Anda di halaman 1dari 2

Ruang Publik Kota: Menuju Kehidupan Yang Manusiawi

By. Zulkifli Mappasomba

Kota adalah ruang peradaban tertinggi manusia, didalamnya beragam budaya, kota
juga menjadi tempat aktualisasi potensi diri manusia paling ideal. Jika kotanya sehat, maka
penduduknya akan sehat, jika didesain secara kreatif, maka warganya akan kreatif, dan jika
kotanya hijau, maka warganya harmoni dengan lingkungan. Namun jika kotanya semrawut,
jorok, dan tidak teratur, pengaruhnya ke warga juga yang secara sosial berpotensi konflik.
Sebab ada keterkaitan lingkungan hijau, asri dan nyaman akan memengaruhi masyarakatnya,
sehingga ada perubahan pola perilaku berpengaruh terhadap kondisi perkotaan.
Membayangkan kota masa depan seperti membayangkan peradaban manusia serta
perilakunya kelak, merancang kota berarti merancang peradaban manusia. Pada 2050, sekitar
70 persen penduduk dunia terkonsentrasi di perkotaan. Menumpuknya penduduk perkotaan
tentu saja akan menghasilkan dampak ekologis, psikologis, dan sistem sosial. Namun Inti
dasarnya adalah ekologi, hilangnya habitat-habitan wilayah perkotaan akan berpengaruh
buruk pada aspek psikologi manusia, begitu pula ketersediaan ruang terbuka hijau dan ruang
publik akan membentuk sistem sosial baru. Jika saja kawasan terbuka untuk bermain hilang
maka cenderung menghilangkan pula jumlah habiat yang ada. Anak-anak akan tumbuh bukan
dalam lingkungan bermain yang justru merangsang pertumbuhan otak, namun akan mengarah
pada permainan-permainan produk teknologi (gedget). Perilaku ini ditengarai akan
menghasilkan anak-anak apatis, sistem sosialnya hilang, serta ancaman radiasi berefek
penyakit kronis. Apabila mereka bosan dengan permainan gedget, umunya beralih ke balapan
liar, begal bahkan narkoba. Situasi sosial ini terjadi karena ruang bermain dan olahraga
kebayakan hilang tersulap menjadi gedung privat. Saluran ekspresi jiwa muda teralihkan ke
kebiasan buruk, ruang terbuka yang seharusnya hadir sebagai ruang ekspresi, hilang bersama
dengan hilannya habitat alam.
Jika hari ini situasi demikian hadir dalam ruang kehidupan, lalu bagaimana 2050
nanti? Penduduk kota semakin padat, sementara lahan tidak bertambah disertai arus
urbanisasi yang tidak terbendung. Kenyataan demikianlah yang menuntut pemerintah
mendesain ruang perkotaan selaras dengan kebutuhan hidup dan segara mengambil kebijakan
terkait arti pentingya melindungi habitat sebagai organ penyangga ketersediaan oksigen dan
efek pemanasan global agar hidup lestari dan harmoni.
Ada tiga aspek permasalahan kota kedepan yang tak terhelakan, yaitu urbanisasi,
globalisasi, kemiskinan. Dan hal itu berdampak terhadap kualitas lingkungan termasuk
menghadapi dampak perubahan iklim. Arus urbanisasi setiap dekade menyumbang 20 persen
penduduk kota, apabila mereka yang terkena arus urbanisasi tidak dibekali ilmu dan
kreatifitas justru berdampak bertambahnya pengangguran sehingga menjadi beban kota.
Kondisi arus masyarakat urban demikian marangsang timbulnya pemukiman-pemukiman
kumuh, jorok dan semrawut.
Lahirnya situasi ini menimbukan ancaman habitat mahluk hidup, sebab lingkungan
yang jorok, semrawut, dan tidak tertata berdampak hilangnya kualitas air, tanah, dan ruang
terbuka akibat mereka harus berdesakan mencari lahan pemukiman, tidak peduli bantaran
sungai, ruang terbuka, bahkan tempat sampah.
Pembangunan kota selayaknya lebih mengutamakan manusia sebagai unsur utama
disetiap aspek perencanaan agar tampil lebih manusiawi, meskipun telah terlanjur
