaknya itu, membuat Bunga meringis jadinya. Perbedaan mereka begitu jauh. Zeeta kelihatan sangat cantik dan sexy bersamaan. Sementara ia ... yah, belum ada apa-apanya lah dibandingkan dengan kakaknya itu. Pasti Gilang terpesona melihatnya, Bunga membatin. Semua para tamu undangan memberikan selamat atas ulang tahun pernikahan mama-papa Gilang pada keduanya. Saat acara makan malam dimulai Bunga, Gilang, orang tua mereka, Zeeta, Denis, Dani—adiknya—dan mami Denis berada di satu meja yang sama. Sebuah meja ukuran besar berbentuk lingkaran. Para pelayan menghidangkan berbagai jenis makanan lezat di hadapan mereka. 100 {OTUSCrOWN “Aduh ... putri bungsumu cantik juga, ya?” puji mami Denis tiba- tiba pada mama Bunga sambil mengelus-elus kepala Bunga. Bunga dan mamanya menanggapi dengan tersenyum. Posisi Bunga ada di antara mami Denis dan Gilang, sementara di samping suaminya itu lagi ada Zeeta. “Gimana kalau dijodohin sama Denis? Cocok kan?!” seru mami Denis ceria sambil merangkul keduanya yang tepat berada di kiri- kanannya. Semua yang ada di meja terkejut mendengarnya. Gilang langsung mengarahkan tatapan kesal pada tantenya itu. “Ehem! Karina, Bunga itu istrinya Gilang,” jelas papa Gilang. Memang, saat resepsi pernikahan Gilang dan Bunga waktu itu maminya Denis serta Dani adiknya tak berkesempatan hadir sebab keduanya tengah berada di Singapura. “Oh ya? Kirain istrinya itu yang ada di sebelah kanan Gilang,” mami Denis menunjuk pada Zeeta yang tersenyum menanggapinya. Sementara itu Bunga langsung memutar bola matanya dengan malas. “Yah ... sayang banget, padahal cocokan sama Denis, loh.” Mami Denis tersenyum lebar sambil mencolek dagu Bunga. Bunga tersenyum kikuk jadinya. Rahang Gilang mengetat mendengar ocehan tantenya itu. Ia langsung meminum minumannya sekali tegukan. “Yaudah nggak papa, nanti kalau udah cerai dari Gilang, sama Denis aja yah, Sayang?” Senyum mami Denis semakin lebar saja. “Tantel!!” bentak Gilang begitu kesal pada tantenya. “Mami ....” Denis hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ulah maminya. i BUNGASTGILANG “Karina, lebih baik kamu lanjut makan aja. Jangan ngoceh lagi.” Papa Gilang memijat keningnya yang mendadak pening melihat tingkah adiknya itu. Sejak dulu tingkahnya memang terkenal ajaib dan spontan. Mama Gilang dan mama Bunga tak suka mendengar ocehan mami Denis yang unfaedah itu. Lain dengan Zeeta, ia tersenyum sinis mendengarnya. Zeeta menoleh ke samping, dahinya seketika mengerut melihat ekspresi Gilang yang tengah menggenggam begitu kuat gelasnya. Apa Gilang cemburu, pikirnya dengan tak suka. Wy vi ini kamu aneh, Mas.” Zeeta melayangkan tatapan tak Afric Mereka masih di acara anniversary pernikahan orang tua Gilang, memilih bicara berdua di sudut ruangan. “Aneh gimana?” Meski sedang berbicara dengan Zeeta, namun pandangan Gilang mengarah pada Bunga yang tertawa bersama Denis dan maminya di tengah sana. Mereka entah sedang membicarakan apa hingga membuat Bunga tertawa kelihatan begitu ceria. “Tadi pagi aku terus nelponin kamu Mas tapi nggak diangkat,” ujar Zeeta terlihat sedih. “Maaf, Mas sibuk.” Gilang melihat Zeeta sebentar, lalu pandangannya kembali pada Bunga yang masih tertawa. Selama mereka menikah Bunga belum pernah menampakkan tawanya di depan Gilang, dan entah mengapa itu membuat egonya terusik. “Walaupun sibuk tapi Mas biasanya ngasi ....” Ucapan Zeeta terpotong karena tiba-tiba saja Gilang meninggalkannya tanpa BUNGASTGILANG menoleh sedikit pun. Zeeta langsung mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya, ia tak terima ditinggalkan begitu saja oleh Gilang. Gilang melangkah besar-besar menghampiri Bunga yang kini berada di dekapan Denis. Saat berbicara dengan Zeeta tadi, ia melihat Bunga hendak terjatuh namun dengan cepat Denis merengkuhnya ke dalam dekapannya membuat Gilang langsung menggertakkan gigi seraya mendekati mereka dengan riak wajahnya yang galak. Ditariknya Bunga dari Denis lalu dibawa ke dalam pelukannya. Cepat Gilang melemparkan tatapan dongkolnya pada tantenya yang sedari tadi seperti memang sengaja membuatnya naik darah. Gilang mengeratkan pelukannya, mengeklaim bahwa Bunga hanya miliknya. “Apaan sih, lepas,” bisik Bunga. Dadanya yang menekan perut Gilang membuatnya menahan napas. Bunga pun terus menyikut- nyikut lengan Gilang agar pria itu mau melepaskannya. “Diam!” bisik Gilang berat dan semakin mengeratkan pelukannya. Seketika Denis mengernyit heran atas tingkah Gilang itu, sementara maminya justru tersenyum geli melihat sepupunya itu. RAR Para tamu undangan telah pulang menyisakan keluarga inti mereka. Bunga mencium pipi mamanya dan mama mertuanya untuk pamit. Sedang yang lainnya juga saling sibuk berpamitan, Zeeta mengambil kesempatan berbicara lagi dengan Gilang. “Mas besok jalan ya?” “Besok? Hm oke, nanti Mas kabarir lt {OTUSCrOWN Cepat senyum Zeeta melebar dengan sempurnanya sesaat mendengar jawaban tersebut. Ternyata Gilang masih punya waktu untuknya, menyisihkan waktu bersamanya. Memang semestinya Gilang harus selalu ada untuknya bukan untuk Bunga. Zeeta pun mengulas seringaian tipis menggambarkan sesuatu apa yang ada di dalam hatinya. Mami Denis menatap Zeeta dengan sinis dari tempatnya. Ia tahu waktu itu Zeeta dan Gilang liburan bersama di Bangkok karena saat itu juga ia tengah liburan bersama teman-temannya di sana. Mulai dari situ, ia tak suka dengan Zeeta yang bermain di belakang adiknya sendiri. Gilang juga tega sekali menduakan Bunga dengan kakak istrinya itu. Mumpung masih di Jakarta, ia bertekad akan memberi pelajaran untuk Gilang. Semoga saja usahanya itu tidak sia- sia. Mampu membuka mata hati keponakannya itu. HAR Suasana perjalanan pulang terasa begitu sunyi. Bunga terus menatap ke luar jendela, sementara Gilang sesekali melirik Bunga seperti ingin mengatakan sesuatu. “Udah berhentikerja di toko kue itu, kan?” tanya Gilang akhirnya. Bunga menoleh menatapnya tak suka. “Nggak lah. Kalau aku berhenti mau dapat uang tambahan dari mana,” dengus Bunga kesal. “Jadi masalahnya uang?” tanya Gilang seolah-olah itu adalah hal remeh, dan itu benar-benar membangkitkan rasa marah dalam diri Bunga yang sudah coba ditanamnya sejak percakapan mereka di lift tadi siang, “Ya iyalah! Kamu nggak sadar udah motong gajiku? Blokir ATM-ku? Malah ngasi jajan cuma seratus ribu sehari. Kamu pikir mempan?!” sembur Bunga galak. i BUNGASTGILANG “Kamu tetap harus berhenti,” jawab Gilang tak menanggapi ucapan Bunga. “Negak usah ngatur-ngatur aku!” sentak Bunga dengan wajah merah karena marah. “alu suamimul” balas Gilang sengit. “Cuma di atas kertas aja,” ucap Bunga dan kembali memalingkan wajahnya ke luar jendela. Cit...! Gilang tiba-tiba menghentikan mobilnya. Ia tak suka mendengar ucapan Bunga barusan. Bunga menoleh kembali pada Gilang yang kini tampak sangat marah. Alis Bunga nyaris menyatu melihat reaksi Gilang tersebut. “Jangan ngelawan terus!” Gilang mencengkeram setirnya kuat hingga buku-buku jarinya mulai memutih. “Kenapa? Mau bilang, aku heran kalian saudara tapi kamu sama Zeeta itu beda banget ..., gitu?” Bunga meniru kata-kata yang sering Gilang lontarkan padanya. Gilang mendengus lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-parunya. Kali ini ia harus tenang agar Bunga mau mengikuti kemauannya. “Ini penawaran. Aku bakalan ngasi kamu mobil dan kartu kredit, tapi kamu harus berhenti kerja di toko itu dan balikin motor yang dikasi pinjam sama Denis,” Gilang menatap Bunga serius. “Aku juga nggak akan motong gajimu lagi perbulannya. Tapi ingat, kartu itu bukan untuk beli motor atau model bajumu yang dulu.” Bunga melongo memperhatikan Gilang. Dikerjapkan matanya berkali-kali, tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. “Paham?” Bunga mengerjap lagi memperhatikan sosok pria yang duduk di sebelahnya. Itu memang Gilang, bukan? Bunga bertanya- at {OTUSCrOWN tanya sendiri dalam hati. “I... i... iya,” dengan nada tergagap Bunga pun mengangguk cepat sebelum Gilang berubah pikiran. Kapan lagi ia dapat tawaran bagus begini. Soal motor dan pakaian itu, ia akan berusaha melupakannya meski berat