Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU ANESTESI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2020


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MANAJEMEN NYERI AKUT

Oleh:

SUCI RAMADHANI, S.Ked


(10542061115)

Pembimbing:
dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan referat ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda
Besar Nabi Muhammad SAW.

Laporan kasus ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Anestesi. Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih
yang mendalam kepada dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp.An selaku pembimbing
yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam
membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas
ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna adanya
dan memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak, baik moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik. Akhir
kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada
semua orang.

Makassar, November 2020

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Suci Ramadhani, S.Ked

NIM : 10542 0611 15

Judul Lapsus : Manajemen Nyeri Akut

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Makassar.

Makassar, November 2020

Pembimbing Mahasiswa

dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp.An. Suci Rmadhani, S.Ked

3
BAB I

PENDAHULUAN

The International Association for Pain mendefinisikan nyeri sebagai


pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang terkait
dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri akut memiliki tujuan
protektif, memperingatkan tubuh tentang bahaya yang akan datang dengan
mengaktifkan respon ”fight or flight” dari sistem saraf simpatik, dimana sering
menghasilkan pucat, diaforesis, peningkatan denyut nadi, pupil melebar,
ketegangan otot rangka, dan cepat atau pernapasan dangkal. Pasien dengan nyeri
akut mungkin juga menunjukkan tanda-tanda perilaku seperti menangis,
mengerang, atau menjaga area tubuh yang sakit. 1

Nyeri akut cenderung lebih mudah untuk dinilai dan diobati dari nyeri
kronis. Pasien sering sekali bisa menentukan lokasi nyeri akut, gambaran kualitas
dan karakternya (tajam, tumpul, menusuk, atau kram) dan menunjukkan pola
temporal (kapan asalnya dan bagaimana itu terjadi berubah seiring waktu).1

Nyeri akut tidak selalu hilang dengan sendirinya atau bahkan dengan
pengobatan. Nyeri akut diperkirakan akan berkurang dalam beberapa hari atau
minggu, bisa bertahan hingga tiga bulan atau lebih, dimana pada titik ini sudah
bisa dikatakan nyeri kronik. Nyeri akut berlangsung selama berminggu-minggu
1
atau berbulan-bulan mungkin menandakan cedera, kondisi, atau penyakit serius.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau
yang digambarkan dalam kerusakan tersebut. Nyeri akut merupakan proses
kompleks yang melibatkan aktivasi nosiseptor, mediator kimia, dan
peradangan. Pengobatan dapat dilakukan dengan menargetkan masing-masing
elemen jalur nyeri dan menghilangkan atau mengurangi sensai nyeri.2,3

B. Klasifikasi Nyeri
Sensasi nyeri melibatkan komunikasi antar saraf, tulang belakang, dan
otak. Terdapat beberapa jenis nyeri tergantung dari penyebab yang mendasari:4
a. Nyeri akut
Nyeri ini seringkali disebabkan oleh trauma seperti, fraktur tulang,
atau tindakan operasi, proses persalinan, luka iris, dan luka bakar. Nyeri
akut cenderung terasa tajam atau intens dan kemudian membaik secara
perlahan.
b. Nyeri kronik
Nyeri ini berlangsung hingga enam bulan atau lebih bahkan setelah
trauma yang aslinya telah sembuh. Nyeri kronik bisa bertahan hingga
tahunan dari tingkat yang ringan hingga berat. Beberapa contoh yang
umum mengenai nyeri kronik yaitu, nyeri kepala yang sering, nyeri pada
kerusakan saraf, atau nyeri fibromyalgia.
c. Nyeri nosiseptif

