Anda di halaman 1dari 6

Obat Saluran Cerna (Anti diare dan Anti Sembelit)

Definisi Diare
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair
(setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau 200
ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3
kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14 hari,
sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan
infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare
infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit.
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di negara
berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB
(Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat.

Patofisiologi Diare
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non
inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di
kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah.
Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik,
mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja
rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel
leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair
dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya minimal atau
tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus
yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan
leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi kelompok
osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik terjadi bila ada bahan
yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari
plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi
laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang berkurang
ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri
misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek, atau
laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal
polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus maupun
usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat non infeksi
seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu tansit usus
menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau
diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling tidak ada
dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus.
Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan
terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit
dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi penempelan
bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi
enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme
tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus.

Penatalaksanaan Diare
A. Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan
keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana
harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena diare
hebat yang memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa.17 Idealnya, cairan
rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g
kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air.2,4 Cairan seperti itu tersedia secara komersial
dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan
secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan
menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula
per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium.. Pasien
harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya.3
Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat
Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah.
Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital,
pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke
cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.

B. Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi, karena 40%
kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian anti biotik.

Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi
seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi
lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan
pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan, tetapi
terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman.

C. Obat anti diare

1. Kelompok antisekresi selektif


Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas racecadotril yang
bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase sehingga enkephalin dapat
bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit
sehingga keseimbangan cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini
tersedia di bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang
dapat pula digunakan lebih aman pada anak.

2. Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi difenoksilat dan
atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x sehari, loperamid 2 – 4 mg/ 3
– 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x sehari. Efek kelompok obat tersebut meliputi
penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi
feses dan mengurangi frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup
aman dan dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala
demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.

3. Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit diberikan atas
dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau toksin-toksin. Melalui
efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat
merangsang sekresi elektrolit.

4. Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya (Strerculia),
Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan cairan alam lumen usus
dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak dapat mengurangi
kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air
atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.

5. Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau Saccharomyces
boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan memiliki efek yang
positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan
keberhasilan mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat.

Definisi Sembelit
Konstipasi atau sembelit merupakan suatu gangguan proses defekasi yang ditandai dengan
berkurangnya frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per minggu, dengan konsistensi faeces
yang keras dan disertai rasa tidak enak di dalam pencernaan. Konstipasi dapat dirasakan oleh
semua umur baik dari anak – anak sampai lanjut usia (Global, 2010). Gejala konstipasi
disebabkan menurunnya gerakan peristaltik usus sehingga menyebabkan konsistensi faeces
menjadi keras dan usus tidak dapat mendorong kotoran (faeces) ke arah rektum.

Faktor – faktor seperti mengonsumsi makanan yang tidak sesuai dan kurangnya aktivitas fisik
dapat terjadinya konstipasi. Pada orang normal, proses pergerakan peristaltis usus terjadi
selama 24 – 48 jam, pada pasien konstipasi, pergerakan peristaltik ususnya melambat
sehingga frekuensi defekasi kurang dari 3 kali dalam seminggu. Konstipasi sering disertai
faeces yang keras, defekasi terasa nyeri, dan rasa pengosongan perut tidak sepenuhnya
(Heinrich et all, 2009)

Patofisiologi Sembelit
Patofisiologi konstipasi dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor dari dalam lumen dan
faktor dari luar lumen.

Faktor dari Lumen Kolon dan Rektum

Ada tiga faktor dari dalam lumen yang dapat menyebabkan konstipasi, yaitu:

1. Obstruksi kolon akibat keganasan, volvulus, atau striktur : obstruksi pada kolon akan
menyebabkan kesulitan pasase feses

2. Berkurangnya motilitas usus : misalnya pada pasien yang menggunakan laksatif secara
berlebihan dalam waktu lama

3. Obstruksi pada jalan keluar : misalnya akibat prolaps rektum, rectocele, spasme sfingter
anal eksternum, atau kerusakan nervus pudendus akibat komplikasi persalinan spontan

Faktor dari Luar Lumen

Beberapa faktor dari luar lumen yang dapat menyebabkan konstipasi adalah :

1. Pola makan yang rendah serat, kurang cairan, serta konsumsi alkohol dan kafein yang
berlebihan

2. Penggunaan obat yang mempengaruhi neurotransmitter yang mengatur gerakan kolon

3. Gangguan sistemik seperti gangguan endokrin dan gangguan neurologi. (D Basson Marc.
"Constipation." Medscape (2018).)

Obat Sembelit
Penatalaksanaan konstipasi adalah dengan terapi komprehensif untuk mengembalikan fungsi
defekasi yang fisiologis dan mempertimbangkan penyebab dari konstipasi. Pada pasien
konstipasi kronik yang tidak menunjukkan tanda bahaya, usia<40 tahun, tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan colok dubur, dan diduga tidak ada konstipasi sekunder, terapi
empirik dapat dilakukan dengan rawat jalan yaitu terapi farmakologis dan nonfarmakologis.

Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi untuk konstipasi adalah modifikasi gaya hidup. Hal ini penting untuk
ditanamkan agar mencegah keluhan berulang.

1. Konsumsi Serat

Pasien diminta untuk meningkatkan konsumsi makanan berserat hingga 25 gram serat/hari
dan minum air yang cukup ( sekitar 1,5-2,0 L/hari). Serat bisa didapatkan dari sayur-sayuran
dan buah-buahan.