dan beradaptasi dengan perubahan yang baru. Tidak apa-apa, Bunga membatin. “Bagus!” Gilang kembali menjalankan mobilnya membelah jalanan menuju apartemen mereka. RRR Benar saja, besoknya Gilang melakukan persis seperti apa yang ia katakan semalam. Masih pagi buta sebuah mobil berwarna silver sudah terparkir dengan anggunnya di parkiran gedung apartemen tersebut. Gilang pun langsung memberi kuncinya untuk Bunga serta kartu kredit yang ia janjikan itu. Bunga buru-buru meraih ponselnya mengirimkan pesan singkat pada Billy kalau ia berhenti bekerja, sesuai kesepakatannya dengan Gilang. Tak ketinggalan ucapan terima kasihnya atas semua kebaikan Billy selama ini. Nanti setelah pulang kantor, ia akan langsung menemui temannya itu. Bunga jadi bertanya-tanya dalam hati, kenapa Gilang bisa berubah sedrastis itu dalam semalam saja. Bunga menggelengkan kepalanya, sepertinya ia terlalu banyak berpikir. Yang penting sekarang hidupnya tak susah lagi. Itu sudah lebih dari cukup. Hah... Bunga merentangkan kedua lengannya lebar-lebar merasa begitu lega. Seolah baru keluar dari penjara bawah tanah dan bisa w BUNGASTGILANG menghirup udara bebas. Ia akan memulai pagi ini dengan senyuman manis, semanis makanan-makanan lezat yang akan dibelinya di restoran favoritnya nanti. HHH Bunga melirik sebentar arlojinya menunjukkan jam makan siang telah tiba. Bunga pun memanggil Sri yang ada di samping mejanya, ternyata gadis berkacamata besar itu masih begitu asyik dengan layar komputer di depannya. Belum lagi Bunga bangkit dari kursinya, mami Denis tiba-tiba sudah lebih dulu menyelonong masuk lalu menyapanya dengan wajah yang begitu terkejut. “Ya ampun Bunga! Kamu kok bisa kerja dibagian ini, sih?!” Mata mami Denis mengitari sekeliling ruangan dengan kening yang mengerut dalam. Sri yang sudah bersiap-siap makan siang ke kantin bersama Bunga seketika diam di tempatnya melihat wanita paruh baya itu yang kini memasang wajah tak sukanya dengan lingkungan kerja mereka. “Padahal kamu ini kan is ...." Bunga langsung memegang lengan mami Denis. Bunga menggelengkan kepalanya dengan kuat seraya berbisik pelan, “Sst ..., Tante, karyawan di sini nggak ada yang tahu.” Bunga sekilas lalu melirik ke arah Sri yang mengernyit memandang mereka. “Nggak ada yang tahu kalau kamu ...?” Ketika menyadarinya mami Denis langsung membuka mulut membentuk huruf O saking terkejutnya. Bunga mengangguk. Mami Denis mengempaskan napasnya dengan gusar. Dasar Gilang ponakan bodoh, maki mami Denis dalam hati. “Yaudah deh, kita makan siang aja, yuk?” tawar 10 {OTUSCrOWN mami Denis. Bunga mengangguk lalu mengajak Sri yang sedari tadi hanya diam melihat ke arah mereka bergabung bersama. HHH Ternyata mami Denis mengajak mereka makan siang di kantin Khusus petinggi perusahaan, biasanya mereka berdua duduk di kantin sebelah, yaitu kantin untuk karyawan biasa. “Kalian pesan aja sepuasnya, biar aunty yang bayar. Okay girls?!” seru mami Denis ceria. “Oke, aunty.” Bunga dan Sri mengangguk pelan lalu keduanya saling bersitatap heran. Mami Denis memang ajaib, tingkahnya seperti gadis usia muda saja. Tak butuh waktu lama pesanan mereka pun datang. Mereka mulai makan sembari diselingi obrolan beberapa hal dan sesekali tertawa. Gilang, Denis, dan satu lagi teman mereka yang lain masuk ke dalam kantin. Denis dan Gilang sama-sama terkejut melihat kehadiran maminya Denis itu. “Mi?” Denis menghampiri maminya. “Halo sayangnya Mami,” mami Denis mencium pipianaknya tersebut. Sri langsung membulatkan mata, ternyata wanita paruh baya ini ibunya Denis. Pantas saja ia membawanya dan Bunga ke kantin ini pikir Sri. “Mami ngapain?” tanya Denis yang dijawab langsung oleh maminya, “Ya makan lah! Udah deh, sana gabung sama Gilang, Mami nggakmau denger omelan kamu sekarang,” Denismengangkatbahunya dan segera bergabung dengan Gilang yang duduk berjarak hanya dua meja saja di antara maminya. at} BUNGASTGILANG Saat mereka makan, mami Denis menoleh ke arah Gilang yang tidak jauh dari tempatnya. Ia pun memulai aksinya. “Bunga itu cocok sama Denis kan, Sri? Bunga single, Denis juga single,” ucap mami Denis sambil melirik Gilang terang-terangan. Gilang yang mendengar langsung memutar bola matanya dengan malas. “Iya kan, Sri?” tanya mami Denis lagi. Anggukan cepat dari Sri seketika itu juga membuat Gilang mendegus dongkol, membuat mami Denis langsung terkikik geli atas reaksi spontan keponakannya itu. Cemburu, hm? tanyanya dalam hati begitu senang. Sementara itu, Denis semakin heran menyaksikan ulah maminya yang lagi-lagi berusaha membuat Gilang cemburu. Entah apa yang ada dipikiran maminya itu. Bunga juga heran melihat mami Denis yang terus saja mencocok-cocokannya dengan Denis hanya jika di depan Gilang. Alis Bunga nyaris menyatu memikirkan ada alasan apa dibaliknya. ARH Langit kini sudah berubah warna menjadi hitam pekat dengan diterangi oleh taburan bintang-bintangnya. Malam yang indah, dan Gilang akan menemui Zeeta sekarang. Ia sudah menerima ajakan Zeeta dan berjanji akan datang menjemput wanita itu di apartemennya. Namun, saat membukakan pintu, Gilang mendengus melihat siapa sosok yang berdiri di hadapannya kini. “Ngapain Tante ke sini?” “Emangnya nggak boleh?” io {OTUSCrOWN Gilang menghela napas seraya mundur dua langkah ke belakang memberi jarak untuk tante ajaibnya itu masuk. Gilang kembali menutup pintunya, mengurungkan niatnya yang ingin pergi. Ia mengikuti tantenya yang kini berjalan mendekati Bunga yang sedang asyik menonton televisi. “Hola-hola, Bunga!” Mami Denis berdiri di samping Bunga tersenyum lebar. “Tante?!” Bunga yang senang melihat kedatangan mami Denis itu langsung berdiri dan memeluk tubuh wanita paruh baya itu yang masih saja bagus di usianya. “Astaga! Kamu tidur di sofa?” tebaknya. Bunga bingung, apa harus menjawab jujur atau tidak. Bunga melirik Gilang yang duduk diam saja dengan raut wajah tak terbaca. “Pasti iya nih! Kalau nggak, nggak mungkin ada selimut terus ada bantal gini;” Mami Denis menunjuk satu per satu kemudian ia duduk dan melemparkan tatapan kesalnya pada Gilang, “Tante salah. Bunga sama Gilang tidur di kamar,” elak Gilang. Mami Denis tersenyum kecut. Ia tidak percaya itu! “Dasar! Oh ya, lihat nih yang Tante bawa.” Mami Denis membawa peralatan make up lengkap, dua gaun indah dan sepasang high heels. “Ini semua untuk Bunga. Kamu harus belajar dandan sendiri dan pakai heels ini.” Kemudian mami Denis menjelaskan guna dan cara memakai alat-alat make up tersebut. Gilang mengembuskan napasnya, menepuk kedua pahanya seraya bangkit dari duduknya dan hendak beranjak ke luar lagi. ik mami Denis tiba-tiba “Jodoh kan nggak ada yang tahu,” melenceng dari topik yang sebelumnya ia bahas. Namun Gilang i BUNGASTGILANG masih bisa mendengarnya dengan jelas. Itu bukan bisikan lagi tapi ucapan lantang karena mami Denis sendiri memang berniat agar Gilang mendengarnya. “Nanti Denis ke sini, kok,” pancingnya lagi melirik Gilang yang hendak meraih kenop pintu. “Ngapain Denis ke sini?” Gilang langsung berbalik badan berjalan mendekati mereka lagi. “Mau jemput Tante lah!” “Nggak usah, biar Gilang aja yang ngantar.” “Loh, kamu kan mau pergi. Udah sana pergi aja, nggak papa.” “Nggak, Gilang nggak pergi ke mana-mana, Tante.” Gilang merogoh saku celananya, mengambil ponsel pipih miliknya. Dikirimkannya pesan singkat pada Zeta bahwa ia tidak bisa datang malam ini. Mami Denis tertawa bahagia dalam hati. Akhirnya, pertemuan Gilang dan Zeeta batal. Ia tahu karena sempat mendengar ajakan Zeeta pada Gilang di acara ulang tahun pernikahan kakaknya semalam. RRR Setelah mengantarkan tantenya, Gilang kembali ke apartemen. Dilihatnya Bunga sudah tertidur pulas di atas sofa. Gilang pun menghidupkan lampu utama yang membuat Bunga terbangun jadinya. “Kenapa dihidupin, sih?” Bunga langsung menarik selimut hingga menutupi wajahnya tapi dengan cepat Gilang menarik turun selimutnya lagi. “Tidur di dalam.” {OTUSCrOWN “Hab, di dalam?! Aku nggak salah denger? Jadi kamu yang tidur di sofa? Kita gantian gitu?” Bunga langsung terduduk mendengar ucapan Gilang tersebut. Matanya tampak berbinar-binar