5
Nyeri nosiseptif merupakan tipe nyeri yang paling umum. Hak ini
disebabkan oleh stimulasi pada nosiseptor dimana merupaka reseptor
untuk cedera jaringan. Nosiseptor berada di tubuh terutama di kulit dan
organ dalam. Ketika nosiseptor distimulasi oleh bahaya yang potensial
seperti, sayatan atau yang lainnya, maka mereka akan mengirimkan signal
ke otak dan menyebabkan terasa nyeri.
d. Nyeri viseral
Nyeri viseral merupakan hasil dari cedera atau kerusakan pada organ
dalam. Nyeri ini bisa dirasakan pada batang tubuh dimana termasuk
thoraks, abdomen, atau panggul. Hal ini juga karang sulit menentukan
menunjukkan lokasi yang tepat dimana nyeri terjadi. Nyeri viseral ini
kadang dideskripsikan seperti, tekanan, nyeri, dan kadang dirasakan mual
tau muntah, juga perubahan suhu, denyut jantung, dan tekanan darah.
Contoh yang menyebabkan nyeri viseral yaitu, batu empedu, appendisitis,
irritable bowel syndrome.
e. Nyeri somatik
Nyeri somatik merupakan hasil dari stimulasi di reseptor nyeri pada
jaringan dibandingkan dengan organ dalam. Hal ini termasuk, kulit, otot,
sendi, jaringan ikat, dan tulang. Ini sering cukup mudah menunjukkan
letak nyerinya dibandingkan nyeri viseral. Nyeri ini biasa dirasakan seperti
menggerogoti. Contoh penyebab nyeri somatik yaitu, fraktur tulang,
ketegangan otot, penyakit jaringan ikat, kanker yang mengganggu kulit
atau tulang, luka iris atau bakar, nyeri sendi.
f. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan hasil dari kerusakan atau disfungsi dari
sinyal saraf . Nyeri ini sepertinya datang entah dari mana dibandingkan
akibat cedera spesifik. Mungkin juga bisa merespon nyeri yang biasanya
tidak nyeri seperti dingin atau pakaian di kulit. Nyeri neuropati
dideskripsikan seperti, rasa terbakar, rasa dingin, mati rasa, rasa
kesemutan, rasa tertusuk, atau seperti sengatan listrik. Contoh yang
menyebabkan nyeri ini yaitu, paling umum diabetes, infeksi, kelainan

6
nervus facial, inflamasi saraf spinal, carpla tunnel syndrome, dan
sebagainya.

C. Patofisiologi
Rangsangan nyeri diterima oleh nosiseptor pada kulit bisa dengan
intensitas tinggi maupun rendah seperti perenggangan dan suhu serta lesi jaringan.
Sel yang mengalami nekrotik akan melepaskan K+ dan protein intraseluler.
Peningkatan kadar K+ ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi nosiseptor,
sedangkan protein dalam beberapa keadaan akan menginfiltrasi mikroorgansime
sehingga menyebabkan peradangan/inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri
dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang akan
merangsang nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya bisa
menyebabkan nyeri (hiperalgesia dan allodynia).2

Selain itu, lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga


bradikinin dan serotonin akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi
oklusi pembuluh darah maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan
akumulasi K+ ekstraseluler dan H+ yang selanjutnya akan mengaktifkan nosiseptor.
Histamin, bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal,
tekanan jaringan meningkat dan juga terjadi perangsangan nosiseptor.2

Bila nosiseptor terangsang maka mereka akan melepaskan substansi


peptida P dan kalsitonin gen terkait peptida (CGRP) yang merangsang proses
inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah. Vasokonstriksi oleh serotonin diikuti oleh vasodilatasi, mungkin
juga bertanggung jawab untuk serangan migrain.2

Trauma dan inflamasi yang terjadi dari luka iris selama aktivitas
pembedahan dapat mengaktifkan nosiseptor. Stimulus nosiseptof ditransduksi

7
menjadi impuls listrik dan dibawah ke sum-sum tulang belakang melalu aferen
primer Aδ dan serabut C. Neuron aferen primer bersinaps dengan neuron aferen
sekunder di tanduk dorsal sum-sum tulang belakang dan membawa impuls ke
pusat lebih tinggi melalui jalur spinothalamic kontralateral dan spinoreticular, dua
jalur ini merupakan jalur asenden utama. Terdapat proyeksi lebih lanjut di serebral
dan pusat lain yang lebih tinggi. Proses sentral impuls mengarah pada pengalaman
nyeri.5

Nyeri inflamasi terjadi karena kepekaan mediator inflamasi termasik


sitokin, bradikinin, dan prostaglandin yang dilepaskan dari luka dan sel inflamasi
di lokasi kerusakan jaringan. Nosiseptor menunjukkan respon plastisitas
reversible terhadap mediator inflamasi. Aktivasi ambang pada nosisesptor
diturunkan yang hasilnya meningkataka sensitivitas nyeri.5