Pada CIC (Chronic Idiopathic Constipation) serat yang disarankan adalah serat yang larut
dibandingkan serat tidak larut. Contoh makanan yang tinggi serat larut adalah kubis, kedelai,
alpukat, ubi jalar, brokoli, dan pir.

2. Konsumsi Probiotik

Pasien disarankan mengkonsumsi probiotik. Sudah banyak bukti ilmiah mengenai probiotik
yang menyatakan bahwa penggunaan probiotik bermanfaat dalam mengurangi konstipasi,
diare, dan mencegah irritable bowel syndrome.

3. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang regular, tiga kali seminggu, selama 60 menit, dengan target 40-60% dari
target heart rate (THR) ditemukan dapat mengurangi gejala konstipasi.

4. Kebiasaan Defekasi

Pasien diedukasi agar tidak menahan buang air besar, menghindari mengejan, membiasakan
buang air besar setelah makan (melatih reflek post-prandial bowel movement) atau saat
waktu yang dianggap sesuai, dan menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan
konstipasi. [13]

Terapi Farmakologis
Tatalaksana farmakologis untuk konstipasi di antaranya adalah bulk-forming agent, stool
softener, laksatif lubrikan, prokinetik, agen osmotik, dan laksatif stimulan.

1. Bulk Forming Agent

Golongan ini merupakan golongan laksatif yang bekerja dengan menyerap cairan di
intestinal, sehingga konsistensi feses menjadi lebih lunak dan lebih mudah dikeluarkan.
Contoh dari golongan ini adalah psyllium dan methylselulosa. Secara teoritis, methylselulosa
akan memproduksi lebih sedikit gas dan lebih mudah di toleransi. [2] Sayangnya, obat ini
belum tersedia di Indonesia.

2. Stool Softener

Golongan obat ini lebih mudah digunakan, tetapi efektivitasnya menurun seiring dengan
pemakaian. Golongan obat ini lebih direkomendasikan sebagai profilaksis atau pada pasien
yang harus menghindari mengejan saat defekasi.

Docusate : 240 mg per oral per hari, atau 120-200 mg diberikan sebagai enema.

3. Laksatif Lubrikan

Laksatif berupa lubrikan berperan dalam tatalaksana konstipasi dengan cara melubrikasi usus
dan mencegah absorpsi air di usus. Contoh dari obat ini adalah paraffin oil yang dimasukkan
ke dalam anus. Bisa juga diberikan sediaan mineral oil, namun sayangnya belum ada di
Indonesia.

4. Agen Osmotik

Golongan ini direkomendasikan untuk terapi jangka panjang pasien konstipasi dengan waktu
transit kolon yang lambat dan keluhan yang berulang walaupun sudah diberikan suplementasi
serat.

Laktulosa : 10-20 gram diberikan dalam satu dosis atau dibagi menjadi dua dosis per hari.

Sorbitol : 30-150 mL sebagai larutan 70% diberikan satu kali secara oral, atau 120 mL
sebagai larutan 25-30% diberikan satu kali sebagai enema
Polyethylen glycol : 19 gram dilarutkan dalam 100-250 mL air digunakan sekali sehari,
selama maksimal 7 hari.

5. Laksatif Stimulan

Golongan laksatif stimulan adalah yang paling sering digunakan dan mudah didapat.
Golongan ini juga termasuk obat-obat prokinetik yang meningkatkan motilitas usus.

Tegaserod : 2 x 6 mg digunakan selama 4-6 minggu

Bisacodyl : 5-10 mg diberikan saat malam hari, maksimal 20 mg

Sennoside : 15-30 mg per oral 1-2 kali/hari

Terapi Farmakologis pada Keadaan Khusus

Pada slow transit constipation, dianjurkan menggunakan terapi kombinasi laksatif stimulan
dan prokinetik selain terapi non-farmakologis.

Pasien dengan disfungsi anorektal (disfungsi dasar panggul), selain dengan pengobatan non
farmakologis dan laksatif, dapat dianjurkan untuk diberikan terapi biofeedback atau injeksi
toksin botulinum tipe A ke dalam otot pubo rektalis.

Pada konstipasi sekunder, selain mengatasi konstipasi, terapi ditujukan terhadap penyakit
yang mendasarinya.

Terapi operatif dapat dipertimbangkan pada konstipasi yang tidak respons terhadap berbagai
terapi medikamentosa, dengan syarat tanpa kelainan anorektal. [2,14,15]

Referensi

2. D Basson Marc. "Constipation." Medscape (2018).


13. Tantawy Sayed, Kamel Dalia M , Abdelbasset Walid Kamal, Elgohary Hany M. "effects
of a proposed physical activity and diet control to manage constipation in middle-aged obese
Women." Diabetes, Metabolic Syndrome and Obesity: Targets and Therapy 2017 (2017):
513-19.
14. Lembo Anthoni J, Johanson John F, Parkman Henry P, Rao Satish S, et el. "Long Term
Safety and Effectiveness of Lubriprostone, a Chloride Channel (CIC-2) Activator in Patients
with Chronic Idiopathic Constipation." Dig Dig Sci (2011): 2639-2645.
15. Institute, Health and Care Excellence National. "Lubriprostone for treating chrinic
idiopathic constipation." Nice Guidance (2018): 1-47.

Anda mungkin juga menyukai