tapi sesaat kemudian ia malah dapat tepukan pelan di dahi. “Kita tidur sama,” kata Gilang dengan santainya. “Enggak!” sela Bunga cepat. “Kalau nggak mau, berarti kamu takut sekamar denganku,” Gilang berujar sembari berjalan menuju kamar. “Soalnya kamu udah mulai menyukaiku,” sambungan kata-kata Gilang membuat Bunga melotot meski dalam hati ia diam-diam membenarkan. Malam itu pun Bunga dan Gilang tidur bersama. Meski awalnya mereka memberi batas dengan dua bantal guling berjejer di tengah, malah paginya mereka bangun-bangun sudah dengan keadaan berpelukan dan kedua guling itu sudah jatuh di lantai. Ketika tersadar mereka langsung menjauh, menarik diri masing-masing dan kelihatan begitu salah tingkah. HM “Tante kok jadi sedih, ya?” ucap mami Denis dengan mata yang berkaca-kaca. “Tante sering-sering aja main ke sini,” Bunga meraih kedua tangan mami Denis tersenyum hangat. Sekarang sekitaran pukul sepuluh pagi mereka sudah berada di Bandara Soekarno Hatta mengantarkan mami Denis dan Dani adiknya kembali ke Singapura. Sedang Gilang memperhatikan Bunga dan tantenya yang berdiri tak jauh darinya, Denis dan Dani duduk anteng di salah satu kursi panjang yang ada di sana. 1B BUNGASTGILANG “Bunga, kamu lebih cantik begini.” Mami Denis tiba-tiba menarik pelan ikat rambut Bunga yang sebelumnya diikat ekor kuda seperti biasa. “Tub, digerai lebih cantik. Dicepol ke atas juga cantik sama kamu dibandingkan yang tadi,” ujar mami Denis. Wanita paruh baya itu pun mengambil ponselnya di dalam tas lalu menekan kamera di layarnya. [a dan Bunga mulai melakukan wefie sebanyak yang ia mau. “Tante masuk gih,” Gilang mendekati keduanya. “Iya!!” bentak mami Denis sebal lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Iamenoleh tersenyum pada Bunga dan langsung memeluknya. “Aduh ... Tante pasti kangen banget sama kamu.” Mami Denis mengusap punggung Bunga. “Bunga juga, Tante,” balas Bunga mempererat pelukannya. “Sini peluk dulu ....” kata mami Denis dengan manja beralih pada keponakannya usai mengurai pelukannya dengan Bunga. Mami Denis merentangkan kedua tangannya menanti Gilang. Pria bertubuh jangkung itu pun mendekat seraya memeluk tantenya. “Kamu jangan nakal. Nanti dia bisa aja pergi.” Mami Denis berbisik penuh makna. Gilang mengernyitkan keningnya bingung mendengar ucapan tantenya itu. lt unga berada di sebuah restoran mewah di kawasan jantung kota lyang menyediakan menu Perancis terbaik. Restoran tersebut didesain dengan begitu apik memadukan gaya modern industrial dengan sentuhan kayu yang memberikan atmosfer nyaman untuk makan malam Bunga seorang diri. Sepulang dari kantor tadi ia langsung kemari dengan mengemudi mobil yang diberikan Gilang beberapa hari lalu itu padanya. Di meja yang ada di hadapannya kini sudah terhidang banyak menu makanan dengan tiga menu minumannya sekaligus. Mungkin ini efek setelah menikah Bunga tidak pernah hidup enak lagi, tidak bisa memilih makanan yang diinginkannya. Oh life, akhirnya Bunga merasakan yang namanya hidup lagi. Setelah menghabiskan makanannya sekitar setengah jam Bunga langsung memanggil waiter meminta bill-nya. Saat waiter BUNGASTGILANG itu menyebutkan angkanya Bunga tinggal menyodorkan credit card yang telah Gilang beri untuknya. Sebenarnya, Bunga ingin sekali mengajak Sri makan bersama tapi ia tak tahu harus memberikan alasan apa lagi jika Sri terus bertanya ia dapatkan dari mana credit card ini. Seperti sebelumnya, Sri bertanya ia dapat dari mana mobil itu. Terpaksa Bunga berbohong mengatakan itu mobil saudaranya yang sedang berbaik hati mau meminjamkan untuknya. Setibanya Bunga di apartemen pukul enam sore ia tak melihat keberadaan Gilang. Mungkin dia belum pulang, pikirnya. Karena merasa badannya sudah lengket Bunga memutuskan untuk mandi. Bunga pun masuk ke dalam kamar mandi dengan membawa baju gantinya. Ia was-was kejadian waktu itu terulang lagi. Perlahan tangan kanannya terangkat menyentuh permukaan bibirnya. Ciuman itu masih ber... Cepat Bunga menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan menjauhkan tangannya dari bibir. Seharusnya ia tidak boleh mengingatnya lagi. Lalu Bunga mulai menanggalkan pakaiannya dan menghidupkan shower. Di sisi lain dengan waktu yang sama, “Bunga ...,” panggil Gilang yang baru saja masuk. Gilang melemparkan pandangan ke seluruh ruangan tapi tak menemukan keberadaan Bunga. Mungkin Bunga belum pulang, pikirnya. Gilang baru saja selesai bermain bulutangkis di lantai dasar membuat badannya begitu berkeringat. Gilang segera melangkahkan kakinya memasuki kamar mandi, langsung membuka bajunya dengan posisi membelakangi shower. lls {OTUSCrOWN Sehabis mandi Bunga mengusapkan handuk ke tubuhnya hingga kering lalu melilitkannya. Dilepas tutup kepala yang tadi dipakainya saat mandi. Ketika Bunga mengangkat kedua tangan untuk mengikat ketat rambutnya, handuk yang ia pakai itu malah melorot hingga mata kaki. Gilang berbalik badan hendak melangkah menuju shower, seketika matanya membola tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini, Bunga berdiri di depannya tanpa sehelai benang pun. Ia melihat seluruh tubuh Bunga hingga bagian sensitifnya. Gilang menelan ludah susah payah. Tiba-tiba saja bagian bawah dirinya mengeras. Sial! Ia harus bisa menahan diri. Gilang berulang kali meneguk salivanya susah payah. Setelah selesai mengikat ketat rambutnya Bunga langsung meraih handuk yang ada di bawah kakinya dan melilitkan kembali ke tubuhnya. Bunga mendongak dan hendak berlalu dari tempatnya. Astaga! Alangkah terkejutnya Bunga melihat sosok Gilang yang bertelanjang dada sedang berdiri kaku di hadapannya, menatapnya dengan pandangan menggelap. Ya ampun ... ternyata Bunga lupa mengunci pintu! Sudah berapa lama Gilang berdiri di sana? Apa Gilang tadi melihat dirinya yang polos tanpa apa pun? Wajah Bunga seketika memucat. Kemarin dengan handuk dan sekarang ...? Bunga langsung memutar tubuh membelakangi Gilang. “KELUARI!!!” teriaknya histeris. Gilang tersentak. Refleks ia cepat melangkah keluar. Gilang mengatur napasnya yang ngos-ngosan seperti baru habis maraton Ww BUNGASTGILANG saja. Yang ia lihat tadi benar-benar menggugah sisi kelelakiannya. Mungkin jika ia masih berada di dalam, tidak ada yang bisa menjamin apa yang akan ia lakukan pada Bunga. Waktu itu saja Bunga masih memakai handuk ia sudah tergoda menciumnya, apalagi yang ia lihat barusan. Gilang mengusap wajahnya dengan kasar dan menghempaskan napasnya dengan kuat. Bunga benar-benar ingin menangis meraung-raung sekarang. Rasanya ia ingin berguling-guling di lantai hingga keluar dari apartemen ini dan tak bertemu Gilang lagi selamanya. Bunga begitu malu. Sangat malu! Sampai ia merasakan wajahnya memanas karena malunya. Bunga tak tahu harus bersembunyi ke mana sekarang. HAH Setelah menghabiskan hampir satu jam bersembunyi di dalam kamar mandi, dengan sisa-sisa keberaniannya Bunga keluar. Seketika Bunga langsung menoleh ke arah lain membuang muka saat sudut matanya menangkap sosok Gilang duduk di pinggir tempat tidur. “Nggak usah terlalu dipikirin. Aku nggak tertarik sama badan anak kecil,” ucap Gilang dengan nada serius. Padahal, bohong. Ditatapnya Bunga dengan datar. “Apa?!” Rasa malu Bunga tadi menguap begitu saja, kini berganti rasa kesal dan marah. Ia menatap Gilang sengit. “Aku juga nggak ngarepin kamu suka sama bada ....” Bunga tak melanjutkan kata-katanya. Ia jadi salah tingkah. Cepat ia keluar dari kamar dan menutup keras pintunya. {OTUSCrOWN Gilang mengusap kasar wajahnya lalu menarik napas dalam- dalam, Setelahnya, Gilang bangkit dan berjalan memasuki kamar mandi. Gilang memutuskan berendam untuk menenangkan diri. “Sial!” umpatnya. HAR Bunga yang merasa bosan menonton televisi sejak tadi melangkah ke pantri untuk mengambil roti juga minuman untuknya. Sudah hampir setengah jam Gilang belum juga keluar kamar. Bunga jadi teringat ucapan Gilang tadi, apa badannya begitu jelek sehingga tidak menarik bagi pria dewasa seperti Gilang? Setelah merasa lebih tenang Gilang keluar dari kamar. Ia mengedarkan pandangan dan mendapati Bunga tengah berdiri membelakanginya