Gambar 2.1 Mekanisme Nyeri

D. Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri

Nyeri disebabkan oleh rangsangan yang tidak menyenangkan


(berbahaya), dan merupakan pemicu yang bisa mengancam homoeostasis. Respon

8
adaptif tubuh pada rasa nyeri melibatkan perubahan fisiologis, yang pada awalnya
berguna dan berpotensi menyelamatkan nyawa. Jika respons adaptif terus
berlanjut, efek berbahaya dan mengancam nyawa dapat terjadi.6

Tubuh merespon rasa sakit melalui fisiologis yang banyak dan saling
berhubungan proses melalui sistem saraf simpatis (SNS), sistem neuro-endokrin
dan sistem kekebalan tubuh, tetapi juga melalui emosi. Efek dari perubahan ini
pada tubuh sistem dirangkum dalam tabel di bawah:6

Tabel 2.1 Efek Nyeri Akut


Body System Change
 Meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah

 Meningkatkan kebutuhan oksigen


Cardiovaskular

 Retensi cairan, potensi kelebihan cairan

 Meningkatkan laju pernapasan

 Pernapasan dangkal
Respirasi

 Meningkatkan risiko infeksi

 Meningkatkan kerentanan terhadap infeksi

 Meningkatkan/menurunkan sensitivitas terhadap


Imun nyeri

 Aktivasi HPA aksis

 Meningkatkan glukosa darah

 Meningkatkan produksi kortisol


Endorkrin

9
 Menurunkan pengosongan lambung dan motilitas
usus

Gastrointestinal  Mual dan muntah

 konstipasi

 ingin buang air kecil atau inkontinensia


Urinary

 ketegangan otot lokal/ injury

 tremor atau menggingil


muskuloskeletal

 pilo-erection (merinding)

 perubahan pada proses nyeri

Saraf
 berisio menjadi nyeri kronik

 cemas/takut

 depresi

Otak
 konsentrasi berkurang

 inhibisi promosi nyeri

SNS terlibat dalam respons langsung tubuh terhadap keadaan darurat,


termasuk nyeri parah dan akut; reaksinya terhadap rasa sakit atau ketakutan
dikenal sebagai 'fught or flight’ tanggapan. Saat diaktifkan, SNS menstimulasi sel
batang otak yang mengontrol mekanisme nyeri menurun untuk melepaskan
noradrenalin, serotonin dan endogen opioid ke cornu dorsalis.6

10
SNS berkaitan dengan regulasi tonus pembuluh darah, aliran darah dan
tekanan darah, karena saraf simpatis memiliki efek stimulasi pada jantung
(membaik sirkulasi) dan sistem pernapasan (meningkatkan asupan oksigen).
Karena itu sakit meningkatkan detak jantung, tekanan darah dan laju pernapasan.
Jika fisiologis ini tanggapan berkepanjangan, terutama pada orang dengan
cadangan fisiologis yang buruk, itu dapat menyebabkan kerusakan iskemik.6

SNS juga memiliki efek menghambat pada pencernaan, mengurangi atau


mencegah sekresi enzim pencernaan di saluran pencernaan dan aksi peristaltik di
dinding usus. Oleh karena itu, rasa sakit dapat menyebabkan berkurangnya
kemampuan mencerna makanan yang dapat masuk ternyata menyebabkan mual,
muntah atau sembelit.6

Sistem endokrin dan saraf dihubungkan melalui kelenjar pituitari di dasar


hipotalamus. Beberapa respons tubuh terhadap rasa sakit dimediasi oleh sistem
saraf dan endokrin, terutama melalui aksis hipotalamus-ptuitary- adrenal (HPA)
dan jalur simpatomeduler, dan melibatkan pelepasan mediator seperti kortisol,
adrenalin dan noradrenalin, faktor pertumbuhan dan sitokin.6

