Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2020


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

GAGAL NAPAS

Oleh:

SUCI RAMADHANI, S.Ked


(10542061115)

Pembimbing:
dr. A. Alamsyah Irwan, M.Kes, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda
Besar Nabi Muhammad SAW.

Laporan kasus ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Anestesi. Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih
yang mendalam kepada dr. A. Alamsyah Irwan, M.Kes, Sp.An selaku
pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam
membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas
ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini belum sempurna
adanya dan memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, baik moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat
kepada semua orang.

Makassar, November 2020

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Suci Ramadhani, S.Ked

NIM : 10542 0611 15

Judul Lapsus : Gagal Napas

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Makassar.

Makassar, November 2020

Pembimbing Mahasiswa

dr. A. Alamsyah Irwan, M.Kes, Sp. Suci Ramadhani, S.Ked

3
BAB I

LAPORAN KASUS

SKENARIO

Seorang laki-laki berusia 40 tahun dibawa ke UGD RS dalam keadaan sesak


sejak 30 menit yang lalu. Tanda vital didapatkan TD: 130/90 mmHg, nadi
116x/menit, RR 34x/menit, suhu afebris. Pemeriksaan fisik didapatkan Wh +/+.

KATA KUNCI

 Laki-laki 40 tahun
 Sesak sejak 30 menit
 Tanda vital: TD:
 130/90 mmHg
 Nadi: 116x/menit
 RR: 34x/menit
 Suhu afebris
 Pemeriksaan fisik: Wheezing (+/+)

DAFTAR PERTANYAAN

1. Jelaskan anatomi dan fisiologi pernapasan!


2. Jelaskan pengertian gagal napas?
3. Jelaskan penyebab terjadinya gagal napas!
4. Sebutkan gejala pada gagal napas!

4
5. Jelaskan patomekanisme terjadinya sesak napas!
6. Jelaskan differential diagnosis dari skenario terkait!
7. Jelaskan penatalaksanaan pada scenario terkait!

PEMBAHASAN

1. Anatomi dan Fisiologi pernapasan

A. Anatomi Sistem Respirasi

Sistem respirasi terdiri dari struktur yang digunakan untuk


memperoleh oksigen (O2) dan menghilangkan karbon dioksida (CO2) dari
darah. Oksigen dibutuhkan oleh tubuh untuk mensintesis molekul energi
kimia yaitu ATP. Karbon dioksida adalah produk sampingan dati produksi
ATP dan harus dikeluarkan dari darah. Jika tidak, meningkatnya kadar
CO2 akan menurunkan pH darah. pH darah harus dipertahankan dalam
batas yang relatif untuk mempertahankan homeostasis.1

Ada tujuh struktur yang membentuk sistem respirasi:1

1) Hidung luar, membungkus ruang untuk udara inspirasi.

2) Rongga hidung merupakan tempat pembersihan, penghangat, dan


ruang pelembab untuk udara yang diinspirasi.

3) Faring yang juga biasa disebut tenggorokan yang berfungsi sebagai


jalan umum untuk makanan dan udara.

4) Laring yang sering disebut kotak suara. Struktunya kaku untuk


membantu jalan napas tetap terbuka.

5
5) Trakea, umumnya dikenal sebagai batang tenggorokan dimana struktur
ini berfungsi sebagai tabung pembersih udara untuk menyalurkan
udara yang telah diinspirasi ke masing-masing paru-paru.

6) Bronkus, berfungsi mengarahkan udara ke paru-paru.

7) Paru-paru. Setiap paru-paru merupakan labirin tabung udara dan


kompleks jaringan kantung udara yang disebut alveoli, dan kapiler.
Kantung udara dipisahkan oleh dinding jaringan ikat yang keduanya
mengandung serat kolagen dan elastis. Setiap kantung udara adalah
tempat gas pertukaran antara udara dan darah.

Trakea adalah suatu pipa yang dibentuk dari kartilago dan jaringan
ikat yang dimulai dari tepi caidal larynx, yaitu dari tepi caudal cartilago
cricoidea setinggi vertebra cervicalis VI sampai setinggi tepi cranial
vertebra thoracalis V dan di sini terbentuk bifurcatio menjadi bronchus
dextra dan bronchus sinistra.2

Lokalisasis trakea berada di linea mediana, kecuali di bagian


caudal dimanaarcus aortae mendesaknya ke kanan. Pada tempat bifurcatio
trachea, cincin cartilago membentuk carina. Di sepanjang perjalanannya
trachea berada di sebelah ventral oesophagus dan nervus recurrens sinistra
diapit oleh trachea dan oesophagus.2