di pantri. Gilang mengingat kembali kejadian tadi. Tanpa sadar langkah kakinya membawanya ke arah Bunga. Malam ini Bunga memakai baju tidur yang panjangnya di atas lutut berlengan tali satu berwarna krem. Kali ini Bunga mencepol tinggi rambutnya hingga memperlihatkan lehernya yang putih jenjang. Gilang sudah berdiri persis dibelakang Bunga. Napasnya berubah tak beraturan kini, Perlahan ... ia mendekatkan wajahnya ke tengkuk Bunga. Cup! Dikecupnya tengkuk Bunga sambil memejamkan mata. Seketika Bunga menjadi tegang. Ada sensasi aneh yang tak ia mengerti menjalar di tubuhnya. “Ehem!!” Sontak Bunga dan Gilang menoleh ke arah asal suara itu. Ternyata, mama Gilang tengah berdiri di hadapan mereka dengan senyum gelinya. Mungkin Gilang harus mengubah kata sandi i BUNGASTGILANG apartemennya agar mamanya tidak asal masuk saja. “Ma ....” Bunga mendekati mama mertuanya dan mengajaknya duduk di ruang tengah yang diikuti Gilang dari belakang. “Ini Mama bawa sesuatu untuk kalian.” Mama Gilang mengeluarkan satu kotak susu dan satu botol yang isinya air berwarna oranye dari dalam plastik, lalu diletakkan di atas meja. “Ini apa, Ma?” tanya Bunga. Gilang mengernyit menatap mamanya. “Yang ini untuk Bunga.” Mama Gilang menunjuk kotak susu. “Biar cepat hamil, gitu. Dan yang ini ....” Mama Gilang terkikik sendiri menunjuk botol yang ia bawa. “Untuk Gilang biar lebih perkasa!” tambahnya. Bunga dan Gilang sama-sama membesarkan bola mata. Mereka saling bersitatap dan seketika rona merah langsung muncul di pipi masing-masing. “Jangan lupa diminum, yah? Mama pengen banget cepat nimang cucu,” ucap mama Gilang sendu. “Mama pengen banget,” ulangnya kali ini dengan mata yang berkaca-kaca. Gilang menghela napas dan segera beranjak duduk di sebelah mamanya. “Iya, Mama doain aja.” Gilang mengusap lembut punggung mamanya. Mama doain aja?! Bunga mencebik. Dasar gila! Pria dihadapannya itu benar-benar jago acting, membuat mamanya tersenyum lebar mengharapkan sesuatu yang tak pasti. Bukannya barusan Gilang yang bilang kalau ia tidak tertarik pada body Bunga? Gimana mau memberi cucu pada mamanya? Lagian, Bunga juga tidak mau membuat bayi dengan Gilang kan? Bunga menggigit jari sembari menggelengkan kepala. Tidak tidak tidak, ditekankannya dalam hati. ARR 0 {OTUSCrOWN Setelah mama Gilang pulang mereka masuk ke dalam kamar memutuskan untuk tidur. Tapi Gilang belum bisa tertidur juga, walaupun ia sudah berusaha memejamkan mata tetap tidak bisa. Gilang melirik Bunga yang terlelap. Mereka masih menggunakan guling sebagai pemisah. Gilang menarik napas lalu membuangnya kasar saat melihat jam di dinding menunjukkan pukul dua malam. Akhirnya Gilang memutuskan keluar kamar mengambil sirup di kulkas. Menuangkannya dalam gelas lalu mencampurnya dengan air hangat dan langsung meminumnya. Kenapa rasanya berbeda, pikirnya. Gilang tidak sadar yang ia tuang itu bukan sirup rasa markisa tetapi minuman botol yang mamanya berikan tadi. Beberapa menit kemudian Gilang mulai merasakan panas di sekujur tubuhnya. Bahkan ia menginginkan sesuatu yang ia tahu pasti itu apa. “Siall Kenapa makin parah?!” Gilang mengacak-acak rambutnya frustasi. Saat kembali ke kamar Gilang melihat Bunga yang tertidur sambil memeluk guling pemisah itu. Salah satukaki Bunga naikke atas guling yang membuat baju tidurnya terangkat sampai paha dan seolah-olah memanggil Gilang untuk menyentuhnya. Gilang menggeleng kuat. Kenapa jika berhadapan dengan Bunga ia tidak bisa mengontrol emosi dan gairahnya? Kenapa sekarang ia jadi berpikiran jorok, mengkhayal yang bukan-bukan? Padahal selama tertarik dengan Zeeta, ia tidak pernah begini. Perlahan Gilang mendekati Bunga dan mulai menurunkan kepalanya hendak mengulang kejadian waktu itu. Ia ingin sekali merasakan manisnya bibir itu lagi. Tapi... tidak, ia tidak boleh begini! ns BUNGASTGILANG “Ngapain?” Bunga terbangun dengan suara serak. Ia menyipitkan mata menatap Gilang yang sedikit membungkuk padanya. “Hm?” Gilang terkejut dan langsung saja menjauhkan diri dari Bunga. “Itu e ... aku tidur di luar!” seru Gilang. Kening Bunga mengerut bingung menatap Gilang. Bukannya Gilang tidak suka tidur di sofa? “Jangan lupa kunci pintunya.” Gilang berbalik badan dan segera ke luar kamar. Lama-lama Gilang bisa gila! Sepertinya ia harus meminum air dingin, mana tahu pikirannya kembali dingin dan waras. Gilang beranjak ke pantri mengambil air dingin di kulkas. Sontak Gilang terbelalak saat menyadari yang ia minum tadi bukanlah sirup rasa markisa, tetapi air oranye dari botol yang mamanya berikan itu. Sial! beribu-ribu sial! Beberapa menit kemudian, Gilang sudah bersusah payah mencoba untuk tidur tapi hasilnya nihil. Ia tetap tidak tenang. Ia bangkit dari sofa dan memutuskan untuk menuntaskannya agar bisa tidur. “Bunga buka pintunya!” teriak Gilang. “Bunga!” panggilnya sambil menggedor pintu kamar. Panggilan Gilang yang kelima kali barulah pintu terbuka dan menampakkan Bunga yang berdiri dengan tatapan jengkelnya. “Apaan sih? Tadi minta dikunci, sekarang minta dibuka. Kamu ituan ....” Ucapan Bunga terhenti. Gilang tidak tahan lagi, ia langsung menarik Bunga ke dalam pelukannya lalu mencium paksa bibir Bunga. Bunga pun membulatkan matanya kemudian mendorong- W {OTUSCrOWN dorong dada Gilang. Tapi yang ada justru Gilang makin mengeratkan pelukannya dan terus melumat bibir Bunga. Lama-kelamaan Bunga jadi hanyut dalam ciuman manis Gilang. Setelah merasa cukup Gilang memutus ciuman mereka. Terdengar jelas deru napas keduanya memburu. Gilang mengusap pelan bibir Bunga yang terlihat sedikit bengkak karena ulahnya. Sementara Bunga jadi kaku, ditatapnya Gilang dalam diam sembari terus menenangkan degup jantungnya yang cepat. “Udah, kamu tidur lagi.” Gilang merasa cukup lega. Tak mungkin ia menerkam Bunga sesuai keinginannya itu. Ia harus bisa menahan diri. Lagian, ia merasa jadi sedikit lebih baik sekarang daripada yang tadi. Mungkin ia bisa tidur sekarang, meski dengan usaha yang kuat. Gilang pun segera menutup pintu kamar dan meninggalkan Bunga yang mematung. Bunga menyentuh bibirnya. Sepertinya ... ia sudah tidak bisa lagi lepas dari bayang-bayang Gilang. arapan pagi ini berlangsung hening, Padahal Bunga sudah berusaha menghindari sarapan bersama. Tadi pagi-pagi sekali, ia keluar kamar mendapati pria itu masih tertidur pulas di sofa. Bunga segera mandi cepat lalu buru-buru memakaikan bajunya. Setelah siap, ia langsung duduk di meja makan memulai sarapan. Namun tak selang berapa lama, Gilang malah muncul dan bergabung bersamanya. Bunga langsung merutuki diri sendiri yang makan begitu lamban. Harusnya ia sudah berhasil menghindari pria itu di Minggu pagi ini. Berhadapan dengan Gilang saat ini membuatnya mengingat kejadian di kamar mandi serta ciuman tadi malam. Bisa-bisanya Bunga hanyut lagi dalam ciuman Gilang. Entah ke mana perginya jiwa tukang pukulnya yang biasa ia kerahkan untuk mengatasi pria itu. {OTUSCrOWN Gilang melirik Bunga yang diam saja. Pagi begini gadis itu sudah kelihatan rapi dengan terusan panjangnya berwarna ungu bemotif flamingo dengan rambut gelombangnya dibiarkan tergerai. “Ehem!" Gilang berusaha menarik perhatian Bunga, tapi Bunga masih saja menunduk sambil terus mengunyah rotinya. “Mau ke mana pagi-pagi gini?” Gilang akhirnya menyuarakan keingintahuannya, “Bunga ....” Gilang menekankan panggilannya. Bunga menghela napas, segera mendongak menatap Gilang. Langsung saja pipinya merona merah mengingat kejadian semalam. “Mau ke mana?” Gilang memandangi Bunga sembari menyuapkan rotike dalam mulutnya. “Akumaukeluar,” Bunga menjawab seadanya. Diraihnya sepotong roti lagi yang sudah diolesi selai stroberi itu. Bunga berdiri mengambil sling bag-nya lalu keluar meninggalkan Gilang sarapan sendirian tanpa berucap apa-apa lagi. Gilang melongo mendapati sikap Bunga tersebut. Tiba-tiba saja kejadian semalam melintasi benaknya, membuatnya menarik kedua sudut bibir membentuk senyuman lalu berubah menjadi kekehan pelan. Dering ponselnya yang tepat di sampingnya menyentak Gilang yang langsung meraihnya. “Halo, Zee,” ucap Gilang setelah menggeser