Anda di halaman 1dari 3

Aceh, Jangan Lupakan Muslim Rohingya

Muthmainnah, ST.,MT

Pasca viral karena diselamatkan nelayan Aceh dengan penuh haru biru, kini pengungsi Rohingya kembali
diberitakan karena aksi mereka yang berusaha melarikan diri dari kamp pengungsian. Diketahui hingga 9
November 2020, sudah 14 pengungsi Rohingya berhasil kabur. Semuanya adalah perempuan dan rata-rata
berusia 7 hingga 21 tahun. Diduga mereka bukan sekedar melarikan diri, tetapi merupakan bagian dari
kejahatan penyelundupan dan perdagangan manusia (human trafficking). Hal ini terungkap setelah Dandim
Aceh Utara 2 kali menggagalkan aksi penyelundupan pengungsi Rohingya yang diprakarsai oleh warga lokal
dan imigran Rohingya yang telah lama tinggal di Medan (Tribunnews-Lhokseumawe).

Dari penyelidikan kasus tersebut terungkap bahwa pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh Utara dan
Lhokseumawe merupakan pengungsi dari kamp Cox’s Bazaar Bangladesh. Mereka ingin keluar dari kamp dan
mencari kehidupan yang lebih baik di Malaysia. Sejak awal, yang peran mengeluarkan pengungsi dari kamp,
menyediakan fasilitas kapal dan sebagainya adalah sindikat penyelundupan dan perdagangan internasional.
Hanya saja di tengah jalan tidak berjalan sesuai rencana. Hingga akhirnya terdampar di Aceh.

Pengungsi Rohingya

Masih membekas di ingatan kita saat aksi heroik nelayan Seunudon, Aceh utara, menyelamatkan 99 imigran
Rohingya (Juni, 2020). Aksi tulus para nelayan tersebut viral hingga tingkat internasional. Mereka mengklaim
tindakan tersebut merupakan humanisme masyarakat Aceh yang patut dipuji. Namun lebih dari itu, aksi
nelayan Aceh adalah bentuk penampakan dari kuatnya perasaan Islam dan ukhuwah Islam dari masyarakat
Bumoe Seuramoe.

Tak dinyana, gelombang kedua imigran kembali berdatangan pada september 2020. Mereka terdampar di
pantai ujong Blang, Kecamatan Banda Sakti Lhokseumawe. Total berjumlah 297 orang, terbanyak selama
kasus gelombang imigran Rohingya di Aceh dalam 5 tahun terakhir. Sampai saat ini mereka ditempatkan di
Balai Latihan Kerja (BLK) Desa Bang Mee, Kandang, Lhokseumawe dengan pengawasan aparat dan bantuan
LSM. Menurut informasi yang beredar, gelombang ketiga juga berdatangan, namun oleh pihak berwenang
dihalau kembali ke laut.

Bila dirunut, imigran Rohingya terdampar di Aceh pertama kali terjadi tahun 2009 di perairan Sabang, Aceh
Timur dan Nagan dengan total imigran kurang lebih 443 jiwa. Disusul tahun 2011 di Krueng Raya sebanyak
129 jiwa. Kemudian terjadi kembali tahun 2012, namun jumlahnya berkurang yaitu 54 jiwa. Lalu di tahun
2013 sebanyak 190 jiwa dan meninggal 9 jiwa saat di laut. Terbesar terjadi tahun 2015 yang menampung
sampai dengan 1300 jiwa. Kemudian tahun 2018 di perairan Bireun sebanyak 79 jiwa, di Aceh timur 10 jiwa,
5 orang di antaranya meninggal saat masih dilaut. Jika ditotal kejadian ini sudah berulang hampir 10 kali dam
rentang waktu 10 tahun. Untuk kasus di Bireuen, 77 imigran berhasil kabur dan tersisa 2 orang yang akhirnya
ditangani dinas sosial.

Sedang total jumlah pengungsi mencapai 2.290 jiwa selama kasus-kasus tersebut terjadi. Fakta ini
menunjukkan bahwa sebenarnya penderitaan muslim Rohingya belum berakhir. Sama sekali. Sekalipun
berita tentang konflik Rakhine yang menyebabkan terjadinya eksodus muslim Rohingya mulai kehilangan
daya tariknya di mata media.
Di tengah akar persoalan yang belum usai, ditambah persoalan hidup dan mati di pengungsian atau menjadi
korban penyelundupan, terombang ambing di lautan dan terdampar di negeri orang, kepedihan semakin
bertambah bagi pengungsi Rohingya akibat dari narasi-narasi yang belakangan ini mengemuka. Diataranya
isu perilaku negatif dari muslim Muslim Rohingya yang membuat kesal petugas dan masyarakat setempat,
isu kebersihan, hingga isu kecemburuan sosial antara imigran yang mendapatkan banyak sekali bantuan
dibandingkan dengan penduduk lokal yang dianggap juga memerlukan bantuan yang sama. Selain itu
mengemuka juga isu ketidakmampuan finansial daerah dalam membantu pengungsi yang menimbulkan
kekhawatiran pembiayaan pengungsi ke depannya.

Mewaspadai Upaya stigmatisasi

Dalam melihat persoalan Rohingya, diperlukan sudut pandang Islam yang jernih. Sehingga umat dapat
melihat akar persoalan dengan jelas berikut dengan solusinya. Tanpa sudut pandang Islam, umat
memungkinkan terjebak dalam narasi yang bisa jadi mengarah pada upaya stigmatisasi terhadap muslim
Rohingya.