Selanjutnya terdapat bronchus. Bronchus dextra mempunyai


bentuk yang lebih besar, lebih pendek, dan lebih vertikal daripada
bronchus sinistra. Letaknya lebih vertikal oleh karena desakan oleh arcus
aortae pada ujung caudal trachea ke arah kanan, sehingga menyebabkan
mudahnya benda-benda asing masuk ke dalam hilus pulmo dextra.
Selanjutnya bronchus tersebut tadi mempercabangkan bronchus tertiar
yang menuju ke segmen pulmo.2

Bronchus sinistra mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi


bentuknya lebih panjang daripada bronchus dextra. Berada di sebelah

6
caudal arcus aortae, menyilang di seblah ventra osophagus, ductus
thoracicus dan aorta thoracalis. Pada mulanya berada di sebelah superior
arteria pulmonalis, lalu di sebelah dorsalnya dan akhirnya berada di
sebelah inferiornya sebelum bronchus bercabang menuju ke lobus superior
dan lobus inferior, letak bronchus ini disebut hypartherialis.2

Gambar 1. Anatomi Bronkus

Pulmo adalah parenchym yang berada bersama-sama dengan


bronchus dan percabangan-percabangannya. Dibungkus oleh pleura,
mengikuti gerakan dinding thorax pada waktu inspirasi dan ekspirasi.
Bentuknya dipengaruhi oleh organ-organ yang berada di sekitarnya.
Berbentuk conus dengan bagian-bagiannya, sebagai berikut:2

1) Apex.
2) Basis

7
3) Facies costalis
4) Facies mediastinalis
5) Margo anterior
6) Margo inferior
7) Margo pulmonis

Pulmo dextra terdiri atas 3 buah lobus yaitu, lobus superior, lobus
medius, dan lobus inferior yang dibagi oleh dua buah incisurae
interlobares. Fissura horizontalis memisahkan lobus superior dar lobus
medius terletak horizontal, ujung dorsal bertemu dengan fissura oblique,
ujung ventral terletak setinggi pars cartilaginis costa IV, dan pada facies
mediastinalis fissura tersebut melampaui bagian dorsal hilus pulmonis.
Lobus medius adalah yang terkecil dari lobus lainnya, dan berada di
bagian ventrocaudal. Morfologi pulmo dextra lebih kecil dari pulmo
sinistra tetapi lebih berat dan total kapasitasnya lebih baesar.2

Pulmo sinistra terdiri dari dua buah lobus yaitu, lobus superior dan
lobus inferior yang dipisahkan oleh fissura oblique. Fissura tersebut
meluas dari facies costalis sampai pada facies mediastinalis baik di sebelah
cranial maupun caudal hilus pulmonis. Lobus superior lebih besar daripada
lobus inferior dan meliputi sebagian besar facies costalis.

8
Gambar 2. Anatamo Pulmo

B. Fisiologi Pernapasan

Otot-otot pernapasan yang melakukan gerakan bernapas tidak bekerja


langsung pada paru untuk mengubah volumenya. Otot-otot ini mengubah
volume rongga thoraks, menyebabkan perubahan serupa pada volume paru
karena dinding thorax dan dinding paru berhubungan melalui daya rekat
cairan intrapleura dan gradien tekanan transmural. Satu siklus pernapasan
terdiri dari satu kali menghirup (inspirasi) dan satu kali menghembuskan
udara (ekspirasi).3

Sebelum inspirasi dimulai, otot-oto pernapasan dalam keadaan lemas,


tidak ada udara yang mengalir, dan tekanan intra-alveolus setara dengan
tekanan atmosfer. Otot inspirasi utama yang berkontraksi untuk melakukan
inspirasi sewaktu bernapas tenang adalah diafragma dan otot interkostal
eksternal. Pada awitan inspirasi, otot-otot ini dirangsang untuk

9
berkontraksi sehingga rongga thoraks membesar. Diafragma suatu
lembaran otot rangka yang membentuk lantai rongga thoraks dan
dipersarafi oleh saraf frenikus. Diafragma dalam keadaan lemas akan
membentuk kubah yang menonjol ke atas. Ketika berkontraksi, diafragma
turun dan memperbesar volume rongga thoraks. Dinding abdomen jika
melemas, menonjol keluar ketika inspirasi karena diafragma turun
menekan isi abdomen ke bawah dan ke depan.3