warna hijau di layar. “Halo Mas, aku mau ingetin sore nanti jangan lupa ke acara fashion show-ku, ya?” “Oke ...” Gilang meraih air mineral di depannya lalu menuangkannya ke dalam gelas. “Pukul enam ya, Mas.” “Hm... oke,” kata Gilang lagi dan segera meneguk air minumnya. ib BUNGASTGILANG “Oke bye, sampai jumpa Mas,” ucap Zeeta di seberang sana dengan nada manja. AHN Mulai dari langit yang berwarna biru terang sampai sudah beranjak gelap, Bunga menghabiskan waktunya bersama Sri kemudian Billy. Kalau pulang ke rumah, ia malas bertemu Zeeta dan juga pasti akan diinterogasi mamanya tentang rumah tangganya. Kalau ke rumah mertuanya juga pasti ditanyai hal yang sama. Belum lagi mama mertuanya itu ingin segera memiliki cucu dan menawarkan berbagai macam program hamil cepat. Kalau teman dekatnya semasa kuliah sedang di luar negeri melanjutkan studi $-2 mereka. Bunga di sini malah terjebak nikah muda. Bunga pun menghela napas sejenak. Jadi, ia harus ke mana lagi? Bunga masih malas kembali ke apartemen. bertemu Gilang. Ditengah perjalanan ponselnya berdering. Sebuah pesan singkat masuk dari Denis. Bunga segera menepikan mobilnya di pinggir jalan, lalu dibukanya isi pesan singkat itu. Temani dinner ya? Nggak ada kawan makan nih, tulis Denis di sana. Bunga membalasnya, menanyakan di mana tempatnya. Tak sampai sepuluh detik balasan Denis muncul menyebutkan alamat restorannya. Bunga pun segera menjalankan mobilnya ke restoran tersebut. Setibanya di sana, mereka langsung memesan makanan sambil mengobrol. “Oh ya Bunga, tadi Zeta hubungi Mas katanya dia ada fashion show mulai pukul enam sore tadi.” Denis melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Mb {OTUSCrOWN “Ah, iya Mas.” Bunga bingung harus bilang apa. Zeta tidak memberitahunya bahkan mengundangnya. “Kayanya acaranya masih panjang, Kita belum ketinggalan.” “Maksud, Mas?” “Kita ke sana sekarang. Ayok!” Denis bangkit dari kursinya. ‘Ta ... pi, Mas Denis.” Bunga diam di tempat. Ditatapnya Denis dengan ragu. “Kenapa, Bunga?” “Oh nggak papa kok. Ayo!” Bunga juga bangkit dari kursinya. Bunga tak ingin memperlihatkan hubungannya yang sudah retak dengan kakaknya itu di hadapan orang lain. Meski ia sebenarnya sangat-sangat tak ingin menghadari acara itu. HAR Bunga dan Denis memasuki aula tempat acara fashion show itu berlangsung. Denis mengedarkan pandangannya ke seluruh penonton yang duduk menikmati acara. Matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal duduk di barisan paling depan. Denis berjalan menghampiri Gilang yang diikuti Bunga di belakangnya. “Lang, udah lama?” tanya Denis. Gilang menoleh ke asal suara dan langsung menatap kesal pada sosok yang ada di belakang Denis. Kenapa mereka bisa datang bersama, Gilang membatin tak suka. “Hm, lumayan,” jawabnya kemudian fokus menatap ke panggung. Denis mengambil tempat duduk di samping Gilang dan Bunga duduk di sampingnya. Acara itu masih berlangsung dan tak lama u BUNGASTGILANG Kini giliran Zeeta yang melenggang di atas panggung, Saat berjalan ke depan Zeeta memberikan kedipan nakal ke arah Gilang yang membuat pria itu salah tingkah. Bunga pun langsung memutar bola matanya malas. Kenapa juga ia tadi mau menerima ajakan Denis kemari. Huh...! Di sela-sela acara Denis permisi ke luar sebentar menerima telepon, meninggalkan Gilang dan Bunga berdua. Gilang melirik Bunga yang masih memakai baju yang sama dari tadi pagi. Tebersit idenya untuk mengganggu gadis itu. Ia pun mencondongkan badan ke arahnya. “Kamu bau asem, bau matahari,” Gilang tersenyum geli. Bunga mendorong dada Gilang menjauhinya. “Mau aku bau bangke sekalipun, itu bukan urusanmu!” Ditatapnya Gilang dengan perasaan dongkol. Gilang malah tertawa senang mendengar jawaban sekaligus melihat ekspresi yang dikeluarkannya. Dan itu sukses membuat Bunga tambah dongkol saja! AHN “Mas, makasih udah dateng.” Zeta menyentuh lembut lengan Gilang sambil tersenyum manis. Kini mereka berada di rest room untuk para model. Mereka hanya berdua di dalam, kebetulan yang lainnya masih sibuk mengambil foto di atas panggung. “Sama-sama.” Gilang tersenyum. Perlahan tangan Zeeta naik ke bahu Gilang menariknya menunduk. Sembari memejamkan mata, Zeeta mulai mendekatkan bibirnya ke bibir Gilang. Bunga membesarkan bola matanya. Langsung ditutup mulutnya melihat pemandangan menyakitkan vy {OTUSCrOWN hati di depan sana. Tadi ia baru saja keluar dari toilet dan tak sengaja melewati ruangan ini. Bunga tak menyangka Gilang seberengsek itu. Menciumnya dan juga mencium kakaknya. Ia yang salah, harusnya ia tak hanyut dalam ciuman Gilang. Gilang pasti cuma main-main saja dengannya. Ya, cuma main-main. Bunga berjalan cepat ke parkiran sambil menahan rasa sesak di dada. “Zee, Mas harus balik sekarang,” Gilang mendorong pelan bahu Zeeta. Langsung Zeeta membuka matanya dan menatap Gilang tak percaya. Gilang menolaknya?! “Mas kenapa sih?!” serunya tak suka. “Nggak papa. Mas pulang dulu. Bye, Zee. Sampai jumpa lagi.” Gilang tersenyum. Ia pergi keluar meninggalkan Zeeta yang kini bermuatan amarah. Apa ini karena Bunga, pikir Zeeta. HEM Sekitar pukul sembilan malam Gilang tiba di lobi apartemen. Ia memutuskan minum sebentar di salah satu kafe yang ada di sana. Selesai acara tadi ia mencari-cari Bunga tapi tidak ketemu. Entah ke mana perginya anak nakal itu. Dan entah kenapa juga tadi ia menolak ajakan Zeeta. Bukankah ia hanya menginginkan Zeeta? Tapi kenapa malah ... Gilang menghela napas dalam, kemudian diminumnya hot coffee-nya yang mulai dingin. Tak berapa lama mobil Bunga dan Denis memasuki parkiran. Lalu keduanya memilih masuk dalam kafe di seberang kafe Gilang berada. Gilang bisa melihat dengan jelas Denis mengusap lembut kepala Bunga. Seketika rahangnya mengetat melihat itu. Ia juga merasa tiba-tiba gerah memanas. Gilang bangkit, langsung dibayarnya vi BUNGASTGILANG minumannya lalu segera beranjak masuk ke apartemennya tanpa mengambil kembaliannya lagi. HAF Bunga memasuki apartemen, pura-pura tak menghiraukan keberadaan Gilang yang duduk di sofa menatap tajam dirinya. Bukankah seharusnya ia yang menatap seperti itu? Gilang sudah menciumnya seenaknya dan tadi pria itu juga mencium kakaknya. Saat ini Bunga lebih ingin menangis dibandingkan marah-marah dan meninju Gilang. “Jadi seharian ini jalan sama Denis?” Suara Gilang berat sarat akan kemarahan. Bunga menghentikan langkahnya yang akan memasuki kamar. “Bukan urusanmu,” balasnya membelakangi Gilang. “Bungal!!” bentak Gilang segera berdiri menghampirinya. “Jadi urusanku karena aku suamimu!” Ditariknya lengan Bunga memutar posisinya jadi berhadapan dengannya. Bunga berusaha memasang wajah datar, “Suami di atas kertas aja.” Gilang mengeratkan “Bungal! Jangan pernah bilang itu la; pegangannya di lengan Bunga dengan mata yang menyorot tajam. “Kenapa? Kamu lucu tahu nggak? Nggak nyadar kamu juga bilang gitu sama temanmu? Dia cuma istri di atas kertas aja. Kita itu bukan kayak pasangan suami istri lainnya. Itu kamu yang ngomong, kan?” Ucapan Bunga menampar telak Gilang. “Kamu dengar semuanya?” BO {OTUSCrOWN tanyanya dengan nada rendah. Gilang menatap sendu Bunga. Pegangannya melepas begitu saja di lengannya. “Iya, semua. Aku tahu kamu sama Kak Zeeta. Kamu bebas sama Kak Zeeta. Dan aku? Terserah aku mau jalan sama siapa pun.” Bunga berusaha terlihat biasa saja. “Terus kamu sama Denis?” Gilang menatap Bunga dingin. Bunga diam saja tak menanggapi. “Kamu senang Tante Karina jodohin kamu sama Denis setelah bercerai, gitu Bunga?” Gilang kembali menatap Bunga dengan tajam, bahkan sangat tajam. Mampu mengoyak- ngoyak apa pun yang ada di sekitarnya saat ini. Setelah bercerai? Jadi Gilang berencana menceraikannya? Bunga menahan kuat air matanya yang sudah ingin lolos dari pelupuk matanya. “Jawab Bunga!!!” Gilang berteriak keras saking emosinya sudah memuncak, naik hingga ke ubun-ubun. Ia menduga Bunga berkeinginan bercerai, lalu akan menikah dengan Denis seperti ucapan tantenya waktu itu. “yall!” Bunga berteriak keras juga, segera masuk ke dalam kamar meninggalkan Gilang yang berdiri mematung. Jawaban Bunga membuat wajah