Anda di halaman 1dari 10

RESUME JURNAL INTERNATIONAL DAN

NATIONAL

TUGAS MATA KULIAH : KESEHATAN


REPRODUKSI

DI SUSUN OLEH
MIMIN YASIN 751540119083

KELAS : I C KEBIDANAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES


GORONTALO
PRODI JURUSAN DIII KEBIDANAN
T.A 2019/2020
MEDIA MASSA DAN PENYEBARAN ISU PEREMPUAN

Beberapa tahun terakhir ini muncul fenomena maraknya tayangan isu-isu


perempuan oleh media massa, baik surat kabar, majalah, televisimaupun film.
Kompas, Suara Pembaruan danSuaraMerdeka merupakanbeberapa contoh media
massa surat kabar yang sering memuat isu dan wacana tentang perempuan.
Sementara itu melaluimedia filmkita juga pernah menyaksikan nilai-
nilaifeminismedalamfilm“PasirBerbisik”dan“PerempuanBerkalungSorban”.Dime
dia internet fenomena tersebut lebih terlihat lagi dengan hadirnya situs-situs
organisasiperempuan dengan wacana-wacana kritis yang dibangun oleh para
aktivisnya. Fenomena inimenarik mengingat isuisu perempuan, terutama yang
bernuansa feminis nyaris tidak bisa ditemui di media massa pada periode
sebelumakhir 1990-an ketika itu Indonesia masih dipimpin oleh Soeharto yang
cenderung mengambil kebijakan menempatkan perempuan disektor domestik
sebagaiisteri yang mengabdipada suami atau ibu yang setia menjaga keluarga
dibandingkan sebagai pribadi yang memiliki otonomi. Di sini terlihat peran media
massa amatlah besar sebagai wahana untuk menyuarakanisu-isu dan kepentingan
perempuan.
Isu perempuan adalah isu yang memiliki dampak langsung terhadap
perempuan.Cakupan isu perempuan di antaranya adalah hak reproduksi, persoalan
perawatan anak, masalah ekonomi, penciptaan lapangan kerja, pengentasan
kemis-kinan, HAM, pendidikan, penghapusan kekerasan terhadap perempuan,
kesehatan dan agama. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa isu
perempuanamatlahberagam,mulaidari persoalan-persoalan yang berkait dengan
kehidupan pribadi sebagai perempuan hingga persoaalan yang lebih bersifat
publik. Keragaman isuperempuanbersumber dari adanyadua
jeniskepentinganperempuan. Menurut Molyneux (1986:284) kepentingan
perempuan dapat dibedakan menjadi kepentingan gender “praktis” dan
kepentingangender “strategis”. Kepentingan gender praktis berangkat
darikondisikondisi konkret yang dialami perempuan seharihari. Kepentingan
gender praktis tidak mempersoalkan konstruksi gender yang tidak adil, melainkan

1
bersumber dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi perempuan dalam menjalankan
fungsi-fungsimereka sebagaiperempuan. Contoh kepentingan gender praktis
adalah masalah pemeliharaan anak, perawatan kesehatan, kebutuhan sanitasi
lingkungan, air bersih dan pemenuhan kebutuhanpangan. Sementara
itukepentingangenderstrategis lahir dari adanya subordinasi perempuan dalam
masyarakat yang mendorong keinginan untuk mewujudkantatanansosialyang lebih
adilgender. Kepentingan genderstrategisinilah yang identik dengan isu-isu
feminis.Contohnya adalah penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,
pemberian kesempatan bagi perempuan di bidang politik, dan
kebebasanbagiperempuan untuk memiliki anak atau tidak, termasuk untuk
melakukan aborsi (Machya, 2009:228-230).

2
Evaluasi terhadap Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran Sosial Non-
Goverment Organization (NGO) untuk Isu-Isu Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Studi Kasus Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Cut Nyak Dien Yogyakarta dan Solidaritas Perempuan untuk Hak Asasi
Manusia Surakarta)