Untuk otot interkostal eksternal sendiri, ketika bekontraksi akan


mengangkat iga dan selanjutnya sternum ke atas dan ke depan. Sebelum
inspirasi, pada akhir ekspirasi sebelumnya, tekanan intra-alveolus sama
dengan tekanan atmosfer sehingga tidak ada udara masuk dan keluar dari
paru-paru. Sewaktu paru membesar, tekanan intra-alveolus turn karena
molekul udara yang sama kini menempati volume paru yang lebih besar.
Pada gerakan inspirasi biasa, intra-alveoulus turun hingga 1 mmHg
menjadi 759 mmHg. Karena tekanan intra-alveoulus sekarang lebih rendah
dari tekanan atmosfer maka udara mengalir ke dalam paru mengikuti
penurunan gradien tekanan dari tekanan tinggi ke rendah. Udara terus
masuk ke paru sampai tidak ada lagi gradien yaitu sampai tekanan intra-
alveoulus setara dengan tekanan atmosfer.

Pada akhir inspirasi, otot inspirasi melemas. Diafragma mengambil


posisi aslinya seperti kubah ketika melemas. Ketika otot interkostal
eksterna melemas, iga yang sebelumnya terangkat turun karena gravitasi.
Tanpa adanya gaya yang menyebabkan ekspansi dinding dada maka
dinding dada dan paru yang sebelumnya teregang mengalami recoil ke
ukuran prainspirasinya karena sifat elastiknya. Sewaktu paru kembali
mengecil, tekanan intra-alveoulus meningkat sekitar di atas 1 mmHg di
atas tekanan atmosfer menjadi 761 mmHg. Udara kemudian meninggalkan
paru menuruni gradien tekanannya dari tekanan intra-alveoulus yang lebih
tinggi ke tekanan atmosfer yang lebih rendah. Aliran udara yang keluar

10
berhenti ketika tekanan intra-alveoulus sama dengan tekanan atmosfer dan
gradien tekanan tidak ada lagi.

2. Pengertian gagal napas


Gagal napas adalah kondisi klinis yang terjadi ketika sistem respirasi gagal
untuk mempertahankan fungsi utamanya yang itu pertukaran gas dimana PaO2
lebih rendah daripada 60 mmHg dan atau PaCO2 lebih tinggi dari 50 mmHg.4
Gagal napas diklasifikasikan menurut abnormalitas gas darah menjadi tipe
I dan tipe II:4,5
1) Type I
Tipe ini disebut gagal napas hipoksemia dimana PaO2 <60 mmHg
dengan normal atau subnormal PaCO2. Pada tipe ini, pertukaran gas
terganggu pada tahap membran alveo-kapiler. Contoh pada tipe I yaitu
gagal napas karena edema paru akibat dari karsinogenik atau non-
karsinogenik dan pneumonia berat.
2) Tipe II
Tipe ini disebut gagal napas hiperkapni dimana PaCO2 lebih dari >50
mmHg. Hipoksemia umum ditemukan pada pasien dengan gagal
napas hiperkapni. Etiologi yang sering pada tipe ini yaitu overdosis
obat, penyakit neuromuskular, abnormalitas dinding dada, dan
kelainan jalan napas yang parah.

3. Penyebab gagal napas


Penyebab gagal napas bisa disebabkan oleh paru itu sendiri atau di luar
paru yang meliputi:4,5
1) Sistem saraf pusat
Hal ini disebabkan karena depresi saraf pernapasan. . Hal ini
mungkin mengarah ke akut atau kronik hipoventilasi dan hiperkapni.
Contoh dari kaus ini seperti pada overdosis obat narkotika atau obat
sedatif, tumor atau abnormalitas pembuluh darah yang melibatkan
batang otak, dan kelainan metabolik seperti myxedema atau alkalosis
metabolik kronik.

11
2) Kelainan sistem saraf perifer
Hal ini meliputi otot pernapasan dan kelemahan dinding dada yang
mengarah pada ketidakmampuan untuk mempertahankan ventilasi
untuk laju produksi karbon dioksida. Hipoksemia dan hiperkapnia
terjadi bersamaan. Contoh seperti Gullian-Barre Sindrom, distrofi
otot, kiposkoliosis parah, obesitas morbid, dan myastenia gravis.
3) Obstruksi
Disini yang dimaksud yaitu obstruksi jalan napas atas dan bawah
dimana pada umumnya hal ini sebagai penyebab terjadinya hiperkapni
akut dan kronik. Contoh obstruksi jalan napas atas yaitu, epiglotitis
akut atau tumor yang melibatkan trakea. Sedangkan obstruksi jalan
napas bawah yaitu, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan
asthma.
4) Abnormalotas alveoli
Pada etiologi paling sering dengan terisinya alveoli secara difus
dan bisa menghasilkan gagal napas hipoksemia. Contoh paling sering
adalah edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik, pneumonia
aspirasi, atau perdarahan paru ekstensif.