Gilang berubah merah seperti api yang siap membakar seisi apartemen. Gilang memutuskan pergi keluar untuk menenangkan diri. Saat keluar ia membanting keras pintunya. Di dalam kamar Bunga meluruh di balik pintu. Ia menangis mengeluarkan air matanya yang sejak tadi ditahannya. Gilang benar- benar sukses mengubahnya jadi gadis cengeng. Bunga menepuk- nepuk dadanya agar rasa sakit hatinya bisa hilang. Kemudian ia BL BUNGASTGILANG menekuk kedua kakinya lalu memeluknya dan menyembunyikan wajahnya di sana. “Gilang bereng ... sek ...,” ucap Bunga tersendat karena air matanya yang terus mengalir tanpa henti. Kenapa jatuh cinta sesakit ini? Cinta, ya Bunga telah jatuh cinta pada pria kejamnya. ilang meremas gelas kecil dalam genggamannya. Kata iya yang eluar dari mulut Bunga terus terngiang-ngiang di telinganya. Bahkan rasa tidak terima menggerogoti hatinya, miliknya telah direnggut oleh orang lain. Gilang kembali menuangkan cocktail ke dalam gelas kecil itu lalu meminumnya sekali tegukan. “Lang!” Emil menghampiri Gilang yang duduk di depan meja panjang bartender. Sedari tadi diperhatikan ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu. Saat ini mereka berada di sebuah club malam. Selepas keluar dari apartemen, Gilang memutuskan ikut bergabung bersama teman- temannya. Sebenarnya, Gilang bukan tipe pria yang suka club dan sejenisnya. Lain cerita, jika ia benar-benar punya masalah berat maka ia akan lari melampiaskan dengan meminum minuman beralkohol serta merokok. BUNGASTGILANG “Kenapa, Lang?” Emil duduk di depan Gilang sambil menatapnya penuh tanda tanya. Gilang terlihat kacau. “Dia ....” Gilang terus menuangkan lalu meminum cocktail itu lagi dan lagi sambil mengepulkan asap rokoknya di udara. “Udah!” Emil merampas gelas dan botol itu kemudian memberikannya pada sang bartender. Menyuruhnya agar menjauhkannya dari Gilang. “Sebenarnya kenapa?” tanya Emil lagi. “Dia ... dia suka sama orang lain.” Bayangan Gilang kembali pada percakapannya dengan Bunga tadi. “Dia? Zeeta maksudnya? Udahlah, lupain Zeta. Fokus sama ....” “Bukan!” Gilang menggeleng kuat, dimatikan puntung rokoknya. Matanya tampak sayu pertanda sudah mulai mabuk. “Tapi Bunga,” Gilang memijat keningnya yang kini terasa begitu pening. “Bunga? Bunga siapa?” Emil mengernyit karena tak tahu sosok yang bernama Bunga. “Dia istriku, yang waktu itu kubilang cuma istri di atas kertas aja.” Gilang tertawa, lebih tepatnya menertawakan dirinya. “Oh dia...” Emil mengangguk sesaat, kemudian tersadar akan ucapan Gilang yang sebelumnya. “Jadi Bunga suka sama orang lain? Terus kenapa?” tanyanya santai, namun mengusik ego Gilang. “Terus kenapa?!” ulang Gilang dengan nada tak suka. “Dia istriku, Emil!!!” teriak Gilang. Untungnya, suara Gilang teredam oleh dentuman musik yang begitu keras. Emil melirik sebentar kedua teman mereka yang masih sibuk dengan para gadis di depan sana. th {OTUSCrOWN “Iya tahu. Terus kenapa? Bukannya ada Zeeta?” Emil sengaja memancing Gilang. Biasanya orang yang sedang mabuk itu akan berkata jujur. “Ada Zeeta.” Gilang terdiam sebentar, lalu kemudian kekehan pelan keluar dari bibirnya. “Jadi, nggak papa kan Bunga punya hubungan sama pria lain?” “Big no! Big no!” Gilang menggerakkan telunjuknya ke kanan-kiri sambil menatap Emil tajam. Emil menghela napas pelan. Sepertinya, sahabatnya ini sudah jatuh hati pada istrinya tapi bodohnya pria di hadapannya ini tidak menyadari itu. “Kenapa? Kamu aja sama Zeeta. Itu nggak adil buat Bunga.” Emil rupanya masih memancingnya. “Pokoknya dia milikku! Terserah mau dia suka sama pria mana pun! Dia tetap milikku, istriku.” Gilang menunjuk-nunjuk dadanya sendiri. Tak lama penglihatan Gilang mulai kabur dan semuanya terlihat berputar-putar membuatnya mual. “Hueeek!!” “Hab ... pasti bakalan kayak gini!” Emil menatap Gilang dengan malas. Sahabatnya yang satu ini memang tidak bisa minum alkohol terlalu banyak. Ia akan muntah, bahkan demam setelahnya. “Dengar, Emil! Dia istriku,” gumam Gilang yang sudah mabuk total. Gilang tak bisa mengganjal rasa mualnya lagi. Ia pun langsung mengeluarkan semua isi perutnya membuat Emil berdecak menggeleng kepala. Untung tak ada orang yang terkena muntahan Gilang. Emil segera mendekat dan merangkul sahabatnya itu. ih BUNGASTGILANG “Ck! Anak manja ini ngapain ke sini, kalau cuma ngasi lihat betapa cemennya dia, nggak bisa minum beralkohol!” ujar Raja yang datang menghampiri keduanya bersama Fadlan. “Dia milikku. Nggak akan pernah jadi milik yang lain, apa lagi Denis!” racau Gilang yang berdiri saja sudah tak sanggup. Emil jadi bertanya-tanya, apa jangan-jangan Denis adalah pria yang disukai Bunga? Kisah cinta yang cukup rumit. Gilang-Zeeta-Bunga-Denis. “Ngomong apa sih? Ini anak pasti masalahnya besar banget makanya sampe mabuk.” Fadlan berkacak pinggang menatap Gilang yang setengah sadar. “Kacau banget, Men!” sambung Raja menggeleng-gelengkan kepalanya. “Biar kubawa ke apartemenku aja.” Emil merangkul Gilangkeluar club hingga parkiran memasuki mobilnya. Disuruhnya salah satu sekuriti club tersebut mengantarkan mobil Gilang ke apartemennya. ARR Semalam Gilang tak pulang. Bunga tahu pria itu pasti pergi menemui Zeeta dan menghabiskan malam hanya berdua. Sementara ia semalaman menangis. Menangisi dirinya yang telah jatuh hati pada pria yang salah. Karena sampai kapan pun Bunga tak akan pernah ada di hatinya. Hanya ada Zeeta dan Zeeta, selalu Zeeta. Bunga turun dari tempat tidur, berjalan ke arah pintu. Ia ingin menonton televisi entah acara apa pun itu, yang penting bisa mengisi suasana hatinya yang kosong. Saat membuka pintu, Bunga terkejut melihat sosok Gilang yang kacau tengah berdiri di depannya. Kemeja th {OTUSCrOWN pria itu kusut dikeluarkan dengan lengan yang digulung hingga siku. Matanya seperti kurang tidur dengan rambut acak-acakan tidak seperti biasa selalu disisir rapi ke samping. Ada apa dengan Gilang? Tapi masa bodo, Bunga memasang wajah tak pedulinya. Ia lewat begitu saja dan tak sengaja menyenggol lengan Gilang, merasakan kulit pria itu yang hangat. Bunga mencium bau alkohol dan rokok juga. Tidak biasa ia begini, pikir Bunga begitu heran. Gilang yang sadar kalau Bunga tidak menggubrisnya merasa semakin pusing. Ia berjalan masuk ke dalam kamar merebahkan diri di atas tempat tidur. Gilang menaruh sebelah tangannya di dahi. Demamnya semakin menjadi-jadi saja. Kembali Bunga masuk ke dalam kamar mengambil bantalnya. Lagi-lagi ia memasang wajah tak peduli. “Mama,” lirih Gilang mengigau. Bunga mengernyit. Mama? Saat begini Gilang menyebut mamanya? Dasar pria manja! Bunga menoleh menatap Gilang sebentar. Entah ada dorongan apa, ia malah mendekat lalu menyentuh tangan Gilang dengan telunjuknya. Makin panas. Bunga seketika jadi khawatir. Ia harus berbuat apa? Bunga pun mondar- mandir memutar otak. “Ngapain mondar mandir di situ?” tanya Gilang yang kini membuka mata menoleh ke arah Bunga. “Ha? Oh nggak papa.” Bunga berubah kikuk dan segera beranjak keluar. “Tunggu,” kata Gilang terdengar lemah. Bunga jadi menghentikan langkahnya. “Tolong ambilkan hape-ku. Telepon yang namanya Yusra.” Gilang melirik ponselnya yang tadi ia letakkan di atas nakas. W BUNGASTGILANG “Hm ...” Bunga yang memang mengkhawatirkan keadaan Gilang berbalik dan meraih ponselnya. Dicarinya daftar kontak yang bernama Yusra. Tunggu, kenapa Yusra? Bukannya kekasih hatinya itu Zeeta? “Kenapa Yusra? Kan ada Kak Zeeta.” “Bunga ...,” ucap Gilang penuh penekanan. “Oke-oke nih aku telepon!” Bunga menunjukkan nama Yusra yang tertera di layar ponsel pada Gilang. “Bilang dia cepat ke sini. Aku demam, aku butuh dia,” kata Gilang lalu kembali memejamkan matanya. Saat sambungannya terhubung, Bunga langsung mengatakan Gilang sedang demam pada wanita itu. Bunga mendengar helaan napas serta omelan singkat dari seberang sana. Siapa sih Yusra? Dasar Gilang pria playboy! dengus Bunga dalam hati. HH “Kamu ini! Kenapa minum alkohol lagi?! Udah tahu kamu bakalan jadi sakit gini.” Mama Gilang menatap jengkel anaknya. Gilang diam saja tak menanggapi. Ia terus memejamkan mata merasakan suhu badannya yang semakin