kesemrawutan terjadi di kota-kota besar indonesia, bukan berarti kita berhenti dan menerima
situasi demikian. Namun upaya harmonisasi disegerakan dengan kepedulian kita terhadap
lingkungan. Pemerintah sesegera mungkin mengambil kebijakan menutup langkah-langkah
para investor mengerus lahan yang seharusnya menjadi milik publik.
Impian ruang kehidupan kota yang manusiawi mengingatkan kita kembali pada kota
di abab sebelum Revolusi Industri, umunya kota-kota lebih mengutamakan manusia sebagai
objek, sebagi contoh alun-alun kota. Para raja dan bangsawan melakukan tradisi budaya di
alun-alun, rapat dan, seni pertunjukan semuanya dilakukan di alun-alun, sehingga praktis
masyarakat akan saling interaksi satusama lain yang padaakhirnya terbangun komunikasi dan
sistem sosial yang saling mengikat membentuk struktur masyarakat yang humanis.
Pembangunan kota menempatkan nilai-nilai kemanusiaan menjadi bagian besar dalam
arti kehidupan dan karakter bangunannya. Bangunan ruang dalam pembangunan kota
menepatkan ruang terbuka untuk saling berinkteraksi. Sementara bangunan gedung
ditempatkan bukan hanya kegiatan perekonomian tetapi memunculkan representasi sosial
yang dapat dinikmati penduduk kota. Sebagai contoh banguan komersil menyisahkan ruang
terbuka untuk aktifitas sosial, olahraga, ruang tertutup untuk ibadah dan musyawarah
masyarakat. Rancangan seperti ini memunculkan maindset bahwa bangunan mewah kota
yang bukan sepenuhnya milik investor, pengembang, dan pemerintah tetapi milik semua
masyarakat kota yang bisa dinikmati bersama.
Pembanguna kota yang manusiawi berpihak pada semua manusia, yaitu nilai dari
sesama fitrah ciptaan tuhan yaitu keinginan-keinginan mencintai sesama mahluk, binatang,
dan alam. Yang berarti membela suatu sistem keberlanjutan dalam kehidupan, bersosial, dan
menghargai setiap manusia dari kedudukan dan tingkat sosialanya (Sugiono Sutomo, 312).
Dengan demikian harapan akan ruang publik terus diupayakan dan dilestarikan agar
masyarakat perkotaan menyalami fitrahnya sebagai manusia yang lahir dengan fitrahnya
saling mencintai sesama mahluk dan harmoni dengan lingkungan sosial.
Keadaan ini juga telah menjadi rumusan dan harapan UN-Habitat mengarahkan
pembangunan kota pada aspek harmoni dalam ruangan uantuk mengatasi ketimpangan-
ketimpangan akibat arus urbanisasi dan globalisasi dengan kebijakan-kebijakan terarah dan
penyediaan sarana transportasi dan dan komunikasi. Kedua menciptaka harmoni sosial, sebab
jika tidak ditangani dengan baik, maka kriminalitas akibat ketimpangan antar golongan dan
kawasan pemukiman menimbulkan konflik sosial. Dan ketiga harmoni lingkungan,
menempatkan lingkungan sebagai paru-paru kehidupan yang teramat penting sebab
mempengaruhi kualitas air, udara dan tanah. (Budi Cahyadi, 492)
Dari berbagai keinginan untuk hidup dikota yang lebih manusiawi dengan ketesediaan
ruang publik, dapat disimpulkan bahwa pemerintah atau tata kelola pemerintahan yang baik
dan manajemen kota adalah kunci semua aspek-aspek pembangunan. Kita butuh pemimpin
yang konsisten memperjuangkan kelestarian habitat, pemimpin kreatif membentuk
masyarakat sadar lingkungan memanfaatkan ruang publik terjaga dan menjadi ruang aksi dan
kreatifitas menyalurkan espresi jiwa seni, olahraga dan budaya serta menyalurkan fitrahnya
sebagai manusia yang saling menyayangi, bersahabat dan melindungi sesama mahluk ciptaan
tuhan dari kepunahan dan keterasingan.

Anda mungkin juga menyukai