Tabel 1.1 (penyebab gagal napas paling sering sesuai tipe I dan II)5
TIPE I TIPE II
 PPOK  PPOK
 Pneumonia  Asthma berat
 Edema paru  Overdosis obat
 Fibrosis paru  Keracunan
 Asthma  Myastenia gravis
 Pneumothoraks  Polineuropati
 Emboli paru  Kelainan otot primer
 Hipertensi arteri paru  Hiperventilasi alveolar
 Bronkiektasis  Edema paru

12
 Sindrom distres pernapasan
akut
 Kiposkoliosis
 Obesitas

4. Gejala dan gambaran klinis gagal napas

Dasar patofisiologi terjadinya gagal napas menentukan gambaran


klinisnya. Pasien gagal napas yang masih memiliki kemampuan bernapas
normal akan tampak sesak dan gelisah. Sebaliknya, pasien yang telah menurun
kemampuan pusat pernapasannya akan tampak tenang atau mengantuk.6

Gagal napas diawali dengan dengan stadium kompensasi. Pada keadaan ini
ditemukan peningakatan upaya napas yang ditandai dengan adanya distres
pernapasan (pemakaian otot pernapasan tambahan, retraksi, takipneu, dan
takikardi). Penigkatan upaya napas terjadi karena dalam usaha
mempertahankan aliran udara walaupun compliance paru menurun.
Sebaliknya, stadium dekompensasi muncul belakangan dengan ditandai
munculnya penurunan upaya napas.6

Tanda dan gejala gagal napas akut mencerminkan proses penyakit yang
mendasari dan terkait hipoksemia dan hiperkapnia. Ateriksis mungkin bisa
ditemukan pada hiperkapni yang parah. Sianosis juga dapat ditemukan dan hal
ini bisa diindikasikan kepada hipoksemia. Sianosis yang tampak biasanya
terjadi ketika konsentrasi hemoglobin deoksigenasi di kapiler atau jaringan
kurang dari 5 gr/dl.5

Dispneu yang merupakan sensai tidak nyaman dalam bernapas sering


terjadi pada gagal napas. Baik perasaan bingung dan somnolen bisa juga terjadi
pada keadaan gagal napas. Myoklonus dan kejang juga bisa terjadi pada
hipoksemia berat. Polisitemia merupakan komplikasi dengan hipoksemia
jangka panjang.5

Tabel 1.2 (Gejala hipoksemia dan hiperkapni)4

13
Hipoksemia Hiperkapnia
 Dispneu  Nyeri kepala
 Rasa tidak nyaman  Perubahan perilaku
 Kebingungan atau somnolen  Koma
 Takipneu  Asteriksis
 Sianosis  Papillodema
 Ekstremitas hangat

Sedangkan untuk tanda dan gejala sesuai dengan penyakit yang


mendasarinya seperti, demam, batuk, produksi sputum, nyeri dada pada kasus
pneumonia. Riwayat sepsis, politrauma, atau transfusi darah sebelumnya
dengan onset gagal napas akut bisa mengarah ke sindorm distres pernapasan
akut.4

5. Patomekanisme gejala pada Skenario

Gagal napas dapat timbul dari kelainan pada salah satu komponen sistem
pernapasan termasuk saluran udara, alveoli, sistem saraf pusat (SSP), sistem
saraf tepi, otot pernapasan, dan dinding dada. Pasien yang memiliki
hiperperfusi sekunder akibat syok kardiogenik, hipovolemik, atau septik sering
muncul dengan gagal napas.5

14
Gambar 3. Tipe Gagal Napas

1) Gagal napas hipoksemia


Gagal napas ini dapat dipertimbangkan untuk mewakili kegagalan
paru-paru intrinsik, seperti yang terjadi dengan penumonia, penyakit
paru intestitial, dan edema paru jantung akut. Dalam
mempertimbangkan penyebab gagal napas tipe I, sangat berguna
dalam meninjau lima mekanisme patofisioligi hipoksemia:7
a) Ventilasi-perfusi (V/Q) yang tidak sesuai
b) Gangguan difusi gas melalui alveolar-kapiler
c) Intercardiac shunt
d) Intrapulmonary shunt atau hipoventilasi alveolar
e) Berkurangnya konsentrasi oksigen inspirasi