panas. Setelah Yusra tadi menerima telepon dari Bunga, wanita itu segera menghubungi mama Gilang memberitahukan kalau anak semata wayangnya itu sedang sakit. Yusra ini adalah teman kecil Gilang yang kini berprofesi sebagai dokter umum. “Udah selesai, Tante. Si manja ini dibawa ke rumah aja. Kasihan istrinya yang ngerawat sendirian. Dia manjanya nggak tertolong nw {OTUSCrOWN kalau lagi sakit gini,” ujar Yusra usai memeriksa dan memberi injeksi pada Gilang. Kemudian diberinya obat berbentuk pil tiga macam pada Bunga untuk diminum Gilang. Bunga langsung menerimanya tersenyum. Ia pikir Yusra itu adalah wanita lain Gilang setelah Zeeta, ternyata tidak. HM Sehari setelah tinggal di rumah mama Gilang, kondisi Gilang semakin membaik. Panasnya tidak setinggi kemarin. Cuma kalau sedang sakit Gilang berubah jadi manja. Seperti, ia tidak mau makan kalau tidak disuapi mamanya. Entah kenapa Gilang tidak malu Bunga mengetahui tingkah manjanya itu. Tapi siang ini mama Gilang tidak bisa menyuapinya karena harus ikut dengan papanya menjumpai rekan bisnis baru mereka di luar. “Nggak papa kan, Bunga?” tanya mama Gilang. Bunga melongo tak percaya. Mama mertuanya menyuruhnya menyuapi Gilang. Astaga, yang benar saja! Ya ampun ... “Tapi Ma,” elak Bunga. “Kalian kan udah suami istri. Ngapain malu gitu.” Mama Gilang tersenyum geli. “Oh ya, Bi Ina nasinya kasi sama menantu saya aja, ya?” seru Mama Gilang pada asisten rumah mereka. “Iya, Bu!” sahut Bi Ina dari arah belakang. “Mama pergi dulu. Papa udah nunggu di depan.” Bunga mencium tangan mama mertuanya lalu pipinya. “Bye, Sayang,” ucap mama mertuanya berlalu. Bunga menghela napas sesaat Bi Ina langsung memberinya piring yang sudah berisi nasi, sepotong ayam goreng kalasan, sayur i BUNGASTGILANG rebus wortel. “Ini kesukaannya Mas Gilang, Mbak,” katanya. “Iya Bi. Makasih, ya.” Bunga tersenyum pada Bi Ina, lalu melangkah ke atas ke dalam kamar mereka. Ketika Bunga membuka pintunya, Gilang langsung menoleh mengerut mendapatinya yang membawakan makan siangnya. “Loh, Mama mana?” tanya Gilang yang bersandar di kepala ranjang. Bunga melangkah mendekat dan duduk di depannya. Bunga menyendokkan nasi dan ayam goreng kalasan itu lalu mengarahkannya ke mulut Gilang dengan ekspresi datar. “Aku nggak mau makan pake sendok. Kamu tahu, kan?” Gilang menaikkan alisnya. “Iya, tapi itu kalau disuapi sama Mama. Ini Mama lagi pergi nemanin Papa. Jadi kalau aku yang nyuapi, itu pake sendok Tuan Gilang!” Bunga menatap Gilang sebal. “Kalau gitu, tunggu Mama pulang.” “Astaga, manja banget sih!” “Terserah.” Gilang mengangkatbahunya. “Yaudah nih!” Bunga mengalah. Diarahkannya tangan kanannya yang sudah berisi segenggam nasi, secubit daging ayam serta potongan kecil wortel itu. “Kamu nggak cuci tangan?” Gilang mengernyit. “Tangan aku itu steril. Mau nggak?” Tangan kanan Bunga masih menggantung di depan mulut Gilang. Gilang tersenyum lalu membuka mulutnya. Bunga pun menyuapi Gilang sambil memasang wajah tak rela. Gilang tidak peduli. lamalah Ww {OTUSCrOWN semakin menikmati makan siangnya. Bahkan, ia meminta tambah pada Bunga. Entah kenapa nafsu makannya jadi meningkat. Bunga pun kembali menyuapinya jadi semakin lama. Gilang terus menatap wajah Bunga tapi Bunga pura-pura tidak memedulikannya. “Udah selesai,” Bunga hendak bangkit dari posisi duduknya. “Hei tunggu,” tapi Gilang menarik lembut pergelangan tangannya lalu mendekatkan ke bibirnya. Tak diduga Gilang menjilati jari tangan Bunga yang dipenuhi beberapa biji nasi, bumbu ayam, dan kuah sayuran itu. Bunga berdebar tak karuan menerima perlakuan Gilang. Pria itu terus saja menjilati jarinya dengan lambat sembari menatap lekat tepat di manik matanya. Bunga seketika tercekat menahan napas. Tidak, ia tidak boleh lemah dan terayu lagi. Bunga berusaha menarik tangannya tapi Gilang semakin mengeratkan pegangannya. “Lepas!” geram Bunga. Gilang malah mengecup telapak tangan Bunga lalu tersenyum simpul. Setelah itu Gilang melepaskan tangan Bunga dari pegangannya. Bunga cepat ke luar kamar membawa piringnya. Di luar kamar Bunga menyentuh dadanya yang masih berdebar-debar karena ulah Gilang barusan. HHH Dua hari berlalu setelah Gilang pulih, mereka kembali tinggal di apartemen dan beraktivitas seperti biasa. Setelah makan siang hari ini, Bunga dan Sri mengobrol dengan salah satu karyawan pria bagian marketing yang bernama Zaki. Pria itu terus saja menggombali Bunga terang-terangan. Melancarkan rayuan mautnya. W BUNGASTGILANG “Sehoror-horornya film horor, lebih horor lagi kalau kamu pacaran sama cowok lain,” kata Zaki. Bunga dan Sri terkekeh mendengar gombalan itu. “Sumpah, aku nggak mau kalau disuruh jadi super hero,” kata Zaki lagi. “Emang kenapa, Kak?” tanya Bunga menahan senyum, “Karena aku maunya jadi super daddy aja buat kamu dan anak-anak kita nanti,” lanjut Zaki menaik-turunkan alisnya. Bunga dan Sri pun tergelak tak tertahankan. “Ehem!” Gilang tiba-tiba mendekat ke arah mereka, membuat ketiganya seketika terdiam. “Siang, Pak,” sapa Sridan Zaki. Sementara Bunga diam saja tak mau menghiraukan kedatangan Gilang itu. “Jam makan siang udah habis. Ngapain masih berdiri di sini?” tanya Gilang dingin. “lya nih Pak, ini karena Kak Zaki yang ngerayu Bunga terus. Biasalah naksir. Pake rayuan maut yang bikin sakit perut lagi,” lalu Sri tertawa mengingat kembali gombalan Zaki. Bunga menyenggol- nyenggol lengan Sri, isyarat agar diam. Tawa Sri semakin merendah lalu hilang saat melihat wajah marah bercampur kesal atasannya itu. Sementara Zaki menunduk meminta maaf. “Maaf, Pak. Sekarang kami balik ke ruangan.” “Permisi, Pak,” kata Zaki lagi dengan ekor matanya mengarah ke samping menunjuk arah ruangan mereka. Bunga dan Sri yang mengerti maksud Zaki langsung pamit, “Permisi, Pak.” Mereka pun meninggalkan Gilang yang sudah terlanjur marah itu. AER W {OTUSCrOWN Ditengah-tengah jam kerja, Zaki dipanggil ke ruangan Pak Jaka. Pak Jaka langsung memberikan gajinya bulan depan sambil mengatakan hari ini adalah hari terakhirnya bekerja. Zaki merasa jantungnya berhenti seketika. Ditatapnya Pak Jaka dengan tatapan tak percaya. “Tapi kenapa, Pak? Apa kerja saya kurang baik? Atau saya melakukan kesalahan yang fatal?” “Bukan, Pak Gilang yang perintahkan saya. Kata beliau kamu merayu karyawan perempuan saat jam kerja, tandanya kamu tidak bertanggung jawab pada perkerjaanmu.” “Tapi, Pak ....” Zaki tampak akan menangis di depan Pak Jaka. “Maaf, Zaki.” Dengan nada menyesal Pak Jaka mengatakannya. “Baik, Pak.” Zaki berdiri lalu keluar dari ruangan Pak Jaka. Zaki melangkah gontai kembali ke meja kerjanya. Ini adalah hari terakhirnya bekerja. Pandangan mata Zaki mengitari seluruh ruangan. Sudah hampir 4 tahun ia bekerja di sini, hanya karena rayuannya tadi pada Bunga ia dianggap tidak bertanggung jawab pada pekerjaannya. “Kak Zaki?” Sri yang baru datang menghampiri dibuat heran karena Zaki tengah menangis sesenggukan. “Aku dipecat,” ucap Zaki begitu sedih. Ia menceritakan semuanya pada Sri tanpa ada yang dikurangi atau dilebih-lebihkan. Sri pun langsung menghampiri Bunga, menceritakan semua yang dikatakan Zaki itu padanya. “Apa?! Kak Zaki dipecat karena itu?” Bunga tak percaya mendengar cerita Sri. Sri mengangguk mantap meyakinkan Bunga. B BUNGASTGILANG Dasar pria aneh dan kekanak-kanakan! makinya dalam hati. Ia pun langsung berdiri dari kursinya melangkah ke luar ruangan. “Mau ke mana, Bung?!” seru Sti heran. Sri menghela napas, lebih baik ia kembali saja bekerja. Ia takut, bisa-bisa ia juga dipecat bosnya itu. Mungkin Bunga ke toilet, pikir Sri. ARN Bunga memasuki lift dengan emosi yang siap-siap meledak. Ditekannya tombol sebelas mengantarkan ke lantai di mana ruangan Gilang berada. Sesampainya di sana, Bunga melangkah cepat ke ruangan Gilang. Untungnya, ia tidak melihat Jeni sekretaris Gilang di mejanya jadi ia bisa langsung masuk. Bunga membuka pintu ruangan Gilang lalu menutupnya dengan kasar. Dihampirinya Gilang yang duduk di kursi kebesarannya, memberikan tatapan dingin padanya. “Ada apa?” tanya Gilang lalu kembali menoleh pada layar laptopnya. “Ada apa? Kamu sadar