ACTH dibawa dalam darah ke korteks adrenal, di mana ia merangsang


produksi kortisol; ini memobilisasi glukosa untuk meningkatkan energi yang
tersedia untuk Respon 'lawan atau lari', dan bertindak sebagai anti-inflamasi
dengan menghambat prostaglandin. Tingkat kortisol dalam darah menyediakan
mekanisme umpan balik ke hipotalamus, sehingga mencegah pelepasan berlebih.
Ketika berfungsi dengan baik, mekanisme ini mengurangi rasa sakit dan
menghentikan peradangan respon menjadi tidak terkendali. Namun, rasa sakit dan
stres jangka panjang dapat mengurangi kemampuan tubuh untuk meredam
peradangan. Dalam stres dan / atau nyeri jangka panjang, produksi kortisol yang
konstan menyebabkan resistensi pada reseptor glukokortikoid. Akibatnya, umpan
balik ke hipotalamus terganggu dan kortisol kehilangannya kemampuan untuk
mengendalikan peradangan. Beberapa orang dengan nyeri jangka panjang

11
memiliki tingkat yang lebih tinggi pada mediator inflamasi dalam darah mereka,
dan ini dapat berkontribusi depresi, kecemasan dan masalah tidur.6

Sekresi Growth Hormone (GH), yang berkontribusi pada peningkatan


kadar glukosa darah dan resistensi insulin. Kekurangan GH menyebabkan
kelemahan otot dan kelelahan, yang juga merupakan gejala sindrom nyeri yang
disebut fibromyalgia. Orang dengan fibromyalgia ditemukan memiliki tingkat GH
dan GH yang lebih rendah pengobatan telah meningkatkan rasa sakit dan kualitas
hidup.6

E. Pengukuran Intensitas Nyeri


Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengukur intensitas nyeri,
yaitu:7,8

a. Verbal Rating Scale (VRS)

Metode ini mejelaskan berbagai tingkat nyeri. Respondennya diminta


untuk menandai kata sifat yang paling sesuai dengan rasa sakit intensitas.
Seperti di VAS, dua titik akhir seperti 'tidak nyeri sama sekali 'dan' nyeri yang
sangat hebat 'harus didefinisikan. Di antara kedua ekstrem ini, kata sifat
berbeda menggambarkan tingkat intensitas nyeri yang berbeda ditempatkan
dalam urutan tingkat keparahan nyeri. Sebagian besar, empat hingga enam poin
VRS digunakan dalam uji klinis. Bentuk VRS yang berbeda adalah skala
penilaian perilaku di mana tingkat nyeri yang berbeda dijelaskan dengan
kalimat termasuk perilaku parameter.

12
Gambar 2.1 Verbal Rating Scale

b. Numerical Rating Scale (NRS)

Dalam Numerical Rating Scale (NRS), pasien diminta untuk melingkari


angka antara 0 dan 10, 0 dan 20 atau 0 dan 100 yang paling sesuai dengan
intensitas nyeri mereka . Nol biasanya mewakili 'tidak ada rasa sakit sama
sekali' sedangkan batas atas mewakili 'rasa sakit terburuk yang pernah ada’.

Gambar 2.2 Numerical Rating Scale


c. Visual Analog Scale (VAS)
Visual Analig Scale (VAS) adalah skala respons psikometri yang
digunakan untuk mengukur karakteristik subjektif atau sikap dan telah
digunakan di masa lalu untuk banyak gangguan. Metode ini menggunakan
garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri
yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan
intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah
sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan
dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya
adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin
sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

13
Gambar 2.3 Visual Analog Scale

F. Diagnostik Nyeri
Penanganan nyeri adalah upaya mengatasi nyeri yang dilakukan pada
pasien bayi, anak, dewasa, dan pasien tersedasi dengan pemberian obat ataupun
tanpa pemberian obat sesuai tingkat nyeri yang dirasakan pasien. Pendekatan
untuk memperoleh riwayat detail dari seorang pasien nyeri sebaiknya
menggunakan kombinasi pertanyaan terbuka dan tertutup untuk memperoleh
informasi yang diperlukan untuk mengetahui masalah pasien. Selain itu,
perhatikan juga faktor-faktor seperti menentukan tempat ketika melakukan
wawancara, menunjukkan sikap yang suportif dan tidak menghakimi,
memperhatikan tanda-tanda verbal dan nonverbal, dan meluangkan waktu yang
cukup untuk melakukan wawancara. Penggunaan mnemonik PQRST juga akan
membantu untuk mengumpulkan informasi vital yang berkaitan dengan proses
nyeri pasien.9
P: Paliatif atau penyebab nyeri
Q: Kualitas nyeri
R: Regio atau lokasi nyeri
S: Subjektif deskripsi oleh pasien mengenai tingkat nyeri
T: Temporal/ periode/ waktu yang berkaian nyeri