Kampanye dan sosialisasi isu-isu untuk penegakan hak asasi manusia


(HAM) termasuk hak asasi perempuan (HAP) semakin hari semakin meningkat
perkembangannya. Pemasaran ide-ide tesebut semakin beragam aktivitasnya dan
semakin diterima masyarakat maupun negara. Perkembangan pemasaran sosial ini
meliputi isu-isu sosial, politik, budaya, pendidikan dan isu kesehatan. Kemajuan
ini sejalan dengan perkembangan strategi dengan melakukan bauran komunikasi
untuk memasarkan isu-isu tersebut dalam masyarakat. Hal yang sangat penting
termasuk pemahaman terhadap perilaku khalayak sebagai kelompok sasaran
sehingga pesan dapat disampaikan dengan efektif dan efisien.
Meskipun sudah lama dilakukan namun, pertumbuhan dan pengadopsian
konsep-konsep marketing untuk organisasi-organisasi non profit tumbuh dengan
subur mulai tahun 70an. Awal dari pengadopsian ini dalam bidangbidang
pendidikan, perawatan kesehatan (kampanye anti rokok, kampanye penggalangan
dana untuk korban-korban kanker), hak-hak reproduksi, penggunaan alat
kontrasepsi, lingkungan hidup dan transportasi yang aman. Di negara-negara
berkembang seperti Indonesia, Philipina, dan China juga banyak melakukan
kegiatan-kegiatan social marketing atau social campaign misalnya untuk isu-isu
penggunaan alat kontrasepsi, perlindungan anak-anak dari kondisi kekurangan
gizi dan pemberantasan buta huruf. Berdasarkan pada contohcontoh tersebut,
social marketing atau social campaign didefinisikan sebagai sebuah usaha-usaha
yang terorganisasi yang dilaksanakan oleh organisasi atau kelompok (the change
agent), yang bertujuan untuk mempengaruhi yang lain (target adopters) untuk
menerima, memodifikasi ide-ide, sikap, praktek-praktek atau perilaku-perilaku
tertentu.

3
Dalam konteks social marketing untuk isu-isu anti kekerasan terhadap
perempuan ini, tidak bisa dilepaskan dengan tumbuhnya organisasi-organisasi
perempuan yang independen bermunculan di Indonesia. Organisasi-organisasi
yang mengusung isu-isu kekerasan terhadap perempuan antara lain Kalyanamitra,
Jakarta; Mitra Perempuan, Jakarta; LBH APIK, Jakarta; Spekham, Surakarta;
Riffka Annisa, Yogyakarta; Damar, Lampung; dan Cut Nyak Dien, Yogyakarta.
Bahkan tidak sedikit NGO (organisasi non pemerintah) yang tidak secara spesifik
memperjuangkan isu-isu perempuan, mulai memasukkan perspektif gender dalam
program-programnya. Untuk memperjuangkan keadilan gender dalam masyarakat
tersebut, kelompok sasaran dari program-program yang dilakukan antara lain
buruh perempuan, perempuan miskin, perempuan pedesaan, pekerja seks, anak-
anak jalanan, nelayan perempuan, perempuan miskin desa, perempuan miskin
desa, anakanak perempuan serta ibu rumah tangga.
Masalah kekerasan terhadap perempuan, yang pada awalnya masih
dianggap masalah yang sepele, individual (privat problem) namun dengan
strategi-strategi yang dirancang oleh organisasi-organisasi non-pemerintah maka
masyarakat menjadi terinformasikan dan mengetahui adanya masalah kekerasan
terhadap perempuan ini. Bahkan oleh sebagian masyarakat sudah dianggap
sebagai masalah yang penting dan serius. Disahkannya UndangUndang Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2004 ini menggambarkan bahwa
pemerintah memandang penting masalah kekerasan terhadap perempuan yang
jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu. Meskipun masih terjadi
kontroversi dalam beberapa pasalnya, paling tidak memberikan landasan hukum
bagi organisasi-organisasi yang mengkampanyekan dan mengadvokasi anti
kekerasan terhadap perempuan sehingga pemerintah serius melaksanakannya.
Masalah kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es karena
yang tampak di permukaan jumlahnya jauh lebih sedikit daripada jumlah yang
sesungguhnya. Masalah kekerasan terhadap perempuan lebih banyak tersimpan di
dinding-dinding kokoh rumah yang akhirnya lenyap bersamaan dengan
berputarnya waktu. Hal ini dikarenakan korban-korban kekerasan takut untuk
bersuara, menyatakan bahwa mereka merupakan korban kekerasan.