nggak apa yang kamu lakuin sama Kak Zaki?” tanya Bunga langsung tanpa basa-basi. Bunga benar-benar tak suka sikap arogansi Gilang yang memecat Zaki seenaknya hanya karena hal sesepele itu. “Terus?” Gilang masih sibuk dengan laptopnya tanpa menoleh barang sebentar saja ke arah Bunga. Bunga mengempaskan napasnya dengan kuat, “Kamu nggak boleh mecat dial!” bentaknya. Gilang seketika menghentikan aktivitasnya lalu beranjak mendekati Bunga yang berdiri di depan mejanya tersebut. W {OTUSCrOWN “Oke, aku bakal cabut pemecatannya. Tapi imbalan untukku apa?” Gilang menatap Bunga serius. Jarak keduanya yang begitu dekat membuat Bunga jadi berdebar-debar. “Imbalan? Aneh! Kamu kan punya segalanya. Kamu pu...” “Ciuman.” Gilang berbisik persis di depan telinga Bunga. Bunga merinding mendengarnya. Debar jantungnya pun semakin tak karuan. Setelah pertengkaran mereka beberapa hari yang lalu Gilang memang jadi berubah. Lebih suka menggodanya dan melakukan kontak fisik dengannya. Seperti waktu itu, Gilang menjilat dan mengecup tangannya. Astaga ... ada apa dengan Gilang? “Dasar gila!” Bunga hendak melayangkan tinjunya, namun dengan sigap Gilang menahan kepalan tangannya. “Iya, aku gila.” Lalu Gilang membawa kedua tangan Bunga itu menggantung di lehernya, digenggamnya erat dengan satu tangannya. Bunga menarik paksa tangannya agar lepas tapi tak bisa. Bunga hendak menginjak kaki Gilang namun Gilang langsung menghindar, dan malah mengunci kedua kaki Bunga dengan kedua kaki panjangnya. Dengan tangannya yang satu lagi, Gilang mengangkat dagu Bunga mendongak ke atas. “Jangan pernah lagi dekat sama pria mana pun,” ucap Gilang serius menatap mata Bunga. Sebelum Bunga menjawab, dengan sekali gerakan Gilang sudah menyatukan bibir mereka. Gilang mencium bibir Bunga meski Bunga meronta meminta dilepaskan. Bunga tak mau hanyut lagi dalam ciuman Gilang. Meski Bunga tidak merespons, Gilang tetap terus mencium dan melumat i) BUNGASTGILANG bibir manis itu. Selang dua menit, Gilang memutuskan ciumannya. Deru napas keduanya terdengar terengah-engah. Gilang menatap geli wajah Bunga yang kini merona. Bunga terlihat semakin cantik di mata Gilang jika tersipu begini. “Dasar brengs ....” Ucapan Bunga terpotong karena Gilang langsung menarik tengkuknya, mencium bibirnya lagi. Saat mulut Bunga terbuka hendak protes memberi celah untuk Gilang memasukkan lidahnya. Gilang makin menekan kepala Bunga memperdalam ciumannya. Gilang terus mencecap, mencium, dan melumat bibir Bunga. Bunga melemas menerima ciuman seintim itu. Bunga punmulaimenikmaticiumanGilangsembarimemejamkan mata, otak, dan tubuhnya sudah tak singkron lagi. Dalam ruangan yang terdengar hanya suara detak jam dinding dan suara decak ciuman mereka. Keduanya terlena menikmati aktivitas mereka. Tak sadar Jeni sudah masuk ke dalam dan seketika membesarkan bola matanya menyaksikan atasannya tengah mencium mesra seorang karyawan biasa. Brak!!! Beberapa berkas yang dibawa Jeni pun terjatuh, lalu cepat ia jongkok mengambilnya kembali. Suara keras itu menyentak Bunga dan Gilang. Mereka menghentikan ciuman itu lalu melepaskan diri, Saat menoleh, ternyata Jeni sedang berdiri kaku di hadapan mereka. Bunga terkejut bukan main. Ia tergesa-gesa keluar dari ruangan itu. Semoga Jeni tidak memberitahukan siapa pun dan menggosipkan dirinya wanita murahan atau simpanan bosnya. “Maaf, Pak. Saya tadi sudah mengetuk pintu dan memanggil Bapak.” Jenimendekati Gilang yang sudah kembali duduk dikursinya. iW {OTUSCrOWN Jeni menyerahkan berkas yang ia bawa itu pada Gilang yang berlagak santai, seperti tak mengalami kejadian barusan. “Hn.....” Hanya itujawaban Gilang kemudian membuka lembaran berkas yang diberi Jeni. “Permisi, Pak,” ucap Jeni sopan. Baru akan meraih hendel pintunya, Jeni berbalik menghadap Gilang lagi. “Pak ...,” panggil Jeni takut-takut. “Apa lagi?” Gilang mendongak seraya menatap Jeni malas. “E.... itu ada lipstik,” cicit Jeni menunjuk bibirnya sendiri. “Permisi, Pak.” Jeni pun keluar dari ruangan itu. Gilang cepat meraih ponselnya lalu membuka kamera. Langsung Gilang mendesah saat melihat penampilan wajahnya di layar ponsel. Persis seperti apa yang dikatakan Jeni barusan. Lipstik pink Bunga menempel di sudut-sudut bibirnya. Memalukan! W — kantin kantor itu tak tampak seperti biasanya bagi Bunga. Semua karyawan perempuan kini tengah menatap sinis, seolah mencibirnya yang telah berbuat kesalahan besar. Bunga mendengus sebal, entah kenapa mereka menatapnya begitu. Apalagi, Sinta dan temannya yang bernama Wilda seperti akan memakannya hidup- hidup. Tak berselang lama Zaki ikut bergabung, duduk di meja yang sama dengannya dan juga Sri. Soal pemecatan Zaki tiga hari yang lalu sudah dicabut Gilang, dengan syarat pria itu tidak boleh merayu karyawan perempuan lagi saat jam kerja. Meski yang tersirat keinginan Gilang adalah jangan pernah mendekati Bunga. Pertanyaan Bunga tentang tatapan sinis itu pun terjawab sesaat Zaki mengatakan bahwa tersebar gosip Bunga dan Gilang mesra- mesraan di dalam ruangan Bos besar itu sendiri. Bunga sontak membelalak, bola matanya hampir keluar dari tempatnya. Secepat {OTUSCrOWN itu kah Jeni menyebarkannya? Dasar wanita bermulut ember!, umpat Bunga dalam hati. “Aku nggak percaya sama gosipnya. Nggak masuk akal banget. Bunga dan Pak Gilang?” Sri tak percaya. “Kapan mereka dekatnya? Gosip aneh!” sambung gadis berkacamata besar itu. Bunga mengusap tengkuknya salah tingkah. “Iya kan, Bung?” tanya Sri. Bunga langsung mengangguk untuk meyakinkan. Lalu diraih gelas di depannya, sembari minum menyembunyikan kegugupannya. “Salah gosip! Pak Gilang itu udah nikah sama model yang namanya Zeeta,” ucap Sri yang sukses membuat Bunga menyemburkan minuman di dalam mulutnya sampai terbatuk-batuk. “Pelan-pelan, Bung.” Sri menepuk-nepuk punggung Bunga. “Ohya? Jadibenar Pak Gilangudah nikah? Istrinya si Zeeta model cantik yang seksi itu?” Zaki bertanya antusias. Bunga menatap kesal kedua sosok di depannya itu. “Sok tahu banget!” sewotnya. “Yah ... emang tebakan aku aja sih,” Sri tersenyum lebar menampakkan gigi behelnya. “Cocok sih. Iri banget nih sama Pak Gilang,” balas Zaki tersenyum kemudian menyeruput ice capucino yang dipesannya. Bunga mengempaskan napasnya gusar. Kedua makhluk yang di tidak tahu sudah berhasil meningkatkan kadar hatinya yang meradang. Kenapa selalu Zeeta?! Zeeta! Zeeta! kesalnya. depannya i RAR Bunga dan Sri yang hendak memasuki ruangan setelah jam makan siang, berpapasan dengan Sinta dan Wilda di depan pintunya. Sinta it BUNGASTGILANG melemparkan tatapan sinis pada Bunga, dagunya sengaja diangkat tinggi-tinggi seperti menantang. “Ini nih cewek gatel itu,” ucapnya kemudian seperti mencemooh. Wilda pura-pura menilai Bunga dari atas hingga bawah. “Nggak bandinglah sama Mbak Sinta,” Wilda mengibas-ngibaskan tangannya ke arah Bunga. “Dasar murahan!” Tak diduga dengan begitu cepat tangan Sinta sudah mendarat di pipi kiri Bunga. Sri terkejut menutupi mulutnya yang menganga, sedang Wilda menyeringai puas akan hal itu. “Itu ganjaran buat cewek gatel gangguin gebetan Mbak Sinta!” hardik Wilda yang diangguki Sinta dengan mantap. Bunga mengepalkan tinjunya, napasnya terdengar cepat. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun dan siap-siap meledak. Sri menyentuh bahu Bunga, mengisyaratkan supaya temannya itu bersabar. Melihat Bunga yang tak menggubris, Sri menarik tangannya masuk ke dalam menjauh dari kedua wanita jahat itu. Namun dengan cepat Bunga menarik kuat tangannya dari Sri. Ta menggertakkan giginya menatap nyalang Sinta. Lalu ... Bub!!! Akhirnya Bunga melayangkan satu tinjuan di pipi kiri Sinta yang seketika berubah lebam. Bola mata mereka sama-sama membesar sempurna melihat tindakan Bunga barusan. Sinta meringis menahan sakit di pipinya, berusaha menahan air matanya yang ingin jatuh agar tak terlihat lemah. Sementara Wilda jadi terdiam kaku, ia tiba-tiba takut Bunga akan meninjunya juga. “Bunga!!!” teriak keras seseorang. Bunga menoleh dari mana arah suara itu. Gilang yang cukup jauh dari mereka melangkah besar- i

Anda mungkin juga menyukai