Anamnesis nyeri juga perlu menanyakan riwayat penyakit dahulu tentang


nyeri, yang meliputi9

a. Masalah medis yang berhubungan

b. masalah yang mempengaruhi penggunaan terapi nyeri

c. riwayat ketergantungan obat

Pemeriksaan fisik nyeri bersifat evaluasi neuromuskuloskeletal


komprehensif yang dimulai dengan observasi umum dan pemeriksaan status
mental. Ini diikuti dengan inspeksi, palpasi, Range of Motion (ROM), dan

14
pengujian kekuatan, sensasi, dan refleks. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
untuk mengetahui penyebab nyeri. Pemeriksaan yang dapat dilakukan seperti
laboratorium dan imaging (foto polos, CT-scan, atau MRI).10

G. Penatalaksanaan Nyeri Akut


a. Terapi Multimodal dan farmakoterapi nyeri

The WHO Analgesic Ladder adalah strategi yang disusulka oleh


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1986 untuk meredakan
nyeri yang adekuat. Jalur analgesik ini, dikembangkan mengikuti
rekomendasi dari sekelompok ahli internasional, telah mengalami
beberapa modifikasi selama bertahun-tahun dan saat ini diterapkan untuk
menangani nyeri kanker, tetapi juga kondisi nyeri non-kanker akut dan
kronis karena spektrum penyakit yang lebih luas seperti gangguan
degeneratif, penyakit muskuloskeletal, gangguan nyeri neuropatik, dan
jenis lainnya sakit kronis. Ladder asli sebagian besar terdiri dari tiga
langkah:11

a) Langkah pertama. Nyeri ringan: analgesik non-opioid seperti obat


antiinflamasi nonsteroid (NSAID) atau acetaminophen dengan atau
tanpa ajuvan.

b) Tahap kedua. Nyeri sedang: opioid lemah (hidrokodon, kodein,


tramadol) dengan atau tanpa analgesik non-opioid, dan dengan atau
tanpa ajuvan.

c) Langkah ketiga. Nyeri parah dan terus-menerus: opioid kuat (morfin,


metadon, fentanil, oxycodone, buprenorphine, tapentadol,
hydromorphone, oxymorphone) dengan atau tanpa analgesik non-
opioid, dan dengan atau tanpa ajuvan.

Analgesia multimodal melibatkan penggunaan utama secara


bersamaananalgesik non-opioid untuk memanfaatkan aditif, jika tidak

15
sinergis, efek yang menghasilkan analgesia superior sambil menurunkan
penggunaan opioid dan efek samping terkait opioid. Gugus tugas
American Society of Anesthesiology (ASA) tentang manajemen nyeri akut
pada tahun 2012 merekomendasikan bahwa manajemen nyeri multimodal
harus dimasukkan untuk manajemen nyeri perioperatif jika
memungkinkan. Anggota gugus tugas ASA merekomendasikan bahwa
asetaminofen harus dianggap sebagai bagian integral dari rejimen
manajemen nyeri multimodal pasca operasi dan siklooksigenase (COX) -2-
NSAID selektif, NSAID non-selektif, dan kalsium antagonis saluran α-2-δ
(gabapentin dan pregabalin) harus dianggap sebagai bagian dari rejimen
manajemen nyeri multimodal pasca operasi.12

Selain itu, pedoman menyarankan bahwa pasien harus menerima


rejimen NSAID atau acetaminophen sepanjang waktu. Kapanpun
karakteristik pasien memungkinkan, blokade regional dengan anestesi
lokal harus dipertimbangkan sebagai bagian dari pendekatan multimodal
untuk manajemen nyeri10. Obat potensial lainnya yang digunakan
termasuk steroid, α-2-agonis seperti clonidine dan dexmedetomidine,
antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), dengan ketamin
sebagai contoh utama, tetapi juga dekstrometorfan, dan magnesium
diberikan secara lokal, intravena (IV), dan / atau sebagai bagian dari
campuran anestesi lokal.12

a) Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID)