4
Ketidakberanian korban-korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ataupun
korban perkosaan bersuara karena masyarakat beranggapan miring terhadap para
korban. Dimensi kekerasan juga menimpa tidak hanya fisik dan psikis saja
melalui pemukulan, perkosaan dan pelecehan seksual namun juga kekerasan
karena pengabaian hak-haknya misalnya terhadap pekerja rumah tangga (PRT)
(Hastuti, 2004:143-146).

5
Akses dan informasi bagi perempuan penyandang disabilitas dalam
pelayanan kesehatan reproduksi dan seksualitas

Permasalahan mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi


perempuan penyandang disabilitas (different ability) hingga saat ini masih
menyisakan berbagai perdebatan terutama apabila dikaitkan dengan kebijakan
negara dalam merespon isu ini. Di satu sisi, meskipun negara telah meratifikasi
konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas melalui UU No.19 tahun
2011, namun implementasi dari regulasi ini masih jauh dari efektif. Masalah
Penelitian ini meliputi: 1). Apa saja persoalan seksualitas dan kesehatan
reproduksi bagi perempuan penyandang disabilitas? 2). Bagaimana akses dan
informasi bagi perempuan penyandang disabilitas dalam pelayanan seksualitas
dan kesehatan reproduksi selama ini bagi masyarakat di Kabupaten Malang? 3).
Bagaimana peran puskesmas sebagai pelayanan kesehatan reproduksi yang
memberikan informasi tentang masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi
perempuan penyandang disabilitas? Serta program-program apa saja yang bisa
dilayani di puskesmas setempat. Pengumpulan Data: Pengamatan, Focus Group
Discussion (FGD), dan wawancara mendalam. Penentuan Informan meliputi
perempuanperempuan penyandang disabilitas dan mempunyai masalah dengan
seksualitas, kesehatan reproduksi serta mengalami kekerasan seksualitas
(pelecehan seks dan pemerkosaan). Data yang terkumpul diklasifikasikan dan
diidentifikasikan dengan memberikan makna pada tema dan sub tema serta
mencari hubungan antar data kemudian dianalisa. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa masih banyak wanita penyandang disabilitas yang tidak
mengerti bagaimana merawat organ reproduksi, sehingga berpengaruh pada
kesehatannya. Kontrol terhadap organ reproduksi masih sangat rendah, sehingga
mereka mengalami kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan yang tidak
dikehendaki. Beberapa kasus dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual tidak mendapatkan
keadilan, karena pernyataan mereka tak dapat diterima secara hokum legal, dan ini

6
diperkuat oleh stigma masyarakat yang memberi cap pada mereka sebagai orang
gila.
Berdasarkan data-data yang terkumpul dan sudah dilakukan analisis maka
dapat kita simpulkan bahwa berbagai persoalan perempuan disable sangat
menunjukkan beberapa fakta yang memprihatinkan terkait kesehatan perempuan,
kesehatan seksualitas maupun reproduksi perempuan disable. Dalam isu
perempuan disable, berbagai stigma, diskriminasi, ketidakadilan sampai kekerasan
terhadap mereka terjadi. Mereka mendapatkan stigma dan diskriminasi sejak usia
kecil sampai mereka dewasa. Kemudian, hak mereka atas pengetahuan dan akses
kesehatan khusus tidak didapatkan, sehingga mereka rentan akan kekerasan dalam
ruang privat maupun publik. Ketersediaan informasi yang benar serta bertanggung
jawab, layanan kesehatan serta perlindungan atas hak seksualitas dan kesehatan
reproduksi seharusnya merupakan hak komunitas disable di manapun mereka
berada sehingga mereka merasa aman dan terlindungi dari resiko-resiko
reproduksi seksual. Hal ini terjadi antara lain akibat pandangan yang berkembang
di masyarakat bahwa komunitas disable bukanlah makhluk seksual. Komunitas
disable dianggap tidak mempunyai hasrat mengekspresikan seksualitasnya.
Padahal, pada faktanya, komunitas disable sangat rentan mengalami resiko-resiko
reproduksi seksual, infeksil menular seksual, HIV/AIDS, kehamilan tidak
dikehendaki, bahkan tindak kekerasan seksual, sehingga sudah seharusnya mereka
mendapatkan hak yang sama. Kebijakan tentang perempuan disable belum
memihak secara penuh pada kebutuhan dan kekhususan dari penanganan isu-isu
disable, apalagi isu perempuan disable. Belum banyak informasi dan pengetahuan
yang cukup bagi orangtua untuk menangani anaknya yang disable, apalagi kalau
berkaitan isu kesehatan reproduksi bagi perempuan disable (Haryono, dkk,
2013:65-78).