Diantaranya adalah bahwa pasca ditangkapnya para pelaku penyelundupan pengungsi Rohingya, pihak
berwenang mulai melakukan investigasi ulang. Hasil investigasi tersebut mengungkapkan bahwa sejak awal
para imigran ini sengaja keluar dari Cox’s Bazaar, bertujuan untuk mencari pekerjaan di Malaysia dan mereka
secara sadar memakai jasa jaringan penyelundup manusia dengan bayaran yang telah disepakati kedua
belah pihak. s

Narasi ini seolah-olah ingin mengatakan, mereka bukanlah imigran yang melarikan diri dari pembantaian,
jadi tidak perlu ditolong sebegitu heroiknya. Bila kita telisik, narari ini akan sangat mampu mengalihkan
perhatian ummat dari akar persoalan muslim Rohingya yang sebenarnya. Wajib kita mengingat kembali
bahwa Muslim Rohingya tidak lari dari tanah lahir mereka di Rakhine kecuali setelah terjadi genosida dan itu
kaum buddist Myanmar lakukan hanya karena satu alasan, sebab mereka adalah muslim. Tahun 2001,
gerakan 969 diluncurkan Ashin Wiratu dengan tujuan keagamaan melawan apa yang mereka klaim sebagai
‘ekspansi’ muslim. Hingga konflik terus memuncak tahun 2015 dan tahun 2017, melahirkan luka dan
kepedihan bagi hampir 1 juta jiwa yang terombang ambing di kamp-kamp pengungsian, terpisah dari
keluarga mereka. Ratusan ribu lainnya terbunuh dan hampir 100 ribu muslimah diperkosa. Bahkan
melahirkan anak hasil pemerkosaan dan mereka harus merawatnya. Tentu sangat menyiksa batin antara
memiliki naluri menjadi ibu dan memori yang melukai kehormatan mereka sebagai seorang muslimah.

Karena itu persoalan Rohingya adalah persoalan akidah, persoalan agama, persoalan ukhuwah islamiyah.
Dan kaum muslimin wajib hukumnya membantu setiap panggilan dari saudara mereka yang meminta
bantuan atas dasar agama. Allah berfirman :

“...jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu
wajib memberikan pertolongan...” (QS. Al Anfal : 72)

Rasul pun mengingatkan bahwa kaum muslimin itu ibarat satu tubuh, bila ada satu bagian yang sakit maka
bagian yang lain juga akan merasakan sakit yang sama. Bahkan rasulullah mengancam, jika ada dari umatnya
yang bangun di suatu pagi yang hanya memikirkan urusan dunianya dan melupakan persoalan kaum
muslimin maka dia bukanlah bagian dari ummat Nabi Muhammad. Begitulah tegasnya persoalan ukhuwah di
dalam Islam.

Karena itu narasi-narasi yang mengarah pada upaya stigmatisasi wajib dilawan. Termasuk persoalan prilaku
negatif dari para pengungsi. Tidaklah ada yang paling bertanggung jawab terhadap bagaimana kepribadian
kaum muslimin kecuali institusi negara. Karena negaralah yang memiliki porsi kewenangan paling besar
dalam memberlakukan sistem pendidikan yang memungkinkan kaum muslimin memahami bagaimana
seharusnya berperilaku sebagai seorang muslim. Negara pula yang memliki kewenangan pemberlakuan
sanksi sekiranya kaum muslimin menyimpang dari kepribadian Islam. Sebab itu tidak patut, setelah
menolong muslim Rohingya, kita menyimpan kekecewaan terhadap mereka. Mereka ditolong bukan sebab
kita mencari pamrih agar mereka bersikap baik, akan tetapi menolong mereka adalah kewajiban yang
melekat pada diri setiap kaum muslimin tersebab iman yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di
hadapan Allah SWT.

Demikian juga persoalan beban finansial yang harus ditanggung oleh daerah dan kecemburuan sosial dari
masyarakat terhadap muslim Rohingya. Mata kita harus jernih melihat bahwa kekayaan sumber daya alam
yang Aceh miliki tidak mampu mensejahterakan umat dan tidak juga mampu menolong muslim Rohingya
dalam jangka panjang. Hal ini tidak lain akibat pengelolaan sumber daya alam yang bertetangan dengan
prinsip syariat sekalipun Aceh diklaim menerapkan syariat. Kecemburuan kita mestinya lebih layak diarahkan
kepada TKA China dan investor asing yang terus masuk ke Aceh. Mereka juga menjadi beban terlebih bagi
umat yang harus kehilangan lapangan pekerjaan yang terus diberikan kepada asing.

Oleh karena itu, Aceh, Jangan lupakan muslim Rohingya. Mereka tidak lari kecuali karena dibantai. Mereka
tidak bantai kecuali karena mereka muslim. Mereka tidak terombang-ambing dan menjadi manusia perahu
kecuali tidak adanya khilafah. Padahal mereka hidup dikelilingi negeri-negeri muslim yang kaya-raya. Maka
jawaban tuntas bagi persoalan mereka adalah tegaknya khilafah ‘ala manjah an nubuwwah yang akan
menjadi junnah, perisai bagi kaum muslimin. Insya Allah.

Wallahu’alamu bish shawab

Anda mungkin juga menyukai