NSAID telah diketahui menurunkan konsumsi opioid sebesar 25-
30%, memberikan analgesia superior bila dikombinasikan dengan
opioid, dan telah diusulkan sebagai obat lini pertama untuk nyeri
ringan hingga sedang, tetapi NSAID dikaitkan dengan efek samping,
yaitu perdarahan kolon / divertikular, secara konsisten11. Efektivitas
dan toksisitas NSAID dihasilkan dari penghambatan COX, yang ada
dalam dua bentuk: COX-1 dan COX-2. COX-2-selektif inhibitor
(coxibs) menampilkan toksisitas gastrointestinal lebih rendah secara

16
signifikan dibandingkan dengan NSAID tradisional. Namun, coxib
dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular.12

Obat ini menghambat enzim siklooksigenas (COX), maka dari itu


mencegah sintesis prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan A2 dari
asam arakidonat. Mereka memiliki aktivitas ant-inflamasi, analgesik,
dan antipiretik. Terdapat dua isoenzim siklooksigenasi utama yaitu,
COX-1 dan COX 2.13

b) Acetaminophen
Acetaminophen adalah analgesik antipiretik non-opioid yang
mekanisme aksi masih belum sepenuhnya dipahami. Itu sangat tinggi
selektif dan memiliki efek aditif dan belum tentu efek sinergis bila
digabungkan dengan NSAID. Pedoman ini merekomendasikan untuk
tidak melebihi 3 g / hari pada orang dewasa berukuran rata-rata untuk
menghindari hati toksisitas. Acetaminophen berbeda dari NSAID lain,
karena kekurangannya aktivitas anti-inflamasi yang signifikan.
Formulasi acetaminophen adalah yang IV. Telah dilakukan uji coba
terkontrol secara acak di mana asetaminofen IV pertama kali diuji
pada pasien ortopedi. Mereka melaporkannya efektif untuk nyeri
sedang hingga berat. Penggunaan asetaminofen IV telah dievaluasi
dalam penelitian dan berbagai pembedahan menunjukkan bahwa
analgesia multimodal dengan obat ini sebagai komponen dapat
ditoleransi dengan baik dan menurunkan konsumsi opioid. Cara ini
sangat berguna secara perioperatif jika obat oral digunakan tidak
direkomendasikan.12

c) Tramadol

Tramadol adalah agonis opioid lemah dan memiliki dua


mekanisme tindakan: mengikat reseptor μ-opioid dan menghambat
pengambilan ulang serotonin dan norepinefrin. Secara teoritis, efek
lemah opioidnya yang membuatnya diinginkan (berkurangnya depresi

17
pernapasan, pruritus). Bagaimanapun, tramadol adalah substrat untuk
sitokrom P450 Enzim hati CYP2D6, jadi setiap agen dengan
kemampuan menghambat atau menginduksi enzim ini mungkin akan
berinteraksi dengan tramadol. Itu harus digunakan dengan hati-hati
pada pasien dengan SSRI karena takut mempercepat pelepasan
serotonin (sindrom serotonin). Saat ini, terdapat kekurangan bukti
tentang manfaat tramadol. Namun, tidak ada bukti yang mendukung
konsep bahwa tramadol lebih sedikit adiktif dari opioid lainnya.12

d) N-Methyl D-Aspartate (NMDA) receptor antagonist


Reseptor NMDA memainkan peran penting karena perannya
dalam sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral melalui jalur desenden
melibatkan sinyal nosiseptif yang diperkuat di sistem saraf perifer,
menyebabkan hipereksitabilitas di sumsum tulang belakang yang
dianggap terlibat dalam menginduksi nyeri kronis dan / atau
neuropatik. Oleh karena itu, peredam sensitisasi sentral telah
memainkan peran penting dalam pencegahan dan pengobatan nyeri
pasca operasi dan nyeri kronis.12
Ketamin, magnesium, metadon, dan deksametason semuanya
memiliki kemampuan memblokir NMDA, tetapi ketamin telah muncul
sebagai pelopor dalam periode perioperatif. Tinjauan uji coba yang
tersedia menyimpulkan bahwa ketamin saja atau ditambahkan ke
morfin / hidromorfon menunjukkan perbaikan ringan pada analgesia
pasca operasi sekaligus mengurangi kebutuhan opioid bersama dengan
mengurangi mual dan muntah pasca operasi.12
e) Gabapentin, Gabanoid, Pregabalin
Gabanoid, gabapentin, dan pregabalin adalah antikonvulsan
tetapi juga disebut neuromodulator, karena mereka mengurangi
rangsangan saraf dengan menghambat subunit α-2-δ dari saluran
berpagar kalsium pada akson presinaptik.12

b. Patient Controlled Analgesia (PCA)