7
Efek Samping, Konsekuensi Kesehatan Fisik, dan Kematian Terkait
dengan Aborsi dan Kelahiran setelah Kehamilan Tidak Diinginkan

Hasil ini memperkuat data yang ada pada keselamatan aborsi induksi jika
dibandingkan dengan persalinan, dan menyoroti risiko morbiditas serius dan
kematian terkait dengan melahirkan setelah kehamilan yang tidak diinginkan.
Keselamatan aborsi di bawah pedoman medis saat ini (Organisasi
Kesehatan Dunia [WHO], 2012 ) Telah banyak didokumentasikan. Aborsi adalah
salah prosedur rawat jalan yang paling aman dilakukan di Amerika Serikat. Risiko
kematian dari melahirkan di Amerika Serikat diperkirakan 14 kali lebih tinggi dari
pada risiko dari aborsi, dan risiko semua morbiditas ibu, de fi didefinisikan
sebagai “ kondisi baik unik untuk kehamilan atau berpotensi diperburuk oleh
kehamilan yang terjadi di setidaknya 5% dari seluruh kehamilan ” adalah signi fi
jauh lebih tinggi pada wanita yang melahirkan dibandingkan mereka yang
melakukan aborsi. Perempuan pengalaman yang dilaporkan sendiri dengan efek
fisik dari aborsi dan kelahiran telah didokumentasikan dalam literatur medis.
Namun, efek samping subakut tidak ditangkap secara rutin oleh sumber data
tradisional, seperti rumah sakit catatan kesehatan elektronik dan kode tagihan
medis. Dalam konteks kehamilan yang tidak diinginkan sebagai kehamilan bahwa
wanita ingin mengakhiri, ada sedikit data yang membandingkan konsekuensi
kesehatan melakukan aborsi terhadap membawa kehamilan untuk jangka (Caitilin,
dkk, 2016:55).

8
Wanita muda ' s Perspektif Tentang Konseling Kontrasepsi Diterima
Selama mereka Kontrasepsi Darurat Kunjungi

menemukan bahwa perempuan muda yang mencari EC menghargai belajar


tentang metode kontrasepsi lain, tetapi tidak ingin merasa tertekan untuk
mengadopsi metode selain EC. Temuan menyoroti pentingnya menghormati
wanita muda ' s keputusan kontrasepsi untuk membangun dan memelihara
penyedia kepercayaan dan menyarankan bahwa konseling kontrasepsi pendekatan
yang mengedepankan spesifik fi metode c dapat mengurangi beberapa wanita
muda ' s kepercayaan penyedia dan penggunaan layanan kesehatan reproduksi.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit merekomendasikan bahwa
konseling kontrasepsi meliputi informasi umum tentang ef fi keampuhan dan efek
samping dari metode dan bahwa mengatasi preferensi pasien dan kekhawatiran.
penyedia dan peneliti mempertimbangkan konseling perempuan muda untuk
menjadi sangat kompleks ( Potter & Santelli 2015 ). Selain memastikan con fi
kerahasiaan dan membangun hubungan yang positif dan kepercayaan, penyedia
harus mempertimbangkan remaja ' tahap perkembangan yang unik dan kapasitas
untuk menimbang risiko dan bene fi ts dari berbagai pilihan kontrasepsi, inisiasi
baru-baru ini aktivitas seksual, di sosial fl uences, dan fi keuangan dan hambatan
logistik untuk perawatan.
Karena remaja ' berisiko tinggi untuk kehamilan yang tidak diinginkan,
baik American Academy of Pediatrics dan American College of Obstetricians dan
Gynecologists (ACOG) merekomendasikan pendekatan berjenjang efektivitas
ketika membahas kontrasepsi dengan remaja, dimana penyedia mulai fi pertama
dengan informasi tentang metode yang paling efektif mencegah kehamilan d
intrauterine device (IUD) dan implan kontrasepsi.
Namun, kita tidak tahu bagaimana perempuan muda mengalami
pendekatan seperti itu dan apakah itu alamat preferensi mereka dalam memilih
metode kontrasepsi (Biggs,dkk. 2018:170-171).

Anda mungkin juga menyukai