15
Gambar 4. Gagal Napas Hipoksemia

2) Gagal Napas Hiperkapni


Gagal napas ini muncul sebagai hasil dari ketidakseimbangan tiga
komponen pompa otot pernapasan yaitu, beban otot pernapasan,
kapasitas pompa otot pernapasan dan penggerak pernapasan saraf.
Beban sistem pernapasan mungkin resistif karena obstruksi saluran
udara, atau karena penurunan compliance paru, seperti pada
pneumonia, sindromgangguan pernapasan akut, kiposkoliosis, dan
obesitas. Mungkin juga ada beban ambang pada sistem pernapasan
dalam bentuk instrinsic positive end-expiratory pressure (PEEPi).
PEEPi mewakili tekanan inspirasi yang dibutuhkan oleh otot
pernapasan sebelum dimulainya aliran isnpirasi dimana hal ini terjadi

16
pada PPOK yang menganggu pengosongan paru total selama ekspirasi
dan menyebabkan hiperinflasi paru.7
Kapasitas pompa otot pernapasan mungkin terganggu oleh
kelemahan otot pernapasan, dalam kondisi seperti distrofi otot dan
miopati lainnya. Lesi medula spinalis letak tinggi, neuropati motorik,
gangguan pada neuromuscular junction menyebabkan kegagalan
transmisi penggerak pusat ke pompa otot pernapasan. Penggerak
pernapasan sentral itu sendiri dapat berkurang karena gangguan
intrakranial dan obat-obatan (seperti opiat dan benzodiazepin).
Selanjutnya, terjadi peningkatan serum bikarbonat kompensasi
metabolik dalam kondisi seperti COPD dan penyakit neuromuskuler,
dapat mengurangi penggerak sentral.7

Sesak nafas (dyspnea) adalah suatu istilah yang menggambarkan suatu


persepsi subjektif mengenai ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari
berbagai sensasi yang berbeda intensitinya. Adapun mekanisme sesak nafas
(dyspnea) yaitu berawal dari aktivasi sistem sensorik yeng terlibat dalam
sistem respirasi lalu kemudian informasi sensorik sampai pada pusat
pernapasan di otak dan memproses respiratoryrelated signals dan menhasilkan
pengaruh kognitif, kontekstual, dan perilaku sehingga terjadi sensasi dyspnea.12

Wheezing adalah manifestasi gejala dari setiap proses penyakit yang


menyebabakan obstruksi jalan napas. Wheezing juga dapat dartikan sebagai
siulan yang bernada tinggi yang dihasilkan oleh pergerakan udara melalui
penyempitan atau kompresi saluran udara kecil. Hal ini dapat dijadikan sebagai
gejala ataupun hasil dari pemeriksaan fisik.8,9

Patomekanisme dari wheezing sendiri diakibatkan oleh aliran udara


melaui segmen jalan napas kecil yang menyempit atau terkompresi dan
menjadi turbulen, menyebabkan getaran dinding jalan napas dan getaran inilah
yang menghasilkan suara wheezing. Wheezing lebih sering terjadi selama
ekspirasi karena peningkatan tekanan intrathoraks selama fase ini
mempersempit saluran udara dan saluran udara menyempit saat volume paru-

17
paru menurun. Wheezing selama ekspirasi saja menunjukkan obstruksi yang
lebih ringan daripada wheezing selama inspirasi dan ekspirasi yang
menunjukkan penyempitan saluran napas yang lebih parah. 9

Wheezing biasanya dialami oleh orang yang menderita asma meskipun


juga dapat didengar pada orang dengan adanya benda asing, gagal jantung
kongestif, keganasan jalan napas, atau lesi apa pun yang menyebabkan
penyempitan saluran udara. Adanya wheezing selama ekspirasi menunjukkan
hal itu laju aliran ekspirasi puncak individu kurang dari lima puluh persen
dibandingkan dengan normal. Kualitas dan durasi wheezing juga bergantung
pada lokasi obstruksi di saluran napas.8

6. Diferensial Diagnosis
1) Asma Bronkial
Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik obstruksi saluran
napas yang reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, inflamasi saluran napas, dan peningkatan respon saluran
napas terhadap berbagai rangsangan (hiperaktivitas).10
Klasifikasi asma sendiri dulu dibedakan menjadi asma alergik
(ekstrinsik) dan asma non-alergik (intrinsik). Asma alergik terutama
munculya pada waktu anak-anak , mekanisme serangannya melalui
mekanisme hipersensitivitas tipe I terhadap alergen sedangkan asma
non-alergik tidak ada reaksi hipersensitivitas terhadap alergen.10
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk,
mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan, sering gejala tidak jelas
seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai
pilek atau bersin. Awal mulanya batuk yang dialami tanpa sekret,
tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan
sekret baik yang mukoid, putih dan kadang-kadang purulen.10
2) Pneumonia
Infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) menimbulkan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi serta kerugian produktivitas kerja