18
PCA adalah suatu sryinge pump yang dikendalikan oleh
microprocessor dan dapat diatur, digunakan untuk memasukkan dosis obat
IV yang telah ditentukan sebelumnya. Pengaktifan dilakukn oleh pasien
dengan cara menekan tombol yang telah didesai sedemikian rupa sehingga
tidak memungkinan penekanan secara tidak sengaja. PCA yang efektif
memerlukan: pasien harus diberi penjelasan singkat oleh ahli anesten\si
dab/atau staf perawat sebelum operasi dilakukan dan bila mungkin,
ditunjukkan alat yang akan dipakai. Pada periode pasca operasi, opioid
diberikan secara umum PCA. Meski awalnya mengira untuk mengurangi
keseluruhan opioid yang diberikan segera periode pasca operasi, pasien
telah ditemukan membutuhkan jumlah yang sama baik yang diberikan oleh
perawat atau dengan PCA. Keuntungan utama secara keseluruhan
kepuasan pasien, penurunan skor sedasi dan dampak yang lebih kecil pada
staf perawat. Penggunaan yang sukses dari PCA membutuhkan ketekunan
dalam pemantauan pasien dan penilaian nyeri dan kemauan staf rumah
untuk menyesuaikan pengaturan dengan kebutuhan setiap pasien melalui
kursus pasca operasi.3,13

Gambar 2.4 Regimen PCA Tipikal

c. Balanced Analgesia
Konsep balancaed anesthesia diperkenalkan oleh John S. Lundy
pada tahun 1926. Dia menyarankan bahwa aplikasi yang seimbang dari

19
agen dan teknik yang berbeda dapat menghasilkan komponen anestesi
yang berbeda seperti amnesia, analgesia, kelumpuhan motorik, dan
penghapusan refleks otonom. Induksi anestesi dengan agen tunggal bisa
menyebabkan beberapa komplikasi. Di sisi lain, menggunakan kombinasi
lebih dari satu obat dan teknik anestesi dapat meningkatkan keselamatan
pasien, mengurangi efek samping anestesi, dan meningkatkan kepuasan
pasien. Penggunaan kombinasi analgesik atau teknik analgesik dengan
mode atau tempat berbeda tindakan. Pendekatan semacam itu (misalnya,
menggabungkan non-opioid dengan opioid atau teknik analgesia regional
dengan analgesik sistemik) meningkatkan pengendalian nyeri
dibandingkan dengan terutama analgesia berbasis opioid, dan mengurangi
konsumsi opioid dan dengan demikian mengurangi dampak buruk.14,15

d. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)

Ada beberapa bukti yang mendukung non-farmakologis teknik untuk


memberikan analgesia pasca operasi. Transcutaenus Electrical Nerve
Stimulation (TENS) dibandingkan dengan sham TENS mengurangi nyeri
akut (prosedural dan non prosedural), termasuk nyeri setelah operasi
toraks. Akupunktur (khususnya, akupunktur aurikular) mengurangi rasa
sakit pasca operasi dan kebutuhan opioid, serta efek samping terkait opioid
dibandingkan dengan berbagai macam kontrol. Efek menguntungkan dari
akupunktur pada nyeri pasca operasi telah dikonfirmasi khususnya setelah
operasi punggung dan operasi lutut rawat jalan dan penggantian sendi lutut
total.15
e. Analgesia preemptif
Preemptive analgesia adalah metode terapi nyeri pascaoperatif yang
cukup efektif, dimulai sebelum insisi operasi serta berfungsi selama
periode pembedahan hingga pascaoperatif.5,6 Untuk menentukan terapi
dan juga pemantauan efektivitas analgetika, dibutuhkan instrume untuk
menilai intensitas nyeri pascaoperatif.Salah satu instrumen yang dapat
dipergunakan untuk menilai derajat nyeri adalah numerical rating scale