18
yang dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, tersering dalam bentuk
pneumonia. Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim
paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus
respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan
paru dan gangguan pertukaran gas setempat.10
Cara terjadinya penularan berkaitan pula dengan jenis kuman,
misalnya infeksi melalui droplet disebabkan Streptococcus
pneumoniae, melalui selang infus Staphylococcus aureus, sedangkan
infeksi dalam pemakaian ventilator oleh Pseudomonas aeruginosa dan
Enterobacter.10
Tanda-tanda fisis pada pneumonia klasik bisa didapatkan berupa
demam, sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru
oekak, ronki nyaring pernapasan bronkial).10
3) Bronkitis
Proses radang akut yang mengenai bronkus dan cabang-cabangnya,
biasanya terlokalisisr dan sembuh sempurna. Dengan gejala, batuk
berkepanjangan hingga 3 minggu, sesak, dada terasa berat,
wheezing.10
7. Penatalaksanaan
Pasien dinilai dan pengobatan prioritas mereka ditetapkan berdasarkan
cedera mereka, tanda-tanda vital, dan mekanisme cedera. Fungsi vita pasien
harus dinilai dengan cepat dan efisien. Pengelolaan terdiri dari survei primer,
dan simultan resusitasi vital. Untuk lebih detailnya ke survei sekunder dan
inisiasi perawatan definitif.11

Primary survey ABCDE penanganan trauma dan mengidentifikasi


kondisi yang mengancam jiwa dengan mengikuti urutan ini:11

1) Perawatan jalan napas dengan pembatasan gerak leher (Airway)


2) Pernapasan dan ventilasi (Breathing)
3) Sirkulasi dan kontrol perdarahan (Circulation and hemorrhage
control)

19
4) Disability
5) Exposure and Environmental Control

Airway With Restriction Cervical Spine Control. Setelah evaluasi


awal dari pasien trauma, lakukan penilaian pertama jalan napas. Penilaian cepat
ini untuk menemukan tanda-tanda obstruksi jalan napas seperti benda asing,
lakukan juga identifikasi wajah, mandibula, dan/atau fraktur trakea/laring dan
cedera lain yang yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas. Lakukan
penyedotan untuk membersihkan akumulasi darah atau sekresi yang mungkin
menyebabkan obstruksi jalan napas. Mulailah mengukur untuk membangun
jalan napas paten sambil membatasi pergerakan leher tulang belakang.11

Jika pasien mampu berkomunikasi secara verbal, maka pasien bisa saja
tidak dalam bahaya. Namun, penilaian ulang pada jalan napas tetap dibijakkan.
Selain itu, penderita cedera kepala parah yang memiliki tingkat kesadaran yang
berubah atau Glasgow Coma Scale (GCS) bernilai 8 atau lebih rendah biasanya
membutuhkan pemasangan jalan napas definitif. Awalnya, jaw-thrust atau
chin-lift maneuver sering kali cukup sebagai intervensi awal. Jika pasien tidak
sadar dan tidak memiliki refleks muntah, pemasangan jalan napas orofaringeal
bisa membantu untuk sementara. Buat jalan napas definitif jika ada keraguan
tentang kemampuan pasien untuk mempertahankan integritas saluran napas.11

Saat menilai dan mengelolah jalan napas pasien, berhati-hatilah untuk


mencegah pergerakan yang berlebihan pada tulang servikal. Jika berdasarkan
mekanisme trauma, berasumsi bahwa ada cedera tulang belakang. Pemeriksaan
neurologis saja tidak menyingkirkan diagnosis cedera tulang servikal. Tulang
belakang harus dilindungi dari mobilitas yang berlebihan untuk mencegah
perkembangan defisit. Tulang servikal dilindungi oleh cervical collar. Jika
penanganan jalan napas diperlukan, maka cervical collar dibuka dan tim
anggota secara manual membatasi pergerakan tulang servikal. Buat jalan napas
melalui pembedahan jikan kontraindikasi dengan intubasi atau tidak dapat
dicapai. 11

20
Breathing and Ventilation. Patensi jalan napas saja tidak menjamin
ventilasi yang adekuat. Pertukaran gas yang memadai diperlukan untuk
memaksimalkan oksigenai dan eliminasi karbon dioksida. Ventilasi
membutuhkan fungsi yang memadai dari paru-paru, dinding dada, dan
diafragma, maka dari itu dokter harus mengevaluasi dengan cepat setiap
komponen.11

Lakukan auskultasi untuk untuk memastikan aliran gas di paru. Inspeksi


visual dan palpasi dapat mendeteksi luka pada dinding dada yang mungkin
menganggu ventilasi. Perkusi thoraks juga dapat mengidentifikasi adanya
kelainan, tetapi selama resusitasi, evaluasi ini mungkin tidak akurat.11

Cedera yang secara signifikan menganggu ventilasi dalam jangka


pendek termasuk tension pneumothorax, hemothoraks masif, pneumothoraks
terbuka, dan cedera trakea atau bronkial. Cedera ini harus diidentifikasi selama
survei primer dan seringkali membutuhkan perhatian segera untuk memastikan
ventilasi yang efektif. Setiap pasien yang cedera harus menerima suplemen
oksigen. Jika pasien tidak diintubasi, oksigen harus diberikan dengan mask-
reservoir untuk mencapai oksigenasi yang optimal. Gunakan oksimeter denyut
untuk memantau kecukupan saturasi oksigen hemoglobin.

Circulation and hemorrhage control. Gangguan sirkulasi pada pasien


trauma dapat terjadi di berbagai cedera. Volume darah, curah jantung, dan
perdarahan adalah masalah peredaran darah utama yang perlu
dipertimbangkan.11

Blood volume and cardiac output. Perdarahan adalah penyebab utama


yang dapat dicegah dalam terjadinya kematian setelah cedera.
Mengidentifikasi, mengontrol dengan cepat perdarahan, dan oleh karena itu
memulai resusitasi merupakan langkah penting dalam menilai dan menangani
pasien tersebut. Setelah tension pneumothoraks akibat cedera dikeluarkan
sebagai penyebab syok, pertimbangkan hipotensi akibat cedera karena
kehilangan darah sampai terbukti sebaliknya. Penilaian cepat dan akurat status

21
hemodinamik pasien yang cedera sangat penting. Elemen dari observasi klinis
yang menghasilkan informasi penting dalam beberapa detik adalah tingkat
kesadaran, perfusi kulit, dan denyut nadi.11

1) Level of consciousness. Saat peredaran yang beredar terganggu,


perfusi serebral mungkin mengalami gangguan kritis dan
menyebabkan tingkat kesadaran yang berubah.
2) Skin perfusion. Tanda ini membantu dalam mengevaluasi pasienn
hipovolemik. Seorang pasien dengan kulit merah muda, terutama di
bagian wajah dan eksteremitas, jarang mengalami hipovolemik kritis
setelah cedera. Sebaliknya, pasien dengan hipovolemik mungkin
memiliki kulit wajah abu-abu pucat dan ekstremitas pucat.
3) Pulse. Denyut nadi yang cepat biasanya merupakan tanda dari
hipovolemik. Pantau denyut sentral (mis. Arteri femoralis atau karotis)
secara bilateral untuk kualitas, laju, dan keteraturan. Tidak adanya
denyut sentral yang tidak dapat dikaitkan dengan faktor lokal
mendandakan perlunya tindakan resusitasi.

Bleeding. Identifikasi sumber perdarahn baik eksternal atau internal.


Perdarah eksternal diidentifikasi selama survei primer. Kehilangan darah
eksternal yang cepat ditangani dengan tekanan manual langsung pada luka.
Gunakan tourniquet jika penekanan langsung tidak efektif dan nyawa pasien
terancam.11

Syok yang berhubungan dengan cedera yang paling sering adalah


hipovolemik. Dalam kasus sepeti itu, mulai terapi cairan dengan kristaloid.
Semua larutan IV juga harus dihangatkan di penyimpanan yang hangat yaitu
37º - 40º atau dikelola melalui perangkat penghangat udara. Sebuah bolus 1L
larutan isotonik juga dibutuhkan untuk mencapai respon yang sesuai pada
pasien dewasa. Jika pasien tidak responsif terhadap terapi kristaloid, dia harus
menerima transfusi darah.11

22
Disability. Evaluasi neurologis yang cepat menetapkan tingkat kesadarn
pasien, ukuran pupil, dan reaksi pasien. Identifikasi juga adanya tanda
lateralisasi dan menentukan tingkat cedera tulang belakang. GCS adalag
metode yang cepat, mudah, dan objektif dalam menentukan kesadaran.
Penurunan tingkat kesadaran pasien mungkin mengindikasikan penurunan
oksigenasi serebral dan/ atau perfusi, atau itu bisa disebabkan oleh cedera
langsung pada serebral. Adanya perubahan tingkat kesadaran mengindikasikan
perlunya reevaluasi oksigenasi pasien, ventilasi, dan status perfusi secara
segera. Hipoglikemi, alkohol, narkotika, dan obat-obat lainnya juga dapat
menyebabkan perubahan tingkat kesadaran pasien.11

Exposure and environmental control. Selama survei primer,


tanggalkan pakaian pasien dengan cara biasanya menggunting pakaian mereka
untuk memudahkan melakukan penialaian dan penanganan. Setelah selesai
melakukan penanganan, tutupi pasien dengan selimut hangat untuk menceggah
terjadinya hipotermia di area trauma. Hangatkan cairan IV dan pertahankan
kehangatan linkungan.