20
(NRS), dengan skala 0-10 yang menggambarkan intensitas nyeri dengan
skala ‘tidak ada nyeri’ hingga “nyeri terburuk yang dapat dibayangkan”.16
Preemptive analgesia mencegah sensitisasi sentral yang disebabkan
oleh insisi serta jejas inflamasi, diberikan sebelum insisi operasi dan
berfungsi selama periode pembedahan hingga pascaoperatif. Konsep
preemptive analgesia adalah modulasi nosiseptif perifer dan sentral pada
pasien yang sedang menjalani operasi. Preemptive analgesia mengurangi
kebutuhan analgetik pascaoperatif.16

BAB III
KESIMPULAN

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang
digambarkan dalam kerusakan tersebut. Nyeri akut merupakan proses kompleks
yang melibatkan aktivasi nosiseptor, mediator kimia, dan peradangan. Pengobatan
dapat dilakukan dengan menargetkan masing-masing elemen jalur nyeri dan
menghilangkan atau mengurangi sensai nyeri.
Terdapat beberapa klasifikasi nyeri tergantung penyebebab yang
mendasari nyeri tersebut yaitu, nyeri akut, nyeri kronik, nyeri nosiseptif, nyeri
viseral, nyeri somatik, dan nyeri neuropatik. Tubuh juga dapat mengeluarkan
respon terhadap nyeri di berbagai bagian sistem organ. Instensitas nyeri sendiri
dapat dinila dari beberapa metode seperti, Verbal Rating Scale, Numeric Rating
Scale, dan Visual Analage Scale.

21
Manajemen pada nyeri aku sendiri bisa berbagai macam, mulai dari
multimodal analgesia disertai farmakoterapi lainnya dan juga bisa menggunakan
teknik Patient Controlled Analgesia (PCA), balanced analgesia, TENS, dan
preemptive analgesia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jungquist CR, Vallereand AP, Sicoutris C, Kwon KN, Polomano RC.

Multompdal Analgesia for Acute Pain: A Call to Action. Idea Nursing

Journal, Vol.117 No.3. 2017.

2. Bachruddin M. Patofisiologi Nyeri (Pain). Malang. Universitas

Muhammadiya Malang. Vol. 13 No.1. 2017

3. Johnson Q, Borhesi RR, Reeves JL. A Review of Management of Acute

Pain. Missouri Medicine. Vol.110 No.1. 2013.

4. Longhurst AS. Types of Pain: How to Recognize and Talk About Them.

(https://www.healthline.com/health/types-of-pain diakses 14 november

2020 14:20)

5. Reddie D, Curran N. Chronic Pain After Surgery: Pathophysiology, Risk

Factor and Prevention. London. University College London Hospital.

2017.

22
6. Swift A. Understanding the effect of pain and how the human body

responds. England.2018. Vol. 114, No. 3 (diakses 15 november 2020

23:45)

7. Haefeli M, Elfering A. Pain Assesment. Zurich. Unoversity of Zurich.

2005.

8. Klimek L, dkk. Visual analogue scales (VAS): Measuring instruments for

the documentation of symptoms and therapy monitoring in cases of

allergic rhinitis in everyday health care. Allergo J International. 2017.

9. Yudiyanta, Khoirunnisa N, Novitasari RW. Assessment Nyeri. J

Neurologi Gadjah Mada. 2015:42(3). 214-234

10. Scholyten P, Chekka K, Benzon HT. Physical Examination of The Patient

with Pain. Essential of Pain Medicine. 2018.

11. Anekar AA, Cascella M. WHO Analgesic Ladder. Itali. National Institute

of Health. 2020.

12. Wardhan R, Cehlly J. Recent advances in acute pain management:

understanding the mechanisms of acute pain, the prescription of opioids,

and the role of multimodal pain therapy. USA. University of Florida.

2017.

13. Gwinnutt CL. Anestesi Klinis. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

2012.

14. Shim JH. Multimodal Analhesia or Balanced Anlagesia: The Better

Choice?. Seoul. Korean Journal of Anesthesiology. 2020.

15. Schug SA, dkk. Acute pain management: scientific evidence, fourth

edition. 2015.

23
16. Yuswono ARA, Maskoen TT, Fuadi I. Perbandingan Pemberian

Parecoxib Na 40 mg Intravena Preoperatif dengan Pascaoperatif dalam

Penatalaksanaan Nyeri Pascaoperatif pada Operasi Laparotomi

Ginekologis. Bogor. Jurnal Anestesi Perioperatif. 2014.

24

Anda mungkin juga menyukai