Secondary survey (survei sekunder) tidak dilakukan sampai survei


primer selesai, upaya resusitasi sedang berlangsung, dan peningkatan tanda
vital pasien telah dibuktikan. Survei sekunder dilakukan evaluasi head to toe
pada pasien trauma dimana termasuk riwayat pasien dan penilaian fisik,
termasuk penanganan ulang semua tanda vital. Setiap bagian dari tubuh pasien
sepenuhnya dinilai.11

Selama survei sekunder, penilaian fisik mengikuti urutan berikut,


kepala, struktur maxilofacial, tulang servikal dan leher, dada, perut, dan pelvis,
perineum, rectum, vagina, muskuloskletela sistem, dan sistem neurolgis.11

23
24
Gambar 3. Mekanisme cedera

Penatalaksanaan yang bisa kita berikan juga yaitu termasuk tindakan


suportif dan megobati penyebab yang mendasari. Tindakan suportif tergantung
pada manajemen jalan napas untuk mempertahankan adekuatnya ventilasi dan
koreksi kelainan gas.4

1) Koreksi hipoksemia
Tujuannya adalah untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang
memadai, umumnya dicapai dengan tekanan oksigen arteri (PaO2) 60
mmHg atau saturasi oksigen arteri (SaO2) sekitar 90%. Suplementasi
oksigen yang tidak terkontrol dapat menyebabkan keracunan oksigen
dan CO2. Jadi, konsentrasi oksigen inspirasi harus disesuaikan pada
tingkat yang paling rendah dimana cukup untuk oksigenasi jaringan.
Oksigen dapat disalurkan melalui beberapa rute tergantung pada
situasi klinis seperti gunakan nasal kanul, simple face mask

25
nonbreathing mask, atau nasal kanul aliran tinggi. Oksigenasi
membran ekstrakorporeal mungkin diperlukan dalam kasus refrakter.4
2) Koreksi hiperkapni dan asidosis respiratorik
Ini dapat dicapai dengan mengobati penyebab yan mendasari atau
memberikan dukungan ventilasi. Pilihan untuk ventilasi invasif atau
non-invasif tergantung pada situasi klinis pasien. Apakah kondisinya
akut tau kronis, dan seberapa parah kondisinya. Jika tidak ada indikasi
mutlak untuk melakukan ventilasi mekanis invasif dan tidak ada
kontraindikasi untuk ventilasi non-invasif maka ventilasi non-invasif
lebih dianjurkan.4

DAFTAR PUSTAKA

1. Vanputte C, Regan J, Russo Andrew, Seeley R, Stephens T,Tate P.

Seeley’s Anatomy & Physiology. Edisi 20. New York: Mc-Graw Hill

Education . 2020. P: 827.

2. Buku Ajar Anatomi Biomedik 3. Makassar: FK UNISMUH. 2015.1 P: 28-

32.

3. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC;

2012. P:506-07.

4. Sheble E, Burns B. Respiratory Failure. National Institute of Health.

2020.

26
5. Kayna AM. Respiratory Failure. University of Pittsburgh School of

Medicine. 2020.

6. Bakhtiar. Aspek Klinis dan Tatalaksana Gagal Napas Akut pada Anak.

Aceh: Universitas Syiah Kuala. 2013. Vol-13. No.3.

7. Suh ES, Hart N. Respiratory Failure. Elsevier. 2012. Vol-40.

8. Patel PH, Mirable VS, Sharma S. Wheezing. National Institutr of Health.

2020.

9. Dezube R. Wheezing. USA: John Hopkins University. 2020.

10. Sudoyo, 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit

FK UI.

11. Henry S, Brasel K, Stewart RM. Advanced Trauma Life Support. Chicago.

American Collage of Surgeon. 2018.

12. Hasniati, Arianti, Philip W. Penerapan Metode Bayesian Network Model

Untuk Menghitung Probabilitas Penyakit Sesak Napas Bayi. 2018. Vol-2,

No.1.

27

Anda mungkin juga menyukai